Anda di halaman 1dari 162

Laporan Akhir

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 1


LAPORAN AKHIR

EVALUASI KEBIJAKAN
REFORMASI BIROKRASI

DIREKTORAT EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN SEKTORAL


KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)
2013
Laporan Akhir

Pengarah:
Edi Effendi Tedjakusuma

Penanggung Jawab:
Yohandarwati Arifiyatno

Tim Penyusun:
Bambang Triyono
Haryo Raharjo
Faiq
Meitha Ika Pratiwi
Novi Mulia Ayu
Tini Partini Nuryawani

Tenaga Ahli:
Denny Hernawan

Informasi selanjutnya, hubungi :


Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral, Bappenas
Fax : 62-21-31903107
Telp : 62-21-31903107
Email : ekps@bappenas.go.id

ii Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

KATA PENGANTAR

Dasar pelaksanaan Reformasi Birokrasi adalah Peraturan Presiden


No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-
2025 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi
Birokrasi 2010-2014.
Upaya untuk mewujudkan sasaran reformasi birokrasi telah
dilakukan, meliputi: (a) penataan kelembagaan instansi pemerintah,
yang didukung oleh pelaksanaan reformasi birokrasi pada
Kementerian/Lembaga/Pemda; (b) pengembangan manajemen SDM
aparatur berbasis merit; (c) percepatan harmonisasi dan sinkronisasi
peraturan perundangan; dan (d) penetapan dan penerapan Sistem
Indikator Kinerja Utama Pelayanan Publik.
Namun, upaya yang telah dilakukan tersebut perlu terus
ditingkatkan karena pencapaian sasaran reformasi birokrasi dan tata
kelola secara umum masih kurang menggembirakan. Hal tersebut
ditunjukkan dengan tidak akan tercapainya beberapa target pada
tahun 2014, seperti persentase Pemda dengan opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan pemda (daerah),
peringkat kemudahan berusaha, dan indeks efektifitas
pemerintahan.
Dengan memperhatikan berbagai hal tersebut di atas dan
pentingnya pelaksanaan reformasi birokrasi maka pada tahun 2013
Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral melakukan
evaluasi terhadap kebijakan reformasi birokrasi. Penekanan evaluasi
dikaitkan dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, ditinjau
dari aspek kualitas penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan
umum, dan pelayanan dunia usaha.
Diharapkan evaluasi ini akan bermanfaat dalam penyusunan
kebijakan reformasi birokrasi di masa mendatang. Masukan, saran,
dan kritik yang membangun akan dijadikan bahan perbaikan dan
penyempurnaan evaluasi ini.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi iii


Laporan Akhir

Akhirnya, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusunan laporan evaluasi ini.

Jakarta, Desember 2013


Direktur Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral

Yohandarwati Arifiyatno

iv Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................ v

DAFTAR TABEL ......................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................... viii

Bab I. Pendahuluan ........................................................... 1


1.1. Latar Belakang ................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................ 2
1.3. Ruang Lingkup ................................................................... 3
1.4. Keluaran............................................................................. 3

Bab II. Kerangka Konseptual ............................................... 5


2.1. Evaluasi Kebijakan Publik ................................................... 5
2.2. Pendekatan dan Metode Evaluasi Kebijakan ..................... 20
2.3. Konsep, Dinamika dan Problematika Reformasi Birokrasi . 27
2.4. Pelayanan Publik ............................................................... 35
2.5. Kerangka Analisis .............................................................. 38

Bab III. Metode Evaluasi ..................................................... 39


3.1. Metode Evaluasi ................................................................. 39
3.2. Teknik Sampling ................................................................ 44
3.3. Pengumpulan Data ............................................................ 45

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi v


Laporan Akhir

Bab IV. Review Kebijakan Terkait Pembangunan Reformasi


Birokrasi ................................................................ 49
4.1. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 ............................... 49
4.2. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum
Reformasi Birokrasi ............................................................ 51
4.3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik ................................................................ 54
4.4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia ........................................ 62
4.5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal ............................................................................. 65
4.6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2010
Tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN) .......................................................... 71

Bab V. Capaian Kinerja Pembangunan Reformasi Birokrasi ... 73


5.1. Capaian Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan .............. 73
5.2. Capaian Kinerja Pelayanan untuk Masyarakat Umum......... 84
5.3. Capaian Kinerja Pelayanan Publik Bagi Dunia Usaha .......... 88

Bab VI. Identifikasi Permasalahan Pembangunan Reformasi


Birokrasi ................................................................ 97
6.1. Permasalahan RB dalam Penyelenggaraan Pemerintahan . 97
6.2. Permasalahan dalam Pelayanan Publik Bagi Masyarakat ... 109
6.3. Permasalahan dalam Pelayanan Publik bagi Pelaku Usaha 112
6.4. Kesimpulan ....................................................................... 115
vi Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

Bab VII. Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Reformasi


Birokrasi ................................................................ 117
7.1. Rekomendasi Bagi Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan
Pemerintahan .................................................................... 117
7.2. Rekomendasi untuk Meningkatkan Pelayanan Publik Bagi
Masyarakat ........................................................................ 124
7.3. Rekomendasi untuk Meningkatkan Pelayanan Publik Bagi
Pelaku Usaha ..................................................................... 135

EPILOG ..................................................................................... 141

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 145

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi vii


Laporan Akhir

DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 2.1. Pre-Test, Post-Test, Control-Group Evaluation


Design .................................................................... 21
Tabel 2.2. Interrupted Time-Series Evaluation Design............... 22
Tabel 2.3. Pendekatan Evaluasi Kebijakan (Dunn, 2010) ......... 23
Tabel 2.4. Tipe Evaluasi (Finance, 1994) ................................ 25
Tabel 2.5. Indikator Bidang Pembangunan Aparatur Negara . 33
Tabel 3.1. Kebutuhan Data untuk Kajian Evaluasi Kebijakan
Pembangunan Reformasi Birokrasi ....................... 47
Tabel 4.1. Area Perubahan RB ............................................... 51
Tabel 4.2. Program, Kegiatan dan Keluaran RB (selected) ...... 51
Tabel 5.1. Perkembangan Capaian Reformasi Birokrasi dan
Tata Kelola ............................................................ 73
Tabel 5.2. Indikator SPM Realisasi Nasional Tahun 2009-
2012 ...................................................................... 76
Tabel 5.3. Capaian Implementasi Pengadaan Secara
Elektronik Tahun 2009-2012 .................................. 80
Tabel 5.4 Perbandingan Skor Government Effectiveness
Negara ASEAN Tahun 2007-2011 .......................... 83
Tabel 5.5. Unit Layanan Instansi Pusat dengan Skor Total
Integritas > 7 ......................................................... 86
Tabel 5.6. Perbandingan Peringkat Doing Business Negara
ASEAN .................................................................. 93
Tabel 5.7. Perbandingan Skor Regulatory Quality Negara
ASEAN .................................................................. 94
Tabel 5.8. Peringkat FDI Confidence Index Indonesia .............. 95
Tabel 6.1. Problematika Dimensi Kelembagaan .................... 100
Tabel 6.2. Problematika SDM Aparatur ................................. 104
Tabel 6.3. Problematika Ketatalaksanaan ............................. 107
Tabel 7.1. Good Practices Memulai Usaha diBerbagai Negara 136

viii Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Evaluasi ............................ 38


Gambar 3.1. Prosedur Evaluasi Program (Kualitatif) ............... 43
Gambar 5.1. K/L Dan Pemda yang Melaksanakan RB ............ 75
Gambar 5.2. Jumlah PTSP /OSS di K/L (Pemda) ..................... 79
Gambar 5.3. IKM di K/L dan Pemda ....................................... 81
Gambar 5.4. Perkembangan Nilai IIN Tahun 2007 - 2012 ....... 84
Gambar 5.5. Skor Indeks Integritas Sektor Publik 2012 .......... 85
Gambar 5.6. Reformasi Dalam Memulai Usaha ...................... 89
Gambar 6.1. Sepuluh Faktor Paling Bermasalah dalam
Memulai Usaha ................................................. 114
Gambar 7.1. Model Mentransformasi Pelayanan Publik ......... 135

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi ix


Laporan Akhir

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kebijakan pembangunan reformasi birokrasi dilaksanakan dalam
rangka meningkatkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan
merupakan bagian terpenting dalam meningkatkan pelaksanaan
pembangunan nasional. Kebijakan reformasi birokrasi pada akhirnya
diharapkan dapat mencapai peningkatan kualitas pelayanan publik
yang lebih baik, peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja
birokrasi, dan peningkatan profesionalisme sumber daya aparatur
pemerintah, serta penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan
bebas KKN.
Dibidang pelayanan publik, pemerintah masih belum dapat
menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai yang
diharapkan. Hasil survei integritas yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa
indeks integritas sektor publik tingkas nasional mencapai skor 5.42,
tingkat instansi pusat 6.16, tingkat instansi vertikal 5.26 dan tingkat
daerah 5.07 dari skala 10. Kemudahan berusaha (Doing Business),
Indonesia menempati peringkat ke-122 dari 181 negara atau berada
pada peringkat ke-6 dari 9 negara ASEAN.
Dalam kaitan dengan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi,
berdasarkan penilaian government effectiveness yang dilakukan Bank
Dunia, Indonesia memperoleh skor -0,43 pada tahun 2004, -0,37 pada
tahun 2006, dan -0,29 pada tahun 2008, dari skala -2.5 menunjukkan
skor terburuk dan 2,5 menunjukkan skor terbaik. Meskipun pada
tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi -0,29, skor tersebut
masih menunjukkan kapasitas kelembagaan/efektivitas
pemerintahan di Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan
kemajuan yang dicapai oleh negara-negara tetangga.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 1


Laporan Akhir

Dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN,


masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan
pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data
Transparency International pada tahun 2011, Indeks Persepsi Korupsi
(IPK) Indonesia masih rendah (3,0 dari 10). Akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak dibenahi termasuk
dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar
Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) atas laporan keuangan K/L dan Pemda masih banyak yang
perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Melihat kondisi permasalahan yang ada, pemerintah telah berupaya
untuk terus meningkatkan kualitas reformasi birokrasi melalui
pelaksanan kebijakan pembangunan yang dituangkan dalam
dokumen RPJMN 2010-2014, serta dengan dikeluarkannya beberapa
kebijakan mengenai reformasi birokrasi, antara lain dengan
ditetapkannya PP Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025.
Untuk itu, perlu kiranya dilakukan evaluasi terhadap pencapaian
pembangunan reformasi birokrasi berdasarkan sasaran
pembangunan yang telah ditetapkan dalam dokumen pembangunan.
Hasil evaluasi tersebut diharapkan dapat menjadi masukan dan
perbaikan penyusunan kebijakan selanjutnya.

1.2. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kegiatan Evaluasi
Kebijakan Reformasi Birokrasi adalah:
1. Melihat sejauhmana pencapaian kebijakan pembangunan
reformasi birokrasi dalam pencapaian sasaran pembangunan
yang telah ditentukan;
2. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab pencapaian sasaran;
3. Menyusun rekomendasi dalam upaya perbaikan kebijakan
pembangunan selanjutnya.

2 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

1.3. Ruang Lingkup


Ruang lingkup kegiatan Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi ini
adalah melakukan identifikasi dan analisis atas pelaksanaan
reformasi birokrasi serta kebijakan pendukung lainnya. Pencapaian
kebijakan pembangunan reformasi birokrasi terutama dalam
peningkatan kualitas pelayanan publik dalam:
1. Penyelenggaraan pemerintah: kelembagaan, tata laksana
(business process), SDM aparatur.
2. Pelayanan masyarakat umum
3. Pelayanan dunia usaha/bisnis

1.4. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari kegiatan Evaluasi Kebijakan
Reformasi Birokrasi berupa laporan hasil evaluasi yang memuat
pencapaian dan identifikasi permasalahan pembangunan Bidang
Reformasi Birokrasi beserta rekomendasi kebijakannya.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 3


Laporan Akhir

4 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL

2.1. Evaluasi Kebijakan Publik


Dalam memahami evaluasi kebijakan ada sejumlah hal dasar yang
perlu diperhatikan agar lebih terfokus. Hal-hal dasar dimaksud
berkaitan dengan sejumlah konsep penting terkait kebijakan publik
pada umumnya serta evaluasi kebijakan pada khususnya, definisi
evaluasi kebijakan sebagai bidang pembatas kajian; fungsi serta
tugas evaluasi kebijakan; pemanfaatan (utilization) dari hasil evaluasi
kebijakan serta memahami evaluasi kebijakan sebagai sebuah
kontinuum. Dalam bagian ini kelima aspek ini akan dijelaskan secara
singkat.

2.1.1. Beberapa Konsep Penting dalam Evaluasi Kebijakan


Dalam literatur evaluasi kebijakan atau program ada sejumlah konsep
pokok yang harus dipahami, diantaranya: keluaran kebijakan (policy
outputs), hasil kebijakan (policy outcomes), dampak kebijakan (policy
impacts). Ketiga konsep penting tersebut dijelaskan pada bagian di
bawah ini.
Keluaran kebijakan (policy outputs) adalah segala sesuatu yang secara
aktual dikerjakan atau dihasilkan oleh instansi pemerintah dalam
mewujudkan keputusan dan pernyataan kebijakan. Konsep tentang
keluaran difokuskan pada hal-hal seperti jumlah pajak yang dapat
dihimpun, panjang jalan yang dibangun, manfaat program
kesejahteraan yang dibayarkan, denda lalulintas yang dikumpulkan,
atau proyek bantuan luar negeri yang dilaksanakan.Uji terhadap
keluaran akan mengindikasikan banyaknya hal yang telah dilakukan
untuk mengimplementasikan kebijakan. Instansi pemerintah,
dibawah tekanan legislatif, kelompok kepentingan, dan kelompok
lain akan cenderung memfokuskan diri pada keluaran, bukan hasil,
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 5
Laporan Akhir

untuk menghasilkan statistik yang menunjukkan adanya


perkembangan.
Hasil kebijakan (policy outcomes), berbeda dengan keluaran
kebijakan, merupakan konsekuensi bagi masyarakat – dikehendaki
atau tidak dikehendaki – akibat dari tindakan pemerintah atau akibat
pemerintah tidak mengambil tindakan (inaction). Kebijakan
kesejahteraan sosial dapat dipergunakan untuk mengilustrasikan
konsep ini. Sangat mudah untuk mengukur keluaran kebijakan
kesejahteraan seperti jumlah manfaat yang dibayarkan, tingkat
rataan manfaat, dan jumlah orang yang dibantu. Namun agak sulit
mengukur apa hasil, atau konsekuensi bagi masayarakat, dari
tindakan tersebut. Apakah hasil kebijakan telah meningkatkan rasa
aman dan kepuasan pribadi? Apakah kebijakan telah mengurangi
inisiatif individual? Apakah program kesejahteraan membantu orang
miskin untuk tetap malas? Pertanyaan tersebut memang agak sulit
dijawab. Yang perlu diketahui adalah apakah kebijakan telah
mencapai tujuannya, apakah masyarakat mampu merubah tindakan
kebijakan sebagai konsekuensinya, dan apakah perubahan tersebut
merupakan sesuatu yang diinginkan atau sebaliknya. Dampak
kebijakan merupakan amalgam dari keluaran dan hasil kebijakan.
Dampak kebijakan (policy impacts), menurut Thomas R. Dye (1987),
mempunyai sejumlah dimensi penting.
Pertama, dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan
dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat. Individu atau
mereka yang diharapkan dipengaruhi oleh kebijakan harus dibatasi,
seperti termasuk kelompok masyarakat miskin, pengusaha kecil,
anak sekolah, pengangguran dan sebagainya. Selain itu dampak yang
diharapkan dari kebijakan harus ditentukan. Program anti-
kemiskinan, misalnya, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
kelompok masyarakat miskin, meningkatkan kesempatan
memperoleh pekerjaan atau mengubah sikap dan perilaku mereka.
Bila tujuan kebijakan bersifat kombinasi, maka analisis akan semakin
kompleks karena prioritas harus dikaitkan dengan bermacam
dampak yang diinginkan.
Kedua, kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan dan
kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan. Kebijakan ini
6 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

dinamakan eksternalitas atau dampak yang melimpah (externalities


or spillover effects). Program uji coba senjata nuklir mungkin berguna
bagi perkembangan teknologi persenjataan (eksternalitas positif),
namun peledakannya juga akan mengancam penduduk dunia
(eksternalitas negatif).
Ketiga, kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan
sekarang dan masa yang akan datang. Ada sejumlah pertanyaan
yang bersifat ilustratif, seperti: apakah program direncanakan untuk
memperbaiki keadaan secara langsung untuk jangka pendek atau
jangka panjang? Apakah kebijakan deregulasi dan debirokratisasi
mendorong ekspor komoditas non migas dalam jangka pendek? Bila
ya, apakah dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut?
Pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk melihat konsekuensi yang
ditimbulkan kebijakan berdasarkan dimensi waktu.
Keempat, evaluasi juga menyangkut unsur lain yaitu biaya langsung
(direct cost) yang dikeluarkan untuk membiayai program kebijakan
publik. Biaya langsung dapat berupa total biaya yang dikeluarkan
untuk membiayai program atau persentase PDB untuk membiayai
program. Biaya langsung lainnya mungkin agak lebih sulit dihitung
seperti biaya yang dikeluarkan oleh pihak swasta untuk membeli alat
pengolah limbah dalam rangka melaksanakan program pemerintah
menyangkut pengendalian pencemaran lingkungan.
Kelima, biaya tidak langsung yang ditanggung masyarakat atau
beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik. Biaya
tidak langsung biasanya tidak dipertimbangkan dalam evaluasi
kebijakan karena tidak dapat dihitung mengingat sulitnya
menentukan ukuran yang akan dipakai. Misalnya, sulit diukur berapa
besar biaya ketidaknyamanan, biaya dislokasi, dan biaya kekacauan
sosial akibat proyek pembaharuan kota; sulit mengukur biaya
estetika akibat pembangunan jalan raya yang melalui tempat-tempat
rekreasi. Yang juga sulit dilakukan adalah mengukur keuntungan
tidak langsung dari program kebijakan publik seperti sulitnya
mengukur manfaat sistem politik yang demokratis bagi kepuasan
politik warga negara.
Sekalipun dampak yang sebenarnya dari suatu kebijakan mungkin
jauh dari yang diharapkan atau diinginkan, namun kebijakan tersebut
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 7
Laporan Akhir

pada dasarnya mempunyai konsekuensi penting bagi masyarakat.


Misalnya, program anti-kemiskinan bisa saja hasilnya
mengecewakan, tetapi kebijakan itu tetap menunjukkan pada rakyat
bahwa pemerintah mempunyai perhatian terhadap masalah
kemiskinan.

2.1.2. Pengertian Evaluasi Kebijakan


Kebijakan publik pada hakekatnya dibuat untuk mencapai tujuan
tertentu yang menyangkut kepentingan publik. Ia dirancang untuk
memecahkan masalah yang dihadapi oleh publik. Dengan demikian,
kebijakan publik tersebut selalu berorientasi pada tujuan dan
pemecahan masalah. Hanya saja kebijakan yang telah dibuat, pada
level nasional maupun lokal, tidak selalu mampu mencapai tujuannya
atau tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapi publik. Tidak
jarang hasil dan dampak kebijakan atau program publik justru
menimbulkan masalah baru. Karena itu, diperlukan kegiatan yang
sifatnya evaluatif sebagai upaya untuk mengetahui secara tepat dan
komprehensif apakah kebijakan yang telah dilaksanakan itu
mencapai tujuannya atau memberikan dampak yang diharapkan atau
tidak. Dalam konteks seperti itulah, evaluasi kebijakan publik
seharusnya ditempatkan.
Secara umum, dengan mengutip pendapat James Anderson (1990),
evaluasi kebijakan diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan termasuk isi, implementasi dan
dampaknya. Secara sederhana Thomas R. Dye (1987) mendefinisikan
evaluasi kebijakan sebagai proses penilaian tentang dampak
kebijakan publik. Sementara itu Paul R. Binner (1976) secara lebih
kompleks mendefinisikan evaluasi kebijakan sebagai penilaian
tentang keefektifan program nasional secara keseluruhan dalam
memenuhi sasarannya, atau penilaian tentang keefektifan relatif dari
dua atau lebih program memenuhi sasaran bersama. Sedangkan
David Nachmias (1980) mengemukakan bahwa :
Evaluasi kebijakan beranjak dari upaya evaluasi sebelumnya dalam
beberapa aspek penting dari ilmu sosial. Perhatian utamanya adalah
penjelasan (explanation) dan peramalan (prediction); Evaluasi
kebijakan tergantung pada bukti dan analisis empiris…
8 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

Yang menjadi perhatiannya adalah bermanfaat bagi pembuat


kebijakan…dengan perhatian pokok pada evaluasi sebagai sebuah
aktivitas riset ilmiah. Penekanan utamanya adalah pada riset, yaitu
pada “prosedur pengumpulan dan penganalisisan data yang akan
meningkatkan kemungkinan untuk membuktikan daripada
mendeklarasikan nilai dari sejumlah aktivitas sosial.

Selanjutnya Nachmias mendefinisikan evaluasi sebagai sebuah


aktivitas riset yang berkaitan dengan konsekuensi dari kebijakan
publik, sedangkan riset evaluasi kebijakan berkaitan dengan studi
tentang dampak dari keluaran kebijakan (policy outputs). Dengan
meneliti dampak langsung dan dampak jangka panjang dari keluaran
kebijakan, riset evaluasi dapat menghasilkan pengetahuan baru yang
dapat dihubungkan dengan proses pembuatan keputusan publik.
Dari sejumlah pengertian evaluasi kebijakan tersebut dapat
dijelaskan sejumlah komponen penting definisi, yaitu:
1. Evaluasi kebijakan berkaitan dengan penilaian tentang
efektivitas implementasi kebijakan atau program serta
dampak atau konsekuensinya.
2. Aktivitas evaluasi terfokus pada penjelasan atas hasil serta
dampak kebijakan atau program yang senyatanya ada (actual)
dan melakukan prediksi berdasarkan hasil dan dampak tersebut
di masa yang akan datang.
Terakhir, perlu dikemukakan tentang sejumlah istilah terkait yang
sering dipergunakan. Dalam pandangan Nachmias, istilah kebijakan,
program, dan proyek dapat dipergunakan secara bergantian
(interchangeably) karena prinsip-prinsip riset terhadapnya relatif
sama. Namun, secara analitis istilah-istilah tersebut dapat dibedakan
sepanjang kontinuum kekhususan (specificity) dengan proyek
dipandang sebagai seperangkat tindakan yang bersifat lebih spesifik
(dibanding kebijakan dan program) serta dirancang untuk mencapai
sebuah sasaran.
Sementara itu menurut Winarno (2002) evaluasi kebijakan pada
dasarnya merupakan sebuah kegiatan fungsional dalam arti evaluasi
kebijakan publik tidak dilakukan hanya pada tahap akhir saja, tetapi
juga dilakukan dalam seluruh proses kebijakan termasuk pada tahap

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 9


Laporan Akhir

perumusan masalah kebijakan, penyusunan program, implementasi,


maupun dampak kebijakan. Hampir senada, Sofyan Effendi
mengemukakan bahwa secara hakiki evaluasi kebijakan mempunyai
3 (tiga) lingkup makna, yaitu: (1) Evaluasi perumusan kebijakan, (2)
Evaluasi implementasi kebijakan, dan (3) Evaluasi lingkungan
kebijakan.
Ketiga komponen itulah yang menentukan apakah kebijakan akan
efektif atau tidak. Berkaitan dengan evaluasi perumusan kebijakan,
misalnya, secara umum evaluasi kebijakan berkaitan dengan apakah
formulasi kebijakan :
1. Telah menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah
yang hendak diselesaikan, karena setiap masalah publik
memerlukan model formulasi kebijakan publik yang berlainan;
2. Telah mengarah pada permasalahan inti, karena setiap
pemecahan masalah harus benar-benar mengarah pada inti
masalahnya;
3. Telah mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik
dalam rangka keabsahan maupun dalam rangka kesamaan
dan keterpaduan langkah perumusan;
4. Telah mendayagunakan sumberdaya yang ada secara optimal,
baik dalam bentuk dana, manusia, waktu, dan kondisi
lingkungan strategis.
Sedangkan tujuan evaluasi implementasi kebijakan adalah untuk
mengetahui variasi dalam indikator kinerja yang digunakan untuk
menjawab 2 pertanyaan pokok, yaitu :
1. Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik?
Jawabannya berkaitan dengan kinerja implementasi publik
(variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu;
2. Faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu? Jawabannya
berkenaan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi
implementasi kebijakan, dan lingkungan implementasi
kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome dari
implementasi kebijakan.

10 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Dalam kaitan dengan evaluasi lingkungan kebijakan, ia lebih banyak


berhubungan dengan identifikasi faktor lingkungan apa saja yang
dapat membuat kebijakan gagal atau berhasil dilaksanakan. Banyak
kebijakan publik di era Presiden Wahid gagal atau tidak efektif
dilaksanakan karena lingkungan politik diisi oleh lintas pelaku dengan
lintas kepentingan yang sulit dipertemukan (diistilahkan sebagai
‘koalisi pelangi’). Sementara kebijakan pemulihan ekonomi berjalan
agak lamban karena begitu rentan terhadap pengaruh luar baik
karena pengaruh negara-negara kuat (utamanya AS dan Jepang)
maupun intervensi lembaga donor internasional dengan agenda
penyesuaian struktural (structural adjustment).

2.1.3. Fungsi dan Tugas Evaluasi Kebijakan Publik


Menurut Samodra Wibawa dkk (1993), dengan mengutip pendapat
William Dunn, evaluasi kebijakan publik mempunyai 4 fungsi, yaitu :
1. Eksplanasi. Melalui eksplanasi dapat dipotret realitas
pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi
tentang pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang
diamati. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi
masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan
atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan
yang dilakukan oleh pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lain,
telah sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan
oleh kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-
benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau
sebaliknya ada kebocoran atau penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial
ekonomi dari kebijakan tersebut.
Sedangkan menurut Fadillah Putra (2003) evaluasi kebijakan publik
mempunyai 3 fungsi pokok, yaitu :

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 11


Laporan Akhir

1. Memberikan informasi yang valid tentang kinerja


kebijakan. Evaluasi dilakukan atas kinerja dari proses
implementasi kebijakan yang dievaluasi. Kinerja kebijakan
dapat dilihat dari seberapa mampu kebijakan tersebut dapat
memecahkan masalah dan sejauh mana kebijakan publik
dapat efektif sebagai instrumen solusi.
2. Menilai kepantasan tujuan atau target dengan masalah
yang dihadapi. Banyak sekali kebijakan yang tujuan
formalnya tercapai, namun masalahnya secara substansial
belum terpecahkan. Program pengentasan kemiskinan,
misalnya, dapat dikatakan berhasil dilihat dari target
pengucuran dana dan menurunnya jumlah orang miskin,
namun tidak jarang pemerintah harus mengeluarkan anggaran
yang besar untuk menanggung konsekuensi akibat munculnya
dampak negatif dari program kebijakan yang bercorak
bantuan atau hibah.
3. Memberikan kontribusi pada kebijakan lain dengan
menghasilkan rekomendasi atas kebijakan yang dievaluasi.
Berkaitan dengan tugas evaluasi kebijakan, Lester dan Stewart
(2000) mengemukakan bahwa evaluasi kebijakan dapat dibedakan
dalam 2 (dua) tugas yang berbeda.
Tugas pertama, menentukan konsekuensi apa yang ditimbulkan
oleh suatu kebijakan atau program dengan cara menggambarkan
dampaknya. Tugas pertama ini merujuk pada usaha untuk melihat
apakah program kebijakan publik mencapai tujuan atau dampak yang
diinginkan atau tidak. Bila jawabannya tidak, maka faktor apa saja
yang menjadi penyebabnya? Apakah ada kesalahan dalam
merumuskan masalah kebijakan (bad formulation), kesalahan dalam
implementasi (bad implementation), atau kesalahan karena faktor
yang berada di luar kehendak manusia (bad luck)?
Tugas kedua, menilai keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan
berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Tugas kedua ini sebenarnya terkait erat dengan tugas
pertama. Setelah kita mengetahui konsekuensi kebijakan melalui
deskripsi dampak kebijakan publik, maka akan diketahui apakah

12 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

program kebijakan yang dijalankan sesuai atau tidak dengan dampak


yang diinginkan. Disinilah arti penting evaluasi kebijakan publik:
memberi pengetahuan menyangkut hubungan sebab-sebab
kegagalan suatu kebijakan dalam mencapai tujuan dan dampak yang
diinginkan sehingga dapat dijadikan pedoman untuk melakukan
policy improvement atau policy change di masa mendatang.
Untuk memenuhi kedua tugas tersebut, evaluasi kebijakan harus
mencakup 4 kegiatan penting (Charles O. Jones menyebutnya
sebagai sub-kegiatan dalam evaluasi kebijakan publik), sebagai
berikut :
1. Spesifikasi, merupakan kegiatan yang paling penting diantara
sub-kegiatan evaluasi lainnya. Kegiatan ini meliputi
identifikasi tujuan atau kriteria. Ukuran atau kriteria inilah
yang akan dipergunakan untuk mengevaluasi manfaat
program kebijakan.
2. Pengukuran, menyangkut aktivitas pengumpulan informasi
yang relevan untuk objek evaluasi.
3. Analisis, adalah penggunaan informasi yang telah terkumpul
dalam rangka menyusun kesimpulan.
4. Rekomendasi, yaitu penentuan mengenai apa yang harus
dilakukan di masa yang akan datang.
Sedangkan Edward A. Suchman, secara agak lebih elaboratif,
mengemukakan enam langkah dalam melaksanakan evaluasi
kebijakan, yaitu: (1) Mengidentifikasi tujuan program yang akan
dievaluasi, (2) Analisis terhadap masalah, (3) Deskripsi dan
standardisasi kegiatan, (4) Pengukuran terhadap tingkatan
perubahan yang terjadi, (5) Menentukan apakah perubahan yang
diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena
penyebab lain, (6) Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan
suatu dampak.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 13


Laporan Akhir

2.1.4. Maksud dan Pemanfaatan Evaluasi


Dalam konteks kebijakan publik, evaluasi mempunyai manfaat baik
secara konseptual maupun praktis. Secara konseptual, misalnya,
Dennis J. Palumbo (1989) mengemukakan 3 bentuk manfaat dari
evaluasi kebijakan, yaitu :
1. Untuk formulasi kebijakan. Untuk kepentingan formulasi
kebijakan, dibutuhkan informasi dari evaluasi dalam 3 hal,
yaitu: (a) informasi tentang masalah atau ancaman yang
disebabkan oleh program (seperti, seberapa besar masalah
atau ancamannya? Bagaimana frekuensi dan arahnya?
Bagaimana ia berubah? Apakah kita perlu program baru atau
legislasi baru untuk memecahkan masalah tersebut? Bila ya,
seberapa besar program baru tersebut akan berhasil?); (b)
informasi tentang hasil program lalu atau upaya terkait yang
diupayakan untuk menangani masalah atau ancaman
(misalnya, apakah program terdahulu tersebut layak? Apakah
program terdahulu berhasil? Apa masalah yang dihadapi?);
dan (c) informasi yang memungkinkan pemilihan satu
program alternatif dibanding program lainnya (misalnya,
membandingkan biaya dan manfaat satu program dengan
program lain? Apa bentuk tingkat pertumbuhan yang dialami
oleh program yang berbeda di masa lalu?)
2. Untuk pelaksanaan kebijakan. Untuk keperluan ini evaluasi
perlu memiliki : (a) informasi tentang implementasi program
(misalnya, dalam hal apa program bersifat operasional,
seberapa sama program di lokasi lain, apakah program
conform atau sesuai dengan kebijakan dan harapan yang
dirumuskan, berapa biaya program, bagaimana perasaan
stakeholder tentang program, apakah ada kesalahan besar
dalam hal penyimpangan, pelanggaran, penyalahgunaan dsb);
(b) informasi tentang pengelolaan program (misalnya, derajat
kontrol atas pengeluaran, kualifikasi dan tingkat
keterpercayaan pegawai, alokasi sumberdaya, penggunaan
informasi program dalam pembuatan keputusan dsb); dan (c)
informasi berjalan tentang masalah yang sedang berlangsung
(misalnya, apakah masalahnya telah menjadi berkembang?

14 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Apakah semakin berkurang? Apakah masalahnya cukup


berkurang sehingga program tidak diperlukan lagi? Apakah
program perlu diubah dalam karakteristik pentingnya
sehingga program juga perlu diubah ?)
3. Untuk keperluan akuntabilitas. Dalam kaitan ini evaluasi harus
menekankan pada tiga hal, yaitu : (a) informasi tentang hasil
program (misalnya, apa yang telah terjadi sebagai hasil dari
perancangan program dan implementasinya?); (b) informasi
tentang apakah program telah mencapai tujuannya; dan (c)
informasi tentang efek dari program (baik yang diharapkan
maupun tidak diharapkan).
Selain itu, evaluasi kebijakan publik juga punya manfaat praktis.
Badjuri dan Yuwono (2002), misalnya, mengemukakan bahwa
evaluasi kebijakan dapat membantu dalam: (1) Menilai apakah
kebijakan tersebut masih relevan untuk dipertahankan dalam
konteks perubahan dewasa ini; (2) Memberikan pemikiran apakah
ada cara lain yang lebih efektif dan efisien dalam implementasi
kebijakan; (3) Menguji apakah dampak kebijakan yang diinginkan
sudah tercapai sebagaimana tertulis; (4) Menilai apakah program
tersebut perlu diperluas, dipersempit, diperpanjang atau mungkin
dihentikan sama sekali; (5) Memutuskan apakah pada masa yang
akan datang sumberdaya pendukung perlu ditambah, dikurangi atau
bahkan dihentikan total; serta (6) Membantu meningkatkan
kredibilitas pemerintah khususnya berkaitan dengan akuntabilitas
kebijakan publik pada umumnya.
Sementara itu, perspektif agak berbeda dikemukakan oleh Palumbo
(1989). Dengan merujuk pada ungkapan sastrawan Rudyard Kipling,
ia mengemukakan pemanfaatan evaluasi harus melihat faktor 5W
plus 1 H, yaitu : What, Why, When, Where, Who dan How.
WHAT. Evaluasi dapat memiliki dampak konseptual atau dampak
terhadap tindakan. Dampak konseptual adalah dampak yang
mempengaruhi pemikiran tentang program. Setiap pemanfaatan
evaluasi oleh stakeholder utama (seperti staf program, pemberi dana,
administrator, dan pembuat keputusan lainnya) akan
mengkonseptualisasikan implementasi atau hasil dengan cara-cara
baru, memahami dinamika program secara lebih mendalam, atau
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 15
Laporan Akhir

menggeser prioritas program. Sedangkan dampak tindakan adalah


dampak yang dapat mengarah pada perubahan-perubahan yang
dapat diamati (observable changes) dalam operasi aktual sebuah
program. Dampak tindakan ini sangat penting bila melibatkan
perubahan dalam hal level atau tipe pendanaan, atau perubahan
dalam bagaimana program diantarkan (program delivery). Evaluasi
juga dapat mempengaruhi keputusan, dalam arti ia dapat mengarah
pada keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan program,
atau melakukan banyak hal dimana pembuat keputusan mempunyai
kewenangan untuk melakukan kontrol. Biasanya, riset atas
pemanfaatan evaluasi secara bias ditujukan pada dampak tindakan.
Riset awal dalam evaluasi difokuskan pada digunakannya hasil
evaluasi, seperti data, rekomendasi, dan laporan evaluasi. Asumsinya
adalah berbicara tentang evaluasi berarti berbicara tentang temuan
dan rekomendasi dari evaluasi. Namun, sejalan dengan semakin
meningkatnya pemahaman tentang proses pemanfaatannya,
semakin dipahami bahwa proses evaluasi dapat mempunyai dampak
yang cukup signifikan terlepas dari temuan evaluasi. Dengan
demikian, sesungguhnya proses evaluasi dapat digunakan walaupun
tidak ada temuan akibat gagalnya pengumpulan data atau tidak ada
laporan tertulis. Proses evaluasi dapat membantu staf program
dalam memperjelas apa yang sedang dikerjakan, menetapkan
prioritas, memfokuskan sumberdaya dan aktivitas pada hasil-hasil
yang bersifat spesifik, serta mengidentifikasi hal-hal yang dipandang
sebagai kelemahan bahkan sebelum data dikumpulkan.
WHO. Ada begitu banyak dan beragamnya kepentingan di sekitar
evaluasi. Administrator, pejabat publik, pemberi dana, staf program,
klien, pemimpin komunitas, dan publik pada umumnya, kesemuanya
mungkin mempunyai kepentingan dalam evaluasi, namun derajat
dan hakekat kepentingan mereka akan beragam. Pihak konstituen
yang berbeda menggunakan evaluasi secara berbeda. Staf program
adalah pihak yang sangat mungkin mendapatkan manfaat dari
proses evaluasi, seperti proses memperjelas tujuan, melihat
keterkaitan antara implementasi dan hasil, serta memikirkan cara
untuk meningkatkan efektifitas. Penyandang dana dan komunitas
sangat mungkin akan menggunakan data yang dipublikasikan serta
temuan-temuan tertulis. Administrator seringkali menggunakan
16 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

evaluator sebagai konsultan manajemen. Namun, patut


dikemukakan bahwa tidak ada satupun evaluasi yang mampu
melayani semua konstituen atau stakeholders sama baiknya (equally
well). Karenanya, baik secara implisit maupun eksplisit, setiap
rancangan evaluasi pasti akan menghasilkan bias terhadap
kebutuhan informasi dan proses dari beberapa konstituen atau
stakeholder tertentu (biasa disebut konstituen atau stakeholder
utama) dibanding konstituen atau stakeholder lainnya.
WHEN. Literatur awal tentang penggunaan evaluasi difokuskan pada
dampak tindakan yang bersifat seketika (immidiate action impacts).
Namun peneliti berikutnya menemukan bahwa penggunaan evaluasi
lebih bersifat inkremental dibanding seketika. Hal ini berarti bahwa,
dalam banyak kasus, proses evaluasi akan membuat perbedaan
sejalan dengan waktu dan temuan evaluasi digunakan dan
didiskusikan sepanjang kurun waktu tertentu. Dengan demikian,
dampak inkremental untuk kurun waktu yang lebih lama mungkin
lebih penting dalam banyak kasus. Sebenarnya, hakekat inkremental
dari evaluasi sejalan dengan hakekat inkremental dari kebanyakan
proses pembuatan keputusan.
WHERE. Secara ideal, evaluasi dapat dimanfaatkan pada setiap level
pemerintahan, baik di tingkat instansi lokal (seperti dinas atau
lembaga teknis daerah lainnya) maupun di tingkat pemerintahan
nasional. Namun, dalam kenyataannya, kebutuhan informasi dari
unit pemerintahan ini sangat berbeda. Pejabat di tingkat nasional dan
penyandang dana bagi program ternyata mempunyai kebutuhan dan
sistem evaluasi mereka sendiri. Penyandang dana pada level nasional
seringkali mempersyaratkan pengumpulan data yang sifatnya
memaksa pada unit-unit di tingkat lokal yang justru seringkali
mereka anggap tidak berguna. Sementara data yang dikumpulkan
oleh prakarsa lokal jarang memenuhi kebutuhan baik pemerintah
pusat maupun penyandang dana nasional. Unit lokal lebih menyukai
data-data yang bersifat spesifik sesuai situasi dan sangat bersifat
idiosinkratik. Sebaliknya, unit-unit yang lebih besar cenderung lebih
menyukai data yang sudah dibakukan yang akan membuat agregasi
dan komparasi menjadi lebih mudah. Semua dimensi penggunaan
akan sangat beragam sesuai dengan dimana evaluasi digunakan.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 17


Laporan Akhir

WHY. Pertanyaan mengenai mengapa evaluasi digunakan lebih


difokuskan pada pembedaan antara evaluasi formatif dan sumatif.
Pembedaan yang bersifat klasik ini dimaksudkan untuk
mendefinisikan perbedaan bentuk penggunaan evaluasi. Hal ini
berarti evaluasi ditujukan pada pengembangan dan perbaikan
program versus evaluasi yang ditujukan pada keputusan utama
tentang dilanjutkan/tidak dilanjutkan dan/atau keputusan pendanaan
utama. Namun, kenyataannya pertanyaan mengapa lebih kompleks
dari itu. Alasan mengapa evaluasi digunakan terkait dengan sejumlah
faktor seperti alasan politik, dimensi kepribadian, nilai-nilai pribadi,
integritas pribadi dan motivasi dan sebagainya. Namun James Burry
(1984), seperti dikutip Palumbo (1989), mengemukakan bahwa ada 3
(tiga) faktor utama yang mempengaruhi mengapa evaluasi perlu
dilakukan, yaitu :
Pertama, faktor manusia (human factors). Faktor ini mencerminkan
karakteristik evaluator dan pengguna dengan pengaruh yang begitu
kuat pada penggunaan evaluasi. Termasuk disini adalah sejumlah
faktor penting seperti: (1) Sikap dan kepentingan terhadap program
dan evaluasinya, (2) Latar belakang dan posisi organisasi mereka, dan
(3) Tingkat pengalaman profesional mereka.
Kedua, faktor konteks (context factors). Faktor kedua ini terdiri dari
sejumlah hal seperti: (1) Hambatan persyaratan dan fiskal yang
dihadapi evaluasi, dan (2) Hubungan antara program yang dievaluasi
dan segmen lainya dari organisasi yang lebih luas serta komunitas
sekitar.
Ketiga, faktor evaluasi (evaluation factors). Faktor ini merujuk pada
sejumlah hal, seperti: (1) Tindakan aktual dari evaluasi; (2) Prosedur
yang digunakan dalam melakukan evaluasi, dan (3) Kualitas informasi
yang tersedia.
Namun perlu dikemukakan disini bahwa sangat sulit untuk
membedakan faktor-faktor tersebut dilihat dari tingkat pentingnya.
Sesungguhnya itulah kelemahan utama dari sintesa yang
dikemukakan Burry ini.
HOW. Sedikitnya ada dua dimensi yang perlu dipertimbangkan
dalam melihat bagaimana evaluasi digunakan yaitu: (1) Direncanakan

18 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

(planned) atau tidak direncanakan (unplanned); (2) Formal atau


informal.
Penggunaan evaluasi yang direncanakan terjadi saat maksud
penggunaan evaluasi diidentifikasi dari awal dan penggunaan
selanjutnya ditentukan oleh penggunaan yang direncanakan atau
berdasaarkan maksud dan tujuan tertentu (planned or intended use).
Sedangkan penggunaan yang tidak direncanakan terjadi saat
evaluasi dirancang tanpa perhatian tertentu terhadap pertanyaan
tentang pemanfaatan evaluasi dan pertanyaan tentang penggunaan
evaluasi sampai data dikumpulkan dan dianalisis.
Riset awal tentang pemanfaatan evaluasi difokuskan pada
penggunaan formal, yaitu penggunaan publikasi temuan yang
bersifat publik, dapat diamati, dan eksplisit. Sedangkan penggunaan
yang bersifat informal berkaitan dengan transfer temuan dari mulut
ke mulut, dalam kelompok diskusi yang tidak direncanakan, dan
interaksi antarpribadi antara evaluator dan staf program, serta
administrator dan penyandang dana.

2.1.5. Kontinuum Evaluasi Kebijakan


Evaluasi kebijakan bukan hanya sekedar aktivitas yang ada pada
akhir siklus kebijakan. Evaluasi kebijakan harus dipertimbangkan
sejak awal siklus. Dengan demikian evaluasi kebijakan harus
dipandang sebagai sebuah kontinuum yang dimulai dengan analisis
kebijakan sebelum kebijakan program ditetapkan (ex-ante policy
analysis) sampai pada evaluasi kebijakan pasca implementasi
kebijakan (ex-post policy evaluation). Berikut adalah penjelasan lebih
rinci tentang kontinuum evaluasi kebijakan.
Analisis kebijakan ex-ante meliputi kegiatan seperti: (1) Identifikasi
dan klarifikasi masalah kebijakan; (2) Spesifikasi kriteria yang
digunakan dalam menguji alternatif yang mendukung dan
menentang (pro dan kontra); (3) Identifikasi rentang alternatif yang
potensial; (4) Analisis kuantitatif dan kualitatif dari alternatif untuk
memperkirakan terpenuhinya kriteria; (5) Komparasi biaya dan
manfaat relatif dari alternatif yang ada, termasuk rekomendasi
tentang alternatif yang dipandang terbaik; dan (6) Spesifikasi dari
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 19
Laporan Akhir

tahapan-tahapan yang dipandang perlu untuk mengimplementasikan


dan mengevaluasi kebijakan.
Policy maintenance meliputi aktivitas yang diambil untuk menjamin
bahwa kebijakan atau program diimplementasikan seperti yang telah
dirancang sebelumnya. Upaya diarahkan untuk memelihara
integritas dari kebijakan saat kebijakan tersebut dialihkan dari tangan
pembuat kebijakan pada instansi atau biro pelaksana. Maksud dari
policy maintenance bukan untuk mencegah dibuatnya perubahan
yang memang harus dilakukan, tetapi untuk mencegah terjadinya
perubahan yang tidak sistematis dan untuk mencatat perubahan
yang dipandang bermanfaat agar dikenali dan dapat
dipertimbangkan selama evaluasi program.
Pemantauan kebijakan (policy monitoring) adalah proses pencatatan
perubahan dalam sejumlah peubah kunci (key variables) setelah
implementasi kebijakan atau program. Pemantauan kebijakan
menentukan apakah setiap perubahan yang terjadi merupakan hasil
dari kebijakan yang diimplementasikan. Untuk itu peubah kunci harus
dapat diidentifikasi, cara cepat untuk mengukur perubahan dari
peubah harus dapat dibuat, dan proses pemantauan harus bebas dari
sikap bias pendukung program maupun para detraktor.
Ex-post policy evaluation meliputi pengujian atas tercapainya sasaran.
Hal ini membutuhkan keterhubungan informasi yang bersifat
kualitatif maupun kuantitatif yang diperoleh selama pemantauan
kebijakan atas tujuan, sasaran dan kriteria program, serta
menentukan apakah kebijakan harus dilanjutkan karena telah
mencapai sasarannya, atau harus dihentikan karena kekurangan
upaya atau adanya konsekuensi negatif yang tidak diharapkan.

2.2. Pendekatan dan Metode Evaluasi Kebijakan


Menurut Patton dan Sawicki (1986 : 311-321) ada 6 pendekatan dasar
terhadap evaluasi kebijakan atau program.
Pertama, perbandingan pra-dan-pasca implementasi kebijakan atau
program (before-and-after comparisons). Pendekatan ini mencoba
membandingkan kondisi (penduduk atau lokasi) sebelum kebijakan

20 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

atau program diimplementasikan dengan setelah kebijakan atau


program diimplementasikan. Asumsi dari pendekatan ini adalah
bahwa setiap perbedaan antara data sebelum dan setelah kebijakan
atau program diimplementasikan merupakan hasil (outcomes) dari
kebijakan atau program tersebut.
Kedua, perbandingan antara dengan-dan-tanpa kebijakan atau
program (with-and-without comparisons). Pendekatan ini merupakan
modifikasi dari pendekatan pertama dengan memasukan
perbandingan kriteria yang relevan di lokasi dengan program
dibandingkan dengan lokasi tanpa program, keduanya sebelum dan
sesudah implementasi.
Ketiga, perbandingan antara hasil nyata dengan kinerja yang
direncanakan (Actual-versus-Planned Performance Comparisons).
Pendekatan ini membandingkan data pasca-program yang nyata
atau aktual dengan target yang ditetapkan sebelumnya, biasanya
sebelum program diimplementasikan. Evaluator menetapkan tujuan
dan target spesifik sebagai kriteria evaluasi untuk periode waktu
tertentu, dan mengumpulkan data tentang kinerja yang nyata terjadi.
Akhirnya, evaluator membandingkan kinerja aktual dengan target
kinerja, dan mencoba mencari penjelasan yang tepat atas perbedaan
yang diakibatkan oleh faktor-faktor program maupun non-program.
Keempat, model eksperimental atau yang dikontrol (Experimental or
Controlled Model).

Tabel 2.1.
Pre-Test, Post-Test, Control-Group Evaluation Design
Indicators
Before program status After program status
Treatment Group/TG T1 T2
Control Group/CG C1 C2
T1 : Nilai indikator TG sebelum program diimplementasikan
T2 : Nilai indikator TG sesudah program diimplementasikan
C1 : Nilai indikator CG sebelum program diimplementasikan
C2 : Nilai indikator CG sesudah program diimplementasikan

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 21


Laporan Akhir

Berikut disampaikan sebuah ilustrasi. Ada sebuah program bertujuan


untuk meningkatkan kemampuan membaca di kalangan pelajar.
Siswa secara acak dipilih kedalam kelompok yang memperoleh
perlakuan (T) dan kontrol (C). Nilai sebelum program untuk kelompok
T1 dan C1 harus sama. Jika program berhasil, maka nilai setelah
program dari T2 harus lebih tinggi dibanding C2, dengan asumsi
bahwa eksperiman dilakukan secara benar.
Kelima, model setengah-eksperimental (Quasi-Experimental Models).
Model ini sangat bermanfaat bila eksperiman yang sesungguhnya
tidak dapat dilaksanakan baik disebabkan karena tidak dapat
memilih orang untuk kelompok perlakuan dan kontrol, tidak dapat
mengontrol administrasi program atau kebijakan, atau karena
adanya pembatasan kebijakan terhadap kelompok perlakuan atau
karena program tidak diarahkan pada level individual. Salah satu
rancangan evaluasi setengah-eksperimental yang sering
dipergunakan adalah rancangan evaluasi rangkaian-waktu terputus
(interrupted time-series evaluation design) yang meliputi komparasi
dari kelompok perlakuan beberapa kali baik sebelum maupun
sesudah kebijakan atau program diimplementasikan. Data hasil
rancangan ini diuji untuk menentukan apakah kebijakan atau
program memiliki dampak atau tidak terhadap sasaran. Adapun
rancangan rangkaian waktu ini dapat dilihat secara sederhana dalam
tabel di bawah ini.

Tabel 2.2.
Interrupted Time-Series Evaluation Design
Indicators
Before program status After program status
One group B1-B2-B3-B4 A1-A2-A3-A4
B1-B4 : Nilai indikator bagi kelompok untuk periode observasi sebelum program
diimplementasikan
A1-A4 : Nilai indikator bagi kelompok untuk periode observasi setelah program
diimplementasikan

Sebagai ilustrasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Dirancang sebuah


program yang bertujuan untuk mengurangi ketidak hadiran siswa

22 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

dalam proses belajar (truancy-reduction program). Sebelum program


(B) tingkat ketidak hadiran siswa sebanyak 6 persen, namun setelah
program baru pencegahan ketidak-hadiran siswa dilembagakan
tingkat ketidak hadiran berkurang menjadi hanya 3 persen.
Keenam, pendekatan evaluasi yang berorientasi pada biaya (Cost-
Oriented Evaluation Approach). Pendekatan ini mencoba menilai
kebijakan atau program dengan cara membandingkan biaya untuk
sumberdaya masukan dengan kriteria tertentu. Ada 2 metoda utama
dari pendekatan ini :
1. Cost-Benefit Analysis, yaitu analisis yang mencoba
membandingkan hasil terhadap masukan dengan keduanya
dinyatakan dalam bentuk uang.
2. Cost-Effectiveness Analysis, yaitu metoda yang dipergunakan
untuk mengidentifikasi cara mencapai sasaran dengan biaya
minimal. Dapat juga dikatakan bahwa analisis ini mencoba
membandingkan biaya dengan cara berbeda dalam mencapai
sasaran yang dapat diukur.
Selain itu, secara spesifik William Dunn mengembangkan 3
pendekatan evaluasi kebijakan publik dengan tujuan dan asumsi-nya
masing masing berikut ini.

Tabel 2.3.
Pendekatan Evaluasi Kebijakan (Dunn, 2010)

Pendekatan Tujuan Asumsi Bentuk Utama Tehnik

Evaluasi Semu Menggunakan Ukuran Eksperimentasi Sajian grafik,


metode manfaat atau sosial, akuntansi tampilan tabel,
deskriptif nilai terbukti sistem sosial, angka indeks,
untuk dengan pemeriksaan analisis
menghasilkan sendirinya sosial, sintesis rangkaian
informasi atau tidak riset dan praktek waktu
valid tentang kontroversial terinterupsi,
hasil analisis seri
kebijakan terkontrol,
analisis
diskontinyu-
regresi

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 23


Laporan Akhir

Pendekatan Tujuan Asumsi Bentuk Utama Tehnik

Evaluasi Menggunakan Tujuan dan Evaluasi Pemetaan


Formal metode sasaran dari perkembangan, sasaran,
deskriptif pengambil evaluasi klarifikasi nilai,
untuk kebijakan dan eksperimental, kritik nilai,
menghasilkan administrator evaluasi proses pemetaan
informasi yang secara retrospektif (ex- hambatan,
yang resmi post), evaluasi analisis
terpercaya diumumkan hasil retrospektif dampak silang,
dan valid merupakan discounting
mengenai ukuran yang
hasil tepat dari
kebijakan manfaat atau
secara formal nilai
diumumkan
sebagai
tujuan
program-
kebijakan
Evaluasi Menggunakan Tujuan dan Penilaian Brainstorming,
Keputusan metode sasaran dari tentang dapat- analisis
Teoritis deskriptif berbagai tidaknya argumentasi,
untuk pelaku yang dievaluasi, Delphi, analisis
menghasilkan diumumkan analisis utilitas survei pemakai
informasi secara formal multi-atribut
yang ataupun diam-
terpercaya diam
dan valid merupakan
mengenai ukuran yang
hasil tepat dari
kebijakan manfaat atau
yang secara nilai
eksplisit
diinginkan
oleh berbagai
pelaku
kebijakan

Tipe Evaluasi Kebijakan Publik


Ada begitu banyak tipe evaluasi kebijakan publik yang dikemukakan
oleh sejumlah kalangan, sesuai dengan sudut pandangnya masing-
masing. Nugroho (2003), misalnya, mengemukakan tipe evaluasi
sebagai berikut:

24 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

1. Evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi


kebijakan (proses dan hasilnya) dengan implementasi
kebijakan yang sama atau berlainan, di satu tempat atau
berlainan;
2. Evaluasi historikal, yaitu membuat evaluasi kebijakan
berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan tersebut;
3. Evaluasi laboratorium atau eksperimental, yaitu evaluasi
dengan menggunakan eksperimen yang diletakkan dalam
laboratorium;
4. Evaluasi ad hoc, yaitu evaluasi yang dilakukan secara
mendadak dalam waktu sesaat dengan tujuan untuk
mendapatkan gambar pada saat itu (snapshot).
Selain itu, James Anderson (1990) membagi evaluasi kebijakan publik
menjadi tiga, yaitu:
1. Evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan
fungsional.
2. Evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan.
3. Evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara objektif
program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur
dampaknya bagi masyarakat dan sejauh mana tujuan yang
ada telah dicapai.
Terakhir, Finance (1994), seperti dikutip Badjuri dan Yuwono (2003),
mengemukakan 4 tipe evaluasi kebijakan berdasarkan pada aspek
pengujian dasarnya seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.4.
Tipe Evaluasi (Finance, 1994)
No Tipe Evaluasi Pengujian dasar
1 Evaluasi Kecocokan 1. Apakah kebijakan yang sedang berlangsung cocok
untuk dipertahankan?
2. Apakah kebijakan baru dibutuhkan untuk mengganti
kebijakan tersebut ?
3. Siapakah seharusnya yang menjalankan kebijakan
publik tersebut: pemerintah atau sektor swasta ?

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 25


Laporan Akhir

No Tipe Evaluasi Pengujian dasar


2 Evaluasi Efektifitas 1. Apakah program kebijakan tersebut menghasilkan
hasil dan dampak yang diharapkan ?
2. Apakah tujuan yang dicapai dapat terwujud ?
3. Apakah dampak yang diharapkan sebanding dengan
usaha yang telah dilakukan ?
3 Evaluasi Efisiensi 1. Apakah input yang digunakan telah mendapatkan
hasil sebanding dengan output kebijakannya ?
2. Apakah cukup efisien dalam penggunaan keuangan
publik untuk mencapai dampak kebijakan tersebut ?
4 Evaluasi Meta 1. Apakah evaluasi yang dilakukan oleh lembaga
berwenang sudah profesional ?
2. Apakah evaluasi tersebut sensitif terhadap kondisi
sosial, kultural dan lingkungan ?
3. Apakah evaluasi tersebut menghasilkan laporan yang
mempengaruhi pilihan-pilihan manajerial ?

Berdasarkan uraian tentang berbagai aspek evaluasi kebijakan atau


program sebagaimana dikemukakan di atas, maka ada beberapa
substansi pokok dari evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Perhatian utama evaluasi kebijakan adalah penjelasan
(explanation) dan peramalan (prediction).
2. Evaluasi kebijakan tergantung pada bukti dan analisis empiris.
3. Evaluasi kebijakan mempunyai 3 fungsi pokok, yaitu : (a)
Memberikan informasi yang valid tentang kinerja
kebijakan. Evaluasi dilakukan atas kinerja dari proses
implementasi kebijakan yang dievaluasi dengan melihat
seberapa baik kebijakan tersebut dapat memecahkan masalah
dan sejauh mana kebijakan publik dapat efektif sebagai
instrumen solusi; (b) Menilai kepantasan tujuan atau target
dengan masalah yang dihadapi; (c) Memberikan kontribusi
pada kebijakan lain dengan menghasilkan rekomendasi atas
kebijakan yang dievaluasi.

26 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

2.3. Konsep, Dinamika, dan Problematika Reformasi Birokrasi


2.3.1. Konsep Reformasi Birokrasi
Riyadi (2008) menjelaskan bahwa birokrasi merupakan salah satu
unsur administrasi negara yang menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan seperti regulasi, perijinan, pelayanan publik dan
pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya yang ada. Peran,
fungsi dan otoritas yang dimiliki inilah yang menjadikan birokrasi
sebagai organisasi yang sangat strategis.
Dalam kaitan penyelenggaraan pemerintahan, sifat dan lingkup
pekerjaannya, serta kewenangan yang dimilikinya birokrasi
menguasai aspek-aspek yang sangat luas dan strategis. Birokrasi
menguasai kewenangan terhadap akses-akses seperti sumber daya
alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses
pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain.
Dengan posisi, kemampuan, dan kewenangan yang dimilikinya
tersebut, birokrasi bukan saja mempunyai akses yang kuat untuk
membuat kebijakan yang tepat secara teknis, tetapi juga untuk
memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat dan dunia usaha.
Selain itu, birokrasi dengan aparaturnya juga memiliki berbagai
keahlian teknis terspesialisasi yang tidak dimiliki oleh pihak-pihak
diluar birokrasi, seperti dalam hal perencanaan pembangunan,
pengelolaan infrastruktur, penyelenggaraan pendidikan, pengelolaan
transportasi dan lain-lain.
Dalam konteks policy making process, birokrasi di Indonesia juga
memegang peranan penting pada semua tahapan mulai dari tahap
perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan
publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dari gambaran di atas
nyatalah, bahwa birokrasi di Indonesia memiliki peran yang cukup
besar. Besarnya peran birokrasi tersebut akan turut menentukan
keberhasilan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakan
pembangunan. Jika birokrasi buruk, upaya pembangunan akan
dipastikan mengalami banyak hambatan. Sebaliknya, jika birokrasi
bekerja secara baik, maka program-program pembangunan akan
berjalan lebih lancar. Pada tataran ini, birokrasi menjadi salah satu
prasyarat penting keberhasilan pembangunan.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 27


Laporan Akhir

Peran birokrasi dengan fungsi administrasi negara dilakukan oleh


birokrasi. Jadi birokrasi diartikan sebagai keseluruhan lembaga
pemerintahan negara, yang meliputi aparatur kenegaraan, aparatur
pemerintahan, serta sumber daya manusia birokrasi yang terdiri atas
pejabat negara dan pegawai negeri.
Birokrasi secara leksikal berarti alat kelengkapan negara, terutama
meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian,
yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan
sehari-hari. Secara umum, pembangunan birokrasi mencakup
berbagai aktivitas terencana yang berkelanjutan yang ditujukan
untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dalam menjalankan
fungsi-fungsinya (Adi Suryanto, 2012).
Pembangunan birokrasi yang bersih dan bebas KKN menyangkut
seluruh sendi birokrasi, bukan hanya PNS/birokrat, namun meliputi
pembangunan struktur, sistem, business process, dan karakter/etika
moral. Secara terencana pembangunan Birokrasi pun dilakukan
melalui sebuah proses multidimensi yang disebut Reformasi
Birokrasi. Secara khusus Presiden telah menetapkan Perpres
No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025.
Upaya penataan pembangunan birokrasi yang komprehensif seperti
inilah yang secara substansi oleh Sofian Effendi (2010) disebut juga
sebagai reformasi birokrasi.
Konsep tentang reformasi birokrasi ini seringkali diperhadapkan vis-
a-vis dengan konsep tentang reformasi administrasi. Namun,
reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan bagian dari reformasi
administrasi negara (Caiden dalam Efendi. 2006, Riyadi.2008). Dalam
pengertian yang luas, Wallis (1989) mengemukakan bahwa
“Administrative reform means an induced, permanent improvement in
administration” (Wallis 1989, 170). Sayangnya, permanent
improvement sebagaimana yang diinginkan melalui upaya reformasi
ini dalam kenyataannya sering menghadapi ironi. Gerald Caiden
dalam bukunya “Administrative Reform Comes of Age” (dalam Effendi,
2010) mengungkapkan reformasi sistem administrasi tidak pernah
mencapai inti permasalahan tetapi hanya formalitas semata.
Reformasi tersebut tidak cukup luas dan mendalam. Bahkan cukup

28 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

banyak negara yang tidak memberikan perhatian yang cukup


memadai pada reformasi administrasi.

2.3.2. Dinamika Reformasi Birokrasi


Terkait dengan dinamika reformasi administrasi negara, di Indonesia
reformasi birokrasi pemerintah merupakan bagian dari tuntutan
reformasi secara total yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial,
dan hukum (Riyadi, 2008). Riyadi mengutip pendapat Tjokroamidjojo
(2001) yang mendefinisikan reformasi sebagai berikut: “reformasi
dari suatu sistem dan budaya politik yang paternalistik, otokratik,
monolitik dan sentralistik dengan regimentasi terlalu kuat dan KKN,
ke arah suatu sistem dan budaya politik yang lebih terbuka,
demokratis, egaliter dan toleran, dimana pemeran utama ekonomi
adalah masyarakat dalam sistem pasar yang lebih fair”
Dengan merujuk pada Buku Putih Reformasi Administrasi Negara
yang diterbitkan Lembaga Administrasi Negara (2010), dinamika
reformasi administrasi negara memiliki 4 (empat) dimensi penting,
yaitu: (1) Kelembagaan: desentralisasi, penataan organisasi dan
kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat; (2)
Ketatalaksanaan: Akuntabilitas, Transparansi, Penegakan hukum,
Orientasi pasar, Pelayanan berorientasi publik, dan E-Government; (3)
Sumberdaya Aparatur: Paradigma manajemen SDM, dan
menajemen kepegawaian daerah; dan (4) Pola hubungan birokrasi
dengan lingkungan politik, ekonomi, masyarakat sipil dan
masyarakat Internasional.

2.3.3. Problematika Reformasi Birokrasi


Di tengah posisinya yang cukup strategis, birokrasi di Indonesia sulit
menghindar dari berbagai kritik yang hadir. Masyarakat Transparansi
Indonesia (MTI) mencatat setidaknya ada 7 poin penting dari kritik
tersebut, yaitu: (1) Buruknya pelayanan publik; (2) Besarnya angka
kebocoran anggaran negara; (3) Rendahnya profesionalisme dan
kompetensi PNS; (4) Sulitnya pelaksanaan koordinasi antarinstansi;
(5) Masih banyaknya tumpang tindih kewenangan antarinstansi,

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 29


Laporan Akhir

aturan yang tidak sinergis dan tidak relevan dengan perkembangan


aktual, dan masalah-masalah lainnya; (6) Birokrasi juga dikenal
enggan terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan terlalu dominan,
sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan
sentuhan-sentuhan birokrasi; dan (7) Tingginya biaya yang
dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal
cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu
layanan yang harus dilewati dan tidak berperspektif pelanggan.
Kritik yang dikemukakan MTI tersebut dalam konteks konseptual
biasa disebut sebagai patologi birokrasi untuk mendeskripsikan
bagaimana birokrasi telah memiliki penyakit yang menjadikannya
tidak dapat bekerja secara efektif dan efisien. Adi Suryanto (2012)
mengemukakan berbagai bentuk patologi birokrasi yang telah terjadi
selama ini, sangat mempengaruhi efektivitas birokrasi dalam
melaksanakan berbagai fungsinya. Sebut saja kualitas pelayanan
publik yang rendah, timbulnya praktek KKN, inefisiensi dalam
pengelolaan keuangan negara, kapasitas kinerja pemerintah yang
kurang, aparatur yang tidak professional, dan sederet citra buruk
birokrasi di Indonesia lainnya. Sedangkan Makmur (2009) melihat
patologi birokrasi didorong karena adanya dekadensi moral terkait
dengan berbagai bentuk tindakan persekongkolan (konspirasi)
seperti persekongkolan jabatan, persekongkolan pekerjaan,
persekongkolan status, persekongkolan kolega, persekongkolan
keluarga, dan persekongkolan pertemanan. Dalam konteks seperti
inilah reformasi birokrasi harus diletakkan.
Sementara itu, Irfan Islamy (1997) mengemukakan bahwa upaya
untuk mereformasi birokrasi merupakan sebuah agenda publik yang
tidak terelakkan. Dalam tataran konseptual, idealnya, sebuah
reformasi birokrasi diarahkan untuk mengakomodasi sejumlah
karakter dasar dari Birokrasi, yakni:
1. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas
yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan
masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan
kekuasaan dan kewenangan.
2. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang
bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efisien
30 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu


ditangani dan yang tidak perlu ditangani-termasuk membagi
tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat.
3. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem
dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri
organisasi modern yakni: pelayanan cepat, tepat, akurat,
terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efisiensi
biaya dan ketepatan waktu.
4. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan
publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan.
5. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri
dari birokrasi yang kinerjanya kaku-rigid-menjadi organisasi
birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif,
fleksibel dan responsif.
Namun, upaya untuk melakukan reformasi birokrasi tersebut tidak
mudah dan bersifat kompleks karena harus menghadapi sejumlah
hambatan dan tantangan. Dalam perspektif politik, Siti Zuhro (2012)
mengemukakan bahwa tantangan pembangunan sistem dan standar
kerja birokrasi yang profesional berasal baik dari lingkungan internal
dan eksternal birokrasi. Dilihat dari lingkungan internal, terdapat
dua hambatan utama. Pertama, budaya birokrasi. Budaya itu
terwujud dalam perilaku yang korup dan tidak berorientasi pada
pelayanan. Kedua, di Indonesia kelompok birokrat sudah lama
menjadi kelompok kepentingan ekonomi. Implikasi dari tantangan
internal ini menjadikan sistem dan standar kerja birokrasi yang
profesional yang coba dibangun menjadi tidak mudah. Sementara
itu, dari sisi eksternal, hambatan tersebut terutama berasal dari
politisi dan partai politik. Bagi mereka birokrasi dipandang sebagai
sarana untuk memperoleh dan melanggengkan kekuasaan. Di era
Orde Baru, misalnya, pegawai negeri sipil (PNS) dan birokrasi telah
dijadikan sebagai mesin politik. Birokrasi yang mestinya bekerja
secara efisien dan efektif dalam melayani dan mewujudkan
kesejahteraan rakyat berubah menjadi semacam kekuatan politik
yang mengejar target partai dan rezim yang berkuasa.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 31


Laporan Akhir

Sedangkan Anwar Sanusi (2012) menyebutkan bahwa ada 6


tantangan pokok dalam melaksanakan reformasi birokrasi, yaitu :
1. Masih rendahnya indeks persepsi korupsi (IPK) pada tahun
2011 mempunyai skor 3,0, yang masih jauh dari target 2014
dengan IPK = 5.00;
2. Semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap
pemerintah (survei Kompas dan LSI, Januari 2012);
3. Tantangan dan hambatan dalam pencapaian tujuan tersebut
masih besar. Integritas instansi publik relatif tertinggal jauh
dari negara tetangga;
 Phillipines, Thailand, Malaysia sudah menerapkan Citizen
Charter sejak 1990an.
 Malaysia saat ini tengah mengembangkan Regulation
Impact Analysis (RIA)
 Brunei Darussalam sudah pada posisi 68 pada EGI
4. Praktek KKN terjadi pada semua cabang pemerintahan,
sehingga pemberantasannya bertambah sukar. Untuk
memberantas praktek KKN perlu penindakan tegas terhadap
para pelaku, dimulai dari pejabat atasan;
5. Reformasi birokrasi kedepan harus bisa memberikan jaminan
adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daya
saing;
6. Kepemimpinan birokrasi masih belum menunjukkan karakter
yang kuat dan bebas dari kepentingan politik.
Dalam dinamika dan permasalahan reformasi birokrasi seperti itulah
maka konteks pentingnya pembangunan birokrasi harus diletakkan.
Hakikatnya, pembangunan birokrasi diperlukan untuk mengikis
berbagai fenomena negatif yang selama ini melekat pada birokrasi.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika pelaksanaan pembangunan
birokrasi tersebut difokuskan pada upaya memperbaiki kinerja
pelayanan publik, penuntasan masalah KKN, pelaksanaan reformasi
birokrasi, dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
profesionalisme birokrasi serta mewujudkan tata pemerintahan
32 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

yang baik (good governance), baik di pusat maupun di daerah agar


mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya.

2.3.4. Indikator Capaian Reformasi Birokrasi


Menurut Adi Suryanto (2012) beberapa indikator program RB yang
selama ini dipergunakan, antara lain Indeks Persepsi Korupsi (IPK),
Opini BPK (WTP), Integritas Pelayanan Publik, Peringkat Kemudahan
Berusaha, Government Effectiveness Index, maupun Instansi
pemerintah yang akuntabel (SAKIP), belum memberikan gambaran
secara komprehensif atas pencapaian dengan sampling pada kota-
kota tertentu, dan dinilai tidak mampu menggambarkan kondisi
seluruhnya. Indikator lain, opini WTP juga ternyata tidak menjamin
bahwa tidak ada korupsi di pemerintah/pemerintah daerah. Meski
beberapa berbagi indikator masih dapat dimanfaatkan, namun upaya
pembangunan birokrasi memerlukan indikator yang lebih
komprehensif.
Adapun usulan indikator bidang pembangunan birokrasi dapat dilihat
pada tabel berikut ini.

Tabel 2.5.
Indikator Bidang Pembangunan Aparatur Negara
Sasaran Indikator Data Sumber Level Ket
Data Pengukuran
A. Peningkatan Penyelenggaraan Aparatur yang Bersih dan Bebas KKN
Peningkatan Peningkatan Indeks World Bank Level nasional Jenis
Pencegahan Indeks Pencegahan (hasil sampling) Pengumpulan
Korupsi Pencegahan Korupsi data melalui
Korupsi Survei

Peningkatan Indeks Sistem Indeks Sistem KPK Level nasional Data belum
Sistem Integritas Integritas (Sesuai terbangun
Integritas Nasional Nasional Perpres
Nasional 55/2012)

Peningkatan Peningkatan Indeks Survei Level nasional Data belum


Perilaku Anti Indeks Perilaku Anti (Sesuai terbangun
KKN Perilaku Anti KKN Perpres
KKN 55/2012)

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 33


Laporan Akhir

Sasaran Indikator Data Sumber Level Ket


Data Pengukuran

Penegakan Peningkatan Indeks Polri, Level nasional Data belum


Hukum Indeks Penegakan Kejagung, (agregat) terbangun
Tipikor Penegakan Hukum KPK
Hukum Tipikor (Sesuai
Tipikor Perpres
55/2012)

Penurunan Penurunan Jumlah Kasus Polri, Level nasional Data belum


Tipikor Kasus hukum hukum yang Kejagung, (agregat) terbangun
dalam terungkap KPK
pengadaan dalam
barang dan pengadaan
jasa Barjas

B. Peningkatan Akuntabilitas dan Kapasitas Kinerja Birokrasi


Perbaikan Orientasi BPK Level nasional Data belum
Kinerja Anggaran (agregat) terbangun
Keuangan Pada
Pemerintah Pelayanan
Publik

Perbaikan Opini BPK Persentase BPK Level nasional Data telah


pengelolaan WTP (agregat) terbangun
keuangan
negara

Peningkatan Government Government World bank Level nasional Hasil survei


kualitas dan Effectiveness Effectiveness (hasil sampling) (data telah
Profesionalis Index Index terbangun)
me Birokrasi

Kemampuan Peningkatan Government Level nasional Data belum


inovasi kemampuan Innovation (agregat dari terbangun
inovasi Index level K/L dan
pemerintah Pemda)

Perbaikan Penurunan Persentase BPS Level nasional Data telah


Tingkat Angka Penduduk terbangun
Ekonomi Kemiskinan Miskin
C. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Peningkatan Tingkat Rasio capaian Kementrian Level nasional Data belum
Pencapaian Pencapaian SPM dan terkait , (agregat) terbangun
SPM SPM standar yang BPS,
ditetapkan Kemendagri
untuk , Bappenas
berbagai
bidang
pelayanan

34 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Sasaran Indikator Data Sumber Level Ket


Data Pengukuran

Perbaikan Tingkat Komposit dari Kementrian Level nasional Data belum


Ketersediaan Ketersediaan rasio terkait, BPS, (agregat) terbangun
Tenaga Tenaga ketersediaan Bappenas
Pelayanan Pelayanan tenaga
pelayanan
dibanding
jumlah
penduduk
dan rasio
jumlah
tenaga
pelayanan
dibanding
kecamatan

Peningkatan Peningkatan Indeks BPS, Level nasional (Data telah


Pembangun- Indeks Pembangun- Bappenas (agregat) terbangun)
an Manusia Pembangun- an Manusia
an Manusia

Peningkatan Peningkatan Indeks Data belum Level nasional Survei


Indeks Indeks Kepuasan terbangun (agregat)
Kepuasan Kepuasan terhadap
Terhadap terhadap Pelayanan
Sarana Pelayanan Publik
Pelayanan Publik
Publik Public Trust

Peningkatan Peningkatan Ease of Doing World bank Level nasional Survei (Data
Peringkat Ease of Doing Business (hasil sampling) telah
Kemudahan Business Index terbangun)
Berusaha

Peningkatan Peningkatan Indeks KPK Level nasional Survei (Data


Integritas Indeks Integritas (hasil sampling) telah
Pelayanan Integritas Pelayanan terbangun)
Publik Pelayanan Publik Pusat
Publik Pusat dan Daerah
dan Daerah

2.4. Pelayanan publik


Berkaitan dengan pelayanan publik akan dikemukakan sejumlah teori
relevan, seperti pelayanan publik secara umum maupun aspek-aspek
yang lebih spesifik dari pelayanan pelayanan publik seperti perbaikan
pelayanan publik (public service improvement)
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 35
Laporan Akhir

Jean Hartley et.al. (2008) mengemukakan bahwa pelayanan publik


merupakan hal yang sangat penting karena beberapa hal. Pertama,
pelayanan publik penting karena skala-nya. Dengan merujuk pada
data OECD pada tahun 2000 pengeluaran untuk pelayanan publik ini
menyerap sekitar 37 persen dari GDP. Pada tahun-tahun terakhir
kecenderungan besaran pengeluaran untuk pelayanan publik ini
cenderung meningkat. UK, misalnya, meningkat menjadi 45 persen
pada tahun 2005. Selain itu, pelayanan publik merupakan big business
bila kita melihat besar pengeluaran, jumlah tenaga kerja atau
pegawai yang bekerja didalamnya, ukuran organisasinya, investasi
yang dikeluarkan, serta barang dan jasa yang dihasilkannya. Pegawai
yang bekerja di sektor pelayanan di UK pada tahun 2006, misalnya,
mencakup 20,2 persen dari total tenaga kerja atau pegawai yang ada.
Hartley et.al juga mengemukakan bahwa pelayanan publik sangat
kritis bagi daya saing suatu negara. Menurut mereka konsep negara
kesejahteraan merupakan sebuah bagian penting dari pelayanan
publik. Demikian pula pelayanan publik memainkan peran penting
dalam membangun kondisi dan infrastruktur bagi sektor swasta,
serta berperan penting dalam membangun integritas negara bangsa.
Pemerintah juga menyediakan infrastruktur untuk mendukung
pembangunan manufaktur dan perdagangan seperti jalan dan
transportasi, pengembangan bisnis, pelatihan pasar tenaga kerja,
pengaturan dan pengawasan perdagangan dan sejenisnya.
Namun, Hartley et.al juga mengemukakan sejumlah tantangan atas
perspektif tentang pentingnya pelayanan publik bagi masyarakat dan
perekonomian. Perspektif tandingan tersebut didasarkan pada dua
argumen pokok. Pertama, terutama didukung oleh kaum ekonomi
neo-liberal, pemerintah yang besar merupakan lawan (anathema)
terhadap sebuah masyarakat yang bebas dan sejahtera. Karena itu,
“public services should be limited only to situations of clear market
failure (or anticipated failure), and that, where state services do have to
exist, clear controls over public servants through, for example,
performance targets are essential.” Pemikiran ini sangat dipengaruhi
oleh pemikiran Kanan Baru yang menekankan pentingnya
keutamaan pasar dengan pelayanan publik yang lebih kecil dan lebih
efisien. Kedua, terkait dengan sifat kepublikan (the publicness) dari
pelayanan publik serta keterkaitannya dengan konsep new public
36 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

management. Pemikiran dan gagasan manajemen dalam konteks


tertentu dari organisasi pelayanan publik ternyata bisa juga
diterapkan pada lintas-bisinis, lintas-organisasi, dan lintas-sektor.
Pandangan konvergensi tentang sektor publik dan privat menjadikan
implementasi dari gagasan dan praktek manajemen sebagai hal yang
mudah (atau problematik) semudah menggunakan gagasan dan
praktek manajemen di sektor privat. Hal ini membuat kajian tentang
dampak sektor publik terhadap manajemen menjadi hal yang tidak
relevan.
Perbaikan layanan publik merupakan hal dimana berbagai
pertanyaan penting bisa diajukan baik pada level teoritik, konseptual,
maupun praktis. Sebagai contoh, sebuah isu yang muncul sebagai
akibat dari adanya kemitraan sektor publik-privat, ko-produksi
dengan organisasi masyarakat sipil, dan bentuk-bentuk baru tata
kelola (governance). Perkembangan ini membuka pertanyaan-
pertanyaan tentang perlunya menyusun metrik pelayanan dan
mengaplikasikan keputusan tersebut, agar dapat diinformasikan
lebih baik dan perubahan kinerja dapat dilacak dan dikelola. Hal ini
akan mengarah pada politik dari manajemen kinerja, metodologi
penilaian pilihan dan pengukuran efisiensi.
Salah satu pendekatan untuk mendefinisikan perbaikan layanan
publik adalah mengukur perubahan kinerja terhadap standar-standar
yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun, pemaknaan seperti ini
dinilai sempit. Kesesuaian terhadap standar mengabaikan baik
kesesuaian standar maupun keberlangsungan standar untuk kurun
waktu tertentu. Mencapai perubahan yang berkesinambungan
merupakan hal yang krusial. Karena itu, pandangan yang lebih luas
tentang perbaikan layanan publik mencakup pertimbangan-
pertimbangan tentang keberlanjutan dan kapasitas perubahan di
masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dinamis masyarakat.
Terakhir, perbaikan layanan publik ini penting karena organisasi
layanan publik sebagian tergantung pada kepercayaan warga dan
keterlibatan mereka dengan elemen-elemen demokratik dari negara.
Organisasi layanan publik dengan demikian perlu dinilai bukan hanya
dalam konteks kemampuan untuk memberikan layanan tetapi juga
kontribusi mereka untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 37


Laporan Akhir

2.5. Kerangka Analisis


Berdasarkan uraian kerangka teoritis serta substansi program
Reformasi Birokrasi sebagaimana diatur dalam PermenPAN dan RB
No.15/2008, maka dapat disusun kerangka pikir untuk kegiatan ini
sebagai berikut.
Gambar 2.1.
Kerangka Pemikiran Evaluasi
A Capaian Kinerja Kualitas Pelayanan
Kondisi awal
pra-RB Program RB Publik

1 Penyelenggaraan
Pemerintahan

2 Pelayanan
Implementasi Masyarakat Umum
Validasi
program RB Hasil Kajian Rekomendasi
3 Pelayanan Dunia
Usaha/Bisnis

B
Identifikasi kekuatan dan kelemahan
program RB

C
Identifikasi Kebijakan (utama, pendukung)

38 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

BAB III
METODE EVALUASI

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi merupakan evaluasi ex-post


yang dilakukan setelah kebijakan atau program diimplementasikan.
Kerangka waktu yang dijadikan fokus analisis dan evaluasi adalah
kurun waktu 2005–2012. Selain itu, dengan merujuk pada tipe
evaluasi menurut William Dunn kegiatan ini juga termasuk evaluasi
formal yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan
informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang
secara formal diumumkan sebagai tujuan program-kebijakan.
Pemahaman tentang tipologi evaluasi ini penting karena terkait
langsung dengan pilihan metode yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuan kajian, pertanyaan pokok dalam evaluasi ini
adalah :
1. Sejauhmana pencapaian kebijakan pembangunan reformasi
birokrasi dalam pencapaian sasaran pembangunan yang telah
ditentukan;
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pencapaian
sasaran;
3. Apa rekomendasi kebijakan yang diusulkan untuk perbaikan
kebijakan pembangunan reformasi birokrasi selanjutnya.

3.1. Metode Evaluasi


Secara umum, metode evaluasi yang digunakan adalah metode
deskriptif-kualitatif. Dengan menggunakan metode deskriptif maka
berdasarkan data dan informasi yang diperoleh akan dapat
digambarkan (describe) bagaimana capaian atau kinerja kebijakan
atau program, apa kendala-kendala atau masalah yang dihadapi,
serta kekuataan apa yang dimiliki oleh suatu kebijakan atau program.
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 39
Laporan Akhir

Sementara itu, metode kualitatif lebih dimaknai sebagai proses untuk


membuat data yang dikumpulkan sebagai hasil dari wawancara,
observasi lapangan, telaah dokumen dan sebagainya menjadi masuk
akal untuk kemudian mempresentasikan apa yang diungkap oleh
data (Caudle 2004, p.417). Sedangkan Ragin (1994, p.93)
menjelaskan, sebagian besar tehnik-tehnik kuantitatif adalah
mengkondensasi data. Data dikondensasi untuk melihat gambaran
umum (big picture). Sebaliknya, metode kualitatif paling baik
dipahami sebagai perluasan data (data enhancers). Ketika data
diperluas atau dikembangkan, memungkinkan kita untuk melihat
aspek-aspek kunci dari kasus secara lebih jelas.
Selanjutnya, untuk meningkatkan keterpercayaan (trustworthiness)
atau validitas kajian ada beberapa hal yang dilakukan yaitu :
1. Triangulasi. Konsep triangulasi merujuk pada upaya untuk
melakukan cross-check data. Triangulasi akan mengurangi
potensi bias sistemik yang dapat terjadi bila kita hanya
menggunakan satu sumber data, metoda, atau prosedur.
Triangulasi bisa dilakukan dengan menggunakan beragam
sumber data (seperti fasilitator, partisipan, observasi),
beragam metode pengumpulan data (seperti wawancara
individual, focus group dan sebagainya), menggunakan lebih
dari satu pewawancara, memperbanyak titik pengumpulan
data (misalnya orang yang sama diwawancara beberapa kali
selama periode waktu tertentu), memperbanyak teori dari
berbagai disiplin keilmuan, dan menggunakan pendekatan
metode campuran (mixed-methods approach)
2. Teori. Teori yang ada saat ini tentang evaluasi kebijakan atau
reformasi birokrasi dapat digunakan untuk memandu riset
kualitatif. Biasanya studi-studi kualitatif yang dipublikasikan
sering menggunakan kerangka teoritis untuk menjustifikasi
metodologi yang digunakan. Kerangka teoritis juga bisa
digunakan untuk menjelaskan dan pemahaman secara
mendalam pada saat menginterpretasikan hasil-hasil
kualitatif.
3. Validasi. Validasi dilakukan dengan melibatkan partisipan
(misalnya dari mereka yang mewakili unit analisis) untuk
40 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

mencek akurasi data dan interpretasinya. Partisipan diberi


kesempatan untuk melakukan review atas data yang diperoleh
dan hasil pembahasannya.
Dalam konteks evaluasi kebijakan atau program, pendekatan
kualitatif sangat mengandalkan pengumpulan data empiris dan
analisis terhadap informasi yang terdokumentasi secara sistematis.
Pengumpulan informasi sebanyak mungkin akan berguna untuk
mengidentifikasi secara lebih pasti hal-hal apa saja yang
menyebabkan kebijakan atau program bisa berlangsung dengan baik
atau tidak. Selain itu, jika diperlukan bisa dilakukan penelusuran lebih
jauh untuk menentukan konteks suatu peristiwa. Hal lain yang
menonjol dari pendekatan ini adalah evaluator mempunyai
kesempatan mengadakan interaksi dalam konteks pelaksanaan
kebijakan atau program sehingga gambaran tentang kebijakan atau
program dapat tergambarkan dengan baik. Hal ini akan membuat
evaluator dapat memahami latarbelakang suatu fenomena yang
muncul dalam pelaksanaan kebijakan atau program.

3.1.1. Desain Evaluasi Program


Tujuan evaluasi adalah mengumpulkan informasi tentang suatu
program. Evaluator walaupun bukan bagian dari pelaku di dalam
program, namun mempunyai aksesibilitas terhadap semua
komponen program. Tujuan utama evaluasi program dengan
pendekatan kualitatif adalah mendapatkan gambaran yang
menyeluruh tentang suatu program di semua aspeknya (Royse et al,
2006). Pendekatan ini menekankan pada upaya untuk mendapatkan
pemahaman lebih luas dari suatu fenomena atau kejadian tertentu.
Tujuan utama digunakannya pendekatan kualitatif ini adalah
menemukan kekuatan dan kelemahan program dari berbagai sudut
pandang.
Berbeda dengan pendekatan kuantitatif, pertanyaan yang menjadi
fokus evaluasi tidak menggambarkan adanya variabel, data yang
dikumpulkan akan ditampilkan dalam bentuk narative, tidak terlalu
mementingkan metode sampling, dan pengolahan data tidak selalu
menggunakan uji statistika tertentu. Biasanya pada pengolahan data

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 41


Laporan Akhir

akan dipilih cara yang lebih banyak menyatakan kualitas interaksi


antara satu data dengan data lainnya dalam konteks
menggambarkan situasi dan kondisi pada saat fenomena tertentu
muncul. Kesimpulannyapun dinyatakan dalam bentuk pernyataan
yang berbentuk deskripsi sehingga orang dapat melihat suatu
gambaran yang utuh tentang suatu program.

3.1.2. Prosedur Evaluasi Program


Prosedur evaluasi program berdasarkan pendekatan kualitatif
biasanya mulai dari mendesain, menentukan sampel, mengumpulkan
data, kemudian menganalisis.
Alat pengumpul data yang digunakan pada pendekatan ini bisa
berupa catatan tentang kasus-kasus, pedoman wawancara,
kuesioner, transkripsi rekaman suara, video, atau berupa foto,
sosiogram, reka ulang, judicial review, dokumen kebijakan dan
sejenisnya. Data yang terkumpul biasanya diberi kode dan
diorganisasikan sedemikian rupa berdasarkan tingkat relevansinya
dengan suatu fenomena atau peristiwa tertentu yang terjadi dalam
program. Data tersebut nantinya akan dianalisis dengan cara
mengelompokkan berdasarkan peristiwa yang terjadi dalam
program.
Berikut akan disajikan prosedur evaluasi program yang menggunakan
pendekatan kualitatif yang lebih rinci dalam bentuk bagan sebagai
berikut.

42 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Gambar 3.1
Prosedur Evaluasi Program (Kualitatif)

3.1.3. Fokus dan Lokus


Pembangunan Reformasi Birokrasi ini bila merujuk pada Perpres
No.5/2010 tentang RPJMN 2010–2014 mempunyai sasaran yang luas,
mencakup: (1) Peningkatan Penyelenggaraan Aparatur yang Bersih
dan Bebas KKN; (2) Peningkatan Akuntabilitas dan Kapasitas Kinerja
Birokrasi; (3) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Berdasarkan penjelasan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.1/2012 tentang
Pedoman Penilaian Mandiri Pelaksanaan RB (PMPRB) disebutkan
bahwa Model PMPRB memfokuskan penilaian terhadap langkah-
langkah reformasi birokrasi yang dilakukan oleh setiap instansi
pemerintah dikaitkan dengan ‘Hasil yang Diharapkan’ sebagaimana
tercantum di dalam Road Map Reformasi Birokrasi 2010 – 2014
(PerMenPAN dan RB No.20/2010), dan juga dikaitkan dengan
Indikator Kinerja Utama instansi pemerintah dalam rangka

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 43


Laporan Akhir

pencapaian sasaran dan indikator keberhasilan pelaksanaan


reformasi birokrasi secara nasional sebagaimana tertuang dalam
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 (Perpres No.81/2010).
Namun, kegiatan Evaluasi Kebijakan ini dilakukan secara purposif dan
hanya akan difokuskan pada salah satu sasaran atau aspek saja
(yaitu pelayanan publik) dengan berbagai pertimbangan: (1)
Pelayanan publik menjadi salah satu focal point dalam pembangunan
reformasi birokrasi sebagaimana dirumuskan dalam Permen PAN RB
No.15/2008 dan in line dengan Perpres No.81/2010; (2) Fokus pada
satu sasaran atau aspek akan memungkinkan analisis secara lebih
mendalam; (3) Keterbatasan waktu pelaksanaan kegiatan.
Dengan merujuk pada kerangka pikir sebagaimana yang telah
dikemukakan sebelumnya maka substansi dari evaluasi atas
pembangunan reformasi birokrasi ini mencakup: (1) Pelayanan Publik
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan; (2) Pelayanan pada
masyarakat umum; dan (3) Pelayanan pada dunia usaha/bisnis.

3.1.4. Unit Analisis


Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai
subjek penelitian. Dalam pengertian yang lain, unit analisis diartikan
sebagai sesuatu yang berkaitan dengan fokus/ komponen yang
diteliti. Unit analisis ini dilakukan agar validitas dan reabilitas dapat
terjaga. Unit analisis ini dapat berupa individu, kelompok, organisasi,
benda, wilayah dan waktu tertentu sesuai dengan fokus
permasalahannya.
Mengingat pelayanan publik dalam konteks ini dilakukan oleh
instansi pemerintah (kementerian/lembaga) maka yang menjadi unit
analisis dalam kegiatan ini adalah organisasi (kementerian/lembaga)
yang memberikan pelayanan publik.

3.2. Teknik Sampling


Walaupun desk study pada dasarnya tidak terlalu mensyaratkan
tehnik sampling yang ketat, namun dengan pertimbangan fokus
pada pelayanan publik kiranya perlu ditentukan pelayanan publik
44 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

seperti apa yang akan menjadi fokus. Berdasarkan hal tersebut, salah
satu alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah fokus pada
pelayanan dasar bagi masyarakat. Dengan demikian, dalam telaahan
pembangunan reformasi birokrasi terkait pelayanan publik akan
ditujukan pada, misalnya, layanan publik di sektor pendidikan dan
kesehatan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta
Kementerian Kesehatan. Oleh karena itu, sampel yang akan diambil
adalah program-program sektor pendidikan dan kesehatan yang
dirancang dan berkaitan dengan pelayanan publik pada masyarakat
sasaran.

3.3. Pengumpulan data


Secara metodologis sebenarnya kegiatan Evaluasi Kebijakan
Reformasi Birokrasi ini merupakan desk study. Berbeda dengan Field
Research yang mengumpulkan data primer secara langsung di
lapangan, desk study (atau biasa juga dikenal dengan nama Desk
Research) pada dasarnya melibatkan kegiatan pengumpulan data dari
sumber-sumber yang telah ada (existing resources) dan pada
umumnya bersumber dari data sekunder.
Untuk melaksanakan kegiatan Evaluasi Kebijakan Reformasi
Birokrasi ini maka akan menggunakan dua pendekatan yaitu :
1. Internal Desk Research: dengan cara ini data dan informasi
diperoleh secara internal dari pihak Direktorat Evaluasi Kinerja
Pembangunan Sektoral (Direktorat EKPS). Adapun data dan
informasi relevan yang dibutuhkan berkaitan dengan sejumlah
hal seperti: (a) Hasil-hasil kajian, review, atau bentuk telaahan
lainnya yang dilaksanakan oleh Direktorat EKPS terkait
dengan reformasi birokrasi pada umumnya dan pelayanan
publik secara sektoral pada khususnya; (b) Kompilasi kebijakan
atau peraturan perundangan yang dinilai relevan terkait
dengan reformasi birokrasi pada umumnya dan pelayanan
publik pada khususnya.
2. External Desk Research: data dan informasi yang relevan
dikumpulkan dari berbagai sumber yang berada di luar
Direktorat EKPS. Sumber-sumber luar dimaksud diantaranya:

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 45


Laporan Akhir

(a) Online Desk Research : Di dunia maya banyak sekali data


yang tersedia. Namun, dalam hal ini yang penting adalah
proses pemilahan dan pemilihan data yang dinilai relevan saja
yaitu informasi tentang reformasi birokrasi pada umumnya
maupun pelayanan publik pada khususnya. Untuk keperluan
mendapatkan informasi tersebut dapat dijajagi melalui
sejumlah search engines seperti google.com, yahoo.com,
infoseek.com dan sebagainya; (b) Data Publikasi Pemerintah:
untuk mendapatkan data yang dipublikasikan pemerintah
pada saat sekarang relatif dapat diakses. Sudah banyak
instansi pemerintah (pusat dan daerah) yang memiliki website
resmi yang didalamnya terdapat berbagai data dan informasi
yang dapat diakses publik seperti data tentang Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), capaian kinerja program
Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Laporan Pelaksanaan
Program Reformasi Birokrasi Kementerian/Lembaga dan
sebagainya; (c) Publikasi Hasil Survei: khusus untuk
pelayanan publik, rujukan hasil survei yang dilakukan
lembaga-lembaga tertentu baik yang berasal dari dalam
maupun luar negeri dinilai sangat bermanfaat untuk
memperoleh gambaran tentang persepsi masyarakat
terhadap pelayanan publik yang diberikan pemerintah. Survei
Integritas Sektor Publik (KPK), Ease of Doing Business Survey
(The World Bank) merupakan beberapa contoh dari publikasi
hasil survei yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
kegiatan ini.
Hasil desk study atau desk research ini kemudian dikombinasikan
dengan data dan informasi yang diperoleh dari hasil kegiatan-
kegiatan terkait lainnya seperti seminar pengayaan, dan konsinyering
dapat dipergunakan sebagai bahan utama dalam penyusunan hasil
akhir kegiatan ini.
Berikut akan dirinci kebutuhan data serta pengumpulan data yang
akan dilakukan untuk kepentingan evaluasi ini.

46 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Tabel 3.1
Kebutuhan Data untuk
Kajian Evaluasi Kebijakan Pembangunan Reformasi Birokrasi
Aspek Pelayanan
No Rincian Kebutuhan Data Sumber Data
Publik
1 Penyelenggaraan Kelembagaan  Data capaian Online desk
Pemerintahan program RB aspek research,
kelembagaan publikasi data
 Identifikasi masalah pemerintah
yang dihadapi
Business process  Data capaian Online desk
program RB aspek research,
business process publikasi data
 Identifikasi masalah pemerintah
yang dihadapi
SDM Aparatur  Data capaian Dokumen
program RB aspek Laporan
business process Tahunan
 Identifikasi masalah Pelaksanaan
yang dihadapi RB K/L
Standar  Tingkat pencapaian 15 SPM
Pelayanan Standar Pelayanan Bidang
Minimum (SPM)
2 Masyarakat Pemenuhan  Data Indeks Online desk
Umum pelayanan Pembangunan research,
Kebutuhan Manusia (IPM) publikasi data
Dasar (basic pemerintah
needs)
Integritas  Indeks Integritas Publikasi
pelayanan publik Pelayanan Publik Hasil Survei
Pusat dan Daerah Integritas
Sektor Publik
(KPK)
Kepuasan  Indeks Kepuasan Publikasi
Masyarakat atas Masyarakat (IKM) Kemenpan-
pelayanan publik atas Pelayanan RB
Publik
Pelayanan publik  Data PTSP Publikasi
terpadu (Prov/Kab/Kota) Kementerian
Dalam Negeri
3 Dunia Tingkat  Ease of Doing Publikasi
Usaha/Bisnis kemudahan Business Index EDBI (The
berusaha (ease (EDBI) World Bank)
of doing
business)

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 47


Laporan Akhir

Selain itu, dalam rangka memperkaya/mempertajam analisis


kebijakan, juga dilakukan kegiatan konsinyering, dan seminar.
Konsinyering dilakukan untuk menyusun TOR dan memperkaya
variabel pembahasan. Konsinyering mengundang pihak-pihak
berkompeten. Konsinyering dilakukan di Jakarta dan luar Jakarta.
Seminar Pengayaan untuk mempertajam materi Laporan
Pendahuluan (yang terdiri dari Bab Pendahuluan, Bab Kerangka
Konseptual, dan Bab Metode Evaluasi). Dilakukan di Jakarta.
Seminar Akhir dilakukan untuk mempertajam materi konsep
Laporan Final. Dilakukan di Jakarta dan mengundang pakar di
bidangnya untuk memberikan masukan.

48 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

BAB IV
REVIEW KEBIJAKAN TERKAIT
PEMBANGUNAN REFORMASI BIROKRASI

4.1. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand


Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025
Pemerintah sebagai pelaku utama birokrasi di negeri telah memulai
pembenahan birokrasi sejak reformasi 1998, walaupun
perkembangannya saat itu kurang terdengar. Pada tahun 2007, DPR
dan Presiden RI menerbitkan UU No.17/2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang, yang menyebutkan bahwa untuk
mewujudkan bangsa yang berdaya-saing perlu dilakukan upaya-
upaya, antara lain: (1) Mengedepankan pembangunan sumber daya
manusia berkualitas dan berdaya saing; (2) Memperkuat
perekonomian domestik berbasis keunggulan di setiap wilayah
menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan
sistem produksi, distribusi, dan pelayanan di dalam negeri; (3)
Meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan
pengetahuan; (4) Membangun infrastruktur yang maju; dan (5)
Melakukan reformasi di bidang hukum dan aparatur negara.
Sebagai tindak lanjut UU No.17/2007, untuk melakukan reformasi di
bidang hukum dan aparatur negara, Presiden RI menerbitkan Perpres
No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025.
Grand Design tersebut terbagi ke dalam 3 tahapan yaitu Road Map
Reformasi Birokrasi (RMRB) 2010-2014, RMRB 2015-2019, RMRB
2020-2024.
Dalam setiap tahapan Road Map ditetapkan beberapa sasaran dan
indikator-indikator keberhasilannya. RMRB 2010-2014 dituangkan
dalam PermenPAN dan RB No.20/2010 yang mencakup ruang
lingkup:
1. Penguatan birokrasi pemerintah;
2. Tingkat pelaksanaan, ada dua tingkat pelaksanaan, yaitu

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 49


Laporan Akhir

tingkat nasional dan tingkat instansional. Pada tingkat


nasional, pelaksanaan reformasi birokrasi dibagi ke dalam
tingkat makro dan meso. Tingkat pelaksana makro
menyangkut penyempurnaan regulasi nasional dalam upaya
pelaksanaan reformasi birokrasi. Sementara tingkat
pelaksanaan meso menjalankan fungsi manajerial, yaitu
mendorong kebijakan-kebijakan inovatif, menerjemahkan
kebijakan makro, dan mengkoordinasikan (mendorong dan
mengawal) pelaksanaan reformasi birokrasi di tingkat K/L dan
Pemda. Pada tingkat instansional (disebut tingkat
pelaksanaan mikro) menyangkut implementasi kebijakan/
program reformasi birokrasi sebagaimana digariskan secara
nasional dan menjadi bagian dari upaya percepatan reformasi
birokrasi pada masing-masing K/L dan Pemda;
3. Program, Program-program berorientasi hasil (outcomes
oriented programs), baik pada tingkat makro, meso, maupun
tingkat mikro:
a. Program Tingkat Makro meliputi Penataan Organisasi,
Penataan Tatalaksana, Penataan Sistem Manajemen
SDM Aparatur, Penguatan Pengawasan, Penguatan
Akuntabilitas Kinerja, Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik.
b. Program Tingkat Meso meliputi Manajemen Perubahan,
Konsultasi dan Asistensi, Monitoring, Evaluasi dan
Pelaporan
c. Program Tingkat Mikro meliputi Manajemen perubahan,
Penataan Peraturan Perundang-undangan, Penataan dan
Penguatan Organisasi, Penataan Tatalaksana, Penataan
Sistem Manajemen SDM Aparatur, Penguatan
Pengawasan, Penguatan Akuntabilitas Kinerja,
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Monitoring,
Evaluasi dan Pelaporan
Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi sebagai lokomotif
pelaksana pada tahun 2011 telah menerbitkan beberapa pedoman
pelaksanaan reformasi birokrasi dengan menerbitkan Permen PAN
dan RB No. 7 – 15/2011.

50 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

4.2. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor


15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi
Komitmen untuk menerapkan program Reformasi Birokrasi di
lingkungan Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah
mendapatkan momentum setelah melihat upaya-upaya yang
dilakukan (waktu itu) Departemen Keuangan untuk melakukan
reformasi secara komprehensif dinilai telah memberikan dampak
positif baik dilihat dari aspek kinerja maupun kepercayaan publik
terhadapnya. Tidak lama setelah itu, Pemerintah (melalui
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara) mengeluarkan
Permen PAN RB No.15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi
Birokrasi.
Pemerintah sendiri, mengakui akan pentingnya reformasi birokrasi
karena masih terjadinya hal-hal berikut:
1. Praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) masih
berlangsung hingga saat ini,
2. Tingkat kualitas pelayanan publik belum mampu memenuhi
harapan publik,
3. Tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas birokrasi
pemerintahan belum opimal,
4. Tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan
masih rendah dan
5. Tingkat disiplin dan etos kerja pegawai masih rendah.
Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem
penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan
tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperbaharui.
Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain,
reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun
birokrasi agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam
mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
Dalam konteks tersebut, maka kebutuhan untuk melakukan upaya
reformasi birokrasi biasanya didorong untuk meningkatkan

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 51


Laporan Akhir

pelayanan publik yang lebih transparan dan akuntabel. Perubahan


fundamental melalui reformasi birokrasi pada dasarnya bertujuan
untuk melakukan perubahan organisasi dan sikap yang selama ini
dipersepsikan masyarakat sebagai birokrasi tertutup menjadi suatu
birokrasi yang terbuka dan transparan guna memberikan pelayanan
terbaik kepada masyarakat (excellent service). Langkah reformasi
birokrasi tersebut, sebagaimana ditegaskan dalam Permen PAN RB
No.15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi (halaman
17-19), dilakukan dengan cara membangun dan membentuk:
1. Birokrasi yang bersih.
2. Birokrasi yang efisien, efektif dan produktif.
3. Birokrasi yang transparan.
4. Birokrasi yang melayani masyarakat.
5. Birokrasi yang akuntabel.
Secara khusus, program Reformasi Birokrasi mempunyai sasaran
untuk melakukan perubahan pada 5 area seperti Tabel 4.1.

Tabel 4.1.
Area Perubahan RB

No Area Perubahan Hasil Yang Ingin Dicapai

1 Kelambagaan Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran


(Organisasi (right sizing)
2 Budaya Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang
Organisasi tinggi
3 Ketatalaksanaan Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas,
efektif,
efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-
prinsip
good governance
4 Regulasi- Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih
Deregulasi dan kondusif
Birokrasi
5 Sumber Daya SDM yang berintegritas, kompeten, profesional,
Manusia berkinerja tinggi dan sejahtera

52 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Adapun rincian program, kegiatan serta keluaran Reformasi birokrasi


dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2.
Program, Kegiatan dan Keluaran RB (selected)

No Program Kegiatan Keluaran

1 Penataan Redefinisi visi,misi, Visi,misi, strategi organisasi


Organisasi strategi yang baru
Restrukturisasi Organisasi yang right sizing
Analisa beban kerja Formula kebutuhan pegawai
2 Penataan tata Penyusunan tata laksana Dokumen tata laksana untuk
laksana (business process) yang setiap proses kerja utama
menghasilkan SOP dan sub-proses
Elektronisasi Pengadaan perangkat lunak,
dokumentasi/kearsipan (E- perangkat keras, dan
Archieve) pelatihan operator PNS
3 Penataan Sistem Asesmen kompetensi Dokumen analisa atas
manajemen individu bagi pemetaan hasil asesmen
SDM pegawai/tenaga ahli
Membangun sistem Sistem penilaian kinerja
penilaian kinerja berdasarkan kompetensi,
transparan dan user friendly
Mengembangkan Sistem pengadaan dan
sistem pengadaan seleksi yang transparan, adil
dan seleksi dan akuntabel serta
berdasarkan kompetensi
Mengembangkan pola Pola pengembangan dan
pengembangan dan pelatihan berdasarkan
pelatihan kompetensi
Memperkuat pola Pola rotasi, mutasi, promosi
rotasi, mutasi, berdasarkan kompetensi
promosi dan kinerja
Memperkuat pola Pola karir berdasarkan
Karir kompetensi dan kinerja
Membangun/ Sistem database pegawai,
memperkuat Pengadaan perangkat lunak,
database pegawai Pengadaan Perangkat keras,
Pelatihan Operator PNS

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 53


Laporan Akhir

4.3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan


Publik
Untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan
publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik pada
satu sisi serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara
dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam
penyelenggaraan pelayanan publik pada sisi lain, pada tanggal 18 Juli
2009 telah disahkan Undang-Undang (UU) No.25/2009 tentang
Pelayanan Publik.
Menurut UU tersebut, pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga
negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Penyelenggaraaan pelayanan publik ini didasarkan pada prinsip atau
asas tertentu. Adapun asas-asas pelayanan publik tersebut adalah:
1. Kepentingan umum, yaitu pemberian pelayanan tidak boleh
mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.
2. Kepastian hukum, yaitu jaminan terwujudnya hak dan
kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan.
3. Kesamaan hak, yaitu pemberian pelayanan tidak
membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status
ekonomi.
4. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pemenuhan hak
harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan,
baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan.
5. Keprofesionalan, yaitu pelaksana pelayanan harus memiliki
kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
6. Partisipatif, yaitu peningkatan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi,
kebutuhan, dan harapan masyarakat.
7. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yaitu setiap warga
negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.
54 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

8. Keterbukaan, yaitu setiap penerima pelayanan dapat dengan


mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai
pelayanan yang diinginkan.
9. Akuntabilitas, yaitu proses penyelenggaraan pelayanan harus
dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
10. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu
pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga
tercipta keadilan dalam pelayanan.
11. Ketepatan waktu, yaitu penyelesaian setiap jenis pelayanan
dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.
12. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu setiap
jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan
terjangkau.
Menurut ketentuan pada pasal 5 disebutkan bahwa pelayanan publik
meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan
administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam ruang lingkup tersebut, termasuk pendidikan, pengajaran,
pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi,
lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan,
perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis
lainnya.
Dalam melaksanakan pelayanan publik pemerintah membentuk
Organisasi Penyelenggara. Penyelenggara adalah setiap institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan undangundang untuk kegiatan pelayanan
publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk
kegiatan pelayanan publik. Penyelenggara dan seluruh bagian
organisasi penyelenggara bertanggung jawab atas
ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan
pelayanan.
Berdasarkan ketentuan pada pasal 8 disebutkan bahwa organisasi
penyelenggaraan pelayanan publik sekurang-kurangnya meliputi: (1)
pelaksanaan pelayanan, (2) pengelolaan pengaduan masyarakat, (3)

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 55


Laporan Akhir

pengelolaan informasi, (4) pengawasan internal, (5) penyuluhan


kepada masyarakat, dan (6) pelayanan konsultasi.
Penyelenggara dapat melakukan kerja sama dalam bentuk
penyerahan sebagian tugas penyelenggaraan pelayanan publik
kepada pihak lain, dengan syarat kerja sama tersebut tidak
menambah beban bagi masyarakat.
Dalam melaksanakan pelayanan publik, sesuai ketentuan pasal 15
maka penyelenggara berkewajiban :
1. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan;
2. Menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat
pelayanan;
3. Menempatkan pelaksana yang kompeten;
4. Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan
publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang
memadai;
5. Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas
penyelenggaraan pelayanan publik;
6. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standard pelayanan;
7. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan
publik;
8. Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang
diselenggarakan;
9. Membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung
jawabnya;
10. Bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi
penyelenggara pelayanan publik;
11. Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum
yang berlaku apabila mengundurkan diri atau melepaskan
tanggung jawab atas posisi atau jabatan; dan

56 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

12. Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir


atau melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas
permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga negara
atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, pelayanan publik agar bisa berjalan efektif harus
berdasarkan pada standar tertentu. Dalam pasal 21 disebutkan
bahwa komponen standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:
1. Dasar hukum, yaitu peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar penyelenggaraan pelayanan.
2. Persyaratan, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam
pengurusan suatu jenis pelayanan, baik persyaratan teknis
maupun administratif.
3. Sistem, mekanisme, dan prosedur, yaitu tata cara pelayanan
yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan,
termasuk pengaduan.
4. Jangka waktu penyelesaian, yaitu jangka waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses pelayanan
dari setiap jenis pelayanan.
5. Biaya/tarif, yaitu ongkos yang dikenakan kepada penerima
layanan dalam mengurus dan/atau memperoleh pelayanan
dari penyelenggara yang besarnya ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara penyelenggara dan masyarakat.
6. Produk pelayanan, yaitu hasil pelayanan yang diberikan dan
diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
7. Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, yaitu peralatan dan
fasilitas yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan,
termasuk peralatan dan fasilitas pelayanan bagi kelompok
rentan.
8. Kompetensi pelaksana, yaitu kemampuan yang harus dimiliki
oleh pelaksana meliputi pengetahuan, keahlian,
keterampilan, dan pengalaman.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 57


Laporan Akhir

9. Pengawasan internal, yaitu pengendalian yang dilakukan oleh


pimpinan satuan kerja atau atasan langsung pelaksana.
10. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan, yaitu tata cara
pelaksanaan penanganan pengaduan dan tindak lanjut.
11. Jumlah pelaksana, yaitu tersedianya pelaksana sesuai dengan
beban kerja.
12. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan
dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan.
13. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam
bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari
bahaya, dan risiko keragu-raguan, yaitu kepastian
memberikan rasa aman dan bebas dari bahaya, risiko, dan
keragu-raguan.
14. Evaluasi kinerja pelaksana yaitu penilaian untuk mengetahui
seberapa jauh pelaksanaan kegiatan sesuai dengan standar
pelayanan.
Dalam rangka memberikan dukungan informasi terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik perlu diselenggarakan sistem
informasi yang bersifat nasional. Sistem informasi yang bersifat
nasional tersebut dikelola oleh menteri, dan disediakan kepada
masyarakat secara terbuka dan mudah diakses. Penyelenggara
berkewajiban mengelola sistem informasi yang terdiri atas sistem
informasi elektronik atau nonelektronik. Informasi itu sekurang-
kurangnya meliputi:
1. Profil penyelenggara, meliputi nama, penanggung jawab,
pelaksana, struktur organisasi, anggaran penyelenggaraan,
alamat pengaduan, nomor telepon, dan pos-el (email);
2. Profil pelaksana, meliputi pelaksana yang bertanggung jawab,
pelaksana, anggaran pelaksanaan, alamat pengaduan, nomor
telepon, dan pos-el (email);
3. Standar pelayanan berisi informasi yang lengkap tentang
keterangan yang menjelaskan lebih rinci isi standar pelayanan
tersebut;

58 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

4. Maklumat pelayanan;
5. Pengelolaan pengaduan, yaitu proses penanganan pengaduan
mulai dari tahap penyeleksian, penelaahan, dan
pengklasifikasian sampai dengan kepastian penyelesaian
pengaduan;
6. Penilaian kinerja, yaitu hasil pelaksanaan penilaian
penyelenggaraan pelayanan yang dilakukan oleh
penyelenggara sendiri, bersama dengan pihak lain, atau oleh
pihak lain atas permintaan penyelenggara untuk mengetahui
gambaran kinerja pelayanan dengan menggunakan metode
penilaian tertentu.
Khusus dalam kaitannya dengan biaya/tarif pelayanan publik,
ketentuan pasal 31 menyebutkan bahwa pada dasarnya merupakan
tanggung jawab negara dan/atau masyarakat. Apabila dibebankan
kepada masyarakat atau penerima pelayanan, maka penentuan
biaya/tarif pelayanan publik tersebut ditetapkan dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh
pengawas internal dan pengawas eksternal. Pengawasan internal
penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui pengawasan
oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik
dilakukan melalui:
1. Pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
2. Pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
3. Pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota.
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 59
Laporan Akhir

Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan


menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan
pengaduan serta berkewajiban mengumumkan nama dan alamat
penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan
yang disediakan. Penyelenggara berkewajiban mengelola
pengaduan yang berasal dari penerima pelayanan, rekomendasi
ombudsman, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu. Penyelenggara
berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan
tersebut.
Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik,
apabila: (a) penyelenggara tidak melaksanakan kewajiban dan/atau
melanggar larangan; dan (b) pelaksana memberi pelayanan yang
tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Sesuai ketentuan pasal 40, pengaduan tersebut ditujukan kepada
penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Pengaduan seperti dimaksud diatas
diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak lain yang
menerima kuasa untuk mewakilinya. Pengaduan dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan.
Dalam pengaduannya, pengadu dapat memasukkan tuntutan ganti
rugi. Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pengadu dapat
dirahasiakan.
Pengaduan yang disampaikan secara tertulis harus memuat: (1) nama
dan alamat lengkap; (2) uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan dan uraian kerugian material atau immaterial yang
diderita; (3) permintaan penyelesaian yang diajukan; dan (4) tempat,
waktu penyampaian, dan tanda tangan.
Pengaduan tertulis tersebut dapat disertai dengan bukti-bukti
sebagai pendukung pengaduannya. Dalam hal pengadu
membutuhkan dokumen terkait dengan pengaduannya dari
penyelenggara dan/atau pelaksana untuk mendukung
pembuktiannya itu, penyelenggara dan/atau pelaksana wajib
memberikannya.
60 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

Penyelenggara dan/atau ombudsman wajib menanggapi pengaduan


tertulis oleh masyarakat paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
pengaduan diterima, yang sekurang-kurangnya berisi informasi
lengkap atau tidak lengkapnya materi aduan tertulis tersebut. Dalam
hal materi aduan tidak lengkap, pengadu melengkapi materi
aduannya selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
menerima tanggapan dari penyelenggara atau
ombudsman sebagaimana diinformasikan oleh pihak penyelenggara
dan/atau ombudsman. Dalam hal berkas pengaduan tidak
dilengkapi dalam waktu tersebut, maka pengadu dianggap
mencabut pengaduannya.
Dalam hal penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum
dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam
undang-undang pelayanan publik, masyarakat dapat mengajukan
gugatan terhadap penyelenggara ke pengadilan. Pengajuan gugatan
terhadap penyelenggara, tidak menghapus kewajiban
penyelenggara untuk melaksanakan keputusan
ombudsman dan/atau penyelenggara. Pengajuan gugatan perbuatan
melawan hukum tersebut, dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal penyelenggara diduga melakukan tindak pidana dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini, masyarakat dapat melaporkan penyelenggara
kepada pihak berwenang.
Namun, pelaksanaan pelayanan publik menurut UU No.25/2009 ini
masih memiliki beberapa kendala. Kendala utama disebabkan oleh
masih sangat sedikitnya peraturan pemerintah yang mengatur
mengenai ruang lingkup, mengenai sistem pelayanan terpadu,
mengenai pedoman penyusunan standar pelayanan, mengenai
proporsi akses dan kategori kelompok masyarakat, mengenai tata
cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik dan Peraturan Presiden mengenai mekanisme dan ketentuan
pemberian ganti rugi. Hingga akhir tahun 2013 ini hanya dikeluarkan
1 (satu) buah Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU
Pelayanan Publik tersebut yaitu PP No.96/2012 tentang Pelaksanaan
UU No.25/2009. Dalam PP tersebut diatur sejumlah substansi pokok

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 61


Laporan Akhir

pelayanan publik, yaitu: (1) ruang lingkup pelayanan publik, (2) sistem
pelayanan terpadu, (3) pedoman penyusunan standar pelayanan, (4)
proporsi akses dan kategori kelompok masyarakat dalam pelayanan
berjenjang, (5) pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik, (6) pembinaan dan pengawasan, dan (7) sanksi.
Pada tataran yang lebih teknis dan operasional Kementerian PAN
dan RB telah mengeluarkan 2 (dua) peraturan terkait sebagai
pedoman untuk mengimplementasikan UU Pelayanan Publik
tersebut, yaitu: (1) Permen PAN dan RB No. 36/2012 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan, Penetapan, dan Penerapan Standar
Pelayanan, dan (2) Permen PAN dan RB No.38/2012 tentang
Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik.

4.4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang


Ombudsman Republik Indonesia
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) adalah lembaga negara yang
mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan
publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD,
dan BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. (Pasal 1
butir 1 UU No.37/2008 tentang ORI dan Pasal 1 butir 13 UU
No.25/2009 tentang Pelayanan Publik).
Ombudsman Republik Indonesia, diawali dengan terbentuknya
Komisi Ombudsman Nasional (KON) berdasarkan Keputusan
Presiden (Kepres) No.44/2000 di masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor.
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan
Korupsi dan Nepotisme, memberikan mandat membentuk Undang-
Undang beserta peraturan pelaksananya untuk pencegahan korupsi
termasuk didalamnya adalah Ombudsman hingga akhirnya pada
tahun 2008 disahkan UU No. 37/2008 tentang ORI.

62 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Ide pembentukan lembaga Ombudsman tidak terlepas dari kritik dan


dorongan publik tentang sejauh mana efektifitas dan independesinya
seperti halnya dipersoalkan terhadap lembaga- lembaga pengawasan
sebelumnya. Pertanyaan tersebut merupakan sesuatu yang wajar
ditengah-tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur
penyelenggara negara yang tidak melaksanakan urusan pelayanan
publik sebagaimana mestinya. Praktik penyelenggaraan pelayanan
publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan
telah menimbulkan kerugikan materiil dan/atau imateriil bagi
masyarakat dan perseorangan.
Tugas yang dimiliki ORI adalah: (1) menerima laporan dugaan
maladministrasi penyelenggaraan pelayanan publik, (2) melakukan
pemeriksaan laporan, (3) menindaklanjuti laporan; (4) melakukan
investigasi atas prakarsa sendiri; (4) melakukan koordinasi/kerjasama
dengan lembaga negara/lembaga pemerintahan/lembaga
kemasyarakatan/perseorangan, (5) membangun jaringan kerja, (6)
melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyeleggaran
pelayanan publik, dan (7) melakukan tugas lain yang diberikan
undang-undang.
Adapun wewenang ORI terbagi menjadi 2, yaitu terkait dengan
laporan dan tugas lainnya. Terkait dengan laporan, wewenangnya
antara lain: (1) meminta keterangan pihak-pihak yang terkait dengan
laporan; (2) memeriksa dokumen terkait;, (3) meminta klarifikasi,
salinan, copy atau dokumen lain pada instansi penyelenggara negara;
(4) melakukan pemanggilan; (5) melakukan mediasi, konsiliasi atas
permintaan para pihak; (6) membuat rekomendasi mengenai
penyelesaian laporan, ganti rugi dan/rehabilitasi; dan (7)
mengumumkan hasil temuan, kesimpulan dan rekomendasi. Terkait
dengan tugas lain, wewenangnya adalah: (1) memberi saran kepada
Presiden, Pimpinan Penyelenggara Negara, Kepala Daerah guna
perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/pelayanan publik; dan
(2) memberi saran kepada DPR, Presiden, DPRD, Kepala Daerah agar
terhadap undang-undang dan peraturan perundangan dilakukan
perubahan untuk mencegah maladministrasi.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif maka
perlu dilakukan penguatan terhadap lembaga ORI ini. Adapun

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 63


Laporan Akhir

bentuk-bentuk penguatan eksistensi ORI berdasarkan UU


No.37/2008 adalah:
1. Pemberian eksklusifitas terhadap ORI (Psl 46);
2. Penambahan kewenangan ORI untuk menyelesaikan laporan
masyarakat melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan
para pihak (Pasal. 8 ayat (1) huruf e);
3. Pemberian kewenangan untuk melakukan pemeriksaan
lapangan ke objek pelayanan publik yang dilaporkan tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu (Pasal 34);
4. Pemberian dua macam hak eksklusif kepada ORI dalam
menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya yaitu hak
imunitas dan upaya pemanggilan paksa/soebpoena power (Psl.
31);
5. Kewajiban untuk melaksanakan Rekomendasi ORI (Pasal 38);
6. Kewenangan melakukan konsiliasi dan mediasi (Pasal 8).
Sementara itu, lembaga ORI ini mempunyai peran penting dalam
konteks pelayanan publik. Ada berbagai bentuk penguatan eksistensi
ORI berdasarkan UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik yaitu :
1. Mempertegas serta memperjelas fungsi, tugas dan kedudukan
ORI (Pasal 18 dan Pasal 46)
2. Menambah kewenangan ORI untuk melakukan ajudikasi
dalam hal penyelesaian ganti rugi. (Pasal 50. Penyelesaian
sengketa pelayanan publik yang di putus oleh ORI)
3. Penguatan kelembagaan ORI dengan membentuk Perwakilan
Ombudsman di Daerah yang bersifat hierarkis untuk
mendukung tugas dan fungsi Ombudsman (Pasal 46 ayat 3
dan ayat 4)

64 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

4.5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2005 tentang


Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal
Untuk menjamin agar masyarakat mendapatkan pelayanan publik
sesuai kebutuhan, pemerintah menetapkan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) sebagai standar nasional yang akan menjadi satu
pedoman bagi pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan
yang sama kualitasnya dengan daerah lain. Dengan merujuk pada PP
No.65/2005 maka yang dimaksud dengan Standar Pelayanan Minimal
(yang selanjutnya disingkat SPM) adalah ketentuan tentang jenis dan
mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang
berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Untuk mengukur
pencapaian prestasi pelayanan publik dipergunakan indikator SPM.
Jadi Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan
kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran
yang hendak dipenuhi dalam pencapaian suatu SPM tertentu, berupa
masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan.
Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM menjadi acuan dalam
penyusunan SPM oleh Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non
Departemen dan dalam penerapannya oleh Pemerintahan Provinsi
dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. SPM disusun dan diterapkan
dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan
dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang
mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Oleh karena itu
SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat
secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. SPM
ditetapkan oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. Penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah
merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional.
SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau
dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu
pencapaian. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan,
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 65
Laporan Akhir

prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta


kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang
bersangkutan.

4.5.1. Penyusunan SPM


Penyusunan SPM diatur dalam PP No.65/2005. Dalam Pasal 4,5,6,7
dan 8 PP tersebut diuraikan tentang penyusunan SPM secara jelas.
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen menyusun
SPM dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan
Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang
berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Penyusunan SPM mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur urusan wajib. Dalam hal ini
adalah UU No.32/2004 dan PP No.38/2007. Dalam penyusunan SPM
ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu
pencapaian SPM.
Selanjutnya dijelaskan bahwa penyusunan SPM oleh masing-masing
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen dilakukan
melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.
Konsultasi dilakukan oleh masing-masing Menteri/Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non-Departemen dengan tim konsultasi yang
terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri, Kementerian
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Keuangan,
Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dengan
melibatkan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-
Departemen terkait sesuai kebutuhan. Tim Konsultasi tersebut
dibentuk dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Kemudian hasil
konsultasi tersebut disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, dalam
hal ini Direktur Jenderal Otonomi Daerah, kepada Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) melalui Sekretariat DPOD
untuk mendapatkan rekomendasi bagi Menteri/Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non-Departemen yang bersangkutan dalam rangka
penyusunan SPM. SPM yang disusun oleh masing-masing Menteri
setelah memperoleh dan mengakomodasikan rekomendasi
ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang bersangkutan. SPM yang
66 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

disusun oleh masing-masing Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-


Departemen setelah memperoleh dan mengakomodasikan
rekomendasi ditetapkan dengan Peraturan Menteri terkait.
Dalam penyusunan SPM Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah
Non-Departemen mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Keberadaan sistem informasi, pelaporan dan evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjamin
pencapaian SPM dapat dipantau dan dievaluasi oleh
pemerintah secara berkelanjutan.
2. Standar pelayanan tertinggi yang telah dicapai dalam bidang
yang bersangkutan di daerah;
3. Keterkaiatan antar SPM dalam suatu bidang dan antara SPM
dalam suatu bidang dengan SPM dalam bidang lainnya;
4. Kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan
kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang
bersangkutan; dan
5. Pengalaman empiris tentang cara penyediaan pelayanan dasar
tertentu yang telah terbukti dapat menghasilkan mutu
pelayanan yang ingin dicapai.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas didasarkan atas
petunjuk teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri. Untuk mendukung penerapan SPM, Menteri yang
bersangkutan menyusun petunjuk teknis yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri, dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-
Departemen ditetapkan dengan Peraturan Menteri terkait. Dalam
konteks penyusunan Petunjuk Teknis (JUKNIS) sebagaimana
dimaksud untuk mengoperasionalkan PP No.65/2005 tersebut telah
dikeluarkan Permendagri No.6/2007 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal.

4.5.2. Penerapan SPM


Pemerintahan Daerah menerapkan SPM sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Peraturan Menteri. SPM yang ditelah ditetapkan
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 67
Laporan Akhir

Pemerintah menjadi salah satu acuan bagi Pemerintahan Daerah


untuk menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah menyusun rencana
pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM
dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan
Peraturan Menteri. Rencana pencapaian SPM dituangkan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan
Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD).
Target tahunan pencapaian SPM dituangkan kedalam Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan kerja Perangkat
Daerah (Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Rencana
Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD)
sesuai klasifikasi belanja daerah dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan daerah.
Penyusunan rencana pencapaian SPM sebagaimana tersebut di atas
dan anggaran kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM
dilakukan berdasarkan analisis kemampuan dan potensi daerah
dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri
Dalam Negeri. Rencana pencapaian target tahunan SPM serta
realisasinya diinformasikan kepada masyarakat sesuai peraturan
perundang-undangan.
Pemerintah Daerah mengakomodasikan pengelolaan data dan
informasi penerapan SPM ke dalam sistem informasi daerah yang
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam
rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan
dampak lintas daerah dan/atau untuk menciptakan efisiensi, daerah
wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah
disekitarnya sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam
pengelolaan pelayanan dasar secara bersama, sebagai bagian dari
pelayanan publik, rencana pencapaian SPM perlu disepakati bersama
dan dijadikan dasar dalam merencanakan dan menganggarkan
kontribusi masing-masing daerah. Selanjutnya dalam upaya
pencapaian SPM, Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan
pihak swasta.

68 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

4.5.3. Pembinaan dan Pengawasan SPM


Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen
melakukan pembinaan kepada Pemerintahan Daerah dalam
penerapan SPM. Pembinaan dapat berupa fasilitasi, pemberian
orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan
pelatihan atau bantuan teknis lainnya yang mencakup: (1)
perhitungan sumber daya dan dana yang dibutuhkan untuk mencapai
SPM, termasuk kesenjangan pembiayaannya; (2) penyusunan
rencana pencapaian SPM dan penetapan target tahunan pencapaian
SPM; (3) penilaian prestasi kerja pencapaian SPM; dan (4) pelaporan
prestasi kerja pencapaian SPM.
Pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Daerah Provinsi
dilakukan oleh Pemerintah, dan pembinaan penerapan SPM
terhadap Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh
Gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah. Pemerintah
melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM oleh
Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu
pelayanan dasar kepada masyarakat. Monitoring dan evaluasi
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh: (1) Pemerintah untuk
Pemerintahan Daerah Provinsi; dan (2) Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah di Daerah untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Pemerintah wajib mendukung pengembangan kapasitas
Pemerintahan Daerah yang belum mampu mencapai SPM.
Pemerintah dapat melimpahkan tanggungjawab pengembangan
kapasitas Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang belum mampu
mencapai SPM kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di
Daerah. Ketidakmampuan Pemerintahan Daerah dalam mencapai
SPM ditetapkan Pemerintah berdasarkan pelaporan dan hasil
evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan
peraturan perundangan. Dukungan pengembangan kapasitas
Pemerintahan Daerah dapat berupa fasilitasi, pemberian orientasi
umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan
atau bantuan teknis lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Fasilitasi, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis,
bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 69


Laporan Akhir

lainnya mempertimbangkan kemampuan kelembagaan, personil dan


keuangan negara serta keuangan daerah.
Menteri Dalam Negeri bertanggungjawab atas pengawasan umum
penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah. Menteri/Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non-Departemen bertanggungjawab atas
pengawasan teknis penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah.
Menteri Dalam Negeri dapat melimpahkan tanggungjawab
pengawasan umum penerapan SPM oleh Pemerintahan
Kabupaten/Kota kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di
Daerah. Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen
dapat melimpahkan tanggungjawab pengawasan teknis penerapan
SPM yang dilakukan oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah. Pemerintah dapat
memberikan penghargaan kepada Pemerintahan Daerah yang
berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang
ditetapkan dalam Peraturan Menteri berdasarkan hasil evaluasi yang
dilakukan oleh Pemerintah. Pemerintah juga dapat memberikan
sanksi kepada Pemerintahan Daerah yang tidak berhasil mencapai
SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi
dengan mempertimbangkan kondisi khusus Daerah yang
bersangkutan. Sanksi dimaksud mengacu pada peraturan
perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah No.65/2005 yang kemudian diatur dalam
Permendagri No.6/2007 membawa semangat otonomi daerah untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang
hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan dan
pengawasan berupa pemberian pedoman, standar, arahan,
bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi,
pemantauan dan evaluasi. Hal ini dimaksudkan agar kinerja
penyelenggara pemerintahan daerah tetap sejalan dengan tujuan
nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan ketentuan mengenai
jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah
yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Dalam
70 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

penerapannya, SPM harus menjamin akses masyarakat untuk


mendapatkan pelayanan dasar dari Pemerintahan Daerah sesuai
dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah.

4.6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2010


Tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN)
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.4/ 2010 ini merupakan kebijakan
teknis di level kementerian yang dimaksudkan untuk
mengimplementasikan amanat UU No.25/2009 tentang Pelayanan
Publik. Pertimbangan pentingnya penyusunan Permendagri ini
adalah upaya untuk meningkatkan kualitas dan mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat serta memperhatikan kondisi
geografis daerah, perlu mengoptimalkan peran kecamatan sebagai
perangkat daerah terdepan dalam memberikan pelayanan publik.
Adapun maksud penyelenggaraan PATEN adalah mewujudkan
kecamatan sebagai pusat pelayanan masyarakat dan menjadi simpul
pelayanan bagi kantor/badan pelayanan terpadu di kabupaten/kota.
Dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih berkualitas,
kecamatan sebagai penyelenggara PATEN harus memenuhi 3 (tiga)
persyaratan penting yaitu:
1. Persyaratan substantif, yaitu pendelegasian sebagian
wewenang dari bupati/walikota yang meliputi bidang perijinan
dan non perijinan;
2. Persyaratan administratif, berupa adanya standar pelayanan
dan job description personil kecamatan; dan
3. Persyaratan teknis berupa sarana dan prasarana serta
pelaksana teknis.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 71


Laporan Akhir

72 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

BAB V

CAPAIAN KINERJA PEMBANGUNAN


REFORMASI BIROKRASI

5.1. Capaian Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan


Secara umum, gambaran tentang pelaksanaan pembangunan RB
pada tahun 2009 sampai dengan 2012 dapat dilihat pada Tabel 5.1
berikut.

Tabel 5.1.
Perkembangan Capaian Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola
Target
Indikator Tahun dan Perkembangan Capaian RPJMN
Sumber Satuan
Sasaran 2010-
2009 2010 2011 2012 2014
Sasaran 1 : Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN
Angka indeks 32 ª)
IPK TI 2.8 2.8 3.0 5.0
(skala 1 -10) 32 b)
Opini WTP
Persentase
BPK atas BPK 41 56,41 63 77 ** 100
capaian WTP
LKKL (Pusat)
Opini WTP
BPK atas Persentase
BPK 2,68 3 9 16** 60
LKPD capaian WTP
(Daerah)
Sasaran 2 : Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Integritas
Angka indeks
Pelayanan KPK 6,64 6,16 7,07 6,86 c) 8.0
(skala 1 -10)
Publik (Pusat)
Integritas
Pelayanan Angka indeks
KPK 6,46 5,26 6,00 6,32 d) 8.0
Publik (skala 1 -10)
(Daerah)
Indeks
Kepuasan
Masyarakat
Kemen Angka indeks
(IKM) atas 57 60 76,6 * 85
PAN RB (skala 1 -10)
Pelayanan
Publik

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 73


Laporan Akhir

Target
Indikator Tahun dan Perkembangan Capaian RPJMN
Sumber Satuan
Sasaran 2010-
2009 2010 2011 2012 2014
Jumlah PTSP
di Daerah Kemen
360 394 420 444 530
(Prov/Kab/ dagri
Kota)
Sasaran 3 : Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi
Indeks
Efektivitas
Angka indeks
Pemerintahan -0,26 -0,19 -0,24
(-2.5 – 2.5)
(government
effectiveness)
LAKIP
Persentase
Instansi Pusat Kemen K/L yg
47,37 63,29 82,93 95.06 100
yg Akuntabel PAN RB menyam-
paikan LAKIP
Persentase
Instansi Instansi
Kemen
Provinsi yg provinsi yang 3,76 31,03 63,33 75.76 80
PAN RB
Akuntabel menyampaika
n LAKIP
Persentase
Instansi instansi
Kemen
Kab/Kota yg kab/kota yang 5,08 8,77 12,78 * 60
PAN RB
Akuntabel menyampaikan
LAKIP
Reformasi Birokrasi
Instansi Pusat
Kemen
yg melaksa- 5 14 16 40 100%
PAN RB
nakan RB
33
Prov 100%
Instansi
33 Prov,
Daerah yg Kemen
- - - Kab, 60%
melaksana- PAN RB
33 Kab/
kan RB
Kota Kota
***
Keterangan:
* Data Belum Tersedia; ** Data berdasarkan Data IHPS Semester I Tahun 2012; *** Direncanakan akan
dilaksanakan tahun 2013
ª : skala 100; b : skor 2013 adalah 32; c : skor 2013 adalah 7,37; d : skor 2013 adalah 6,82

Dari Tabel 5.1. beberapa catatan penting yang bisa dikemukakan,


yaitu :
1. Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih
dan bebas KKN (sasaran 1), berdasarkan indikator capaian
opini pemeriksaan pengelolan keuangan negara oleh BPK

74 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

menunjukkan bahwa kinerja pengelolaan negara di LKKL


Pusat telah berjalan relatif baik dan right on the track dalam
arti capaian saat ini tidak terlalu jauh dengan target akhir
RPJMN ke-2 nanti (tahun 2014). Yang sangat
mengkhawatirkan adalah kinerja pengelolaan keuangan
daerah yang capaiannya masih jauh dari target tahun 2014.
2. Upaya pemberantasan korupsi masih menghadapi kendala
besar. Dengan menggunakan indikator Indeks Perspesi
Korupsi bisa disimpulkan bahwa dengan nilai IPK 32 (skala 100)
pada tahun 2012 dan trend data ekstrapolasi selama kurun
waktu satu dekade terakhir, capaian target akhir tahun RPJMN
ke-2 (tahun 2014) untuk mencapai nilai 5.0 sangat sulit untuk
dicapai dalam waktu tersisa (2 tahun).
3. Dengan menggunakan indikator LAKIP untuk mengukur
akuntabilitas lembaga, data capaian menunjukkan bahwa
akuntabilitas untuk instansi pusat dan provinsi sudah relatif
baik. Hal yang agak bermasalah adalah akuntabilitas instansi
di kabupaten/kota.
Adapun jumlah K/L dan Pemda yang telah dan melaksanakan RB,
sebagaimana disajikan pada Gambar 5.1 berikut ini.
Gambar 5.1
K/L Dan Pemda yang Melaksanakan RB

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 75


Laporan Akhir

Selain itu, khusus dalam kaitan dengan pelayanan publik sebagai


bagian dari RB telah dilakukan juga upaya peningkatan sinergi antara
pusat dan daerah antara lain melalui peningkatan jumlah SPM
(Standar Pelayanan Minimum) yang ditetapkan dan diterapkan oleh
daerah. Hingga tahun 2012, telah ada 15 SPM untuk 65 jenis
pelayanan, yang sudah ditetapkan melalui peraturan menteri terkait
dan masih perlu disusun dan diterapkan sisa 5 SPM lagi. Adapun 15
SPM tersebut meliputi SPM bidang Kesehatan, SPM bidang
Lingkungan Hidup, SPM bidang Pemerintahan Dalam Negeri, SPM
bidang Sosial, SPM bidang Perumahan Rakyat, SPM bidang
Pendidikan, SPM bidang Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, SPM bidang Keluarga Berencana dan Keluarga
Sejahtera, SPM bidang Pekerjaan Umum, SPM bidang
Ketenagakerjaan, SPM bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan
Kab/Kota, SPM bidang Komunikasi dan Informasi, SPM bidang
Kesenian, SPM bidang Perhubungan, SPM bidang Penanaman
Modal.
Salah satu contoh konkrit dari penerapan SPM untuk urusan wajib
yang telah ditetapkan dan diterapkan sampai tingkat program dan
kegiatan di daerah Kabubapen/Kota adalah SPM bidang kesehatan
(Tabel 5.2). SPM dimaksud sudah dirinci dalam bentuk sejumlah
indikator yang sifatnya terukur sehingga memudahkan pengukuran
efektivitasnya.

Tabel 5.2.
Indikator SPM Bidang Kesehatan Realisasi Nasional
Tahun 2009-2012

INDIKATOR - SPM 2009 2010 2011 2012

PELAYANAN KESEHATAN DASAR


Cakupan Kunjungan
4,317,648 4,439,864 4,453,845 4,003,443
Bumil K4
Cakupan Komplikasi
Kebidanan yang 492,440 599,841 690,615 647,519
Ditangani

76 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

INDIKATOR - SPM 2009 2010 2011 2012

Cakupan Pertolongan
Persalinan Oleh Tenaga
Kesehatan yang 3,990,007 4,174,534 4,108,773 3,894,393
Memiliki Kompetensi
Kebidanan
Cakupan Pelayanan
3,344,037 3,930,190 4,037,094 3,770,160
Nifas
Cakupan Neonatus
dengan Komplikasi yang 256,145 450,778 670,974 402,625
Ditangani
Cakupan Kunjungan Bayi 3,814,095 4,016,530 4,022,049 3,732,437
Cakupan Desa/
Kelurahan Universal
123,247 87,118 91,719 75,467
Child Immunization
(UCI)
Cakupan Pelayanan
12,151,445 12,301,625 12,819,624 11,707,418
Anak Balita
Cakupan Pemberian
Makanan Pendamping
212,215 328,118 335,048 307,908
ASI pada Anak usia 6 - 24
bulan Keluarga Miskin
Cakupan Balita Gizi
Buruk Mendapat 58,429 132,514 76,961 65,521
Perawatan
Cakupan Penjaringan
Kesehatan Siswa SD dan 5,618,316 5,191,094 3,850,592 3,935,506
Setingkat
Cakupan Peserta KB
29,694,874 31,278,123 28,818,276 28,831,606
Aktif
Cakupan Penemuan Dan
Penanganan Penderita
Penyakit - Acute Flacid
1,520 295,950 673,278 933,500
Paralysis (AFP) rate per
100.000 penduduk < 15
tahun
Cakupan Penemuan dan
Penanganan Penderita
Penyakit - Penemuan 618,052 767,080 584,107 492,078
Penderita Pneumonia
Balita

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 77


Laporan Akhir

INDIKATOR - SPM 2009 2010 2011 2012

Cakupan Penemuan dan


Penanganan Penderita
Penyakit - Penemuan 177,495 183,462 180,997 198,850
pasien baru TB BTA
Positif
Cakupan Penemuan dan
Penanganan Penderita
152,818 155,138 71,518 76,554
Penyakit - Penderita
DBD yang ditangani
Cakupan Penemuan dan
Penanganan Penderita
4,742,244 5,665,941 5,969,175 5,069,586
Penyakit - Penemuan
penderita diare
Cakupan Pelayanan
Kesehatan Dasar Pasien 42,640,426 41,006,980 43,503,330 38,698,188
Masyarakat Miskin
PELAYANAN KESEHATAN RUJUKAN
Cakupan Pelayanan
Kesehatan Rujukan
5,731,361 6,516,740 5,310,022 4,960,992
Pasien Masyarakat
Miskin
Cakupan Pelayanan
Gawat Darurat level 1
yang harus diberikan 33,702 342,037 407,485 280,166
Sarana Kesehatan (RS)
di Kab/ Kota
PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI DAN PENANGGULANGAN KLB
Cakupan desa/kelurahan
mengalami KLB yang
7,472 8,697 5,613 5,296
dilakukan penyelidikan
epidemiologi < 24 jam
PROMOSI KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Cakupan Desa Siaga
37,828 44,210 51,105 45,888
Aktif
Sumber : Kementerian Kesehatan, 2012

78 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) juga telah


semakin membaik dengan meningkatnya jumlah pemda yang
menerapkan PTSP menjadi 444 hingga bulan Juni 2012 (Gambar 5.2).

Gambar 5.2
Jumlah PTSP /OSS di K/L (Pemda)

Selain itu, untuk memberikan jaminan kepastian penyediaan


pelayanan bagi masyarakat, saat ini telah disusun 2 (dua) RPP
sebagai pelaksanaan dari UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik
dan salah satunya telah ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah,
yaitu PP No.96/2012 tentang Pelaksanaan UU No.25/2009.
Pemerintah juga terus mendorong penerapan sistem pengadaan
secara elektronik (e-procurement), yang diharapkan dapat
meningkatkan kualitas dan kinerja proses pengadaan menjadi lebih
efektif, efisien, akuntabel serta sesuai dengan prinsip persaingan
usaha yang sehat, transparan dan perlakuan adil bagi semua pihak.
Hingga bulan September 2012, telah terbentuk 500 Layanan
Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang tersebar di 33 provinsi
yang melayani pengadaan di 755 instansi pusat dan daerah, dan
251.508 penyedia terdaftar. Sistem dan kebijakan pengadaan barang
dan jasa pemerintah terus disempurnakan, melalui antara lain: (1)

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 79


Laporan Akhir

penerbitan Perpres No.54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa


Pemerintah, yang juga telah direvisi menjai Perpes No.70/2012
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; (2) penyusunan
pedoman/petunjuk teknis sebagai pedoman pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa pemerintah sebanyak 13 (tiga belas) dokumen; (3)
penyusunan 32 (tiga puluh dua) standar dokumen pengadaan
barang/jasa pemerintah; dan (4) penyusunan RUU Pengadaan Barang
dan Jasa, yang telah dilakukan penyempurnaan naskah akademik dan
pembahasan konsep RUU Pengadaan Barang dan Jasa melalui
pembahasan di tingkat K/L.

Tabel 5.3.
Capaian Implementasi Pengadaan Secara Elektronik
Tahun 2009–2012
Capaian
No Indikator Satuan
2009 2010 2011 2012*)
Realisasi paket
1. pengadaan melalui paket 1.724 6.397 24.475 44.376
LPSE
Nilai pengadaan Rp.
2. 3.372 13.424 53.786 74.142
melalui LPSE miliar
Efisiensi anggaran
Rp.
3. (selisih pagu anggaran 518,9 1.386 4.474 5.164
miliar
dengan hasil lelang)
Persentase
4. penghematan % 16,54 10,69 11,72 11.50
anggaran
Sumber: LKPP, data per Juni 2012
Catatan: *) Realisasi s/d Juni 2012

Penerapan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) sangat penting untuk


mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu, telah
diterbitkan Surat Edaran Menteri PAN dan RB No.4/M.PAN-
RB/03/2012 tanggal 19 Maret 2012 tentang Pelaksanaan Survei
Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) pada seluruh Unit
Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Diharapkan survei IKM dapat
segera dilaksanakan di seluruh Kementerian/Lembaga dan Pemda

80 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

untuk setiap unit pelayanan publik. Hasilnya, survei IKM hingga bulan
Juni 2012 telah dilaksanakan di 13 Provinsi dan 154 Kabupaten/Kota.
Ke depan, terus ditingkatkan upaya membina dan mendorong agar
daerah kabupaten/kota dapat melaksanakan survey IKM dengan
lebih baik. Selanjutnya, sebagai salah satu acuan bagi pelaksanaan
UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik, telah diterbitkan Permen
PAN dan RB No.36/2012 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan,
Penetapan dan Penerapan Standar Pelayanan. Diharapkan hal ini
makin meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Gambar 5.3
IKM di K/L dan Pemda

SDM Aparatur memiliki peran strategis bagi terselenggaranya


pemerintahan yang efektif, efisien dan akuntabel. SDM aparatur juga
merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan pelaksanaan reformasi
birokrasi dan peningkatan kinerja instansi pemerintah. Sesuai
dengan amanat RPJMN 2010-2014, hasil-hasil yang telah dicapai
antara lain:
1. Terlaksananya Evaluasi Peringkat Jabatan dalam rangka
reformasi birokrasi terhadap beberapa K/L. Hingga Juni 2012,
K/L yang sudah menyelesaikan penyelarasan dan validasi serta
telah menandatangani Berita Acara sejumlah 22 instansi.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 81


Laporan Akhir

2. Sosialisasi dan implementasi PP No.53/2010 tentang Disiplin


PNS pada seluruh K/L dan pemda;
3. Tersusunnya Pedoman Analisis Jabatan (PermenPAN dan RB
No.33/2011) dan Pedoman Evaluasi Jabatan (Permen PAN dan
RB No.34/2011);
4. Tersusunnya Pedoman Perhitungan Kebutuhan PNS di Daerah
(Permen PAN dan RB No.26/2011)
Dalam rangka penataan SDM Aparatur Negara agar tercapai ukuran
yang tepat dan efisien atau right sizing, telah ditetapkan Moratorium
(Penundaan Sementara) Penerimaan CPNS. Moratorium Penerimaan
CPNS adalah penundaan sementara penerimaan Pegawai Negeri Sipil
sebagai suatu upaya melakukan penataan struktur organisasi dan
penataan PNS (right sizing) serta mengurangi beban belanja negara,
yang diberlakukan mulai 1 September 2011 sampai dengan 31
Desember 2012. Hal itu dituangkan di dalam Peraturan Bersama
Menteri Negara PAN dan RB, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan Nomor 02/SPB/M.PAN-RB/8/2011; Nomor 800-632 Tahun
2011; Nomor 141/PMK.01/2011.
Pemerintah pada tahun 2011 dan 2012, telah menyelenggarakan
diklat analisis jabatan, analisis beban kerja dan evaluasi jabatan untuk
mendukung pelaksanaan perhitungan kebutuhan dan penataan
organisasi di tingkat pusat dan daerah. Jumlah tenaga analis yang
akan dididik berjumlah 4.125 orang. Selain itu juga telah dilaksanakan
diklat bagi verifikator analis jabatan sejumlah 60 orang.
Sementara itu, untuk mendapatkan gambaran tentang seberapa
efektif pemerintahan menyelenggarakan pemerintahannya dalam
kaitannya dengan pelayanan publik dapat dilihat dari indeks
government effectiveness (GE). Indeks GE ini mengukur kualitas dari
pengaturan pelayanan publik, kualitas birokrasi, kompetensi SDM
pelayanan publik dan tingkat independensi SDM aparatur dari
tekanan politik. Indeks ini menggambarkan kemampuan pemerintah
dalam mengambil kebijakan dan mengadakan pelayanan publik
secara efektif.

82 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Tabel 5.4.
Perbandingan Skor Government Effectiveness Negara ASEAN
Tahun 2007-2011
Tahun
No NEGARA
2007 2008 2009 2010 2011
1 Singapore 2.32 2.37 2.26 2.24 2,16
2 Brunei Darussalam 0.94 0.90 0.92 0.88 0,88
3 Malaysia 1.22 1.14 0.96 1.09 1,00
4 Thailand 0.32 0.21 0.17 0.08 0,10
6 Indonesia -0.26 -0.22 -0.26 -0.19 -0,24*
5 Vietnam -0.17 -0.16 -0.29 -0.30 -0,28
7 Philippines 0.07 0.01 -0.11 -0.10 0,00
9 Cambodia -0.86 -0.94 -0.79 -0.82 -0,75
8 Laos -0.86 -0.87 -1.02 -0.94 -0,91
10 Myanmar -1,45 -1,51 -1,65 -1.67 -1,64
Catatan * : data tahun 2012 adalah -0,29

Sebagai tambahan, penyelenggaraan pemerintahan yang efektif juga


dapat difasilitasi oleh kemajuan teknologi informasi agar
pelaksanaan tugas dapat berlangsung secara lebih efektif dan efisien.
Untuk itu, kemudian dikembangkan secara pervasif konsep tentang
e-government, dengan pengukuran berupa indeks yang disebut E-
Government Development Index (EGDI).
E-Government Development Index (EGDI) ini adalah sebuah indikator
komposit untuk mengukur kemauan dan kapasitas pemerintah untuk
menggunakan teknologi informasi dalam melakukan antaran
layanannya pada publik. EGDI ini didasarkan pada suatu survei
komprehensif secara online di 193 negara anggotanya, yang menilai
fitur teknis dari laman-laman nasional seperti kebijakan e-government
secara umum dan secara spesifik pada sektor-sektor antaran layanan
yang dinilai esensial.
Profil EGDI Indonesia pada tahun 2010 mencapai 0.4026 (skala 0 – 10)
dan berada pada peringkat 109 (dari 193 negara anggota). Pada
tahun 2012 meningkat menjadi 0.4949 (Rataan EGDI untuk Asia
adalah 0.4991); berada pada peringkat 97 (dari 193 negara anggota),
dengan rincian per-komponen sebagai berikut: (1) Komponen Online
Service (stage 1–stage 4): 0.4967; (2) Komponen infrastruktur
telekomunikasi (5 komponen: estimated internet users, main fixed

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 83


Laporan Akhir

phone lines, mobile subscribers, fixed internet subscriptions, fixed


broadband): 0.1897; dan (3) Komponen Human Capital (2 komponen:
adult literacy, enrollment): 0.7982

5.2. Capaian Kinerja Pelayanan untuk Masyarakat Umum


Dalam menilai seberapa efektif pelayanan publik yang diberikan oleh
instansi pemerintah salah satu cara mengukurnya adalah dengan cara
mengukur berdasarkan persepsi dan skala sikap. Metode seperti ini
yang digunakan oleh KPK untuk menilai kinerja pelayanan publik oleh
penyelenggara pelayanan dalam perspektif integritas (integrity). Hasil
akhir pengukurannya adalah dalam bentuk Indeks Integritas (II).
Tingkat pelayanan yang diberikan penyelenggara pelayanan,
dilakukan baik pada tingkat pusat maupun daerah sehingga dikenal
Indeks Integritas Nasional (IIN) dan Indeks Integritas Daerah (IID).
Selain itu, khusus untuk instansi vertikal yang ada di daeah dikenal
Indeks Integritas Vertikal (IIV).
Berikut akan ditampilkan gambaran tentang capaian IIN selama
kurun waktu 2007 – 2012.

Gambar 5.4.
Perkembangan Nilai IIN Tahun 2007 - 2012

84 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Sementara itu, profil umum tentang capaian indeks integritas sektor


publik berdasarkan hasil survei integritas sektor publik 2012 dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 5.5.
Skor Indeks Integritas Sektor Publik 2012

Bila dilakukan komparasi maka Indeks Integritas Nasional tahun 2012


sebesar 6,37 atau meningkat dibandingkan Indeks Integritas Nasional
tahun 2011 (yang mencapai 6,31). Adapun data rinci simpulan hasil
survei KPK ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Indeks Integritas Nasional (IIN) 2012
Rata-rata Indeks Integritas Nasional (IIN) di tahun 2012 adalah 6,37.
Secara nasional, rata-rata Indeks Integritas Pusat (IIP) lebih tinggi
dibandingkan Indeks Integritas Daerah dan Vertikal. Secara nasional,
ada 45 persen (atau 38 instansi/pemerintah daerah) yang pencapaian
nilai indeks integritasnya masih di bawah rata-rata nasional dan ada
20 persen (atau 17 instansi/pemerintah daerah) yang pencapaian
indeks integritasnya masih di bawah standar yang ditetapkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu 6,00;

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 85


Laporan Akhir

2. Indeks Integritas Pusat (IIP) 2012


Rata-rata nilai integritas Instansi Pusat = 6,86 dengan nilai potensi
integritas (5,97) yang lebih rendah dari nilai pengalaman integritas
(7,31). Pada instansi pusat, pemanfaatan teknologi informasi, tingkat
upaya anti korupsi dan mekanisme pengaduan masyarakat nilainya
masih rendah (di bawah 6). Sebelas instansi pusat dari 20 sampel
mendapatkan nilai integritas di atas rata-rata indeks integritas pusat.
Unit layanan dengan nilai integritas di atas rata-rata indeks integritas
pusat berjumlah 21 unit layanan dari 40 unit layanan yang disurvei.
Hanya 1 instansi pusat yang nilainya di bawah 6,00 dan juga hanya
terdapat 1 unit layanan yang nilainya di bawah 6,00 yaitu
Kementerian Kehutanan (izin pelepasan kawasan hutan).

Tabel. 5.5
Unit Layanan Instansi Pusat dengan Skor Total Integritas > 7
No Unit Layanan Instansi Indeks Integritas
Pengalaman Potensi Total Unit
Layanan
1 Layanan Pengajuan Klaim Jamsostek 8.03 6.36 7.47
Asuransi Jaminan Hari Tua
2 Layanan Pengajuan Klaim Jamsostek 8.01 6.37 7.46
Kecelakaan Kerja
3 Layanan Penyetaraan Ijazah Kemdikbud 8.04 6.30 7.46
4 Akreditasi Program Studi Kemdikbud 8.09 5.99 7.39
5 Persetujuan Impor Kemdag 7.46 7.15 7.36
6 Izin Usaha BKPM 7.64 6.68 7.32
7 Pelayanan Jasa Pengujian BPOM 7.63 6.61 7.29
8 Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) KKP 7.70 6.37 7.25
9 Pendaftaran Penanaman Modal BKPM 7.61 6.40 7.21
10 Pelayanan Jasa Sertifikasi BPOM 7.55 6.43 7.18
11 Layanan Izin Pemasukan dan Kemtan 7.50 6.46 7.15
Pengeluaran Benih Hortikultura
12 Lembaga Penyalur Dana Bergulir KKUKM 7.53 6.38 7.15
13 Izin Edar PKRT (Perbekalan Kemkes 7.61 6.12 7.11
Kesehatan Rumah Tangga)
14 Surat Izin Pengerahan(SIP) BNP2TKI 7.34 6.57 7.09
15 Pengolahan Limbah Radioaktif BATAN 7.63 5.89 7.05
16 Sertifikasi Personel BATAN 7.56 6.02 7.05
17 Izin Penyalur Alkes Kemkes 7.64 5.83 7.04
18 Layanan Angkutan Kota Antar Kemhub 7.34 6.34 7.01
Provinsi
19 Pelayanan Pengelolaan Properti Angkasa 7.71 5.57 7.00
Bandara Pura II

86 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

3. Indeks Integritas Vertikal (IIV) 2012


Rata-rata nilai Integritas Instansi Vertikal = 6,34, dengan nilai potensi
integritas (5,27) lebih rendah dibandingkan nilai pengalaman
integritas (6,88). Pada instansi vertikal, kebiasaan pemberian
gratifikasi, keterbukaan informasi, pemanfaatan teknologi informasi,
ekspektasi petugas terhadap gratifikasi, perilaku pengguna layanan,
tingkat upaya anti korupsi dan mekanisme pengaduan masyarakat
yang nilainya masih rendah (di bawah 6). Ada 2 instansi vertikal
(Kementerian Agama dan Badan Pertanahan Nasional) dari 5 sampel
instansi vertikal yang disurvei mendapatkan nilai integritas di bawah
rata-rata Indeks Integritas Vertikal (6,34). Tidak ada instansi vertikal
yang nilai indeks integritasnya di bawah 6,00 dan juga tak ada unit
layanan yang nilainya di bawah 6,00.
4. Indeks Integritas Daerah (IID) 2012
Rata-rata Nilai Integritas Daerah = 6,32 dengan nilai potensi
integritas (5,30) lebih rendah dari nilai pengalaman integritas (6,82).
Nilai potensi integritas masih berada di bawah standar minimal yang
ditetapkan KPK. Pada tingkat daerah, masih terdapat 8 sub indikator
yang nilainya masih di bawah 6, yaitu kebiasaan pemberian
gratifikasi, keterbukaan informasi, pemanfaatan teknologi informasi,
perilaku pengguna layanan, tingkat upaya anti korupsi dan
mekanisme pengaduan masyarakat. Terdapat 16 pemerintah daerah
(dari 60) yang mendapatkan nilai integritas di bawah standar KPK
(6,00).
Sementara itu, hasil Survei Integritas (SI) Sektor Publik oleh KPK
pada tahun 2013 menunjukkan rata-rata nilai dari Indeks Integritas
Nasional adalah 6,80. Rata-rata nilai integritas instansi pusat tahun
2013 (7,37), instansi vertikal (6,71) dan pemerintah daerah (6,82).
Secara nasional terjadi kenaikan rata-rata nilai indeks integritas
dibandingkan tahun 2012. Peningkatan nilai rata-rata indeks
integritas menunjukkan keseriusan upaya unit layanan dan instansi di
sektor layanan publik dalam memerangi korupsi. Upaya perbaikan
telah dilakukan terkait berbagai hal seperti: (1) mekanisme
pengaduan masyarakat, (2) pemanfaatan teknologi informasi, (3)
ekspektasi petugas terhadap gratifikasi, (4) perilaku birokrat maupun

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 87


Laporan Akhir

pengguna layanan dan (5) tingkat upaya sosialisasi antikorupsi


terhadap petugas dan pengguna layanan.
Survei Integritas oleh KPK dilakukan terhadap 85 instansi yang terdiri
atas 20 instansi pusat, 5 instansi vertikal dan 60 instansi pemerintah
daerah, dengan responden mencapai 15 ribu yang terbagi dalam 484
unit.
Survei Integritas Sektor Publik pada tahun 2013 menyertakan layanan
pengadaan barang dan jasa (PBJ) di tingkat pusat dan daerah.
Penetapan PBJ sebagai salah satu obyek survei merupakan bentuk
sinergitas program pencegahan yang dilakukan KPK dan gencar
dilakukan sejak tahun 2012.

5.3. Capaian Kinerja Pelayanan Publik Bagi Dunia Usaha


Salah satu cara untuk melihat kinerja layanan publik bagi dunia usaha
adalah dengan menggunakan metoda indeksasi dalam mengukur
kemudahan berusaha. Rujukan yang seringkali dipergunakan dalam
konteks ini adalah penggunaan Indeks Kemudahan Berusaha (Doing
Business Index) yang merupakan publikasi periodikal yang
dikeluarkan secara bersama-sama antara The World Bank dan IFC.
Doing Business Report menyediakan penilaian yang objektif terhadap
regulasi berusaha dari negara-negara yang disurvei. Doing Business
Report menjadi pedoman untuk mengevaluasi regulasi-regulasi yang
secara langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi, membuat
perbandingan antarnegara, dan mengidentifikasi reformasi yang
telah dilakukan.
Pada tingkat nasional (country report), Doing Business 2012 telah
menganalisa peraturan-peraturan yang meningkatkan kegiatan
usaha dan peraturan-peraturan yang menghambatnya. Peraturan-
peraturan yang mempengaruhi 3 tahap kehidupan usaha diukur di
tingkat daerah di Indonesia, meliputi: (1) mendirikan usaha, (2)
mengurus izin-izin mendirikan bangunan, dan (3) pendaftaran
properti.
Indikator-indikator tersebut dipilih karena mencakup wilayah-wilayah
yurisdiksi atau praktek setempat. Indikator-indikator tersebut

88 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

dipergunakan untuk mengidentifikasi reformasi kebijakan usaha dan


ruang lingkup efektifitas reformasi kebijakan usaha tersebut dalam
menyederhanakan prosedur, mengurangi waktu, dan mengurangi
biaya untuk menjalankan kegiatan usaha. Data dalam Doing Business
di Indonesia 2012 merupakan data terkini per Juli 2011.
Secara nyata, sebenarnya Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
ini giat melakukan reformasi kebijakan usaha. Perbaikan-perbaikan
yang konsisten ini telah diakui oleh laporan tahunan Doing Business.
Menurut Doing Business 2012, Indonesia, diwakili oleh Jakarta,
mendudukkan Indonesia di jajaran 50 perekonomian teratas yang
berhasil melakukan kemajuan paling signifikan untuk mengurangi
jarak antara mereka dengan prestasi negara-negara dengan kinerja
terbaik, dan di jajaran 50 perekonomian teratas di kawasan Asia
Timur dan Pasifik.
Gambar 5.6.
Reformasi dalam Memulai Usaha

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 89


Laporan Akhir

Hasil-hasil untuk Indonesia menunjukkan bahwa laju perubahan di


bidang-bidang yang diukur sangat beragam. Di bidang pendirian
usaha, misalnya, perbaikan-perbaikan yang dilakukan telah berhasil
mengurangi waktu pendirian usaha sebesar 70 persen — dari 151 hari
pada tahun 2005 menjadi hanya 45 hari pada tahun 2011—dan jumlah
prosedur turun dari 12 menjadi 8. Demikian pula halnya dalam hal
mengurus izin-izin mendirikan bangunan. Terjadi pengurangan waktu
pengurusan izin sebesar 15 persen—dari 186 hari pada tahun 2005
menjadi 158 hari pada tahun 2011.
Total tarif pajak juga berkurang secara cukup signifikan : berkurang
dari 37,3 persen dari laba pada tahun 2006 menjadi 34.5 persen pada
tahun 2011, sementara sistem online untuk melaporkan pajak telah
berhasil memotong waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
penyetoran pajak hingga lebih dari separuhnya—dari 560 jam pada
tahun 2006 menjadi 266 jam pada tahun 2011.
Doing Business di Indonesia 2010 mengidentifikasi praktek-praktek
terpuji, adanya hambatan-hambatan, dan memberikan rekomendasi
langkah-langkah perbaikan di 14 kota di Indonesia. Kemudian, Doing
Business di Indonesia 2012 merekam kemajuan dari waktu ke waktu.
Temuan-temuan yang dihasilkan cukup menggembirakan, yaitu
dilaksanakannya 22 reformasi usaha di tingkat daerah telah
meningkatkan kemudahan berusaha sejak tahun 2010. Di bidang
kemudahan mendirikan usaha, temuan menunjukkan bahwa
terdapat perbaikan-perbaikan di 14 kota yang diukur untuk kedua
kalinya. Di bidang mengurus izin-izin mendirikan bangunan, temuan
menunjukkan bahwa terdapat perbaikan-perbaikan di 10 dari 14 kota.
Meski dampaknya terhadap perekonomian di Indonesia belum
diukur, laporan ini menunjukkan bahwa reformasi kebijakan usaha di
tingkat nasional dan daerah telah berkontribusi dalam perbaikan
pelayanan publik bagi dunia usaha dengan menghemat waktu dan
biaya dari para pelaku usaha setempat.
Dalam topik mendirikan usaha, semua kota-kota di Indonesia
memperoleh manfaat dari pemberlakuan kembali sistem
komputerisasi pendaftaran usaha yang berlaku secara nasional—
Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH)—dan pemberlakuan
format standar untuk pendirian usaha bagi perseroan terbatas. Selain
90 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

itu, peningkatan efisiensi di perwakilan-perwakilan daerah dari


institusi-institusi tingkat nasional telah mengurangi waktu yang
dibutuhkan untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak,
pendaftaran wajib lapor ketenagakerjaan dan jaminan sosial tenaga
kerja di beberapa kota. Pemerintah nasional juga telah menerbitkan
peraturan yang memandatkan penyederhanaan perizinan di tingkat
daerah sebagai bagian dari upaya untuk lebih mendorong
perkembangan sektor formal secara nasional. Hal ini berdampak
pada persyaratan untuk memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP)—dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Meskipun kedua izin
dan surat tanda daftar ini diatur oleh ketentuan yang berlaku di
tingkat nasional yaitu oleh Kementerian Perdagangan, penerbitan
izin dan surat tanda daftar ini berada dibawah kewenangan
pemerintah daerah. Pemerintah nasional menetapkan batasan waktu
yang wajib dipatuhi serta meniadakan atau mengurangi biaya yang
berlaku untuk izin dan tanda daftar ini, namun masih ditemukan
perbedaan berkenaan dengan bagaimana peraturan yang baru
tersebut dilaksanakan di berbagai kota.
Beberapa pemerintah daerah telah mempergunakan himbauan
nasional untuk menyederhanakan persyaratan perizinan di daerah
sebagai landasan untuk melakukan penggabungkan prosedur-
prosedur, memberlakukan batasan waktu yang wajib dipatuhi dan
meniadakan atau mengurangi biaya yang berlaku untuk perizinan di
tingkat daerah. Contohnya, setelah diterbitkannya Peraturan Menteri
Dalam Negeri tahun 2007 yang mendorong pembentukan layanan
terpadu secara nasional, Palangka Raya, Surakarta dan Yogyakarta
menggabungkan seluruh perizinan usaha di daerah mereka ke dalam
satu paket. Dalam 2 tahun terakhir, Semarang, Denpasar, Jakarta dan
Balikpapan mengambil langkah yang sama. Hasil yang diperoleh
cukup menjanjikan. Demikian pula, setelah diterbitkannya UU
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, hampir separuh dari
kota-kota di Indonesia yang diukur menghapus pemberlakuan biaya
untuk sejumlah izin di daerah— termasuk untuk Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).
Selanjutnya, sejalan dengan peraturan yang berlaku di tingkat
nasional, Banda Aceh dan Surabaya tidak lagi mensyaratkan surat
keterangan domisili dari para pelaku usaha. Upaya bersama yang

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 91


Laporan Akhir

dilakukan oleh pemerintah tingkat nasional dan daerah ini telah


membuahkan hasil.
Rata-rata waktu dan biaya untuk mendirikan usaha di kota-kota
Indonesia telah berkurang sebanyak lebih dari 25 persen sejak
laporan tahun 2010. Sepuluh dari 14 kota yang diukur pada tahun
2010 dan 2012 telah mengambil langkah-langkah perubahan untuk
meningkatkan kemudahan mengurus izin-izin mendirikan bangunan.
Layanan terpadu dibentuk, upaya untuk meningkatkan efisiensi
proses administratif dilakukan, persyaratan untuk bangunan-
bangunan komersil sederhana telah disederhanakan, biaya dikurangi
atau ditiadakan, dan upaya perbaikan infrastruktur utilitas telah
dilakukan. Sebagai hasilnya, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk
mengurus izin-izin mendirikan bangunan berkurang satu bulan dari
106 hari pada tahun 2010 menjadi 77 hari pada tahun 2012. Rata-rata
biaya turun dari Rp.22.093.645,- ($2,123) menjadi Rp.19.247.290,-
($1,850). Beberapa kota—seperti Banda Aceh, Surabaya dan
Surakarta—melakukan reformasi secara keseluruhan terhadap proses
mengurus izin-izin mendirikan bangunan mereka. Banda Aceh
menggabungkan proses persetujuan prinsip pra-konstruksi mereka
dengan prosedur-prosedur untuk memperoleh Izin Mendirikan
Bangunan (IMB). Proses perolehan izin lokasi dan persetujuan
pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata kota yang berlaku,
kajian arsitektur, pemeriksaan infrastruktur yang rencananya akan
dibangun dan verifikasi garis batas saat ini diselenggarakan secara
internal oleh Dinas Pekerjaan Umum, yang berwenang atas aspek-
aspek teknis, berkoordinasi dengan layanan terpadu, yang
melakukan penghitungan biaya dan menerbitkan izin-izin.
Sebelumnya di tahun 2010, perusahaan-perusahaan harus melalui 9
langkah yang berbeda, membayar biaya sebesar Rp.19.501.063,-
($1,874) dan menunggu selama 103 hari sebelum mereka dapat
memulai kegiatan konstruksi. Saat ini, kegiatan konstruksi dapat
dimulai setelah melalui hanya 5 prosedur yang dapat dirampungkan
dalam waktu 26 hari dengan biaya sebesar Rp 15.851.063,- ($1,523).
Langkah-langkah perbaikan terhadap sistem pelayanan air dan
jaringan telepon telah berhasil mengurangi waktu yang dibutuhkan
untuk memperoleh sambungan ke utilitas-utilitas tersebut, masing-
masing 13 hari dan 55 hari. Di bidang pendaftaran properti,
92 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

pemerintah terus mendorong para pelaku usaha untuk secara formal


mendaftarkan tanah-tanah yang mereka miliki dengan
meningkatkan nilai obyek pajak tidak kena pajak untuk properti
dengan mempertimbangkan adanya peningkatan nilai pasar properti
di seluruh Indonesia. Secara khusus, undang-undang yang baru
memungkinkan pemerintah daerah untuk memberlakukan
peraturan-peraturan yang meningkatkan nilai obyek pajak tidak kena
pajak. Undang-undang tahun 2008 yang berlaku sebelumnya
menetapkan maksimum nilai obyek pajak tidak kena pajak sebesar
Rp.60 juta ($5,767). Undang-undang tahun 2010 menetapkan batas
minimum sebesar Rp. 60 juta, namun memungkinkan daerah-daerah
untuk menetapkan jumlah yang lebih tinggi. Sebelas dari 14 kota
yang telah diukur sebelumnya telah meningkatkan nilai obyek pajak
tidak kena pajak, sembilan dari 10kota ini hanya menetapkan jumlah
minimum.
Secara komparatif, posisi relatif Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara anggota lainnya dalam hal kemudahan berusaha
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.6.
Perbandingan Peringkat Doing Business Negara ASEAN
2008-2012
Peringkat Negara Anggota ASEAN
No Negara 2008 2009 2010 2011 2012 2013
(181 (181 (183 (183 (183 (189
Negara) Negara) Negara) Negara) Negara) Negara)
1 Singapura 1 1 1 1 1 1
2 Thailand 19 12 16 16 17 18
3 Malaysia 25 21 23 23 18 6
4 Vietnam 87 91 88 90 98 99
5 Brunei 83 94 117 86 83 59
6 Indonesia 127 129 115 126 129 120
7 Philipina 136 141 146 134 136 108
8 Kamboja 150 139 145 138 138 137
9 Myanmar - - - - - 182
10 Laos 162 165 169 163 165 159

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 93


Laporan Akhir

Tabel tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih agak jauh


tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia
dalam hal kemudahan berusaha bagi para pelaku usaha. Dengan
demikian, walaupun Indonesia telah membuat kebijakan usaha yang
lebih bersifat reformis baik dalam hal pengurusan perizinan, tarif
pajak, maupun masalah properti namun bila dibandingkan dengan
negara tetangga lain (terutama Thailand dan Malaysia) masih relatif
tertinggal. Sangat boleh jadi faktor kualitas regulasi menjadi salah
satu faktor yang memberikan kontribusi pada indeks kemudahan
berusaha yang dimiliki Indonesia. Regulatory Quality merupakan
indeks yang digunakan untuk mengukur akibat-akibat yang
ditimbulkan dari kebijakan yang tidak pro-pasar, seperti kebijakan
kontrol harga, rendahnya pengawasan terhadap bank, serta persepsi
mengenai berbagai hambatan yang disebabkan bertumpuknya
regulasi atau peraturan dibidang perdagangan internasional. Indeks
ini terdiri dari variabel-variabel yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah dibidang perdagangan, investasi luar negeri, dan nilai
tukar. Berikut ditampilkan data tentang skor kualitas regulasi
diantara negara-negara anggota ASEAN.

Tabel 5.7.
Perbandingan Skor Regulatory Quality Negara ASEAN
Tahun 2007-2011
Tahun
No Negara
2007 2008 2009 2010 2011
1 Singapore 1.83 1.91 1.80 1.80 1,83
2 Brunei Darussalam 0.98 0.80 1.09 1.11 1,17
3 Malaysia 0.53 0.37 0.30 0.58 0,66
4 Thailand 0.15 0.24 0.24 0.19 0,24
5 Philippines -0.10 -0.06 -0.11 -0.26 -0,26
6 Indonesia -0.32 -0.29 -0.31 -0.37 -0,33*
7 Cambodia -0.49 -0.46 -0.45 -0.47 -0,45
8 Vietnam -0.51 -0.58 -0.59 -0.57 -0,61
9 Laos -1.17 -1.13 -1.06 -1.03 -0,96
10 Myanmar -2.22 -2.19 -2.24 -2.23 -2,13
Catatan * : skor tahun 2012 adalah -0,28

94 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Meskipun dari sisi indeks kemudahan berusaha Indonesia relatif


belum kompetitif bahkan dibanding beberapa negara anggota
ASEAN lainnya, namun dilihat dari Indeks Keyakinan (Confidence
Index) yang menunjukkan keyakinan investor asing untuk
menanamkan modalnya, justru menunjukkan profil yang berbeda.
Indeks ini (pertama kali dipublikasikan pada tahun 1998) menilai
dampak politik, ekonomi, dan perubahan regulasi tentang FDI serta
preferensi yang diberikan oleh pucuk pimpinan perusahaan-
perusahaan yang ada di seluruh dunia. Berdasarkan kajian yang
dilakukan oleh perusahaan konsultan global terkemuka A.T. Kearney
Indonesia selalu masuk dalam peringkat top-25. Bahkan pada tahun
2012 Indonesia masuk peringkat 9. Adapun perkembangan peringkat
Indonesia dilihat dari FDI Confidence Indexnya dapat dilihat pada
tabel berikut.

Tabel 5.8.
Peringkat FDI Confidence Index Indonesia

No Tahun Peringkat

1 2007 21 (dalam Top 25)

2 2010 20 (dalam Top 25)

3 2012 9 (dalam Top 25)

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 95


Laporan Akhir

96 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

BAB VI

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PEMBANGUNAN


REFORMASI BIROKRASI

6.1. Permasalahan RB dalam Penyelenggaraan Pemerintahan


Reformasi birokrasi merupakan konsep yang luas ruang lingkupnya,
mencakup pembenahan struktural dan kultural. Secara lebih rinci
meliputi reformasi struktural (kelembagaan), prosedural, kultural,
dan etika birokrasi. Secara operasional, sejumlah peraturan
ditetapkan sebagai landasan yuridis bagi pembenahan birokrasi,
antara lain melalui rancangan peraturan tentang penempatan posisi
struktural serta pola pengembangan karir bagi pegawai negeri. Selain
itu, juga dilakukan restrukturisasi organisasi, rasionalisasi pegawai,
privatisasi beberapa BUMN dan peningkatan gaji pegawai negeri.
Reformasi ini bukan hanya pembenahan sistem saja, tetapi juga
menyangkut pengembangan nilai-nilai.
Permasalahan timbul ketika ternyata upaya pembenahan yang telah
dilakukan secara relatif komprehensif belum mampu memberikan
hasil seperti yang diharapkan. Beberapa studi yang dilakukan masih
mengungkapkan tidak adanya perubahan dalam budaya birokrasi
dan perilaku birokrasi dalam pelayanan publik (Agus Dwiyanto, dkk,
2002).
Anwar Sanusi (2012) mengemukakan bahwa reformasi birokrasi
menghadapi sejumlah masalah pokok, yaitu :
1. Reformasi birokrasi masih dalam konteks reformasi dalam
ranah eksekutif, bukan reformasi administrasi.
2. Rendahnya akselerasi program reformasi birokrasi. Hingga
saat ini baru 16 K/L yang telah melaksanakan RB yang lebih
berfokus pada peningkatan remunerasi. Di daerah bahkan
peningkatan remunerasi terjadi tanpa diikuti Reformasi

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 97


Laporan Akhir

Birokrasi. Terjadi gejala birokrasi biaya tinggi tetapi kinerja


rendah, di pusat dan di daerah.
3. Belum optimalnya dukungan kebijakan pelaksanaan reformasi
birokrasi terutama untuk daerah. Problematika institusional
antara KemenPAN dan RB serta Kemendagri sering
menimbulkan pelambanan kinerja birokrasi.
4. Masih begitu kuatnya intervensi politik terhadap birokrasi.
Tingginya intervensi politik telah menyebabkan sikap apatis
dan opportunis dari birokrasi.
5. Reformasi Birokrasi yang sering diterjemahkan sebagai
bertambahnya remunerasi, telah menimbulkan persoalan
keuangan bagi daerah-daerah yang lemah dalam APBDnya.
Kesulitan paling berat adalah untuk Kabupaten dan Kota.
6. Reformasi Birokrasi masih belum bisa memberikan perubahan
signifikan dari pola pikir dan juga budaya kerja. Budaya
organisasi masih belum berorientasi pada kinerja.
Belum optimalnya pelaksanaan program RB ini berimplikasi pada
lambatnya penanganan persoalan-persoalan birokrasi, antara lain :
1. Masih besarnya problematika kelembagaan pemerintah, baik
Pusat dan daerah.
2. Belum selarasnya komposisi SDM aparatur antara jabatan
administratif umum dan khusus. Saat ini terdapat 113 rumpun
jabatan fungsional, namun sebagian besar kurang
berkembang, terutama di daerah. Akibatnya, jabatan
struktutral masih menjadi primadona.
3. Masih belum terkelolanya manajemen SDM secara baik mulai
dari pengadaan pegawai, penilaian kinerja, distribusi, promosi,
penggajian, hingga sistem pensiun.
4. Rendahnya akuntabilitas publik yang ditunjukkan dengan
masih banyaknya perilaku menyimpang (moral hazards)

98 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

6.1.1. Permasalahan Kelembagaan


Profil dimensi kelembagaan birokrasi kita relatif gemuk dan
kompleks. Kelembagaan Pemerintah di tingkat Pusat, misalnya,
terdiri terdiri dari 6 Lembaga Negara Pemegang Cabang Kekuasaan
Negara, 4 Lembaga Negara yang Diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang,
34 Kementerian, 28 Lembaga Pemerintah Non Kementerian, 6
Kesekretariatan Lembaga Negara Pemegang Cabang Kekuasaan
Negara, 4 Kesektariatan lembaga Negara yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-
Undang, 4 Lembaga Setingkat Menteri, 2 Lembaga Pemerintah
Lainnya, dan 91 Lembaga Non Struktural (LNS). Sementara itu, profil
kelembagaan di tingkat daerah pun relatif sama. Berdasarkan Data
Badan Pusat Statistik tahun 2012, jumlah kabupaten di Indonesia
adalah 399 kabupaten dan 98 kota yang tersebar di 33 provinsi.
Secara struktur organisasi, profil birokrasi kita pun cukup kompleks.
Dalam struktur organisasi, tergambar secara jelas titelatur dan
eselonering dari setiap jabatan struktural yang ada di K/L/Pemda.
Jabatan struktural ini diurutkan mulai dari eselon I – eselon IV.
Kebijakan yang terkait dengan pengaturan mengenai aspek
kelembagaan ini adalah UU No.39/2008 tentang Kementerian Negara
dan Perpres No.47/2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara. Sedangkan di tingkat daerah, pengaturan
tentang kelembagaan daerah diatur berdasarkan PP No.41/2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Sementara itu, untuk jabatan fungsional khusus, terdapat 114 jabatan
fungsional khusus dengan 41 Instansi Pembina. Instansi pengguna
jabatan fungsional umum dibagi ke dalam 4 kelompok yaitu
Kementerian Koordinator dimana terdapat 3 kementerian; yaitu
Kementerian Negara dimana terdapat 28 Kementerian; dan Lembaga
pemerintah Non Kementerian dimana terdapat 21 Instansi Pengguna,
dan yang termasuk ke dalam Lembaga Setingkat Menteri yaitu 13
Instansi Pengguna.
Berdasarkan gambaran umum tentang aspek kelembagaan ini maka
dapat disimpulkan bahwa kelembagaan birokrasi kita sangat
kompleks dan eksesif. Kecenderungan untuk melakukan proliferasi
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 99
Laporan Akhir

secara keorganisasian semakin mengukuhkan Parkinson Law tentang


birokrasi. Kecenderungan seperti ini ternyata menimbulkan sejumlah
masalah. Dengan merujuk pada hasil kajian Lembaga Administrasi
Negara (2010), tentang dimensi kelembagaan, ada sejumlah masalah
pokok yang dihadapi sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 6.1.
Problematika Dimensi Kelembagaan

No Aspek Rincian Masalah

1 Kebijakan  Banyak daerah pemekaran yang mengalami degradasi


desentralisasi dalam hal pelayanan publik dan tidak memberikan
dampak peningkatan ekonomi yang signifikan bagi
daerah tersebut (LAN, 2006 ; Adi Suryanto, 2008)
 Pemekaran masih menyisakan berbagai persoalan,
seperti masalah perbatasan, pengalihan aset, personil,
prasarana, dan dana
 Lemahnya koordinasi kebijakan antar pemerintah
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
2 Kebijakan  Belum ada pola penataan (grand design) kelembagaan
penataan pemerintah di pusat dan daerah yang efektif dan
organisasi efisien
 Kecenderungan membesarnya organisasi pemerintah
pusat yang ditandai dengan keinginan beberapa K/L
untuk menambah struktur organisasi atau
meningkatkan eseloneering pejabatnya
 Menjamurnya Lembaga Non-Struktural (LNS) sebagai
konsekuensi perubahan sistem politik-administratif
pasca-reformasi yang berimplikasi pada inefisiensi
anggaran, tumpangtindih, kecenderungan
kontraproduktif maupun ketidakjelasan posisi LNS
dalam struktur dan mekanisme hubungan
kelembagaan negara.
3 Kebijakan Munculnya “benturan” antara pemerintah dengan unsur
kemitraan masyarakat dan swasta yang bermitra karena adanya
perbedaan cara dan budaya kerja pemerintah dengan
budaya dan cara kerja swasta dan masyarakat.
Sumber; LAN, Buku Putih Reformasi Administrasi Negara, 2010 (diolah)

100 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

6.1.2. Permasalahan SDM Aparatur


Data terakhir yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Negara
Tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah PNS (baik PNS pusat
maupun daerah) telah mengalami penurunan pada tahun 2012. Jika
pada tahun 2011 jumlah PNS sebanyak 4,570,818 orang maka pada
tahun 2012 turun menjadi 4,547,099 orang. Salah satu penyebabnya
adalah adanya kebijakan moratorium penerimaan CPNS beberapa
tahun belakangan ini.
Sementara itu, bila dilihat dari segi pendidikan, selama tahun 2011 –
2012 baik PNS pusat maupun daerah mayoritas memiliki pendidikan
SLTA dan Sarjana. Sedangkan dari sisi kelompok umur, diketahui
bahwa tahun 2012 ini, jumlah PNS terbanyak adalah berusia antara
46-50 tahun.
Terkait dengan pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan ada
beberapa hal penting yang perlu dicatat.
Pertama, jumlah PNS yang menduduki jabatan struktural ternyata
meningkat selama dua tahun terakhir. Selain itu, diketahui bahwa
PNS yang sedang menduduki jabatan struktural paling banyak
berada pada kelompok umur 46 – 50 tahun dan 51-55 tahun.
Kedua, dari segi pendidikan, PNS yang menduduki jabatan struktural
paling banyak mempunyai pendidikan sarjana, yaitu sebanyak
160,338 orang pada tahun 2012. Hal ini seharusnya menjadi perhatian
bagi pemangku kepentingan di bidang SDM kepegawaian untuk
dapat meningkatkan pendidikan bagi PNS yang menduduki jabatan
struktural tersebut. Hal ini dikarenakan sebagai pemangku jabatan
struktural, harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai
substansi tugas dan fungsinya dan juga harus memiliki kemampuan
manajerial yang baik.
Ketiga, jumlah PNS yang menduduki jabatan fungsional umum
ternyata berkurang pada tahun 2012. Bila pada tahun 2011, ada
sebanyak 2,302,613 orang, maka pada tahun 2012berkurang menjadi
2,237,044 orang. Pengurangan ini salah satunya disebabkan ada PNS
yang pensiun, sementara itu tidak ada penerimaan CPNS baru karena
kebijakan moratorium penerimaan PNS.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 101


Laporan Akhir

Memang sangat sulit untuk menentukan ukuran tentang berapa


jumlah PNS yang ideal dalam menyelenggarakan tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan. Hal tersebut disebabkan karena
ada beragam karakteristik bidang tugas, kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat, sebaran wilayah tugas dan sejenisnya yang akan
berpengaruh terhadap kebutuhan jumlah pegawai. Yang sering
dipergunakan untuk mengukur seberapa banyak jumlah pegawai
relatif terhadap pelaksanaan tugasnya dalam memberikan pelayanan
adalah dengan menggunakan ratio (perbandingan) antara jumlah
pegawai dengan total jumlah penduduk yang dilayani. Ratio seperti
ini biasanya sering dipergunakan untuk mengukur dan
menggambarkan capaian efektif layanan publik yang bersifat dasar
seperti ratio jumlah guru dengan jumlah siswa, ratio jumlah dokter
dan tenaga paramedik per 1000 penduduk, atau ratio jumlah polisi
per 1000 penduduk. Dalam konteks administrasi publik ada yang
disebut bureaucratic load. Menurut Rosenbloom dan Goldman (1989),
bureacratic load menunjukan ratio jumlah pegawai negeri per 100
penduduk di tingkatan pemerintah tertentu. Dengan menggunakan
ratio seperti itu maka bureacratic load untuk level nasional adalah 1.9
(hasil pembagian antara jumlah PNS sekitar 4,5 juta dan total
penduduk indonesia sekitar 240 juta orang). Dengan kata lain, beban
kerja birokrasi kita sangat berat karena setiap 100 orang penduduk
Indonesia hanya bisa dilayani 2 orang pegawai saja.
Salah satu isu krusial tentang PNS atau SDM Aparatur ini adalah soal
profesionalisme. Dalam upaya meningkatkan profesionalisme
aparatur ini perlu diidentifikasi akar permasalahannya. Eko Prasojo
(2009) mengemukakan bahwa akar permasalahan buruknya SDM
aparatur di Indoensia pada prinsipnya terdiri dari dua hal pokok,
yaitu:
1. Persoalan internal sistem kepegawaian negara. Subsistem
kepegawaian negara terdiri dari 5 komponen yaitu: rekrutmen,
penggajian dan penghargaan, pengukuran kinerja, promosi
jabatan, dan pengawasan. Kegagalan pemerintah untuk
melakukan reformasi atas subsistem tersebut telah
melahirkan birokrat-birokrat yang dicirikan oleh kerusakan
moral (moral hazard) dan juga kesenjangan kemampuan untuk

102 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

melakukan tugas dan tanggungjawabnya (lack of


competencies).
2. Persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan
profesionalisme kepegawaian negara. Secara eksternal carut-
marutnya sistem kepegawaian di Indonesia diwarnai oleh
kooptasi partai politik terhadap PNS. Ketidaknetralan PNS ini
seringkali menyebabkan penyalahgunaan kewenangan oleh
pejabat dan PNS.
Sementara itu, Koran Tempo (Edisi Kamis 13 September 2012)
mengemukakan sejumlah fakta menarik tentang masalah
sumberdaya aparatur ini, yaitu :
1. Dalam 5 tahun terakhir data menunjukan anggaran gaji
pegawai meningkat rata-rata 18,6 persen pertahun. Pada
tahun 2007 belanja pegawai sebesar Rp.90,4 triliun sedangkan
tahun 2012 menjadi Rp.212,3 triliun. Keadaan tidak ideal juga
terjadi di daerah. Bappenas menemukan diantara 524
kabupaten/kota, 294 daerah menghabiskan 50-73 persen
anggaran daerahnya untuk belanja pegawai. Sebanyak 183
kabupaten tertinggal malah menghabiskan hingga 67,3 persen
untuk belanja pegawai.
2. Pada tahun 2006 jumlah pegawai negeri sebanyak 3.725.229
orang. Hingga Oktober 2011, jumlah tersebut telah mencapai
4.646.351 orang, atau bertambah 24,7 persen.
3. Anggaran pensiun pegawai negeri pada tahun2009 sebesar
Rp.40.8 triliun. Pada tahun 2012 naik 44.6 persen menjadi
Rp.59 triliun.
Disamping itu, BPK memukan 9 masalah pengadaan pegawai negeri
tahun 2009-2010, yaitu: (Koran Tempo, Edisi Kamis 13 September
2012)
1. Panitia pengadaan calon pegawai negeri tidak didukung uraian
tugas yang jelas;
2. Seleksi administrasi penerimaan calon pegawai negeri tidak
cermat;

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 103


Laporan Akhir

3. Pengolahan lembar jawaban komputer tidak sesuai ketentuan;


4. Latar belakang pendidikan dan penempatan pelamar yang
lulus tidak sama dengan formasi;
5. Pengajuan usul penetapan nomor induk pegawai tidak sesuai
ketentuan;
6. Dokumen pengadaan tidak dikelola sesuai dengan ketentuan;
7. Proses verifikasi dan validasi dokumen persyaratan
administrasi tenaga honorer tidak sesuai dengan ketentuan;
8. Dokumentasi proses pengangkatan tenaga honorer dan
sekretaris desa tidak baik;
9. Database pegawai instansi berbeda dengan database BKN.
Namun, kesembilan temuan tersebut belum cukup untuk membuat
kesimpulan dan kembali diadakan rekrutmen pegawai pada tahun
2012. Penilaian tersebut merupakan hasil pemeriksaan kinerja atas
penetapan formasi dan pengadaan pegawai pada tahun 2011 di
Kemen PAN dan RB, BKN, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,
Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Kutai Kertanegara, dan Kota Bekasi.
Terakhir, dengan merujuk pada hasil kajian Lembaga Administrasi
Negara (2010), terkait dengan dimensi SDM aparatur ini ada sejumlah
masalah pokok yang dihadapi sebagaimana dapat dilihat dalam tabel
berikut.

Tabel 6.2.
Problematika SDM Aparatur

No Aspek Rincian Masalah

1 Aspek kebijakan  Belum adanya peraturan pelaksanaan kebijakan


kepegawaian yang mewajibkan setiap instansi
untuk menjalankan manajemen SDM sesuai
dengan visi dan misi organisasi
 Belum terbentuknya Komisi Kepegawaian
Negara (KKN) sesuai amanat UU No.43/1999
tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
 Belum adanya pengaturan yang jelas tentang
kebijakan kepegawaian dalam konteks otonomi
daerah

104 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

No Aspek Rincian Masalah

2 Aspek manajerial  Perencanaan kebutuhan pegawai belum


didasarkan pada perencanaan SDM secara
rasional
 Belum adanya rencana induk perencanaan PNS
(pola karir) secara nasional yang dalam jangka
panjang akan membawa konsekuensi tidak
meratanya distribusi PNS di Indonesia
 Perpres tentang Pola Dasar Karir PNS hingga
kini belum diterbitkan.
 Sistem remunerasi dan kesejahteraan PNS
yang belum memadai
 Sistem Diklat tidak didasarkan pada kebutuhan
pemenuhan standar kompetensi dan pola karir
 Klasifikasi jabatan hanya dibuat berdasarkan
golongan dan pangkat sehingga tidak
mencerminkan nilai pekerjaan (job value) yang
sesungguhnya
 Instrumen DP3 untuk penilaian kinerja sulit
diterapkan secara objektif
Sumber; LAN, Buku Putih Reformasi Administrasi Negara, 2010 (diolah)

6.1.3. Permasalahan Tata Laksana (business process)


Ketatalaksanaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berkaitan dengan 3
hal, yaitu Sistem Perencanaan Kerja; Sistem Prosedur Kerja; Sistem
Pengawasan; dan Sistem Pelaporan.
Dari data yang dikeluarkan oleh Kemenpan-RB tahun 2012 terkait
ketatalaksanaan, terungkap bahwa dari tahun ke tahun jumlah
kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang memiliki
dokumen perencanaan berupa Indikator Kinerja Utama (IKU) dan
Penetapan Kinerja (Tapkin) semakin meningkat. Disatu sisi, hal ini
dikarenakan adanya kewajiban secara regulasi untuk memilikinya.
Tetapi di sisi lain, menunjukkan bahwa pemerintah pusat maupun
daerah semakin menyadari pentingnya ketersediaan dokumen
perencanaan yang baik dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Namun demikian, jika melihat fungsi IKU dan Tapkin, sekalipun
terdapat kecenderungan peningkatan, kondisi ini masih dapat
digolongkan memprihatinkan. IKU dan Tapkin merupakan ukuran
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 105
Laporan Akhir

strategis yang harus dicapai oleh suatu institusi. Ketiadaan IKU dan
Tapkin tentu akan menyulitkan institusi yang bersangkutan untuk
mencapai dan/atau mengukur tercapai tidaknya kinerja yang telah
ditentukan.
Sementara itu, ada sejumlah hal penting terkait dengan sistem dan
prosedur kerja dalam upaya melayani masyarakat, yaitu tentang
pelaksanaan standar pelayanan minimum (SPM), pelaksanaan
pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), dan penerapan e-government.
Sampai saat ini ada 15 jenis Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang
telah diterbitkan. Dokumen Standar Pelayanan Minimum (SPM) ini
harus menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam
menyediakan pelayanan bagi masyarakat.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) merupakan inovasi
penyelenggaraan pemerintahan untuk memberikan kemudahan bagi
masyakarakat dalam menerima informasi dan pelayanan, terutama
pelayanan pengurusan perizinan berusaha. Berdasarkan data yang
tersedia terlihat bahwa dari 33 Provinsi yang ada di Indonesia, hanya
11 Provinsi yang telah 100 persen menerapkan PTSP baik di
pemerintah provinsi maupun di pemerintah kabupaten/kota yaitu
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Riau, Provinsi Jambi,
Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu, Provinsi Lampung,
Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi
Kalimantan Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara. Provinsi lainnya
masih berkisar 17-97 persen kabupaten/kota yang telah memiliki atau
melaksanakan PTSP tersebut.
Khusus dalam hal penerapan e-government data pada tahun 2012
menunjukkan bahwa terdapat 8 Lembaga Tinggi Negara, 34
Kementerian, 4 Lembaga Setingkat Menteri, 28 Lembaga Non
Kementerian yang telah menerapkan e-government. Penggunaan e-
government dalam tata kerja pemerintahan sebagian besar masih
terbatas pada penyediaan website lembaga sebagai sarana publikasi
informasi kepada masyarakat.
Terakhir, dengan merujuk pada hasil kajian Lembaga Administrasi
Negara (2010), terkait dengan dimensi ketatalaksanaan ini ada
sejumlah masalah pokok yang dihadapi sebagaimana dapat dilihat
dalam tabel berikut
106 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

Tabel 6.3.
Problematika Ketatalaksanaan

No Aspek Rincian Masalah

1 Sistem perencanaan  Belum ada sinergi antara penganggaran


dan penganggaran sebagaimana dimaksud pada UU No.17/2003
yang efektif tentang Keuangan Negara dengan perencanaan
strategis sebagaimana diamanatkan dalam UU
No.25/2004 tentang SPPN
 Sistem penganggaran berbasis kinerja belum
didukung oleh sistem informasi kinerja
 Belum ada sistem pengukuran kinerja untuk
mengukur efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah.
2 Sistem  Sistem akuntabilitas tidak didukung dengan
akuntabilitas, mekanisme reward and punishment
pengawasan, dan  Konsep akuntabilitas masih terlalu rumit untuk
pengendalian diterapkan
 Sangat sedikit instansi pemerintah yang
menggunakan data akurat hasil penelitian atau
data base dalam menetapkan nilai realisasi
tersebut
3 Sistem pelayanan  Ketiadaan sanksi administratif bagi instansi
publik penyediaan layanan publik yang memberikan
layanan dibawah standar
 Instansi pemerintah penyedia layanan tidak
mendapatkan insentif yang layak apabila mampu
meingkatkan kualitas penyediaan layanannya
 Terkait dengan penyedia layanan, tidak ada
peraturan kepegawaian yang secara jelas
memberikan reward and punishment
 Dukungan anggaran yang tidak memadai bagi
peningkatan kualitas layanan
4 Sistem dan prosedur  Belum adanya payung hukum sebagai dasar
kerja yang efektif mekanisme kerja antar instansi pemerintah.
dan efisien  Pendekatan ego sektoral yang masih dominan
sehingga mengakibatkan ketidaksinkronan dalam
pelaksanaan tugas
 Masih sedikitnya SOP di lingkungan instansi
pemerintah yang dapat menjadi rujukan untuk
memahami teknis pelaksanaan tupoksi instansi
pemerintah
Sumber: LAN, Buku Putih Reformasi Administrasi Negara, 2010 (diolah)

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 107


Laporan Akhir

6.1.4. Reformasi Birokrasi dan Masalah Etika Publik


Pentingnya reformasi birokrasi dilaksanakan tidak hanya didorong
oleh belum berfungsinya struktur dan proses didalam birokrasi yang
mengakibatkan belum optimalnya kinerja yang dicapai, tetapi juga
didorong oleh faktor non-struktural seperti sikap dan perilaku para
penyelenggaranya. Dalam perspektif ini, salah satu faktor yang
menyebabkan belum optimalnya kinerja birokrasi adalah
penyimpangan sikap dan perilaku aparatur dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya. Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut
bisa dalam bentuk korupsi, abuse of power, gratifikasi dan sejenisnya.
Dalam konteks inilah masalah RB erat terkait dengan masalah etika
dan moral. Salah satu isu sentral dalam perspektif etika birokrasi ini
adalah kepercayaan publik (public trust). Tingkat public trust ini
mencerminkan bagaimana persepsi publik tentang kapabilitas dan
integritas birokrasi dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap birokrasi (atau
tingginya tingkat ketidakpercayaan) mencerminkan persepsi
rendahnya kapabilitas dan integritas organisasi dan penyelenggara
negara dalam memecahkan permasalahan yang menyangkut
kepentingan publik dan vice versa.
Hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia melalui
quick poll pada tanggal 3-5 Juli 2013 lalu dengan metode multistage
random sampling dan 1200 responden ternyata menunjukkan
sebanyak 51,5 persen responden tidak percaya dengan komitmen
moralitas publik para elit politik. Mereka tidak percaya bahwa para
elit memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan hal-hal yang baik
dalam kebijakan atau perilakunya. Hanya 37,5 persen publik yang
menyatakan sebaliknya. Sebagai perbandingan, pada survei serupa
tahun 2009 lalu hanya 39,6 persen yang tidak percaya pada
komitmen moralitas publik para elit politik. Meski termasuk
meningkat, namun angka ini masih dibawah mayoritas. Bila
dibandingkan dengan tahun 2005, maka ketidakpercayaan publik
akan moralitas publik elit politik meningkat kurang lebih 17 persen.
Sementara itu, jajak pendapat yang dilakukan Koran Kompas periode
Januari 2012 menunjukkan hal yang serupa. Ternyata 4 dari 10

108 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

responden menilai tak ada satu pun institusi negara yang bisa
menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai harapan publik. Simpulan ini
menunjukkan wujud konkret hilangnya kepercayaan publik terhadap
negara dengan menunjukkan persepsi atau pendapat tentang tidak
adanya lembaga negara yang dianggap masih mampu menjalankan
fungsinya. Secara khusus, sebagian besar publik survei ini
mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja
pemerintah dalam empat hal.
Pertama, pemerintah dianggap kurang cakap mengurus
penyelesaian sengketa pertanahan.
Kedua, meski menyandarkan pemasukan negara dari proses produksi
dan ekspor komoditas yang dihasilkan para buruh, pemerintah dinilai
tidak bisa menyelesaikan perselisihan perburuhan.
Ketiga, publik menilai pemerintah tidak bisa menjamin hak hidup
ataupun beribadah warga minoritas.
Keempat, menyangkut ketidakseriusan pemerintah menuntaskan
kasus-kasus korupsi yang melibatkan personel institusi negara.

6.2. Permasalahan dalam Pelayanan Publik Bagi Masyarakat


Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh ORI pada tahun 2013,
disimpulkan bahwa dalam praktik pelayanan publik terdapat
berbagai bentuk penyimpangan seperti :
1. Penyelenggara Negara tidak melayani tetapi minta dilayani,
2. Rakyat menjadi objek, menjadi korban, menjadi abdi
Penyelenggara Negara,
3. Tidak ada tolok ukur jelas mengenai pemberian pelayanan.
Dalam aspek pelayanan publik, beberapa permasalahan yang
dihadapi diantaranya:
1. Kualitas pelayanan publik belum memenuhi keinginan
masyarakat akan pelayanan yang cepat, mudah, murah, dan
transparan, terutama di bidang pertanahan, investasi dan
perizinan, perpajakan dan kepabeanan, pengadaan barang

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 109


Laporan Akhir

dan jasa pemerintah/publik, dan sistem administrasi


kependudukan;
2. Belum meratanya penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi (e-government) dalam pemberian pelayanan
publik di instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah;
3. Masih lemahnya SDM pelayanan publik baik dari segi
kapasitas dan sikap perilaku dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat;
4. Permasalahan terkait dengan SPM sebagai indikator
pelayanan publik adalah belum optimalnya pelaksanaan SPM
karena keterbatasan sumber daya dan regulasi. Dari aspek
sinergi pusat dan daerah, permasalahan yang dihadapi adalah
belum tersusunnya dua SPM oleh instansi pusat yang
menangani urusan wajib dan belum diterapkannya SPM dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah karena belum
terintegrasinya SPM dalam dokumen perencanaan dan
anggaran, belum mencukupinya kapasitas keuangan daerah,
dan terbatasnya ketersediaan dan kapasitas personil daerah.
Sementara itu Wahyudi Kumorotomo (2012) mengemukakan bahwa
sektor pelayanan publik masih menghadapi sejumlah masalah pokok,
yaitu:
1. Pemberian pelayanan yang diskriminatif;
2. Transparansi pelayanan sangat rendah, terutama masalah
biaya: ada uang rokok, uang administrasi, uang sukarela, uang
terima kasih, salam tempel – soal penggunaan bahasa;
3. Birokrat belum responsif, keluhan tidak ditanggapi;
4. Tidak ada jaminan kepastian: dalam aspek biaya, waktu,
persyaratan, dan informasi;
5. Masih adanya sikap arogansi penyedia layanan, karena merasa
dibutuhkan;
6. Berperan sebagai penguasa dan bukan pelayan;
7. Pengguna layanan sebagai obyek dan bukan subyek.

110 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Sedangkan Fransisca Fitri Kurnia Sri dari Yappika (2012) secara agak
spesifik juga mengemukakan sejumlah masalah di sektor pelayanan
publik, yaitu:
1. Rendahnya kualitas produk dan penyelenggaraan layanan
karena belum disusunnya standar pelayanan. Contoh: air
minum, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Namun
sebagian besar masyarakat tetap menggunakan produk
tersebut karena ketiadaan alternatif layanan publik lainnya.
2. Paradigma pemerintah yang belum berubah, tidak
memposisikan masyarakat sebagai tujuan sekaligus subyek
dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Hal ini
mengakibatkan masyarakat diperlakukan sebagai pihak yang
tidak memiliki daya tawar, menghadapi prosedur yang
berbelit-belit, dan biaya mahal.
3. Ketiadaaan akses terhadap pelayanan yang berkualitas bagi
masyarakat miskin, marjinal serta kelompok rentan.
4. Keberadaan dan fungsi mekanisme penyelesaian keluhan
dan sengketa. Masyarakat tidak diposisikan sebagai subyek
dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka keluhan
masyarakat tidak dianggap penting.
5. Peran pengawasan dan penyelesaian sengketa secara
internal dan eksternal tidak berjalan. DPR/D dan Ombudsman
RI belum maksimal menjalankan mandat sebagai pengawas
ekternal.
6. Ruang partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan,
seperti: standar pelayanan dan maklumat layanan, mekanisme
pengaduan, penyelesaian sengketa, lembaga pengawasan
masyarakat, monitoring dan evaluasi serta pemberian
penghargaan telah dijamin. Namun, sejak UU No.25/2009
disahkan belum terbit aturan turunan yang lebih bisa
mengoperasionalkan isi UU tersebut. Meskipun telah terbit
Surat Edaran KemenPAN No.8/2009 tentang Pelaksanaan
Lebih Lanjut UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik tetapi
belum bisa mendorong percepatan pelaksanaannya.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 111


Laporan Akhir

Sementara itu, Miftah Adhi Siksanto (2012) lebih menyoroti masalah


pelayanan publik dari sisi sistem e-procurement sebagai salah satu
bentuk inovasi pelayanan publik. Menurut Siksanto, dari sisi
teknokratis administratif, terdapat beberapa hambatan praksis bila
sistem e-procurement akan diinstalasi ke seluruh daerah di Indonesia,
antara lain:
1. Rasio jumlah aparat birokrasi dengan jumlah penduduk tidak
diikuti dengan pemertaan dari sisi jumlah dan kapasitas.
2. Ketimpangan penempatan aparat birokrasi dalam sisi jumlah.
Realitas praksis memberikan fakta bahwa kelangkaan jumlah
aparat birokrasi masih menjadi fenomena umum di daerah-
daerah terpencil. Hal ini sangat berkebalikan dengan daerah
perkotaan dimana jumlah birokrasi acap kali melebihi
kapasitas dasar yang diperlukan. Ketimpangan ini, mau tidak
mau, akan mempengaruhi implementasi kebijakan e-
procurement.
3. Ketimpangan aparat birokrasi dari sisi keahlian. Tidak semua
daerah di Republik ini mempunyai struktur birokrasi yang siap
mengimplementasikan kebijakan e-procurement.
4. Belum terbentuk profesionalisme aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan di tingkat praksis.

6.3. Permasalahan dalam Pelayanan Publik bagi Pelaku Usaha


Bank Dunia (2012) mencatat negara-negara yang peringkatnya
melompat naik dalam kemudahan berusaha biasanya punya satuan
tugas khusus untuk memperbaiki indikator kemudahan berusaha
mereka. Adanya satgas semacam itu mencerminkan kesadaran
bahwa kemudahan berusaha adalah prasyarat penting kemajuan
ekonomi. Kesadaran itulah yang terasa tak merata di Indonesia.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) boleh jadi sudah
berusaha keras membuat evaluasi dan merilis kebijakan baru. Namun
kesungguhan itu kurang mendapatkan dukungan dari kementerian
dan lembaga lain. Padahal, dari 10 indikator kemudahan berusaha,
hanya ada dua indikator yang terkait langsung dengan kewenangan

112 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

BKPM. Indikator lain, seperti akses pada listrik, misalnya, amat


bergantung pada kinerja Perusahaan Listrik Negara.
Begitu pula indikator yang terkait dengan pendaftaran properti dan
izin mendirikan bangunan, yang merupakan kewenangan pemerintah
daerah. Sisanya berhubungan dengan kinerja Direktorat Jenderal
Pajak, Bursa Efek Indonesia, Kementerian Perdagangan, sampai
Mahkamah Agung. Akibatnya, tanpa komunikasi dan kerja sama
antarlembaga, sulit diharapkan adanya sinergi lintas sektoral untuk
memperbaiki indeks kemudahan berusaha kita. Masalahnya, kerja
sama semacam itu mensyaratkan adanya kerangka berpikir yang
sama di semua jajaran terkait. Tanpa kesamaan visi dan kekompakan
langkah pemerintah, akan sulit memperbaiki kemudahan berusaha.
Saat ini belum semua pengambil kebijakan menyadari bahwa
kemudahan mendirikan usaha baru akan mendorong kewirausahaan
dan menyuburkan kompetisi yang berujung pada produktivitas
ekonomi. Disampping itu, indeks kemudahan berusaha juga
berkorelasi dengan indeks persepsi korupsi. Sampai sekarang,
berdasarkan survei Transparency International, indeks persepsi
korupsi Indonesia masih di peringkat ke-118, jauh di bawah Singapura
(nomor 5), Malaysia (54), Thailand (88), dan Filipina (105). Ranking
indeks itu mirip dengan hasil survei indeks kemudahan berusaha.
Dengan kata lain, jika permohonan izin bangunan masih
membutuhkan uang pelicin, petugas pajak masih bisa disuap, dan
hakim masih menerima sogokan; indeks kemudahan berusaha dan
indeks persepsi korupsi negeri ini tak akan pernah beranjak dari
peringkat bawah.
Sementara itu, bila merujuk pada data Global Competitiveness Report
2011-2012 telah diidentifikasi 10 faktor yang dinilai paling bermasalah
dalam memulai usaha di Indonesia.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 113


Laporan Akhir

Gambar 6.1.
Sepuluh Faktor Paling Bermasalah dalam Memulai Usaha

Dari gambar tersebut terlihat bahwa 3 besar masalah utama dalam


melakukan bisnis di Indonesia (berdasarkan tingkat keseriusan
masalahnya), yaitu: (1) Korupsi, (2) Birokrasi pemerintah yang tidak
efisien, dan (3) Ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai.
Dengan demikian, upaya untuk membuat Indonesia menjadi tempat
yang menarik untuk memulai bisnis akan sangat tergantung pada
kebijakan yang dipilih terkait ketiga faktor penentu tersebut yaitu
kebijakan dalam mengatasi korupsi, inefisiensi birokrasi, dan
peningkatan infrastruktur.

114 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

6.4. Kesimpulan
Dari keseluruhan penjelasan tersebut diatas, ada sejumlah simpulan
penting terkait identifikasi permasalahan pelayanan publik di ketiga
pilar governance tersebut (pemerintah, masyarakat, dunia usaha)
yang perlu dicermati sebelum disusun rekomendasi untuk solusinya,
yaitu :
1. Pelayanan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan telah
menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan
dilihat dari capaian indikator kinerja pelayanan (misalanya
dalam bentuk IKU) yang diberikan K/L/Pemda sebagaimana
ditunjukkan oleh hasil evaluasi LAKIP oleh pihak Kementerian
PAN dan RB, policy framework yang telah mulai fokus pada
pentingnya pelayanan publik, serta pelibatan partisipasi publik
dalam penyelenggaraan pelayanan oleh K/L/Pemda. Namun,
pelayanan publik dalam penyelenggaan pemerintahan ini
dinilai masih belum optimal mengingat masih kuatnya kultur
birokratisme dalam penyelenggaraan pemerintahan,
paradigma pelayanan publik oleh aparatur yang belum
bergeser dari dilayani menjadi melayani, belum optimanya
pemanfaat teknologi informasi dalam pembuatan keputusan
dan pelayanan publik, dan sebagainya. Dalam konteks ini
perlu disusun rekomendasi yang melibatkan pemanfaatan
unsur SDM aparatur, teknologi informasi, serta kultur secara
terintegrasi.
2. Pelayanan publik terhadap masyarakat juga telah
menunjukkan adanya perubahan yang cukup signifikan,
setidaknya dilihat dari data time series berupa indeks hasil
Survey Integritas Sektor Publik yang dilakukan KPK yang
cenderung menunjukkan peningkatan pada skor indeks pada
level nasional. Itupun dengan catatan kecil, peningkatan
angka Indeks Integritas Nasionalnya meningkat secara
perlahan. Adapun yang menjadi kendala utama adalah terkait
dengan mentalitas SDM aparatur dalam memberikan
pelayanan yang cenderung membuka peluang adanya
penyimpangan, ketidak-transparanan pelayanan (terutama

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 115


Laporan Akhir

dalam proses), serta belum efektifnya sistem penanganan


pengaduan pelayanan.
3. Pelayanan publik terhadap dunia usaha juga memberikan dua
gambaran yang berbeda. Pada satu sisi, upaya yang
berkesinambungan untuk melakukan debirokratisasi bidang
perijinan usaha telah berhasil memangkas waktu penyelesaian
ijin usaha secara signifikan (menjadi lebih singkat dan lebih
transparan). Namun, pada sisi lain upaya tersebut dinilai
belum cukup mampu mengangkat nilai daya saing kita di level
global, bahkan regional sekalipun. Rendahnya tingkat daya
saing tersebut setidaknya disebabkan oleh 3 (tiga) faktor
pokok yaitu : (1) Korupsi, (2) Birokrasi pemerintah yang tidak
efisien, dan (3) Ketersediaan infrastruktur yang tidak
memadai.
Berdasarkan simpulan umum tersebut maka dalam menyusun
rekomendasi terkait upaya peningkatan pelayanan publik pada ketiga
pilar governance (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha)
membutuhkan pendekatan atau perspektif yang cukup
komprehensif. Pendekatan atau perspektif komprehensif tersebut
mencakup tidak hanya pendekatan administrasi publik atau politik
saja, tetapi juga pendekatan atau perspektif disiplin ilmu lain seperti
manajemen publik (termasuk didalamnya inovasi atau public
entrepreneurship) serta etika publik (termasuk didalamnya tentang
integritas sebagai salah satu core).

116 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

BAB VII

REKOMENDASI KEBIJAKAN

7.1. Rekomendasi Bagi Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan


Pemerintahan
Perspektif Administrasi
Program RB pada dasarnya merupakan sebuah program yang
bersifat kompleks karena setidaknya melibatkan 3 (tiga) komponen
utama yaitu SDM, tata laksana (business process), dan kelembagaan.
Dengan demikian, usulan terkait RB untuk meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pemerintahan juga merujuk pada ketiga komponen
ini.
Dengan merujuk pada hasil kajian yang dilakukan LAN RI (2010), ada
beberapa rekomendasi terkait RB (LAN menyebutnya “Reformasi
Administrasi) ini agar penyelenggaraan pemerintahan menjadi lebih
baik, yaitu :
1. Membangun Sumber Daya Aparatur yang Profesional
Sumber daya aparatur yang profesional merupakan prasyarat
penting terutama dalam memberikan dukungan keterampilan dan
kepakaran akan bidang-bidang yang dibutuhkan bagi keberhasilan
penyelenggaraan reformasi administrasi. Roadmap membangun
SDM Aparatur yang profesional dibagi menjadi tiga tahap meliputi :
a. Pengembangan Sistem Manajemen Aparatur Berbasis
Kompetensi;
b. Penerapan Reward and Punishment untuk Mewujudkan
Birokrasi yang Profesional;
c. Terwujudnya SDM Aparatur yang Profesional dan Berdaya
Saing.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 117


Laporan Akhir

Strategi dalam membangun sumber daya aparatur terbagi dalam dua


aspek pokok, yaitu aspek kebijakan dan aspek manajerial. Aspek
kebijakan dikembangkan melalui :
a. Mewujudkan Penataan Kebijakan di bidang SDM Aparatur
berbasis kompetensi;
b. Mewujudkan Kebijakan Remunerasi Berbasis Kinerja;
c. Mewujudkan Kebijakan Standarisasi Kapasitas SDM Aparatur
yang Berdaya Saing.
Sedangkan aspek kedua adalah menyangkut manajerial, mencakup:
a. Mewujudkan infrastruktur manajemen SDM Aparatur;
b. Implementasi kebijakan penerapan reward and punishment;
c. Melakukan Stabilisasi manajemen SDM Aparatur Menuju SDM
yang Profesional dan Berdaya saing.
2. Mewujudkan Ketatalaksanaan yang Efektif
Dimensi ketatalaksanaan merupakan pilar pendukung dalam
mewujudkan reformasi administrasi yang efisien dan efektif. Dimensi
ini mencakup:
a. Penyusunan Sistem Perencanaan dan Penganggaran yang
efektif;
b. Pengembangan Sistem Akuntabilitas, Pengawasan, dan
Pengendalian secara terintegrasi;
c. Pembangunan Sistem Pelayanan Publik yang Profesional;
d. Penyusunan Sistem dan Prosedur Kerja yang Efektif dan
Efisien.
3. Mewujudkan Kelembagaan Birokrasi Yang Efektif dan
Efisien
Dimensi kelembagaan adalah salah satu dimensi yang penting dalam
mewujudkan reformasi administrasi yang terstruktur dan terarah.
Dimensi ini mencakup:

118 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

1. Penataan daerah otonom dan pembagian kewenangan dalam


rangka desentralisasi;
2. Penataan kewenangan dan penataan kelembagaan organisasi
pemerintah sesuai kebutuhan (rightsizing);
3. Pengaturan kebijakan kemitraan antara pemerintah,
masyarakat dan swasta (public-private-society partnership-
P2SP);
4. Pengaturan kelembagaan yang lentur dan dinamik sebagai
upaya mengurangi kekakuan/rigiditas birokrasi
(debirokratisasi dan deregulasi).

Perspektif etika publik sebagai bagian dari upaya pencapaian


tujuan RB
Perspektif agak berbeda untuk mempercepat tercapainya tujuan RB
adalah menggunakan pendekatan etika publik sebagai bagian dari
solusi. Perspektif etika ini dinilai relevan karena salah satu alasan
utama (raison d’etre) dilakukannya RB terkait dengan masih
rendahnya kepercayaan publik atas kemampuan dan kinerja birokrasi
dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhan publik. Rendahnya
kepercayaan publik kepada pemerintah merupakan akibat dari
birokrasi yang buruk seperti tampak dalam kejujuran, kompetensi,
konsistensi, loyalitas dan keterbukaan ketika melakukan tindakan
dan kegiatan administratif publik.
Diperoleh atau hilangnya kepercayaan publik sangat tergantung pada
usaha-usaha dan tindakan-tindakan birokrasi serta kekuatan harapan
positif (strength of positive expectations) dari masyarakat terhadap
birokrasi publik (Sztompka. 1997) terkait dengan integritas,
kompetensi, konsistensi, loyalitas dan keterbukaan birokrasi dalam
melakukan tindakan-tindakan administratif publik seperti pemberian
pelayanan publik. Hasil tidak sebanding antara harapan publik (lebih
besar) dan kinerja aktual birokrasi (lebih kecil) berkontribusi terhadap
tingkat ketidakpercayaan publik kepada birokrasi.
Karena itu, membangun kepercayaan publik dapat dilakukan melalui
reformasi birokrasi, utamanya reformasi di bidang kepegawaian
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 119
Laporan Akhir

publik baik kelembagaan dan regulasi agar didapat dan dimiliki


birokrat atau aparatur yang terpercaya yaitu yang memiliki integritas,
kompetensi, konsistensi, loyalitas, dan keterbukaan ketika
melakukan tindakan dan kegiatan administratif publik. Untuk itu
disarankan:
1. Dilakukan reformasi dalam rekrutmen, pendidikan dan
pelatihan, promosi, dan terminasi.
2. Dilakukan uji integritas, kompetensi, konsistensi, loyalitas dan
keterbukaan secara berkesinambungan.
3. Dibuat standardisasi profesionalisme birokrat antara pusat
dan daerah, antar daerah dan antar lembaga agar tidak ada
perbedaan kualitas dan profesionalitas yang mencolok lintas
daerah dan lintas lembaga.
Pandangan yang relatif sama juga dikemukakan oleh Agus Dwiyanto.
Menurut Agus Dwiyanto (2011b) Reformasi Birokrasi pada
hakekatnya dapat dijadikan sebagai instrumen untuk
mengembalikan kepercayaan publik (public trust) pada birokrasi
sehingga birokrasi bisa menjadi lebih sahih. Kepercayaan publik
diperlukan untuk membangun pemerintahan yang efisien, responsif,
partisipatif, dan akuntabel. Untuk itu, kepercayaan publik tersebut
perlu dikelola dengan baik. Setidaknya ada 3 (tiga) aspek
kepercayaan publik yang penting untuk dikelola, yaitu :
1. Kemampuan atau kapasitas. Warga ingin melihat institusi
penyelenggara negara dan para pejabatnya peduli (care)
terhadap berbagai masalah bangsa serta menunjukkan
tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah bangsa
tersebut.
2. Integritas. Warga tidak membutuhkan janji dan pencitraan
dari para pejabat pemerintah, tapi membutuhkan tindakan
nyata dan manfaatnya dapat segera dirasakan.
3. Ketulusan. Warga ingin melihat para penyelenggara dan
pejabat negara bersikap tulus dalam menjalankan tugasnya
dan lebih mengutamakan upaya pemenuhan kepentingan
publik, bukan kepentingannya sendiri.

120 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Meningkatkan kepercayaan publik dapat dilakukan dengan cara


mengelola persepsi tentang ketiga hal tersebut. Jika ketiganya dapat
dikelola dengan baik, wajar, terbuka, dan alami maka kepercayaan
publik dapat ditingkatkan sampai pada titik optimal. Yang kemudian
menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara untuk meningkatkan
kepercayaan publik tersebut ?
Evan Berman (1996) mengemukakan strategi untuk membangun dan
meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah atau trust
building strategy (TBS). Menurut Berman, ada 3 (tiga) cara atau
strategi untuk meningkatkan kepercayaan publik, yaitu :
1. Komunikasi. Bentuk tindakan nyata yang bisa dilakukan
adalah :
a. Menjelaskan bagaimana upaya pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan warganya;
b. Menyediakan informasi tentang kinerja pemerintah pada
warga;
c. Secara reguler menyampaikan publikasi pada organisasi-
organisasi warga tentang berbagai layanan publik yang
diberikan;
d. Secara reguler menginformasikan standar-standar etis
dalaam penyelenggaraan pemerintah pada para
stakeholders.
2. Konsultasi dan kolaboras. Bentuk tindakan nyata yang bisa
dilakukan adalah :
a. Melibatkan warga dalam proses pembuatan keputusan;
b. Penyelenggaran atau pejabat negara mengundang
pimpinan warga untuk mendengarkan pandangannya;
c. Menggunakan panel yang melibatkan tokoh-tokoh
warga untuk membahas isu-isu kontroversial;
d. Mengembangkan program untuk memenuhi kebutuhan
organisasi warga;
e. Melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh warga;
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 121
Laporan Akhir

f. Melibatkan organisasi warga dalam bentuk kemitraan.


3. Meminimalkan kesalahan atau penyimpangan. Bentuk
tindakan nyata yang bisa dilakukan adalah :
a. Instansi penyelenggara negara memiliki kode etik;
b. Melaksanakan pelatihan etika;
c. Menunjukkan komitmen etis melalui pengenaan sanksi.
Sementara itu, berdasarkan Edelman’s Trust Index 2013 terungkap
bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah dari waktu
ke waktu terus menurun. Jika pada tahun 2011 tingkat kepercayaan
publik masih pada nilai 74, lalu menurun menjadi 63 pada tahun 2012,
dan pada tahun 2013 menjadi 62. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar
4 dari 10 masyarakat, tidak percaya (public distrust) pada pemerintah.
Indeks tersebut juga mengungkap bahwa tingkat kepercayaan publik
terhadap pemimpin bisnis jauh lebih besar dibandingkan pada
pemimpin pemerintah. Trust Index 2013 untuk Indonesia
menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap pemimpin
bisnis sebesar 74, jauh lebih besar disbanding tingkat kepercayaan
publik terhadap pemimpin pemerintahan yang hanya sebesar 47.
Masih tingginya public distrust terhadap pemerintahan dipicu oleh
dua faktor utama yaitu korupsi dan kinerja pemerintahan yang
buruk/inkompetensi.
Dengan merujuk pada kondisi public distrust tersebut, dapat
dirancang strategi untuk membangun kepercayaan publik dengan
beberapa fokus strategi yaitu :
1. Keterikatan (Engagement)
Pilihan tindakan yang dapat dipertimbangkan agar
kepercayaan publik meningkat seperti: (a) Mendengar
kebutuhan dan umpan balik dari pelanggan atau warga; (b)
Memperlakukan semua pegawai secara baik; (c)
Menempatkan kepentingan pelanggan atau warga diatas
kepentingan lain; (d) Berkomunikasi secara intensif dan jujur
tentang apa yang telah dilakukan

122 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

2. Integritas
Pilihan tindakan yang dapat dipertimbangkan agar
kepercayaan publik meningkat seperti: (a) Mempraktekkan
etika pemerintahan secara baik; (b) Mengambil
tanggungjawab untuk mengatasi krisis; dan (c)
Mempraktekkan transparansi dan keterbukaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
3. Produk dan Pelayanan
Pilihan tindakan yang dapat dipertimbangkan agar
kepercayaan publik meningkat seperti: (a) Menawarkan
produk atau pelayanan publik yang berkualitas; (b)
Memainkan peran sebagai inovator dari gagasan, produk, atau
layanan baru.
4. Determinasi
Pilihan tindakan yang dapat dipertimbangkan agar
kepercayaan publik meningkat seperti: (a) Bekerja untuk
melindungi dan memperbaiki lingkungan; (b) Memperhatikan
kebutuhan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan
sehari-hari; (c) Membuat program-program yang berdampak
positif terhadap komunitas lokal; dan (d) Membangun
kemitraan dengan berbagai pihak untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat
5. Operasi
Pilihan tindakan yang dapat dipertimbangkan agar
kepercayaan publik meningkat seperti: (a) Kepemimpinan
pucuk yang diakui secara luas; dan (b) Masuk dalam peringkat
baik pada tingkat global.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 123


Laporan Akhir

7.2. Rekomendasi untuk Meningkatkan Pelayanan Publik Bagi


Masyarakat
Perspektif Integritas
Integritas pelayanan publik dapat diartikan sebagai wujud komitmen
pemerintah guna memberikan layanan yang prima kepada
masyarakat dengan mengedepankan integritas dan moralitas
sebagai basis untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik
dan bersih. Integitas pelayanan publik terkait dengan komitmen
antara pemerintah sebagai penyedia layanan dengan masyarakat
sebagai pengguna layanan.
Berdasarkan hasil Survei Integritas Sektor Publik 2011 (Direktorat
Penelitian dan Pengembangan KPK, 2012) dikemukakan sejumlah
rekomendasi sesuai dengan kondisi capaian integritas layanan dari
instansi pemerintah (pusat dan daerah).
Untuk instansi dengan Indeks integritas sektor publik di Indonesia
tahun 2011 masih rendah dan tidak terlalu jauh dari nilai standar
minimum yang ditetapkan oleh KPK sebesar 6.00, dilakukan
peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat dengan
memperhatikan komponen penyusun integritas, yaitu Pengalaman
Integritas dan Potensi Integritas.
1. Pengalaman Korupsi. Instansi/Unit layanan perlu melakukan
sosialisasi besaran biaya resmi pengurusan layanan serta
memberikan sanksi terhadap petugas layanan yang menerima
atau meminta imbalan/tips/biaya tambahan dalam mengurus
layanan publik
2. Cara Pandang terhadap Korupsi. Pimpinan Instansi/Unit
Layanan harus menanamkan dan mempraktekkan sikap
bahwa birokrat adalah pelayan masyarakat. Disamping itu
melakukan sosialisasi dalam kurun waktu tertentu untuk
mengingatkan kepada petugas layanan dan pengguna layanan
tentang arti pemberian gratifikasi.
3. Lingkungan Kerja. Unit layanan harus menciptakan
suasana/desain/layout ruangan yang memungkinkan tidak
terjadi kontak antara petugas dan pengguna layanan. Jikalau

124 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

harus ada, pertemuan antara petugas dan pengguna layanan


sebaiknya dilakukan di tempat yang terbuka dan dapat
dimonitor oleh banyak orang sehingga proses pemberian suap
dapat segera terlihat. Unit layanan perlu menyediakan fasilitas
yang memadai dan menciptakan suasana lingkungan kerja
yang nyaman, tenang, rapi dan tahapan yang teratur untuk
meminimalisir penggunaan calo.
4. Sistem Administrasi. Unit layanan/Instansi harus melakukan
evaluasi dan perbaikan sistem administrasi pada unit layanan
publik dengan menciptakan mekanisme yang dapat
memastikan bahwa seluruh perangkat baik berupa
SOP/sistem/aturan maupun fasilitas yang telah ada dijalankan
oleh petugas layanan dan dimanfaatkan oleh pengguna
layanan. SOP/sistem/aturan mengenai prosedur, waktu dan
biaya harus diketahui/diumumkan kepada pengguna layanan
sehingga mempermudah pengguna layanan saat mengurus
layanan.
5. Perilaku Individu. Unit layanan/instansi memastikan bahwa
terdapat keadilan dalam layanan dan tidak ada perbedaan
perlakuan petugas dalam memberi layanan. Hal ini untuk
mencegah pengguna layanan berinisiatif memberikan uang
tambahan. Salah satunya dengan cara menerapkan sistem
antrian. Unit layanan memastikan petugas siap melayani,
berpenampilan rapi dan sopan serta menguasai tugas dan
tanggung jawabnya.
6. Pencegahan Korupsi. Unit layanan/instansi meningkatkan
kegiatan kampanye anti korupsi yang efektif kepada petugas
dan pengguna layanan serta menyediakan sarana pengaduan
layanan yang mudah diakses. Setiap pengaduan yang masuk
ditindaklanjuti oleh petugas.
Untuk instansi dengan skor integritas tidak terlalu jauh dari nilai
standar minimun yang ditetapkan KPK (6,00) perlu ditetapkan
perbaikan pada:

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 125


Laporan Akhir

1. Jumlah/besaran gratifikasi. Melakukan sosialisasi besaran


biaya resmi/sesuai dengan peraturan yang berlaku, karena
masih terjadi ketidaksesuaian biaya saat pengurusan layanan
2. Waktu pemberian gratifikasi. Unit layanan harus
menciptakan suasana/desain/layout ruangan yang
memungkinkan tidak terjadi kontak antara petugas dan
pengguna layanan. Jika harus ada, pertemuan antara petugas
dan pengguna layanan sebaiknya dilakukan di tempat yang
terbuka dan dapat dimonitor oleh banyak orang, sehigga lebih
menyulitkan terjadinya suap/gratifikasi terutama pada saat di
awal pertemuan
3. Tujuan pemberian gratifikasi. Perlu diterapkan aturan yang
jelas dan tegas serta dilakukan sosialisasi/kampanye
antikorupsi terhadap petugas dan pengguna layanan guna
memberikan pengertian yang benar tentang tindakan
pemberian gratifikasi.
Untuk instansi dengan skor integritas <6.0, perlu ditetapkan
perbaikan pada:
1. Kebiasaan Pemberian Gratifikasi. Pimpinan Instansi/Unit
Layanan harus menanamkan dan mempraktekkan sikap
bahwa birokrat adalah pelayan masyarakat dan memberikan
sanksi bagi petugas layanan yang meminta imbalan dan
menerima suap.
2. Pemanfaatan Teknologi Informasi. Menyediakan perangkat
informasi yang dapat mudah diakses pengguna layanan dan
melakukan sosialisasi tentang tatacara penggunaan perangkat
tersebut.
3. Perilaku Pengguna. Instansi/Unit layanan perlu menciptakan
mekanisme yang dapat memastikan bahwa seluruh perangkat
baik itu berupa SOP/sistem/aturan dijalankan oleh petugas
layanan. Hal ini dimaksudkan agar pengguna layanan dapat
merasakan keadilan dalam pengurusan layanan sehingga
inisiatif memberi/ meminta uang tambahan baik oleh
pengguna atau petugas layanan dapat diminimalisi

126 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

4. Tingkat Upaya Antikorupsi. Melakukan sosialisasi/kampanye


antikorupsi terhadap petugas dan pengguna layanan dengan
cara menempel stiker/poster/spanduk antikorupsi di area
sekitar loket pelayanan, menyebarkan buku/ modul tentang
antikorupsi, memutar video/film/ iklan antikorupsi di monitor
di sekitar unit layanan, mengadakan workshop/seminar
tentang antikorupsi kepada petugas dan melibatkan
masyarakat secara aktif.
5. Mekanisme Pengaduan Masyarakat. Menyediakan
fasilitas/media pengaduan yang mudah diakses oleh
masyarakat pengguna layanan (baik melalui kotak pengaduan,
sms pengaduan, saluran (hotline) pengaduan, email dan
sebagainya). Pengaduan tersebut harus ditindaklanjuti/
ditanggapi oleh petugas.

Perspektif Kewenangan Antar Tingkatan Pemerintahan


Dalam mengevaluasi efektivitas pelayanan publik adalah dengan
melihat peta pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan,
baik itu pusat-daerah maupun provinsi-kabupaten/kota. Mengapa
demikian? Menurut Tri Widodo (2013), setidaknya ada 2 (dua) sebab
mengapa hubungan antar pemerintahan ini bisa dijadikan angle
untuk memahami problema besar dalam pelayanan publik, yaitu:
1. Terdapat indikasi ada urusan yang sama dilakukan oleh lebih
dari satu lembaga, namun dengan sumber pembiayaan yang
berbeda. Misalnya, urusan pertanian di daerah dikeroyok oleh
Kementerian Pertanian melalui Dana Dekon dan Tugas
Pembantuan, oleh Provinsi melalui APBD Provinsi, dan oleh
Kab/Kota melalui APBD Kab/Kota. Kondisi seperti ini
bukannya membuat program pertanian menjadi lebih efektif
namun yang terjadi justru adalah Inefisiensi birokrasi;
2. SPM diterjemahkan secara berbeda oleh Kabupaten/Kota,
sehingga membuka peluang terjadinya kesenjangan standar
pelayanan antar daerah. Misalnya: Kabupaten A
menggratiskan pendidikan hingga 8 tahun, sementara
Kabupaten B hingga 12 tahun. Kabupaten C menggratiskan
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 127
Laporan Akhir

pelayanan kesehatan untuk pemegang Askeskin, sementara


Kabupaten D untuk seluruh penduduk tanpa kecuali. Kondisi
seperti ini hanya akan menimbulkan persaingan tidak sehat
antar daerah yg mengganggu NKRI;
Pada sisi lain, terdapat kecenderungan pelayanan publik di daerah
tidak fokus dan tidak optimal. Dalam kaitan ini, pembagian
urusan/kewenangan menjadi penting karena berbagai sebab :
1. Pengaturan tentang pembagian kewenangan secara konkuren
selama ini cenderung kabur dan kurang operasional;
2. Kewenangan konkuren melahirkan model kelembagaan yg
konkuren juga. Kondisi ini akan menimbulkan masalah
koordinasi;
3. Provinsi dan Kabupaten/Kota sama-sama menjalankan
kewenangan wajib, namun selama ini hanya Kabupaten/Kota
yang dituntut menerapkan SPM. Hal menggambarkan adanya
inkonsistensi kebijakan;
4. Fungsi lintas daerah seperti ketahanan pangan,
penanggulangan bencana, atau lingkungan hidup, yang
mestinya cukup ada di provinsi, justru dilaksanakan juga di
Kabupaten/Kota secara piecemeal;
Berdasarkan situasi tersebut, maka rekomendasi yang bisa diajukan
agar upaya reformasi birokrasi dapat mendorong peningkatan
pelayanan publik, diantaranya adalah :
1. Untuk konteks Pusat, Roadmap RB ke-2 harus dikembangkan
cakupannya kepada governance/ administrative reform,
antara lain dengan menambah area perubahan baru yakni
Hubungan Antar Tingkatan Pemerintahan (Pusat-Daerah),
dan Pembagian Urusan Pemerintahan.
2. Selain mereformulasi area perubahan, perlu dirumuskan
sasaran dan program/kegiatan yg lebih logis, terutama
dalam mewujudkan world-class public service.

128 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

3. Secara perlahan terus ditumbuhkan orientasi kepublikan


(public values orientation), dengan mengurangi orientasi
pemenuhan kebutuhan pribadi (self fulfilling orientation).
4. Untuk konteks Daerah, meski masih menggunakan model
konkuren, namun harus dibedakan antara urusan wajib
Provinsi dengan urusan wajib Kabupaten/Kota. Urusan wajib
Provinsi adalah urusan yg memiliki karakteristik/dampak lintas
Kab/Kota, misalnya Ketahanan Pangan, Penanggulangan
Bencana, Lingkungan Hidup. Sedangkan urusan sektoral lokal
seperti pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata,
pendidikan, sosial tetap ada di Kabupaten/ Kota.
5. Dengan urusan yang berbeda antara Provinsi dan
Kabupaten/Kota, maka desain kelembagaan mereka juga akan
berbeda.
6. Perlu pengembangan konsep SPM Regional yg menjadi
kewajiban Provinsi. Pencapaian SPM Kabupaten/Kota tetap
sesuai kapasitas masing-masing, namun melalui SPM Regional
ini, Provinsi harus memberi jaminan tidak akan terjadi
disparitas standar pelayanan publik antar Kab/Kota.

Perspektif Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik yang


Berpusat Pada Pelanggan (Customer Centric Strategy)
Upaya untuk semakin meningkatkan kualitas pelayanan publik dapat
pula difokuskan pada pelanggan (customer) sebagai end-user
pelayanan yang diberikan oleh instansi penyelenggara pelayanan.
Strategi seperti ini dikenal dengan nama Customer Centric Strategy
(CCS) yang dikembangkan oleh pihak Bank Dunia. Ada 6 elemen
kunci dalam CCS ini, yaitu :
1. Menggunakan wawasan yang dimiliki pelanggan untuk
pelanggan yang tersegmentasi.
a. Pemahaman atas segmentasi pelanggan ini penting
untuk mengembangkan dan mengimplementasikan
strategi antaran layanan yang berpusat pada pelanggan
(centric service delivery strategy);
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 129
Laporan Akhir

b. Untuk itu, dibutuhkan sebuah strategi yang jelas untuk


menjamin semua segmen masyarakat yang dilayani
tercakup didalamnya (inclusion).
2. Membuat beragam saluran antaran (multiple delivery channels)
a. Mengembangkan sebuah pemahaman nyata tentang apa
yang diinginkan pelanggan akan menciptakan peluang
untuk menyediakan layanan melalui saluran-saluran yang
akan memberi respon terbaik atas kebutuhan mereka;
b. Mengingat begitu beragamnya basis pelanggan,
organisasi sektor publik perlu fokus pada bagaimana
menciptakan saluran-saluran antaran layanan yang
beragam.
3. Menselaraskan antaran layanan dengan kebutuhan pelanggan
a. Mengorganisir unit-unit antaran disekitar segmen-
segmen pelanggan yang ada;
b. Merancang proses antaran layanan dari sudut pandang
pelanggan , dan menggunakan co-creation;
c. Menyatukan teknologi kedalam proses antaran layanan;
d. Melakukan diferensiasi layanan atas pelanggan
berdasarkan kebutuhan dan preferensi mereka;
e. Menawarkan jaminan layanan dengan cara menetapkan
standar dan standar kinerja layanan yang jelas;
f. Menyebarkan teknologi pada jalur-jalur layanan yang
dinilai paling tepat;
g. Memahami harapan pelanggan berdasarkan pengalaman
mereka pada masing-masing saluran kontak.
4. Menetapkan standar layanan
a. Semakin besar tingkat kesadaran pelanggan mendorong
tuntutan akan akuntabilitas dan transparansi yang lebih
besar. Hal ini memaksa organisasi sektor publik untuk
memberi respon secara positif;

130 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

b. Menetapkan, mengukur, dan menegakkan standar


layanan yang berpusat pada pelanggan akan mendorong
evaluasi sektor publik atas dasar matriks pelanggan yang
yang saat ini merupakan salah satu bagian dari Indikator
Kinerja Kunci atau Key Performance Indicators (KPI).
5. Membentuk dan memberdayakan pelopor-pelopor di
kalangan pelanggan (customer champions). Yang menjadi
tantangan dalam kaitan ini :
a. Menetapkan peran kepemimpinan dari pelopor
pelanggan yang berhasil (high-profile customer champion)
yang fokusnya pada pelanggan (level strategis);
b. Pada level front-line terhubung dengan pelanggan.
Kualitas pelanggan yang dihadapi staf adalah hal kritis
karena mereka the front-line customer champions,
sehingga staf yang ada harus memiliki keterampilan yang
mumpuni dalam menghadapi pelanggan.
6. Perbaikan berkesinambungan melalui umpan balik pelanggan.
a. Umpan balik pelanggan adalah piranti yang sangat
berguna, tidak hanya untuk memahami pengalaman dan
kepuasan pelanggan atas layanan publik, tetapi juga
untuk mengembangkan strategi perbaikan atas layanan-
layanan tersebut;
b. Umpan balik dari pelanggan dan staf front-line dapat
membantu menjamin bahwa strategi perbaikan layanan
difokuskan pada area-area yang akan membuat
perbedaan paling nyata bagi pelanggan;
c. Umpan balik ini dapat:
 Membedakan organisasi melalui dukungan dan
layanan pelanggan yang bersifat memaksa;
 Menjadikan hubungan antara organisasi dengan
pelanggan lebih bersifat personal;
 Melibatkan semua pelanggan dalam proses umpan
balik melalui penggunaan survei secara efektif;
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 131
Laporan Akhir

 Memotivasi pegawai untuk mengutamakan kepuasan


pelanggan dan tanggungjawab atas hasil layanan bagi
pelanggan.

Perspektif Inovasi Pelayanan Publik


Berkenaan dengan reformasi birokrasi dalam menyelenggarakan
pelayanan publik, salah satu instrumen yang digunakan adalah e-
procurement sebagai salah satu bentuk inovasi pada pelayanan
publik. Instrumen ini merupakan sebuah sistem pengadaan barang
dan jasa secara elektronik di sektor publik.
Melalui e-procurement, proses pengadaan barang dan jasa tidak lagi
harus melibatkan sumber daya birokrasi yang besar, baik pada ranah
sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Selain itu,
potensi kontrol dan orientasi kepada ketertiban dari proses
penyelenggaraan pelayanan publik dapat diminimalisir. Mengingat,
dalam sistem e-procurement, setiap stakeholder punya derajat
otonomi dan independensi yang tinggi, sehingga tidak mudah tunduk
pada alur kontrol birokrasi. Sebagai sebuah produk layanan publik, e-
procurement dipandang dapat mendorong proses instalasi nilai-nilai
profesionalisme birokrasi dalam menjalankan pelayanan publik,
seperti:
1. Inovatif, suatu komponen yang komprehensif untuk memberi
dan melakukan atau menciptakan konsep baru dalam konteks
perbaikan pelayanan publik, terutama dalam proses
pengadaan barang dan jasa;
2. Teamwork, keyakinan bahwa upaya pencapaian tujuan
bersama dalam proses pengadaan barang dan jasa akan lebih
berhasil bila dilakukan secara bersama-sama dalam team work
daripada secara individual;
3. Kepercayaan masyarakat, akan menimbulkan situasi dimana
proses pengadaan barang dan jasa akan mendapat dukungan
masyarakat. Masyarakat dapat terdorong secara aktif untuk
ambil bagian dalam proses tersebut;

132 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

4. Kesejahteraan, upaya kita untuk mewujudkan masyarakat


yang sejahtera melalui proses pengadaan barang dan jasa
yang mempunyai derajat akuntabilitas tinggi;
5. Kecepatan, mengutamakan kecepatan dalam proses
pelayanan publik, khususnya untuk kegiatan pengadaan
barang dan jasa.
Lebih lanjut, e-procurement juga dipandang sebagai inovasi dalam
proses pelayanan publik yang dapat menjadi solusi bagi persoalan
korupsi sebagai patologi tertinggi dari birokrasi.
Ikhsanto (2013) mengemukakan bahwa kebijakan e-procurement
merupakan sebuah inovasi yang mendorong proses reformasi
birokrasi. Melalui e-procurement, reformasi birokrasi akan semakin
efisien dan efektif dalam mengurangi praktek tindak pidana korupsi
serta dapat meningkatkan responsifitas pelayanan publik dalam
proses pengadaan barang dan jasa. Selain itu, dalam kaitannya
dengan reformasi birokrasi dan inovasi pelayanan publik, e-
procurement dapat mengubah proses pengadaan barang dan jasa
menjadi lebih ekonomis dibandingkan dengan proses pengadaan
barang dan jasa konvensional, sehingga dapat mendorong
pengembangan ekonomi lokal dengan pemberian kemudahan ruang
partisipasi bagi UKM pada proses pengadaan barang dan jasa.
Di tataran implementasi, sebagai sebuah hasil inovasi pelayanan
publik, kebijakan e-procurement relatif mempunyai dilema terkait
dengan keberlanjutannya. Secara umum, jaminan terhadap
keberlanjutan e-procurement dapat didesain melalui proses
peningkatan profesionalisme SDM birokrasi serta pemberian payung
hukum yang kuat bagi rujukan legal formal kebijakan e-procurement.
Namun demikian, di tingkatan operasional, peningkatan
profesionalitas birokrasi memprasyaratkan adanya sebuah program
penguatan kapasitas yang bersifat komprehensif. Adapun, di aras
legal formal, meski sudah terdapat payung hukum bagi kebijakan e-
procurement, keberlanjutan kebijakan ini juga ditentukan prasyarat
adanya konsolidasi aturan legal formal, sehingga tidak terjadi
fragmentasi regulasi dalam mendesain keberlanjutan kebijakan e-
procurement.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 133


Laporan Akhir

Pada dasarnya untuk memperbaiki antaran layanan publik Indonesia


dapat dianalisa dengan menggunakan kerangka yang dikembangkan
oleh Michael Barber (2007). Model konseptual yang dikembangkan
Barber didasarkan pada pengalaman UK dalam mereformasi
pelayanan publiknya selama masa pemerintahan partai buruh dari
tahun 1998 sampai pertengahan tahun 2005. Kerangka tersebut
menggambarkan adanya 3 paradigma manajemen pelayanan publik
yaitu:
1. Command and Control (C&C) — cara ini lebih tepat pada saat
keputusan penting harus dibuat dan didorong dari atas;
2. Devolution and Transparency (D&T) — pengelola pelayanan
publik diberi kewenangan mengelola sumber daya dan
meningkatkan akuntabilitas untuk meningkatkan kinerja; dan
3. Quasi-markets— gaya hubungan kontraktual dikembangkan,
misalnya agensi memberikan layanan atas nama pemerintah.
Ketiga paradigma ini didukung oleh 3 fungsi pokok yaitu: (1)
kapabilitas, kapasitas, dan kultur; (2) manajemen kinerja; dan (3)
arahan strategis.
Model Barber ini dapat dilihat pada Gambar 7.1 berikut . Melalui
ketiga fungsi pokok tersebut, kita dapat menguji proses dan dampak
reformasi sektor publik dan bagaimana fungsi-fungsi tersebut
bersama-sama mentransformasikan sektor publik agar tetap
kompetitif di era globalisasi.

134 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

Gambar 7.1.
Model Mentransformasi Pelayanan Publik

7.3. Rekomendasi untuk Meningkatkan Pelayanan Publik Bagi


Pelaku Usaha
Dengan merujuk pada Ease Doing Business 2012, khususnya terkait
dengan publikasi hasil kajian untuk Indonesia, dikemukakan sejumlah
rekomendasi yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan
pelayanan publik bagi para pelaku usaha. Beberapa rekomendasi
dimaksud secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Mendirikan usaha. Langkah reformasi yang dapat diambil,
antara lain: (a) Reformasi perizinan daerah, (b)
Penyelenggaraan pelayanan terpadu untuk semua prosedur
pendaftaran dengan memanfaatkan teknologi informasi, (c)
Peningkatan koordinasi antara pemerintah nasional dan
daerah untuk mengurangi ketidak pastian hukum dan
mendorong transparansi, (d) Menyediakan akses publik dalam
proses pendaftaran usaha dan penggunaan jasa perantara
profesional sebagai alternatif, dan (e) Meniadakan persyaratan
modal minimum.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 135


Laporan Akhir

2. Mengurus IMB. Langkah reformasi yang dapat diambil, antara


lain: (a) Penyederhanaan izin mendirikan bangunan, (b)
Melakukan penggabungan perizinan lokasi lebih lanjut, dan (c)
Meningkatkan komputerisasi dalam pelayanan perizinan
mendirikan bangunan.
3. Pendaftaran properti. Langkah reformasi yang dapat diambil,
antara lain: (a) Menurunkan tarif pajak peralihan dan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan atau menggantikan
bea-bea tersebut dengan menetapkan biaya tetap, (b)
Peningkatan koordinasi antar lembaga-lembaga pemerintah,
(c) Pemantauan dan penegakan pelaksanaan peraturan
nasional di seluruh kota di Indonesia untuk membantu
percepatan prosedur di kantor Badan Pertanahan Nasional,
dan (d) Memberlakukan sistem pendaftaran elektronik.
Sementara itu, dengan merujuk pada Laporan Ease to Doing Business
2014 ada sejumlah praktek baik (good practices) yang dijadikan tolok
ukur dari upaya-upaya yang telah dilakukan oleh sejumlah negara
untuk memberikan kemudahan berusaha pada para investor. Upaya-
upaya dimaksud dapat dilihat pada Tabel 7.1 berikut.

Tabel 7.1.
Good Practices Memulai Usaha di Berbagai Negara
No Aspek Rincian Negara Yang Mempraktekan

1 Kemudahan Menempatkan prosedur Azerbaijan; Chile; Costa Rica;


untuk memulai perizinan secara online Hong Kong SAR, China; FYR
usaha Macedonia; Selandia Baru; Peru;
Singapura
Tidak menerapkan Cape Verde; Yunani;
persyaratan modal Kazakhstan; Kenya; Kosovo;
minimum Lithuania; Mexico; Mongolia;
Maroko; Belanda; Serbia; UK;
Tepi Barat dan Gaza
Mempunyai layanan satu Bahrain; Benin; Burkina Faso;
pintu (one-stop shop) Burundi; Cote d’Ivoire; Georgia;
Guatemala; Korea Selatan;
Kosovo; Peru; Vietnam
2 Kemudahan izin Memiliki aturan-aturan Azerbaijan; Kepulauan Komoro;
konstrksi izin membangun yang Perancis ; Taiwan, China
komprehensif

136 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

No Aspek Rincian Negara Yang Mempraktekan

Menggunakan Belize; Estonia; Indonesia;


persetujuan membangun Namibia
yang berbasis resiko
(risk-based building
approvals)
Mempunyai layanan satu Burundi; Guatemala; Malaysia;
pintu (one-stop shop) Montenegro
3 Kemudahan Streamlining proses Armenia; Austria; Kamboja;
untuk persetujuan (seperti izin China; Kuwait; Malaysia;
mendapatkan untuk menggali) Panama
sambungan Menyediakan proses dan Perancis; Jerman; Irlandia;
listrik biaya sambungan yang Belanda; Trinidad dan Tobago
transparan
Mengurangi beban Argentina; Austria; Brazil;
finansial dari uang Kyrgyztan; Latvia; Mozambique;
deposit untuk Nepal; Rusia
sambungan baru
Menjamin keamanan Denmark; Jerman; Islandia;
instalasi internal dengan Jepang; San Marino
mengatur profesi
elektrikal dibanding
pengaturan melalui
proses pemasangan
4 Kemudahan Menggunakan basis data Chile; Denmark; Jamaica; Korea
registrasi elektronik untuk Selatan; Swedia
properti pemegang beban hipotik
(encumbrances)
Menawarkan informasi kolombia; Finlandia; Malaysia;
kadaster secara online Afrika Selatan; United Kingdom
Menawarkan prosedur- Kazakhstan; Mongolia;
prosedur yg diekspedisi Nikaragua; Portugal; Rumania
(expedited procedures)
Menetapkan biaya Georgia; Selandia Baru; Rusia;
transfer secara fixed Rwanda; Slowakia
5 Kemudahan Hak-hak Legal
untuk Memperbolehkan Australia; Guatemala; India;
mendapatkan mekanisme diluar Peru; Rusia; Serbia; Sri
kredit pengadilan (out-of-court Lanka
enforcement)
Memperbolehkan Kambodia; Kanada; Nigeria;
adanya sebuah deskripsi Puerto Rico (U.S.); Romania;
umum tentang sistem Rwanda; Singapura
kolateral
Memelihara sistem Afghanistan; Bosnia dan
register yang terpadu Herzegovina; Ghana; Honduras;
(unified registry) Montenegro; Selandia Baru;
Rumania

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 137


Laporan Akhir

No Aspek Rincian Negara Yang Mempraktekan

Informasi Kredit
Mendistribusikan data Brazil; Bulgaria; Jerman; Kenya;
tentang bantuan Malaysia; Sri Lanka; Tunisia
dibawah 1% dari
pendapatan per kapita
Mendistribusikan China; Kroasia; India; Itali;
informasi kredit baik Jordania; Panama; Afrika
yang positif maupun Selatan
negatif
Mendistribusikan Fiji; Lithuania; Nikaragua;
informasi kredit dari Rwanda; Saudi Arabia; Spanyol
retailer atau institusi
keuangan
6 Melindungi Memperbolehkan Brazil; Ghana; Islandia; India;
investor transaksi prejudisial Mauritius; Rwanda
dengan pihak-pihak
terkait
Mengatur persetujuan Belarusia; Bulgaria; Perancis;
tentang transaksi Thailand; United Kingdom
dengan pihak terkait
Mempersyaratkan Hong Kong SAR, China;
disclosure secara rinci Selandia Baru; Singapura;
United Arab Emirates; Vietnam
Memperbolehkan akses Chili; Irlandia; Israel; Slowakia;
terhadap semua Tanzania
dokumen perusahaan
selama masa pengadilan
Mempersyaratkan Australia; Mesir; Swedia; Turki;
adanya tinjauan pihak Zimbabwe
luar (external review) atas
transaksi dari pihak-
pihak terkait
Memperbolehkan akses Yunani ; Indonesia; Jepang;
terhadap semua Afrika Selatan; Timor-Leste
dokumen perusahaan
sebelum masa
pengadilan
Mendefinisikan secara Kolombia; Kuwait; Malaysia;
jelas tugas-tugas para Mexico; Slovenia; AS
direktur
7 Kemudahan Memperbolehkan Argentina; Kanada; Cina;
untuk membayar adanya self-assessment Rwanda; Sri Lanka; Turki
pajak
Memperbolehkan Australia; Kolombia; India;
diterapkannya pengisian Lithuania; Malta; Mauritius;
dan pembayaran pajak Tunisia
secara elektronik

138 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

No Aspek Rincian Negara Yang Mempraktekan

Memiliki satu basis untuk Macedonia; Namibia; Paraguay;


setiap pajak United Kingdom
8 Kemudahan Memperbolehkan Yunani ; Laos; Afrika Selatan ;
untuk melakukan submisi dan pemrosesan Uruguay
perdagangan secara elektronik
lintas-batas Melaksanakan inspeksi Botswana; Georgia; Mauritania;
berbasis resiko AS
Menyediakan pelayanan Azerbaijan; Kolombia; Mexico;
satu pintu Mozambique
9 Kemudahan Mendorong pengadilan, Kanada; Cote d’Ivoire; Hongaria;
untuk divisi atau hakim niaga Luksemburg; Mauritius; Togo
melaksanakan yang terspesialisasi
kontrak Memperbolehkan Austria; Israel; Malaysia; United
pengisian keluhan secara Arab Emirates; AS
elektronik
10 Kemudahan Mempersyaratkan Bahamas; Belarus; Kolombia;
untuk kualifikasi akademis atau Namibia; Polandia; United
memecahkan profesional berdasarkan Kingdom
masalah hukum untuk
ketidakmampuan administrator insolvency
membayar utang Memperbolehkan komisi Australia; Bulgaria; Philippina;
(insolvency) yang terdiri atas para United States; Uzbekistan
kreditor untuk
mengemukakan
pendapat dalam
pengambilan keputusan
pembayaran utang
Menspesifikasi batas Albania; Italia; Jepang; Korea
waktu atas sebagian Selatan; Lesotho; Ukraina
besar prosedur
insolvency
Membuat kerangka legal Argentina; Hong Kong SAR,
untuk penyelesaian China; Latvia; Philippina;
diluar pengadilan (out- Rumania
of-court)
Sumber : Ease Doing Business (2014)

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 139


Laporan Akhir

140 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

EPILOG

Tidak lama setelah draft laporan akhir ini disusun (tepatnya tanggal
15 Januari 2014) telah ditetapkan UU No.5/2014 tentang Aparatur
Sipil Negara atau biasa dikenal dengan akronim ASN. Ditetapkannya
UU ASN ini mengganti UU No.8/1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No.43/1999
tentang Perubahan atas UU No.8/1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian serta mencabut ketentuan mengenai Kepegawaian
Daerah yang diatur dalam Bab V UU No.32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah juncto UU No.12/2008 dan peraturan
pelaksanaannya.
Ada beberapa butir penting yang ada dalam UU ASN ini yang akan
berpengaruh terhadap RB (khususnya aspek SDM aparatur dan
kelembagaan), yaitu :
1. Jenis Pegawai ASN
Pegawai ASN terdiri atas PNS dan PPPK (Pegawai Pemerintah
dengan Perjanjian Kerja). PNS adalah Pegawai ASN yang
diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara
nasional. PPPK adalah Pegawai ASN yang diangkat sebagai
pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah
dan ketentuan Undang-Undang ini.
2. Jabatan ASN
Jabatan ASN terdiri atas:
a. Jabatan Administrasi; yang terdiri dari jabatan
administrator, pengawas dan pelaksana;
b. Jabatan Fungsional; yang terdiri dari jabatan fungsional
keahlian dan jabatan fungsional keterampilan;

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 141


Laporan Akhir

c. Jabatan Pimpinan Tinggi , yang terdiri jabatan pimpinan


tinggi utama, madya, dan pratama.
3. Pengisian Jabatan Pimpinan
Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada
kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga
nonstruktural, dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka
dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan
syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan
latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan
lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengisian jabatan pimpinan tinggi
pratama dilakukan secara terbuka dan kompetitif pada tingkat
nasional atau antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
4. Penyetaraan
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, terhadap jabatan
PNS dilakukan penyetaraan:
a. Jabatan eselon Ia kepala lembaga pemerintah
nonkementerian setara dengan jabatan pimpinan tinggi
utama;
b. Jabatan eselon Ia dan eselon Ib setara dengan jabatan
pimpinan tinggi madya;
c. Jabatan eselon II setara dengan jabatan pimpinan tinggi
pratama;
d. Jabatan eselon III setara dengan jabatan administrator;
e. Jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas; dan
f. Jabatan eselon V dan fungsional umum setara dengan
jabatan pelaksana.
5. Peraturan pelaksanaan
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan yang berarti tanggal tenggat
waktunya adalah 15 Januari 2016.
142 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Laporan Akhir

Ada sejumlah implikasi dari ditetapkannya UU ASN ini bagi


pelaksanaan program RB, yaitu :
1. Dari sisi manajemen SDM, pengisian posisi jabatan pimpinan
tinggi menjadi terbuka, bersifat merit, dan kompetitif. Kondisi
ini mendorong diterapkannya prinsip keadilan dalam
pengisian jabatan publik dan memberikan peluang untuk
mendapatkan pimpinan “terbaik”. Namun, yang perlu
didorong dan didukung oleh adanya sistem perekrutan yang
objektif dan bebas dari intervensi politik.
2. Dari sisi organisasi, profil struktur organisasi K/L/Pemda ke
depan akan menjadi lebih ramping. Dengan mengacu pada
ketentuan tentang penyetaraan dalam UU ASN ini, maka
organisasi dalam pengertian “struktur” hanya akan sampai
pada eselon II. Sisanya diisi oleh jabatan administrasi dan
jabatan fungsional. Melihat arahan ke depan serta melihat
tantangan birokrasi masa depan maka yang perlu diperbanyak
adalah jabatan fungsional. Hal ini akan mempercepat
terwujudnya organisasi birokrasi yang “miskin struktur, kaya
fungsi”.
3. Dari sisi kebijakan, kurun waktu 2 tahun kedepan menjadi
krusial agar UU ASN dapat mulai diimplementasikan secara
efektif. Ada begitu banyak peraturan pelaksanaan yang harus
segera disusun agar dapat memberikan kepastian pada
K/L/Pemda dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Setidaknya ada 6 (enam) peraturan pelaksanaan yang perlu
diprioritaskan penyusunannya yaitu :
a. PP yang mengatur tentang penetapan syarat kompetensi,
kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam
jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang
dibutuhkan Jabatan Pimpinan Tinggi;
b. PP mengenai hak PNS, hak PPPK, dan kewajiban Pegawai
ASN;
c. Peraturan Presiden tentang kedudukan, susunan
organisasi, fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab
sekretariat, tata kerja, sistem dan manajemen sumber
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 143
Laporan Akhir

daya manusia, serta tanggung jawab dan pengelolaan


keuangan KASN;
d. PP mengenai pengembangan karier, pengembangan
kompetensi, pola karier, promosi, dan mutasi;
e. PP mengenai gaji, tunjangan kinerja, tunjangan
kemahalan, dan fasilitas;
f. PP mengenai pengangkatan, pemberhentian, pengaktifan
kembali, dan hak kepegawaian PNS yang diangkat menjadi
pejabat negara dan pimpinan atau anggota lembaga
nonstruktural.

144 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

DAFTAR PUSTAKA

Creswell, John.W. 1994. Research Design: Qualitative and


Quantitative Approaches, California USA: Sage Publication.

Dwiyanto, Agus. 2011 a. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli,


Inklusif, dan Kolaboratif (Edisi Kedua). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

. 2011 b. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui


Reformasi Birokrasi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Edelman. 2013. Edelman Trust Barometer 2013 : Annual Global


Study.

Effendi, Sofian. Reformasi Tata Pemerintahan: Menyiapkan


Aparatur Negara Untuk Mendukung Demokratisasi Politik
dan Ekonomi Terbuka. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 2010.

. Reformasi Aparatur Negara Untuk Melaksanakan Tata


Pemerintahan Yang Baik. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional AIPI “Reformasi Birokrasi dan
Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, di Medan, 3-4 Mei
2006.

Horhoruw, Maggy. Karippacheril, Tina George. Sutiyono, Wahyu.


Thomas, Theo. Transforming The Public Sector In Indonesia:
Delivering Total Reformasi. (tanpa tahun). The World Bank,
Jakarta.

KPK. 2012. Survei Integritas Sektor Publik 2011, Direktorat


Penelitian dan Pengembangan. Jakarta.

. 2013. Survei Integritas Sektor Publik 2012, Direktorat


Penelitian dan Pengembangan. Jakarta.
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 145
Laporan Akhir

Lembaga Administrasi Negara. Buku Putih Reformasi Administrasi


Negara. Jakarta. 2010

Magister Administrasi Publik UGM dan Bappenas. Laporan Akhir


Kajian Pembangunan Birokrasi di Indonesia. Jakarta. 2009

Makmur. 2009. Patologi Birokrasi Serta Terapinya dalam Ilmu


Administrasi dan Organisasi. Penerbit Refika Aditama.
Bandung.

Prasojo, Eko. 2009. Reformasi Kedua: Melanjutkan Estafet


Reformasi. Penerbit Salemba Humanika, Jakarta.

Riyadi. 2008. Reformasi Birokrasi dalam Perspektif Perilaku


Administrasi. Jurnal Ilmu Administrasi. Vol. V, No.1, Maret
2008. pp. 100 – 108.

Royse, David., Thyer, Bruce A., Padgett, Deborah.K., Logan, TK.


2006. Program Evaluation: an Introduction. Fourth Edition.
Belmont USA: Thomson Brooks/Cole

Setiyono, Budi. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi.


Penerbit Nuansa. Bandung. 2012

Tamin, Feisal. 2004. Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan


Aparatur Negara. Blantika, Jakarta.

Thompson, Dennis F. 2002. Etika Politik Pejabat Negara.


Penerjemah: Benyamin Molan, Edisi Kedua, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.

The World Bank dan IFC. 2012. Doing Business 2012: Doing Business
in a More Transparent World. Washington DC.

. 2013. Doing Business 2014 : Understanding Regulations for


Small and Medium-Size Enterprises. Washington DC

146 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi


Laporan Akhir

. 2013. Doing business di Indonesia 2012:


Memperbandingkan Kebijakan Usaha di 20 Kota dan 183
Perekonomian.

World Economic Forum. The Global Competitiveness Report 2012.


Geneva-Switzerland. 2012

BAHAN PAPARAN DISKUSI TERBATAS

1. Pembangunan Birokrasi di Indonesia, dengan narasumber Siti


Zuhro (LIPI) dan Anwar Sanusi (LAN). Kegiatan dilaksanakan
pada tanggal 26 Juli 2012.

2. Indikator Capaian Reformasi Birokrasi: Isu dan Tehnik


Pengukurannya, dengan narasumber Adi Suryanto (LAN) dan
Sofian Effendi (UGM). Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 30
Oktober 2012.

3. Reformasi Kelembagaan Pemerintah Pusat: Interim Report.


Anwar Sanusi. Reformasi Birokrasi: Pameran, Konferensi nan
Pertemuan Pemangku Kepentingan 2012. Hotel Bidakara
Jakarta, 27 – 29 Agustus 2012.

4. Membangun Kapabilitas Birokrasi: Membentuk Aparatur


Negara Yang Bersih, Mampu, dan Melayani. Agus Dwiyanto.
Reformasi Birokrasi: Pameran, Konferensi dan Pertemuan
Pemangku Kepentingan 2012. Hotel Bidakara Jakarta, 27 – 29
Agustus 2012.

5. Membangun Keberlanjutan Sistemik Bagi e-Procurement


Sebagai Inovasi Pelayanan Publik (2012). M. Adhi Ikhsanto, SIP,
MiOP. Reformasi Birokrasi: Pameran, Konferensi dan Pertemuan
Pemangku Kepentingan 2012. Hotel Bidakara Jakarta, 27 – 29
Agustus 2012.

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi 147


Laporan Akhir

6. Membangun Kepercayaan Publik kepada Pemerintah Melalui


Reformasi Birokrasi: Miliki Birokrat yang Berintegritas,
Kompeten, Konsisten, Loyal dan Terbuka. 2012. Dr. Ulber
Silalahi, MA. Program Studi Ilmu Administrasi Publik FISIP
Universitas Katolik Parahyangan. Reformasi Birokrasi : Pameran,
Konferensi nan Pertemuan Pemangku Kepentingan 2012. Hotel
Bidakara Jakarta, 27 – 29 Agustus 2012.

7. Memperkuat Kerangka Regulasi RB Dalam Rangka


Peningkatan Kualitas Pelayanan. Tri Widodo W. Utomo. Materi
Seminar Pengayaan Evaluasi Kebijakan RB, 17 Oktober 2013.
Jakarta

148 Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi

Anda mungkin juga menyukai