Konsep Pusat-Pusat Pertumbuhan PDF
Konsep Pusat-Pusat Pertumbuhan PDF
TINJUAN PUSTAKA
wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang
administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) dalam
Sulistiono (2008), wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-
batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain
ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik
(Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah,
homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3)
yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah
bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah
sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non
alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah
perencanaan.
penentuan lokasi optimum dan aglomerasi industri (Weber, 1909 dalam Adisasmita,
(Christaller, 1966, dalam Adisasmita, 2008) dan konsep “growth pole” yang
mengidentifikasikan tata ruang sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya
negara maupun wilayah lainnya. Salah satu konsep keruangan yang banyak diikuti
pemerintahan yang berkuasa di negara lain pada masa itu berusaha mencoba
peramalan masa depan dalam pendekatan analitis dari Isard membawa pada publikasi
tentang pembangunan ‘kutub’, growth pole, growth centers dan kelompoknya selama
paruh terakhir dari tahun 1960an. Pendekatan ini didasarkan pada realitas negara-
negara industri di Barat dalam penerapannya efektif, begitu juga besar harapan dapat
Pendapat Stern dalam Martina (2004) menyatakan bahwa pada era tahun
perencanaan pembangunan di negaranya, hal ini mengingat pada tahun 1960an, baik
mengerti ekonomi secara baik dan dengan kuat membawa negaranya ke arah tertentu.
Sehingga dapat dipahami mengapa konsep growth pole yang dianggap berhasil di
negara Barat banyak diikuti oleh berbagai negara pada tahun 1960an.
permasalahan, seperti urban bias (bias perkotaan) dan pro Jawa, sentralisasi kegiatan
penerapan konsep growth pole, dampak lain yang dirasakan adalah pengangguran di
kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu ada
tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan
itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan, dengan intensitas yang
ekonomi dalam suatu ruang yang abstrak. (Miyoshi, 1997 dalam Martina, 2004)
daerah pengaruhnya”. (Sitohang, 1977 dalam Martina, 2004) dan ia juga membangun
menerangkan suatu kondisi di mana pertumbuhan akan tercipta pada wilayah yang
ekonomi lainnya.
pertumbuhan.
c. Konsep “spread effect” atau “trickling down effect” menyatakan bahwa pada
hinterland-nya, ternyata tidak terwujud, yang terjadi malah justru back wash effect
yang pada akhirnya mengakibatkan disparitas wilayah dan sektoral yaitu kesenjangan
antara perkotaan dan perdesaan dan antara sektor industri dengan sektor pertanian.
Sektor industri di perkotaan tidak berbasis pada sektor primer, yaitu pertanian,
dicirikan oleh aktifitas ekonomi berupa industri, perdagangan, jasa dan dihuni oleh
yang lengkap, sementara kawasan perdesaan dicirikan oleh aktivitas pertanian secara
luas, dihuni oleh Sumberdaya manusia dengan tingkat pendidikan yang rendah,
perkotaan maupun didalam rural enclave tidak memberikan dampak multiplier tenaga
kerja dan pendapatan kepada sektor urban informal dan mayoritas penduduk di
wilayah perdesaan. Sebagian besar penduduk miskin di Indonesia bekerja pada sektor
pertanian. Dari total penduduk miskin yang berjumlah 37-38 juta jiwa, sebanyak 68%
pertanian berada di wilayah pedesaan maka sebagian besar penduduk miskin juga
pertanian di perdesaan yang digambarkan oleh Cilford Geertz (Andry, 2006 dalam
Baskoro, 2010)
growth pole menuai kritik (Miyoshi,1977 dalam Martina, 2004). Sehingga untuk
timbul sekaligus mempunyai tujuan keadaan lebih baik di masa depan. Konsentrasi
Indonesia pada masanya, menunjukkan bahwa konsep growth pole pada akhirnya
Indonesia pada tahun 1990, meningkat menjadi 61,54% pada tahun 2000. Jumlah
penduduk perkotaan di pulau Jawa pada tahun 1971 baru sebesar 18,04% menjadi
48,75% pada tahun 2000. Kebijakan pemerintah Indonesia yang pro Jawa dan pro
urban menurut Garcia-Garcia, 2000 dalam Martina (2004) dan sentralisasi industri di
pulau Jawa yang menimbulkan mega urban di pulau Jawa (Henderson dan Kuncoro,
strategi pembangunan yang berhasil diterapkan pada suatu wilayah dan pada suatu
masa, belum tentu berhasil atau memuaskan bila diterapkan di wilayah lain, hal ini
mengingat setiap wilayah mempunyai karakteristik yang khas dan berbeda antar
oleh kawasan perkotaan, baik Sumber daya alam maupun Sumber daya manusia
utara Jawa mencapai kurang lebih 20%. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah
mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal
sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran
senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta dan angka ini masih terus
meningkat karena terjadinya alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan menjadi
tanaman keras dan lahan untuk pemukiman membuat kondisi pertanian Indonesia
semakin rawan.
demikian merupakan arus utama sebagai penajaman arah baru bagi pembangunan
pengembangan struktur masyarakat tani yang muncul dari kemampuan petani itu
Apabila kita lihat pada kenyataan yang ada di Indonesia, bahwa di pedesaan
sekarang ini banyak petani yang luas lahannya kurang dari 0,5 hektar. Hal ini
pergeseran pola kesempatan kerja dari sektor pertanian kesektor non pertanian. Salah
satu indikator yang ditunjuk-kan adanya tenaga kerja pertanian yang mulai
dapat diartikan sebagai: proporsi tenaga kerja yang bekerja disektor pertanian
sektor non pertanian. Namun demikian, kesempatan kerja disektor pertanian masih
menjadi pilihan yang utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia, dalam
memenuhi pendapatan hidup, karena sektor pertanian relatif mudah dikuasai petani,
Prijono (2000).
Pole (Martina, 2004), dapat dilihat dari perkembangan pertanian di Indonesia. Selama
menitikberatkan pada sektor pertanian, utamanya tanaman pangan, yaitu padi. Pada
periode tersebut (1969 – 1989), sektor pertanian menyumbang 3,8% terhadap PDB,
dan sektor tanaman pangan menyumbang sebesar 60% dari PDB sektor pertanian.
Pada saat bersamaan, pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 4,6% jauh melebihi
pertumbuhan penduduk sebesar 2,1%. Pada masa itu sektor tanaman pangan
menyerap tenaga kerja lebih banyak. (Anwar, 2001 dalam Martina, 2004).
proteksi pemerintah yang lebih besar, yang sering merugikan sektor pertanian berupa
dikenakannya pajak-pajak ekspor dan pungutan dalam negeri ataupun pajak implisit
seperti mata uang rupiah yang kelebihan nilai. Hal ini merugikan para petani serta
bertumbuh dengan kecepatan relatif tinggi mencapai rata-rata 7,2% antara tahun 1970
– 1996. Keadaan ini mampu mendorong peningkatan pendapatan per kapita sebesar
didorong oleh pasokan-pasokan input melalui eksploitasi Sumber daya alam secara
penambangan minyak, gas alam dan mineral lainnya (Anwar, 2001 dalam Martina,
2004). Transformasi struktur ekonomi yang bergeser dari sektor pertanian menjadi
sektor industri, tentunya telah merubah peta keruangan di Indonesia. Ketika titik berat
perekonomian pada sektor pertanian (tahun 1970-an), yang menyerap lebih banyak
tenaga kerja dibanding sektor industri, menjadikan pedesaan masih menjadi tempat
penyebaran maupun lokasi penduduk. Tetapi begitu titik berat perekonomian pada
wilayah perkotaan menjadi semakin besar. Hal ini mengingat sektor industri pada
persentase jumlah penduduk perkotaan di Indonesia pada tahun 1971 yang baru
mencapai 17,42% dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 35,91%. Bahkan pada
pembangunan nasional.
growth pole di Indonesia juga menimbulkan dampak yang tidak dapat dihindari,
dari penerapan konsep growth pole akan dilihat berdasarkan data PDB di Indonesia
yang dibagi dalam wilayah pedesaan dan perkotaan. Bila diasumsikan sektor primer
dan tersier bagi PDB semakin meningkat dari tahun 1976 s/d tahun 1998 (lihat Tabel
2.1 dan Gambar 2.1). Hal ini memperkuat dugaan bahwa strategi growth pole diikuti
di Indonesia.
konsep growth pole lebih banyak dirasakan oleh penduduk pedesaan, meskipun akar
yang timbul perlu dipikirkan suatu konsep ruang yang dapat memberdayakan potensi
dan Mac Doughlas, 1974 (dalam BPTP, 2008) sebagai suatu siasat untuk percepatan
adalah pembangunan dalam arti luas, seperti redistribusi lahan, kesesuaian lahan,
desain tata guna lahan dan pembanguna sarana dan prasarana. Secara fenomenal
konsep ini mewujudkan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan atau istilah lain
Agropolitan terdiri dari kata Agro dan Politan (polis). Agro berarti pertanian
dan politan berarti kota sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota di lahan
pertanian. Dengan demikian agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan
berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani,
di perkotaan adalah fungsi-fungsi dari system agribisnis mulai dari hulu sampai hilir.
meliputi:
penduduk maksimum 600.000 jiwa dan luas maksimum 30.000 hektar (setara
(c). Pada derah pusat pertumbuhan (kota) dibangun agroindustri terkait, yaitu terdiri
(d). Wilayah pedesaan didorong untuk membentuk satuan-satuan usaha yang optimal
menengah, dan
(e). Lokasi dan sistem transportasi agroindustri dan pusat pelayanan harus
workers).
(4). Prinsip seimbang dinamis. Keempat syarat kunci tersebut bersifat mutlak dan
Terpadu (khusus bobot pertanian) dan program sejenis lainnya, disebabkan oleh
sifatnya yang parsial dan tidak mengakomodasi secara utuh dan simultan keempat
karena hal ini akan memberikan arah dasar perencanaan pembangunan perdesaan dan
Friedmann dan Doughlas (1974) dalam Sulistiono (2008) atas pengalaman kegagalan
yang padat;
(b). Pembangunan “modern” hanya terjadi di beberapa kota saja, sementara daerah
(e). Kekurangan bahan pangan, akibat perhatian pembangunan terlalu tercurah pada
kepadatan penduduk 200 jiwa per km2 dan di dalamnya terdapat kota-kota tani
dengan jumlah penduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Sementara luas wilayah distrik
adalah cummuting berada pada radius 5 – 10 km, sehingga akan menghasilkan jumlah
pertanian (tidak dibedakan antara pertanian modern dan pertanian konvensional) dan
mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis
tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga "off
farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir
(pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan
dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien dan
(Rivai, 2003).
dan).
kawasan Agropolitan). Kota pertanian dapat merupakan Kota Menengah, Kota Kecil,
Kota Kecamatan, Kota Perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagi pusat
Kelestarian
Lingkungan
(Rivai, 2003):
budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm) dan kota
d. Pola kehidupan masyarakatnya sama dengan kehidupan kota karena prasarana dan
Batasan kawasan agropolitan ditentukan oleh skala ekonomi dan ruang lingkup
Keterangan Gambar:
: Agropolitan.
: Pemukiman termasuk di dalamnya terdapat kelembagaan, petani yang --
inovatif dan lahan pertanian (Desa Hinterland atau desa sekitarnya)yang --
memasok produk segar dan olahan pertanian.
: Irigasi.
: Prasarana jalan.
: Batas atas wilayah pelayanaan Agropolitan (Kawasan Agropolitan)
realitas perkembangan agribisnis yang ada di setiap daerah. Dengan demikian bentuk
dan luasan kawasan agropolitan, dapat meliputi satu wilayah Desa/kelurahan atau
kecamatan atau beberapa kecamatan dalam kabupaten/kota atau dapat juga meliputi
Kotanya dapat berupa kota desa atau kota nagari atau kota kecamatan atau kota kecil
sangat penting dalam konteks pengembangan wilayah mengingat beberapa hal yakni:
kawasan dan sektor menjadi lebih pasti mengingat sektor yang dipilih mempunyai
pengembangan kawasan agropolitan maka ada dua strategi yang bisa dilakukan yaitu
secara partisipatif dan hasilnya digunakan untuk bahan master plan atau
pengelolaan usaha pertanian yang tidak hanya terbatas pada aspek produksi
kawasan agropolitan.
perkreditan desa .
bagi komoditi yang mudah rusak seperti produk hortikultura dan peternakan,
usaha pertanian skala kecil dan menengah berupa jalan desa, jalan usahatani,
2. Menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi petani dan pelaku agribisnis
dukungan kebijaksanaan pemerintah daerah dalam tata ruang dan tata guna
dan potensi lokasi (komoditi unggulan) antara lain; potensi SDA, SDM,
baik.
(Deptan, 2002):
pelayanan.
budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm) dan kota
dan sarana yang dimilikinya tidak berbeda dengan di kota. Batasan kawasan
agropolitan ditentukan oleh skala ekonomi dan ruang lingkup ekonomi bukan
Orde yang paling tinggi (kota tani utama) dalam lingkup wilayah agropolitan skala
besar sebagai:
internasional) dan bila berada di tepi pantai maka kota ini memiliki pelabuhan
samudra
a. Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasar grosir dan
2. Pusat koleksi komoditi pertanian yang dihasilkan sebagai bahan mentah industri
dari pedesaan menuju kota kecil dihubungkan oleh jalan lokal. Kota kecil ini dapat
berfungsi sebagai pengumpul hasil pertanian dari pedesaan, merupakan kota orde
ketiga dalam sistem kota-kota agropolitan. Berikutnya adalah dari kota kecil menuju
kota menengah, dihubungkan oleh jalan kolektor. Di sini kota menengah sudah
berfungsi sebagai pusat grosir, yang mengumpulkan hasil pertanian berSumber dari
kota kecil, serta menjadi pusat pelayanan kegiatan agro industri. Terakhir dari kota
menengah menuju kota besar yang dihubungkan oleh jaringan jalan arteri. Sebagai
kota orde tertinggi barang yang diangkut dari kota-kota menengah semakin banyak,
sehingga dibutuhkan prasarana jalan dan jenis kendaraan yang lebih besar. Oleh
karena itu penyediaan jaringan jalan arteri sangat diperlukan. Dengan hirarki kota dan
hirarki jalan yang jelas, akan dapat mengurangi risiko kerusakan jalan akibat
penggunaan jalan yang tidak sesuai ukuran kendaraan maupun volume kendaraan.
Agropolitan dari unit terkecil sampai dengan yang terluas adalah sebagai berikut:
kelompok tani.
perdagangan benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian, alat pascapanen,
8. Memiliki jalan antar usahatani dan jalan penghubung lokalita ke daerah lain.
b. Distrik Agropolitan
sebagai berikut:
c. Kawasan Agropolitan
suatu kawasan.
Peta Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara dapat
N
MEDA N
KARO
SIMALUNGUN
DAI RI
Ke c. D.Pa nrib ua n
PAKPAKBHARAT SAMOSIR
TOBASAMOSIR
HUMBANGHASUNDUTAN
TAPANULI UTARA
Batas Kecamatan
Jalan
hamparan dengan agroekosistem yang sama. Dengan syarat tersebut suatu lokalita
lokasi yang direkomendasikan harus memiliki Sumber daya lahan, dan air serta iklim
lokalita tersebut.
Sibayak Berastagi.
(1) Tanaman Pangan, (2) Hortikultura, (3) Perkebunan, (4) Peternakan, dan (5)
prospek yang baik untuk dikembangkan, ditinjau dari potensi wilayah maupun
peluang pasarnya. Disamping itu komoditi ini dikenal sebagai komoditi komersial
yang telah lama memasuki pasar ekspor. Komoditi unggulan sayuran yang
dikembangkan di Lokalita adalah: kentang, tomat, cabai, wortel, kubis, dan bawang
penghasil devisa, derivat produk, ketergantungan impor. Pada Master Plan KADTBB
Kabupaten/Nilai LQ Nilai
Pakpa KADTBB
N Komodita
k Kar Tapu Simalungu Dair Humbaha Tobas Samosi (Rp.
o s
Bhara o t n i s a r Juta)
t
1. Cabe 323.567,4
5,96 1,66 4,07 6,07 5,57 - 1,47 2,76
0
2 Tomat 253.536,0
- 0,97 0,37 - 0,28 0,67 0,33 0,66
0
3 Kubis 138.763,1
- 1,18 0,74 1,70 1,70 1,59 1,41 1,61
5
4 Sawi - 1,43 1,92 - - - - - 1.404,64
5 Kentang 401.346,0
1,22 2,52 1,22 1,67 1,22 0,96 1,22 1,22
0
6 Lobak/gob 13.412,00
- 3,83 - - - - - -
o
7 Wortel - 2,93 - - - 1,47 - - 62.568,82
8 Bawang 1,48 42.300,40
- 1,47 1,48 0,90 1,10 1,48 1,42
Merah
9 Bawang - 14.624,00
- 0,03 - 1,20 0,80 - 0,13
Putih
Sumber: Master Plan KADTBB Sumatera Utara, 2005
Pada Tabel 2.2 terlihat bahwa nilai LQ komoditi kentang memiliki nilai >1
pada hampir semua kabupaten yang ada pada Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi
Bukit Barisan Sumatera Utara. Hanya Kabupaten Humbang Hasundutan yang nilai
menurut data Tahun 2003 menunjukkan angka nilai jual yang paling tinggi untuk
komoditi hortikultura. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi tanaman kentang
Pertanian untuk mewujudkan pertanian modern secara mendasar merubah pola usaha
lahan dan air. Secara umum kelembagaan agribisnis belum secara terpadu memberi
terciptanya iklim usaha yang kondusif. Sejarah telah membuktikan bahwa rapuhnya
kelembagaan di Afrika menimbulkan persoalan pangan yang sampai saat ini belum
Sementara itu, peran pemerintah dalam hal ini, bertindak selaku fasilitator
tersedia dan bentuk–bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu
terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab
struktur masyarakat. pemahaman ini perlu dilakukan agar orang luar yang akan
berdimensi lokal, regional dan internasional. e) Aset yang dimiliki dalam bentuk
benda fisik atau maupun uang tunai. f) Norma kelembagaan yang mengatur
2. Pemetaan jaringan, dari daftar panjang yang dibuat, kemudian disusun jaringan
(Soesilo, 2001).
disusun master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan
didalamnya diantaranya:
dan jasa non pertanian (rural income and demand fo agricultural goods and
services) dan produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop
berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya, kegiatan agibisnis yang banyak
melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar dan mempunyai skala
tersebut, pusat agropolitan dan kawasan pedesaan berinteraksi satu sama lainnya
pembangunan pedesaan dapat dipacu dan migrasi desa kota yang terjadi dapat
Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan
berkembang belakangan.
sustainable” (Chambers, 1995 dalam Subejo dan Supriyanto, 2004). Konsep ini lebih
luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau
menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net),
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu:
tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah
(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari
hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata,
Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan
kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.
dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas
pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling
Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena
masyarakat ini.
dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu,
pengamalan demokrasi.
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan
pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan
masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena
hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah.
Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang
tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan
dalamnya mengakibatkan berbagai permasalahan walaupun gejala ini telah sejak lama
menjadi objek kajian tapi sampai sekarang belum diperoleh rumusan yang disepakati
berbagai pihak. Pada umumnya masyarakat sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi
yang tidak diinginkan oleh sebagian warga masyarakat. Hal ini disebabkan karena
gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai
dengan norma nilai serta standar moral yang berlaku. Lebih dari itu suatu kondisi
kerugian baik fisik maupun non fisik bagi masyarakat petani (Soetomo, 1995).
pemberdayaan Sumberdaya manusia atau masyarakat juga harus seiring dan sejalan.
kawasan agropolitan dengan pendekatan wilayah akan kurang bisa mencapai hasil
yang optimal.
misalnya asosiasi dari organisasi petani dan nelayan, baik dalam skala nasional,
Sumber luar yang dapat mendukung pengembangan mereka, baik dalam bidang
terhubung baik secara elektronik maupun melalui berbagai forum usaha yang
aktif dan dinamis. Ekonomi jaringan ini harus didukung oleh jaringan
advokasi usaha, jaringan saling belajar, serta jaringan lainnya seperti hasil temuan
pendukung lainnya yang dapat diakses oleh semua dan tidak dimonopoli oleh
dipecahkan dengan baik. Di sini, selain masyarakat sasaran (petani dan nelayan),
LOKALITA
AGROPOLITAN
PEMBERDAYAAN PENINGKATAN
MASYARAKAT PENDAPATAN PETANI
PENGEMBANGAN
WILAYAH
pada Bab-I, untuk mengarahkan pelaksanaan penelitian agar tujuan penelitian dapat
adalah: