Anda di halaman 1dari 11

NAMA : SHERIN DINDA SHEILA

NIM : F3316054

Bea Materai, PBB serta Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: PBB-P2
dan BPHTB

I. Pengertian Bea Meterai

“Bea Materai adalah pajak tidak langsung yang dipungut secara insidentil ( sekali
pungut ) atas dokumen yang disebut oleh Undang – undang Bea Matrai yang digunakan
masyarakat dalam lalu lintas hukum sehingga dokumen tersebut dapat digunakan sebagai
alat bukti dimuka pengadilan .”
Dengan kata lain Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan
dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, kwintansi pembayaran, surat berharga
dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu,sesuai dengan
ketentuan dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di dokumen.

 Istilah – istilah yang berkaitan dengan Bea Meterai, antara lain:


 Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan
maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
 Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia.
 Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan,
termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap
nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
 Pemeteraian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh
Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum
dilunasi sebagaimana mestinya.
 Pejabat pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani
permintaan pemeteraian kemudian.
 Subjek Bea Materai
Subjek pajak bea materai adalah pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali
pihak yg bersangkutan menentukan hal lain.
 Objek Bea Meterai
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen
menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat
perdata dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan, antara lain :
NAMA : SHERIN DINDA SHEILA

NIM : F3316054

1) Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
perdata.
2) Akta-akta notaris termasuk salinannya.
3) Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap -
rangkapnya.
4) Surat yang memuat jumlah uang lebih dari 250.000 yaitu:
 yang menyebutkan penerimaan uang
 yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank
 yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
 yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau
diperhitungkan.
5) Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek yang nomialnya lebih dari
250.000.
6) Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan
sebagai alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat
kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai
berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang
lain, lain dan maksud semula.
 Tidak Dikenakan Bea Meterai
Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang
berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak
dan dokumen Negara.
Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:
1) Dokumen yang berupa:
 surat penyimpanan barang;
 konosemen;
 surat angkutan penumpang dan barang;
 keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang,
konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;
 bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
 surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
 surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.
NAMA : SHERIN DINDA SHEILA

NIM : F3316054

2) Segala bentuk ijazah


3) Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya
yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran itu.
4) Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan
bank.
5) Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
disamakan dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank. Antara lain:
a) Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
b) Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada
penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang
tersebut
c) Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
d) Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk
apapun.

 Cara Pelunasan Bea Meterai

 Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Meterai Tempel.


Cara mempergunakan meterai tempel :
1) Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak
rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
2) Meterai Tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan
dibubuhkan.
3) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal,
bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan
itu, sehingga sebagian tanda tangan di atas kertas dan sebagian lagi
di atas Meterai Tempel.
4) Jika digunakan lebih dan satu Meterai Tempel, tanda tangan harus
dibubuhkan sebagian di atas semua Meterai Tempel dan sebagian
di atas kertas.
5) Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel
tetapi tidak memenuhi ketentuan di atas, dokumen yang
bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
NAMA : SHERIN DINDA SHEILA

NIM : F3316054

 Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Kertas Meterai.


Cara mempergunakan kertas meterai :
1) Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali
pemakaian.
2) Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
3) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk
dimuat seluruhnya di atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk
bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak
bermeterai.
4) Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan
dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh yang berkepentingan,
sedangkan dalam Kertas Meterai telah terlanjur ditulis dengan
beberapa kata/kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang
selesai dan kemudian tulisan yang ada pada Kertas Meterai tersebut
dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka Kertas Meterai
yang demikian dapat digunakan dan tidak Perlu dibubuhi meterai lagi.

 Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin


Teraan.
Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin
Teraan memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:
1) Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya
diperkenankan kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian
dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen.
2) Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai
dengan mesin teraan meterai harus melakukan prosedur sebagai
berikut:
ü Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan
tahun pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan, serta
melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen
yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.
ü Melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp
15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
NAMA : SHERIN DINDA SHEILA

NIM : F3316054

ü Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai


kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat
tanggal 15 setiap bulan.
ü Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun
sejak tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama
memenuhi persyaratan.

 Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem


Komputerisasi.
1) Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan
untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam Pasal 1
huruf d PP No. 24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari
minimal sebanyak 100 dokumen.
ü Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata
dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.
ü Pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah
dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (ke Kas Negara melalui Bank
Pensepsi).
ü Menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea
Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap
bulan
2) Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas
dengan sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah
dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1
(satu) bulan berikutnya.

 Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Teknologi Percetakan.


Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan hanya diperkenankan
untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
1) Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai
dengan teknologi pencetakan harus melakukan prosedur sebagai
berikut:
NAMA : SHERIN DINDA SHEILA

NIM : F3316054

ü Pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang


harus dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
ü Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan
dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.
2) Perum Peruri dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan
tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama
dan dalam bentuk apapun, harus menyampaikan laponan bulanan
kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
3) Pelunasan Bea Meterai bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri
4) Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai
sepanjang tidak digunakan di Indonesia.
II. PBB Sektor Perhutanan

Dasar Hukum:
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-36/PJ/2011 tanggal 18 November
2011 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perhutanan. Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-89/PJ/2011 tanggal 18 November 2011.

Berdasarkan peraturan di atas, objek pajak PBB Perhutanan adalah bumi atau
bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang diberikan hak pengusahaan
hutan. Objek pajak bumi di dalam sektor perhutanan terdiri dari areal produktif, areal belum
produktif, areal emplasemen, dan areal lain.

Beberapa pengertian yang perlu dipahami dalam menghitung PBB Perhutanan sesuai PER-
36/PJ/2011 diantaranya :

1. Areal Produktif adalah areal hutan yang telah ditanami pada Hutan Tanaman,
atau areal blok tebangan pada Hutan Alam.

2. Areal Belum Produktif adalah areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami
pada Hutan Tanaman, atau areal hutan yang dapat ditebang selain blok tebangan
pada Hutan Alam.

3. Areal Emplasemen adalah areal yang digunakan untuk berdirinya bangunan dan
sarana pelengkap lainnya dalam perhutanan termasuk areal jalan yang diperkeras.

4. Areal Lainnya adalah areal selain Areal Produktif, Areal Belum Produktif, dan
Areal Emplasemen.
NAMA : SHERIN DINDA SHEILA

NIM : F3316054

Standar lnvestasi Tanaman( SIT ) adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan dan alat yang
diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman.

Angka Kapitalisasi adalah angka yang digunakan untuk mengonversi pendapatan bersih
setahun menjadi nilai tanah Areal Produktif pada Hutan Alam.

Log Ponds yaitu areal perairan didalam hutan yang digunakan untuk tempat penimbunan
kayu. Log Yards yaitu areal daratan didalam hutan yang digunakan untuk penimbunan kayu.

Untuk menentukan NJOP sektor kehutanan dapat dibagi atas 2(dua) kategori tergantung
kepada jenis hak untuk mengelola hutan tersebut yaitu :

1. Sektor Kehutanan yang dikelola berdasarkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH),


Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan Izin Sah
lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).

2. Sektor Kehutanan yang dikelola berdasarkan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman


Industri ( HPHTI ).

PBB Sektor Perkebunan

Dasar Hukum:
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-64/PJ/2010 tanggal 27 Desember
2010. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-36/PJ/2014 tanggal 13
Oktober 2014.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-64/PJ/2010 di atas, yang


dimaksud dengan objek pajak sektor perkebunan adalah objek pajak bumi dan bangunan yang
dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan yang diberikan hak guna usaha perkebunan.

Kegiatan usaha perkebunan meliputi :

1. usaha budidaya tanaman perkebunan yang diberikan Izin Usaha Perkebunan


untuk Budidaya (IUP-B).

2. usaha budidaya tanaman perkebunan yang terintegrasi dengan usaha pengolahan


hasil perkebunan yang diberikan Izin Usaha Perkebunan.

3. Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, meliputi :

a. wilayah yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang mempunyai


hak guna usaha atau yang sedang dalam proses mendapatkan hak guna usaha.

b. wilayah di luar hak guna usaha atau yang sedang dalam proses mendapatkan
hak guna usaha yang merupakan sate kesatuan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan.
NAMA : SHERIN DINDA SHEILA

NIM : F3316054

III. Pajak Pusat yang dipindahkan menjadi Pajak Daerah


Dasar Hukum Terkait

UU No. 12 Tahun 1985 stdtd UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan

UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

PP No 25 Tahun 2002 Tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak Untuk Penghitungan PBB.

PMK Nomor 23/PMK.03/2014 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
PBB

PER No 43/PJ/ 2013 tentang Bentuk dan Isi Surat Setoran Pajak PBB

Apa Tujuan dari Pengalihan Pajak Pusat menjadi Pajak Daerah?

Pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah merupakan suatu bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal. Bentuk kebijakan tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal ini adalah titik balik dalam
pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan pengelolaan Pajak Bumi dan
Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan. Dengan pengalihan ini maka kegiatan proses
pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan
PBB-P2 akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).

Tujuan Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai dengan Undang-undang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:

1. meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah


2. memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru
(menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah),
3. memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan
memperluas basis pajak daerah,
4. memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah, dan
5. menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada
daerah.

apan kabupaten/kota dapat mulai mengelola PBB sektor perdesaan dan perkotaan
(PBB-P2)?

Paling lambat tanggal 1 Januari 2014 PBB-P2 akan dikelola oleh kabupaten/kota dan dalam
hal sebelum tahun 2014 terdapat kabupaten/kota sudah siap untuk mengelola PBB-P2, yang
dibuktikan dengan telah disahkannya Perda, maka kabupaten/kota dimaksud dapat mengelola
PBB-P2 mulai tahun tersebut.
NAMA : SHERIN DINDA SHEILA

NIM : F3316054

Apa tujuan dari pengalihan PBB-P2 menjadi Pajak daerah sesuai UU Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (PDRD)?

Untuk meningkatkan local taxing power pada kabupaten/kota, seperti:

1. Memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah


2. Menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB
Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah)
3. Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah
4. Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada
daerah

Terkait PBB-P2, kewenangan apa saja yang akan dialihkan oleh pemerintah pusat
kepada kabupaten/kota?

Pemerintah pusat akan mengalihkan semua kewenangan terkait pengelolaan PBB-P2 kepada
kabupaten/kota. Kewenangan tersebut antara lain: proses pendataan, penilaian, penetapan,
pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan.

Apakah sama antara subjek pajak PBB-P2 saat dikelola oleh pemerintah pusat (Ditjen
Pajak) dan saat dikelola oleh kabupaten/kota?

Subjek pajaknya sama, yaitu Orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas
bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan. (Pasal 4 Ayat 1 UU PBB sama dengan Pasal 78 ayat (1)
dan (2) UU PDRD)

Untuk objek pajak PBB-P2 sesuai UU PDRD apakah ada perbedaan dengan saat
dikelola oleh Pusat?

Objek PBB sesuai:

 UU PBB : bumi dan/atau bangunan


 UU PDRD : bumi dan/atau bangunan, kecuali kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan

Bagaimana dengan tarif PBB-nya?

Saat ini tarif PBB adalah tunggal, yaitu 0,5%. Ketika dikelola oleh pemda, maka tarifnya
paling tinggi 0,3% (sesuai dengan UU PDRD)

Selain tarif, perbedaan apa yang akan timbul ketika PBB-P2 dikelola oleh
kabupaten/kota?

Saat PBB dikelola oleh pemda:

1. NJKP (20% dan 40%) tidak dipergunakan/diberlakukan


2. NJOPTKP ditetapkan paling rendah Rp10 juta, yang saat ini ditetapkan setinggi-
tingginya Rp12 juta (Rp24 juta mulai tahun 2012)
NAMA : SHERIN DINDA SHEILA

NIM : F3316054

Bagaimana formula penghitungan besarnya PBB-P2?

UU PBB : Tarif x NJKP x (NJOP-NJOPTKP)

 : 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)


 : 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)

UU PDRD : Tarif x (NJOP-NJOPTKP)

 : Maks. 0,3% x (NJOP-NJOPTKP)

Apa keuntungan bagi pemerintah kabupaten/kota dengan pengelolaan PBB-P2?

Penerimaan dari PBB 100% akan masuk ke pemerintah kabupaten/kota. Saat dikelola oleh
Pemerintah Pusat (DJP) pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar
64,8%.

Apakah ada ketentuan yang bisa dijadikan acuan oleh kabupaten/kota dalam
mempersiapkan pengelolaan PBB-P2?

Dalam mempersiapkan diri untuk mengelola PBB-P2, kabupaten/kota dapat berpedoman


pada Undang-Undang PDRD dan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan
Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah.

Selain itu Direktur Jenderal Pajak juga telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-61/PJ/2010 tentang Tata Cara Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan
Perkotaan sebagai Pajak Daerah

Apa saja tugas dan tanggung jawab kabupaten/kota dalam rangka persiapan
pengalihan PBB-P2?

Pemda harus menyiapkan:

1. Perda, Perkepda, dan SOP


2. Sumber Daya Manusia
3. Struktur organisasi dan tata kerja
4. Sarana dan prasarana
5. Pembukaan rekening penerimaan
6. Kerja sama dengan pihak-pihak terkait (notaris/PPAT, BPN, dll)

Hal-hal apa saja yang bisa diadopsi oleh kabupaten/kota dari Pusat?

Banyak hal yang bisa diadopsi oleh pemda dari DJP, antara lain:

1. Tarif efektif, sistem administrasi PBB (pendataan, penilaian, penetapan, dll.)


2. Kebijakan/peraturan dan SOP pelayanan
3. Keahlian SDM (melalui pelatihan)
4. Sistem manajemen informasi objek pajak, dll.
NAMA : SHERIN DINDA SHEILA

NIM : F3316054

Apa saja yang perlu diperhatikan oleh kabupaten/kota dalam mengelola PBB-P2?

1. Kebijakan NJOP agar memperhatikan konsistensi, kesinambungan dan keseimbangan


antar wilayah
2. Kebijakan tarif PBB, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat
3. Menjaga kualitas pelayanan kepada WP
4. Akurasi data subjek dan objek pajak dalam SPPT tetap terjaga

Peluang apa saja yang dapat diperoleh oleh kabupaten/kota dengan pengalihan PBB-P2
ini?

1. Penyeimbangan kepentingan budgeter dan reguler karena diskresi kebijakan ada di


kabupaten/kota.
2. Penggalian potensi penerimaan yang lebih optimal karena jaringan birokrasi yang
lebih luas
3. Peningkatan kualitas pelayanan kepada WP
4. Peningkatan akuntabilitas penggunaan penerimaan PBB

Dalam setiap kegiatan pasti ada tantangan, dalam pengalihan PBB-P2 ini apa saja
tantangannya?

Tantangan dalam pengalihan PBB-P2, antara lain:

1. Kesiapan kabupaten/kota pada masa awal pengalihan yang belum optimal, sehingga
dapat berdampak pada penurunan pelayanan, penerimaan, dll.
2. Kesenjangan (disparitas) kebijakan PBB-P2 antar kabupaten/kota
3. Hilangnya potensi penerimaan bagi provinsi (16,2%) dan hilangnya potensi
penerimaan insentif PBB khususnya bagi kabupaten/kota yang potensi PBB-P2nya
rendah
4. Beban biaya pemungutan PBB-P2 yang cukup besar

Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan pengalihan PBB-P2?

1. Proses pengalihan berjalan lancar dengan biaya yang minimal


2. Stabilitas penerimaan PBB-P2 tetap terjaga dengan tingkat deviasi yang dapat
diterima
3. WP tidak merasakan adanya penurunan pelayanan

Anda mungkin juga menyukai