Anatomi Laring
Anatomi Laring
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk
corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi.
Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan.
Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria
dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adam’s apple atau jakun.
Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah
kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari
vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh
fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid
dan lobus kelenjar tiroid.
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di
sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat
melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.
Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otot-otot.
Merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding anterior dan lateral laring, dan merupakan
kartilago yang terbesar. Terdiri dari 2 (dua) sayap (ala tiroidea) berbentuk seperti perisai yang terbuka
dibelakangnya tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut
Adam’s apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120 derajat. Diatasnya terdapat
lekukan yang disebut thyroid notch atau incisura tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior
yang dihubungkan dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea lateralis, sedangkan di bagian bawah membentuk
kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral dari kartilago krikoidea dan membentuk
artikulasio krikoidea. Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di
sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita suara, ventrikel, otot-otot dan
ligamenta, kartilago aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata.
Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur yang berjalan oblik dari
bawah kornu superior ke tuberkulum inferior. Alur ini merupakan tempat perlekatan muskulus
sternokleidomastoideus, muskulus tirohioideus dan muskulus konstriktor faringeus inferior.
Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan tepi bawah kartilago
tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan tendo komisura anterior. Sedangkan tangkai
epiglotis melekat kira-kira 1 cm diatasnya oleh ligamentum tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada
umur 20 – 30 tahun
Kartilago Krikoidea
Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan lkartilago hialin yang
berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alsanya terdapat di belakang. Bagian anterior dan
lateralnya relatif lebih sempit daripada bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea
tepatnya dengan kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio
krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui ligamentum krikotiroidea. Pada
keadaan darurat dapat dilakukan tindakan trakeostomi emergensi atau krikotomi atau koniotomi pada konus
elastikus.Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI – VII dan pada anak-anak
setinggi vertebra servikalis III – IV. Kartilago ini mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea.
Kartilago Aritenoidea
Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang kartilago berbentuk piramid 3
sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral
dan gerakan rotasi. Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang merupakan
tempat melekatnya m. krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral, dan di bagian anterior terdapat prosesus
vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke
prosesus vokalis. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi pada garis tengah
kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan
permukaan atas dari pita suara ini disebut glotis. Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar
dengan sumbu sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis dari aritenoid
maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan tertutupnya glotis. Kalsifikasi terjadi pada dekade
ke 3 kehidupan.
Kartilago Epiglotis
Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior aditus laringeus.
Tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah
atas pita suara. Sedangkan bagian atas menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga
membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong
makanan ke sebelah menyebelah laring.
2. LIGAMENTUM DAN MEMBRANA
Membrana ini menghubungkan tepi atas kartilago tiroidea dengan tepi atas belakang os hioidea yang pada
bagian medial dan lateralnya mengalami penebalan membentuk ligamentum tirohioideus lateral dan medial. Membrana
ini ditembus oleh a. laringeus superior cabang interna n. laringeus superior dan pembuluh limfe.
Terdapat di bawah mukosa pada permukaan bawah pita suara sejati, berjalan ke atas dan medial dari
lengkungan kartilago krikoid untuk bersambung dengan kedua ligamenta vokalis yang merupakan jaringan fibroelastis
yang berasal dari tepi atas arkus kartilago krikoid. Di sebelah anterior melekat pada pinggir bawah kartilago tiroid dan
menebal membentuk ligamentuk krikoidea medialis yang juga melekat pada tuberkulum vokalis. Di sebelah posterior
konus menyebar dari kartilago krikoid ke prosesus kartilago aritenoid (vokalis). Pinggir bebas menebal membentuk
ligamentum vokalis
Membrana Kuadrangularis
Merupakan bagian atas dari jaringan ikat longgar elastis laring, membentang dari tepi lateral epiglotis ke
kartilago aritenoid dan kartilago kornikulata, di bagian inferior meluas ke pita suara palsu. Tepi atasnya membentuk
plika ariepiglotika, sedangkan yang lainnya membentuk dinding diantara laring dan sinus piriformis Morgagni.
Otot–otot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik yang masing-
masing mempunyai fungsi yang berbeda.
I. Otot-otot ekstrinsik menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok otot ini
menggerakkan laring secara keseluruhan. Terbagi atas :
- M. Stilohioideus - M. Milohioideus
- M. Geniohioideus - M. Digastrikus
- M. Genioglosus - M. Hioglosus
- M. Omohioideus
- M. Sternokleidomastoideus
- M. Tirohioideus
Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan C3 dan penting untuk proses menelan (deglutisi)
dan pembentukan suara (fonasi). Muskulus konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat
pada linea oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada proses deglutisi
II. Otot-otot intrinsik
Menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Berfungsi menggerakkan struktur yang ada
di dalam laring terutama untuk membentuk suara dan bernafas. Otot-otot pada kelompok ini
berpasangan kecuali m. interaritenoideus yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini
dalam proses pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas. Bila m. interaritenoideus
berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga menyebabkan adduksi pita suara.
Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :
M. Krikoaritenoideus posterior
3. Otot-otot tensor :
Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m. tensor
internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung ke lateral
mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.
Artikulasio Krikotiroidea
Merupakan sendi antara kornu inferior kartilago tiroidea dengan bagian posterior kartilago krikoidea.
Sendi ini diperkuat oleh 3 (tiga) ligamenta, yaitu : ligamentum krikotiroidea anterior, posterior, dan inferior.
Sendi ini berfungsi untuk pergerakan rotasi pada bidang tiroidea, oleh karena itu kerusakan atau fiksasi sendi ini
akan mengurangi efek m. krikotiroidea yaitu untuk menegangkan pita suara.
Artikulasio Krikoaritenoidea.
Merupakan persendian antara fasies artikulasio krikoaritenoidea dengan tepi posterior cincin krikoidea.
Letaknya di sebelah kraniomedial artikulasio krikotiroidea dan mempunyai fasies artikulasio yang mirip dengan
kulit silinder, yang sumbunya mengarah dari mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta menyebabkan
gerakan menggeser yang sama arahnya dengan sumbu tersebut. Pergerakan sendi tersebut penting dalam
perubahan suara dari nada rendah menjadi nada tinggi
Aditus Laringeus : Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral oleh plika
ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas m. aritenoideus.
Rima Vestibuli : Merupakan celah antara pita suara palsu
Rima glottis : Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara prosesus vokalis dan basis
kartilago aritenoidea
Vallecula : Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah, dibentuk oleh plika
glossoepiglotika medial dan lateral
Plika Ariepiglotika : Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago epiglotika ke
kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.
Sinus Pyriformis (Hipofaring) : Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroidea.
Incisura Interaritenoidea : Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.
Vestibulum Laring : Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago aritenoid,
permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea.
Plika Ventrikularis (pita suara palsu) : Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago
aritenoidea untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir
dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.
Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)
Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat suatu divertikulum
yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis
semu bersilia dengan beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati, disebut
appendiks atau sakulus ventrikel laring.
Plika Vokalis (pita suara sejati)
Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis dan celahnya disebut
intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea
dan disebut intercartilagenous portion.
6. PERSARAFAN Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn. Laringeus Inferior
(Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.
1. Nn. Laringeus Superior
Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan dan medial di
bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu :
Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis
dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati.
Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m. Konstriktor
inferior.
7. VASKULARISASI
Perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana tirohioid menuju ke
bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis.
Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area Killian Jamieson yaitu celah
yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A.
Laringeus Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.
Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V. Tiroidea Superior dan Inferior yang
kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna.
8. SISTEM LIMFATIK
Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu :
o Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk saluran yang menembus
membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior
dan middle jugular node.
o Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea, middle jugular node, dan
inferior jugular node.
o Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem limfe esofagus. Sistem
limfe ini penting sehubungan dengan metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya.
FISIOLOGI LARING
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti
terlihat pada uraian berikut :
1. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi
yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan
udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-
paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan
tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk :
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung menggetarkan plika vokalis.
Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan
menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses
pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi
kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior.
Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula
kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan
berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi
kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit
menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula
(adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.
Teori Neuromuskular
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran plika vokalis adalah saat adanya
impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah
impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara
fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien
dengan paralisis plika vokalis bilateral).
2. Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima
glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang
ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus
Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah
proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke
sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior
terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO dan
2
O arteri serta pH darah. Bila pO tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO tinggi akan
2 2 2
merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara
reflektoris, sedangkan peningkatan pO arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial
2
CO darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
2
4. Fungsi Sirkulasi
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh
pada venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang
henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor
yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila
serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.
5. Fungsi Fiksasi
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya proses menelan, yaitu :
Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus)
mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis
lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan
orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.
Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman
terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
7. Fungsi Batuk
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat.
Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi
benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.
8. Fungsi Ekspektorasi
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.
9. Fungsi Emosi.
Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit
dan ketakutan.
Obstruksi laring adalah keadaan tersumbatnya laring yang dapat disebakan oleh radang akut dan radang kronis,
benda asing, trauma, iatrogenik, tumor laring, dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral, yang menimbulkan
penyumbatan pada saluran pernapasan bagian atas.
ETIOLOGI
1. Kelainan congenital
1.1. Laringomalasia
Tidak ditemukan gangguan patologi dasar ataupun gangguan yang bersifat progresif pada
laringomalasia. Kondisi ini merupakan keadaan laring neonatus yang terlalu lunak dan kendur. Saat bayi
menarik nafas, laring yang lunak akan saling menempel, mempersempit aditus dan timbul stridor. Proses
menelan tidak terganggu. Proses menangis mestinya normal.Pertambahan berat dan perkembangan bayi
biasanya normal. Stridor merupakangejala utama dan dapat berlangsung konstan atau hanya saat bayi
tereksitasi.Bersama stridor dapat timbul retraksi sternum dan dada. Biasanya bayi berusia beberapa minggu
saat mulainya laringomalasia. Prognosisnya cukup baik karena kartilago akan menjadi kaku.
Bila sumbatan laring makin hebat sebaiknya dilakukan intubasi trakea dan jangan dilakukan trakeastomi
karena biasanya juga diikuti trakeomalsia. Orangtua pasien dinasehatkan supaya lekas datang ke dokter jika
ada peradangan saluran nafas atas misalnya pilek.
Pada daerah subglotik 2-3 cm dari pita suara, sering terdapat penyempitan (stenosis). Kelainan yang dapat
menyebabkan stenosis subglotis ialah :
Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dispnoe, retraksi di suprasernal, epigastrium,interkostal Serta
subklavikula. Pada stadium yang lebih berat akan ditemukan sianosis dan apnoe sehingga mungkin terjadi
gagal nafas.
2. Trauma Laring
2.1. Kontusio laring
Bermanifestasi sebagai hematoma internal dan terkadang sebagai dislokasi kartilago aritenoidea.
Traumanya disebabkan benda tumpul. Terapi adalah dengan diagnosis segera. Kontusio dapat diobservasi
sementarapersiapan trakeotomi tetap dilakukan. Biasanya pasien dengan kontusio cukup kooperatif untuk
dilakukan visualisasi laring. Hematoma biasanya terlihat.
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka sayat, luka tusuk,dan luka
tembak.
Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat merusak struktur laring menyebabkan cedera pada jaringan
lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah, dll.
Ballanger membagi penyebab trauma laring atas :
1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi atau krikotirotomi)
dan mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasi endotrakea, atau pemasangan pipa
nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan yang panas) dan kimia (cairan alkohol, amoniak,
natrium hipoklorit, dan lisol) yang terhirup.
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
4. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vokal abuse) misalnya akibat berteriak,
menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.
Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plika ariepiglotika dan plika ventrikularis, oleh
karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain itu mukosa faring dan laring mudah robek,
yang akan diikuti dengan terbentuknya emfisema subkutis di daerah leher. Infeksi sekunder melalui robekan ini
dapat menyebabkan selulitis, abses, atau fistel.
Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan dislokasi.
Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis tulang rawan, dan perikondritis yang
mengakibatkan penyempitan lumen laring dan trakea. Robekan mukosa yang tidak dijahit dengan baik, yang
diikuti oleh infeksi sekunder, dapat menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis, dan akhirnya
stenosis.
Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama.
Timbul gejala stridor yang perlahan-lahan yang makin menghebat atau timbul mendadak sesudah trauma
merupakan tanda adanya sumbatan jalan napas.
Gejala-gejala berikut menunjukkan adanya kelainan pda struktur laring:
1) meningkatnya obstruksi jalan napas dengan adanya sesak napas (dispnoe),
2) disfonia atau afonia,
3) batuk,
4) hemoptisis dan
hematemesis,
5) nyeri pada leher,
6) disfagia dan odinofagia.
Suara serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pita suara akibat
trauma seperti edema, hematoma, laserasi, atau parese pita suara.
Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea, atau fraktur tulang-
tulang rawan laring hingga mengakibatkan udara pernapasan akan keluar dan masuk ke jaringan
subkutis leher.
Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka, dada, dan abdomen dan pada perabaan
terasa sebagai krepitasi kulit.
Hemoptisis dan hematemesis dapat terjadi akibat laserasi mukosa jalan napas dan bila
jumlahnya banyak dapat menyumbat jalan napas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka
tusuk, luka sayat, luka tembak, maupun luka tumpul.
Disfagia (sulit menelan) dan odinofagia (nyeri menelan) dapat timbul akibat ikut bergeraknya
laring yang mengalami cedera pada saat menelan.
Gejala luka tertutup tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan
gejalanya dapat berupa nyeri pada waktu menelan, waktu batuk, dan waktu bicara.
Terdapatnya salah satu manifestasi klinik di atas merupakan dasar perkiraan adanya trauma yang berat
dan merupakan indikasi untuk melakukan pemeriksaan laringoskopi tak langsung, laringoskopi langsung
dan bronkoskopi untuk menentukan adanya edema, hematoma, mukosa dan tulang rawan yang
bergeser dan paralisis pita suara. Rontgen foto leher dan dada harus dilakukan untuk mendeteksi
adanya fraktur laring dan trauma trakea.
Diagnosis luka terbuka di laring dapat ditegakkan dengan adanya gelembung-gelembung udara pada
daerah luka, oleh karena udara yang keluar dari trakea.
Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit. Diagnosis ini penting untuk
menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu dilakukan eksplorasi atau cukup dengannpengobatan
konservatif dan observasi saja.
Sebagai terapi awal pada trauma laring akut ialah dengan mempertahankan aliran udara adekuat,
diperlukan tindakan trakeostomi.
Dilanjutkan dengan penilaian terhadap trauma dan menentukan apakah terapi definitif harus dilakukan
dengan segera atau perlu ditunda, yang tergantung pada keadaan klinisnya.
Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher setinggi laring, misalnya oleh pisau,
celurit, dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka pada laring meninggal sebelum
mendapat pertolongan, oleh karena perdarahan atau terjadinya asfiksia.
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran napas dan
mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan yang segera harus dilakukan ialah trakeostomi dengan
menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah.
3. Trauma Intubasi
Pemasangan pipa endotrakea yang lama dapat menimbulkan udem laring dan trakea. Keadaan ini baru
diketahui bila pipa dicabut karena suara penderita terdengar parau dan ada kesulitan menelan, gangguan aktivitas
laring dan beberapa derajat obstruksi pernapasan.Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon
yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff
ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling
sering menyebabkan sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistulatrakeoesofageal, erosi trakea
oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata,dan ruptur bronkial.
Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan etiologi yang paling sering terjadi
pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff dengan volume tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden
stenosis trakeapada tipe trauma ini, namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadiindikasi untuk
reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada beberapa faktor resiko yang mempermudah terjadinya
laserasi atau trauma intubasi.
Saat ini tersedia cuff plastic bertekanan rendah untuk tuba trakeostomi. Cuff ini dirancang untuk memelihara
tekanan pada trakea agar tetap di bawah 25cmHO sehingga mengurangi insiden stenosis akibat cuff trakea.
Tekanan cuff harus dipantau sedikitnya 8 jam dengan menempelkan diameter tekanan genggam pada pilot
balon sedang atau melakukan teknik penggunaan volume kebocoran minimal atau volume oklusi minimal. Secara
umum dapat dikatakan bahwa intubasi endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya
dilakukan trakeostomi. Tatalaksana dengan kortikostreoid bila terjadi obstruksi laring berat lakukan trakeostomi.
Laringitis kronik
Dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkitis kronis, dan
penyalahgunaan suara (ocal abuse ), sinusitis, reflux, dan polusi lingkungan. Gejalanya adalah suara parau yang
menetap, rasa tersangkut di tenggorok sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena
mukosa yang menebal.
Croup
Infeksi menular melalui inhalasi, masuk melalui hidung dan nasofaring.Infeksi menyebar dan akhirnya
melibatkan laring dan trakea.
Peradangan dan edema pada laring dan trakea subglotik, khususnya yang dekat dengan tulang rawan
krikoid, yang paling klinis signifikan. Virus Para influenzae mengaktifkan sekresi klorida danmenghambat
penyerapan natrium melintasi epitel trakea, berkontribusiterhadap edema jalan napas. Ini adalah bagian paling
sempit dari saluran napas anak. Dengan demikian, pembengkakan dapat secara signifikan mengurangi diameter,
membatasi aliran udara. Ini menyebabkan aliran udara turbulen danstridor, retraksi dada, dan batuk. kerusakan
endotel dan hilangnya fungsi silia terjadi.
Eksudat fibrin memenuhi sebagian lumen trakea. Selain itu terdapat penurunan mobilitas dari pita suara
karena edema. Pada penyakit yang berat,eksudat fibrinous dan pseudomembran dapat menyebabkan obstruksi
jalan napasyang lebih besar. Hipoksemia dapat terjadi karena penyempitan lumen yang progresif, ventilasi
alveolar yang terganggu dan ketidak seimbangan ventilasi-perfusi.
Gejalanya yaitu stridor inspirasi atau bifase, demam subfebril, batuk (terutamapada malam hari), suara
serak.
5. Tumor laring
Tumor jinak laring dapat berupa papiloma laring, adenoma, kondroma, mioblastoma sel granuler, hemangioma,
lipoma, dan neurofibroma.
Tumor ganas laring diantaranya tumor supraglotik, tumor glotik, tumor subglotik, dan tumor ganas transglotik.
Etiologi karsinoma laring perokok, peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan risiko tinggi
terhadap karsinoma laring.
Gejala Klinis
Gejala khasnya berupa disfonia dan apabila papiloma telah menutup rima glotis maka timbul sesak nafas
dengan stridor yang dapat bertambah hebat sampai terjadi sumbatan total jalan napas.
Sifat yang menonjol dari tumor ini ialah sering tumbuh lagi setelah diangkat, sehingga operasi pengangkatan
harus berulang-ulang.Perubahan ke arah keganasan terjadi khusus pada penderita yang sebelumnya pernah
mendapat radioterapi.
8. Alergi
Edema Angioneurotik
Edema angioneurotik mukosa laring adalah salah satu penyebab obstruksi laring yang biasanya
disebabkan oleh alergi. Edema laring angioneurotik akuta dapat mengobstruksi saluran pernapasan setelah
respon imun humoral akut terhadap berbagai antigen seperti sengatan lebah, suntikan antibiotika dan
makanan. Gejalanya berupa suara parau yang progresif setelah kontak dengan, mengirup atau menelan alergen,
tanpa tanda infeksi.
Pemeriksaan Kadang-kadang kerentanan individu dapat dibuktikan dengan mendeteksi C1 esterase di dalam
darah.
Penatalaksanaan Diindikasikan suntikan epinefrin, oksigen dan selanjutnya penyelidikan alergi tindak lanjut.
Pada keadaan parah, diperlukan krikotiroidotomi maupun trakeostomi untuk menyelamatkan jiwa.
9. EDEMA LARING
Edema laring adalah pembengkakan yang dapat diamati dari akumulasi cairan yang terdapat di daerah laring.
Pembengkakan adalah akibat dari akumulasi cairan yang berlebihan dibawah kulit dalam ruang-ruang didalam
jaringan-jaringan. Edema merupakan manifestasi umum kelebihan volume cairan yang membutuhkan perhatian
khusus.Pembentukan edema, sebagai akibat dari perluasan cairan dalam kompartemen cairan intertisial, dapat
terlokalisir, contohnya pada pergelangan kaki;dapat berhubungan dengan rematoid arthritis; atau dapat
menyeluruh, seperti pada gagal jantung atau ginjal, edema menyeluruh yang berat disebut anasarka.
Penyebab lain yang mungkin edema laring meliputi peningkatan tekanan kapiler akibat sindrom vena kava
superior, ligasi vena jugularis internal, kegagalan osmotik menurunkan plasma disebabkan oleh gagal ginjal,
gangguan aliran limfatik, dan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein.
Manifestasi Klinis
Kesulitan untuk bernafas, bahkan bisa menyebabkan tidak bisa bernafas.
Takikardia
Peningkatan tekanan darah, tekanan nadi, dan tekanan vena sentral
Peningkatan berat badan
Nafas pendek dan Mengi
Retensi Cairan
Penatalaksanaan
Konservatif Meliputi pengaturan diet, cairan dan garam, memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa, mengendalikan hiperensi, penanggulangan asidosis, pengobatan neuropati, deteksi dan mengatasi
komplikasi.
MANIFESTASI KLINIS
4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,supraklavikula dan interkostal
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium dengan tandadan gejala:
1. Stadium I : Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor padawaktu inspirasi dan pasien
masih tenang.
2. Stadium II : Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam,ditambah lagi dengan
timbulnya cekungan di daerah epigastrium.Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar pada waktu
inspirasi.
3. Stadium III : Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat diinfraklavikula dan sela-
sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.Stridor terdengar pada waktu pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
4. Stadium IV : Cekungan ± cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisahdan tampak sangat
ketakutan serta sianosis.
Jika keadaan ini berlangsung terus, terjadilah hiperkapnea yang akan menyebabkan paralitik pusat pernafasan. Selain itu
pasien akan kehabisan tenaga dan letargi. Pasien lemah dan tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia.
PATOFISIOLOGI
Laring merupakan kotak kaku dan mengandung ruangan sempit antara pita suara (glotis), dimana udara harus
melewati ruang ini. Adanya pembengkakan membran mukosa laring dapat menutupi jalan ini yang menjadi penyebab
kematian.
DIAGNOSIS
Diagnosis pasien dengan sumbatan jalan nafas memerlukan integrasi anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mengidentifikasi lokasi dan besarnya obstruksi.
Kenyamanan bernafas, usaha bernafas, dan oksigenasi perifer.
Pasien dengan obstruksi saluran nafas dapat agitasi akibat ketakutan /hipoksia, tetapi pasien tanpa agitasi
terutama letargi dapat mengalami obstruksi dan hiperkapnea.
Pemeriksaan awal mencakup tanda vital, pulse ximetry dan identifikasi tanda trauma kepala/leher.
Riwayat infeksi, trauma leher dan kepala, masuknya benda asing harus ditanyakan.
Stridor, bunyi spontan yang dihasilkan oleh pasien dengan obstruksi saluran nafas yang signifikan,
disebabkan turbulensi aliran udara yang melewati daerah yang stenosis. Stridor dapat digunakan untuk
mengidentifikasi lokasi dan berat obstruksi saluran nafas. Stridor inspirasi terjadi pada obstruksi di
supraglotis dan glottis. Stridor ekspirasi terjadi pada obstruksi glottis, subglottis, dan tracheal.
Pada orang dewasa dilakukan laringoskopi tidak langsung dan pada anak dilakukan laringoskopi langsung.
Pemeriksaan laboratorium dan radiografik dapat dilakukan pada pasien dengan ancaman obstruksi
saluran nafas.
DIAGNOSIS BANDING
1. Asma bronkial: didapatkan stridor ekspiratoir.
2. Laringitis akut.
3. Trakeitis
4. Bronkitis
5. Pneumoni
TATALAKSANA
Penanggulangan obstruksi laring adalah MENGHILANGKAN PENYEBAB ATAU MEMBUAT JALAN NAFAS BARU
Terapi :
• Tergantung kelainan penyebab
• Umumnya dgn dilatasi atau laser CO2.
• Bila ok kelainan btk cartilago pembedahan/rekonstruksi.
2. Infeksi Laring
a. Laringitis akut
b. Laringitis kronik
Pengobatan peradangan di hidung, faring serta bronkhus yang menjadi
penyebab
Vocal Rest (pasien tidak banyak berbicara)
c. Croup
Hidrasi yang adekuat
Pemberian udara dingin dan lembab (uap air berpartikel kecil)
Antibiotik (Ingat 20 % Haemophilus Influenzaevresisten Ampicilin)
Kortikosteroid dosis tinggi
Bantuan Pernafasan bila kemunduran tetap terjadi setelah diterapi
Pengawasan secara terus menerus
Intubasi hidung
Bila anak kolaps_ respirator dan trakeotomi bila diperlukan
Croup umumnya sembuh dlm 48-72 jam ekstubasi
3. Tumor Laring
Laringektomi Total Adalah tindakan mengangkat seluruh struktur laring sampai batas bawah
cincin trakea ( tergantung perluasan tumor)
- Indikasi untuk tumor stadium III dan IV
- Post laringektomi total _bernafas lewat trakeostomi, fungsi menelan kembali setelah
luka op sembuh, suara harus menggunakan suara esofagus atau vibrator elektronik
- Komplikasi laringektomi
o Hematoma dan empyema
o Fistel
o Infeksi luka operasi
o Bronkopneumoni, atelektasis
o Ulkus peptikum
o Striktur
o Hipotyroidism / hipoparatyroidism
- Radioterapi Untuk tumor glotis dan supraglotis stadium I & II kesembuhan 90%
(STADIUM DINI)
4. Trauma Laring
a. Luka Terbuka
i. Ditujukan utk perbaikan sal nafas dan mencegah aspirasi ke paru.
ii. Tindakan segera : Trakeostomi dgn kanul yang memakai balon.
iii. mencari dan mengikat pemb. Darah.
iv. Antibiotika dan serum ATS.
v. Komplikasi : aspirasi darah, paralisis pita suara dan stenosis laring.
b. Luka Tertutup
Diagnosis lebih sulit tapi penting utk menentukan tindakan selanjutnya melalui
laringoskopi direk atau indirek, foto jar. lunak leher, foto toraks, CT-scan.
Tindakan eksplorasi dan konservatif tergantung diagnosa diatas.
Konservatif : Istirahat suara, Humidifikasi
Kortikosteroid bila mukosa edem, hematom atau laserasi ringan tanpa sumbatan
laring
Indikasi eksplorasi :
o Sumbatan nafas yg perlu trakeostomi
o Emfisema subkutis yg progresif
o Laserasi mukosa yg luas
o Terbukanya tlg rawan krikoid
o Paralisis bilateral pita suara
Eksplorasi :
o Insisi kulit horizontal utk reposisi tulang rawan/sendi yang fraktur/dislokasi
o Menjahit mukosa robek dgn gelambir (flap) atau kulit (graft)
o Sbg penyanggah lumen laring _stent atau mold dari silastik, porteks atau
silikon selama 4-6 mgg.
Komplikasi :
o Terbentuk jar. parut dan stenosis laring
o Paralisis nervus rekuren
o Infeksi luka _perikondritis.
Intubasi Trakea
Pipa endotrakea yang dimasukkan lewat hidung dapat dipertahankan untuk beberapa hari, dan jangan melebihi
6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan trakeostomi. Komplikasi yang dapat timbul adalah stenosis
laring atau trakea.
INDIKASI :
Untuk mengatasi sumbatan saluran nafas bagian atas
Membantu ventilasi
Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeo-bronkial
Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang berasal dari lambung
KONTRAINDIKASI
Trakeostomi suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior trakea untuk mempertahankan jalan
nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan memintas jalan nafas bagian atas dengan beberapa indikasi.
Trakeostomi merupakan tindakan membuat stoma agar udara dapat masuk keparu-paru dengan
memintas jalan nafas bagian atas. Indikasi trakeostomi termasuk sumbatan mekanis pada jalan nafas
dan gangguan non obstruksi yang mengubah ventilasi.
Kontraindikasi Trakeostomi
Lama Pemasangan
1. Darurat
Tipe ini hanya bersifat sementara dan dilakukan pada unit gawat darurat.Dilakukan
pembuatan lubang di antara cincing trakea satu dan dua atau dua dantiga. Karena
lubang yang dibuat lebih kecil, maka penyembuhan lukanya akan lebihcepat dan tidak
meninggalkan scar. Selain itu, kejadian timbulnya infeksi juga jauhlebih kecil.
Menggunakan teknik insisi vertikal.
2.Non-Darurat
Tipe ini dapat sementara dan permanen dan dilakukan di dalam ruangoperasi. Insisi
dibuat di antara cincin trakea kedua dan ketiga sepanjang 4-5 cm.Menggunakan teknik
insisi horizontal
Tipe ini hanya bersifat sementara dan dilakukan pada unit gawat darurat.Dilakukan pembuatan
lubang di antara cincing trakea satu dan dua atau dua dan tiga.Karena lubang yang dibuat lebih
kecil, maka penyembuhan lukanya akan lebih cepatdan tidak meninggalkan scar. Selain itu,
kejadian timbulnya infeksi juga jauh lebihkecil.
Tipe ini dapat sementara dan permanen dan dilakukan di dalam ruangoperasi. Insisi dibuat di
antara cincin trakea kedua dan ketiga sepanjang 4-5 cm.
Selain itu, terdapat Mini trakeostomi, yaitu pada tipe ini dilakukan insisi pada pertengahan membran
krikotiroid dan trakeostomi mini ini dimasukan menggunakankawat dan dilator
Alat-alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi ialah semprit dengan obat
analgesia, pisau skalpel, pinset anatomi, gunting panjang yang tumpul, sepasang pengait tumpul, klem
arteri, gunting kecil yang tajam serta kanul trakea yang ukurannya cocok untuk pasien.
Teknik Trakeostomi
Pasien tidur telentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga memudahkan kepala untuk
diekstensikan pada persendian atlanto oksipital. Dengan posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea
akan terletak di garis median dekat permukaan leher. Kulit daerah leher dibersihkan secara dan
antisepsis dan ditutup dengan kain steril.
Obat anastetikum disuntikkan di tengah krikoid dengan fosa suprasternalsecara infiltrasi. Sayatan kulit
dapat vertikal di garis tengah leher mulai di bawah krikoid sampai fosa suprasternal atau jika membuat
sayatan horizontal dilakukan pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal
atau kira-kira 2jari di bawah krikoid orang dewasa. Sayatan jangan terlalu sempit, dibuat kira-kira 5cm.
Dengan gunting panjang yang tumpul kulit serta jaringan di bawahnya dipisahkan lapis demi lapis dan
ditarik ke lateral dengan pengait tumpul, sampai tampak trakea yang berupa pipa dengan susunan
cincin- cincin tulang rawan yang berwarna putih. Bila lapisan kulit dan jaringan di bawahnya dibuka
tepat di tengah maka trakea ini mudah ditemukan. Pembuluh darah vena jugularis anterior yangtampak
ditarik ke lateral. Ismus tiroid yang ditemukan ditarik ke atas supaya cincintrakea jelas terlihat. Jika tidak
mungkin, ismus tiroid diklem pada dua tempat dan dipotong di tengahnya. Sebelum klem ini dilepaskan ismus
tiroid diikat kedua tepinya dan disisihkan ke lateral. Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat.
Lakukanaspirasi dengan cara menusukkan jarum pada membran antara cincin trakea dan akanterasa
ringan waktu ditarik. Buat stoma dengan memotong cincin trakea ke-3 dengan gunting yang tajam. Kemudian
dipasang kanul trakea dengan ukuran yang sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada leher pasien dan luka
operasi ditutup dengan kasa.
Pada perawatan awal dari stoma perlu dilakukan auskultasi dada dan pada anak memerlukan radiogram
dada segera untuk mencek posisi tuba agar tidak melampaui karina sehingga masuk ke bronkus kanan dan
menyumbat bronkus kiri,serta untuk memastikan tidak terjadi pneumothoraks.
Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat menyumbat dan menimbulkan
asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering diisap ke luar dan kanul dalam dicuci
sekurang-kurangnya dua kali sehari lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Bila kanul harus
dipasang dalam jangka waktu lama, maka kanul harus dibersihkan dua minggu sekali. Kain basah di
bawah kanul harus diganti untuk menghindari timbulnya dermatitis.
Komplikasi
Komplikasi bedah sering timbul selama pembedahan, namun komplikasi dapat dikenali, dicegah dan
diatasi. Perdarahan dapat dicegah dengan diseksi garis tengah elektif dengan mengikat pembuluh darah
dan pemeriksaan dengan cermat pada tiap permukaan dimana darah merembes. Pneumothoraks dapat
ditemukan secara dini melalui auskultasi dan radiogram dada. Paralisis saraf rekuren jarang terjadi dan
harus dicegah dengan memperhatikan teknik bedah.
Komplikasi lanjut :
Perdarahan lanjut adalah akibat erosi trakea pada pembuluh utama, biasanya arteri inominata.
Infeksi
istula trakeoesofagus
Stenosis trakea
Krikotirotomi
Krikotirotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat napas. Dengan cara
membelah membran krikotiroid. Tindakan ini harus dikerjakan cepat walaupun persiapannya darurat.
Teknik krikotirotomi
Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasi atlantooksipitalis. Puncak tulang rawan
tiroid (Adams apple) mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari tangan kiri. Dengan telunjuk jari tangan
kanan tulang rawan tiroid dirabake bawah sampai ditemukan kartilago krikoid.
Membran krikotiroid terletak di antara kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan anastetikum kemudian
dibuatsayatan horizontal pada kulit.
Jaringan di bawah sayatan dipisahkan tepat tepat padagaris tengah. Setelah tepi bawah kartilago tiroid
terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah. Kemudian, masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat
dipakai pipa plastik untuk sementara.
Krikotirotomi merupakan kontra indikasi pada anak di bawah 12 tahun, demikian juga pada tumor laring
yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat laringitis.
Komplikasi
Heimlich Manuver
Cara lain untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara totalialah dengan cara perasat dari Heimlich
(Heimlich maneuver), dapat dilakukan padaanak maupun dewasa.
Menurut teori Heimlich, benda asing yang masuk ke dalamlaring ialah pada saat inspirasi. Dengan demikian paru penuh
dengan udara, diibaratkan sebagai botol plastik yang tertutup, dengan menekan botol itu, maka sumbatnya akan
terlempar keluar.
Pada maneuver Heimlich, dilakukan penekanan pada paru. Caranya ialah bilapasien masih dapat berdiri maka penolong
berdiri de belakang pasien, kepalan tangan kanan penolong diletakkan diatas prosessus xifoid sedangkan tangan
kirinya diletakkan diatas tangan kirinya. Kemudian dilakukan penekanan ke belakang dan keatas ke arah paru beberapa
kali, sehingga diharapkan benda asing terlempar keluar dari mulut pasien.
Bila pasien sudah terbaring karena pingsan maka penolong bersetumpu padalututnya dikedua sisi pasien, kepalan
tangan diletakkan dibawah prosessus xifoid, kemudian dilakukan penekanan ke bawah, dan ke arah paru pasien beberapa
kali, sehingga benda asing terlempar keluar mulut. Posisi muka pasien harus lurus, leher jangan ditekuk kesamping,
supaya jalan nafas merupakan garis lurus.
Komplikasi perasat Heimlich ialah kemungkinan terjadi rupture lambung atauhati dan fraktur iga. Oleh karena itu, pada
anak sebaiknya cara menolongnya tidak dengan menggunakan kepalan tangan, tetapi cukup dengan dua buah jari kiri
dan kanan.
Laringoskopi merupakan cara terbaik untuk mengeluarkan benda yang tersangkut dilaring. Oleh karena itu
benda asing tersebut langsung dapat dikeluarkan dengan bantuan cunam. Untuk tindakan ini penderita dirujuk
kerumah sakit.
Terapi Radiasi
Hasil yang sangat memuaskan dapat dicapai dengan terapi radiasi pada pasien yang hanya mengalami satu pita suara
yang sakit dan normalnya dapat digerakkan (yaitu; bergerak saat fonasi). Selain itu, pasien ini masih memiliki suara yang
hampir normal. Beberapa mungkinmengalami kondritis. (inflamasi cartilage) atau stenosis; sejumlah kecil dari mereka
yang mengalami stenosis nantinya membutuhkan laringektomi. Terapi radiasi juga dapat digunakan secara praoperatif
untuk engurangi ukuran tumor.
Algoritme penatalaksanaan sumbatan/obstruksi komplet dan obsrtuksi sebagian dari saluran napas
Laringektomi
a. Laringektomi Parsial
Indikasi : karsinoma stad I atau stad II
Dibedakan atas :
1.Laringektomi parsial vertikal (hemilaringektomi)
- Kordektomi
- Laringektomi parsial frontal
- Laringektomi parsial lateral
- Laringektomi frontolateral
- Laringektomi frontolarteral diperluas
Steven Johnson Syndrome atau biasa disingkat SJS merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata
gebital atau dengan kata lain, reaksi yang melibatkan kulit dan mukosa (selaput lendir) yang berat dan mengancam jiwa
ditandai dengan pelepasan epidermis, bintil berisi air dan erosi/pengelupasan dari selaput lendir. Penyakit ini
menyerang selaput lendir, meliputi selaput bening mata, bibir bagian dalam dan rongga mulut, genital dan anus.
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh
trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain
: sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-
kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang
dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan gejala klinis membaik maka hubungan kausal
dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai
mempunyai hubungan kausal.
Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat
antiinflamasi non-steroid.
Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk
setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.
a. Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa dan usia lanjut.
b. Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan atau reaksi obat. Jarang pada anak
usia 3 tahun atau dibawahnya, karna imunitas belum berkembang sepenuhnya.
c. NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-negara Barat. Di Asia Timur allopurinol
merupakan penyebab utama.
d. Obat seperti sulfa, fenitoin atau penisilin telah diresepkan kepada lebih dari dua pertiga pasien dengan SSJ.
e. Lebih dari setengah pasien dengan SSJ melaporkan adanya infeksi saluran napas atas.
f. 4 kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik.
Penyakit viral yang pernah dilaporkan termasuk HSV, AIDS, infeksi virus coxsakie, hepatitis, influensa, variola,
lymphogranuloma venerum dan infeksi ricketsia.
Etiologi bakterial termasuk streptokokus grup A, difteria, bruselosis, mikobakteria, Mycoplasma pneumoniae
dan tifoid.
Koksidioidomikosis, dermatofitosis danhistoplasmosis merupakan kemungkinan dari infeksi jamur.
Malaria dan trikomoniasis dilaporkan sebagai penyebab dari protozoa.
Pada anak-anak, EBV dan enterovirus telah diidentifikasi.
Etiologi dari antibiotik termausk penisilin dan sulfa. Antikonvulsan termasuk fenitoin, karbamazepin, asam
valproat, lamotrigin dan barbiturat.
Berbagai karsinoma dan limfoma juga dimasukkan sebagai faktor yang berhubungan.
SSJ bersifat idiopatik pada 25-50% kasus.
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III
(reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM
dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang
dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III dan IV. Reaksi
tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan leozim dan menyebab kerusakan jaringan pada
organ sasaran ( target- organ ). Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang.
Reaksi hipersensitif tipe III
- Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi dalam darah mengendap didalam
pembuluh darah atau jaringan sebelah bitir.
- Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.
- Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek
antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut.
- Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi
pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
berlanjut.
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada,
muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta
hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan
pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi,
terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat
dideteksi adanya kompleks imun beredar.
Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus
atipik.
1.Pemeriksaan laboratorium :
a) Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalamdiagnose selain pemeriksaan biopsy.
b) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yangnormal atau leukositosis non
spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putihdapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.
c) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnsondengan panyakit kulit dengan lepuh
subepidermal lainnya.
d) Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.
e) Pemeriksaan elektrolit.
f) Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.
g) Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan. (Adithan,
2006).
2.Imaging studies :
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yangdicurigai penyebab reaksi.Dengan
tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan.Orangdengan SJS/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN
dirawat dalam unit rawatluka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien SJS
biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkanspesialis luka bakar, penyakit
dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairandengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk
mendorong kepulihan.Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat
nyeri,misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar,2004)
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN.Beberapa dokter berpendapat
bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertamamemberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini
sebaiknya tidak dipakai. Obat inimenekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi
padaOdha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.
Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapiyang diberik an biasanya
adalah :
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari
sediaan lesi kulit dan darah.
Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemu dians e l a m a 3
h a r i 0 , 2 - 0 , 5 m g / k g B B t i a p 6 j a m . P e n g g u n a a n s t e r o i d s i s t e m i k m a s i h kontroversi,
ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, n a m u n a d a j u g a y a n g
m e n g a n g g a p s t e r o i d m e n g u n t u n g k a n d a n m e n y e l a m a t k a n nyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal.
Feniramin hidrogen maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk
usia 3-1 2 t a h u n 1 5 m g / d o s i s , d i b e r i k a n 3 k a l i / h a r i . S e d a n g k a n u n t u k Setirizin
dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5 10mg/dosis, 1
kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan
a l e r g i , berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik,
m i s a l n y a klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,4, dan 6 masuk rumah
sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi
FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan
dengan :
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam
fisiologissetiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya
kekeringan pada bola mata.
Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah
terjadinya perlekatan konjungtiva
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
Gastroenterologi -Esophageal strictures
Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal,penile scarring , stenosis vagina
Pulmonari – pneumonia
Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder
Infeksi sitemik, sepsis
Kehilangan cairan tubuh, shock
SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi inidapat menyebabkan kematian, umumnya
sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi
dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaantotal,
kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian
berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
1. Lesi individual biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, kecali terdapat infeksi sekunder. Sebagian besar pasien sembuh
tanpa adanya sekuele.
2. Adanya sekuele serius seperti gagal napas, gagal ginjal dan kebutaan menentukan prognosis pada sistem yang
terkena.
3. Sampai dengan 15% ddari seluruh pasien SSJ meninggal akibat keadaan umum yang buruk. Bakteremia dan sepsis
memainkan peranan penting sebagai penyebab utama peningkatan mortalitas.
4. Skor SCORTEN menilai banyak variabel dan menggunakannya untuk menentukan faktor resiko kematian pada SSJ dan
NET. Variabel tersebut adalah:
Usia >40 tahun
Keganasan
Heart rate >120
Persentase awal dari pengelupasan epidermal >10%
Kadar glukosa serum >14 mmol/L
Kadar bikarbonat <20 mmol/L
Kadar BUN >10 mmol/L
Angka mortalitas sebagai berikut (More risk factors indicate a higher score and a higher mortality rate (%) as
follows)
SCORTEN 0-1 ≥ 3,2% atau 0–1 = 3.2% (CI: 0.1 to 16.7)
SCORTEN 2 ≥ 12,1% atau 2 = 12.1% (CI: 5.4 to 22.5)
SCORTEN 3 ≥ 35,3% atau 3 = 35.3% (CI: 19.8 to 53.5)
SCORTEN 4 ≥ 58,3% atau 4 = 58.3% (CI: 36.6 to 77.9)
SCORTEN 5 atau lebih ≥ 90% atau ≥ 5 = > 90% (CI: 55.5 to 99.8)