Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apraksia merupakan suatu kelainan neurologis yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “a”
yaitu tidak dan “praxis” yang diartikan sebagai tindakan. Di masa lalu, apraxia sering digolongkan
sebagai jenis gangguan artikulasi dan sebagai salah satu dari dysarthria pusat. Sekarang, apraksia
digolongan menjadi bagian dari deficit perencanaan / pemrograman motorik, yang mungkin terjadi
tanpa adanya gangguan sensorik / motor atau dari suatu kelumpuhan (Walsh & Darby, 1999).

Apraksia dicetuskan pertama kali pada tahun 1870-an oleh Huglings Jackson untuk
menunjukkan ketidakmampuan total beberapa pasien afasianya untuk melakukan beberapa
gerakan volunteer (misalnya protusi lidah), meskipun tidak terdapat kelemahan yang bermakna
dan masih memiliki kemampuan untuk menggerakkan bagian tubuh yang sama secara otomatis
atau involunteer (misalnya ketika menjilat bibir). Kemudian pada awal abad ke-20, Lipmann
mengelompokkan berbagai jenis apraksia secara sistematis. Pada klasifikasinya yang tetap
digunakan sampai saat ini yaitu apraksia ideasional dan apraksia ideomotor, yang terutama
mengenai sistem motorik dibedakan dari apraksia kontruksional yang terutama mengenai system
visuospatial.

Ada beberapa jenis apraksia, yang mungkin terjadi sendiri maupun bersama-sama. Apraxia
secara umum dapat dilihat sebagai gangguan motorik untuk melaksanakan tujuan gerakan oleh
seorang individu yang memiliki keterampilan motorik primer normal (strengh, refleks, koordinasi)
dan sikap normal yang sewajarnya dapat dilakukan ( tidak agnosia, tidak terjadi gangguan
intelektual umum) (Hecan & amp; Albert, 1986).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Apraksia (disebut “dispraksia” jika ringan) dianggap sebagai gangguan neurologis yang
ditandai dengan hilangnya kemampuan untuk melakukan suatu gerakan, walaupun memiliki
keinginan dan kemampuan fisik untuk melakukan gerakan tersebut (NINDS, 2018).

Apraksia terjadi akibat disfungsi belahan otak otak, terutama lobus parietal, dan dapat
timbul dari banyak penyakit atau kerusakan otak (NINDS,2018)
Apraksia sering ditemukan pada penyakit stroke, demensia Alzheimer dan berbagai
penyakit lainnya pada serebri. Selain itu apraksia juga dapat menjadi tanda/ gejala degenerasi
ganglionic kortikobasalis.

2.2 Etiologi

Apraxia adalah sindrom yang mencerminkan disfungsi sistem motorik pada tingkat
kortikal, tidak termasuk korteks motorik primer. Beberapa penyakit melibatkan gangguan ini yaitu
termasuk stroke, demensia, dan tumor, dan hal ini dapat menyebabkan hilangnya pengetahuan
tentang cara melakukan gerakan terampil.
Apraxia juga dapat terjadi dengan lesi di lokasi lain juga. Informasi yang terkandung
dalam representasi praksis ditranskodekan ke dalam pola persarafan oleh korteks premotor,
termasuk SMA dan mungkin konveksitas korteks premotor. Informasi tersebut kemudian
ditransmisikan ke korteks motorik primer, dan dilakukan gerakan. Lesi pada SMA atau korteks
premotor lainnya juga dapat menyebabkan apraksia; dalam hal ini, pengetahuan tentang gerakan
masih ada, tetapi kemampuan untuk melakukan gerakan tidak ada.
Apraxia juga bisa terjadi karena lesi corpus callosum, seperti tumor atau stroke arteri
serebral anterior. Meskipun corpus callosum tidak diketahui terlibat langsung dalam kinerja
gerakan, ia mengandung serat yang menyilang dari belahan kanan ke korteks premotor.
2.3 Macam-macam Apraksia

Apraksia memiliki berbagai macam tipe, namun pada saat ini hanya digunakan tiga macam
apraksia yaitu apraksia ideomotor, apraksia ideosional dan apraksia konstruktional.

A. Ideomotor Apraksia

Apraksia ini merupakan tipe apraksia yang paling sering dijumpai dan lebih jelas
dimengerti gangguannya. Pada apraksia ini terjadi ketidakmampuan mengubah sebuah ide menjadi
suatu aksi.
Apraksia ini terjadi akibat lesi hemisfer dominan-bahasa (kiri), baik di area asosiasi
motorik atau pada serabut asosiasi dan komisural yang mempersarafi atau menghubungkannya.
Temuan klinis yang khas adalah pengabaian, atau terminasi premature komponen individual
rangkaian gerakan. Masing-masing komponen juga dapat diulang-ulang (perseferasi motorik)
sehingga gerakan tersebut dimulai pada waktu yang tidak sesuai dan dengan demikian
menghambat atau mengganggu rangkaian gerakan lainnya.
Pasien dengan apraksia motorik yang memiliki lesi dilobus parietalis tidak dapat
menirukan gerakan pemeriksa secara tepat (misalnya : gerakan hormat). Pasien-pasien tersebut
umumnya masih dapat menirukan ekspresi wajah, sedangkan pasien dengan lesi lobus frontalis
kiri dapat menirukan gerakan lengan yang kompleks tetapi tidak ekspresi wajah.

B. Idesional apraksia
Jenis apraksia ini lebih komplek dari pada ideomoto, namun apraksia tipe ini adalah tipe
jarang ditemui. Pada apraksia ini, lesi di temporoparietal hemisfer dominan merusak perencanaan
dan inisiasi aktivitas motorik yang kompleks. Pasien tidak dapat melakukan serangkaian langkah-
langkah atau mungkin tetap dapat melakukannya namun tidak memahami makna atau tujuan
gerakan tersebut. Misalnya, pasien tidak bisa diminta berpura-pura melipat surat dan
menempatkannya ke dalam amplop lalu menulis alamat pada amplop tersebut dan menempel
perangko.

C. Konstruksional apraksia
Konstruksional apraksia pertamakali dimukakan oleh Kleist (1922) yang dinilai sebagai
kekacauan yang berhubungan dengan aktivitas - pertumbuhan dimana adanya sebagian
ketergangguan dalam melakukan kegiatan (Hecan & amp; Albert, 1986). Pasien dengan apraksia
konstruksi mengalami kesulitan menggambar konstruksi spasial seperti gambar atau objek
geometris. Gangguan ini terjadi akibat adanya lesi di lobus parietalis pada hemisfer bukan
dominan-bahasa (kanan). Gangguan ini juga dapat terjadi akibat oklusi cabang utama arteri serebri
media karena arteri ini menyuplai area yang luas pada hemisfer serebri.

Pada penderita dengan lesi parietral kanan akan kesulitan dalam menggambar jam ( clock
drawing tes/ CDT) oleh karena hemisfer kanan memiliki kecenderungan mengabaikan sisi kiri
sehingga angka pada jam terkumpul pada sisi kanan.

D. Dressing apraksia

Penderita dengan gangguan hemisfer kanan sering mengalami kesulitan memakai pakaian
sendiri. Defisit kognitif ini disebut dressing apraksia. Gangguan ini diduga berkaitan dengan dua
keadaan ialah ketidak mampuan konseptual terhadap hubungan antara ruang dengan benda dipakai
yang melekat pada tubuhnya dan kecenderungan adanya neglect pada sisi tubuh sebelah kiri.

Lokasi lesi hampir selalu pada lobus parientalis kanan yang mendapat pasokan darah dari
arteri serebri media kanan, meskipun dalam penelitian hier dan kawan- kawan mendapatkan bisa
akibat neglect kedua sisi disertai devisit visuospatial dan visuokontruksional.

E. Gait apraksia

Apraksia ini adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan anggota gerak bawah
secara semestinya saat berjalan, meskipun tidak dijumpai adanya gangguan sensorik atau
kelemahan motorik. Didapatkan pada pasien dengan gangguan serebral yang luas terutama pada
lobus frontalis. Pasien tidak dapat melakukan gerakan kaki dan tungkai yang diinginkan, misalnya
membuat lingkaran atau melakukan tendangan pada bola khayalan. Terdapat kesulitan untuk
memulai gerakan pada saat bangkit untuk , berdiri dan berjalan, dan hilangnya urutan (sequences)
gerakan majemuk. Pasien berjalan lambat dan diseret dengan langakh-langkah pendek. Terdapat
kesulitan mengangkat kaki dari lantai atau berdiri namun tidak memajukan kakinya. Sering
terdapat gegenhalten.
F. Verbal apraksia

Ada dua jenis utama apraksia verbal : apraksia verbal yang didapat dan apraksia verbal
pada anak-anak (Kent, 2000). Apraksia verbal dapatan terjadi pada pasien dengan segala usia
berapapun, walaupun hal ini terjadi terutama pada orang dewasa yang sebelumnya disebabkan oleh
stroke, cedera kepala, tumor dll. : apraksia verbal dapatan dapat terjadi bersama dengan disartria (
kelemahan otot yang mempengaruhi untuk berbicara ) atau afasia ( kesulitan berbahasa yang
disebabkan oleh kerusakan pada sistem saraf). Apraksia verbal dapatan umumnya dianggap
sebagai akibat dari kerusakan pusat otak (terutama serebral) yang mengganggu proses perencanaan
gerakan bicara sambil mempertahankan kondisi bicara normal, kecepatan, dan koordinasi otot-otot
bicara (Duffy, 1995).

Apraksia verbal pada anak-anak ( developmental apraxia of speech / DAS ) yang bawaan
dan tampaknya mempengaruhi lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan.
namun penyababnya tidak diketahui. Beberapa penelitian berpendapat bahwa itu adalah
neurological disorder dan mempengaruhi otak dalam kemampuan untuk mengirim sinyal yang
benar untuk mengatur otot yang terlibat saat bicara (Kent, 2000). Namun, anak-anak dengan DAS
sering memiliki riwayat gangguan komunikasi atau ketidakmampuan belajar berbahasa didalam
keluarga, dalam penelitian juga menunjukkan adanya hubungan bahwa faktor genetik mungkin
merupakan menjadi salah satu faktor.

Telah dinyatakan bahwa apraksia bicara adalah hasil dari lesi ke lobus frontal inferior atau
ketiga dari belahan yang dominan ( daerah broca ). Afasia broca dan apraksia sering berkaitan.
McNeill & amp; Kent, 1990 (Duffy, 1995), dalam sebuah studi dikatakan bahwa apraksia verbal
mungkin salah satu faktor integral dari sindrom afasia broca namun banyak peneliti yang tidak
setuju. Banyak studi terbaru berpendapat bahwa lesi bertanggung jawab untuk apraksia verbal
mungkin cukup diskritif, misalnya Dronkers (1996) melaporkan bahwa pasien dengan stroke dan
gangguan deficit artikulasi (seperti apraksia verbal) adanya lesi yang terdapat pada wilayah girus
precentral kiri dari insula.

G. Apraksia bucofasial
Pada apraksia ini terjadi ketidakmampuan untuk melakukan perintah berupa gerakan
kompleks yang melibatkan bibir, mulut, muka, tanpa ada kelemahan dari bibir, mulut, dan muka.

2.4 Analisis Pemeriksaan Apraksia

A. Apraksia ideomotor: tidak dapat melakukan perintah kompleks, namun bisa menirukannya.
Contoh : Tes menyisir rambut, cara menyisir rambut dengan memakai jari-jari tidak dengan
sisir.
B. Apraksia ideasional: tidak dapat melakukan beberapa rangkaian aktivitas yang tepat untuk
menuju ke suatu tujuan. Misalnya dapat melakukan satu bagian perintah dari serangkaian
yang ada, namun tidak dapat melakukan seluruh rangkaian tersebut dengan benar. Tes :
mengirim surat tapi tidak bisa urut-urutannya.
C. Apraksia konstruksional: Keterampilan visuospasial terganggu. Tidak bisa menggambar
bangun ruang (1,2, atau 3 dimensi). Test pemeriksaan sederhana: gambar segiempat,
menggambar 2/3 dimensi, ex: rumah dengan atap dan cerobong asap.
D. Dressing apraksia: Dites dengan cara memakai baju  Tampak ada bagian tubuh yang
tidak tertutupi baju. Tali sepatu tidak tertali dengan baik.
E. Apraksia buccofasial: Tidak mampu mengerjakan perintah yang melibatkan area
buccofacial. Gerakan spontan (+). Tes: bersiul, batuk, mengeluarkan lidah, mengerutkan
bibir.
2.5 Penatalaksanaan

Pada prinsipnya jika apraxia adalah gejala kelainan yang mendasarinya, penyakit atau
kondisi itu harus diobati. Terapi fisik dan pekerjaan mungkin bermanfaat bagi pasien stroke dan
cedera kepala. Tetapi, jika apraxia adalah gejala dari gangguan neurologis lain, kondisi yang
mendasarinya harus diobati. Dalam beberapa kasus, anak-anak dengan apraksia dapat belajar
untuk mengkompensasi defisit ketika mereka tumbuh dewasa dengan bantuan pendidikan khusus
dan program terapi fisik.
Terapi wicara dan pendidikan khusus mungkin sangat membantu dalam merawat pasien
dengan apraksia perkembangan bicara.

2.6 Prognosis
Secara umum, pasien dengan apraksia menjadi tergantung pada aktivitas hidup sehari-hari
mereka dan membutuhkan setidaknya beberapa tingkat pengawasan; perawatan keperawatan
yang terampil mungkin diperlukan. Pasien dengan stroke mungkin memiliki perjalanan yang
stabil dan bahkan mungkin membaik. Pasien dengan penyakit degeneratif atau tumor
biasanya berkembang menjadi peningkatan tingkat ketergantungan.

Anda mungkin juga menyukai