Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu penyakit non infeksi yang berkembang saat ini adalah

penyakit atau gangguan sistem peredaran darah yang menimbulkan

kerusakan pada sistem syaraf pusat dan lebih lanjut mengakibatkan

kelumpuhan pada sebagian anggota badan dan wajah sehingga

menurunkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional pasien.

Interfensi fisioterapi dan kerja sama dengan tenaga medis dan

paramedis lainya pada kasus-kasus seperti ini sangat dibutuhkan, baik

selama pasien masih dirawat di rumah sakit maupun setelah kembali ke

keluarganya.

Dengan hubunganya dengan penulisan makalah ini, masalah yang

timbul adalah bagaimana proses patologi stroke sehingga dapat

menimbulkan hemiparese, penanganan fisioterapi pada pasien hemiparese

pasca stroke dengan berbagai modalitas fisioterapi yang ada.

Hemiparese merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan adanya

kelemahan separuh wajah, lengan dan tungkai berupa gangguan motorik

dan gangguan fungsional lainya. Hemiparese Dextra adalah kelumpuhan

pada bagian salah satu sisi tubuh. (sumber: Kamus Keperawatan Sue

Hinchliff). Hemiparese Dextra adalah kelemahan sebelah kanan di tandai

dengan adanya tonus yang abnormal atau cidera otak yang berkaitan
dengan obstruksi aliran darah otak.(sumber: Patofisiologi, Elizabeth J.

Corwin)

Hemiparese adalah suatu penyakit sindrom klinis yang awal

timbulnya mendadak, progresif, cepat, berupa defisit neurologis yang

berlangsung 24 jam atau lebih langsung menimbulkan kematian dan

disebabkan oleh gangguan perdarahan otak non traumatic. (sumber: Kapita

Selekta Kedokteran jilid II)

Dalam penulisan makalah ini, penulis akan membahas tentang

penatalaksanaan hemiparese, dengan teknik farmakologi dan non

farmakologi pada pasien hemiparese dextra. Hal ini meliputi pada

penanganan pada extermitas superior dan inferior serta mencegah

kecacatan lebih lanjut.

B. Tujuan

1. Tujuan umum

Setelah menyusun makalah ini diharapkan mahasiswa dapat

memahami gambaran umum tentang Hemiparase dan proses

keperawatannya.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui pengertian Hemiparase

b. Untuk mengetahui etiologi Hemiparase

c. Untuk mengetahui anatomi fisiologi organ terkait Hemiparase

d. Untuk mengetahui manifestasi klinis Hemiparase

e. Untuk mengetahui patofisiologi Hemiparase


f. Untuk mengetahui pathway Hemiparase

g. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Hemiparase

h. Untuk mengetahui komplikasi Hemiparase

i. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Kata “hemi” berarti satu sisi dan “paresis” berarti kelemahan.

Sekitar 80% dari orang yang mengalami stroke memiliki beberapa tingkat

kesulitan bergerak satu sisi, atau menderita kelemahan pada satu sisi tubuh

mereka. Kondisi ini disebut hemiparesis, yang disebabkan oleh stroke dan

cerebral palsy. Namun, hemiparesis juga dapat disebabkan oleh tumor

otak, multiple sclerosis, dan penyakit lain dari otak atau sistem saraf.

Orang dengan hemiparesis mengalami kesulitan untuk menggerakkan

tangan atau kaki, kesulitan berjalan dan kehilangan keseimbangan.

Aktivitas sehari-hari yang sederhana bisa menjadi sulit untuk seseorang

dengan hemiparesis. Seperti, meraih benda, berpakaian, makan, dan

mandi. Hilangnya kemampuan pada penderita stroke tergantung pada area

otak yang rusak.

Hemiparese Dextra adalah kelumpuhan pada bagian salah satu sisi

tubuh. Hemiparese Dextra adalah kelemahan sebelah kanan di tandai

dengan adanya tonus yang abnormal atau cidera otak yang berkaitan

dengan obstruksi aliran darah otak.(sumber: Patofisiologi, Elizabeth J.

Corwin)

B. Etiologi

1. Sisi kanan hemiparese : melibatkan cidera pada otak sisi kiri. Sisi otak

kiri memiliki fungsi untuk mengontrol berbicara dan berbahasa. Orang


dengann hemiparesis ini juga dapat mengalami kesulitan berbicara dan

memahami perkataan orang lain, serta sulit untuk menentukan

perbedaan sisi tubuh kiri atau kanan (Warlow et al, 2007).

2. Sisi kiri hemiparese : melibatkan cidera pada sisi otak kanan. Yang

memiliki fungsi untuk mengontrol proses belajar, jenis perilaku

tertentu, dan komunikasi nonverbal. Cedera pada area ini akan

mengakibatkan seseorang berbicara berlebihan, memiliki rentang

perhatian pendek, serta mengalami gangguan memori (Warlow et al,

2007).

3. Ataxia : Cedera pada bagian bawah otak seseorang dapat

mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mengkoordinasikan gerakan.

Hal ini disebut “ataksia”, dan dapat menyebabkan kesulitan berjalan,

keseimbangan, dan menegakkan postur tubuh (Warlow et al, 2007).

4. Motor hemiparese murni : motor hemiparesis murni adalah yang

paling umum pada hemiparese. Pasien yang mengalami hemipareses

jenis ini memiliki kelemahan pada kaki, lengan dan wajah. Kondisi ini

dapat mempengaruhi bagian tubuh yang sama, atau mungkin

mempengaruhi satu bagian tubuh lebih berat dari yang lain (Warlow et

al, 2007).

5. Ataxic hemipareses syndrome : sindrome ini melibatkan kelemahan

atau kejanggalan pada satu sisi tubuh seseorang. Kaki seseorang sering

lebih dipengaruhi daripada lengan mereka. Gejala yang terjadi selama

periode beberapa jam dalam sehari (Warlow et al, 2007).


C. Manifestasi klinis

Gejala hemiparesis antara lain:

1. kelumpuhan satu sisi seluruh tubuh yang melibatkan wajah, lengan dan

kaki.

2. kesulitan berbicara dan pemahaman.

3. kesulitan makan dan menelan.

4. kesulitan berjalan atau berdiri.

5. kesulitan mempertahankan posisi tegak saat duduk.

6. kesulitan mengatur keseimbangan saat mata tertutup.

7. serta kesulitan dalam mempertahankan kontrol kandung kemih. Tidak

semua gejala yang disebutkan di atas muncul secara bersamaan pada

semua pasien dengan hemiparesis. Komplikasi yang dapat terjadi pada

pasien dengan hemiparesis adalah pembekuan darah di kaki, atropi

otot, luka dekubitus dan kontraktur sendi (Vega, 2008).

D. Patofisiologi

Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan tulang belakang. Sekitar

seratus miliar neuron pada otak terangkai membentuk sebuah jaringan

yang kompleks diamana individu dapat mengatur alam bawah sadar,

emosi, kontrol pergerakan secara volunter, kesadaran kondisi tubuh dan

lingkungan sekitar, serta proses kognitif yang lebih tinggi seperti

pemikiran dan memori. Proses kognitif dipersepsikan sebagai proses

pemahaman suatu kondisi, termasuk kepedulian dan pertimbangan untuk

melakukan suatu tindakan (Sherwood, 2012).


Otak terletak dalam rongga kranium atau tengkorak yang dilapisi

oleh selaput otak (meningen) dan terdiri atas otak besar (cerebrum) pada

bagian upper brain, otak kecil (cerebelum) dan batang otak (brain stem)

pada bagian belakang otak, serta pembuluh darah otak dan sistem limbik.

Terdapat substansia alba yang terdiri atas serabut saraf dan substansia

grisea yang terdiri atas neuron-neuron sebagai penyusun otak.

Cerebrum merupakan bagian otak yang paling besar dan terbagi

mejadi dua bagian, yakni hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Kedua bagian

tersebut terdiri atas korteks yang membentuk sulkus dan girus. Sejumlah

sulkus yang besar membagi cerebrum menjadi empat lobus, yaitu (1) lobus

frontalis dimana terdapat area Broca sebagai area pengontrol ekspresi

bicara. Selain itu lobus frontalis bertanggung jawab pada perilaku yang

bertujuan, penentuan keputusan moral, pemikiran yang kompleks, serta

memodifikasi dorongan-dorongan emosional yang dihasilkan oleh sistem

limbik, (2) lobus temporalis, berfungsi sebagai daerah asosiasi informasi

auditorik, terlibat dalam interprestasi bau dan penyimpanan ingatan, serta

daerah Wernicke sebagai tempat interprestasi bahasa, (3) lobus parietalis,

merupakan daerah sensorik primer untuk rasa raba dan pendengaran, serta

(4) lobus occipitalis sebagai penerima informasi yang berasal dari retina

mata (Irfan, 2010).

Parahippocampalis, formation hippocampi, nucleus

amygdaloideus, corpus mammilare, dan nucleus anterior thalami. Sistem

limbik mampu untuk mempengaruhi aspek-aspek perilaku emosional


termasuk reaksi takut, marah, dan emosi yang berhubungan dengan

seksual (Waugh, 2011).

Gambar 2.1bagian -bagian otak


(Marieb. 2001)

Cerebellum merupakan pusat koordinasi dan keseimbangan tonus

otot yang memungkinkan sistem somatik bergerak secara tepat dan

terampil. Terdapat tiga lobus cerebellum berdasarkan fungsionalnya, (1)

lobus anterior sebagai paleocerebellum yang menerima rangsang dari

ujung propioseptif otot dan tendon serta reseptor raba dan tekan, (2) lobus

medialis merupakan neocerebellum yang tidak berhubungan dengan gerak

volunter, (3) lobus flonkulonodularis yang merupakan archicerebellum,

berhubungan dengan sistem vestibular dan membantu dalam

mempertahankan keseimbangan (Irfan,2010).


Brain stem atau batang otak secara umum terdiri atas tiga segmen

yang saling berhubungan. (1) mid brain yang terdiri atas mesensefalon dan

diensefalon, (2) pons yang terdiri atas substansia alba dan berfungsi untuk

mengatur frekuensi dan kedalaman pernapasan,(3) medula oblongata yang

merupakan struktur memanjang dari pons hingga medulla spinalis, dimana

terdapat pusat medula vital yang berperan dalam mengendalikan frekuensi

jantung, tekanan darah, pernapasan, batuk, menelan, dan muntah (Sloane,

2003).

Sistem limbic merupakan sekelompok struktur dalam cerebrum

dan diencephalon yang terletak diarea perbatasan antara korteks serebri

dan hipothalamus. Sistem limbik berfungsi untuk mengendalikan emosi,

perilaku, dan memori. Struktur anatomi sistim limbik terdiri dari gyrus

subcallosus, gyrus cinguli, gyrus

E. Pathway

F. Pemeriksaan penunjang

1. CT-Scan

2. Angiografi

3. fungsi lumbal

4. MRI

5. EEG

6. Ultrasonografi

G. Komplikasi

1. Hipoksia serebral
2. edema cerebri

3. Distritmia jantung

H. Penatalaksanaan medis dan keperawatan

1. diuretik

2. antikoagulan

I. Pengkajian keperawatan

I. BIODATA
A. Identitas Klien
Nama lengkap
Jenis kelamin
Usia
Ttl
Status
Agama
Suku/Bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
B. Identitas penanggung jawab
Nama
Usia
Alamat
Hubungan dengan klien
Pekerjaan
II. RIWAYAT KESEHATAN
A. Keluhan Utama
B. Riwayat Kesehatan Sekarang
C. Riwayat Kesehatan Masalalu

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum
2. Kesadaran
3. Tanda-tanda Vital
B. Pemeriksaan Head To Toe
1. Kepala

2. Leher
3. Thorax dan Paru
4. Jantung
5. Abdomen
6. Ginjal : Tidak ada masalah
7. Genetalia
8. Muskuluskeletal
Tangan dan Kaki : simetris, tidak ada oedema, tidak berkeringat, tidak
tremor, tidak ada nyeri tekan hilang rasa pada tangan sebelah kanan
(hemiparesis dextra).
9. Integumen

J. Diagnosa keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sputum (karena

kelemahan, kehilangan reflek batuk

2. Mobilitas fisik b.d kerusakan neoromuskuler, kelemahan hemiparesis

3. Mobilitas fisik b.d kerusakan neoromuskuler, kelemahan hemiparesis

K. Rencana keperawatan

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sputum (karena

kelemahan, kehilangan reflek batuk)

Tujuan: jalan nafas kembali efektif


Kriteria hasil :
1) Bunyi nafas vesikuler
2) TTV normal
3) Tidak ada tanda-tanda sianosis dan pucat
4) Tidak ada sputum
Intervensi:
1) Auskultasi bunyi nafas
2) Monitor TTV
3) Berikan posisi semifowler sesuai dengan kebutuhan
4) Lakukan penghisapan lendir dan pasang OPA jika
kesadaranmenurun
5) Bila sudah memungkinkan lakukan fisioterapi dada dan latihan
nafas dalam

b. Mobilitas fisik b.d kerusakan neoromuskuler, kelemahan hemiparesis


Tujuan: klien bisa kembali beraktifitas
Kriteria hasil:
1) Tidak ada kontraktur atau foot drop
2) Kontraksi otot membaik
3) Mobilisasi bertahap
Intervensi:
1) Pantau tingkat kemampuan mobilitas klien
2) Pantau kekuatan otot
3) Rubah posisi tiap dua jam
4) Pasang trochanter rell pada daerah yang lemah
5) Lakukan ROM pasif atau aktif sesuai kemampuan dan jika TTV
stabil
6) Libatkan keluarga dalam memobilisasi klien
7) Kolaborasi fisioterapi

c. Gangguan komunikasi verbal b.d kerusakan neuromuscular,


kerusakan sentral bicara
Tujuan : komunikasi dapat berjalan dengan baik
Kriteria hasil:
1) Klien dapat mengekspresikan perasaan
2) Memahami maksud dan pembicaraan orang lain
3) Pembicaraan klien dapat dipahami
Intervensi:
1) Evaluasi sifat dan beratnya afasia klien, jika berat hindari memberi
isyarat non verbal
2) Lakukan komunikasi dengan wajar, bahasa jelas, sederhana, bila
perlu diulang
3) Dengarkan dengan tekun bila klien mulai berbicara
4) Latih otot bicara secara normal
5) Libatkan keluarga dalam melatih komunikasi verbal
BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas diagnosa keperawatan yang muncul pada

dengan hemiparase dan pengakian dengan tahap evaluasi adapun pembahasan

sebagai berikut ;

Dapatkan infomasi untuk pengumpulan data, serta megukuru keadaan

keluarga dengan norma-norma keeshatan keluarga maupun sosial yang merupakan

kesanggupan unuk mengatasi. Pengumpulan data penulis lakukan meliputi :

strktur keluarga status keluarga ekonomi, aktiviitas, tingkat perkemkebangan dan

riwayat keluarga. Karakteristik, lingkungan, dan fungsi keluarga. Pemeriksaan

fisik dan koping, keluraga, dalam pengkajian penulis menggunakan metose

wawancara dan observasi

Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan yang penulis temukan pada Ny. Tj

adalah hambatan pertukaran gas berhubungan dengan hipoksemia. data yang

mendukung untuk diagnosa pertukaran gas yaitu tampak terlihat repirasi pasien

15x/menit,Nadi 68 x/menit, SpO2 : 94 %, klien terlihat sesak, hasil rontgen torax :

Bronkhitis sehingga mampu untuk mengangkat diagnosa tersebut karena pasien terlihat

belum sepenuhnya sadar dan masi terpasang okseigen untuk membantu pernapasan

pasien agar stabil.


Masalah keperawatan yang tidak muncul adalah : Defisit perawatan diri (mandi,

berpakaian dan makan). Hal ini tidak muncul karena pasien dengan konsisi masih

belum sadara sepenuhnya dan masi bedrest total di tempat tidaur dengan di

restrain sehingga pasien untuk perawatan diri sendiri masi dibantu oleh perawat

bangsal. Diagnosa keperawaatan yang dapat dia,bi yaitu devisist volume cairan

karena data yang dapat mendukung yaitu pasien masi terpasang NGT, kateter.

Turgr kulit tidak elastis sehingga diagnosa yang dapat diangkat yaitu devisit

volume cairan;. Utntuk diagnosa yang terakhir yaitu kami mebfangkat resiko jatut

karena terlihat dari pasien dengan restrain yang pasangm pasien juga sering

terbangun, posisi pasien yaitu sering berada dipinggir bed pasien sendiri’
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hemiparese adalah suatu penyakit sindrom klinis yang awal timbulnya

mendadak, progresif, cepat, berupa defisit neurologis yang berlangsung 24 jam

atau lebih langsung menimbulkan kematian dan disebabkan oleh gangguan

perdarahan otak non traumatic. Hemiparase umumnya disebabkan oleh lesi pada

saliran kortikospinalis, yang berjalan turun dari kortikal neuron di lobus frontal ke

motor nuron saraf tulang belakang yang betanggung jawa untuk gerakan otot-otot

tubuh dari anggota tubuhnya.

Pengobatan dan penatalaksanaan Klien tirah baring dengan ketinggian kepala

300 untuk menurunkan tekanan intrakranial lakukan pemeriksaan intensif tekanan darah

dan tingkat kesadaran pengobatan antihipertensi dan diuresis untuk klien yang

memngalami hipertensi Pengobatan antikoagulan untuk mencegah terjadinya

pembentukan thrombus Jika suhu tubuh meningkat berikan antipiretik.


DAFTAR PUSTAKA

Marlyn. E. Doenges dkk, 2012. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 Jakarta :

EGC

Cyntya M. Taylor : 2010. Diagnosa Keperawatan dengan Renacana Asuhan. Edisi

10. Jakarta : EGC

Kowalak. JP (ed), 2014. Buku Ajar Patofisiologi Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai