Anda di halaman 1dari 10

11, BE & GG, Charviano Hardika, Hapzi Ali, Concepts and Theories of Business

Ethics, Universitas Mercu Buana, 2018

Quiz BE & GG Minggu 11:


Jawablah Quiz minggu ini dengan baik dan benar:
Apa yang dapat saudara resemekan tentang Ethical dilemmas, Sources, and their resolutions.
Jawabannya dapat di tambah dari sumber lain yang relevan
Selamat menjawab Quiz minggu ini.

Ethical dilemmas
Pengertian Dilema etika adalah suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus
membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat untuk dilakukannya. Para auditor,
akuntan, serta pelaku bisnis lainnya menghadapi banyak dilema etika dalam karir bisnis mereka.
Melakukan kontak dengan seorang klien yang mengancam akan mencari seorang auditor baru
kecuali jika auditor itu bersedia untuk menerbitkan sutu pendapat wajar tanpa syarat, akan
mewakili suatu dilema etika yang serius terutama jika pendapat wajar tanpa syarat bukanlah
pendapat yang tepat untuk diterbitkan. Memutuskan apakah akan berkonfrontasi dengan seorang
atasan yang telah menyatakan nilai pendapatan departemennya secara material lebih besar
daripada nilai yang sebenarnya agar dapat menerima bonus lebih besar merupakan suatu dilema
etika yang sulit. Tetap menjadi bagian manajemen sebuah perusahaan yang selalu mengusik dan
memperlakukan para pegawainya dengan tidak layak atau melayani para pelanggannya secara
tidak jujur merupakan suatu dilema moral, khususnya jika ia memiliki keluarga yang harus
dibiayai serta terdapat persaingan yang sangat ketat dalam lapangan pekerjaan.
Baca Juga: Cara Menggunakan Kuota Videomax Menjadi Kuota Reguler
Terdapat banyak alternatif untuk menyelesaikan dilema-dilema etika tetapi perhatin yang serius
harus diberikan untuk menghindari terlaksananya metode-metode yang merasionalisasikan
perilaku tidak etis. Metode-metode rasionalisasi yang digunakan yang dengan mudah dapat
menghasilkan tindakan tidak etis diantaranya:
 Setiap orang melakukannya yaitu Argumentasi bahwa merupakan perilaku yang wajar bila
dapat memalsukan pajak penghasilan, atau menjual produk yang cacat umumnya berdasarkan
pada rasionalisasi bahwa setiap individu lainnya pun melakukan hal tersebut dan hal tersebut
merupakan perilaku yang wajar. jika merupakan hal yang sah menurut hukum, hal itu etis
 Menggunakan argumentasi bahwa semua perilaku yang sah menurut hukum adalah perilaku
yang etis sangat bersandarpada kesempurnaan hukum. Dibawah filosofi ini, seseorang tidak
memiliki kewajiban apapun untuk mengembalikan suatu obyek yang hilang kecuali jika pihak
lainnya dapat membuktikan bahwa obyek tersebut miliknya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, Dilema etika merupakan situasi yang dihadapi oleh seseorang
dimana ia harus membuat keputusan mengenai perilaku yang patut. Contoh sederhananya adalah
jika seseorang menemukan cincin berlian, ia harus memutuskan untuk mencari pemilik cincin atau
mengambil cincin tersebut. Sebagai contoh: Para auditor, akuntan, dan pebisnis lainnya,
menghadapi banyak dilema etika dalam karier bisnis mereka. Terlibat dengan klien yang
mengancam akan mencari auditor baru jika tidak diberikan opini unqualified akan menimbulkan
dilema etika jika opini unqualified tersebut ternyata tidak tepat untuk diberikan.
Menyelesaikan Dilema Etika dengan pendekatan 6 (enam) langkah yaitu:
1. Memperoleh fakta-fakta yang relevan.
2. Mengidentifikasikan masalah etika yang muncul dari fakta-fakta tersebut.
3. Memutuskan siapa yang akan terkena dampak dari dilema tersebut dan bagaimana setiap
orang atau kelompok dapat terkena dampaknya.
4. Mengidentifikasikan alternative-alternatif yang tersedia bagi individu yang harus
menyelesaikan dilema teresebut.
5. Mengidentifikasikan konsekuensi yang mungkin muncul dari setiap altrrnatif.
6. Memutuskan tindakan yang tepat.
Pembenaran atas Perilaku Tidak Etis
Semua Orang Melakukannya. Alasan yang mendasari bahwa memalsukan pajak, berlaku curang
saat ujian, atau menjual produk yang cacat merupakan tindakan yang dapat diterima, umumnya
berdasarkan alasan bahwa semua orang juga melakukan hal itu, sehingga perilaku tersebut dapat
diterima.
Jika Ini Legal, Maka Ini Etis. Menggunakan argument yang mengatakan bahwa semua perilaku
legal merupakan perilaku yang etis, sangat bergantung pada kesempurnaan hukum. Berdasarkan
filosofi ini, seseorang tidak akan memiliki kewajiban untuk mengembalikan barang yang hilang,
kecuali jika ada orang lain dapat membuktikan bahwa barang itu adalah milik orang tersebut.
Kemungkinan Terbongkar dan Konsekuensi. Filosofi ini bergantung pada evaluasi kemungkinan
bahwa orang lain akan membongkar perilaku tersebut. Biasanya orang tersebut juga akan menilai
keparahan dari hukuman (konsekuensi) yang akan dihadapi jika perilaku tidak etis tersebut
terbongkar.
Dalam Etika Dilema yang dikenal juga sebagai dilema moral telah menjadi masalah bagi teori
etika sejauh Plato. Sebuah dilema etis dimana situasi ajaran moral atau etika konflik kewajiban
sedemikian rupa sehingga setiap resolusi mungkin untuk dilema secara moral tak tertahankan.
Dengan kata lain, sebuah dilema etika adalah setiap situasi di mana pedoman prinsip-prinsip moral
tidak dapat menentukan tindakan yang benar atau salah.
Dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 mengatakan, “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan
profesi dan tidak menerima suap”. Hal ini dapat menjadi dilema bagi wartawan yang bersangkutan
ketika ia menghadapi masalah tertentu. Sebagai contoh saya akan menceritakan kisah seorang
wartawan:
- Pada suatu kejadian wartawan ini diberikan tugas dari atasannya untuk meliput salah satu anggota
Dewan. Pada saat setelah peliputan, sang anggota dewan tersebut memberikan sebuah amplop,
wartawan ini sudah mengira itu adalah suap. Ia tetap pada keidealisannya sebagai wartawan yang
menjungjung tinggi kode etik, namun disisi lain anaknya sedang sakit, ia harus segera membawa
anaknya ke rumah sakit. Hal ini akan menjadi dilema etis ataupun dilema moral bagi wartawan
tersebut. Ada dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh wartawan tersebut, yang pertama ia
akan tetap pada keidealisannya dan yang kedua ia akan menerima amplop tersebut karena
mengingat anaknya sedang sakit.
Sources
Sumber-Sumber Nilai Etika
Yang menjadi acuan dalam melaksanakan etika dalam bisnis adalah:
• Agama
Etika disebut juga filsafat moral merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan
manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana
manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma,
diantaranya norma hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan santun. Norma
hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama, norma
moral berasal dari suara hati dan norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari.
Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan
orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya.
Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan
sekadar indoktrinasi.
Hal ini disebabkan 4 (empat) alasan sebagai berikut:
1. Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas mendengar
bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapi ia juga ingin mengerti mengapa Tuhan
memerintahkannya. Etika dapat membantu menggali rasionalitas agama.
2. Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi yang
saling berbeda dan bahkan bertentangan.
3. Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat maka agama
menghadapi masalah moral yang secara langsung tidak disinggung-singgung dalam
wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi manusia dengan gen yang sama.
4. Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika mendasarkan diri pada
argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh
karena itu ajaran agama hanya terbuka pada mereka yang mengakuinya sedangkan etika
terbuka bagi setiap orang dari semua agama dan pandangan dunia.
• Filosofi
Pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang.
Tokoh-tokoh filsafat etika masih banyak lagi, dan penulis berkeinginan membahas semuanya
disini, namun karena keterbatasan tempat dan tema yang diangkat maka tokoh yang disebut
diatas penulis anggap sudah cukup mewakili sejarah filsafat etika pada masa itu. Dan
korelasinya dengan intelektual islam pada masa sesudahnya seperti Ibn Miskawaih yang
dalam banyak tulisannya (karya) banyak dipengaruhi dari pemikiran tokoh filsafat yunani.
Dan meskipun para ahli memberikan makna kebahasaan yang cukup beragam terhadap kata
etika itu, namun makna-makna itu pada umumnya tetap berada pada lingkaran di seputar
perbuatan-perbuatan kategori akhlaki seperti: kebiasaan, tingkah laku, kesusilaan dan
semisalnya. Sementara itu pengertian kata moral, yang secara etimologis berasal dari bahasa
Latin mos dan jamaknya adalah mores berarti kebiasaan dan adat. Dalam bahasa Indonesia,
kata Suwito, pada umumnya kata moral diidentikkan dengan kata etika.
Adapun secara istilah, pengertian etika tampak berbeda dengan moral, dan juga dengan
akhlak. Sebagai disampaikan oleh Komaruddin Hidayat, etika adalah suatu teori ilmu
pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan
dengan perilaku manusia. Sejalan dengan pengertian ini, Suwito menegaskan bahwa etika
baru menjadi sebuah ilmu bila kemungkinan-kmungkinan etis telah menjadi refleksi bagi
suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini, lanjut Suwito, identik dengan filsafat
moral. Bersama estetika, etika merupakan cabang filsafat yang menjadi bagian dari wilayah
nilai, sehingga etika didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji secara rasional,
kritis, reflektif, dan radikal persoalan moralitas manusia. Jadi etika membicarakan perilaku
manusia (kebiasaan) ditinjau dari baik-buruk, atau teori tentang perbuatan manusia ditinjau
dari nilai baik-buruknya. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa etika merupakan bidang
garapan filsafat, dengan moralitas sebagai objek meterialnya. Jadi, studi kritis terhadap
moralitas itulah yang merupakan wilayah etika. Bila dirujukkan dengan penjelasan
Pudjowijatno, bila moralitas sebagai objek materialnya, maka tindakan manusia yang
dilakukannya dengan sengaja adalah objek formal dari etika, dan perilaku sengaja inilah yang
biasa pula dinamakan dengan tindakan akhlaki atau perilaku etis. Dengan kata lain, etika
merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan
hidup yang baik. Sementara moral lebih beraakenaan dengan tingkah laku yang kongkrit,
berbeda dengan etika yang bekerja pada level teori.
Atas dasar pengertian tersebut dapat ditarik garis batas dan garis hubungan etika dengan moral
di satu pihak dan dengan akhlak pada pihak lain. Moral merupakan aturan-aturan normatif
yang berlaku dalam suatu masyarakat tertntu yang terbatas oleh ruang dan waktu, yang
penetapan tata nilai itu di masyarakat menjadi wilayah garapan antropologi. Dengan demikian
moral lebih dekat dengan akhlak, meski tidak sepenuhnya, ketimbang dengan etika.
Meski demikian mesti dikatakan bahwa karakteristika akhlak adalah bersifat agamis, dan ini
tidak ada pada moral. Oleh karena itu akhlak lebih merupakan sebagai suatu paket atau barang
jadi yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
seorang muslim, tanpa mempertanyakan secara kritis, sehingga akhlak bisa disebut dengan
moralitas islami. Studi kritis terhadap moralitas itulah wilayah etika, sehingga moral tidak lain
adalah objek kajian daripada etika. Dengan demikian kalau dibandingkan dengan penjelasan
mengenai akhlak di atas, kiranya dapat diketahui bahwa etika lebih menunjuk pada ilmu
akhlak, sedangkan moral lebih merupakan perbuatan konkrit realisasi dari kekuatan jiwa.
Meski demikian harus tetap dikatakan bahwa dari segi sumbernya keduanya berbeda. Etika
bersumber dari pemikiran manusia terutama filsafat Yunani, sedangkan ilu akhlak, meski juga
merupakan hasil pemikiran, tetapi ia bersimber dari wahyu yakni al-Qur’an dan al-Hadis.
Dengan kata lain, meski sejumlah penulis muslim sering menggunakan istilah etika dalam
mengungkapkan perkataan ilmu akhlak, namun sama sekali tidak berarti bahwa sumber pokok
keduanya sama. Barangkali kalau ada beberapa ahli yang tidak membedakan dua istilah itu,
sangat boleh jadi karena mereka melihat betapa pengembangan ilmu akhlak masa sekarang
banyak ditunjang oleh analisis filsafat. Dengan demikian dalam batas tertentu dapat dikatakan
bahwa ilmu akhlak bersumber pokok pada wahyu, hanya pengebangannya dilakukan dengan
menggunakan filsafat sebagai sarananya; sedangkan etika semata-mata bersumber dari
filsafat, tidak terkait dengan wahyu.
Selanjutnya adalah menyengkut perbedaan akhlak dengan moral. Meski keduanya sama-sama
menunjuk pada perbuatan, namun bila dilihat dari objeknya, dua istilah itu tidak identik; sifat
akhlak adalah teorsentris, karena segala perbuatan yang ditunjuk oleh istilah akhlak dilihat
dalam kontksnya dengan Tuhan, baik perbuatan dalam hubungannya dengan Tuhan maupun
dengan sesama manusia. Sementara moral hanya menunjuk pada perbuatan dengan sesama
manusia, tidak menunjuk pada yang dengan Tuhan, karenanya bersifat antroposentris, dan
tujuannya hanya sebatas untuk kepentingan manusia. Dengan kaata lain, objek akhlak lebih
kompleks karena mencakup akhlak terhadap Tuhan dan akhlak terhadap manusia, dan
keduanya bersifat teorsentris; sementara moral hanya menyangkut perbuatan terhadap sesama
manusia, dan hanya dilihat untuk tujuan antroposentris.
• Pengalaman dan Perkembangan Budaya
Ciri khas utama yang paling menonjol yaitu kekeluargaan dan hubungan kekerabatan yang
erat.
• Hukum
Biasanya hukum dibuat setelah pelanggara-pelanggaran terjadi dalam komunitas.
Hukum dalam pengertian peraturan perundang-undangan, maka tidak memberikan ruang
secara eksplisit terhadap etika. Ruang eksplisit yang dimaksud adalah bunyi teks atau pasal-
pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Apakah dengan demikian etika
tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan? Etika adalah norma. Etika dapat menjadi
asas yang mendasari pengaturan dalam bahasa teks peraturan. Artinya etika sudah membaur
atau dibaurkan dalam bunyi teks peraturan. Pembauran menempatkan etika menjadi ‘nyawa’
dari pasal per pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Dari perspektif demikian etika adalah meta yuridis. Etika bukan peraturan perundang-
undangan, tetapi menjadi dasar dari bahasa teks peraturan perundang-undang. Peraturan
perundang-undangan menjadi aktualisasi yuridis dari etika yang menjadi pedoman
berperilaku. Aktualisasi yuridis atau positivisasi etika menjadi kaidah berperilaku yang
berwatak yuridis. Tanpa positivisasi etika yang semula hanya norma perilaku, etika tidak akan
dapat ditegakkan dengan menggunakan sanksi hukum.
Etika yang bertransformasi menjadi kaidah hukum baru merupakan hukum dalam peraturan
perundang-undangan. Transformasi melalui positivisasi meletakkan etika menjadi hukum.
Tetapi tidak berarti etika an sich merupakan hukum. Etika menjadi hukum (baca: peraturan
perundang-undangan) ketika ditempatkan dalam bunyi pasal atau menginspirasi pembentukan
pasal tersebut. Kemudian pertanyaan yang diajukan adalah apakah etika sama dengan hukum?
Etika tidak selalu sama dengan hukum. Etika bisa tetap sebagai etika ketika etika tidak
mengalami positivisasi untuk menjadi teks peraturan perundang-undangan. Etika mengalami
transformasi menjadi peraturan perundang-undangan, apabila pembentuk undang-undang
(DPR dan hakim) menempatkan etika menjadi bunyi teks atau dimuat dalam putusan hakim.
Dalam hal ini positivisasi etika dapat dilakukan menjadi dua, yaitu melalui proses legislasi di
legislative dan eksekutif dan melalui pembentukan hukum oleh hakim.
Pembentukan hukum oleh hakim dilakukan melalui penemuan hukum dengan
mempertimbangkan faktor non yuridis dalam menerapkan hukum. Faktor non yuridis ini
tersebar pada norma berperilaku di masyarakat yang teraktualisasi dalam kode etik, best
practice, adat istiadat atau konvensi. Kemudian oleh hakim, faktor non yuridis mengalami
positivisasi yang menjadi bagian dari pertimbangan hukum hakim (legal reasoning) dalam
mengadili kasus tertentu. Pertimbangan hukum inilah yang mengantarkan hakim dalam
membuat suatu putusan dan menjadikan faktor non yuridis menjadi hukum.
Dengan demikian bahwa pernyataan etika adalah hukum, perlu meninjau kembali sudut
pandang yang digunakan. Sudut pandang dipengaruhi oleh pemahaman atas pengertian
hukum yang terdiri dari hukum tertulis dan tidak tertulis. Apabila memaknai hukum hanya
sebagai hukum yang tertulis yaitu peraturan perundang-undangan maka etika bukanlah
hukum. Etika dapat menjadi hukum harus dilakukan dengan mempositivisasi etika tersebut
dalam peraturan perundang-undangan.
Namun dengan menggunakan pengertian hukum yang luas, dengan menempatkan hukum
tidak hanya peraturan perundang-undangan maka etika dapat dikategorikan menjadi hukum.
Etika adalah hukum yang tidak tertulis. ‘Tidak tertulis’ disini tidak dimaksudkan bahwa ruang
lingkup etika tidak harus tidak tertulis, karena etika seperti kode etik (code of conduct) adalah
tertulis. ‘Tidak tertulis’ maksudnya adalah bukan bagian dari peraturan perundang-undangan.
their resolutions
Kasus mafia pajak Gayus Tambunan, Bank Century, divestasi saham Krakatau Steel, atau korupsi
proyek wisma atlet SEA Games, sulit dituntaskan. Banyak pihak—parpol, penguasa, pengusaha,
dan wakil rakyat—terlibat konflik kepentingan. Pendanaan parpol dan kepentingan kelompok
ataupun pribadi menjauhkan politik dari kepentingan publik. Jebakan ini cermin kelemahan etika
publik. Etika publik adalah refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik-buruk dan
benar-salah suatu perilaku, tindakan, dan keputusan yang mengarahkan kebijakan publik dalam
menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Ada tiga fokus etika publik. Pertama, pelayanan
publik berkualitas dan relevan. Artinya, kebijakan publik harus responsif dan mengutamakan
kepentingan publik. Kedua, fokus refleksi karena tak hanya menyusun kode etik atau norma, etika
publik membantu mempertimbangkan pilihan sarana kebijakan publik dan alat evaluasi yang
memperhitungkan konsekuensi etis. Dua fungsi ini menciptakan budaya etika dalam organisasi
dan membantu integritas pejabat publik. Ketiga, modalitas etika: bagaimana menjembatani norma
moral dan tindakan. Ketiga fokus itu mencegah konflik kepentingan. Etika publik berkembang
dari keprihatinan terhadap pelayanan publik yang buruk karena konflik kepentingan dan korupsi.
Konflik kepentingan dipahami sebagai konflik antara tanggung jawab publik dan kepentingan
pribadi atau kelompok. Pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan diri atau
kelompok sehingga membusukkan kinerjanya dalam tugas pelayanan publik” (OECD, 2008).
Konflik kepentingan tidak hanya mendapatkan uang, materi, atau fasilitas untuk dirinya. Juga
semua bentuk kegiatan (penyalahgunaan kekuasaan) untuk kepentingan keluarga, perusahaan,
partai politik, ikatan alumni, atau organisasi keagamaannya. Konflik kepentingan mendorong
pengalihan dana publik. Modus operandinya beragam: korupsi pengadaan barang atau jasa,
penjualan saham, penalangan, proyek fiktif, manipulasi pajak, dan parkir uang di bank dengan
menunda pembayaran untuk memperoleh bunga. Konflik kepentingan yang mencolok (pendanaan
ilegal parpol, penguasa yang pengusaha), dan yang tersamar (calo anggaran, cari posisi pasca-
jabatan, turisme berkedok studi banding) membentuk kejahatan struktural yang merugikan
kepentingan publik. Korupsi kartel-elite Pendanaan ilegal parpol yang sarat konflik kepentingan
menyeret ke korupsi kartel-elite. Korupsi ini melibatkan jaringan partai politik, pengusaha,
penegak hukum, dan birokrasi karena (M Johnston, 2005): (a) para pemimpin menghadapi
persaingan politik dalam lembaga yang masih lemah; (b) partai politik tak mengakar, lebih
mewakili kepentingan elite; (c) sistem peradilan korup; (d) birokrasi rentan korupsi. Situasi ini
bikin politik penuh risiko dan ketakpastian. Dengan korupsi kartel-elite, ketakpastian dihindari tak
hanya dengan cara memengaruhi kebijakan publik. Juga menghalangi atau mengooptasi pesaing
potensial, menghimpun pengaruh untuk menguasai keuntungan ekonomi dan kebijakan publik dari
tekanan sosial dan elektoral. Korupsi kartel-elite adalah cara elite menggalang dukungan politik
dari masyarakat dan memenangi kerja sama dengan lembaga legislatif, penegak hukum, dan
birokrasi (F Lordon, 2008). Konflik kepentingan semakin sulit dihindari ketika pejabat publik
sekaligus pemilik perusahaan. Apabila akuntabilitas lemah, terutama pemisahan kepentingan
publik dan perusahaan, sumber daya negara bisa dianggap asetnya. Kekuasaan bisa
disalahgunakan untuk menguntungkan perusahaannya. Konflik kepentingan merusak kebijakan
anggaran. Fungsi pengawasan budget bisa berubah menjadi politik manipulasi ketika alokasi dana
dalam perencanaan budget diperdagangkan antarkelompok kepentingan. DPR bisa berubah jadi
pemangsa yang siap memeras. Konflik kepentingan yang tersamar adalah mengatur nasib masa
depan. Di antaranya menggunakan pengaruh saat masih pejabat publik untuk mencari kedudukan
setelah habis jabatan (OECD, 2008). Untuk itu harus ada partai oposisi yang serius dan jaminan
akuntabilitas. Akuntabilitas berarti memenuhi tanggung jawab untuk melaporkan, menjelaskan,
menjawab, menjalankan kewajiban, dan menyerahkan apa yang dilakukan dan diminta sebagai
pertanggungjawaban atau yang ingin diketahui pihak di luar organisasi” (Caiden, 1988), terutama
publik yang dilayani. Akuntabilitas perlu demi menjamin integritas publik dan pelayanan publik.
Di setiap organisasi pemerintah dibutuhkan komisi etika untuk: (a) mengawasi sistem transparansi
menyingkap keuangan publik; (b) memeriksa laporan kekayaan, sumber pendapatan, dan utang
sebelum jabatan publik; (c) memeriksa laporan hubungan yang berisiko untuk meminimalkan
konflik kepentingan; (d) di setiap pertemuan staf dan pengambilan keputusan, komisi etika
disertakan untuk mengangkat masalah etika, memfasilitasi audit, dan evaluasi kinerja untuk
mengidentifikasi dimensi etika. Agar pengawasan lebih efektif, perlu mekanisme pembongkar aib
dengan memberi perlindungan hukum terhadap pembongkar aib, menyediakan sarana komunikasi,
komunikasi konfidensial, dan petunjuk pelaporan yang tepercaya. Untuk mengorganisasikan
tanggung jawab, sanksi atau insentif harus terumuskan dalam hukum. Maka, mendesak dibuat UU
antikonflik kepentingan. Untuk meningkatkan pengawasan, dilibatkanlah masyarakat melalui
jaringan di daerah. Pembentukan jaringan dimulai dengan pelatihan dan lokakarya untuk
mendiskusikan konflik kepentingan dan korupsi (sebab, mekanisme, korban, kerugian). Jaringan
ini dibentuk dari organisasi lokal, asosiasi profesi, kelompok bisnis, dan organisasi mahasiswa.
Anggota jaringan jadi sumber informasi bagi KPK.

Daftar Pustaka
https://www.belumlama.com/dilema-etika/
https://diandyt.wordpress.com/2012/11/21/menyelesaikan-dilema-etika/
https://diandyt.wordpress.com/2012/11/21/pembenaran-atas-perilaku-tidak-etis/
http://fikom-jurnalistik.blogspot.com/2011/06/etika-dilema.html
http://nurmalikayunaeni21.blogspot.com/2010/11/sumber-sumber-nilai-etika.html
http://agung-theraider.blogspot.com/2012/11/artikel-tentang-sumber-sumber-etika_7774.html
https://ekonomi.kompas.com/read/2011/06/07/03001349/etika.publik.dan.konflik.kepentingan
Forum BE & GCG Minggu 11:
Forum BE & GCG Minggu 11:
Tuesday, 20 November 2018, 10:45 AM

Jawablah Forum minggu ini dengan baik dan benar:


Bagaimanakah Implementasi Ethical dilemmas, Sources, and their resolutions,
dan kendalanya pada Perusahaan saudara atau ada pada peruhsaan yang saudara amati atau
secara umum di Indonesia.
Selamat menjawab Forum minggu ini.

1. CONTOH KASUS ETIKA BISNIS INDOMIE DI TAIWAN


LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama
menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada
pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi.
Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar.
Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan
sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi
persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan.
Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
PERMASALAH
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung
bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung
dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat
tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010)
pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di
Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari
Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil
Kepala BPOM Kustantinah. "Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini," kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka
Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta
keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui
terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam
Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan
pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini
umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri
pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam
kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga
berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam
Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per
kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging,
ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat
berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision,
produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan
kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie
yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di
antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.

2. Krisis yang dialami Bank Century bukan disebabkan karena adanya krisis global, tetapi karena
disebakan permasalahan internal bank tersebut. Permasalahan internal tersebut adalah adanya
penipuan yang dilakukan oleh pihak manajemen bank terhadap nasabah menyangkut:
Penyelewengan dana nasabah hingga Rp 2,8 Trilliun (nasabah Bank Century sebesar Rp 1,4
Triliun dan nasabah Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia sebesar Rp 1,4 Triliiun)
Penjualan reksa dana fiktif produk Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia. Dimana produk tersebut
tidak memiliki izin BI dan Bappepam LK.
Kedua permasalahan tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi nasabah Bank
Century. Dimana mereka tidak dapat melakukan transaksi perbankan dan uang mereka pun untuk
sementara tidak dapat dicairkan. Kasus Bank Century sangat merugikan nasabahnya dimana
setelah Bank Century melakukan kalah kliring, nasabah Bank Century tidak dapat melakukan
transaksi perbankan baik transaksi tunai maupun transaksi nontunai. Setelah kalah kliring, pada
hari yang sama, nasabah Bank Century tidak dapat menarik uang kas dari ATM Bank Century
maupun dari ATM bersama. Kemudian para nasabah mendatangi kantor Bank Century untuk
meminta klarifikasi kepada petugas Bank. Namun, petugas bank tidak dapat memberikan jaminan
bahwa besok uang dapat ditarik melalui ATM atau tidak. Sehingga penarikan dana hanya bisa
dilakukan melalui teller dengan jumlah dibatasi hingga Rp 1 juta. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran nasabah terhadap nasib dananya di Bank Century.
Setelah tanggal 13 November 2008, nasabah Bank Century mengakui transksi dalam bentuk valas
tidak dapat diambil, kliring pun tidak bisa, bahkan transfer pun juga tidak bisa. Pihak bank hanya
mengijinkan pemindahan dana deposito ke tabungan dolar. Sehingga uang tidak dapat keluar dari
bank. Hal ini terjadi pada semua nasabah Bank Century. Nasabah bank merasa tertipu dan
dirugikan dikarenakan banyak uang nasabah yang tersimpan di bank namun sekarang tidak dapat
dicairkan. Para nasabah menganggap bahwa Bank Century telah memperjualbelikan produk
investasi ilegal. Pasalnya, produk investasi Antaboga yang dipasarkan Bank Century tidak
terdaftar di Bapepam-LK. Dan sudah sepatutnya pihak manajemen Bank Century mengetahui
bahwa produk tersebut adalah illegal.
Hal ini menimbulkan banyak aksi protes yang dilakukan oleh nasabah. Para nasabah melakukan
aksi protes dengan melakukan unjuk rasa hingga menduduki kantor cabang Bank Century. Bahkan
para nasabah pun melaporkan aksi penipuan tersebut ke Mabes Polri hingga DPR untuk segera
menyelesaikan kasus tersebut, dan meminta uang deposito mereka dikembalikan. Selain itu, para
nasabah pun mengusut kinerja Bapepam-LK dan BI yang dinilai tidak bekerja dengan baik.
Dikarenakan BI dan Bapepam tidak tegas dan menutup mata dalam mengusut investasi fiktif Bank
Century yang telah dilakukan sejak tahun 2000 silam. Kasus tersebut pun dapat berimbas kepada
bank-bank lain, dimana masyarakat tidak akan percaya lagi terhadap sistem perbankan nasional.
Sehingga kasus Bank Century ini dapat merugikan dunia perbankan Indonesia.
Solusi Pemecahan Masalah Pelanggaran Etika Bisnis
Dari sisi manager Bank Century menghadapi dilema dalam etika dan bisnis. Hal tersebut
dikarenakan manager memberikan keputusan pemegang saham Bank Century kepada Robert
Tantular, padahal keputusan tersebut merugikan nasabah Bank Century. Tetapi disisi lain, manager
memiliki dilema dimana pemegang saham mengancam atau menekan karyawan dan manager
untuk menjual reksadana fiktif tersebut kepada nasabah. Manajer Bank Century harus memilih dua
pilihan antara mengikuti perintah pemegang saham atau tidak mengikuti perintah tersebut tetapi
dengan kemungkinan dia berserta karyawan yang lain terkena PHK. Dan pada akhirnya manager
tersebut memilih untuk mengikuti perintah pemegang saham dikarenakan manager beranggapan
dengan memilih option tersebut maka perusahaan akan tetap sustain serta melindungi karyawan
lain agar tidak terkena PHK dan sanksi lainnya. Walaupun sebenarnya tindakan manager
bertentangan dengan hukum dan etika bisnis. Solusi dari masalah ini sebaiknya manager lebih
mengutamakan kepentingan konsumen yaitu nasabah Bank Century. Karena salah satu kewajiban
perusahaan adalah memberikan jaminan produk yang aman.

Daftar Pustaka
http://pelangianggita.blogspot.com/2012/01/contoh-pelanggaran-kasus-kode-etik.html
http://ekijonis.blogspot.com/2018/03/softskill-etika-bisnis-2-contoh-yang.html

Anda mungkin juga menyukai