Etika
Lalu apa itu moral/moralitas? Moralitas di identifikasikan sebagai acuan atau panduan bagi
manusia guna mempertimbangkan baik buruknya suatu hal/tindakan. Singkatnya etika bisa
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang baik buruknya suatu hal/tindakan sesuai
aspek moralitas yang dipercaya/dipilih. Aspek moralitas yang dipercaya/dipilih disebut juga
sebagai standar moral, setiap individu memiliki standar moral yang berbeda-beda. Standar moral
biasanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan pergaulan, keluarga serta spiritualitas (agama atau
kepercayaan nenek moyang). Standar moral juga perlu terus menerus diperbaharui sesuai dengan
kondisi dan perkembangan zaman.
Dalam dunia profesional ada prinsip yang menarik yaitu skeptisisme, skeptisisme
merupakan suatu paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang sudah kita pahami dan
percaya harus memiliki porsi untuk perbaikan, artinya segala sesuatu yang sudah kita pahami dan
percaya harus terus menerus diperbaharui dan diperbaiki. Prinsip ini sangat bermanfaat, dengan
menggunakan prinsip ini kita bisa terus berkembang untuk mencari sesuatu yang paling mutakhir
(paling benar, paling baik dan paling estetik), dengan menggunakan prinsip ini juga kita akan
terhindar dari belenggu untuk percaya 100% terhadap pemahaman-pemahaman lama yang kita
dapatkan sebelumnya. Hal ini juga terjadi pada standar moral. Anda bingung? Saya berikan
ilustrasinya sedikit. Dalam lingkungan masyarakat jawa atau standar moral masyarakat jawa
dibawah tahun 50an, menatap mata secara langsung dan terus menerus kepada lawan bicara yang
lebih dewasa atau lebih berpengaruh adalah sebuah hal yang sangat tidak diharapkan untuk
terjadi atau dianggap tidak sopan (tidak beretika), maka sebaiknya saat berbicara dengan orang
yang lebih dewasa atau lebih berpengaruh kita menundukan kepala dan tidak menatap langsung
mata lawan bicara kita. Itu merupakan salah satu standar moral umum yang terjadi pada era
tersebut, mungkin sampai saat ini diwilayah kerajaan atau keraton masih menganut standar moral
yang sama. Namun jika kita bandingkan dengan era sekarang (diluar lingkungan
kerajaan/keraton), ketika kita menggunakan standar moral yang sama (tidak menatap mata lawan
bicara/lebih banyak menundukkan kepala) dalam situasi anda sedang melakukan wawancara
kerja atau pada saat presentasi dikampus, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih anda
mengharapkan mendapat kesan positif dari lawan bicara, anda justru bisa dianggap pribadi yang
tidak percaya diri atau bahkan pribadi yang kurang sopan saat berbicara tanpa menatap mata
lawan bicara.
Setelah membaca ilustrasi diatas, apakah standar moralnya salah? Tentu tidak. Ilustrasi
diatas membuktikan bahwa standar moral akan terus berkembang sesuai dengan situasi dan
kondisi yang berlaku saat standar moral tersebut akan digunakan. Standar moral perlu
penyesuaian-penyesuaian mengikuti situasi dan kondisi yang ada.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara kita menentukan standar moral yang kita percaya
masih relevan atau tidak? Mudah saja, skeptisisme mengilustrasikan dengan situasi seperti ini :
“ketika kita memiliki satu keranjang yang berisikan buah apel dalam waktu lebih dari satu
minggu, tentunya kita sudah menduga bahwa diantara tumpukan apel tersebut sudah ada yang
busuk atau tidak layak untuk dikonsumsi. Bagaimana cara agar kita tahu mana apel yang masih
layak dikonsumsi dan mana apel yang sudah tidak layak? Ya, benar. Kita harus mengeluarkan
dahulu seluruh apel yang ada didalam keranjang. Kita periksa dengan seksama satu persatu dan
kita pisahkan apel yang masih bisa dikonsumsi dan apel yang sudah tidak layak dikonsumsi.
Dengan melakukan aktifitas tersebut, kita dapat mengetahui mengetahui berapa jumlah apel yang
masih layak dikonsumsi dan berapa yang sudah tidak layak”. Begitu juga dengan standar moral,
kita memiliki banyak standar moral. Sebaiknya kita amati dan periksa kembali satu persatu,
apakah standar moral yang kita miliki masih relevan dengan situasi dan kondisi saat ini? Atau
sudah saatnya menciptakan/menerima standar moral yang baru?
Etika Bisnis
Sebelum mengenali apa itu etika bisnis, kita perlu memahami terlebih dahulu apa itu
bisnis? Bisnis dalam kehidupan sehari-hari dapat diartikan sebagai kegiatan memperjualbelikan
jasa dan barang yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok/perusahaan dengan tujuan
untuk memperoleh profit atau keuntungan. Pada umumnya individu atau perusahaan yang
melakukan bisnis berorientasi pada bagaimana cara memperoleh laba sebesar-besarnya dengan
modal/pengorbanan sekecil-kecilnya. Lalu, apa itu etika bisnis? Etika bisnis adalah proses
berbisnis atau kegiatan memperjualbelikan barang jasa dengan memerhatikan aspek etika. Bisnis
tanpa etika hanya akan merugikan bagi para pelakunya dalam rentang waktu tertentu. Seiring
perkembangan zaman, terjadi pergeseran orientasi dalam berbisnis yang pada awalnya hanya
berorientasi ekonomi (hanya mementingkan keuntungan) menjadi memperhatikan dua aspek
lainnya yaitu sosial dan lingkungan. Dewasa ini seluruh perusahaan semakin memerhatikan
faktor etika dalam menjalankan proses atau kegiatan bisnisnya. Konsep ini dikenal sebagai
istilah triple bottom line, triple bottom line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997,
John Elkington memberikan pandangan bahwa perusahaan yang ingin bisnisnya terus berlanjut
harus memerhatikan profit, people and planet (faktor ekonomi, sosial dan lingkungan). “Selain
mengejar laba (profit), perusahaan harus memerhatikan dan terlibat pada pemenuhan
kesejahteraan masyarakat (people) serta berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian alam
(planet)” Effendi (2016).
Sedikitnya ada dua teori yang bisa membuat kita lebih paham tentang apa dan seperti apa
itu etika bisnis. Yang pertama adalah Teori Teleologi dan yang kedua adalah Teori Deontologi,
mari kita bahas satu persatu. Teori teleologi adalah paham bahwa suatu tindakan atau perilaku
dinilai benar atau salah berdasarkan tujuan/hasil dari perbuatan/perilakunya. Sebagai contoh
cerita robin hood, robin hood dikisahkan sebagai pencuri yang baik hati. Bagaimana bisa? Ya,
karena dia mencuri harta benda atau makanan dari orang kaya yang dianggap jahat lalu hasil
curiannya diberikan pada kaum miskin yang kelaparan. Dengan menggunakan teori teleologi kita
dapat memutuskan bahwa robin hood adalah pribadi yang benar bahkan bermoral baik, karena
dia membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan, namun dilain sisi kita melupakan
kesalahannya yang telah mencuri (mencuri adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan).
Sedangkan teori deontologi adalah paham bahwa suatu perilaku atau tindakan dinilai benar atau
salah berdasarkan prosesnya. Proses disini diidentikan dengan kewajiban menjalankan proses,
jadi perilaku atau tindakan dinilai baik bukan berdasarkan tujuan atau hasil yang akan dicapai,
melainkan tindakan dinilai baik ketika menyelesaikan kewajiban yang memang harus dilakukan.
Contohnya, bagi perusahaan menjalankan proses bisnis sesuai HAM (Hak Asasi Manusia),
membayar pajak dan membayar hutang merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.
Walapun seperti yang kita ketahui bersama, melakukan proses itu bisa jadi akan menurunkan
keuntungan yang perusahaan dapatkan. Teori deontologi menitikberatkan nilai pada upaya
pemenuhan kewajiban, bukan pada tercapainya tujuan atau hasil dari tindakan yang dilakukan.
Setelah menganalisis teori ini, kita bisa lebih yakin bahwa yang seharusnya dilakukan oleh
pelaku bisnis adalah mengacu pada teori deontologi. Mengapa demikian? Jika dibandingkan
dengan teori teleologi yang berorientasi pada hasil sudah jelas teori deontologi lebih relevan bagi
pelaku bisnis guna mencapai proses bisnis yang lebih beretika. Pelaku bisnis yang mengadopsi
teori teleologi dalam menjalankan bisnisnya hanya fokus pada tujuan mencari profit atau
keuntungan dengan menghalalkan berbagai cara. Sekarang kita bandingkan jika pelaku bisnis
mengadopsi teori deontologi, mereka akan senantiasa mematuhi hukum yang berlaku, menjalin
hubungan baik dengan konsumen, dan lebih fokus pada proses bisnis yang benar, baik dan
terarah. Memang dengan melakukan hal tersebut bisa jadi perkembangan bisnis akan lebih
lambat, namun bisa dipastikan dengan memerhatikan dan menjalani proses bisnis yang benar,
baik dan terarah akan membuat bisnis berusia lebih lama serta potensi berkelanjutannya lebih
besar dibandingkan pelaku bisnis yang hanya berorientasi mencari keuntungan/profit.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) menurut
World Business Council on Sustainable Development (WBSCD) adalah “suatu komitmen dari
perusahaan untuk melaksanakan etika keperilakuan (behavioural ethics), berkontribusi terhadap
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development) dan
meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal serta masyarakat luas”
Effendi (2016). Kotler dan Lee (2005) menyatakan bahwa ”Corporate social responsibility is a
commitment to improve community well being through discretionary business practices and
contribution of corporate resources”. Kotler dan Lee (2005) memberikan penekanan bahwa
kegiatan CSR semata-mata merupakan komitmen perusahaan secara sukarela untuk turut
meningkatkan kesejahteraan komunitas dan bukan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum
dan undang-undang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa corporate social responsibility adalah
komitmen bisnis perusahaan atau organisasi yang berkaitan dengan nilai-nilai etika dan sosial
guna meningkatkan kepedulian terhadap konsumen, karyawan perusahaan, para stakeholder dan
masyarakat luas serta berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup.
Menurut Effendi (2016) ada empat manfaat yang diperoleh perusahaan jika
mengimplementasikan CSR adalah sebagai berikut :
A. Keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan. Selain itu, perusahaan juga
mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat luas.
B. Perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital / modal.
C. Perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas.
D. Perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis dan
mempermudah pengelolaan manajemen risiko.
Sedangkan menurut Suharto (2010) manfaat corporate social responsibility bagi perusahaan,
antara lain :
A. Brand differentiation, dalam persaingan pasar yang kian kompetitif, CSR bisa memberikan
citra perusahaan yang khas, baik, dan etis di mata publik yang pada gilirannya menciptakan
costumer loyalty.
B. Human resources, program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan baru,
terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat interview, calon karyawan yang memiliki
pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya tentang corporate social responsibility
dan etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran, bagi staf
lama, corporate social responsibility juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan
dedikasi dalam bekerja.
C. License to operate, perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong pemerintah dan
publik memberikan izin bisnis. Karena dianggap telah memenuhi standar operasi dan
kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas.
D. Risk management, manajemen risiko merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan. Reputasi
perusahaan yang dibangun bertahun-tahun dapat runtuh karena kasus korupsi, kecelakaan
karyawan, atau kerusakan lingkungan.
Dapat disimpulkan bahwa manfaat penerapan corporate social responsibility meliputi seluruh
aspek mulai dari kelancaran proses/kegiatan bisnis perusahaan, legitimasi dari stakeholder,
meningkatkan citra positif, meningkatkan dedikasi karyawan, meminimalisir risiko serta
memperoleh akses kapital/modal dengan lebih mudah sehingga ketika seluruh aspek tersebut
tercapai, maka keberlanjutan perusahaan akan lebih terjamin.
Apakah pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR) merupakan hal mutlak yang
dipertimbangkan investor dalam berinvestasi? Tentu tidak. Sebagian investor bahkan
menganggap laporan pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR) tidak mencerminkan kondisi
serta prospek perusahaan dimasa mendatang, sehingga sebagian investor tidak menggunakan
laporan tanggung jawab sosial (CSR) sebagai acuan utama untuk memilih perusahaan dalam
berinvestasi. Investor memiliki pandangan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR)
yang dilakukan perusahaan hanya sebatas mengikuti aturan pemerintah dan hanya sebagai
pencitraan perusahaan, investor juga menganggap bahwa informasi yang diungkapkan
perusahaan hanya informasi baik saja sehingga investor menganggap pengungkapan tanggung
jawab sosial (CSR) bukan informasi yang istimewa.
Lalu apakah pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR) yang dilakukan adalah hal yang
sia-sia? Tentu tidak. Pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR) memang bukan merupakan
acuan utama investor dalam berinvestasi, namun investor tetap mengamati dan menilai dari
adanya kasus-kasus yang tersebar di media, jika perusahaan tersebut tertimpa masalah CSR
maka investor tidak akan berinvestasi diperusahaan tersebut, namun jika tidak maka bukan
masalah untuk berinvestasi disuatu perusahaan. Pendapat ini didukung oleh kasus yang terjadi di
Indonesia. Saham PT Semen Indonesia anjlok 475 poin atau sekitar 4,6% pada perdagangan
11/10/2016 hal ini dikarenakan sentimen negatif atas keputusan MA memenangkan warga
dengan membatalkan izin pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia Tbk di Rembang, Detik
Finance (11/11/2016). Turunnya harga saham membuktikan bahwa investor di Indonesia sudah
memperhatikan isu CSR namun hanya kasus-kasus yang tersebar di media saja.
Hal serupa juga terjadi diluar negeri, bukti nyata di alami oleh United Airlines. Senin 10
April 2017, United Airlines melakukan tindakan tidak terpuji dalam menjalankan bisnis
penerbangannya. Kejadian ini berawal dari manajemen United Airlines meminta empat
penumpang secara sukarela untuk turun dari pesawat dan terbang keesokan harinya, sebagai
kompensasi United Airlines menyediakan hotel untuk menginap dan uang tunai sebesar $800.
Namun tidak ada yang menanggapi hal tersebut, akhirnya manajemen United Airlines melakukan
pemilihan penumpang secara acak, tiga penumpang diantaranya setuju dan satu menolak.
Akhirnya manajemen United Airlines memanggil petugas keamanan bandara untuk
mengeluarkan secara paksa satu penumpang yang menolak. Proses pemaksaan tersebut
dilakukan dengan cara menyeret penumpang dari dalam kabin menuju keluar, terlebih lagi
penumpang adalah dokter senior keturunan asia yang akan pulang untuk merawat pasien-
pasiennya, Kompas (11/4/2017). Hal ini mengakibatkan harga saham United Airlines anjlok
dalam perdagangan Selasa 11 April 2017. Saham United Airlines turun hingga 4 persen atau
sekitar US$ 1 miliar. Jatuhnya nilai saham United Airlines dipicu oleh insiden yang terjadi pada
Senin 10 April 2017. Dalam rekaman video yang beredar di media sosial, seorang penumpang
pesawat berwajah Asia dipaksa keluar dengan cara diseret. Insiden ini menyebabkan wajah pria
malang tersebut berdarah, Tempo (12/4/2017).
Isu sosial juga menerpa Facebook, perusahaan yang dimiliki oleh Mark Zuckerberg.
Facebook diterpa isu tentang kerahasiaan data penggunanya, disinyalir data pribadi pengguna
facebook telah bocor dan disalahgunakan untuk kepentingan politik di Amerika Serikat. Untuk
perusahaan jejaring sosial seperti facebook seharusnya menjamin kerahasiaan data pribadi
penggunanya dan ketika kerahasiaan ini bocor akan menjadi sentimen yang buruk bagi pengguna
sehingga investor berbondonng-bondong melepas sahamnya ke pasar untuk menghindari risiko.
Dengan adanya isu ini saham facebook anjlok lebih dari 9% dari US$ 185.15 pada perdagangan
19 maret 2018 sampai US$ 168.15 pada 21 maret 2018, Detik Finance (21/03/2018).
Melihat fakta diatas tentu kita semua bersepakat bahwa tanggung jawab sosial perusahaan
(CSR) adalah hal yang penting, selanjutnya bagaimana cara mengungkapkan tanggung jawab
sosial yang sudah dilaksanakan perusahaan? Atau bisa juga timbul pertanyaan bagaimana cara
menyusun laporan pengungkapan tanggung jawab sosial? Baik, hal ini akan kita bahas secara
bersama-sama dengan singkat. Setidaknya ada 2 standar atau pedoman dalam menyusun laporan
pengungkapan tanggung jawab sosial. Yang pertama mengacu pada GRI (Global Reporting
Initiative) dan yang kedua mengacu pada SASB (Sustainability Accounting Standard Board).
Dalam standar GRI G4 (GRI, 2018) indikator kinerja dibagi menjadi 3 komponen utama, yaitu:
Detik Finance. (2016). “Pembangun Pabrik Dibatalkan MA, Saham Semen Indonesia Anjlok”.
https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-3318001/pembangun-pabrik-dibatalkan-ma-
saham-semen- indonesia-anjlok
Effendi, M.A. (2016). “The Power of Good Corporate Governance Teori dan Implementasi”.
Edisi 2. Jakarta : Salemba Empat
Elkington, J. (1997). Cannibals with forks – Triple bottom line of 21st century business. Stoney
Creek, CT: New Society Publishers
Global Reporting Initiative. 2018. Prinsip-prinsip Pelaporan dan Pengungkapan Standar- Bahasa
Indonesia. https://www.globalreporting.org/standards/gri-standards-translations/gri-
standards-bahasa-indonesia-translations-download-center/
Henderson, Elizabeth & Mcllwraith, Mariela. (2013). “Ethics and Corporate Social
Responsibility”. Canada : John Willey & Sons Inc.
Kompas. (2017). “Demi Kursi untuk Stafnya, United Airlines Seret Penumpang dari
Pesawat”.http://internasional.kompas.com/read/2017/04/11/07064681/demi.kursi.untuk.s
tafnya.united.airlines.seret.penumpang.dari.pesawat?page=1
Kompas. (2017). “Ini Alasan Warga Tutup Akses Pabrik Semen di
Rembang”. https://regional.kompas.com/read/2017/02/10/20053811/ini.alasan.warga.tutu
p.akses.pabrik.semen.di.rembang.
Kotler, P. dan N. Lee. (2005). “CSR: Doing The Most Good Most For Your Company and Your
Cause”. John Wiley and Sons, Inc. New Jersey.
PP 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Suharto, Edi. (2010). “CSR & COMDEV : Investasi Kreatif Perusahaan Di Era Globalisasi”.
Bandung: Alfabeta.
Undang Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup