Anda di halaman 1dari 19

PEMAHAMAN ETIKA DAN PENILAIAN MORAL Pengertian Etika Menurut Kamus Besar Bhs.

. Indonesia (1995) Etika adalah Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral Menurut Maryani & Ludigdo (2001) Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi Dari asal usul kata, Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik Perkembangan etika yaitu Studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma agama, norma moral dan norma sopan santun. 1. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan 2. Norma agama berasal dari agama 3. Norma moral berasal dari suara batin 4. Norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika

Fungsi Etika 1. Sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan. 2. Etika ingin menampilkanketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. 3. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme Etika dan Etiket Etika berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai ethics dan etiquette. Antara etika dengan etiket terdapat persamaan yaitu: 1. etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut dipakai mengenai manusia tidak mengenai binatang karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket. 2. Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilkukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah tersebut sering dicampuradukkan. Adapun perbedaan antara etika dengan etiket ialah: 1. Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukkan cara yang tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu. Misalnya dalam makan, etiketnya ialah orang tua didahulukan mengambil nasi, kalau sudah selesai tidak boleh mencuci tangan terlebih dahulu.Di Indonesia menyerahkan sesuatu harus dengan tangan kanan. Bila dilanggar dianggap melanggar etiket. Etika tidakterbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. 2. Etiket hanya berlaku untuk pergaulan.
2

Bila tidak ada orang lain atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya etiket tentang cara makan. Makan sambil menaruh kaki di atas meja dianggap melanggar etiket dila dilakukan bersama-sama orang lain. Bila dilakukan sendiri maka hal tersebut tidak melanggar etiket. Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang yang dipinjam harus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa. 3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contohnya makan dengan tangan, bersenggak sesudah makan. Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti ;jangan berbohong;jangan mencuri merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar. 4. Etiket hanya memadang manusia dari segi lahirian saja sedangkan etika memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanya lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket namun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak mungkin munafik karena seandainya dia bersikap munafik maka dia tidak bersikap etis Etika Normatif Etika normatif ialah satu cabang etika falsafah yang menyiasat set soalan yang timbul apabila kita memikirkan mengenai soalan "bagaimana seseorang patut bertindak, secara moral?" Etika normatif berbeza dengan meta-etika kerana ia menyiasat piawaian bagi tindakan salah atau betul, sedangkan meta-etika mengkaji erti bahasa moral dan metafizik fakta moral. Etika normatif juga berbeza dari etika perihalan (descriptive ethics), yang merupakan penyiasatan empirik berkenaan kepercayaan etika manusia. Dengan kata lain, etika perihalan adalah berkenaan menentukan berapa bahagian orang yang percaya membunuh sentiasa salah, sementara etika normatif berkenaan sama ada ia adalah betul bagi memegang kepercayaan sedemikian. Dengan itu, etika normatif kadang kala dikatakan bersifat preskriptif, bukannya deskriptif. Bagaimanapun, pada versi tertentu padangan meta-etika yang dipanggil realisme moral, fakta moral adalah kedua-dua preskriptif dan deskriptif pada masa yang sama.

Secara umum, etika normatif boleh dibahagi kepada lapangan-kecil teori moral dan etika diguna (applied ethics). Pada tahun kebelakangan, sempadan antara displin-disiplin kecil ini semakin kabur apabila ahli teori moral menjadi lebih berminat dalam masaalah kegunaan (applied problem) dan etika diguna menjadi semakin berpengaruh. Teori moral tradisi menumpu kepada mencari prinsip moral yang membenarkan seseorang menentukan sama ada sesuatu tindakan adalah betul ataupun salah. Teori klasik dalam aliran ini termasuk utilitarianisme, Kantianisme, dan sesetengah

bentuk kontraktarianisme. Teori-teori

ini menawarkan prinsip

moral

melampaucapai

(overarching) yang seseorang boleh pertimbangkan bagi menyelesaikan keputusan moral yang sukar. Menjelang abad ke-20, teori moral menjadi semakin rumit dan tidak lagi hanya berkenaan betul atau salah, tetapi berminat dengan pelbagai jenis status moral. Gaya ini mungkin bermula pada 1930 dengan W. D. Ross dalam bukunya, The Right and the Good. Di sini Ross menegaskan bahawa teori moral tidak boleh mengatakan secara umum sama ada sesuatu tindakan adalah salah atau betul tetapi hanya sama ada ia cenderung kepada betul atau salah menurut jenis tugas moral tertentu seperti kebergantungan kedermawanan, kesetiaan, atau keadilan (dia menggelarnya sebagai tugas prima facie separa betul). Selajutnya, ahli falsafah telah mempersoalkan sama ada tugas prima facie juga boleh dijelaskan pada tahap teori, dan sesetengah ahli falsafah mendesak agar menjauhi dari membuat teori umum sama sekali, sementara yang lain mempertahankan teori berdasarkan bahawa ia tidak perlu sempurna bagi merangkumi kesedaran moral penting. Pada pertengahan abad terdapat kerumpangan lama dalam pembagunan etika normatif semasa di mana ahli falsafah sebahagian besarnya mengalih dari soalan normatif kepada metaetika. Malah ahli falsafah semasa zaman ini yang mengekalkan minat terhadap moral prescriptif, seperti R. M. Hare, cuba untuk tiba kepada kesimpulan normatif melalui renungan meta-etika. Fokus kepada meta-etika ini sebahagiannya disebabkan oleh pusingan linguistik kuat dalam falsafah analitik dan sebahagian lagi disebabkan adjmerebaknya positivisme logis. Pada 1971, John Rawlsmenentang aliran toeri normatif dengan menerbitkan A Theory of Justice. Karya ini sungguh revolusioner, sebahagiannya kerana ia hampir tidak kisah langsung
4

akan meta-etika dan sebaliknya memburu hujah moral secara langsung. Ekoran daripada A Theory of Justice dan karya utma lain teori normatif yang diteritkan pada 1970-an, bidang teah melihat pembaharuan luar biasa yang kekal hingga ke hari ini. Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlbergs Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan

konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya. Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.

Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya. Tingkat 1 (Pra-Konvensional) 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman 2. Orientasi minat pribadi Tingkat 2 (Konvensional) 3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas 4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial Tingkat 3 (Pasca-Konvensional) 5. Orientasi kontrak sosial 6. Prinsip etika universal Pra-Konvensional Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris. Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
6

Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat prakonvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral. Konvensional Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral. Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik'. Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan
7

apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik. Pasca-Konvensional Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat hakekat diri mendahului orang lain ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional. Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkankesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima. Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga
8

memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls[14]). Tindakan yang diambil adalah hasilkonsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini. Salah satu kritik terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori tersebut terlalu menekankan pada keadilan dan mengabaikan norma yang lainnya. Konsekuensinya, teori itu tidak akan menilai secara adekuat orang yang menggunakan aspek moral lainnya dalam bertindak. Carol Gilligan berargumentasi bahwa teori Kohlberg terlalu androsentrikTeori Kohlberg semula dikembangkan berdasarkan penelitian empiris yang menggunakan hanya partisipan lelaki; Giligan berargumentasi bahwa hal tersebut membuat tidak adekuatnya teori itu dalam menggambarkan pandangan seorang perempuan. Walaupun penelitian secara umum telah menemukan tidak adanya perbedaan pola yang signifikan antar jenis kelamin, teori perkembangan moral dari Gilligan tidak memusatkan perhatiannya pada norma keadilan. Ia mengembangkan teori penalaran moral alternatif berdasarkan norma perhatian. Psikolog lain mempertanyakan asumsi bahwa tindakan moral dicapai terutama oleh penalaran formal. Salah satu kelompok yang berpandangan demikian, social intuitionists, mengemukakan bahwa orang sering membuat keputusan moral tanpa mempertimbangkan nilai-nilai seperti keadilan, hukum, hak asasi manusia, dan norma etika yang abstrak. Berdasarkan hal ini, argumen yang telah dianalisis oleh Kohlberg dan psikolog rasionalist lainnya dapat dianggap hanya merupakan rasionalisasi dari keputusan intuitif. Ini berarti bahwa penalaran moral kurang relevan terhadap tindakan moral dibanding apa yang dikemukakan oleh Kohlberg. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pelanggaran Etika : Kebutuhan Individu Tidak Ada Pedoman
9

Perilaku dan Kebiasaan Individu Yang Terakumulasi dan Tak Dikoreksi Lingkungan Yang Tidak Etis Perilaku Dari Komunitas

Sanksi Pelanggaran Etika : 1. Sanksi Sosial. Skala relatif kecil, dipahami sebagai kesalahan yangdapat dimaafkan. 2. Sanksi Hukum. Skala besar, merugikan hak pihak lain. Etika Kristen Etika Kristen bersifat universal dan juga kontekstual. Etika Kristen merupakan sesuatu yang terbuka dan dinamis yang bergerak dalam ruang dan waktu. Maksudnya ialah adanya analisis etis yang harus merupakan suatu interaksi antar disiplin ilmu, dengan konteks budaya sekitar, berorientasi pada masalah-masalah kongkret, dan juga peka terhadap perkembangan serta kecenderungan yang mutakhir. Dasar etika Kristen adalah iman Kristiani. Iman Kristiani inilah yang akan dipakai untuk menjadi asumsi dasar dalam melakukan penilaian etis. Etika harus memakai penalaran yang bersifat objektif dan rasional. Objektif dan rasional disini berarti etika Kristen dapat disajikan sedemikian rupa dalam bahasa yang dapat ditangkap oleh semua orang. Sejarah Pemikiran Kristen Mengenai Etika Literatur gereja pada abad ke-4 belum memiliki Etika Kristen yang sisitematis. Literatur yang dalam Perjanjian Baru lebih bersifat refleksi atas apa yang disebut Etika Situasional. Analisa Etika Kristen menunjukkan dengan perlahan kesadaran akan kesulitan membuat perbedaan antara tingkah laku orang Kristen dengan yang bukan Orang Kristen. Literatur subapostolik lebih berbicara secara kuat tentang batas-batas tersebut, misalnya : kebenaran dan ke-tidak-benaran, kekudusan dengan ketidak kudusan dalam kehidupan orang Kristen dan yang bukan Kristen. Hal tersebut berkaitan dengan masalah-masalah etika yang adalah karakteristik dari gereja sampai akhir abad ke-4. Abad ke-4 untuk pertama kalinya terminologi (konsep) etika tertulis secara jelas dalam dokumen-dokumen Kristen, misalnya: pada tahun 361 di Kaisarea muncul
10

dokumen delapan peraturan yang mengatur hidup orang Kristen dengan judul dokumen Prinsip-prinsip Etika. Pada abad pertengahan, Santo Benedik melanjutkan tradisi dari masa lampau. Pada awal abad pertengahan tersebut muncul Rule of Saint Benedict (Peraturan Santo Benedik). Peraturan Benedik tersebut adalah sebuah upaya untuk menata tanggung jawab-tanggung jawab hidup membiara. Peraturan tersebut ditandai oleh

penggabungan antara kebutuhan-kebutuhan orang Kristen dengan kelemahankelemahan alami manusia, misalnya: peraturan mengenai minuman anggur, hendaklah dikonsumsi secara secukupnya sesuai dengan kebutuhannya dan jangan sampai minuman tersebut memabukkan (jangan jatuh ke dalam godaan). Pada abad 17 selanjutnya, konsep etika lebih kepada penggunaan khusus yang cenderung bersifat rasional dan dipengaruhi pencerahan. Emile Brunner berusaha untuk menggali kaitan dari etika Kristen dengan nilai-nilai alkitabiah. Emile Brunner mencoba mengkaitkan ajaran Luther tentang pembenaran karena iman dengan masalah etika. Pembenaran karena iman seharusnya bisa membawa dampak bertingkah laku yang baik bukan hanya bagi pribadi saja, melainkan juga bagi masyarakat. Penggunaan alkitab dalam etika kristen Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai penggunaan Alkitab dalam etika Kristen. Ada yang berpendapat bahwa segala bahan moral dalam Alkitab adalah setaraf dan semutu hanya karena tertulis dalam Alkitab dan semua dianggap mengungkapkan kehendak Allah yang berlaku secara mutlak dan pribadi. Dengan begitu ketika ada persoalan, kita dapat mencari pemecahan langsung yang disajikan dan tinggal diterapkan. Tentu saja Alkitab tidak boleh dipergunakan secara demikian. Kaum etikus Protestan menyadari bahwa Alkitab tak mungkin didekati secara tradisional yaitu sebagai sumber petunjuk-petunjuk moral yang tinggal diterapkan saja. Etika Islam Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-

11

ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika. Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal, filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika. Ketika dihubungkan dengan Islam, selalu muncul pertanyaan mendasar, adakah sesungguhnya yang disebut sebagai etika Islam itu?. Menurut abdul Haq Anshari dalam Islamic Ethics: Concepts and Prospects meyakini bahwa sesungguhnya Etika Islam sebagai sebuah disiplin ilmu atau subyek keilmuan yang mandiri tidak pernah ada pada hari ini. Menurutnya kita tidak pernah menjumpai karya-karya yang mendefinisikan konsepnya, menggambarkan isuisunya dan mendiskusikan pemaslahannya. Apa yang kita temukan justru diskusi yang dilakukan oleh berbagai kalangan penulis, dari kelompok filosof, teolog, ahli hukum Islam, sufi dan teoretesi ekonomi dan politik dibidang mereka masing-masing tentang berbagai isu, baik yang merupakan bagian dari keilmuan mereka atau relevan dengan etika Islam. Toh Demikian Penulis bias menyimpulkan bahwa Etika islam adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan baik dan buruk prilaku manusia yang dinaungi cahaya Islam artinya prilaku manusia tersebut di dasarkan atas rel dan aturan aturan Agama Islam. Di bawah ini beberapa pendapat tokoh filsafat tentang etika Islam 1) Al-Kindi Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi mengenai filsafat atau cita filsafat. Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia . Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal. 2) Al-Razi Filsafat etika al-Razi yang lain adalah :
12

Al-Razi juga berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh Plato tentang-tentang aspek jiwa :

Al-Razi juga berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan yang dikemukakan oleh tentang-tentang aspek jiwa : Nalar Lingkungan Hasrat dan menunjukkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.

Al-Razi mengenali dusta, dusta adalah hal yang buruk Tamak adalah suatu keadaan yang sangat buruk yang dapat menimbulkan rasa saki dan bencana. Mabuk menyebabkan malapetaka dan sakitnya jiwa dan raga dan sebagainya. Dan keempat pendapat tersebut tercakup dalam Risalah etika Al-Razi yang cukup terkenal, Obat Pencahar Rohani (Spiritual Phisic).

3) Al-Farabi Al-Farabi menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia, al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diahirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni : Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperleh dengan kontemplasi, penelitian dan melalui belajar. Keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalm hal ini, kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan pemikiran budaya (fadhail fikriyah madaniyyah). Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada dibawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran, kedua jenis keutamaan

13

tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyemprna tabiat atau watak manusia. Keytamaan amalia, diperoleh dengan dua cara yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang. 4) Ikhwan al-Safa` Adapun tentang moral etika, ikhwan al-Safa bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai pada eksatase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan, kasih saying dan keadilan. Rasa syukur, mengutamakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar,

kemunafikan, penipuan, kezaliman dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan, kecintaan yangmembara sesama manusia, dan keramahan terhadap alam dan binatang liar sekalipun. 5) Ibnu Maskawaih Akhlak, menurut Maskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa piker dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsure watak naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan. Berdasarkan ide diatas, secara tidak langsung Ibnu Maskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Ibnu Maskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan (Tarbiyah al-Akhlak) dan latihan-latihan. Pemikiran seperti ini jelas sejalan dengan ajaran Islam karena kandungan ajaran Islam secara eksplisittelah mengisyaratkan kearah ini dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia. Kebenaran ini jelas tidak dapat dibantah, sedangkan akhlak atau sifat binatang saja bisa berubah dariliar menjadi jinak, apalagi akhlak manusia.
14

6) Al-Ghozali Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Al-ghazali juga mengakui bahwa kebaikan tersebur dimana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disedeeer hanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan. Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allh itu, al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Diantaranya yang terpenting ialah muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan al-mahasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri. 7) Ibnu Bajjah Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasrkan atas petimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur. 8) Ibnu Thufail Menurutnya, manusia merupkan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esesnsi nonbendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruanya, pertamaterikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhankebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca burukdan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, pereungan atas esensi Tuhan dan perputaran atas esesnsi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase. 9) Ibnu Rusyd

15

Mengenai etika Ibnu Rusyd membenarkan teori Plato yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk social yang membutuhkan kerja sama untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kebahagiaan. Dalam merealisasikan kebahagiaan yang merupakan tujuan ahir bagi manusia, diperlukan bantuan agama yang akan meletakkan dasardasarkeuamaan akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang mengajarkan keutamaan teoritis, untuk itu diperlukan kemampuan perhubungan dengan akal aktif. Perilaku Etika dalam Profesi Akuntansi Timbul dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu negara adalah sejalan dengan berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara tersebut. Jika perusahaan-perusahaan di suatu negara berkembang sedemikian rupa sehingga tidak hanya memerlukan modal dari pemiliknya, namun mulai memerlukan modal dari kreditur, dan jika timbul berbagai perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas yang modalnya berasal dari masyarakat, jasa akuntan publik mulai diperlukan dan berkembang. Dari profesi akuntan publik inilah masyarakat kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas tidak memihak terhadap informasi yang disajikan dalam laporan keuangan oleh manajemen perusahaan. Profesi akuntan publik menghasilkan berbagai jasa bagi masyarakat, yaitu jasa assurance, jasa atestasi, dan jasa nonassurance. Jasa assurance adalah jasa profesional independen yang meningkatkan mutu informasi bagi pengambil keputusan. Jasa atestasi terdiri dari audit, pemeriksaan (examination), review, dan prosedur yang disepakati (agreed upon procedure). Jasa atestasi adalah suatu pernyataan pendapat, pertimbangan orang yang independen dan kompeten tentang apakah asersi suatu entitas sesuai dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah ditetapkan. Jasa nonassurance adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang di dalamnya ia tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain keyakinan. Contoh jasa nonassurance yang dihasilkan oleh profesi akuntan publik adalah jasa kompilasi, jasa perpajakan, jasa konsultasi. Secara umum auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan tentang kejadian ekonomi, dengan
16

tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Ditinjau dari sudut auditor independen, auditing adalah pemeriksaan secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi yang lain dengan, tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar keadaan keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut. Profesi akuntan publik bertanggung jawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan-perusahaan, sehingga masyarakat keuangan memperoleh informasi keuangan yang andal sebagai dasar untuk memutuskan alokasi sumber-sumber ekonomi. Etika Profesional Profesi Akuntan Publik Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota profesinya. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik merupakan etika profesional bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari Prinsip Etika yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam konggresnya tahun 1973, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi profesi akuntan Indonesia, kemudian disempurnakan dalam konggres IAI tahun 1981, 1986,1994, dan terakhir tahun 1998. Etika profesional yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam kongresnya tahun 1998 diberi nama Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. Akuntan publik adalah akuntan yang berpraktik dalam kantor akuntan publik, yang menyediakan berbagai jenis jasa yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik, yaitu auditing, atestasi, akuntansi dan review, dan jasa konsultansi. Auditor independen adalah akuntan publik yang melaksanakan penugasan audit atas laporan keuangan historis yang menyediakan jasa audit atas dasar standar auditing yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dijabarkan ke dalam Etika Kompartemen

17

Akuntan Publik untuk mengatur perilaku akuntan yang menjadi anggota IAI yang berpraktik dalam profesi akuntan publik. Kode Etik Akuntan Publik Keterterapan (applicability) Aturan Etika ini harus diterapkan oleh anggota Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) dan staf profesional (baik yang anggota IAI-KAP maupun yang bukan anggota IAI-KAP) yang bekerja pada satu Kantor Akuntan Publik (KAP). Dalam hal staf profesional yang bekerja pada satu KAP yang bukan anggota IAI-KAP melanggar Aturan Etika ini, maka rekan pimpinan KAP tersebut bertanggung jawab atas tindakan pelanggaran tersebut. Definisi/Pengertian 1. Klien adalah pemberi kerja (orang atau badan), yang mempekerjakan atau menugaskan seseorang atau lebih anggota IAI KAP atau KAP tempat Anggota bekerja untuk melaksanakan jasa profesional. Istilah pemberi kerja untuk tujuan ini tidak termasuk orang atau badan yang mempekerjakan Anggota. 2. Laporan Keuangan adalah suatu penyajian data keuangan termasuk catatan yang menyertainya, bila ada, yang dimaksudkan untuk mengkomunikasikan sumber daya ekonomi (aktiva) dan atau kewajiban suatu entitas pada saat tertentu atau perubahan atas aktiva dan atau kewajiban selama suatu periode tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum atau basis akuntansi komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku umum. Data keuangan lainnya yang digunakan untuk mendukung rekomendasi kepada klien atau yang terdapat dalam dokumen untuk suatu pelaporan yang diatur dalam standar atestasi dalam penugasan atestasi, dan surat pemberitahuan tahunan pajak (SPT) serta daftar-daftar pendukungnya bukan merupakan laporan keuangan. Pernyataan, surat kuasa atau tanda tangan pembuat SPT tidak merupakan pernyataan pendapat atas laporan keuangan.
18

3. Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah suatu bentuk organisasi akuntan publik yang memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berusaha di bidang pemberian jasa profesional dalam praktik akuntan publik. 4. IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) adalah wadah organisasi profesi akuntan Indonesia yang diakui pemerintah. 5. Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) adalah wadah organisasi para akuntan Indonesia yang menjalankan profesi sebagai akuntan publik atau bekerja di Kantor Akuntan Publik. 6. Anggota adalah semua anggota IAI-KAP. 7. Anggota Kantor Akuntan Publik (anggota KAP) adalah anggota IAI-KAP dan staf professional (baik yang anggota IAI-KAP maupun yang bukan anggota IAI-KAP) yang bekerja pada satu KAP. 8. Akuntan Publik adalah akuntan yang memiliki izin dari Menteri Keuangan untuk menjalankan praktik akuntan publik. 9. Praktik Akuntan Publik adalah pemberian jasa profesional kepada klien yang dilakukan oleh anggota IAI-KAP yang dapat berupa jasa audit, jasa atestasi, jasa akuntansi dan review, perpajakan, perencanaan keuangan perorangan, jasa pendukung litigasi dan jasa lainnya yang diatur dalam standar profesional akuntan publik.

19

Anda mungkin juga menyukai