SKS : 2
Oleh:
Dr. Ir. Pintor Tua Simatupang, MT.
Mata Kuliah : Rekayasa Pondasi II
Daftar Isi
1 Pengantar I–1
7 Referensi I–26
4. Jenis dan Fungsi Turap I–1
1. Pengantar
Konstruksi turap adalah satu konstruksi yang banyak digunakan dalam rekayasa sipil,
yang bisa berupa konstruksi sederhana hingga konstruksi sangat berat. Modul ini
berisi uraian tentang jenis-jenis turap yang biasa digunakan dan perhitungan untuk
perencanaan turap dalam jenis cantilever. Turap cantilever merupakan jenis turap
yang paling sederhana dalam metode pelaksanaannya.
2. Mahasiswa mampu menentukan diagram tekanan tanah yang bekerja pada dind-
ing turap, baik untuk pasir maupun lempung.
terletak pada keuntungan penggunaan dinding turap pada kondisi tidak diperlukannya
pengeringan air (dewatering).
Terdapat beberapa jenis tiang turap yang biasa digunakan: (a) tiang turap kayu,
(b) tiang turap beton pracetak (precast concrete sheet piles), dan (c) tiang turap baja.
W a lin g P e n o p a n g
M u k a a ir
T ia n g tu ra p
T ia n g tu ra p
G a ris g a lia n
(a )
(b )
Gambar 1. Contoh dinding turap: (a) turap di air, (b) braced cut
500 - 800 mm lebar dan tebal 150 - 250 mm. Gambar 2(e) memperlihatkan diagram
skematik ketinggian dan penampang tiang turap beton bertulang.
T u ra p k a y u T u ra p b e to n c e ta k
1 5 0 -
(a ) P a p a n k a y u 2 5 0 m m
B e to n g ro u t P e n a m p a n g
5 0 0 -8 0 0 m m
(b ) G a b u n g a n p a p a n k a y u
T u la n g a n
(c ) P a p a n d ita k ik
E le v a s i
(d ) S p lin e d (e )
Tiang turap baja di USA adalah sekitar 10 - 13 mm tebal. Penampang tiang turap
yang berasal dari Eropah bisa lebih tipis tetapi lebih lebar. Penampang tiang bisa
berbentuk Z, lengkung dalam (deep arch), lengkung rendah (low arch), atau sayap
lurus (straight web). Interlok pada tiang turap dibentuk seperti jempol − telunjuk
atau bola − keranjang untuk hubungan yang ketat untuk menahan air. Gambar 3(a)
memperlihatkan diagram skematik untuk hubungan interlok jempol − telunjuk untuk
penampang sayap lurus. Sedangkan tipe interlok bola − keranjang untuk penampang
Z diberikan pada Gambar 3(b).
Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan sifat-sifat penampang tiang turap baja yang
dihasilkan oleh U.S. Steel Corporation. Tegangan lentur rencana yang diijinkan untuk
tiang turap baja diberikan pada tabel di bawah ini:
Tiang turap baja sangat baik digunakan karena daya tahannya terhadap tegan-
gan yang tinggi selama penyorongan ke dalam tanah yang keras. Tiang ini juga re-
latif ringan dan dapat digunakan kembali (penggunaan yang berulang-ulang). Oleh
karena itu turap baja sering dipakai untuk pemakaian sementara. Turap sementara di-
pakai ketika dilakukan penggalian, misalnya dalam pembuatan gorong-gorong. Setelah
4.3. Jenis dan Metode Konstruksi Turap I–4
gorong-gorong berada pada kedudukan yang direncanakan, turap dicabut dan peng-
galian ditimbun kembali. Konstruksi sementara sering juga dipakai pada bendungan
elak (cofferdam). Bendungan elak ini dibangun untuk melaksanakan proses dewatering
selama konstruksi berlangsung.
Gambar 3. Hubungan tiang turap: (a) jenis jempol − telunjuk (b) jenis bola − keranjang
Tabel 2. Lanjutan
4. Jenis dan Fungsi Turap I–7
T u ra p
P e rm u k a a n
ta n a h a s li
G a lia n G a ris g a lia n
L a n g k a h 1 L a n g k a h 2
B a ta n g
ja n g k a r
T u ra p
T u ra p
U ru g a n U ru g a n
L a n g k a h 3 L a n g k a h 4
B a ta n g
ja n g k a r
U ru g a n
P e rm u k a a n P e rm u k a a n
ta n a h a s li ta n a h a s li
L a n g k a h 1 L a n g k a h 2
U ru g a n U ru g a n
P e rm u k a a n D ig a li
ta n a h a s li
L a n g k a h 3 L a n g k a h 4
5. Turap Cantilever
Dinding turap cantilever biasanya direkomendasikan untuk dinding dengan ketinggian
sedang, berkisar 6 m atau kurang di atas garis galian. Pada dinding ini, turap berpri-
laku seperti sebuah balok lebar cantilever di atas garis galian. Prinsip dasar untuk
menghitung distribusi tekanan tanah lateral tiang turap cantilever dapat dijelaskan
dengan bantuan Gambar 6, yang menunjukkan prilaku leleh dinding cantilever yang
tertanam pada lapisan pasir di bawah garis galian. Dinding berputar pada titik O. Oleh
karena adanya tekanan hidrostatik pada masing-masing sisi dinding, maka tekanan
ini akan saling menghilangkan, dengan demikian yang diperhitungkan hanya tekanan
tanah lateral efektif saja. Pada Zona A, tekanan lateral hanyalah tekanan tanah ak-
tif saja yang berasal dari tanah sebelah di atas garis galian. Sementara pada Zona
B, oleh karena pelenturan dinding di daerah ini, maka bekerja tekanan tanah lateral
aktif dari bagian tanah sebelah atas garis galian dan tekanan tanah pasif di bawah
garis galian di sebelah air. Kondisi pada Zona B ini akan berkebalikan dengan Zona
C, yaitu di bawah titik rotasi O. Distribusi tekanan tanah bersih ditunjukkan pada
Gambar 6(b), namun untuk penyederhanaan biasanya Gambar 6(c) akan digunakan
dalam perencanaan.
M u k a a ir
ta n a h
T e k a n a n P a s ir
a k tif Z o n a A
G a ris
g a lia n
T e k a n a n T e k a n a n
p a s if a k tif Z o n a B
O
T e k a n a n T e k a n a n
a k tif p a s if Z o n a C
P a s ir
(a ) (b ) (c )
Pada bagian berikut akan diberikan sejumlah formula matematis untuk analisis
dinding turap cantilever. Namun perlu diperhatikan bahwa analisis ini berlaku untuk
konstruksi yang sebelahnya menghadap air. Dan permukaan air biasanya akan berfluk-
tuasi sebagai akibat pasang surut, oleh karena itu harus hati-hati dalam menentukan
pengaruh air pada diagram tekanan bersih.
5. Turap Cantilever I–9
p1 = γL1 Ka (1)
dimana,
Ka = koefisien tekanan aktif Rankine = tan2 (45 − φ/2)
γ = berat isi tanah di atas muka air
A
P a s ir
M u k a a ir L 1 C , B , c = 0
ta n a h C
p 1
L z
P a s ir
L 2
C , B , c = 0
P
p D
G a ris g a lia n 2
L 3
z K e m irin g a n :
E 1 v e rtik a l :
D (K p -K a )C ' h o riz o n ta l M
L 4 F '' z ' m a x
F F ' P a s ir
L 5
C , B , c = 0
H p p G
3 B 4
(a ) (b )
Gambar 7. Tiang turap cantilever tertanam pada pasir: (a) variasi diagram tekanan bersih
(b) variasi momen
Dengan cara yang sama, tekanan aktif pada kedalaman z = L1 + L2 (yaitu pada
kedalaman muka galian) adalah sama dengan
Untuk menentukan tekanan tanah bersih di bawah garis galian hingga pada titik ro-
tasi O, seperti ditunjukkan pada Gambar 6(a) sebelumnya, haruslah dipertimbangkan
bahwa tekanan pasif bekerja dari sebelah kiri (sebelah air) ke arah sebelah kanan (se-
belah tanah) dan juga tekanan aktif bekerja dari sebelah kanan ke sebelah kiri dind-
ing. Untuk kasus-kasus ini, pengabaian tekanan hidrostatik untuk kedua sisi dinding,
tekanan aktif pada kedalaman z dapat diberikan sebagai,
pp = γ (z − L1 − L2 )Kp (4)
dimana L = L1 + L2 .
Tekanan bersih p menjadi sama dengan nol pada kedalaman L3 di bawah garis galian;
atau
p2 − γ (z − L)(Kp − Ka ) = 0
atau
p2
(z − L) = L3 = (6)
γ (K p − Ka )
Dari persamaan sebelumnya, kelihatan bahwa kemiringan (slope) garis distribusi tekanan
bersih DEF adalah 1 vertikal dengan (Kp − Ka )γ horizontal. Sehingga di dalam dia-
gram
HB = p3 = L4 (Kp − Ka )γ (7)
Pada dasar tiang turap, tekanan pasif (pp ) bekerja dari kanan ke kiri, dan tekanan
aktif bekerja dari kiri ke kanan, sehingga pada z = L + D
pa = γ DKa (9)
5. Turap Cantilever I–11
Maka, tekanan lateral bersih pada dasar turap adalah sama dengan
dimana
dan
dimana,
p5
A1 = (17)
γ (Kp − Ka )
5.1. Turap Cantilever pada Pasir I–12
8p
A2 = (18)
γ (K p − Ka )
6P [2z̄γ (Kp − Ka ) + p5 ]
A3 = (19)
γ 2 (Kp − Ka )2
P (6z̄p5 + 4P )
A4 = (20)
γ 2 (Kp − Ka )2
1. Hitung Ka dan Kp .
2. Hitung p1 [Pers. (1)] dan p2 [Pers. (2)]. Catatan: L1 dan L2 sudah diketahui.
4. Hitung P .
5. Hitung z̄ (yaitu pusat tekanan untuk luasan ACDE) dengan mengambil momen
di E.
13. Menentukan kedalaman teoretis [Pers. (12)] penetrasi tiang turap sebagai L3 +L4 .
Kedalaman aktual penetrasi tiang turap dapat ditentukan dengan menaikkan
besaran kedalaman teoretis sebesar 20 - 30 %.
5. Turap Cantilever I–13
Sekali titik dimana gaya geser sama dengan nol dapat ditentukan (titik F pada
Gambar 7(a)), maka besarnya momen maksimum dapat diperoleh sebagai,
1 1
Mmax = P (z̄ + z ) − [ γ z 2 (Kp − Ka )][ z ] (22)
2 3
Ukuran profil tiang turap yang dibutuhkan kemudian dapat dibuat dengan mengacu
kepada tegangan lentur izin bahan yang digunakan, atau
Mmax
S= (23)
σall
dimana, S = modulus penampang (section modulus) tiang turap yang dibutuhkan per
satuan panjang struktur dan σall = tegangan lentur ijin tiang turap.
5.1. Turap Cantilever pada Pasir I–14
Jika tidak terdapat muka air tanah, maka diagram tekanan tanah bersih akan menjadi
seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 8, yang sebenarnya merupakan modifikasi dari
Gambar 7. Berdasarkan gambar ini beberapa besaran juga akan mengalami perubahan,
sehingga
P a s ir
C , B , c = 0
G a ris g a lia n p 2
L 3
z P a s ir
C , B , c = 0
D
L 4
L 5
p 3 p 4
p2 = γLKa (24)
p3 = L4 (Kp − Ka )γ (25)
p4 = p5 + γL4 (Kp − Ka ) (26)
p5 = γLKp + γL3 (Kp − Ka ) (27)
p2 LKa
L3 = = (28)
γ(Kp − Ka ) (Kp − Ka )
P = 12 p2 L + 12 p2 L3 (29)
L LKa L(2Ka + Kp )
z̄ = L3 + = + L3 = (30)
3 Kp − K a 3(Kp − Ka )
5. Turap Cantilever I–15
dimana
p5
A1 = (32)
γ(Kp − Ka )
8P
A2 = (33)
γ(Kp − Ka )
6P [2z̄γ(Kp − Ka ) + p5 ]
A3 = (34)
γ 2 (Kp − Ka )2
P (6z̄p5 + 4P )
A4 = (35)
γ 2 (Kp − Ka )2
Pada Gambar 9 diperlihatkan sebuah turap kantilever yang ujungnya bebas tertanam
pada pasir yang menderita beban garis P per satuan panjang dinding. Dalam hal ini
persamaan untuk memperoleh kedalaman penanaman menjadi,
P a s ir
C , B , c = 0
D
L 5
p 3= C D (K p - K a ) p 4= C D (K p - K a )
2
4 8P 2 12P L 2P
D − D − D− =0 (36)
γ(Kp − Ka ) γ(Kp − Ka ) γ(Kp − Ka )
dan
γ(Kp − Ka )D 2 − 2P
L5 = (37)
2D(Kp − Ka )γ
5.2. Turap Cantilever pada Lempung I–16
Selanjutnya,
γz 3 (Kp − Ka )
Mmax = P (L + z ) − (38)
6
2P
z = (39)
γ(Kp − Ka )
A
P a s ir
M u k a a ir L 1 C , B , c = 0
ta n a h C
p 1
z P a s ir
C sat
L 2
B
P c = 0
1
z 1
G a ris g a lia n E p 2 D
p 6 L e m p u n g
L 3 C sat
z' D G B = 0
c
L 4
p H
B 7
Pada kedalaman z yang lebih besar dari L1 + L2 dan di atas titik rotasi (titik O
pada Gambar 6(a)), tekanan aktif (pa ) dari kanan ke kiri dapat dinyatakan dengan,
pa = [γL1 + γ L2 + γsat (z − L1 − L2 )]Ka − 2c Ka (40)
p6 = pp − pa = [γsat (z − L1 − L2 ) + 2c]
−[γL1 + γ L2 + γsat (z − L1 − L2 )] + 2c
= 4c − (γL1 + γ L2 ) (42)
Dengan cara yang sama, tekanan aktif dari kiri ke kanan adalah,
pa = γsat D − 2c (44)
p7 = pp − pa = 4c + (γL1 + γ L2 ) (45)
Untuk analisis kesetimbangan, ΣFH = 0 (yaitu luas diagram tekanan ACDE - luas
EF IB + luas GIH = 0), atau
1
P1 − [4c − (γL1 + γ L2 )D] + L4 [4c − (γL1 + γ L2 ) + 4c + (γL1 + γ L2 )] = 0
2
dimana P1 = luas diagram tekanan ACDE.
Dengan menyederhanakan persamaan sebelumnya maka diperoleh
D[4c − (γL1 + γ L2 )] − P1
L4 = (46)
4c
Sekarang ambillah momen di titik B, ΣMB = 0, atau
D2 1 L4
P1 (D + z̄1 ) − [4c − (γL1 + γ L2 )] + L4 (8c) =0 (47)
2 2 3
5.2. Turap Cantilever pada Lempung I–18
dimana z̄1 = jarak dari pusat tekanan pada diagram ACDE diukur dari permukaan
garis galian.
Dengan mengombinasikan Pers. (46) dan (47) dapat diturunkan
P1 (P1 + 12cz̄1 )
D 2 [4c − (γL1 + γ L2 )] − 2DP1 − (48)
(γL1 + γ L2 )) + 2c
Dengan menyelesaikan persamaan ini maka dapat diperoleh D, yaitu kedalaman pen-
etrasi ke dalam lapisan lempung yang dibutuhkan oleh turap.
Jika tidak terdapat muka air tanah, maka diagram tekanan tanah bersih akan menjadi
seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 11. Berdasarkan gambar ini dapat diperoleh,
P a s ir
C , B , c = 0
L
P 1
z 1
p 6 p 2
L e m p u n g
L 3 C sat
D B = 0
c
L 4
p 7
Gambar 11. Turap cantilever tertanam pada lempung tanpa muka air
p2 = γLKa (51)
p6 = 4c − γL (52)
p7 = 4c − γL (53)
P1 = p2 L + 12 L2 Ka
1
2
(54)
D(4c − γL) − 12 L2 Ka
L4 = (55)
4c
Panjang penanaman teoretis, D dapat dihitung dengan menyelesaikan persamaan
berikut ini.
P1 (P1 + 12cz̄1 )
D 2 (4c − γL) − 2DP1 − =0 (56)
γL + 2c
5.2. Turap Cantilever pada Lempung I–20
dimana
L
z̄1 = (57)
3
Besar momen maksimum yang bekerja pada dinding adalah,
p6 z 2
Mmax = P1 (z + z̄1 ) − (58)
2
dimana
P1 1
γL2 Ka
z = = 2 (59)
p6 4c − γL
Pada Gambar 12 diperlihatkan sebuah turap kantilever yang ujungnya bebas tertanam
pada lempung yang menderita beban garis P per satuan panjang dinding. Dalam hal
ini,
p 6
L e m p u n g
L 3 C sat
D B = 0
c
L 4
p 7
p6 = p7 = 4c (60)
Selanjutnya,
4cz 2
Mmax = P (L + z ) − (63)
2
dimana
P
z = (64)
4c
6. Contoh Soal
6.1 Soal 1
Dengan mengacu pada Gambar 7 sebuah dinding turap cantilever disorongkan ke dalam
tanah granular, dengan L1 = 2 m dan L2 = 3 m. Tanah granular itu memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:
φ = 32o
c = 0
γ = 15.9 kN/m3
γsat = 19.33 kN/m3
Penyelesaian
Marilah diikuti langkah demi langkah prosedur yang telah diberikan pada bagian se-
belumnya.
Langkah 1.
2 φ 2 32
Ka = tan 45 − = tan 45 − = 0.307
2 2
2 φ
Kp = tan 45 + = 3.25
2
Langkah 2.
Langkah 3.
p2 18.53
L3 = = = 0.66 m
γ (Kp − Ka ) (19.33 − 9.81)(3.25 − 0.307)
Langkah 4.
1 1 1
P = p1 L1 + p1 L2 + (p2 − p1 )L2 + p2 L3
2 2 2
1 1 1
= (9.763)(2) + (9.763)(3) + (18.53 − 9.763)3 + (18.53)(0.66)
2 2 2
= 9.763 + 29.289 + 13.151 + 6.115 = 58.32 kN/m
Langkah 5.
Langkah 6.
Langkah 7.
p5 214.66
A1 = = = 7.66
γ (Kp − Ka ) (9.52)(2.943)
8P (8)(58.32)
A2 = = = 16.65
γ (Kp − Ka )
(9.52)(2.943)
6P [2z̄γ (Kp − Ka ) + p5 ]
A3 =
γ 2 (Kp − Ka )2
(6)(58.32)[(2)(2.23)(9.52)(2.943) + 214.66]
= = 151.93
(9.52)2 (2.943)2
P (6z̄p5 + 4P )
A4 =
γ 2 (Kp − Ka )2
58.32[(6)(2.23)(214.66) + (4)(58.32)]
= = 230.72
(9.52)2 (2.943)2
6. Contoh Soal I–23
Langkah 8.
Untuk menyelesaikan persamaan di atas dengan trial and error, tabel berikut ini dapat
dibuat untuk mempermudah.
Langkah 9.
p4 = p5 + γ L4 (Kp − Ka )
= 214.66 + (9.52)(4.8)(2.943) = 349.14 kN/m2
Langkah 10.
Langkah 11.
p3 L4 − 2P (134.48)(4.8) − 2(58.32)
L5 = = = 1.09 m
p3 + p4 134.48 + 349.14
Langkah 12.
Diagram distribusi tekanan bersih dapat digambarkan seperti diperlihatkan pada Gam-
bar 7(a).
6.2. Soal 2 I–24
Langkah 13.
1
Mmax = P (z̄ + z ) − γ z 2 (Kp − Ka )
2
1
= (58.32)(2.23 + 2.04) − (9.52)(2.04)2(2.943)
2
= 249.03 − 58.3 = 190.73 kN − m
190.73 kN − m
S= = 1.106 × 10−3 m3 /m dinding
172.5 × 103 kN/m2
6.2 Soal 2
Dengan mengulang Soal 1, yang mengasumsikan sifat-sifat bahan isian di belakang
turap adalah sama, tetapi tanah di bawah garis galian adalah lempung. Nilai kekuatan
geser taksalur takterkonsolidasi (unconsolidated undrained shear strength) lempung
adalah 47 kN/m2 .
Penyelesaian
Kembali akan diikuti langkah demi langkah prosedur yang diberikan pada sebelumnya,
maka
Langkah 1.
Ka = 0.307
6. Contoh Soal I–25
Langkah 2.
p1 = 9.763 kN/m2
p2 = 18.53 kN/m2
Langkah 3.
Dengan mengacu pada diagram distribusi tekanan bersih yang diberikan pada Gambar
10.
1 1
P1 = p1 L1 + p2 L2 + (p2 − p1 )L2
2 2
= 9.763 + 29.289 + 13.151 = 52.2 kN/m
1 2 3 3
z̄1 = 9.763 3 + + 29.289 + 13.151
52.2 3 2 3
= 1.78 m
Langkah 4.
Langkah 5.
Langkah 6.
Langkah 7.
Diagram distribusi tekanan bersih dapat digambarkan seperti pada Gambar 10.
Langkah 8.
P1 52.2
z = = ≈ 0.41 m
p6 127.64
p6 z 2
Mmax = P1 (z + z̄1 ) −
2
Sehingga,
127.64(0.41)2
Mmax = 52.2(0.41 + 1.78) −
2
= 114.32 − 10.73 = 103.59 kN − m
103.59 kN − m
S= = 0.6 × 10−3 m3 /m dinding
172.5 × 103 kN/m2
7. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1990.
Modul II
Turap Berjangkar
DAFTAR ISI i
Daftar Isi
1 Pengantar II–1
8 Referensi II–17
4. Turap Berjangkar II–1
Turap Berjangkar
1. Pengantar
Pada modul sebelumnya telah diuraikan mengenai turap cantilever, dan pada modul
ini akan diuraikan turap berjangkar, yaitu turap yang dilengkapi dengan jangkar yang
dimaksudkan akan menambah stabilitas turap, sehingga bisa mereduksi panjang tiang
turap. Namun penambahan jangkar berarti juga tambahan dalam metode konstruksi
dan biaya.
2. Mahasiswa mampu menentukan diagram tekanan tanah yang bekerja pada dind-
ing turap, baik untuk pasir maupun lempung.
4. Turap Berjangkar
4.1 Metode Perhitungan Turap Berjangkar
Apabila tinggi tanah di belakang dinding turap cantilever mencapai sekitar 6 m, maka
akan menjadi lebih ekonomis apabila turap itu diperkuat dengan suatu plat jangkar
(anchor plates), dinding jangkar (anchor walls), atau tiang jangkar (anchor piles), yang
letaknya dekat dengan puncak turap. Cara dengan perkuatan jangkar ini disebut den-
gan tiang turap berjangkar (anchored sheet piling) atau sekatan berjangkar (anchored
bulkhead). Jangkar akan mengurangi kedalaman penetrasi yang diperlukan oleh tu-
rap dan juga akan mengurangi luas penampang dan berat yang diperlukan dalam
4.1. Metode Perhitungan Turap Berjangkar II–2
konstruksi. Namun, batang penguat (tie rods), yang menghubungkan turap dengan
jangkar dan jangkar itu sendiri harus dirancang dengan hati-hati.
Ada dua metode dasar dalam membangun dinding turap berjangkar: (a) metode
free earth support (turap bersendi) dan (b) metode fixed earth support (turap terjepit).
Gambar 1 memperlihatkan prilaku defleksi turap untuk kedua metode tadi.
Ja n g k a r
M u k a a ir
ta n a h
L e n d u ta n
G a ris g a lia n M o m e n
(a )
Ja n g k a r
M u k a a ir
ta n a h
L e n d u ta n M o m e n
G a ris g a lia n
(b )
Gambar 1. Variasi defleksi dan momen pada turap berjangkar: (a) metode free earth sup-
port b) metode fixed earth support
Metode free earth support adalah metode dengan kedalaman penetrasi minimum.
Di bawah garis galian, tidak terdapat pivot untuk sistem statik, yaitu sebuah titik
perubahan defleksi. Metode fixed earth support mengharuskan kedalaman cukup un-
tuk memberikan efek jepitan pada ujung bawah turap. Variasi momen lentur dengan
kedalaman untuk kedua metode juga ditunjukkan dalam Gambar 1.
5. Metode Free Earth Support II–3
Ja n g k a r l1
O ' P a s ir
M u k a a ir F C , B , c = 0
L l2
ta n a h 1
C
p 1
z
P a s ir
C s a t, B , c = 0
L 2
P
G a ris g a lia n p 2 D
L z P a s ir
3 1 C s a t, B , c = 0
E
D
L 4 (K p -K a )C '
F p 8 B
Diagram distribusi tekanan bersih di atas garis galian akan sama seperti yang di-
tunjukkan pada Gambar 7 pada Modul I. Pada kedalaman z = L1 , p1 = γL1 Ka ; dan
pada z = L1 + L2 , p2 = (γL1 + γ L2 )Ka . Di bawah garis galian, tekanan bersih akan
sama dengan nol pada kedalaman z = (L1 + L2 + L3 ). Hubungan untuk L3 dapat
diberikan dengan Pers. (6) pada Modul I, atau
p2
L3 =
γ (K p − Ka )
Perlu dicatat bahwa kemiringan garis DEF adalah 1 vertikal ke γ (Kp −Ka ) horizontal.
Untuk kesetimbangan turap, Σ gaya-gaya horizontal = 0, dan Σ momen di titik O
= 0. (Catatan: Titik O terletak pada batang penguat jangkar.)
Dengan menjumlahkan gaya-gaya dalam arah horizontal (per satuan panjang dind-
ing),
luas diagram tekanan ACDE − luas EBF − F = 0
dimana F = gaya tarik pada batang penguat per satuan panjang dinding turap, atau
1
P − L4 − F = 0
2
atau
1
F = P − [γ (Kp − Ka )]L24 (2)
2
dimana P = luas diagram tekanan ACDE
Sekarang, ambillah momen pada titik O
1
−P [(L1 + L2 + L3 ) − (z̄ + l1 )] + [γ (Kp − Ka )]
2
2 2
×L4 × (l2 + L2 + L3 + L4 ) = 0
3
atau
3P [(L1 + L2 + L3 ) − (z̄ + l1 )]
L34 + 1.5L24 (l2 + L2 + L3 ) − =0 (3)
γ (Kp − Ka )
Persamaan di atas dapat diselesaikan dengan cara trial and error untuk mendap-
atkan kedalaman teoretis, L4 . Maka kedalaman teoretis penetrasi sama dengan
Dteoretis = L3 + L4
Kedalaman teoretis dinaikkan sekitar 30 - 40 % untuk mendapatkan kedalaman yang
diaktualkan pada pekerjaan konstruksi.
Daktual = 1.3 sampai 1.4Dteoretis (4)
Langkah demi langkah pada prosedur yang diajukan sebelumnya, faktor keamanan
dapat dipakaikan pada Kp pada permulaan perhitungan (yaitu, Kp(rencana) = Kp /F S).
Kalau ini dipakai, maka tidak perlu penambahan kedalaman teoretis.
Momen maksimum pada turap akan terjadi pada kedalaman diantara z = L1 ke
z = L1 + L2 . Kedalaman z ini merupakan kedalaman pada gaya geser sama dengan
nol, sehingga momen maksimum dapat dihitung dengan persamaan berikut:
1 1
p1 L1 − F + p1 (z − L1 ) + Ka γ (z − L1 )2 = 0 (5)
2 2
Kalau nilai z telah ditentukan, maka besaran momen maksimum dapat dengan mudah
diperoleh. Prosedur dalam menentukan kapasitas dukung jangkar akan dibicarakan
pada bagian yang akan datang.
5. Metode Free Earth Support II–5
p6 = 4c − (γL1 + γ L2 )
Ja n g k a r l1
O ' P a s ir
M u k a a ir F C , B , c = 0
L l2
ta n a h 1
C
p 1
z
P a s ir
C s a t, B , c = 0
L 2
P
z 1
G a ris g a lia n E p 2 D
L e m p u n g
C sat
D B = 0
c
F p 6 B
P 1 − p6 D = F (6)
dimana P1 = luas diagram tekanan ACD dan F = gaya jangkar per satuan panjang
dinding turap.
Kembali dengan mengambil momen di titik O
D
P1 (L1 + L2 − l1 − z̄1 ) − p6 D l2 + L2 + =0
2
5.3. Momen Reduksi Rowe II–6
3. Md = momen rencana
1 ,0
P a s ir le p a s
= H '
0 ,8 H ' = L 1 +
L 2 + D a k tu a l
A m a n
0 ,6
M d P a s ir p a d a t
M m a x d a n k e rik il
0 ,4
T id a k
a m a n
0 ,2
T ia n g T ia n g
k a k u le n tu r
0
- 4 ,0 - 3 ,5 - 3 ,0 - 2 ,5 - 2 ,0
L o g H
Gambar 4. Hubungan log ρ dan Md /Mmax untuk turap yang tertanam pada pasir (dikutip
dari Rowe, 1952)
Langkah 1.
Memilih penampang tiang turap (sebagai contoh bisa digunakan Tabel 1.1.)
Langkah 2.
Mencari modulus penampang (S) dari penampang yang dipilih (Langkah 1) per satuan
panjang dinding.
Langkah 3.
Langkah 4.
Langkah 5.
Mencari log ρ
Langkah 6.
Mencari kapasitas momen penampang tiang yang dipilih dari Langkah 1 sebagai Md =
σall × S.
5.3. Momen Reduksi Rowe II–8
Langkah 7.
Menentukan Md /Mmax . Perlu dicatat bahwa Mmax adalah momen maksimum teoretis
yang telah dihitung sebelumnya.
Langkah 8.
Langkah 9.
2.
L1 + L2
α= (10)
L1 + L2 + Daktual
Langkah 1.
Menentukan H .
5. Metode Free Earth Support II–9
Langkah 2.
1 ,0
L o g H = - 3 ,1
M 0 ,8
d
= = 0 ,8
M m a x
0 ,6 0 ,7
0 ,6
0 ,4
1 ,0
L o g H = - 2 ,6
M 0 ,8
d
M m a x
0 ,6 = = 0 ,8
0 ,7
0 ,6
0 ,4
1 ,0
L o g H = - 2 ,0
M 0 ,8
d
M m a x = = 0 ,8
0 ,6
0 ,6 0 ,7
0 ,4
0 0 ,5 1 ,0 1 ,5 1 ,7 5
A n g k a s ta b ilita s , S n
Gambar 5. Plot Md /Mmax vs. angka stabilitas untuk tiang turap tertanam pada lempung
(dikutip dari Rowe, 1957)
Langkah 3.
Langkah 4.
Dengan nilai-nilai α dan Sn , tentukanlah Md /Mmax untuk berbagai nilai log ρ dari
Gambar 5 dan memplot sebuah grafik Md /Mmax vs. log ρ.
Langkah 5.
Mengikuti Langkah 1 sampai Langkah 9 untuk kasus momen reduksi pada pasir, yang
sudah dijelaskan sebelumnya.
5.4. Metode Computational-Pressure-Diagram pada Pasir II–10
l1
Ja n g k a r P a s ir
M u k a a ir F C , B , c = 0
L l2
ta n a h 1
P a s ir
C s a t, B , c = 0
L 2
p a
P a s ir
C s a t, B , c = 0
D
p p
dimana
Kedalaman penetrasi (D), gaya jangkar per satuan panjang dinding (F ), dan mo-
men maksimum pada dinding (Mmax ) dapat dihitung dengan rumus-rumus berikut ini.
Kedalaman penetrasi,
2
2 l1 L l1
D + 2DL 1 − − 1−2 =0 (15)
L R L
Gaya jangkar,
Momen maksimum,
2
R 2l1 RD
Mmax = 0, 5p̄a L2 1− − 1− (17)
D L L
1. Besaran D yang diperoleh dari Pers.(15) adalah sekitar 1,25 hingga 1,5 kali ni-
lai Dteoretis yang diperoleh dari metode konvensional free earth support, yaitu
Pers.(4). Sehingga,
2. Besar F yang diperoleh dari Pers.(16) adalah sekitar 1,2 sampai 1,6 kali nilai
yang diperoleh dari Pers.(2). Sehingga tambahan faktor keamanan dalam desain
jangkar tidak lagi diperlukan.
3. Besar Mmax yang diperoleh dari Pers.(17) adalah sekitar 0,6 sampai 0,75 kali nilai
Mmax yang diperoleh dari metode konvensional free earth support. Sehingga nilai
Mmax ini dapat dijadikan langsung sebagai nilai desain, sehingga momen reduksi
Rowe tidak perlu lagi digunakan.
II–12
A
l1 P a s ir
L O ' Ja n g k a r
M u k a a ir 1 F
ta n a h C C , B , c = 0
p 1
z
B e n tu k le n d u ta n P a s ir
tia n g tu ra p C sat
B , c = 0
L 2
p 2
D
L I L
L 3
5 5
E D
L 4
F H
P '
H '
G
B
(a ) D ia g ra m te k a n a n (b ) D ia g ra m m o m e n
O ' F
p 1 0 ,3
0 ,2
p
2
2
+ L
L
5
5
L
I p '' P ''
L 1
I
p 2 ''
P '' 0 ,1
L 3 L 5
L 4
F P ' 0
H 2 0 2 5 3 0 3 5 4 0
p 2 ''' = C ' ( K p - K a ) L 4 S u d u t g e s e k ta n a h , B (d e ra ja t)
(c ) M e n e n tu k a n L 4 (d )
Langkah 1.
Menentukan Ka dan Kp .
Langkah 2.
Langkah 3.
Langkah 4.
Langkah 5.
Langkah 6.
Menggambarkan distribusi tekanan untuk bagian turap yang berada diatas I, seperti
diperlihatkan pada [Gambar 6(c)].
Langkah 7.
Untuk diagram yang digambar pada Langkah 6, ambil momen di titik O untuk menghi-
tung P
7. Contoh Soal II–15
Langkah 8.
Langkah 9.
Langkah 10.
7. Contoh Soal
7.1 Soal 1
Ulanglah problem pada Soal 1 dalam Modul I, dengan menambahkan jangkar pada
turap, dan tentukanlah
c. Besarnya Mmax
d. Penampang desain turap yang paling cocok dengan menggunakan momen reduksi
Rowe.
Penyelesaian
p1 = 9.763 kN/m2
p2 = 18.53 kN/m2
L3 = 0.66 m
P = 58.32 kN/m
z̄ = 2.23 m
7.1. Soal 1 II–16
3P [(L1 + L2 + L3 ) − (z̄ + l1 )]
L34 + 1.5L24 (l2 + L2 + L3 ) − =0
γ (Kp − Ka )
Karena,
l1 = 1 m Kp = 3.25
l2 = 1 m Ka = 0.307
Maka:
3(58.32)[(2 + 3 + 0.66) − (2.33 + 1)]
L34 + 1.5L24 (1 + 3 + 0.66) − =0
9.52(3.25 − 0.307)
Nilai L4 dapat diperoleh dengan cara trial and error, dengan pertolongan tabel di
bawah ini.
Dari tabel dapat dilihat nilai L4 = 1.4 m untuk satu desimal. Maka,
1 1
( )(9.763)(2) − 30.86 + (9.763)(z − 2) + (0.307)(9.52)(z − 2)2 = 0
2 2
Ambillah z − 2 = x, sehingga
atau
z = x + 2 = 1.72 + 2 = 3.72 m
(L1 + L2 < z < L1 − terbukti)
Sekarang carilah momen pada titik dimana gaya geser nol (yaitu pada z = 3.72 m atau
pada x = 1.72 m).
x 1
1 1 2 x
Mmax = − p1 L1 x + (2) + F (x + 1) − (p1 x) − Ka γ (x)
2 3 2 2 3
9.763(1.72)2 (0.307)(9.52)(1.72)3
Mmax = −(9.763)(2.387) + (30.86)(2.72) − −
2 6
= −23.3 + 83.94 − 14.44 − 2.48 = 43.72 kN − m/m
Md =
4 10.91×10−7 H 4 3 Md
Section I (m /m) H ρ= EI
log ρ S (m /m) S.σall Mmax
(m) (kN−m)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
PDA-27 54.33×10−6 7.9 0.000378 −3.42 57 ×10−5 98.32 2.250
PMA-22 18.7×10−6 7.9 0.001098 −2.96 29 ×10−5 50.02 1.140
PSX-32 5.05×10−6 7.9 0.004080 −2.39 12.89 ×10−5 22.24 0.508
PS-28 3.82×10−6 7.9 0.005370 −2.27 10.2 ×10−5 17.60 0.403
(1),(2),(6) dari Tabel 1 pada Modul I
(4) Pers. (8), E = 207 × 103 MN/m2
(7) σall = 172,500 kN/m2
(8) Mmax = 43.72 kN−m/m
Gambar 7 menunjukkan nilai-nilai dari perhitungan log ρ yang dihubungkan dengan
nilai-nilai Md /Mmax (diasumsikan tanah berprilaku seperti pasir lepas). Pada gambar
II–18
ini juga diplot kurva rencana log ρ vs Md /Mmax sebagaimana yang diberikan oleh Rowe
(dari Gambar 4). Perlu dicatat bahwa semua titik-titik yang berada di atas kurva
adalah penampang yang aman digunakan dalam desain. Titik yang menunjukkan
penampang P S−28 adalah titik yang paling dekat ke kurva; maka inilah penampang
disain yang akan dipakai.
1 ,0
0 ,8
P a s ir le p a s
0 ,6
M d
M m a x P S -2 8
0 ,4
P S -3 2
0 ,2
0
- 3 ,5 - 3 ,0 - 2 ,5 - 2 ,0
L o g H
8. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[3] Rowe, P.W.: Anchored sheet pile walls, Proceedings, Institute of Civil Engineers,
London, Vol. 1, Part 1, pp.27-70, 1952.
[4] Rowe, P.W.: Sheet pile walls in clay, Proceedings, Institute of Civil Engineers,
London, Vol. 7, pp.629-654, 1957.
Modul III
Jangkar
DAFTAR ISI i
Daftar Isi
1 Pengantar III–1
4 Jangkar III–1
4.1 Jenis dan Fungsi Jangkar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–1
4.2 Penempatan Jangkar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–3
4.3 Plat dan Balok Jangkar pada Pasir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–3
4.4 Plat dan Balok Jangkar pada Lempung . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–9
4.4.1 Faktor keamanan untuk plat dan balok jangkar . . . . . . . . . III–11
4.4.2 Jarak plat jangkar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–11
4.4.3 Tahanan batas batang penguat (tie backs) . . . . . . . . . . . . III–11
6 Referensi III–14
4. Jangkar III–1
Jangkar
1. Pengantar
Modul ini akan menguraikan jenis, fungsi, perhitungan gaya tarik yang diberikan oleh
jangkar. Sebagai bagian dari perencanaan turap berjangkar, metode konstruksi dan
penempatannya juga akan diuraikan. Jangkar perlu dengan hati-hati dipilih dan di-
rencanakan, karena stabilitas turap berjangkar bergantung pada stabilitas jangkarnya.
2. Mahasiswa mampu menghitung gaya tarik yang dapat dipikul jangkar, berikut
penempatannya dalam konstruksi turap berjangkar.
4. Jangkar
4.1 Jenis dan Fungsi Jangkar
Bagian ini akan membicarakan bagaimana untuk mendapatkan gaya F , per satuan
panjang dinding turap yang akan dipikul oleh jangkar. Ini akan meliputi berbagai jenis
jangkar yang umumnya dipakai dan prosedur untuk mengevaluasi kapasitas tahanan
batasnya (ultimate holding capacity).
Jangkar yang digunakan pada turap secara umum dapat di bagi sebagai berikut:
4. Balok jangkar yang didukung oleh tiang-tiang miring (tekan dan tarik)
4.1. Jenis dan Fungsi Jangkar III–2
4 5 -f /2 4 5 + f /2
4 5 -f /2 D C I
A T u ra p
F J a n g k a r p la t
M u k a a ir a ta u b a lo k
ta n a h G H
J a n g k a r p la t
E
a ta u b a lo k
W a lin g
B a ta n g ta rik
B
P o to n g a n T a m p a k
(a )
4 5 + f /2 4 5 + f /2
4 5 -f /2
M u k a a ir
ta n a h
M u k a a ir T ia n g ja n g k a r
ta n a h
b a ta n g ta rik
b a ta n g ta rik
a ta u k a b e l
b e to n g ro u tin g
(b ) (c )
4 5 + f /2
M u k a a ir b a ta n g ta rik
ta n a h B a lo k ja n g k a r
T ia n g te k a n T ia n g ta rik
(d )
Gambar 1. Berbagai jenis jangkar untuk turap: (a) plat atau balok jangkar; (b) batang
penguat (tie back); (c) tiang jangkar vertikal; (d) balok jangkar dengan tiang-
tiang miring
4. Jangkar III–3
Plat dan balok jangkar biasanya terbuat dari beton jadi [Gambar 1(a)]. Jangkar
dihubungkan ke turap dengan menggunakan batang penguat (tie rods). Sebuah wal-
ing (wale) ditempatkan pada bagian depan atau belakang turap untuk memudahkan
penempatan batang penguat pada dinding turap. Untuk mencegah batang penguat
berkarat, biasanya batang ini dilapisi dengan cat atau bahan-bahan dari aspal.
Pada waktu pemasangan batang-batang penguat di belakang turap, batang atau
kabel ditempatkan di dalam lubang-lubang yang dibor terlebih dahulu [Gambar 1(b)],
lalu digruting dengan beton (kabel biasanya berkekuatan tinggi, tendon baja prate-
gang). Gambar 1(c) dan 1.14(d) menunjukkan tiang jangkar vertikal dan balok jangkar
dengan tiang-tiang miring.
P a s ir
H
K p = ta n 2(4 5 + B /2 )
P h K a = ta n 2(4 5 B /2 )
u
g H K p g H K a
Gambar 2. Tahanan batas plat dan balok jangkar pada pasir Pers. (1) dan (4)
dan
1 2 2 φ
Pa = γH tan 45 − (3)
2 2
Pers. (1) berlaku hanya untuk kondisi jenis regangan-bidang (plane strain). Untuk
keseluruhan kasus-kasus praktek, B/h > 5 dapat dipertimbangkan sebagai kondisi
regangan bidang.
Untuk B/h < sekitar 5, harus dipertimbangkan sebagai keruntuhan permukaan
tiga-dimensi (three-dimensional failure surface) yaitu dengan memperhitungkan tahanan
gesek pada kedua ujung jangkar, Teng (1962) juga telah memberikan hubungan untuk
tahanan batas jangkar pada kondisi seperti itu sebagai berikut:
1 3 H
Pu = B(Pp − Pa ) + Ko γ( Kp + Ka )H tan φ untuk ≤ 1.5 sampai 2 (4)
3 h
pada Gambar 3. Gambar ini diacu sebagai kasus dasar. Pada gambar ini notasi berikut
akan digunakan.
Pp = gaya pasif per satuan panjang jangkar
Pa = gaya aktif per satuan panjang jangkar
φ = sudut gesek tanah
δ = sudut gesek antara plat jangkar dan tanah
Pu = tahanan batas per satuan panjang jangkar
W = berat per satuan panjang plat jangkar
4 5 + B /2 4 5 - B /2
P a
H B P u '
d P a s ir
g
P p B
Pu = 1
2
γH 2 Kp cos δ − Pa cos φ = 12 γH 2 Kp cos δ − 12 γH 2 Ka cos φ
= 1
2
γH 2 (Kp cos δ − Ka cos φ) (5)
W + Pa sin φ W + 12 γH 2 Ka sin φ
Kp sin δ = = (6)
1
2
γH 2 1
2
γH 2
Dengan menggunakan nilai Kp sin δ dari rumus di atas, besarnya Kp cos δ dapat diper-
oleh dari grafik pada Gambar 4(b).
Langkah 2. Kasus jalur. Disini akan ditentukan tinggi aktual jangkar, h. Jika
tinggi jangkar menerus (yaitu, B = ∞) ditempatkan di dalam tanah sedemikian hingga
kedalaman penanaman adalah H, seperti diperlihatkan pada Gambar 5, maka tahanan
batas per satuan panjang dapat dinyatakan sebagai berikut.
⎡ ⎤
⎢ Cov + 1 ⎥
Pus =⎢
⎣ ⎥ P ←− Pers.(5) (7)
H ⎦ u
Cov +
h
dimana Pus = tahanan batas untuk kasus jalur
Cov = 19 untuk pasir padat dan 14 untuk pasir lepas
4.3. Plat dan Balok Jangkar pada Pasir III–6
0 ,7
0 ,6
0 ,5 P a
B
0 ,4
K a 0 ,3 B u s u r s p ira l
0 ,2
0 ,1
1 0 2 0 3 0 4 0 4 5
S u d u t g e s e k ta n a h , B (d e ra ja t)
(a )
1 4
1 2
4 5 O
1 0
4 0 O
8
3 5 O
c o s d
6
p
3 0 O
K
4
B = 2 5 O
2
0 1 2 3 4 5
K p s in d
(b )
Gambar 4. Analisis Ovesen and Stromann: (a) variasi Ka dengan δ = φ; (b) variasi Kp cos δ
dan Kp sin δ
4. Jangkar III–7
P a s ir
H g
h P u' s B
B P a s ir
H S ' S ' g
h
B
(a )
0 ,5
P a s ir p a d a t
0 ,4
- B )(H + h )
0 ,3 P a s ir le p a s
0 ,2
(B e
0 ,1
0
0 0 ,5 1 ,0 1 ,2 5
(S ' - B )/(H + h )
(b )
Panjang ekivalen adalah sebuah fungsi dari S , B, H, dan h. Gambar 6(b) menun-
jukkan hubungan antara (Be − B)/(H + h) dengan (S − B)/(H + h) untuk kasus pasir
padat dan lepas. Dengan mengetahui nilai-nilai S , B, H, dan h maka nilai Be dapat
dihitung untuk digunakan pada Pers.(8) dalam menentukan Pu .
4.3. Plat dan Balok Jangkar pada Pasir III–8
Sejauh ini studi-studi untuk menentukan hubungan antara beban dan perpindahan
jangkar adalah relatif sedikit. Gambar 7 menunjukkan sebuah contoh perpindahan
jangkar tak berdimensi untuk berbagai nilai B/h dan H/h, yang diperoleh oleh Neeley
et al. (1973) melalui percobaan di dalam pasir, dari medium hingga padat. Das (1975)
dan Das and Neeley (1975) juga menemukan hubungan yang mirip untuk jangkar di
dalam medium pasir lepas. Berdasar pada hasil-hasil percobaan, Das and Seeley (1975)
mengajukan hubungan antara beban dan perpindahan jangkar sebagai berikut:
Δ
P = (9)
0, 15 + 0, 85Δ
Δ
Δ= (11)
Δu
Hubungan yang diberikan oleh Pers. (7) berlaku untuk B/h bervariasi dari 1 sampai
5 dan H/h bervariasi dari 1 sampai 5.
4 ,5
4 1
2
2 ,7 5
3 ,5
H 3
5
h
0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0
D U
(% )
h
L e m p u n g
g H
h P u
B = 0
c
(a )
L e m p u n g
g
B = 0
c H
h P u
(b )
Gambar 8. Sifat bidang keruntuhan dalam tanah di sekitar jangkar: (a) H/h relatif kecil;
(b) H/h > (H/h)cr
dan
H H B H
= 0, 9 + 0, 1 ≤ 1, 3
h cr−R h cr−S h h cr−S
(untuk jangkar persegipanjang, yaitu, B/h ≥ 1) (13)
F c = P u /B h c
F c (m a x )
H /h
( H /h )c r
Gambar 9. Sifat variasi Fc dengan H/h untuk jangkar vertikal di dalam lempung
Nilai K dapat diambil sama dengan koefisien tekanan tanah diam (Ko ) jika beton
gruting ditempatkan di bawah tekanan (Das, 1984). Batas bawah nilai K dapat diambil
sama dengan koefisien tekanan tanah aktif Rankine.
Pada lempung, tahanan batas tie backs dapat diperkirakan dari rumus berikut:
Pu = πdlca (21)
III–12
dimana ca = adesi. Nilai ca dapat diambil sebesar 2/3 c (dimana c = kohesi tak-salur).
Sebuah faktor keamanan sebesar 1.5 − 2 dapat digunakan untuk seluruh tahanan
batas untuk memperoleh tahanan ijin yang dapat dikerahkan oleh masing-masing tie
back.
l
d
5. Contoh Soal
5.1 Soal 1
Dengan mengacu pada Gambar 6(a). Diketahui: B = h = 0, 4 m, S = 1, 2 m, H = 1
m, γ = 16, 51 kN/m3 , dan φ = 35◦ . Tentukanlah tahanan batas untuk masing-masing
plat jangkar. Plat jangkar terbuat dari beton dan tebalnya 0,15 m.
Penyelesaian
Untuk menghitung Pus , asumsikan bahwa pasir adalah lepas. Sehingga Cov pada
Pers.(7) adalah 14. Maka
⎡ ⎤ ⎡ ⎤
⎢ Cov + 1 ⎥ ⎢ 14 + 1 ⎥
Pus =⎢
⎣ ⎥ P
= ⎢ ⎥ = 32, 65 kN/m
H ⎦ u ⎣ 1 ⎦
Cov + 14 +
h 0, 4
S − B 1, 2 − 0, 4 0, 8
= = = 0, 571
H +h 1 + 0, 4 1, 4
Untuk (S − B)/(H + h) = 0, 571 dan pasir lepas Gambar 6(b) menurunkan
Be − B
= 0, 229
H−h
Sehingga
Pu = Pus Be = (32, 65)(0, 72) = 23, 51 kN
6. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Pullout resistance of vertical anchors, Journal of the Geotechnical
Engineering Divisions, ASCE, Vol. 101, No. GT1, pp.87-91, 1975.
[3] Das, B.M., and Seeley, G.R.: Load-displacement relationships for vertical anchors
plates, Journal of the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 101, No.
GT7, pp.711-715, 1975.
[4] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[5] Neeley, W.J., Stuart, J.G., and Graham, J.: Failure loads of vertical anchor plates
in sand, Journal of the Soil Mechanics and Foundations Divisions, ASCE, Vol. 99,
No. SM9, pp.669-685, 1973.
[6] Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.
[7] Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-
Graw-Hill, New York, 1973.
Modul IV
Daftar Isi
1 Pengantar IV–1
6 Referensi IV–21
3. Tujuan Instruksional Khusus IV–1
1. Pengantar
Modul ini akan menguraikan jenis, fungsi, dan metode instalasi pondasi tiang. Pondasi
tiang merupakan pondasi yang sangat banyak digunakan terutama untuk bangunan
gedung. Pondasi tiang tergolong ke dalam pondasi dalam, yang berarti bahwa biaya
konstruksinya menjadi jauh lebih mahal apabila dibandingkan dengan pondasi dangkal.
Namun ada kalanya pilihan pada penggunaan pondasi tiang merupakan keharusan.
Modul ini dititik beratkan pada pengenalan pondasi tiang, baik secara fisik maupun
sejumlah peralatan yang dibutuhkan dalam instalasinya (pemasukannya) ke dalam
tanah. Terdapat banyak metode instalasi hingga ke akhir-akhir ini. Metode instalasi
kuno berkaitan dengan penggunaan palu, yang sangat dikenal dengan istilah tiang
pancang. Namun perlu difahami bahwa akhir-akhir ini metode pemancangan bukanlah
metode yang terlalu populer, terutama di daerah perkotaan. Penggunaan tiang bor
malah boleh dikatakan terus meningkat terutama di daerah yang padat penduduknya.
1. Apabila lapisan tanah bagian atas adalah sangat mudah termampatkan (highly
compressible) dan terlalu lunak untuk memikul beban dari struktur bagian atas,
sehingga tiang diperlukan untuk menyalurkan beban itu ke tanah keras atau
batuan. Hal ini diperlihatkan pada Gambar 1(a). Apabila batuan atau tanah
keras tidak berada pada kedalaman yang memadai, tiang dimanfaatkan un-
tuk menyalurkan beban secara berangsur ke tanah. Tahanan yang diberikan
tanah secara pokok akan berasal dari tahanan gesek yang dikerahkan oleh kulit
tiang yang merupakan muka-antara tanah-tiang (soil-pile interface), seperti di-
tunjukkan pada Gambar 1(b).
2. Ketika menerima gaya-gaya horizontal [lihat Gambar 1(c)], pondasi tiang dapat
melawan tekuk sementara menerima gaya-gaya vertikal yang datang dari struktur
di atasnya. Situasi dalam jenis ini umumnya ditemukan dalam perencanaan dan
pembangunan struktur-struktur penahan tanah dan pondasi dari gedung-gedung
tinggi yang mungkin menderita beban angin kencang dan/atau gaya-gaya gempa.
3. Di dalam banyak kasus, tanah-tanah ekspansive dan mudah runtuh bisa jadi
ditemukan pada tempat-tempat dimana struktur akan didirikan. Tanah seperti
ini mungkin saja mencapai kedalaman yang jauh di bawah permukaan tanah.
Tanah ekspansive akan mengembang dan menyusut bergantung pada naik atau
turunnya kadar air. Tekanan pengembangan dari tanah semacam ini biasanya
adalah tinggi. Jika pondasi dangkal digunakan dalam kondisi tanah seperti ini,
struktur bisa mengalami kerusakan yang serius. Tetapi kalau digunakan pondasi
tiang, maka tiang dapat diperpanjang sedemikian hingga melampaui zona yang
aktif mengembang maupun menyusut [Gambar 1(d)].
4. Fungsi dan Jenis Pondasi Tiang IV–3
5. Abutmen dan pier jembatan sering dibangun di atas pondasi tiang untuk menghin-
dari kemungkinan kehilangan daya dukung dari sebuah pondasi dangkal yang bisa
jadi disebabkan oleh erosi pada permukaan tanah [Gambar 1(f)].
buka atau tertutup. Balok baja berpenampang flens-lebar (wide-flange) dan I dapat
juga digunakan sebagai tiang. Namun tiang berpenampang-H biasanya lebih disukai
karena badan (web) flensnya memiliki ketebalan yang sama. Pada balok berpenampang
flens-lebar dan I, ketebalan badannya lebih tipis dari flensnya. Tabel 1 memberikan
ukuran tiang baja penampang-H standar yang digunakan di Amerika Serikat. Tabel 2
memperlihatkan daftar sejumlah penampang pipa yang sering digunakan untuk pemi-
paan. Dalam banyak kasus, tiang pipa diisi dengan beton setelah dimasukkan ke dalam
tanah.
Beban rencana yang diijinkan untuk tiang baja dapat dihitung dengan rumus
Berdasar pada pertimbangan geoteknik, beban rencana untuk sebuah tiang dapat
ditentukan. Beban rencana Qrencana ini kemudian dikontrol oleh beban ijin tiang seperti
dalam Pers. (1). Tentunya beban rencana seharusnya lebih kecil dari beban ijin tiang.
Tiang baja, apabila diperlukan dapat disambung dengan las atau paku keling. Gam-
bar 2(a) memperlihatkan kondisi tipikal penyambungan dengan las sebuah tiang-H.
Kasus tipikal penyambungan dengan las tiang pipa terlihat pada Gambar 2(b). Gam-
bar 2(c) menunjukkan diagram penyambungan tiang-H dengan paku keling dan baut.
Gambar 2. Tiang baja: (a) sambungan tiang-H dengan las; (b) sambungan tiang pipa
dengan las; (c) sambungan tiang-H dengan paku keling dan baut; (d) sarung
datar pemancangan tiang pipa; (e) sarung konikal pemancangan tiang pipa
dengan titik pancang atau sepatu. Gambar 2(d) dan (e) menunjukkan dua jenis sepatu
yang sering dipakai pada tiang pipa.
Tiang baja bisa juga mengalami korosi. Sebagai contoh, tanah-tanah rawa, gambut
dan tanah organik lainnya bisa menyebabkan korosi. Tanah-tanah yang mempunyai pH
lebih besar dari 7 tidak terlalu korosif. Untuk mempertimbangkan akibat korosi, suatu
tambahan ketebalan baja (lebih dari luas penampang rencana) umumnya direkomen-
dasikan. Dalam keadaan tertentu penggunaan lapisan epoxy yang biasanya dipakai
di pabrik bisa juga mencegah korosi. Lapisan ini tidak begitu mudah rusak akibat
pemancangan tiang. Pelapisan dengan beton pada tiang baja juga dapat mencegah
korosi.
Tiang pracetak bisa juga terbuat dari kabel prategang baja berkekuatan tinggi
(beton prategang). Kekuatan batas kabel baja ini berkisar 1800 MN/m2 (≈ 261 ksi).
Ketika mencetak tiang, kabel ditarik terlebih dahulu hingga sekitar 900 − 1300 MN/m2
(≈ 130−188 ksi), dan kemudian beton ditabur disekelilingnya. Setelah proses cur-
ing, kabel dipotong sehingga menghasilkan gaya kompresi pada lintang tiang. Tabel 3
4.2. Jenis Pondasi Tiang IV–8
memberi informasi tambahan tentang tiang beton prategang dengan penampang bu-
jursangkar dan oktagonal.
Cor di tempat dibuat dengan terlebih dahulu menggali lubang di tanah dan kemu-
dian mengisinya dengan beton. Berbagai jenis tiang beton cor di tempat digunakan
dalam konstruksi pada waktu akhir-akhir ini, dan kebanyakan diantaranya telah di-
patenkan oleh pabrik pembuatnya. Tiang-tiang semacam ini dapat dibagi ke dalam
dua kategori besar: (a) dengan casing dan (b) tanpa casing. Kedua jenis ini bisa
memiliki pedestal pada ujung bawahnya.
Tiang dengan casing terbuat dari sebuah casing baja yang disorongkan ke dalam
tanah dengan bantuan sebuah mandrel yang ditempatkan di dalam casing. Apabila
tiang telah mencapai kedalaman yang diinginkan, mandrel ditarik dan casing kemudian
diisi dengan beton. Gambar 4(a), (b), (c), dan (d) menunjukkan beberapa contoh
tiang dengan casing tanpa pedestal. Tabel 4 memberi informasi tentang tiang-tiang
dengan casing ini. Gambar 4(e) menunjukkan tiang dengan casing dan pedestal di
ujung bawahnya. Pedestal adalah beton yang dilebihkan pada ujung bawah tiang yang
menggelembung, ini bisa dibuat dengan menjatuhkan palu pada beton yang masih
segar.
Gambar 4. Tiang beton cor di tempat (lihat Tabel 4 untuk deskripsi lebih lanjut)
Gambar 4(f) dan (g) adalah dua jenis tiang tanpa casing dengan salah satu di-
4.2. Jenis Pondasi Tiang IV–10
Qijin = As fs + Ac fc (2)
Qijin = Ac fc (3)
Kedalaman tiang
Nama pada maksimum
Gambar 4 Nama tiang Jenis casing (m)
a Raymond Step-Taper Berombak, casing 30
silindris tipis
b Monotube atau Union Metal Bergalur tipis, casing 40
baja berpita
tanpa mandrel
c Western dengan casing Casing tipis 30-40
d Pipa Seamless atau Armco Casing pipa baja lurus 50
e Franki dengan casing Casing tipis 30-40
dan pedestal
f Western tanpa casing ——- 15-20
dan tanpa pedestal
g Franki tanpa casing ——- 30-40
tetapi dengan pedestal
4. Fungsi dan Jenis Pondasi Tiang IV–11
2. Tiang klas B: Tiang-tiang dalam kelas ini mampu menerima beban-beban sedang.
Diameter minimum batang adalah 305-330 mm.
3. Tiang klas C: Tiang ini digunakan untuk kontruksi sementara. Tiang ini dapat
digunakan untuk konstruksi permanen apabila keseluruhan tiang tenggelam di
bawah muka air tanah. Diameter minimum batang sekurang-kurangnya 305 mm.
Dalam setiap keadaan, kepala tiang tidak boleh memiliki diameter yang kurang
dari 150 mm.
Tiang kayu biasanya tidak dapat menahan tegangan pada pemancangan yang keras;
oleh karena itu kapasitas tiang umumnya dibatasi hingga sekitar 220-270 kN (25-30
ton). Sepatu baja bisa digunakan untuk mencegah kerusakan ujung bawah tiang.
Kepala tiang mungkin bisa juga rusak selama proses pemancangan. Kerusakan pada
serat-serat kayu yang disebabkan oleh tumbukan palu dinamakan dengan brooming.
Untuk mencegah kerusakan kepala tiang, topi dari logam biasanya ditambahkan pada
kepala tiang.
Penyambungan tiang kayu haruslah dihindari, terutama apabila tiang akan memikul
beban tarik atau beban lateral. Namun apabila penyambungan diperlukan, maka ini
bisa dilakukan dengan menggunakan selubung pipa (pipe sleeves) seperti ditunjukkan
dalam Gambar 5(a) atau lempeng logam dengan baut (metal straps and bolt) pada
Gambar 5(b). Panjang selubung pipa sekurang-kurangnya 5 kali diameter tiang. Ujung
batang kayu harus dipotong bujur sangkar sehingga kontak penuh dapat dijaga. Bagian
penyambungan harus benar-benar dipotong sedemikian hingga cukup ketat di dalam
selubung pipa.
Tiang kayu dapat tetap tidak mengalami kerusakan dalam waktu tak terbatas apa-
bila sekeliling kayu adalah tanah yang jenuh air. Namun di lingkungan pantai, tiang
kayu dapat diserang oleh berbagai organisma yang akan menimbulkan kerusakan yang
berat setelah beberapa bulan. Bagian tiang yang berada di atas muka air bisa juga
diserang oleh serangga. Umur tiang bisa ditingkatkan dengan melumuri tiang dengan
minyak ter sebelum dipakai.
4.2. Jenis Pondasi Tiang IV–12
Gambar 5. Penyambungan tiang kayu: (a) selubung pipa; (b) lempeng logam dengan baut
Daya dukung ijin tiang kayu dapat dihitung dengan rumus berikut:
Qijin = Ap fw (4)
keuntungan dan kerugian beberapa jenis tiang berdasarkan bahan tiang yang digu-
nakan.
Qu = Qp + Qs (5)
Qu ≈ Qp (6)
Dalam hal ini, panjang tiang yang dibutuhkan dapat juga diperkirakan dengan tepat
apabila catatan penyelidikan tanah tersedia.
Qu ≈ Qs (7)
Tiang-tiang seperti ini disebut tiang gesek (friction piles) sebab dominan dukungan
tiang berasal dari gesekan kulit tiang. Namun istilah tiang gesek, meskipun sudah
sering digunakan, bukanlah istilah yang tepat, sebab pada tanah lempung tahanan
juga ditimbulkan oleh adanya adhesion.
5.2. Metode Instalasi Tiang IV–16
Panjang tiang gesek bergantung pada kuat geser tanah, beban, dan ukuran tiang.
Untuk menentukan panjang tiang yang dibutuhkan, yang dibutuhkan adalah penge-
tahuan tentang interaksi tiang-tanah, judgment yang baik, dan pengalaman.
Gambar 6. Dukung tiang titik [(a) dan (b)]; tiang gesek [(c)]
Gambar 7 memberi ilustrasi tiang pancang dengan berbagai macam palu. Sebuah
palu yang dijatuhkan [Gambar 7(a)] dinaikkan dengan derak hingga ketinggian H, lalu
dijatuhkan. Palu yang dijatuhkan (penumbuk) adalah jenis pemancangan yang paling
tua. Kerugian pokok dengan menggunakan jenis penumbuk ini adalah laju peman-
cangan sangat rendah. Prinsip pemancangan dengan tenaga uap atau udara untuk
single-acting ditunjukkan pada Gambar 7(b). Pada pemancangan jenis ini, bagian pe-
mukul atau ram dinaikkan dengan tenaga uap atau udara, lalu kemudian dijatuhkan.
Gambar 7. Peralatan pemancangan tiang: (a) palu jatuh; (b) tenaga uap atau udara single-
acting; (c) tenaga uap dan air double-acting dan differential; (d) diesel; (e)
vibrator
Gambar 7(c) menunjukkan operasi pemancangan dengan tenaga uap atau udara
untuk double-acting. Untuk jenis pemancangan ini, udara dan uap digunakan bersama-
sama untuk menaikkan ram dan untuk menekan ke bawah. Hal ini akan menaikkan
kecepatan impak ram. Palu diesel [Gambar 7(d)] secara pokok terdiri dari sebuah
ram, sebuah blok landasan, dan sebuah sistem injeksi-bahan bakar. Selama peng-
operasian, ram pertama sekali dinaikkan dan kemudian bahan bakar diinjeksikan ke
dekat landasan. Kemudian ram dilepas. Ketika ram jatuh, dia akan menekan campu-
ran udara-bahan bakar. Tekanan ini membakar campuran udara-bahan bakar. Sebagai
akibatnya, tiang akan tertekan ke bawah sedang ram kembali naik. Palu diesel bekerja
dengan baik meskipun dalam kondisi pemancangan yang berat. Pada tanah lunak,
pergerakan tiang ke bawah akan lebih besar dibandingkan dengan pergerakan ram ke
atas. Hal ini bisa tidak cukup untuk membakar sistem udara-bahan bakar, sehingga
5.2. Metode Instalasi Tiang IV–18
Gambar 7 Lanjutan
5. Panjang Tiang dan Metode Instalasi IV–19
ram harus diangkat secara manual. Tabel 6 dan 7 memberikan beberapa daftar diesel
yang tersedia di pasaran, palu dengan single-acting, double-acting, dan differential.
Prinsip pengoperasian pemancang dengan getaran (vibrator) ditunjukkan pada
Gambar 7(e). Pemancang ini pada pokoknya terdiri dari dua pemutar berat (counter-
rotating). Komponen horizontal gaya sentrifugal ditimbulkan oleh suatu hasil per-
putaran massa yang saling berlawanan satu dengan lainnya. Ini akan menghasilkan
gaya vertikal sinusoidal dinamik pada tiang sehingga membantu tiang terdorong ke
dalam tanah.
dapat dibuat dengan sebagiannya adalah tiang bor. Dalam hal ini bor dapat diman-
faatkan untuk membuat lubang bor terlebih dahulu. Sehingga tiang dapat dimasukkan
ke dalam lubang hingga kedalaman yang diharapkan.
Berdasarkan metode instalasinya, tiang dapat dibagi ke dalam dua kategori: tiang
perpindahan (displacement piles) dan tiang tunaperpindahan (nondisplacement piles).
Tiang pancang adalah tiang perpindahan, karena tiang ini menyebabkan tanah berpin-
dah ke arah lateral, dan oleh karena itu cenderung memadatkan tanah disekitarnya.
Kecenderungan untuk memadatkan tanah ini juga akan menghasilkan efek getaran ke
sekeliling lokasi pemancangan. Oleh karena itu pemakaian tiang pancang pada daerah
perumahan penduduk tidak terlalu disarankan. Untuk tiang−H agak kurang meng-
ganggu tanah secara lateral selama pemancangan, oleh karena itu tiang ini adalah
tiang perpindahan rendah. Sebaliknya, tiang bor adalah tiang tunaperpindahan. Pen-
empatan tiang ini hanya sedikit merubah keadaan tegangan di dalam tanah. Oleh
karena itu dewasa ini pemakaian tiang bor semakin meningkat, terutama di daerah
perkotaan dimana terdapat banyak gedung-gedung yang mungkin berada di dekat in-
IV–21
stalasi tiang.
6. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[3] Prakash, S., and Sharma, H.D.: Pile Foundations in Engineering Practice, John
Wiley & Sons, New York, 1990.
[4] Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.
[5] Tomlinson, M.J.: Pile Design and Construction Practice, A Viewpoint Publica-
tion, Cement and Concrete Association, 1977.
[6] Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-
Graw-Hill, New York, 1973.
Modul V
Daftar Isi
1 Pengantar V–1
7 Referensi V–30
4. Mekanisme Transfer Beban V–1
1. Pengantar
Modul ini akan menguraikan mekanisme transfer beban dan perhitungan daya dukung
tiang tunggal untuk sejumlah formula yang sudah mapan. Terdapat dua kategori kasar
dalam menghitung daya dukung tiang, yaitu dengan menggunakan data parameter
kekuatan geser tanah dari uji laboratorium dan formula dinamis yang dikembangkan
dari uji pemancangan tiang.
Dalam modul ini hanya akan diuraikan perhitungan daya dukung tiang berdasarkan
parameter kekuatan tanah yang diperoleh dari uji laboratorium dan sedikit menurut
hubungannya dengan data SPT dan CPT. Daya dukung tiang umumnya disumbangkan
oleh dua komponen tiang yang biasa disebut dengan daya dukung ujung dan hambatan
gesek kulit.
2. Mahasiswa mampu menghitung daya dukung ujung tiang, hambatan gesek kulit
dan akhirnya daya dukung batas tiang tunggal berdasarkan beberapa metode
yang sudah baku.
Pertanyaan adalah, bagaimana Q1 dan Q2 dihubungkan dengan beban total? Jika pen-
gukuran dibuat untuk memperoleh beban yang dapat dipikul oleh batang tiang [Q(z) ]
pada setiap kedalaman z, maka variasinya akan menjadi seperti yang diperlihatkan
pada Kurva 1 dari Gambar 1(b). Tahanan gesek per satuan luas [f(z) ] untuk setiap
kedalaman z dapat ditentukan sebagai
ΔQ(z)
f(z) = (1)
(p)(Δz)
dimana p = keliling penampang tiang. Variasi nilai-nilai f(z) dengan kedalaman ditun-
jukkan pada Gambar 1(c).
4. Mekanisme Transfer Beban V–3
Jika beban Q pada permukaan tanah dinaikkan sedikit demi sedikit, tahanan gesek
maksimum sepanjang batang tiang akan seluruhnya dikerahkan apabila perpindahan
relatif antara tanah dan tiang adalah sekitar 5-10 mm terlepas dari ukuran tiang dan
panjang L. Namun, tahanan titik maksimum Q2 = Qp tidak akan dikerahkan sampai
ujung tiang mengalami pergerakan sekitar 10-25% dari lebar (diameter) tiang. Nilai
terendah akan terjadi pada saat pemancangan tiang dan nilai tertinggi akan diperoleh
untuk tiang bor. Beban batas [Gambar 1(d) dan Kurva 2 pada Gambar 1(b)], Q(z=0) =
Qu . Dengan Q1 = Qs dan Q2 = Qp , maka penjelasan sebelumnya yang menunjukkan
bahwa Qs (atau satuan gesek kulit f sepanjang batang tiang) dikembangkan pada
perpindahan tiang yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahanan titik Qp . Hal ini
dapat dilihat dari hasil uji beban tiang pada tanah granular yang diberikan oleh Vesic
(1970), seperti diperlihatkan pada Gambar 2. Perlu diketahui bahwa hasil ini adalah
untuk tiang pipa pada pasir padat.
Gambar 2. Besaran relatif transfer beban titik pada berbagai tingkat pembebanan tiang
(dari Vesic, 1970)
Pada beban batas, bidang runtuh di dalam tanah pada ujung tiang (keruntuhan
daya dukung yang disebabkan oleh Qp ) adalah biasanya seperti ditunjukkan pada Gam-
bar 1(e). Catatan bahwa pondasi tiang adalah pondasi dalam, karena tanah biasanya
kebanyakan akan mengalami mode keruntuhan punching. Ini berarti bahwa sebuah
zona segitiga I yang dikembangkan pada ujung tiang, yang menekan ke bawah tanpa
menghasilkan bidang gelincir lain apapun. Pada pasir padat dan lempung kaku, sebuah
zona geser radikal, II bisa secara sebagian terjadi.
V–4
Qu = Qp + Qs (2)
Dengan cara yang sama, persamaan daya dukung umum untuk pondasi dangkal dengan
beban vertikal diberikan sebagai,
dimana Nc∗ , Nq∗ , dan Nγ∗ adalah faktor daya dukung yang meliputi faktor bentuk dan
faktor kedalaman yang diperlukan.
Pondasi tiang adalah dalam, namun tahanan batas per satuan luas pada ujung
tiang (qp ) dapat dinyatakan sebagai sebuah persamaan yang mirip bentuk pondasi
dangkal, walaupun nilai-nilai Nc∗ , Nq∗ , dan Nγ∗ akan berubah. Oleh karena lebar tiang
dinyatakan dengan D, maka Pers. (3) menjadi,
Oleh karena lebar tiang D relatif kecil, maka suku γDNγ∗ dapat dihilangkan tanpa
menyebabkan kesalahan yang serius, sehingga
Catatan bahwa q digantikan dengan q untuk menandai tegangan vertikal efektif. Se-
hingga daya dukung titik tiang dapat dinyatakan sebagai,
nilai qp tetap konstan (yaitu qp = ql ). Fakta ini diperlihatkan pada Gambar 4 un-
tuk kasus tanah yang homogen, yaitu L = Lb . Variasi (Lb /D)cr dengan sudut gesek
tanah diberikan pada Gambar 5. Berdasarkan penyelidikan Meyerhof, faktor daya
dukung akan meningkat sesuai dengan (Lb /D) dan mencapai suatu nilai maksimum
pada Lb /D ≈ 0.5(Lb /D)cr . Seperti terlihat pada Gambar 5, bahwa (Lb /D)cr untuk
φ = 45◦ adalah kira-kira 25 dan akan berkurang dengan mengecilnya nilai φ. Untuk
keperluan praktis besaran Lb /D untuk tiang adalah lebih besar dari 0.5(Lb /D)cr . Se-
hingga nilai maksimum Nc∗ dan Nq∗ akan terpakai untuk perhitungan qp untuk semua
kemungkinan tiang. Variasi nilai maksimum dari Nc∗ dan Nq∗ dengan sudut gesek φ
ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 5. Variasi (Lb /D)cr terhadap sudut gesek tanah (Meyerhof, 1976)
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–7
Gambar 6. Nisbah penanaman kritis dan faktor daya dukung untuk berbagai sudut gesek
tanah (Meyerhof, 1976)
Qp = Ap qp = Ap q Nq∗ (7)
6. Menggunakan nilai Nq∗ yang dihitung pada langkah 5 untuk memperoleh Qp se-
bagai
Qp = Ap q Nq∗ ≤ Ap ql (8)
(7). Pada kebanyakan masalah perencanaan, nilai φ yang diasumsikan adalah kurang
dari sekitar 30◦ . Untuk φ kurang dari 30◦ , prosedur berikut ini dapat digunakan untuk
mendapatkan Nc∗ dan Nq∗ dari Gambar 8.
3. Jika (Lb /D) ≥ (Lb /D)cr /2, ambil nilai maksimum Nc∗ dan Nq∗ dari Gambar 8.
Nc∗ = Nc(pada
∗
Lb /D=0)
∗
+ [Nc(max) ∗
− Nc(pada Lb /D=0) ] DL
b
(13)
0.5 D cr
L
b
Nq∗ = Nq(pada
∗
Lb /D=0)
∗
+ [Nq(max) ∗
− Nq(pada Lb /D=0) ] DL
b
(14)
0.5 D cr
dimana
1 + 2K◦
σ◦ = q (16)
3
= tegangan (efektif) normal rata − rata pada level ujung tiang
K◦ = koefisien tekanan tanah diam = 1 − sin φ (17)
Nc∗ , Nq∗ = faktor daya dukung (18)
Perlu dicatat bahwa Pers. (15) adalah modifikasi dari Pers. (7) dengan,
3Nq∗
Nσ∗ = (19)
(1 + 2K◦ )
Hubungan untuk Nc∗ yang diberikan pada Pers. (15) dapat dinyatakan sebagai,
Untuk kondisi tidak adanya perubahan volume (yaitu, pasir padat atau lempung
jenuh), Δ = 0. Sehingga,
Ir = Irr (24)
Tabel 1 memberi nilai-nilai Nc∗ dan Nσ∗ untuk berbagai nilai sudut gesek tanah (φ) dan
Irr . Untuk φ = 0 (yaitu kondisi tak salur),
4 π
Nc∗ = (ln Irr + 1) + + 1 (25)
3 2
Nilai Ir dapat dihitung dari uji triaksial dan konsolidasi di laboratorium yang berke-
naan dengan tingkat tegangan yang cocok. Namun, untuk perkiraan awal nilai-nilai
berikut ini dapat direkomendasikan:
Jenis tanah Ir
Pasir 70-150
Lanau dan lempung 50-100
(kondisi salur)
Lempung 100-200
(kondisi taksalur)
Terlepas dari prosedur teoretis yang dipakaikan dalam menghitung Qp , haruslah di-
ingat bahwa nilai penuh tidak dapat disadari sampai ujung tiang mencapai penurunan
10-25% dari diameter tiang. Hal ini merupakan kondisi kritis untuk kasus pasir.
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–11
Tabel 1. Faktor daya dukung untuk pondasi dalam, Nc∗ dan Nσ∗
5.1. Daya Dukung Titik (Ujung), Qp V–12
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–13
Qs = Σ p ΔLf (26)
Tahanan gesek satuan untuk kedalaman tertentu tiang di dalam pasir dapat diny-
atakan sebagai,
Dapat dilihat bahwa tegangan vertikal efektif σv yang digunakan pada Pers. (27)
meningkat dengan kedalaman tiang hingga suatu batas maksimum pada kedalaman
15-20 kali diameter tiang dan tetap konstan untuk seterusnya. Ini diperlihatkan pada
Gambar 8(b). Kedalaman kritis L ini bergantung pada beberapa faktor, seperti sudut
gesek tanah, kompresibilitas, dan kerapatan relatif. Estimasi konservatif seharusnyalah
mengasumsikan
L = 15D (28)
Nilai δ dari berbagai investigasi diperoleh dalam jangkauan 0.5φ sampai 0.8φ. Un-
tuk memilih δ ini perlu keputusan yang benar-benar baik.
5.3. Tahanan Gesek Kulit (Qs ) pada Lempung V–14
Maka
Qs = pLfav (31)
5.3.1 Metode λ:
Metode ini diajukan oleh Vijayvergiya dan Focht (1972). Metode ini mengasumsikan
bahwa perpindahan tanah yang disebabkan oleh pemasukan tiang kedalam tanah meng-
hasilkan suatu tekanan lateral pasif pada suatu kedalaman tertentu, dan tahanan kulit
satuan rata-rata dapat dinyatakan sebagai,
dimana σv = nilai tengah tegangan vertikal efektif untuk seluruh panjang tiang
cu = nilai tengah kuat geser taksalur (konsep φ = 0)
Nilai λ akan berubah dengan kedalaman penetrasi tiang (lihat Gambar 9). Maka
tahanan gesek total dapat dihitung sebagai
Qs = pLfav
Perlu kehati-hatian dalam menentukan nilai-nilai σv dan cu untuk tanah berlapis.
Hal ini dijelaskan dengan bantuan Gambar 10. Mengacu kepada Gambar 10(b), nilai
tengah cu adalah (cu(1) L1 + cu(2) L2 + ...)/L. Dengan cara yang sama, Gambar 10(c) me-
nunjukkan plot dari variasi tegangan efektif dengan kedalaman. Nilai tengan tegangan
efektif adalah
A1 + A2 + A3 + ...
σv = (33)
L
dimana A1 , A2 , A3 ,... = luas diagram tegangan vertikal efektif.
5.3. Tahanan Gesek Kulit (Qs ) pada Lempung V–16
f = αcu (34)
Qs = Σ f p ΔL = Σ α cu p ΔL (35)
5.3.3 Metode β:
Kalau tiang disorongkan ke dalam lempung jenuh, tekanan air pori di sekitar tiang akan
meningkat. Kelebihan tekanan air pori (excess pore water pressure) ini pada lempung
terkonsolidasi normal bisa jadi sebesar 4-6 kali cu . Namun, di dalam satu bulanan,
tekanan ini perlahan-lahan berkurang. Maka tahanan gesek satuan untuk tiang dapat
ditentukan dengan mengacu pada parameter tegangan efektif lempung dalam keadaan
remolded (yaitu, c = 0). Maka pada suatu kedalaman tertertu,
f = βσv (36)
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–17
Nilai K dapat secara konservatif diambil sebagai koefisien tekanan tanah diam,
atau
Apabila nilai f dapat ditentukan maka tahanan kulit total dapat dihitung dengan
Qs = Σ f p ΔL
daya dukung tiang ijin dapat diperoleh dengan memakaikan suatu faktor keamanan
sedemikian hingga beban ijin total untuk masing-masing tiang dapat dihitung dengan
Qu
Qall = (41)
FS
dimana Qall = daya dukung ijin masing-masing tiang
F S = faktor keamanan
Faktor keamanan umunya dipakai dalam rentang 2.5 - 4, bergantung pada tingkat
ketidaktentuan perhitungan beban batas.
1. Untuk suatu nilai sudut gesek tanah (φ) tertentu, pemancangan tiang pada pasir
bisa menunjukkan tahanan ujung satuan lebih tinggi 50-100% bila dibandingkan
dengan tiang bor. Hasil ini disebabkan oleh densifikasi tanah selama pemancan-
gan.
2. Pada tanah pasir, tiang yang dicor di tempat dengan pedestal bisa memper-
lihatkan tahanan ujung satuan yang lebih tinggi 50-100% dibandingkan dengan
tiang yang dicor di tempat tanpa pedestal. Energi berimpak tinggi dari palu yang
dipakai membuat pedestal menyebabkan tanah memadat sehingga meningkatkan
besar sudut gesek tanah.
3. Dalam perhitungan luas penampang (Ap ) dan keliling (p) tiang profil pabrikasi,
seperti tiang-H dan tiang pipa terbuka, pengaruh plug tanah harus dipertim-
bangkan. Merujuk pada Gambar 3(b) dan 3(c), untuk tiang pipa
π
Ap = D2
4
dan
p=π D
Ap = d1 · d2
p = 2(d1 + d2 )
Juga, perlu dicatat bahwa untuk tiang-H, oleh karena d2 > d1 maka D = d1 .
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–19
4. Hubungan beban titik batas yang diberikan pada Pers. (6), (2.14), dan (2.22)
untuk beban titik batas kotor; yaitu termasuk berat tiang. Sehingga beban titik
batas bersih (net ultimate point load) dapat dihitung sebagai,
Qp(bersih) = Qp(kotor) − q
Dalam praktek apabila tanah memiliki φ > 0, maka Qp(bersih) diasumsikan sama
dengan Qp(kotor) .
Untuk tanah kohesif dengan φ = 0, nilai Nq∗ adalah sama dengan satu (Gambar 5).
Maka dari Pers. (6),
Qp(kotor) = cu Nc∗ + q
Sehingga
Berdasarkan studi ini, perhitungan untuk nilai faktor daya dukung (Nq∗ ) dikore-
lasikan dengan nisbah panjang tiang L/D. Gambar 12 memperlihatkan nilai-nilai Nq∗
untuk berbagai nisbah panjang tiang dan sudut gesek tanah. Di sini Nq∗ secara per-
lahan akan meningkat dengan L/D hingga mencapai suatu nilai maksimum tertentu
dan akan menurun sesudahnya.
5.6. Korelasi Desain Coyle dan Castello V–20
Gambar 12. Variasi Nq∗ dengan L/D (Coyle dan Castello, 1981)
Dengan cara yang sama, nilai-nilai deduksi K untuk berbagai nilai φ dan nisbah
L/D diberikan pada Gambar 13. Di sini dapat terlihat bahwa untuk setiap nilai φ, K
berkurang secara linier dengan nisbah L/D. Pada gambar ini diasumsikan bahwa,
δ = 0.8φ (44)
Maka dengan mengombinasikan Pers. (42), (43), dan (44) dapat diperoleh
Qu = q Nq∗ Ap + pLKσv tan(0.8φ) (45)
Dari hasil 24 uji beban tiang, Coyle dan Castello telah memperlihatkan bahwa
Pers. (45) dapat menghitung beban batas dengan rentang kesalahan ±30%, dengan
mayoritas jatuh di dalam rentang kesalahan ±30%.
6. Contoh Soal
6.1 Soal 1
Sebuah tiang pracetak dari beton prategang dengan panjang 12 m dipancangkan ke-
seluruhannya ke dalam lapisan pasir (c = 0). Penampang tiang adalah bujursangkar
dengan panjang sisi 305 mm. Berat isi kering pasir (γd ) adalah 16.8 kN/m3 , dan
sudut gesek tanah rata-rata adalah 35◦ . Nilai N-SPT di sekitar ujung tiang adalah 16.
Hitunglah beban titik batas tiang dengan metode berikut:
a. Metode Coyle dan Castello [Pers. (42) dan Gambar 12];
d. Pers. (10).
Penyelesaian:
a. Metode Coyle dan Castello
Qp = q Nq∗ Ap
Dari Tabel 2.3, Ap = 929 cm3 = 0.0929 m2
q = γd L = (16.8)(12) = 201.6 kN/m2
Sekarang L/D = 12/0.305 = 39.34. Untuk L/D = 39.34 dan φ = 35◦ , Gambar 12
memberi Nq∗ ≈ 45. Sehingga,
Qp = (201.6)(45)(0.0929) = 842.8 kN
6.1. Soal 1 V–22
b. Metode Meyerhof
Oleh karena tanahnya adalah homogen, Lb = L. Untuk φ = 35◦ , (Lb /D)cr ≈ 10 (dari
Gambar 6). Sehingga untuk tiang ini Lb /D = 39.34 > (Lb /D)cr . Maka dari Gambar
5 Nq∗ ≈ 120.
Sehingga
Sehingga Qp ≈ 390 kN
c. Metode Vesic
Diketahui Irr ≈ 90. Dengan φ = 35◦ , Tabel 1 memberi Nσ∗ ≈ 79.5. Dari Pers. (15)
Qp = Ap σ◦ Nσ∗
1 + 2K◦
σ◦ = q
3
K◦ = 1 − sin φ = 1 − sin 35◦ = 0.43
Sehingga
1 + 2(0.43)
σ◦ = (201.6) ≈ 125 kN/m2
3
Dan
Qp = (0.0929)(125)(79.5) ≈ 923 kN
d. Pers. (10)
Diketahui N-SPT rata-rata pada sekitar ujung tiang = 16. Sehingga dari Pers. (10),
L
qp = 40N ≤ 400 N
D
Qp = Ap qp = (0.0929)(40)(16)(39.34) = 2339 kN
Pada soal ini, persamaan Vesic memberi nilai yang jauh lebih tinggi (923 kN). Nilai
kedua tertinggi diperoleh dari persamaan yang diberikan oleh Coyle dan Castello (842.8
kN). Untuk estimasi konservatif, daya dukung dapat diperoleh dengan
390.3 + 595
Qp = ≈ 493 kN
2
6.2 Soal 2
Dengan menggunakan tiang yang sama seperti pada Soal 1. (a) Tentukanlah tahanan
gesek total dengan menggunakan K = 1.4 dan δ = 0.6φ [gunakan Pers. (26), (27), dan
(28)]. (b) Tentukanlah tahanan gesek total dengan menggunakan metode Coyle dan
Castello.
Penyelesaian
Bagian a:
Tahanan gesek kulit satuan untuk setiap kedalaman dinyatakan oleh Pers. (27) sebagai
f = Kσv tan δ
L = 15D
Sehingga, untuk kedalaman z = 0 − 15D, σv = γz = 16.8 × z (kN/m2 ) dan diluar itu,
yaitu z ≥ 15D, σv = γ(15D) = (16.8)(15 × 0.305) = 76.86 kN/m2 . Ini ditunjukkan
dalam Gambar 13.
Jadi tahanan gesek kulit total sama dengan 115.26 + 374.1 = 489.35 kN ≈ 490 kN
Untuk tiang ini L/D = 39.34. Menurut Gambar 12 untuk menentukan K, ini diluar
jangkauan grafik. Dengan interpolasi, untuk L/D = 39.34 dan φ = 35◦ , diperoleh
K ≈ 0.7. Sekarang,
γL (16.8)(12)
σv = = = 100.8 kN/m2
2 2
Sehingga
6.3 Soal 3
Dengan mengacu pada Soal 1 dan 2. Gunakanlah faktor keamanan sebesar 3, untuk
menghitung beban ijin tiang.
Penyelesaian
Qu = Qp + Qs
Dari Contoh Soal 2.1, Qp = 490 kN. Juga dari Contoh Soal 2.2, Qs adalah 490 kN
sampai 550 kN. Gunakan Qs = (490 + 550)/2 = 1040/2 = 520 kN. Sehingga
Qu 490 + 520
Qall = = = 336.7 ≈ 337 kN
FS 3
Dengan mengacu pada Tabel 2.3, daya dukung desain tiang adalah 801 kN, yang adalah
lebih besar dari 337 kN. Sehingga Qall = 337 kN.
6. Contoh Soal V–25
6.4 Soal 4
Sebuah tiang baja HP 310×1.079 dipancang kedalam pasir seperti ditunjukkan pada
Gambar 14(a).
a. Hitunglah beban titik batas dengan (1) prosedur Meyerhof, (2) prosedur Vesic
(Ir = 150 = Irr ), (3) menggunakan persamaan untuk N-SPT. (Diberikan: nilai
N rata-rata di sekitar ujung tiang adalah 45.)
b. Memperkirakan besar beban titik batas dari perhitungan pada bagian (a).
Juga periksa daya dukung ijin tiang baja itu sendiri. Gunakan σall untuk baja adalah
62000 kN/m2 .
Penyelesaian
Di dalam Tabel 2.1, tinggi penampang tiang, d1 = 308 mm dan lebar flens = 310 mm.
Luas penampang tiang, Ap untuk perhitungan daya dukung = 0.308 × 0.310 = 0.0955
m2 .
Prosedur Meyerhof: Variasi tahanan titik satuan akan mirip dengan Gambar 6.
Kedalaman penetrasi lapisan bawah yang terdiri dari pasir padat, Lb adalah 4 m. Jadi
6.4. Soal 4 V–26
Sehingga
Qp = (14684)(0.0955) = 1402 kN
Sehingga
Qp = (0.0955)(224.63)(350) = 7508 kN
Oleh karena Qp = 1402 kN < 7508 kN, Pers. (9) mengontrol. Maka Qp = 1402 kN.
Prosedur Vesic: Diketahui Ir 150 = Irr . Dari Pers. (15)
Qp = Ap σ◦ Nq∗
K◦ = 1 − sin φ = 1 − sin 40◦ = 0.357
1 + 2K◦ 1 + (2)(0.357)
σ◦ = q = (224.63) = 128.34 kN/m2
3 3
Dari Tabel 1, untuk φ = 40◦ dan Irr = 150, diperoleh nilai Nq∗ ≈ (134.52 + 193.13)/2
= 163.8. Sehingga
Persamaan N-SPT: Diketahui N-SPT rata-rata disekitar ujung tiang adalah 45. Dari
Pers. (10)
L
qp = 40N ≤ 400N
D
22
= (40)(45) = 128571 kN/m2
0.308
atau
Qp = Ap qp = (0.0955)(18000) = 1719 kN
6. Contoh Soal V–27
b. Estimasi nilai Qp
Untuk tahanan gesek batas, σv akan tetap konstan untuk z > 4.62 m. Variasi σv yang
diasumsikan dengan kedalaman ditunjukkan pada Gambar 14(b).
Tahanan gesek dari z = 0 sampai 4.62 m
Kσv tan δ
pLfav = (2)(0.308 + 0.310)(4.62)
2
(1.4)(72.53) tan(0.6 × 30)
= 5.71 = 94.2 kN
2
Sebagai suatu pendekatan, nilai δ dapat diambil sebagai 0.6φ1 = (0.6)(30) = 18◦ untuk
keseluruhan panjang tiang. Maka
Qs = Qs(z=0−4.62 m) + Qs(z=4.62−22 m)
Qu = Qp + Qs . Dari bagian (b) diperoleh Qp = 1709 kN. Dari bagian (c) diperoleh Qs
= 802.9 kN. Sehingga Qu ≈ 1709 + 803 = 2512 kN.
Qu 2512
Qall = = = 628 kN
FS 4
6.5. Soal 5 V–28
Daya dukung ijin penampang tiang baja perlu juga diperiksa. Tabel 2.1 memperli-
hatkan bahwa luas penampang tiang baja adalah 14.1 × 10−3 m2 .
Sehingga
6.5 Soal 5
Sebuah tiang pipa dipancangkan pada tanah lempung seperti terlihat pada Gambar
15(a). Pipa memiliki diameter luar 406 mm dan tebalnya 6.35 mm.
b. Hitunglah tahanan gesek kulit (1) dengan menggunakan Pers. (34) (metode α),
(2) dengan menggunakan Pers. (32) (metode λ), dan (3) dengan menggunakan
Pers. (36) (metode β). Diketahui φR = 30◦ untuk semua lapisan lempung.
Lapisan atas setebal 10 m adalah lempung terkonsolidasi normal. Lapisan bawah
dengan OCR sama dengan 2.
Penyelesaian
Qs = Σ α cu p ΔL
Untuk lapisan tanah bagian atas, cu(1) = 30 kN/m2 . Merujuk kepada Gambar 10 untuk
besaran rata-rata diperoleh, α1 = 1.0. Dengan cara yang sama, untuk lapisan bawah,
cu(2) = 100 kN/m2 menghasilkan α2 = 0.5. Maka
(2) Menggunakan Pers. (32): fav = λ(σv + 2cu ) Nilai cu rata-rata adalah
cu(1) (10) + cu(2) (20) (30)(10) + (100)(20)
= = 76.7 kN/m2
30 30
Untuk memperoleh nilai σv rata-rata, diagram variasi tegangan vertikal efektif dengan
kedalaman diplot pada Gambar 15(b). Dari Pers. (33)
A1 + A2 + A3 225 + 552.38 + 4577
σv = = = 178.48 kN/m2
L 30
Nilai λ dapat diperoleh dari Gambar 8 sebagai 0.14. Sehingga
Maka
(3) Menggunakan Pers. (36): Lapisan bagian atas (10 m) adalah terkonsolidasi normal,
φR = 30◦ .
V–30
fav(1) = (1 − sin φR ) tan φR σv(av)
◦ ◦ 0 + 90
= (1 − sin 30 )(tan 30 ) = 13.0 kN/m2
2
Untuk z = 10 − 30 m:
√
fav = (1 − sin φR ) tan φR OCR σv(av)
Sehingga
Jika dibandingkan ketiga nilai yang diperoleh di atas, terlihat metode α dan λ memberi
hasil yang agak dekat. Sehingga bisa digunakan
1658.1 + 1777.8
Qs = ≈ 1718 kN
2
Maka
7. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Coyle, H.M., and Castello, R.R.: New design correlations for piles in sand, Journal
of the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 107, No. GT7, pp. 965-986,
1981.
V–31
[3] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[4] McClelland, B.: Design of deep penetration piles for ocean structures, Journal of
the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 100, No. GT7, pp. 709-747,
1974.
[5] Meyerhof, G.G.: Bearing capacity and settlement of pile foundations, Journal of
the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 102, No. GT3, pp. 197-228,
1976.
[6] Vesic, A.S.: Test on instrumented piles−Ogeechee River site, Journal of the Soil
Mechanics and Foundations Divisions, ASCE, Vol. 96, No. SM2, pp. 561-584,
1970.
[7] Vesic, A.S.: Design of Pile Foundations, National Cooperative Highway Research
Program Synthesis of Practice No. 42, Transportation Research Board, Washing-
ton, D.C., 1977.
[8] Vijayvergiya, V.N., and Focht, J.A.,Jr.: A New Way to Predict Capacity of Piles
in Clay, Offshore Technology Conference Paper 1718, Fourth Offshore Technology
Conference, Houston, Texas, 1972.
Modul VI
Daftar Isi
1 Pengantar VI–1
6 Referensi VI–8
4. Daya Dukung Tiang Kelompok VI–1
1. Pengantar
Pada hakekatnya pondasi tiang selalu dalam bentuk kelompok. Sangat jarang terjadi
pondasi tiang sebagai sebuah tiang tunggal. Tiang sebagai tiang tunggal kadang-
kadang dipakai dalam stabilisasi lereng yang dimaksudkan untuk mengurangi longsor.
Modul ini akan menguraikan metode perhitungan kapasitas dukung yang diberikan oleh
tiang kelompok. Oleh karena perhitungan kapasitas dukung tiang kelompok didasarkan
pada kapasitas dukung tiang tunggal, maka biasanya kapasitas dukung tiang kelompok
diacu sebagai efisiensi, yaitu perbandingan kapasitas dukung ting kelompok dengan
jumlah kapasitas dukung tiang tunggal.
satu sama lainnya, adalah masuk akal untuk mengasumsikan bahwa tegangan yang
disalurkan oleh tiang ke tanah akan tumpang tindih [lihat Gambar 1(c)], dan ini bisa
mereduksi daya dukung tiang itu sendiri. Idealnya tiang-tiang dalam sebuah kelompok
harus cukup memiliki jarak sedemikian hingga daya dukung kelompok tidak kurang
dari jumlah daya dukung masing-masing tiang tunggal. Di dalam praktek jarak dari
pusat tiang yang satu ke pusat tiang lainnya (d) harus dijaga minimum 2.5D. Namun
dalam situasi yang biasanya, jarak ini sekitar 3-3.5D.
Qg(u) = ηΣQu
dan jika η ≥ 1
Qg(u) = ΣQu
Persamaan efisiensi tiang kelompok lain yang sering juga digunakan adalah per-
samaan Converse-Labarre yang dapat dinyatakan sebagai
(n1 − 1)n2 + (n2 − 1)n1
η =1− θ (4)
90n1 n2
dimana θ (derajat) = tan−1 (D/d) (5)
4.2. Tiang pada Lempung VI–4
1. Untuk tiang kelompok yang dipancang ke dalam pasir dengan d ≥ 3D, Qg(u)
dapat diambil sama dengan ΣQu . Ini meliputi daya dukung gesek dan titik tiang
tunggal.
2. Untuk tiang bor di dalam pasir pada jarak konvensional (yaitu d ≈ 3D), Qg(u)
dapat diambil sama dengan 2/3 sampai 3/4 kali ΣQu (daya dukung gesek dan
titik tiang tunggal).
Gambar 2. Hasil uji model efisiensi tiang kelompok pada pasir padat
Qp = Ap [9cu(p) ]
dimana cu(p) = kohesi taksalur lempung pada ujung tiang. Juga Qs dapat dihi-
tung dengan,
Qs = Σ αpcu ΔL
4. Daya Dukung Tiang Kelompok VI–5
Maka diperoleh
Nilai faktor daya dukung Nc dapat diperoleh dari Gambar 3, yang merupakan
faktor daya dukung untuk pondasi rakit. Sehingga beban batas dapat dihitung
sebagai,
3. Bandingkanlah kedua nilai dari Pers. (6) dan (7). Nilai terendah dari keduanya
akan menjadi Qg(u) .
5. Contoh Soal
5.1 Soal 1
Mengacu pada Gambar 1(a). Diketahui: n1 = 4, n2 = 3, D = 305 mm, d = 2.5D.
Penampang tiang adalah bujursangkar dan dipancang di tanah pasir. Gunakan Pers.
(2) untuk memperoleh efisiensi kelompok.
Penyelesaian
2(n1 + n2 − 2)d + 4D
η =
pn1 n2
d = 2.5D = (2.5)(305) = 762.5 mm
p = 4D = (4)(305) = 1220 mm
Jadi
2(4 + 3 − 2)762.5 + 1220
η= = 0.604 = 60.4%
(1220)(4)(3)
5.2 Soal 2
Ulanglah Soal 1 tetapi menggunakan Pers. (4)
Penyelesaian
Maka
(3)(3) + (2)(4)
η =1− (21.8◦ ) = 0.657 = 65.7%
(90)(3)(4)
5.3 Soal 3
Mengacu pada Gambar 1(a). Diketahui: n1 = 4, n2 = 3, D = 305 mm, d = 1220
mm dan L = 15 m. Penampang tiang adalah bujursangkar yang dipancangkan ke
tanah lempung homogen dengan cu = 70 kN/m2 . Gunakan faktor keamanan 4 untuk
menentukan daya dukung ijin tiang kelompok.
Penyelesaian
Dari Gambar 3, diperoleh Nc ≈ 8.6. Sehingga kapasitas tiang kelompok sebagai blok
adalah
Maka
6. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[3] Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.
[4] Tomlinson, M.J.: Pile Design and Construction Practice, A Viewpoint Publica-
tion, Cement and Concrete Association, 1977.
[5] Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-
Graw-Hill, New York, 1973.
Modul VII
Daftar Isi
1 Pengantar VII–1
7 Referensi VII–10
4. Penurunan Elastik Tiang VII–1
Berikut ini adalah prosedur untuk menentukan ketiga faktor penuruanan tiang di-
atas.
4.1. Penurunan Elastik Tiang Tunggal VII–2
4.1.1 Menentukan s1
Jika diasumsikan bahwa bahan tiang adalah elastik, maka deformasi batang tiang dapat
dievaluasi dengan menggunakan prinsip-prinsip mekanika bahan:
(Qwp + ξQws )L
s1 = (2)
Ap Ep
dimana Qwp = beban yang dipikul ujung tiang di bawah kondisi beban kerja
Qws = beban yang dipikul kulit tiang di bawah kondisi beban kerja
Ap = luas penampang tiang
L = panjang tiang
Ep = modulus Young bahan tiang
Besarnya ξ bergantung pada sifat distribusi tahanan kulit sepanjang batang tiang.
Jika distribusi f adalah seragam atau parabola, seperti diperlihatkan pada Gambar
1(a) dan (b), ξ adalah 0.5. Namun untuk distribusi f dalam bentuk segitiga [Gambar
1(c)], nilai ξ sekitar 0.67 (Vesic, 1977).
N = 0 .5 N = 0 .5 N = 0 .6 7
B B
B
(a ) (b ) (c )
4.1.2 Menentukan s2
Penurunan tiang yang ditimbulkan oleh beban pada ujung tiang dapat dinyatakan
dalam bentuk yang sama seperti yang diberikan dalam pondasi dangkal:
qwp D
s2 = (1 − μ2s )Iwp (3)
Es
qwp = Qwp /Ap
Untuk tujuan praktis, Iwp dapat ditentukan sama dengan αr sebagaimana digu-
nakan pada penurunan elastik pondasi dangkal. Dalam keadaan tidak adanya hasil
eksperimen, nilai modulus Young dan nisbah Poisson dapat diperoleh dari Tabel 1.
Modulus Young,Es
Jenis Tanah Nisbah Poisson, μs
MN/m2 lb/in.2
Pasir lepas 10.35−24.15 1,500−3,500 0.20−0.40
Pasir padat medium 17.25−27.60 2,500−4,000 0.25−0.40
Pasir padat 34.50−55.20 5,000−8,000 0.30−0.40
Pasir kelanauan 10.35−17.25 1,500−2,500 0.20−0.40
Pasir dan kerikil 69.00−172.50 10,000−25,000 0.15−0.40
Lempung lunak 2.07−25.18 300−750
Lempung medium 5.18−10.35 750−1,500 0.20−0.50
Lempung kaku 10.35−24.15 1,500−3,500
Vesic (1977) juga mengajukan suatu metode semiempiris untuk menentukan be-
sarnya penurunan s2 . Metode itu dapat dinyatakan dalam rumus berikut:
Qwp Cp
s2 = (4)
Dqp
dimana qp = tahanan ujung batas tiang
Cp = koefisien empiris
Tabel 2. Nilai tipikal Cp (dari Design of Pile Foundations by A.S. Vesic, 1977)
Jenis tanah Tiang pancang Tiang bor
Pasir (padat ke lepas) 0.02-0.04 0.09-0.18
Lempung (kaku ke lunak) 0.02-0.03 0.03-0.06
Lanau (padat ke lepas) 0.03-0.05 0.09-0.12
4.1.3 Menentukan s3
Penurunan tiang yang ditimbulkan oleh pembebanan pada kulit tiang dapat diberikan
dengan rumus berikut:
Qws D
s3 = (1 − μ2s )Iws (5)
pL Es
dimana p = keliling tiang
L = panjang tiang yang tertanam
Iws = faktor pengaruh
4.2. Penurunan Elastik Tiang Kelompok VII–4
Perlu dicatat bahwa suku Qws /pL pada persamaan di atas adalah nilai rata-rata
f di sepanjang batang tiang. Faktor pengaruh Iws dapat dinyatakan dengan sebuah
hubungan empiris yang sederhana sebagai (Vesic, 1977)
L
Iws = 2 + 0.35 (6)
D
Vesic (1977) juga mengajukan sebuah hubungan empiris sederhana untuk menen-
tukan s3 sebagai
Qws Cs
s3 = (7)
Lqp
dimana Cs = sebuah konstanta empiris = (0.93 + 0.16 L/D)Cp . Nilai-nilai Cp dapat
diperoleh dari Tabel 2.
Untuk tiang kelompok di dalam pasir atau kerikil, Meyerhof (1976) menggagas
hubungan empiris berikut untuk penurunan elastik.
0.92q Bg I
sg(e) (mm) = (9)
Ncorr
Qg
q (kN/m2 ) = (10)
(Lg Bg )
L
I = 1− ≥ 0.5 (11)
8Bg
Dengan cara yang sama, penurunan tiang kelompok dapat juga dihubungkan den-
gan CPT sebagai
qBg I
sg(e) = (12)
2qc
dimana qc = nilai CPT rata-rata pada daerah penurunan. Dalam Pers. (12), semua
simbol harus dalam satuan yang sesuai.
Qg
Δpi = (13)
(Bg + zi )(Lg + zi )
Sebagai contoh, dalam Gambar 2 untuk Lapisan No. 2, zi = L1 /2. Sama juga
halnya dengan Lapisan No. 3, zi = L1 + L2 /2; dan untuk Lapisan No. 4,
zi = L1 + L2 + L3 /2. Namun tidak akan ada peningkatan tegangan pada Lapisan
No. 1, karena berada di atas bidang horizontal (z = 0) dimana distribusi tegangan
pada tanah dimulai.
VII–6
dimana,
Penurunan konsolidasi tiang disamping yang sudah diuraikan di atas bisa juga dipicu
oleh pengisian tempat di sebelah konstruksi, beban di dekat lantai, dan juga turunnya
mukai air tanah.
6. Contoh Soal
6.1 Soal 1
Sebagai contoh ambillah tiang dengan beban kerja yang diizinkan adalah 337 kN. Jika
240 kN disumbangkan oleh tahanan gesek kulit dan 97 kN berasal dari beban titik,
tentukanlah penurunan elastik tiang. Gunakan Ep = 21 × 106 kN/m2 , Es = 30000
kN/m2 , dan μs = 0.3.
Penyelesaian
s = s1 + s2 + s3
Qwp + ξQws L
s1 =
Ap Ep
6.2. Soal 2 VII–8
[97 + (0.6)(240)]12
s1 = = 0.00148 m = 1.48 mm
(0.305)2 (21 × 106 )
qwp D
s2 = (1 − μ2s )Iwp
Es
Dari grafik yang digunakan untuk pondasi dangkal kaku diperoleh Iwp = 0.82
Qwp 97
qwp = = = 1042.7 kN/m2
Ap (0.305)2
Sehingga
(1042.7)(0.305)
s2 = (1 − 0.32 )(0.82) = 0.0079 m = 7.9 mm
30000
6.2 Soal 2
Tiang kelompok di dalam tanah lempung seperti pada Gambar 3. Tentukanlah penu-
runan konsolidasi tiang kelompok. Semua lapisan lempung adalah terkonsolidasi nor-
mal.
Penyelesain
Oleh karena panjang tiang masing-masing adalah 15 m, maka distribusi tegangan mulai
dari kedalaman 10 m di bawah puncak tiang. Diketahui Qg = 2000 kN.
6. Contoh Soal VII–9
Maka
(0.3)(7) 134.8 + 51.6
Δs1 = log = 0.1624 m = 162.4 mm
1 + 0.82 134.8
Maka
(0.2)(4) 181.62 + 14.52
Δs2 = log = 0.0157 m = 15.7 mm
1 + 0.7 181.62
7. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[3] Meyerhof, G.G.: Bearing capacity and settlement of pile foundations, Journal of
the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 102, No. GT3, pp. 197-228,
1976.
[4] Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.
[5] Tomlinson, M.J.: Pile Design and Construction Practice, A Viewpoint Publica-
tion, Cement and Concrete Association, 1977.
[6] Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-
Graw-Hill, New York, 1973.
[7] Vesic, A.S.: Experiment with instrumented pile groups in sand, American Society
for Testing and Materials; Special Technical Publication, No. 444, pp. 177-222,
1969.
[8] Vesic, A.S.: Test on instrumented piles−Ogeechee River site, Journal of the Soil
Mechanics and Foundations Divisions, ASCE, Vol. 96, No. SM2, pp. 561-584,
1970.
[9] Vesic, A.S.: Design of Pile Foundations, National Cooperative Highway Research
Program Synthesis of Practice No. 42, Transportation Research Board, Washing-
ton, D.C., 1977.
Modul VIII
Daftar Isi
1 Pengantar VIII–1
7 Referensi VIII–10
4. Analisa Dinamis Pondasi Tiang VIII–1
1. Pengantar
Analisa dinamis pondasi tiang dimaksudkan sebagai analisa pemancangan tiang dengan
menggunakan palu. Disebut dinamis karena pemancangan dengan palu merupakan
transfer energi ke tiang dalam bentuk perambatan gelombang. Analisis dinamis ini
telah menghasilkan begitu banyak formula dinamis pemancangan tiang, namun dalam
modul ini hanya beberapa diantaranya yang dibicarakan.
mampu menghitung daya dukung tiang selama proses pemancangan. Persamaan di-
namis ini sangat luas dipakai di lapangan untuk memastikan apakah nilai daya dukung
telah tercapai pada kedalaman yang telah ditentukan. Salah satu persamaan dinamis
yang tertua adalah biasa disebut sebagai formula Engineering News Record (ENR),
yang diturunkan dengan basis teori kerja-energi (work-energy). Ini berarti bahwa
Menurut formula ENR, tahanan tiang adalah beban batas Qu yang dapat dinyatakan
sebagai
WR h
Qu = (1)
S+C
Pemasukan tiang, S biasanya didasarkan pada nilai rata-rata yang diperoleh dari
beberapa pukulan pemancangan yang terakhir. Dalam bentuk persamaan aslinya,
direkomendasikan nilai-nilai C berikut ini:
EHE
Qu = (2)
S+C
Formula pemancangan ENR telah mengalami beberapa perubahan hingga saat ini.
Bentuk yang paling akhir (formula modifikasi ENR) dapat diberikan sebagai,
EWR h WR + n2 Wp
Qu = · (3)
S+C WR + Wp
4. Analisa Dinamis Pondasi Tiang VIII–3
Efisiensi berbagai pemancangan tiang dengan palu, E dapat dilihat dalam jangkauan
nilai berikut ini:
Jenis palu Efisiensi, E
Palu dengan kerja tunggal dan ganda 0.70 sampai 0.85
Palu diesel 0.80 sampai 0.90
Palu yang dijatuhkan 0.70 sampai 0.90
Nilai representatif untuk koefisien pemulihan n dapat diperoleh pada tabel berikut
ini:
Koefisien
Bahan tiang pemulihan, n
Palu dari besi tuang dan
tiang beton (tanpa topi) 0.40 sampai 0.50
Bantalan kayu pada pipa baja 0.30 sampai 0.40
Tiang kayu 0.25 sampai 0.30
Faktor keamanan sebesar 4-6 dapat digunakan dalam Pers. (3) untuk memperoleh
daya dukung ijin tiang.
The Michigan State Highway Commission (1965) telah melakukan penyelidikan
untuk memperoleh persamaan pemancangan tiang yang rasional. Pada tiga tempat
lokasi yang jauh berbeda, sejumlah total 88 tiang dipancangkan. Berdasarkan pada
pengujian ini, mereka memodifikasi formula ENR:
2.5HE WR + n2 Wp
Qu = · (4)
S + C WR + Wp
dimana HE = laju energi palu maksimum buatan pabrik
C = 0.254 cm atau 0.1 in, bergantung pada satuan S dan HE
FS = 6 direkomendasikan
Persamaan lain yang dikenal dengan formula Danish juga menurunkan hasil seandal
persamaan lainnya dinyatakan sebagai berikut:
EHE
Qu = (5)
EHE L
S+
2Ap Ep
dimana E = efisiensi palu
HE = laju energi palu
Ep = modulus Young bahan tiang
L = panjang tiang
Ap = luas penampang tiang (tidak termasuk luas plug tanah)
4.2. Tegangan Selama Pemancangan VIII–4
EHE
Qu = (7)
Ku S
dimana Ku = Cd (1 + 1 + λ/Cd ) (8)
Cd = 0.75 + 0.15(Wp /WR ) (9)
λ = (EHE L/Ap Ep S 2 ) (10)
EWR h WR + n2 Wp
Qu = ·
S+C WR + Wp
Pada persamaan ini S adalah sama dengan rata-rata pemasukan tiang per pukulan
palu. Ini dapat juga dinyatakan sebagai,
2.54
S= (11)
N
4. Analisa Dinamis Pondasi Tiang VIII–5
dimana S adalah centimeter dan N = jumlah pukulan palu per 2.54 cm pemasukan
tiang. Maka
EWR h WR + n2 Wp
Qu = · (12)
2.54 WR + Wp
+ 0.254
N
Dengan mengetahui jenis palu dan tiang yang digunakan maka Qu dapat dihitung
untuk suatu nilai N yang diasumsikan. Sehingga tegangan pemancangan dapat dihi-
tung untuk setiap nilai N sebagai Qu /Ap . Prosedur ini dapat didemonstrasikan dengan
bilangan. Andaikanlah bahwa sebuah tiang beton prategang dengan panjang 25 m di-
pancangkan dengan menggunakan palu 11B3 (MKT). Sisi tiang adalah 254 mm. Dari
Tabel 3 pada Modul IV untuk tiang ini diperoleh
Ap = 645 cm2
Berat ram = 22.2 kN. Asumsikan bahwa efisiensi palu = E = 0.85, dan n = 0.35.
Dengan mengisikan nilai-nilai ini ke Pers. (12),
⎡ ⎤
⎢ 0.85(26.1 × 100) ⎥ 22.2 + 0.352 (41) 955.6
Qu = ⎣ ⎦ =
25.4 22.2 + 41 25.4
+ 0.254 + 0.254
N N
Sekarang dengan memberi sejumlah nilai N, maka Qu dapat diperoleh untuk masing-
masing N. Agar lebih mudah daftar perhitungannya dapat dibuat dalam bentuk tabel
berikut:
Qu Ap Qu /Ap
N (kN) (m2 ) (MN/m2 )
0 0 645 × 10−4 0.00
2 627 645 × 10−4 9.72
4 1075 645 × 10−4 16.67
6 1410 645 × 10−4 21.87
8 1672 645 × 10−4 25.92
10 1881 645 × 10−4 29.16
12 2052 645 × 10−4 31.82
20 2508 645 × 10−4 38.88
Jumlah pukulan per 2.54 cm, N dan tegangan dapat diplot menjadi sebuah grafik,
seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Apabila grafik ini dibuat, maka hubungan antara
VIII–6
Gambar 2. (a) Diagram skematik uji pembebanan tiang; (b) hubungan beban dengan penu-
runan total; (c) hubungan beban dengan penurunan bersih
Uji pembebanan tiang pada pasir dapat dilakukan segera setelah tiang dipan-
cangkan. Namun perlu hati-hati untuk memutuskan selang waktu yang diperlukan
antara pemancangan dengan dimulainya uji pembebanan pada tanah lempung. Selang
waktu ini dapat berada dalam rentang 30-60 hari atau lebih, karena tanah perlu waktu
untuk mencapai kembali kekuatan thixotropicnya (thixotropic strength).
Gambar 2(b) menunjukkan hubungan antara beban dan penurunan untuk kondisi
VIII–8
memuat beban (loading) dan bongkar muat beban (unloading). Untuk suatu beban Q
tertentu, penurunan tiang bersih dapat dihitung sebagai berikut: Apabila Q = Q1
Apabila Q = Q2
Nilai-nilai Q ini kemudian diplot menjadi sebuah grafik hubungan antara Q dengan
penurunan bersih (snet ). Grafik seperti ini dicontohkan dalam Gambar 2(c). Beban
batas tiang dapat diperoleh dari grafik ini. Penurunan tiang bisa bertambah dengan
bertambahnya beban hingga pada suatu titik tertentu dimana setelah titik ini grafik
akan berubah menjadi vertikal. Beban yang berkenaan dengan titik ini akan menjadi
beban batas tiang (Qu ). Hal ini ditunjukkan oleh Kurva 1 pada Gambar 2(c). Namun
dalam kebanyakan kasus, bagian terakhir kurva adalah hampir linier, yang menun-
jukkan besarnya derajat penurunan pada pertambahan beban yang sangat kecil. Ini
ditunjukkan oleh Kurva 2 dalam Gambar 2(c). Beban batas (Qu ) untuk kasus seperti
ini ditentukan dari titik kurva hubungan Q dan snet dimana bagian linier yang curam
dimulai.
Prosedur uji pembebanan yang baru saja dijelaskan memerlukan pemakaian be-
ban secara bertahap pada tiang dan kemudian mengukur penurunannya. Pengujian
seperti ini disebut dengan model kontrol-beban (load controlled). Teknik pengujian
yang berbeda dengan ini ada yang disebut dengan uji laju penetrasi konstan (constant-
rate-penetration). Pada pengujian jenis ini, beban tiang secara terus menerus dit-
ingkatkan agar menjaga laju penetrasi tetap konstan yang berkisar pada rentang 0.25-
2.5 mm/menit. Pengujian ini memberi plot beban-penurunan yang sama seperti pada
uji kontrol beban. Model uji pembebanan tiang yang lain meliputi pembebanan sik-
lik (cyclic loading), dimana peningkatan beban secara berulang-ulang dipakaikan dan
dihilangkan.
6. Contoh Soal VIII–9
6. Contoh Soal
6.1 Soal 1
Sebuah tiang beton pracetak dengan ukuran (0.305 × 0.305) m dipancangkan dengan
palu Vulcan (Model No. 08). Berikut ini diketahui:
Penyelesaian
Jadi
(0.8)(35.3)(100) 35.6 + (0.45)2(47.07)
Qu =
0.508 + 0.254 35.6 + 47.07
= (3706)(0.546) ≈ 2024 kN
Qu 2024
Qall = = = 404.8 kN ≈ 405 kN
FS 5
7. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[3] Meyerhof, G.G.: Bearing capacity and settlement of pile foundations, Journal of
the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 102, No. GT3, pp. 197-228,
1976.
Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.
[4] Tomlinson, M.J.: Pile Design and Construction Practice, A Viewpoint Publica-
tion, Cement and Concrete Association, 1977.
Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-
Graw-Hill, New York, 1973.
[5] Vesic, A.S.: Experiment with instrumented pile groups in sand, American Society
for Testing and Materials; Special Technical Publication, No. 444, pp. 177-222,
1969.
[6] Vesic, A.S.: Design of Pile Foundations, National Cooperative Highway Research
Program Synthesis of Practice No. 42, Transportation Research Board, Washing-
ton, D.C., 1977.
Modul IX
Daftar Isi
1 Pengantar IX–1
1. Pengantar
Disamping adanya pembebanan vertikal, pondasi tiang juga harus dipertimbangkan
terhadap pembebanan lateral, terutama apabila beban-beban lateral cukup signifikan
akan dialami oleh pondasi selama umur bangunan. Beban-beban lateral dapat berasal
dari beban angin atau terutama akibat beban gempa. Tahanan tarik tiang adalah
tahanan yang dikembangkan oleh tiang pada kondisi-kondisi terdapat gaya apung (up-
lift).
3. Mahasiswa mampu menghitung besarnya tahanan tarik yang bekerja pada tiang.
Gambar 1. (a) Tiang dibebani lateral; (b) tahanan tanah pada tiang akibat beban lateral;
(c) aturan tanda untuk perpindahan, kemiringan, momen, geser, dan reaksi
tanah
Merujuk pada model sederhana dari Winkler, suatu medium elastik (dalam hal ini
tanah) dapat digantikan oleh sederetan pegas elastik tak terhingga banyaknya yang
tidak saling bersentuhan. Dengan asumsi ini, dapat ditulis bahwa
p (kN/m)
k= (1)
x (m)
dimana k = modulus reaksi tanah (subgrade reaction)
p = tekanan tanah
x = lendutan (deflection)
Modulus reaksi tanah untuk tanah granular pada kedalaman z dapat dinyatakan
sebagai
kz = nh z (2)
Dengan mengacu pada Gambar 1(b) dan menggunakan teori balok di atas pondasi
elastik (beams on an elastic foundation) dapat ditulis bahwa
d4 x
Ep Ip = p (3)
dz 4
4. Tiang Vertikal Dibebani Lateral IX–3
p = −kx (4)
Tanda pada persamaan ini adalah negatif karena reaksi tanah adalah berlawanan den-
gan arah lendutan tiang.
Dengan mengombinasikan Pers. (1) dan (2)
d4 x
Ep Ip+ kx = 0 (5)
dz 4
Penyelesaian untuk persamaan ini dinyatakan sebagai berikut:
Lendutan tiang pada kedalaman tertentu [xz (z)]:
Qg T 3 Mg T 2
xz (z) = Ax + Bx (6)
Ep Ip Ep Ip
Kemiringan tiang pada kedalaman tertentu [θz (z)]:
Qg T 2 Mg T
θz (z) = Aθ + Bθ (7)
Ep Ip Ep Ip
Momen tiang pada kedalaman tertentu [Mz (z)]:
Mz (z) = Am Qg T + Bm Mg (8)
Aturan tanda positif untuk xz (z), θz (z), Mz (z), Vz (z), pz (z) di dalam Tabel 1 men-
gacu pada Gambar 1(c). Pada Gambar 2 diperlihatkan juga variasi Ax , Bx , Am , Bm
untuk berbagai nilai L/T = Zmax . Gambar-gambar ini memperlihatkan bahwa apabila
L/T lebih besar dari sekitar 5, koefisien tidak lagi berubah. Hal ini benar hanya bagi
tiang panjang.
Mz (z) = Am Qg R + Bm
Mg (14)
4.2. Tanah kohesif IX–6
L
Zmax = (17)
R
Untuk menggunakan Pers. (12) dan (13), haruslah diketahui panjang karakter-
istik R terlebih dahulu. Ini dapat dihitung dari Pers. (14) dimana koefisien reaksi
tanah telah diketahui. Untuk pasir, koefisien reaksi tanah telah diberikan pada Pers.
(2) yang adalah linier dengan kedalaman. Namun, untuk tanah kohesif koefisien ini
4. Tiang Vertikal Dibebani Lateral IX–7
diasumsikan kira-kira konstan dengan kedalaman. Vesic (1961) telah mengajukan per-
samaan berikut untuk menghitung k.
Es D 4 Es
k = 0.65 12 (18)
Ep Ip 1 − μ2s
Modulus Young lempung, Es dapat diperoleh dari uji konsolidasi tanah di laboratorium
sebagai,
3(1 − μs )
Es = (19)
mv
dimana mv = koefisien kompressibilitas volume,
Δe
mv = (20)
Δp(1 + eav )
Nilai μs dapat diasumsikan bervariasi diantara 0.3-0.4.
Penyelesaian
Qg T 3
xz (z) = Ax
Ep Ip
IX–8
Sehingga
xz (z)Ep Ip
Qg =
Ax T 3
Diketahui xz (z = 0) = 8 mm = 0.008 m. Pada z = 0, Ax = 2.435 (lihat Tabel 2.13).
Jadi
(0.008)(207 × 106 )(123 × 10−6 )
Qg = = 53.59 kN
(2.435)(1.163)
Mz (z) = Am Qg T
Berdasarkan Tabel 1, nilai maksimum untuk Am pada setiap kedalaman adalah 0.772.
Maka momen ijin maksimum yang dapat dipikul tiang menjadi
Ip
Mz(max ) = σall
d1
2
Ambillah σall = 125000 kN/m2 . Dari Tabel 1 Modul IV, Ip = 123 × 10−6 m4 dan
d1 = 0.254 m. Sehingga,
Ip 123 × 10−6
= = 968.5 × 10−6 m3
d1 0.254
2 2
Dengan demikian
Nilai Qg = 135.2 kN lebih besar dari 53.59 kN. Maka akan digunakan kriteria lendutan,
sehingga Qg = 53.59 kN.
Ini hanyalah pendekatan pertama. Keabsahan asumsi nh = 12000 kN/m3 bisa
diperiksa kembali dengan menggunakan Qg = 53.59 kN.
Tahanan batas kotor tiang yang menderita gaya angkat dapat ditulis sebagai (lihat
Gambar 4)
Kapasitas angkat batas bersih tiang yang tertanam pada lempung jenuh telah
dipelajari oleh Das dan Seeley (1982). Merujuk pada studi mereka,
dan
dan
Apabila tiang tertanam pada tanah granular (c = 0), kapasitas angkat batas bersih
dapat dinyatakan sebagai (Das dan Seeley, 1975)
L
Tun = (fu p) dz (27)
0
Gesekan kulit satuan selama uplift biasanya bervariasi seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 5(a). Meningkat secara linier hingga mencapai kedalaman z = Lcr ;
selebihnya akan menjadi konstan. Untuk z ≤ Lcr
1. Menentukan kerapatan relatif tanah dan gunakan Gambar 5(c) untuk memper-
oleh nilai Lcr .
Gambar 5. (a) Sifat variasi fu ; (b) koefisien uplift Ku ; (c) variasi δ/φ dan (L/D)cr dengan
kepadatan relatif pasir
IX–12
Pada tanah kering, persamaan di atas berubah menjadi bentuk sederhana berikut
ini
Untuk menghitung kapasitas uplift ijin bersih, gunakanlah faktor keamanan sebesar
2-3. Maka
Tug
Tu(all) = (33)
FS
dimana Tu(all) = kapasitas uplift ijin
Contoh Soal 2
Untuk tiang pipa seperti diberikan pada Contoh Soal 4 Modul 4, tentukanlah kapsitas
uplift batas bersih.
Penyelesaian
Akan digunakan Pers. (22) untuk soal ini. Oleh karena lapisan bagian atas dan bawah
adalah lempung dengan cu > 27 kN/m2 , nilai α untuk kedua lapisan adalah 0.2. Maka
Contoh Soal 3
Dengan mengacu pada Contoh Soal 1 pada Modul 4. Untuk tiang beton, tentukanlah
kapasitas tarik batas bersih. Asumsikan kerapatan relatif tanah adalah 60%.
Penyelesaian
Dari Gambar 5(c), untuk kerapatan relatif 60%, (L/D)cr ≈ 12.7. Jadi
Dari Gambar 5(b), untuk φ = 35◦ , Ku = 1.9. Dengan cara yang sama, dari Gambar
5(c), untuk kerapatan relatif 60%, (δ/φ) ≈ 0.97. Jadi, δ = (0.97)(35) = 33.95◦. Dengan
mensubtitusikan nilai-nilai ini ke persamaan di atas diperoleh
Disusun oleh:
Pintor T. Simatupang
1. Pendahuluan
Secara tradisional, perencanaan pondasi tiang mencakup daya dukung baik sebagai
end bearing pile maupun friction pile dan penurunan (settlement). Namun dalam
kondisi tertentu, disamping standard perencanaan tiang yang harus dituruti,
terdapat hal-hal lain yang juga harus dipertimbangkan. Jika tiang disorongkan ke
dalam tanah hingga mencapai stratum yang kuat, namun diatasnya terdapat lapisan
tanah yang lunak, maka perhitungan daya dukung ujung tiang (end bearing) harus
dikoreksi karena adanya gaya seret (dragload) yang timbul akibat memampatnya
tanah lunak tadi. Fenomena ini biasanya dikenal dengan negative skin friction. Hal-
hal khusus semacam ini harus dipertimbangkan dalam tingkat desain, karena hal ini
bisa jadi memicu kegagalan konstruksi. Hal-hal lain berkenaan dengan metoda
pelaksanaan konstruksi juga harus dipertimbangkan, jika tiang akan dimasukkan ke
dalam tanah lunak, yaitu tanah yang umumnya dikenal memiliki daya dukung yang
rendah dan sifat kompressibilitas yang tinggi.
Besarnya negative skin friction ini dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:
Fnegative = π D (K σ’o tan φe) Le
dimana,
K = koefisien tekanan lateral tanah
φe = sudut geser dalam efektif
2
σ′o = tekanan efektif tanah
Le = tebal efektif lapisan tanah yang mengalami konsolidasi
Prakash dan Sharma (1990) mengusulkan tebal efektif lapisan tanah yang
mengalami konsolidasi tersebut dengan menggunakan persamaan:
Le = 0.75 Lc
dimana,
Lc = tebal total dari lapisan tanah yang mengalami konsolidasi
Nilai unit skin friction untuk tiang coated dan uncoated dpat dilihat pada Tabel 1.
Umumnya sudut geser dalam dari lanau lempungan berpasir adalah 10°. Untuk Ks/Ko
= 1.5 dan Ks/Ko = 0.7 unit skin friction diberikan dengan persamaan berikut:
fS = 0.15 σ′o
Fill material
Soft soil,
Consolidating soil
Bearing soil
3
Analisis NSF berdasarkan kondisi undrained strength adalah analisis NSF yang
berdasarkan kondisi insitu dimana excess pore water pressure dari timbunan belum
terdisipasi. Analisis ini digunakan untuk kondisi short term yang berkenaan dengan
besarnya gaya yang akan dipikul oleh tiang pada saat proses driving selesai.
Besarnya NSF pada kondisi undrained bisa dihitung dengan menggunakan formula
seperti berikut:
x = Lf + Lc + Lb
Pfriction = ∑
x = Lf + Lc
τΨ area selimut
(Qf ) negatif = ∫τ × π × R × Δ z
z =0
z = Lf + Le
= ∫σ
z =0
0 × N0 ×π × R × Δ z
dimana,
σ′o = Effective vertical stress at depth z
f = pile diameter
Le = panjang effective dari lapisan yang terkonsolidasi yang
menimbulkan negative skin friction. Lc = 0.75 Le
(Prakash dan Sarma, 1990)
No = Non dimensional factor.
Besarnya nilai No ditujukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Non-dimensional factor untuk kondisi drained
4
Soil Type No
a. Uncoated Pile
- Sand 0.35 – 0.50
- Silt 0.25 – 0.35
- Clay 0.20 – 0.25
b. Coated Pile with Bitumen SL pile : τ = 0.2 ton/m2
σ ultimate
σ ijin = − NSF
2,5
Dari kedua persamaan untuk memperoleh kapasitas ijin tiang dipilih mana yang
hasilnya paling kecil itu yang digunakan sebagai kapasitas ijin tiang pancang.
5
Gambar 3 Definisi dan diagram neutral plane (Fellenius, 1984)
Gambar 4 memberikan illustrasi bagaimana lokasi dari neutral plane untuk tiang
pada Gambar 3 berubah dengan berubahnya beban yang diberikan pada kepala
tiang, dan dengan demikian juga berubahnya dragload. Jika diasumsikan
settlement tanah di sekitar tiang seperti yang diperlihatkan pada bagian kanan dari
Gambar 4 untuk kasus beban layan medium, dengan menggambarkan garis
horizontal dari neutral plane hingga berpotongan dengan kurva settlement, maka
settlement pada neutral plane dapat ditentukan. Settlement kepala tiang adalah
settlement ini ditambah dengan kompressi tiang akibat beban. Illustrasi pada
gambar ini dibuat untuk baik pada settlement yang kecil yang berkurang drastis
dengan kedalaman maupun untuk settlement besar. Jika settlement kecil, maka
perpindahan ujung tiang tidak cukup besar untuk memobilisasi seluruh tahanan
ujung. Dalam hal ini, neutral plane akan bergerak ke lokasi yang lebih tinggi
sebagaimana yang ditentukan oleh kondisi kesetimbangan tertentu.
6
MODUL XI
Disusun oleh:
Pintor T. Simatupang
Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure
BAB 1
PENDAHULUAN
Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki intensitas kejadian gempa yang
cukup tinggi (high seismicity area). Bahkan kejadian gempa yang memakan korban
jiwa hingga ratusan ribu orang baru saja terjadi di Banda Aceh pada tanggal 26
Desember yang lalu. Oleh karena itu perencanaan beban gempa pada struktur
bawah gedung adalah sangat penting dalam rangka mengurangi (mitigation) bahaya
gempa yang mungkin terjadi.
Pada umumnya gempa terjadi secara tiba-tiba dalam bentuk pelepasan energi akibat
adanya deformasi pada kulit bumi sebagai interaksi antar lempeng tektonik.
Lempeng-lempeng besar di dunia ditunjukkan pada Gambar 1-1, di bawah ini.
Bersamaan dengan terjadinya gempa, energi dirambatkan dari sumbernya dalam
bentuk gelombang seismik elastis. Lama terjadinya gempa (durasi), besarnya
(amplitude) dan frekuensi dari gelombang ini merupakan fungsi dari jenis dan
megnitude gempa, jaraknya dari epicenter dan jenis-jenis material geologis yang
dilewatinya. Struktur yang berada di daerah lintasan gelombang tersebut akan
mengalami guncangan yang dapat berakhir dengan kehancuran atau kerusakan
pada bangunan tersebut.
Gambar 1-6 Longsoran badan jalan kereta api pada gempa Niigata 2004
BAB 2
SEISMISITAS INDONESIA
2.1 Umum
Indonesia merupakan daerah dengan keatifan seismik yang besar karena dikelilingi
oleh empat lempeng tektonik terbesar di dunia, yaitu lempeng Eurasian, Australian,
Pacific dan Philipine. Dari kejadian-kejadian gempa yang telah dikumpulkan selama
ini menunjukkan bahwa dari tahun 1897 hingga tahun 2000 terdapat kejadian gempa
dengan magnitude gempa Ms > 5.0 sebanyak kira-kira 8237 kejadian dan 5 % diantaranya
terjadi di Pulau Jawa (Irsyam et al., 1999). Lokasi epicenter untuk kejadian gempa ini
ditunjukkan pada Gambar 2-1.
Sumber zona kegempaan di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yaitu zona
subduction, zona strike slip dan zona diffuse seismik, seperti ditunjukkan pada Gambar 2-2.
Pada kenyataannya semua segmen merupakan zona aktif, namun hanya sedikit yang pernah
mengalami gempa besar (Mw > 8.5) selama dua abad terakhir ini.
SUBDUCTION
SLIP
Gambar 2-3 1: Strike-slip fault (BF= Batee fault); 2: Spreading Center; 3: Subduction
Trench; 4: Axis of Outer Ridge; 5: Axis of Fore-Arc Basin; 6: Direction of Relative
Motion; 7: Active Volcano (from Huchon and Pichon, 1984)
a. Segmen Sumatra
Segmen Sumatera dari zona subduksi Sunda Arc ke utara mencapai Laut Andaman. Kerak
laut subduksi ini relatif muda sekitar 46 juta tahun, dibandingkan dengan 150 juta tahun
sunduksi sepanjang Segmen Jawa. Seismisitas yang berkaitan dengan zona ini meluas dari
seismik dekat trench ke kedalaman sekitar 250 km dan dibawah pada kedalaman 100 km,
dip lempeng bawah adalah kira-kira 30o dan 40o.
Sejumlah gempa-gempa besar (Ms > 7) dan sangat besar (Ms > 7.75) telah dilaporkan oleh
Newcomb dan McCann sepanjang plat Sumatera. Gambar 2-4 menunjukkan tingkat inferred
dari sejarah gempa antar lempeng sepanjang Segmen Sumatera. Gempa yang sangat
signifikan adalah gempa tahun 1833 dengan Mw = 8.8, dan ahun 1861 dengan Mw = 8.5.
Kelompok moderat (6<Mw<7) dan besar juga dilaporkan terjadi pada bagian ini.
b. Selat Sunda
Selat Sunda berlokasi dalam zona transisi antara Segmen Sumatera dan Segmen Jawa dari
Sunda Arc dan ini merupakan salah satu daerah yang paling aktif di Indonesia dari segi
volkanis, seismisitas dan gerak vertikal (vertical motion), seperti diperlihatkan pada Gambar
2-5. Perpanjangan Selat Sunda telah terbentuk secara struktural merupakan inti volkanis
Krakatau. Meletusnya gunung api Krakatau tahun 1883 tepat berada di tengah-tengah selat.
Gambar 2-5. Bathymetric map around Sunda Strait, and selected geologic-
geophysical features. K: Krakatau Volcano; 1: Strike-slip faults; 2: Normal faults
(inferred from bathymetry); 3: Subduction trench; 4: Crustal Earthquake Epicenters
(from Hayes and Taylor, 1978); 5: Hypothetical trench axis in absence of extension; 6:
Same for Axis of Outer Ridge; 7: Fore Arc Area (from Huchon and Pichon, 1984)
c. Segmen Jawa
Segmen Jawa dari Sunda Arc menjangkau dari Selat Sunda di Barat hingga ke sekitar
Selat Bali di Timur dan secara relatif merupakan kerak laut tua (150 juta tahun). Ini
konvergen dalam arah normal dengan busur dengan laju sekitar 6,0 cm/tahun di
trench Barat Jawa dan 4,9 cm/tahun di trench Timur Jawa. Zona seismic Benioff
sepanjang Segmen Jawa memiliki dip sekitar 50o dan menjangkau kedalaman sekitar
600 km dan gap dalam seismisitas terjadi di dalam segmen ini antara kedalaman 300
dan 500 km.
Tiga gempa besar dan sangat besar dilaporkan telah terjadi (Newcomb and McCann,
1987). Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2-6, tiga kejadian gempa ini terjadi
pada tahun 1840, 1867 dan 1875. Beberapa gempa besar juga telah dicatat sejak tahun
1903. Pencacatan seismisitas di sepanjang Segmen Jawa menunjukkan bahwa dalam
periode sekitar 300 tahun, tidak terjadi gempa besar antar lempeng seperti yang
terjadi pada Segmen Sumatera tahun 1833 dan 1861.
Sumber
Irsyam, M., “Development of earthquake microzonation and site specific response
spectra to obtain more accurate seismic base shear coefficient” Final Report, ITB,
2001.
BAB 3
ANALISIS RESIKO GEMPA
3.1 Umum
Analisis resiko gempa (seismic hazard analysis) merupakan istilah yang berkaitan
dengan proses perencanaan parameter ground motion dalam analisis seismik.
Parameter ground motion ini biasanya menyangkut penentuan percepatan dan
respon spektra di batuan dasar dalam periode ulang tertentu. Secara umum untuk
mendapatkan parameter ini meliputi beberapa langkah berikut:
Identifikasi sumber-sumber gempa meliputi jenis fault dan lokasinya. Untuk itu
dibutuhkan data-data geologi, seismologi dan geofisika. Sumber-sumber gempa
yang diakomodasi adalah sumber-sumber gempa yang dianggap berpotensi
menghasilkan gerakan tanah yang cukup signifikan pada struktur yang ditinjau.
Sumber-sumber gempa Indonesia yang meliputi daerah 90o E sampai 125o E longitude
dan 10o S to 10o N latitude ditunjukkan pada Gambar 3-1. Magnitude terendah adalah M=5
dan kedalaman maksimum adalah 200 km. Data-data kegempaan ini berasal dari kejadian
gempa sejak 14 Desember 1901 hingga 30 Desember 2000.
Intensitas gerakan tanah pada suatu lokasi umumnya dapat ditinjau berdasarkan
evaluasi berikut:
14
Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure
16
Gambar 3-2 Sumber kegempaan untuk mengembangkan peta gempa Indonesia (Firmansjah dan Irsyam, 1999)
Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure
Tabel 3-1 Classification of seismic zones used in the development of seismic hazard map of Indonesia
(Firmansjah, J. & Irsyam, M., 1999)
18
Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure
ils
ck
So
Peak Horizontal Acceleration at Ground Surface(g)
Ro
iff
St
0.6
S oils
based on Calculations ss
for Soft Soils io nle
0.5 es
Coh
ep
1989 Loma Prieta De
- Soft Soil
0.4
ils
t So
Sof
0.3
0.2
0.1
1985 Mexico - Soft Soils
Gambar 3-4 Hubungan antara percepatan batuan dan percepatan permukaan (After Idriss,
1990)
Pada Gambar 3-5 terlihat perbandingan antara nilai-nilai percepatan yang dicatat pada
batuan dan percepatan di puncak dam. Gambar ini menunjukkan besarnya pengaruh
amplifikasi pada struktur tanah.
Kondisi tanah lokal juga akan mempengaruhi kandungan frekuensi pada gerakan tanah
permukaan dan dengan demikian juga respon spektra yang dihasilkannya. Gambar 3-6
menunjukkan bagaimana pengaruh kondisi tanah setempat pada bentuk spektra. Ternyata
bahwa pada periode di atas 0,5 detik, amplifikasi spektral adalah jauh lebih besar pada tanah
daripada batuan. Pada periode yang lebih panjang amplifikasi spektral meningkat dengan
berkurangnya kekakuan tanah. Gambar ini dengan jelas menunjukkan bahwa kedalaman
dan lunaknya lapisan tanah akan menghasilkan gerakan tanah dengan periode yang panjang
(rendah frekuensi). Efek ini dapat menjadi sangat penting apabila struktur yang diletakkan
pada lapisan tanah itu memiliki periode alami yang panjang.
Gambar 3-6 Average normalized response spectra (5 % damping) for different local
site conditions (After Seed et al., 1976)
Disamping itu Borcherdt (1994) juga telah mempelajari pengaruh kondisi tanah lokal
berdasarkan data-data dari gempa Loma Prieta. Hasil penelitiannya memberikan
hubungan faktor amplifikasi terhadap kondisi tanah lokal ditunjukkan pada Tabel 3-
2. Klasifikasi tanah yang digunakan dalam tabel ini konsisiten dengan Uniform
Building Code (UBC) 1997. Tipe tanah SC-1a, SC-1b, SC-II, SC-III dan SC-IV adalah
sesuai dengan tipe tanah SA, SB, SC, SD dan SE (Tabel 3-3).
Tabel 3-2 Short period amplification factors with respect to ground conditions SC-1a Firm to
Hard Rocks (After Borcherdt, 1994)
Site Classes –shear wave velocity (m/s)
Ground SC-1a SC-1b SC-II SC-III SC-IV
Motion (g) 1620 1050 540 290 150
0.1 0.9 1.0 1.3 1.6 2.0
0.2 0.9 1.0 1.2 1.4 1.6
0.3 1.0 1.0 1.1 1.1 1.2
0.4 1.0 1.0 1.0 0.9 0.9
Average 1.0 1.0 1.2 1.3 1.4
Sebagai contoh ambillah besarnya percepatan di batuan dasar sebesar 0.20 yang
diperoleh dari Peta Gempa Indonesia dengan kondisi tanah lokal merupakan klas D.
Maka dari Tabel 3-4 dan Tabel 3-5 diperoleh:
Dari data-data tersebut dapat dibuat respon spektra rencana di permukaan tanah
sebagai berikut:
0.8
0.7 0.7
Spektra Percepatan (g)
0.6
0.5
0.4
0.3
0.28
0.2
0.1
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Perioda T (detik)
BAB 4
LIQUEFACTION
4.1 Umum
Masalah liquefaction mulai dibicarakan secara serius setelah terjadinya gempa
Niigata tahun 1964. Pada kejadian gempa ini mulai dikenali akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh liquefaction, seperti banyaknya gedung-gedung yang mengalami
keruntuhan. Liquefaction pada tanah atau secara signifikan adalah hilangnya
kekuatan dan kekakuan tanah akibat meningkatnya tegangan air pori selama
berlangsungnya guncangan gempa.
Akhir-akhir ini telah dipercaya bahwa banyaknya keruntuhan pondasi pada gedung-
gedung dipicu oleh terjadinya liquefaction. Meskipun pondasi dari gedung-gedung
tersebut adalah pondasi tiang yang cukup dalam dan terletak pada tanah keras.
Apabila di atas lapisan dukung pondasi terdapat cukup tebal lapisan pasir yang
mengalami liquefaction selama terjadinya gempa, maka pondasi tiang tersebut akan
mengalami gangguan atau mengalami patah di tengah atau tergulingnya gedung
karena kepala tiang umumnya dihubungkan secara daktail, seperti ditunjukkan pada
Gambar 4-1.
The level of excess pore pressure required to initiate liquefaction is related to the
amplitude and duration of earthquake. The cyclic stress approach based on the
assumption that excess pore pressure generation fundamentally related to the cyclic
shear stresses, hence seismic loading is expressed in terms of cyclic shear stresses.
The loading can be predicted in two ways: a) a detailed ground response analysis
and b) simplified approach from Seed et al. (1975).
τ hv ,c
CSR = (1)
σ o′
where,
τ hc ,v = cyclic shear stress acting on a horizontal plane
σ o′ = initial (pre-earthquake) effective vertical stress
Fig. 4-2 Relationship between Cyclic Stress Ratio (CSR) causing liquefaction
and (N1)60-values for M = 7.5 (Seed et al., 1975)
ER
N 60 = N × (2)
60%
Table 4-2 Summary of energy ratio (ER) for some common SPT procedures
(Seed et al., 1984)
( N1 )60 = N 60 × CN (3)
The final penetration resistances are plotted in Fig. 4-2 to develop relationship with
cyclic stress ratio causing liquefaction (CSRl) for fines contents of ≤ 5%, 15%, and ≥
35%. However, it is should be noted that this relationship is only for earthquake
magnitude of M=7.5. For earthquake magnitude other than M=7.5, the value CSRl
determined from Fig. 4-2 can be corrected to develop an estimate of the CSRl
necessary to cause liquefaction as
CM =
Fig. 4-5 Rate of pore water pressure build up in cyclic simple shear test
(DeAlba et al., 1976)
The value of Ne can be determined from Fig. 4-1, and the value of Nl can be obtained
from Fig. 4-4 by following procedures: (Seed et al., 1983)
1. Determined the average cyclic stress ratio induced by the earthquake and the
factor of safety against liquefaction.
2. Determine the number of effective stress cycles (at 0.65 τmax) induced by the
earthquake, Ne.
3. Plot the induced effects (induced stress ratio expressed as the ordinate of the
curve shown in Fig. 4-4 divided by the factor of safety) vs. the number of
cycles as a point on Fig. 4-4.
4. For the ordinate of the point determined in step 3, read from the curve the
number of cycles required to cause liquefaction, Nl.
(5)
Eq. (5) has been solved by Seed & Booker (1977). It has been shown that the pore
water pressure ratio, ru is a function of the following parameters,
kh ⎛ td ⎞
Tad = ⎜ ⎟ (6)
γ w ⎝ mv 3 Rd2 ⎠
Fig. 4-6 Gravel drain: (a) lay out (b) cross section S-S (Das, 1993)
Pore water pressure ratio ug reflects an effort of gravel drains to make the pore water
pressure ratio maximum induced during earthquake. It is noted that the ratio ug
should be less than one after installation of gravel drain.
Based on the Fig. 4-7 then the relationship between rg and ratio of Rd/Re can be used
to design gravel drain properly.
Fig. 4-7(a) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 1 (Seed & Booker, 1977)
The installation of gravel drain is intended for dissipation pore water pressure from
sand layer to gravel column. However, the most important effect of gravel drain
installation is reduction of cyclic shear stress during earthquake. In case of the
installation of gravel drain and driven piles, the reduction factor for cyclic shear
stress is defined by the ratio of shear stress in the loose sand layer (Wismann et al,
1999) as
1
η= (7)
(1 − R a + R aR s )
where,
Ra = ratio of drain column and piles to the total cross section area
Rs = the stiffness ratio between gravel and sand
Fig. 4-7(b) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 2 (Seed & Booker, 1977)
Fig. 4-7(c) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 3 (Seed & Booker, 1977)
Fig. 4-7(d) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 4 (Seed & Booker, 1977)
The cyclic stress ratio developed in the earthquake shaking after installation of gravel
drains and piles to be,
Pore water pressure dissipation after installation of drain can be assumed by that of
one dimensional consolidation analysis proposed by Terzaghi. However, Terzaghi”s
consolidation analysis is actually used for vertical drainage. Therefore, the
application of gravel drain in the radial drainage needs to be changed .
Analogously to vertical flow equation, the consolidation time for radial flow is
defined as
Th d e
t= (9)
ch
where,
t = time for consolidation
de = the equivalent influence spacing between drain column
Th = the time factor for horizontal drainage
ch = the horizontal coefficient of consolidation for horizontal drainage as mobilized
by vertical compression.
The values of de and Th can be seen in Fig. 4-8. The factor ch is a function of
permeability and compressibility coefficients which can be taken as
k
ch = (10)
γ w mv
Fig. 4-8 Theoretical results for radial drainage (Koerner, R.M., 1984)
Cyclic shear stress ratio induced by earthquake is defined by (CSR)eq for earthquake
magnitude M = 6.9 with duration of shaking about 20 seconds as shown in Table 4-3
(Seed et al., 1976). Number of cycles equivalent for this earthquake is 12 cycles based
on 0.65 of maximum shear stress. Table 4-4 shows a brief calculation to evaluate the
liquefaction potential in the main building area.
From the above table, it can be seen that the sandy layer liquefies fully. Fl is factor of
safety against liquefaction. Fig. 4-9 shows also the liquefiable layer.
Since the sandy layer liquefies completely, to avoid this hazard then an installation of
gravel drain is necessary.
After installation of gravel drains and driven piles, it is supposed that reduction of
cyclic shear stress is exist. Number of piles are designed approximately 1200 piles
with 0.6 m diameter. Gravel drains column are approximately 1100 columns with 0.6
m diameter. The area of main building approximately 8000 m2. The ratio of drain
columns and piles to total cross area of main building, Ra = 0.081. The stiffness ratio
between gravel and sand, Rs is suggested by Wismann et al. (1999) in the range of 8-
35. Since the absence of data about gravel will be used, it is realistic to apply a value
for Rs to be 8 as a minimum value. The calculation of cyclic stress ratio after
installation of gravel column and piles is given in Table 4-5.
Table 4-5 Evaluation the effect of installation gravel drains and piles
Number of cycles required to cause liquefaction (Nl) in the above table can be
obtained from Fig. 4-10. Cyclic stress ratio, (CSR)eq is cyclic stress ratio induced by
earthquake with magnitude M=7.5, where number of equivalent cycles is 15.
Fig. 4-10 Relationship between shear stress level and the number of cycles
required to cause liquefaction (Tokimatsu and Seed, 1987)
From the above table, it is noted that the ratio of number of cycles equivalent
induced by earthquake (12) and number of cycles equivalent against liquefaction,
Ne/Nl varies from 0.12 to 1.5. However, the lower sand layer about 2.5 m does not
have any significant effect to liquefaction. Therefore, it is reliable if the ratio of Ne/Nl
is taken as 1.
The permeability is predicted from grain size analysis where D20 = 0.14 mm. Based
on typical permeability value given by Handbook on Liquefaction remediation of
Reclaimed Land (Port and Harbour Research Institute, Japan), permeability kh = 3.8
x 10-5 m/s.
Coefficient of volume compressibility, mv3 = 2.0 x 10-5 m2/kN. This value is taken
from Handbook on Liquefaction remediation of Reclaimed Land (Port and Harbour
Research Institute, Japan).
From previous calculation the ratio Ne/Nl = 1 and the ratio Rd/Re = 0.12. From curve
in Fig. 7(a) for Ne/Nl = 1 and Rd/Re = 0.12, the expected of pore water pressure
maximum is approximately less than ru = 0.45. It means that the generated pore
water pressure during earthquake is limited until 45 % of effective stress only.
Time consumption to dissipate pore water pressure from sand layer during
earthquake shaking can be obtained from Eq. (9) for 90 percent consolidation. By
using permeability value and coefficient of volume compressibility for sand layer,
the horizontal coefficient consolidation to be
ch = 0.19
With de = 1.053 x 2.5 m = 2.6 m and dw = 0.3 m, it is obtained n = 9. From Fig. 4-8 for
Uz = 90% obtained Th = 0.4.
And finally,
t90 = 14.6 s
It can be concluded that the pore water pressure should be dissipated to drain
column completely during earthquake shaking. Thus, by application the gravel drain
the liquefaction can be prevented.
Daftar Pustaka
1. Borcherdt, R.D., Estimates of site dependent response spectra for design (methodology
and justification), Earthquake Spectra, Vol. 10, No.4, 1994.
2. Das, B.M., (1993), Principles of Soil Dynamics, Elsevier.
3. DeAlba, P., Seed, H.B., Chan, C.K., (1976), Sand liquefaction in large-scale simple
shear tests, JGED, ASCE, 102, GT9.
4. Firmansjah, J. dan Irsyam, M., Development of seismic hazard map for Indonesia,
Konferensi Nasional Rekayasa Kegempaan di Indonesia, ITB, 1999.
5. Handbook on liquefaction remediation of reclaimed land, (1996), Port and Harbour
Research Institute.
6. Irsyam, M., Development of earthquake microzonation and site specific response
spectra to obtain more accurate seismic base shear coefficient, Final Report, ITB, 2001.
7. Koerner, M.K., (1985), Construction and Geotechnical Methods in Foundation
Engineering, McGraw-Hill.
8. Kramer, S.L., (1996), Geotechnical Earthquake Engineering, Prentice Hall.
9. Seed, H.B., Idriss, I.M., Makdisi, F., and Banerje, N., (1975), Representation of
irregular stress time histories by equivalent uniform stress series in liquefaction
analyses, EERC 75-29, University of California, Berkeley.
10. Seed, H.B., Martin, P.P., and Lysmer, J., (1976), Pore-water pressure changes during
soil liquefaction, JGED, ASCE, 102, GT4.
11. Seed, H.B., Tokimatsu, K., Harder, L.F., and Chung, R., (1985), Influence of SPT
procedures in soil liquefaction resistance evaluation, JGED, ASCE, 111, No.12.
12. Seed, H.B. and Booker, J., (1977), Stabilization of potentially liquefiable sand deposits
using gravel drains, JGED, ASCE, 103, GT7.
13. Seed, H.B. and Idriss, I.M., (1982), Ground motions and soil liquefaction during
earthquakes, EERI, Berkeley, California.
14. Seed, R.B. and Harder, L.F., (1990), SPT-based analysis of cyclic pore pressure
generation and undrained residual strength, in J.M. Duncan ed., Proceedings, H.
Bolton Seed Memorial Symposium, University of California, Berkeley, Vol.2.
15. Standar Nasional Indonesia , SNI-1726, 2003.
16. Tokimatsu, K. and Seed, H.B., (1987), Evaluation of settlements in sands due to
earthquake shaking, JGED, ASCE, 113, No.8.
17. Wissman, Lawton, and Farrel, (1999), Geopier Design.