Anda di halaman 1dari 221

MODUL KULIAH : REKAYASA PONDASI II

SKS : 2

Oleh:
Dr. Ir. Pintor Tua Simatupang, MT.
Mata Kuliah : Rekayasa Pondasi II

Modul I : Jenis Turap dan Turap Cantilever

Modul II : Turap Berjangkar

Modul III : Jangkar

Modul IV : Jenis dan Metode Instalasi


pada Pondasi Tiang

Modul V : Daya Dukung Tiang Tunggal

Modul VI : Daya Dukung Kelompok Tiang

Modul VII : Penurunan Pondasi Tiang

Modul VIII : Analisa Dinamis


Uji Beban Pondasi Tiang

Modul IX : Pembebanan Lateral dan


Tahanan Tarik Tiang

Modul X : Tiang di Tanah Lunak

Modul XI : Pembebanan Gempa pada Pondasi Tiang


Modul I

Jenis Turap dan Turap Cantilever


DAFTAR ISI i

Daftar Isi
1 Pengantar I–1

2 Tujuan Instruksional Umum I–1

3 Tujuan Instruksional Khusus I–1

4 Jenis dan Fungsi Turap I–1


4.1 Turap Kayu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . I–2
4.2 Turap Beton dan Baja . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . I–2
4.3 Jenis dan Metode Konstruksi Turap . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . I–4

5 Turap Cantilever I–8


5.1 Turap Cantilever pada Pasir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . I–9
5.1.1 Prosedur Menentukan Diagram Tekanan . . . . . . . . . . . . . I–12
5.1.2 Metode Lain . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . I–13
5.1.3 Menghitung Momen Lentur Maksimum . . . . . . . . . . . . . . I–13
5.1.4 Turap Kantilever Dengan Keadaan Khusus . . . . . . . . . . . . I–14
5.2 Turap Cantilever pada Lempung . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . I–16
5.2.1 Prosedur Menentukan Diagram Tekanan . . . . . . . . . . . . . I–18
5.2.2 Momen Lentur Maksimum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . I–18
5.2.3 Turap Kantilever Dengan Keadaan Khusus . . . . . . . . . . . . I–19

6 Contoh Soal I–21


6.1 Soal 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . I–21
6.2 Soal 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . I–24

7 Referensi I–26
4. Jenis dan Fungsi Turap I–1

Jenis Turap dan Turap Cantilever

1. Pengantar
Konstruksi turap adalah satu konstruksi yang banyak digunakan dalam rekayasa sipil,
yang bisa berupa konstruksi sederhana hingga konstruksi sangat berat. Modul ini
berisi uraian tentang jenis-jenis turap yang biasa digunakan dan perhitungan untuk
perencanaan turap dalam jenis cantilever. Turap cantilever merupakan jenis turap
yang paling sederhana dalam metode pelaksanaannya.

2. Tujuan Instruksional Umum


Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan mahasiswa mampu memahami fungsi tu-
rap dan dapat merencanakan turap cantilever.

3. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat memenuhi hal-hal berikut.

1. Mahasiswa mampu memberi pertimbangan dalam pemilihan jenis turap yang


akan digunakan, sesuai dengan fungsinya.

2. Mahasiswa mampu menentukan diagram tekanan tanah yang bekerja pada dind-
ing turap, baik untuk pasir maupun lempung.

3. Mahasiswa mampu menghitung panjang penanaman yang dibutuhkan dalam


perencanaan turap cantilever.

4. Jenis dan Fungsi Turap


Tiang-tiang turap (sheet piles) sering digunakan untuk membangun sebuah dinding
yang berfungsi sebagai penahan tanah, yang bisa berupa konstruksi berskala besar
maupun kecil. Sebagai contoh pada Gambar 1, terlihat konstruksi dinding turap (sheet
pile walls) yang mengarah ke pantai yang dapat berupa sebuah dermaga atau sebuah
fasilitas dok kapal. Dinding turap, oleh karena fungsinya sebagai penahan tanah, maka
konstruksi ini digolongkan juga sebagai jenis lain dari dinding penahan tanah (retain-
ing walls). Perbedaan mendasar antara dinding turap dan dinding penahan tanah
4.1. Turap Kayu I–2

terletak pada keuntungan penggunaan dinding turap pada kondisi tidak diperlukannya
pengeringan air (dewatering).
Terdapat beberapa jenis tiang turap yang biasa digunakan: (a) tiang turap kayu,
(b) tiang turap beton pracetak (precast concrete sheet piles), dan (c) tiang turap baja.

W a lin g P e n o p a n g

M u k a a ir

T ia n g tu ra p
T ia n g tu ra p

G a ris g a lia n

(a )
(b )

Gambar 1. Contoh dinding turap: (a) turap di air, (b) braced cut

4.1 Turap Kayu


Tiang turap kayu digunakan hanya untuk konstruksi ringan yang bersifat sementara
yang berada di atas permukaan air. Tiang turap yang biasa digunakan adalah papan
kayu atau beberapa papan yang digabung (wakefield piles). Papan kayu kira-kira
dengan ukuran penampang 50 mm x 300 mm dengan takik pada ujung-ujungnya seperti
terlihat pada Gambar 2(a). Tiang wakefield dibuat dengan memakukan tiga papan
secara bersama-sama dimana papan tengahnya dioffset sejauh 50 - 75 mm seperti pada
Gambar 2(b). Papan kayu juga bisa ditakik dalam bentuk takik lidah dalam Gambar
2(c). Atau pada Gambar 2(d) dengan menggunakan besi yang ditanamkan pada masih-
masing papan setelah tiang dimasukkan ke dalam tanah.

4.2 Turap Beton dan Baja


Tiang turap beton pracetak adalah untuk konstruksi berat yang dirancang dengan tu-
langan untuk menahan beban permanen setelah konstruksi dan juga untuk menangani
tegangan yang dihasilkan selama konstruksi. Penampang tiang-tiang ini adalah sekitar
4. Jenis dan Fungsi Turap I–3

500 - 800 mm lebar dan tebal 150 - 250 mm. Gambar 2(e) memperlihatkan diagram
skematik ketinggian dan penampang tiang turap beton bertulang.

T u ra p k a y u T u ra p b e to n c e ta k

1 5 0 -
(a ) P a p a n k a y u 2 5 0 m m
B e to n g ro u t P e n a m p a n g
5 0 0 -8 0 0 m m

(b ) G a b u n g a n p a p a n k a y u

T u la n g a n
(c ) P a p a n d ita k ik

E le v a s i
(d ) S p lin e d (e )

Gambar 2. Berbagai jenis turap kayu dan beton

Tiang turap baja di USA adalah sekitar 10 - 13 mm tebal. Penampang tiang turap
yang berasal dari Eropah bisa lebih tipis tetapi lebih lebar. Penampang tiang bisa
berbentuk Z, lengkung dalam (deep arch), lengkung rendah (low arch), atau sayap
lurus (straight web). Interlok pada tiang turap dibentuk seperti jempol − telunjuk
atau bola − keranjang untuk hubungan yang ketat untuk menahan air. Gambar 3(a)
memperlihatkan diagram skematik untuk hubungan interlok jempol − telunjuk untuk
penampang sayap lurus. Sedangkan tipe interlok bola − keranjang untuk penampang
Z diberikan pada Gambar 3(b).
Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan sifat-sifat penampang tiang turap baja yang
dihasilkan oleh U.S. Steel Corporation. Tegangan lentur rencana yang diijinkan untuk
tiang turap baja diberikan pada tabel di bawah ini:

Jenis baja Tegangan ijin (MN/m2 )


ASTM A-328 170 (≈ 25000 lb/in.2 )
ASTM A-572 210 (≈ 30000 lb/in.2 )
ASTM A-690 210 (≈ 30000 lb/in.2 )

Tiang turap baja sangat baik digunakan karena daya tahannya terhadap tegan-
gan yang tinggi selama penyorongan ke dalam tanah yang keras. Tiang ini juga re-
latif ringan dan dapat digunakan kembali (penggunaan yang berulang-ulang). Oleh
karena itu turap baja sering dipakai untuk pemakaian sementara. Turap sementara di-
pakai ketika dilakukan penggalian, misalnya dalam pembuatan gorong-gorong. Setelah
4.3. Jenis dan Metode Konstruksi Turap I–4

gorong-gorong berada pada kedudukan yang direncanakan, turap dicabut dan peng-
galian ditimbun kembali. Konstruksi sementara sering juga dipakai pada bendungan
elak (cofferdam). Bendungan elak ini dibangun untuk melaksanakan proses dewatering
selama konstruksi berlangsung.

Gambar 3. Hubungan tiang turap: (a) jenis jempol − telunjuk (b) jenis bola − keranjang

4.3 Jenis dan Metode Konstruksi Turap


Pada prinsipnya, perencanaan dinding turap dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: (a)
dinding cantilever (cantilver walls) dan (b) dinding berjangkar (anchored walls). Turap
dengan dinding cantilever, sebagaimana dinyatakan dalam namanya adalah tiang yang
ujungnya tertahan oleh tanah sehingga seolah-olah tergantung. Stabilitas turap jenis
ini sangat tergantung pada panjang penanaman tiang. Sedangkan turap berjangkar,
disamping ujungnya tertanam, di sekitar ujung lainnya dipasang jangkar yang akan
memberikan gaya tarik melawan kecenderungan tiang turap terdorong ke arah yang
berlawanan dengan tanah.
Dalam metode konstruksi tiang turap terdapat beberapa cara, yaitu pertama den-
gan meletakkannya di dalam tanah yang terlebih dahulu digali lalu kemudian diisi kem-
bali dengan tanah isian, dan yang kedua dengan memancangkannya ke dalam tanah,
kemudian tanah di depannya digali. Atau dalam hal konstruksi dermaga, tiang turap
dipancangkan dalam air hingga mencapai tanah, kemudian tanah isian diberikan di
belakangnya. Dalam banyak kasus tanah isian yang diletakkan di belakang dinding
turap biasanya adalah tanah granular. Sementara tanah di bawah garis penggalian
bisa tanah pasir atau lempung. Permukaan tanah pada sebelah dimana air berada
biasanya diacu sebagai garis galian (dredge line). Berdasarkan hal ini terdapat dua
macam metode konstruksi turap, yaitu (a) struktur urugan (backfilled structure) dan
(b) struktur galian (dredged structure). Langkah-langkah pelaksanaan struktur urugan
diperlihatkan pada Gambar 4 dan struktur galian pada Gambar 5.
4. Jenis dan Fungsi Turap I–5

Tabel 1. Sifat-sifat penampang tiang baja (dihasilkan oleh US Steel Corporation)


4.3. Jenis dan Metode Konstruksi Turap I–6

Tabel 2. Lanjutan
4. Jenis dan Fungsi Turap I–7

T u ra p
P e rm u k a a n
ta n a h a s li
G a lia n G a ris g a lia n

L a n g k a h 1 L a n g k a h 2
B a ta n g
ja n g k a r
T u ra p
T u ra p
U ru g a n U ru g a n

G a ris g a lia n G a ris g a lia n

L a n g k a h 3 L a n g k a h 4

Gambar 4. Langkah-langkah konstruksi untuk struktur urugan

B a ta n g
ja n g k a r

U ru g a n
P e rm u k a a n P e rm u k a a n
ta n a h a s li ta n a h a s li

L a n g k a h 1 L a n g k a h 2

U ru g a n U ru g a n
P e rm u k a a n D ig a li
ta n a h a s li

L a n g k a h 3 L a n g k a h 4

Gambar 5. Langkah-langkah konstruksi untuk struktur galian


I–8

5. Turap Cantilever
Dinding turap cantilever biasanya direkomendasikan untuk dinding dengan ketinggian
sedang, berkisar 6 m atau kurang di atas garis galian. Pada dinding ini, turap berpri-
laku seperti sebuah balok lebar cantilever di atas garis galian. Prinsip dasar untuk
menghitung distribusi tekanan tanah lateral tiang turap cantilever dapat dijelaskan
dengan bantuan Gambar 6, yang menunjukkan prilaku leleh dinding cantilever yang
tertanam pada lapisan pasir di bawah garis galian. Dinding berputar pada titik O. Oleh
karena adanya tekanan hidrostatik pada masing-masing sisi dinding, maka tekanan
ini akan saling menghilangkan, dengan demikian yang diperhitungkan hanya tekanan
tanah lateral efektif saja. Pada Zona A, tekanan lateral hanyalah tekanan tanah ak-
tif saja yang berasal dari tanah sebelah di atas garis galian. Sementara pada Zona
B, oleh karena pelenturan dinding di daerah ini, maka bekerja tekanan tanah lateral
aktif dari bagian tanah sebelah atas garis galian dan tekanan tanah pasif di bawah
garis galian di sebelah air. Kondisi pada Zona B ini akan berkebalikan dengan Zona
C, yaitu di bawah titik rotasi O. Distribusi tekanan tanah bersih ditunjukkan pada
Gambar 6(b), namun untuk penyederhanaan biasanya Gambar 6(c) akan digunakan
dalam perencanaan.

M u k a a ir
ta n a h

T e k a n a n P a s ir
a k tif Z o n a A
G a ris
g a lia n
T e k a n a n T e k a n a n
p a s if a k tif Z o n a B
O
T e k a n a n T e k a n a n
a k tif p a s if Z o n a C
P a s ir

(a ) (b ) (c )

Gambar 6. Tiang turap cantilever tertanam pada pasir

Pada bagian berikut akan diberikan sejumlah formula matematis untuk analisis
dinding turap cantilever. Namun perlu diperhatikan bahwa analisis ini berlaku untuk
konstruksi yang sebelahnya menghadap air. Dan permukaan air biasanya akan berfluk-
tuasi sebagai akibat pasang surut, oleh karena itu harus hati-hati dalam menentukan
pengaruh air pada diagram tekanan bersih.
5. Turap Cantilever I–9

5.1 Turap Cantilever pada Pasir


Untuk mengembangkan hubungan untuk kedalaman penanaman tiang turap yang dibu-
tuhkan di dalam tanah granular perhatikanlah Gambar 7(a). Tanah yang akan ditahan
oleh dinding turap, berada di atas garis galian, adalah juga tanah granular. Permukaan
air tanah berada pada kedalaman L1 dari puncak tiang. Ambillah sudut gesek pasir
sebagai φ. Intensitas tekanan aktif pada kedalaman z = L1 dapat dinyatakan sebagai,

p1 = γL1 Ka (1)

dimana,
Ka = koefisien tekanan aktif Rankine = tan2 (45 − φ/2)
γ = berat isi tanah di atas muka air

A
P a s ir
M u k a a ir L 1 C , B , c = 0
ta n a h C
p 1
L z
P a s ir
L 2
C , B , c = 0
P

p D
G a ris g a lia n 2

L 3
z K e m irin g a n :
E 1 v e rtik a l :
D (K p -K a )C ' h o riz o n ta l M
L 4 F '' z ' m a x
F F ' P a s ir
L 5
C , B , c = 0
H p p G
3 B 4

(a ) (b )

Gambar 7. Tiang turap cantilever tertanam pada pasir: (a) variasi diagram tekanan bersih
(b) variasi momen

Dengan cara yang sama, tekanan aktif pada kedalaman z = L1 + L2 (yaitu pada
kedalaman muka galian) adalah sama dengan

p2 = (γL1 + γ  L2 )Ka (2)

dimana γ  =berat isi tanah efektif = γsat − γw


Perlu dicatat bahwa pada kedalaman garis galian, tekanan hidrostatik dari kedua
arah dinding adalah sama dan oleh karena itu akan saling menghilangkan.
5.1. Turap Cantilever pada Pasir I–10

Untuk menentukan tekanan tanah bersih di bawah garis galian hingga pada titik ro-
tasi O, seperti ditunjukkan pada Gambar 6(a) sebelumnya, haruslah dipertimbangkan
bahwa tekanan pasif bekerja dari sebelah kiri (sebelah air) ke arah sebelah kanan (se-
belah tanah) dan juga tekanan aktif bekerja dari sebelah kanan ke sebelah kiri dind-
ing. Untuk kasus-kasus ini, pengabaian tekanan hidrostatik untuk kedua sisi dinding,
tekanan aktif pada kedalaman z dapat diberikan sebagai,

pa = [γL1 + γ  L2 + γ  (z − L1 − L2 )]Ka (3)

Juga, tekanan pasif pada kedalaman z adalah sama dengan

pp = γ  (z − L1 − L2 )Kp (4)

dimana, Kp = koefisien tekanan passif Rankine = tan2 (45 + φ/2).


Maka dengan mengombinasikan Pers. (3) dan (4), tekanan lateral bersih dapat
ditentukan sebagai

p = pa − pp = (γL1 + γ  L2 )Ka − γ  (z − L1 − L2 )(Kp − Ka )


= p2 − γ  (z − L)(Kp − Ka ) (5)

dimana L = L1 + L2 .
Tekanan bersih p menjadi sama dengan nol pada kedalaman L3 di bawah garis galian;
atau

p2 − γ  (z − L)(Kp − Ka ) = 0

atau
p2
(z − L) = L3 = (6)
γ  (K p − Ka )

Dari persamaan sebelumnya, kelihatan bahwa kemiringan (slope) garis distribusi tekanan
bersih DEF adalah 1 vertikal dengan (Kp − Ka )γ  horizontal. Sehingga di dalam dia-
gram

HB = p3 = L4 (Kp − Ka )γ  (7)

Pada dasar tiang turap, tekanan pasif (pp ) bekerja dari kanan ke kiri, dan tekanan
aktif bekerja dari kiri ke kanan, sehingga pada z = L + D

pp = (γL1 + γ  L2 + γ  D)Kp (8)

Pada kedalaman yang sama

pa = γ  DKa (9)
5. Turap Cantilever I–11

Maka, tekanan lateral bersih pada dasar turap adalah sama dengan

pp − pa = p4 = (γL1 + γ  L2 )Kp + γ  D(Kp − Ka )


= (γL1 + γ  L2 )Kp + γ  L3 (Kp − Ka ) + γ  L4 (Kp − Ka )
= p5 + γ  L4 (Kp − Ka ) (10)

dimana

p5 = (γL1 + γ  L2 )Kp + γ  L3 (Kp − Ka ) (11)


D = L3 + L4 (12)

Untuk kestabilan turap, prinsip statika sekarang dapat digunakan, atau

Σ gaya − gaya horizontal per satuan panjang dinding = 0

dan

Σ momen per satuan panjang dinding pada titik B = 0

Jumlah dari seluruh gaya-gaya horizontal adalah,


Luas ACDE pada diagram tekanan - luas EF HB + luas F HBG = 0
atau
1 1
P − p3 L4 + L5 (p3 + p4 ) = 0 (13)
2 2
dimana P = luas ACDE pada diagram tekanan. Penjumlahan momen ke titik B dari
seluruh gaya-gaya menjadi,
1 L4 1 L5
P (L4 + z̄) − ( L4 p3 )( ) + L5 (p3 + p4 )( ) = 0 (14)
2 3 2 3
Dari Pers. (13)
p3 L4 − 2P
L5 = (15)
p3 + p4
Dengan mengombinasikan Pers. (6), (10), (14), dan (15) dan kemudian menyeder-
hanakan mereka secara bersama-sama, maka akan diperoleh sebuah persamaan berderajat-
4 dalam L4 .

L44 + A1 L34 − A2 L24 − A3 L4 − A4 = 0 (16)

dimana,
p5
A1 = (17)
γ  (Kp − Ka )
5.1. Turap Cantilever pada Pasir I–12

8p
A2 = (18)
γ  (K p − Ka )

6P [2z̄γ  (Kp − Ka ) + p5 ]
A3 = (19)
γ 2 (Kp − Ka )2

P (6z̄p5 + 4P )
A4 = (20)
γ 2 (Kp − Ka )2

5.1.1 Prosedur Menentukan Diagram Tekanan


Berdasarkan teori yang diberikan sebelumnya, berikut ini adalah prosedur langkah demi
langkah untuk menentukan diagram tekanan yang dibutuhkan untuk mendapatkan
kedalaman tiang turap cantilever pada tanah-tanah granular.

1. Hitung Ka dan Kp .

2. Hitung p1 [Pers. (1)] dan p2 [Pers. (2)]. Catatan: L1 dan L2 sudah diketahui.

3. Hitung L3 [Pers. (6)].

4. Hitung P .

5. Hitung z̄ (yaitu pusat tekanan untuk luasan ACDE) dengan mengambil momen
di E.

6. Hitung p5 [Pers. (11)].

7. Hitung A1 , A2 , A3 , dan A4 [Pers. (17) sampai (20).

8. Menyelesaikan Pers. (16) dengan cara coba-coba untuk menentukan L4 .

9. Hitung p4 [Pers. (10)].

10. Hitung p3 [Pers. (7)].

11. Menentukan L5 dari Pers. (15).

12. Sekarang diagram distribusi tekanan sebagaimana diperlihatkan oleh Gambar


7(a) dapat dengan mudah digambarkan.

13. Menentukan kedalaman teoretis [Pers. (12)] penetrasi tiang turap sebagai L3 +L4 .
Kedalaman aktual penetrasi tiang turap dapat ditentukan dengan menaikkan
besaran kedalaman teoretis sebesar 20 - 30 %.
5. Turap Cantilever I–13

5.1.2 Metode Lain


Pada metoda sebelumnya, faktor keamanan yang ditunjukkan pada langkah ke-13 di-
lakukan dengan menaikkan kedalaman aktual sebesar 20 - 30 %. Namun ada perencana
yang lebih suka menggunakan faktor keamanan bukan pada hasil akhir tetapi pada
awalnya, yaitu pada koefisien tekanan tanah pasif, dalam hal ini pada langkah ke-1.
Kp
Kp(rencana) =
FS
dimana F K = faktor keamanan (biasanya antara 1,5 sampai 2).
Untuk analisis pada metoda ini, ikutilah langkah-langkah dari 1 sampai 12 dengan
nilai Ka = tan2 (45-φ/2) dan Kp(rencana) (sebagai pengganti Kp ). Kedalaman penetrasi
aktual dapat ditentukan dengan menjumlahkan L3 , yang diperoleh dari langkah ke-3,
dan L4 yang diperoleh dari langkah ke-8.

5.1.3 Menghitung Momen Lentur Maksimum


Variasi diagram momen untuk dinding turap cantilever diperlihatkan pada Gambar
7(b). Momen maksimum akan terjadi antara titik E dan F  . Untuk menentukan
momen maksimum (Mmax ) per satuan panjang dinding, maka terlebih dahulu harus
ditentukan sebuah titik dimana gaya geser (gaya lintang) sama dengan nol. Dengan
memakai suatu acuan jarak baru z  (dengan titik asal pada E) untuk gaya geser sama
dengan nol berlaku,
1
P = (z  )2 (Kp − Ka )γ 
2
atau

2P
z = (21)
(Kp − Ka )γ 

Sekali titik dimana gaya geser sama dengan nol dapat ditentukan (titik F  pada
Gambar 7(a)), maka besarnya momen maksimum dapat diperoleh sebagai,
1 1
Mmax = P (z̄ + z  ) − [ γ  z 2 (Kp − Ka )][ z  ] (22)
2 3
Ukuran profil tiang turap yang dibutuhkan kemudian dapat dibuat dengan mengacu
kepada tegangan lentur izin bahan yang digunakan, atau
Mmax
S= (23)
σall
dimana, S = modulus penampang (section modulus) tiang turap yang dibutuhkan per
satuan panjang struktur dan σall = tegangan lentur ijin tiang turap.
5.1. Turap Cantilever pada Pasir I–14

5.1.4 Turap Kantilever Dengan Keadaan Khusus


Berikut ini dua macam kasus khusus yang berkenaan dengan tidak adanya muka air
tanah dan kantilever bebas akan memperlihatkan adanya perubahan formulasi matem-
atis atas besaran-besaran untuk menentukan L4 .

Turap tanpa muka air tanah

Jika tidak terdapat muka air tanah, maka diagram tekanan tanah bersih akan menjadi
seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 8, yang sebenarnya merupakan modifikasi dari
Gambar 7. Berdasarkan gambar ini beberapa besaran juga akan mengalami perubahan,
sehingga

P a s ir
C , B , c = 0

G a ris g a lia n p 2

L 3
z P a s ir
C , B , c = 0
D
L 4

L 5

p 3 p 4

Gambar 8. Turap cantilever tertanam pada pasir tanpa muka air

p2 = γLKa (24)
p3 = L4 (Kp − Ka )γ (25)
p4 = p5 + γL4 (Kp − Ka ) (26)
p5 = γLKp + γL3 (Kp − Ka ) (27)
p2 LKa
L3 = = (28)
γ(Kp − Ka ) (Kp − Ka )
P = 12 p2 L + 12 p2 L3 (29)
L LKa L(2Ka + Kp )
z̄ = L3 + = + L3 = (30)
3 Kp − K a 3(Kp − Ka )
5. Turap Cantilever I–15

Persamaan untuk memperoleh L4 menjadi,

L44 + A1 L34 − A2 L24 − A3 L4 − A4 = 0 (31)

dimana
p5
A1 = (32)
γ(Kp − Ka )
8P
A2 = (33)
γ(Kp − Ka )
6P [2z̄γ(Kp − Ka ) + p5 ]
A3 = (34)
γ 2 (Kp − Ka )2
P (6z̄p5 + 4P )
A4 = (35)
γ 2 (Kp − Ka )2

Turap ujung bebas

Pada Gambar 9 diperlihatkan sebuah turap kantilever yang ujungnya bebas tertanam
pada pasir yang menderita beban garis P per satuan panjang dinding. Dalam hal ini
persamaan untuk memperoleh kedalaman penanaman menjadi,

P a s ir
C , B , c = 0
D

L 5

p 3= C D (K p - K a ) p 4= C D (K p - K a )

Gambar 9. Turap cantilever ujung bebas tertanam pada pasir

     2
4 8P 2 12P L 2P
D − D − D− =0 (36)
γ(Kp − Ka ) γ(Kp − Ka ) γ(Kp − Ka )
dan
γ(Kp − Ka )D 2 − 2P
L5 = (37)
2D(Kp − Ka )γ
5.2. Turap Cantilever pada Lempung I–16

Selanjutnya,

γz 3 (Kp − Ka )
Mmax = P (L + z  ) − (38)
6


2P
z = (39)
γ(Kp − Ka )

5.2 Turap Cantilever pada Lempung


Dalam beberapa kasus, tiang turap cantilever harus disorongkan ke dalam lapisan
lempung yang mempunyai kohesi taksalur (undrained cohesion), c (konsep φ = 0).
Diagram tekanan bersih akan agak berbeda daripada yang diperlihatkan pada Gambar
7(a). Gambar 10 memperlihatkan sebuah dinding turap yang disorongkan ke dalam
lempung dengan bahan isian di belakang turap adalah tanah granular yang terletak di
atas garis galian. Misalkanlah permukaan air terletak pada kedalaman L1 di bawah
puncak turap. Sebagaimana sebelumnya, dengan menggunakan Pers. (1) dan (2),
intensitas tekanan tanah bersih p1 dan p2 dapat dihitung, sehingga diagram untuk
distribusi tekanan tanah di atas permukaan garis galian dapat digambarkan.

A
P a s ir
M u k a a ir L 1 C , B , c = 0
ta n a h C
p 1
z P a s ir
C sat
L 2
B
P c = 0
1

z 1
G a ris g a lia n E p 2 D
p 6 L e m p u n g
L 3 C sat
z' D G B = 0
c
L 4

p H
B 7

Gambar 10. Tiang turap cantilever tertanam pada lapisan lempung

Sedangkan diagram untuk distribusi tekanan tanah bersih di bawah permukaan


garis galian dapat ditentukan sebagai berikut.
5. Turap Cantilever I–17

Pada kedalaman z yang lebih besar dari L1 + L2 dan di atas titik rotasi (titik O
pada Gambar 6(a)), tekanan aktif (pa ) dari kanan ke kiri dapat dinyatakan dengan,

pa = [γL1 + γ  L2 + γsat (z − L1 − L2 )]Ka − 2c Ka (40)

dimana Ka = koefisien tekanan tanah aktif Rankine; dengan φ = 0, besarannya akan


menjadi nol.
Dengan cara yang sama, tekanan pasif (pp ) dari kiri ke kanan dapat diberikan sebagai,

pp = γsat (z − L1 − L2 )Kp + 2c Kp (41)

dimana Kp = koefisien tekanan tanah pasif Rankine; dengan φ = 0, besarannya akan


menjadi nol.
Maka, tekanan bersih menjadi

p6 = pp − pa = [γsat (z − L1 − L2 ) + 2c]
−[γL1 + γ  L2 + γsat (z − L1 − L2 )] + 2c
= 4c − (γL1 + γ  L2 ) (42)

Pada dasar turap, tekanan pasif dari kanan ke kiri adalah,

pp = (γL1 + γ  L2 + γsat D) + 2c (43)

Dengan cara yang sama, tekanan aktif dari kiri ke kanan adalah,

pa = γsat D − 2c (44)

Maka tekanan bersih menjadi,

p7 = pp − pa = 4c + (γL1 + γ  L2 ) (45)

Untuk analisis kesetimbangan, ΣFH = 0 (yaitu luas diagram tekanan ACDE - luas
EF IB + luas GIH = 0), atau
1
P1 − [4c − (γL1 + γ  L2 )D] + L4 [4c − (γL1 + γ  L2 ) + 4c + (γL1 + γ  L2 )] = 0
2
dimana P1 = luas diagram tekanan ACDE.
Dengan menyederhanakan persamaan sebelumnya maka diperoleh
D[4c − (γL1 + γ  L2 )] − P1
L4 = (46)
4c
Sekarang ambillah momen di titik B, ΣMB = 0, atau
 
 D2 1 L4
P1 (D + z̄1 ) − [4c − (γL1 + γ L2 )] + L4 (8c) =0 (47)
2 2 3
5.2. Turap Cantilever pada Lempung I–18

dimana z̄1 = jarak dari pusat tekanan pada diagram ACDE diukur dari permukaan
garis galian.
Dengan mengombinasikan Pers. (46) dan (47) dapat diturunkan
P1 (P1 + 12cz̄1 )
D 2 [4c − (γL1 + γ  L2 )] − 2DP1 − (48)
(γL1 + γ  L2 )) + 2c
Dengan menyelesaikan persamaan ini maka dapat diperoleh D, yaitu kedalaman pen-
etrasi ke dalam lapisan lempung yang dibutuhkan oleh turap.

5.2.1 Prosedur Menentukan Diagram Tekanan


Berdasarkan teori yang diberikan sebelumnya, berikut ini adalah prosedur langkah demi
langkah untuk menentukan diagram tekanan yang dibutuhkan untuk mendapatkan
besarnya penetrasi turap pada lapisan lempung.
1. Menghitung Ka = tan2 (45 − φ/2) untuk tanah isian.

2. Mendapatkan p1 dan p2 [Pers. (1) dan (2)].

3. Menghitung P1 dan z̄1 .

4. Menggunakan Pers. (48) untuk memperoleh kedalaman teoretis D.

5. Menggunakan Pers. (46) untuk menghitung L4 .

6. Menghitung p6 dan p7 [Pers. (42) dan (45)].

7. Menggambarkan diagram distribusi tekanan seperti Gambar 10.

8. Kedalaman aktual penetrasi turap dihitung sebagai Daktual = 1, 4 sampai 1, 6(Dteoretis ).

5.2.2 Momen Lentur Maksimum


Dengan merujuk pada Gambar 10, momen maksimum (yaitu momen di titik dimana
gaya geser sama dengan nol) akan terjadi di antara L1 +L2 < z < L1 +L2 +L3 . Dengan
menggunakan sistem koordinat z  (z  = 0 pada garis galian) gaya geser menjadi,
P 1 − p6 z  = 0
atau
P1
z = (49)
p6
Besarnya momen maksimum kemudian dapat dihitung dengan rumus,
 p6 z 2
Mmax = P1 (z + z̄1 ) − (50)
2
Dengan diketahuinya momen lentur maksimum, maka modulus penampang dapat dihi-
tung dari Pers. (23), untuk selanjutnya menentukan profil tiang turap yang diperlukan.
5. Turap Cantilever I–19

5.2.3 Turap Kantilever Dengan Keadaan Khusus


Berikut ini dua macam kasus khusus yang berkenaan dengan tidak adanya muka air
tanah dan kantilever bebas akan memperlihatkan adanya perubahan formulasi matem-
atis atas besaran-besaran untuk menentukan panjang penanaman turap pada tanah
lempung.

Turap tanpa muka air tanah

Jika tidak terdapat muka air tanah, maka diagram tekanan tanah bersih akan menjadi
seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 11. Berdasarkan gambar ini dapat diperoleh,

P a s ir
C , B , c = 0
L

P 1

z 1
p 6 p 2

L e m p u n g
L 3 C sat
D B = 0
c
L 4

p 7

Gambar 11. Turap cantilever tertanam pada lempung tanpa muka air

p2 = γLKa (51)
p6 = 4c − γL (52)
p7 = 4c − γL (53)
P1 = p2 L + 12 L2 Ka
1
2
(54)
D(4c − γL) − 12 L2 Ka
L4 = (55)
4c
Panjang penanaman teoretis, D dapat dihitung dengan menyelesaikan persamaan
berikut ini.
P1 (P1 + 12cz̄1 )
D 2 (4c − γL) − 2DP1 − =0 (56)
γL + 2c
5.2. Turap Cantilever pada Lempung I–20

dimana
L
z̄1 = (57)
3
Besar momen maksimum yang bekerja pada dinding adalah,
p6 z 2
Mmax = P1 (z  + z̄1 ) − (58)
2
dimana
P1 1
γL2 Ka
z = = 2 (59)
p6 4c − γL

Turap ujung bebas

Pada Gambar 12 diperlihatkan sebuah turap kantilever yang ujungnya bebas tertanam
pada lempung yang menderita beban garis P per satuan panjang dinding. Dalam hal
ini,

p 6

L e m p u n g
L 3 C sat
D B = 0
c
L 4

p 7

Gambar 12. Turap cantilever ujung bebas tertanam pada lempung

p6 = p7 = 4c (60)

Kedalaman penetrasi D dapat diperoleh dengan persamaan berikut,


P (P + 12cL)
4D 2 c − 2P D − =0 (61)
2c
dan untuk diagram tekanan konstruksi adalah
4cD − P
L4 = (62)
4c
6. Contoh Soal I–21

Selanjutnya,
4cz 2
Mmax = P (L + z  ) − (63)
2
dimana
P
z = (64)
4c

6. Contoh Soal
6.1 Soal 1
Dengan mengacu pada Gambar 7 sebuah dinding turap cantilever disorongkan ke dalam
tanah granular, dengan L1 = 2 m dan L2 = 3 m. Tanah granular itu memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:

φ = 32o
c = 0
γ = 15.9 kN/m3
γsat = 19.33 kN/m3

Buatlah perhitungan yang diperlukan untuk menentukan kedalaman penetrasi teoretis


dan aktual. Juga tentukanlah ukuran minimum tiang turap (modulus penampang)
yang diperlukan.

Penyelesaian

Marilah diikuti langkah demi langkah prosedur yang telah diberikan pada bagian se-
belumnya.

Langkah 1.
   
2 φ 2 32
Ka = tan 45 − = tan 45 − = 0.307
2 2
 
2 φ
Kp = tan 45 + = 3.25
2

Langkah 2.

p1 = γL1 Ka = (15.9)(2)(0.307) = 9.763 kN/m2


p2 = (γL1 + γ  L2 )Ka = [(15.9)(2) + (19.33 − 9.81)3]0.307
= 18.53 kN/m2
6.1. Soal 1 I–22

Langkah 3.

p2 18.53
L3 = = = 0.66 m
γ  (Kp − Ka ) (19.33 − 9.81)(3.25 − 0.307)

Langkah 4.

1 1 1
P = p1 L1 + p1 L2 + (p2 − p1 )L2 + p2 L3
2 2 2
1 1 1
= (9.763)(2) + (9.763)(3) + (18.53 − 9.763)3 + (18.53)(0.66)
2 2 2
= 9.763 + 29.289 + 13.151 + 6.115 = 58.32 kN/m

Langkah 5.

Ambil momen di titik E


    
1 2 3
z̄ = 9.763 0.66 + 3 + + 29.289 0.66 +
58.32 3 2
    
1 3 2
+ 13.151 0.66 + + 6.115 0.66 × = 2.23 m
58.32 3 3

Langkah 6.

p5 = (γL1 + γ  L2 )Kp + γ  L3 (Kp − Ka )


= [(15.9)(2) + (19.33 − 9.81)3]3.25 + (19.33 − 9.81)(0.66)(3.25 − 0.307)
= 196.17 + 18.49 = 214.66 kN/m2

Langkah 7.

p5 214.66
A1 = = = 7.66
γ  (Kp − Ka ) (9.52)(2.943)
8P (8)(58.32)
A2 = = = 16.65
γ (Kp − Ka )
 (9.52)(2.943)
6P [2z̄γ  (Kp − Ka ) + p5 ]
A3 =
γ 2 (Kp − Ka )2
(6)(58.32)[(2)(2.23)(9.52)(2.943) + 214.66]
= = 151.93
(9.52)2 (2.943)2
P (6z̄p5 + 4P )
A4 =
γ 2 (Kp − Ka )2
58.32[(6)(2.23)(214.66) + (4)(58.32)]
= = 230.72
(9.52)2 (2.943)2
6. Contoh Soal I–23

Langkah 8.

Dari Pers. (16)

L44 + 7.66L34 − 16.65L24 − 151.39L4 − 230.72 = 0

Untuk menyelesaikan persamaan di atas dengan trial and error, tabel berikut ini dapat
dibuat untuk mempermudah.

L4 yang dicoba Sebelah kiri Pers. (16)


4 -356.44
5 +178.58
4.8 +36.96
4.7 -26.79
4.75 +4.51
4.74 -1.84
4.744 +0.69

Diperoleh L4 = 4.744 m, tetapi untuk penyederhanaan lebih baik diambil saja L4 =


4.8 m.

Langkah 9.

p4 = p5 + γ  L4 (Kp − Ka )
= 214.66 + (9.52)(4.8)(2.943) = 349.14 kN/m2

Langkah 10.

p3 = γ  (Kp − Ka )L4 = (9.52)(2.943)(4.8) = 134.48 kN/m2

Langkah 11.

p3 L4 − 2P (134.48)(4.8) − 2(58.32)
L5 = = = 1.09 m
p3 + p4 134.48 + 349.14

Langkah 12.

Diagram distribusi tekanan bersih dapat digambarkan seperti diperlihatkan pada Gam-
bar 7(a).
6.2. Soal 2 I–24

Langkah 13.

Kedalaman penetrasi teoretis = L3 + L4 = 0.66 + 4.8 = 5.46 m. Dan kedalaman


penetrasi aktual = 1.3(L3 + L4 )= 1.3(0.66 + 4.8) = 7.1 m.

Ukuran tiang turap

Gunakan Pers. (21)


 
2P (2)(58.32)
z = = = 2.04 m
p − Ka )
γ  (K 9.52(2.943)

Dari Pers. (22)

1
Mmax = P (z̄ + z  ) − γ  z 2 (Kp − Ka )
2
1
= (58.32)(2.23 + 2.04) − (9.52)(2.04)2(2.943)
2
= 249.03 − 58.3 = 190.73 kN − m

Modulus penampang turap yang dibutuhkan,


Mmax
S=
σall

Dengan σall = 172.5 MN/m2 , maka

190.73 kN − m
S= = 1.106 × 10−3 m3 /m dinding
172.5 × 103 kN/m2

6.2 Soal 2
Dengan mengulang Soal 1, yang mengasumsikan sifat-sifat bahan isian di belakang
turap adalah sama, tetapi tanah di bawah garis galian adalah lempung. Nilai kekuatan
geser taksalur takterkonsolidasi (unconsolidated undrained shear strength) lempung
adalah 47 kN/m2 .

Penyelesaian

Kembali akan diikuti langkah demi langkah prosedur yang diberikan pada sebelumnya,
maka

Langkah 1.

Ka = 0.307
6. Contoh Soal I–25

Langkah 2.

p1 = 9.763 kN/m2
p2 = 18.53 kN/m2

Langkah 3.

Dengan mengacu pada diagram distribusi tekanan bersih yang diberikan pada Gambar
10.
1 1
P1 = p1 L1 + p2 L2 + (p2 − p1 )L2
2 2
= 9.763 + 29.289 + 13.151 = 52.2 kN/m
      
1 2 3 3
z̄1 = 9.763 3 + + 29.289 + 13.151
52.2 3 2 3
= 1.78 m

Langkah 4.

Dari Pers. (48)


P1 (P1 + 12cz̄1 )
D 2 [4c − (γL1 + γ  L2 )] − 2DP1 − =0
(γL1 + γ  L2 ) + 2c
Dengan menggantikan nilai-nilai yang bersesuaian maka diperoleh:
D 2 (4)(47) − [(2)(15.9) + (19.33 − 9.81)3] − 2D(52.2)
52.2[52.2 + (12)(47)(1.78)]
− =0
[(15.9)(2) + (19.33 − 9.81)3] + (2)(47)
atau
127.64D 2 − 104.4D − 357.15 = 0
Dengan menyelesaikan persamaan ini, maka diperoleh D = 2.13 m.

Langkah 5.

Dari Pers. (46)


D[4c − (γL1 + γ  L2 )] − P1
L4 =
4c
dengan
4c − (γL1 + γ  L2 ) = (4)(47) − [(15.9)(2) + (19.33 − 9.81)3]
= 127.64 kN/m2
sehingga,
2.13(127.64) − 52.2
L4 = = 1.17 m
(4)(47)
I–26

Langkah 6.

p6 = 4c − (γL1 + γ  L2 ) = 127.64 kN/m2


p7 = 4c + (γL1 + γ  L2 ) = 248.36 kN/m2

Langkah 7.

Diagram distribusi tekanan bersih dapat digambarkan seperti pada Gambar 10.

Langkah 8.

Daktual ≈ 1.5Dteoretis = 1.5(2.13) ≈ 3.2 m.

Perhitungan momen maksimum

Dari Pers. (49)

P1 52.2
z = = ≈ 0.41 m
p6 127.64

Kembali dari Pers. (50)

p6 z 2
Mmax = P1 (z  + z̄1 ) −
2
Sehingga,

127.64(0.41)2
Mmax = 52.2(0.41 + 1.78) −
2
= 114.32 − 10.73 = 103.59 kN − m

Modulus penampang minimum yang diperlukan (dengan mengasumsikan σall = 172.5


MN/m2 ) dapat dihitung dengan:

103.59 kN − m
S= = 0.6 × 10−3 m3 /m dinding
172.5 × 103 kN/m2

7. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1990.
Modul II

Turap Berjangkar
DAFTAR ISI i

Daftar Isi
1 Pengantar II–1

2 Tujuan Instruksional Umum II–1

3 Tujuan Instruksional Khusus II–1

4 Turap Berjangkar II–1


4.1 Metode Perhitungan Turap Berjangkar . . . . . . . . . . . . . . . . . . II–1

5 Metode Free Earth Support II–3


5.1 Metode Free Earth Support pada Pasir . . . . . . . . . . . . . . . . . . II–3
5.2 Metode Free Earth Support pada Lempung . . . . . . . . . . . . . . . . II–5
5.3 Momen Reduksi Rowe . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . II–6
5.3.1 Turap pada Pasir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . II–6
5.3.2 Turap pada Lempung . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . II–8
5.4 Metode Computational-Pressure-Diagram pada Pasir . . . . . . . . . . II–10

6 Metode Fixed Earth Support II–11


6.1 Metode Fixed Earth Support pada Pasir . . . . . . . . . . . . . . . . . II–11
6.1.1 Prosedur Menentukan D . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . II–13

7 Contoh Soal II–14


7.1 Soal 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . II–14

8 Referensi II–17
4. Turap Berjangkar II–1

Turap Berjangkar

1. Pengantar
Pada modul sebelumnya telah diuraikan mengenai turap cantilever, dan pada modul
ini akan diuraikan turap berjangkar, yaitu turap yang dilengkapi dengan jangkar yang
dimaksudkan akan menambah stabilitas turap, sehingga bisa mereduksi panjang tiang
turap. Namun penambahan jangkar berarti juga tambahan dalam metode konstruksi
dan biaya.

2. Tujuan Instruksional Umum


Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan mahasiswa mampu merencanakan turap
dengan jangkar.

3. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat memenuhi hal-hal berikut.

1. Mahasiswa mampu menghitung panjang penanaman tiang turap yang diberi


jangkar.

2. Mahasiswa mampu menentukan diagram tekanan tanah yang bekerja pada dind-
ing turap, baik untuk pasir maupun lempung.

3. Mahasiswa mampu menghitung gaya tarik yang diberikan jangkar.

4. Turap Berjangkar
4.1 Metode Perhitungan Turap Berjangkar
Apabila tinggi tanah di belakang dinding turap cantilever mencapai sekitar 6 m, maka
akan menjadi lebih ekonomis apabila turap itu diperkuat dengan suatu plat jangkar
(anchor plates), dinding jangkar (anchor walls), atau tiang jangkar (anchor piles), yang
letaknya dekat dengan puncak turap. Cara dengan perkuatan jangkar ini disebut den-
gan tiang turap berjangkar (anchored sheet piling) atau sekatan berjangkar (anchored
bulkhead). Jangkar akan mengurangi kedalaman penetrasi yang diperlukan oleh tu-
rap dan juga akan mengurangi luas penampang dan berat yang diperlukan dalam
4.1. Metode Perhitungan Turap Berjangkar II–2

konstruksi. Namun, batang penguat (tie rods), yang menghubungkan turap dengan
jangkar dan jangkar itu sendiri harus dirancang dengan hati-hati.
Ada dua metode dasar dalam membangun dinding turap berjangkar: (a) metode
free earth support (turap bersendi) dan (b) metode fixed earth support (turap terjepit).
Gambar 1 memperlihatkan prilaku defleksi turap untuk kedua metode tadi.

Ja n g k a r
M u k a a ir
ta n a h

L e n d u ta n

G a ris g a lia n M o m e n

(a )

Ja n g k a r
M u k a a ir
ta n a h

L e n d u ta n M o m e n
G a ris g a lia n

(b )

Gambar 1. Variasi defleksi dan momen pada turap berjangkar: (a) metode free earth sup-
port b) metode fixed earth support

Metode free earth support adalah metode dengan kedalaman penetrasi minimum.
Di bawah garis galian, tidak terdapat pivot untuk sistem statik, yaitu sebuah titik
perubahan defleksi. Metode fixed earth support mengharuskan kedalaman cukup un-
tuk memberikan efek jepitan pada ujung bawah turap. Variasi momen lentur dengan
kedalaman untuk kedua metode juga ditunjukkan dalam Gambar 1.
5. Metode Free Earth Support II–3

5. Metode Free Earth Support


5.1 Metode Free Earth Support pada Pasir
Gambar 2 menunjukkan sebuah turap jangkar dengan tanah di belakang turap adalah
pasir dan juga tiang turap disorong ke dalam tanah pasir. Batang penguat (tie rod)
menghubungkan turap dengan jangkar ditempatkan pada kedalaman l1 di bawah pun-
cak turap.

Ja n g k a r l1
O ' P a s ir
M u k a a ir F C , B , c = 0
L l2
ta n a h 1
C
p 1
z
P a s ir
C s a t, B , c = 0
L 2
P

G a ris g a lia n p 2 D
L z P a s ir
3 1 C s a t, B , c = 0
E
D
L 4 (K p -K a )C '

F p 8 B

Gambar 2. Turap jangkar tertanam pada pasir

Diagram distribusi tekanan bersih di atas garis galian akan sama seperti yang di-
tunjukkan pada Gambar 7 pada Modul I. Pada kedalaman z = L1 , p1 = γL1 Ka ; dan
pada z = L1 + L2 , p2 = (γL1 + γ  L2 )Ka . Di bawah garis galian, tekanan bersih akan
sama dengan nol pada kedalaman z = (L1 + L2 + L3 ). Hubungan untuk L3 dapat
diberikan dengan Pers. (6) pada Modul I, atau
p2
L3 =
γ  (K p − Ka )

Pada kedalaman z = (L1 + L2 + L3 + L4 ), tekanan bersih dapat diberikan sebagai,

p8 = γ  (Kp − Ka )L4 (1)


5.1. Metode Free Earth Support pada Pasir II–4

Perlu dicatat bahwa kemiringan garis DEF adalah 1 vertikal ke γ  (Kp −Ka ) horizontal.
Untuk kesetimbangan turap, Σ gaya-gaya horizontal = 0, dan Σ momen di titik O 
= 0. (Catatan: Titik O  terletak pada batang penguat jangkar.)
Dengan menjumlahkan gaya-gaya dalam arah horizontal (per satuan panjang dind-
ing),
luas diagram tekanan ACDE − luas EBF − F = 0
dimana F = gaya tarik pada batang penguat per satuan panjang dinding turap, atau
1
P − L4 − F = 0
2
atau
1
F = P − [γ  (Kp − Ka )]L24 (2)
2
dimana P = luas diagram tekanan ACDE
Sekarang, ambillah momen pada titik O 
1
−P [(L1 + L2 + L3 ) − (z̄ + l1 )] + [γ  (Kp − Ka )]
2
2 2
×L4 × (l2 + L2 + L3 + L4 ) = 0
3
atau
3P [(L1 + L2 + L3 ) − (z̄ + l1 )]
L34 + 1.5L24 (l2 + L2 + L3 ) − =0 (3)
γ  (Kp − Ka )
Persamaan di atas dapat diselesaikan dengan cara trial and error untuk mendap-
atkan kedalaman teoretis, L4 . Maka kedalaman teoretis penetrasi sama dengan
Dteoretis = L3 + L4
Kedalaman teoretis dinaikkan sekitar 30 - 40 % untuk mendapatkan kedalaman yang
diaktualkan pada pekerjaan konstruksi.
Daktual = 1.3 sampai 1.4Dteoretis (4)
Langkah demi langkah pada prosedur yang diajukan sebelumnya, faktor keamanan
dapat dipakaikan pada Kp pada permulaan perhitungan (yaitu, Kp(rencana) = Kp /F S).
Kalau ini dipakai, maka tidak perlu penambahan kedalaman teoretis.
Momen maksimum pada turap akan terjadi pada kedalaman diantara z = L1 ke
z = L1 + L2 . Kedalaman z ini merupakan kedalaman pada gaya geser sama dengan
nol, sehingga momen maksimum dapat dihitung dengan persamaan berikut:
1 1
p1 L1 − F + p1 (z − L1 ) + Ka γ  (z − L1 )2 = 0 (5)
2 2
Kalau nilai z telah ditentukan, maka besaran momen maksimum dapat dengan mudah
diperoleh. Prosedur dalam menentukan kapasitas dukung jangkar akan dibicarakan
pada bagian yang akan datang.
5. Metode Free Earth Support II–5

5.2 Metode Free Earth Support pada Lempung


Gambar 3 menunjukkan sebuah turap berjangkar yang ditanamkan pada lapisan lem-
pung, sedangkan tanah di belakang turap adalah tanah granular. Diagram distribusi
tekanan di atas garis galian adalah mirip dengan Gambar 10 pada Modul I. Distribusi
tekanan bersih di bawah garis galian (dari z = L1 + L2 ke z = L1 + L2 + D) dapat
diberikan sebagai [Pers. (42) pada Modul I].

p6 = 4c − (γL1 + γ  L2 )

Ja n g k a r l1
O ' P a s ir
M u k a a ir F C , B , c = 0
L l2
ta n a h 1
C
p 1
z
P a s ir
C s a t, B , c = 0
L 2
P
z 1
G a ris g a lia n E p 2 D
L e m p u n g
C sat
D B = 0
c

F p 6 B

Gambar 3. Turap jangkar tertanam pada lempung

Untuk kesetimbangan statik, penjumlahan gaya-gaya dalam arah horizontal adalah

P 1 − p6 D = F (6)

dimana P1 = luas diagram tekanan ACD dan F = gaya jangkar per satuan panjang
dinding turap.
Kembali dengan mengambil momen di titik O 
 
D
P1 (L1 + L2 − l1 − z̄1 ) − p6 D l2 + L2 + =0
2
5.3. Momen Reduksi Rowe II–6

Dengan menyederhanakan persamaan di atas maka persamaan berikut dapat ditu-


runkan,

p6 D 2 + 2p6 D(L1 + L2 − l1 ) − 2P1 (L1 + L2 − l1 − z̄1 ) = 0 (7)

Kedalaman teoretis penetrasi, D dapat ditentukan dari persamaan di atas.


Sebagaimana dalam bagian sebelumnya, momen maksimum dalam kasus ini akan
terjadi pada kedalaman L1 < z < L1 +L2 . Kedalaman dimana gaya geser sama dengan
nol (berarti momen akan menjadi maksimum) dapat ditentukan dengan menggunakan
Pers. (5).

5.3 Momen Reduksi Rowe


Turap adalah lentur. Akibat kelenturannya ini, turap akan meleleh (yaitu berpindah
secara lateral). Pelelehan ini menghasilkan pendistribusian kembali tekanan tanah
lateral. Perubahan ini akan cenderung mengurangi momen lentur maksimum, Mmax ,
sebagaimana dihitung dengan prosedur yang telah dijelaskan sebelumnya. Atas dasar
alasan inilah, Rowe (1952, 1957) menggagas sebuah prosedur untuk mereduksi momen
maksimum yang diperoleh dari metode free earth support. Bagian berikut ini akan
membicarakan prosedur reduksi momen yang diajukan oleh Rowe.

5.3.1 Turap pada Pasir


Pada Gambar 4, yang berlaku untuk kasus turap yang tertanam di dalam pasir, notasi
berikut ini akan digunakan:

1. H  = tinggi total tiang (yaitu L1 + L2 + Daktual )

2. Kelenturan relatif (relative flexibility) tiang,


 4 
−7 H
ρ = 10.91 × 10 (8)
EI

dimana H dalam m, E = modulus Young bahan tiang (MN/m2 ) dan I = momen


inersia penampang tiang per kaki (foot) dinding (m4 /m dinding)

3. Md = momen rencana

4. Mmax = momen maksimum teoretis

Prosedur untuk menggunakan diagram momen reduksi (Gambar 4) adalah sebagai


berikut:
5. Metode Free Earth Support II–7

1 ,0
P a s ir le p a s
= H '
0 ,8 H ' = L 1 +
L 2 + D a k tu a l
A m a n
0 ,6
M d P a s ir p a d a t
M m a x d a n k e rik il
0 ,4
T id a k
a m a n
0 ,2
T ia n g T ia n g
k a k u le n tu r
0
- 4 ,0 - 3 ,5 - 3 ,0 - 2 ,5 - 2 ,0
L o g H

Gambar 4. Hubungan log ρ dan Md /Mmax untuk turap yang tertanam pada pasir (dikutip
dari Rowe, 1952)

Langkah 1.

Memilih penampang tiang turap (sebagai contoh bisa digunakan Tabel 1.1.)

Langkah 2.

Mencari modulus penampang (S) dari penampang yang dipilih (Langkah 1) per satuan
panjang dinding.

Langkah 3.

Mencari momen inersia penampang (Langkah 1) per satuan panjang dinding.

Langkah 4.

Mencari H  dan menghitung ρ [Pers. (8)]

Langkah 5.

Mencari log ρ

Langkah 6.

Mencari kapasitas momen penampang tiang yang dipilih dari Langkah 1 sebagai Md =
σall × S.
5.3. Momen Reduksi Rowe II–8

Langkah 7.

Menentukan Md /Mmax . Perlu dicatat bahwa Mmax adalah momen maksimum teoretis
yang telah dihitung sebelumnya.

Langkah 8.

Memplot log ρ (Langkah 5) dan Md /Mmax pada Gambar 4.

Langkah 9.

Mengulang Langkah 1 sampai 8 untuk beberapa penampang. Titik-titik yang jatuh di


atas kurva (pasir lepas atau padat, sesuai kondisi kasus) adalah penampang-penampang
yang aman (safe sections). Dan titik-titik yang jatuh di bawah kurva adalah penam-
pang yang tidak aman (unsafe sections). Penampang yang paling murah dapat dipilih
dari titik-titik yang jatuh di atas kurva yang bersesuaian. Perlu dicatat bahwa penam-
pang yang terpilih akan memiliki suatu Md < Mmax .

5.3.2 Turap pada Lempung


Momen reduksi untuk turap yang tertanam pada lempung dapat dihitung dengan
menggunakan Gambar 5, dengan notasi sebagai berikut:

1. Angka stabilitas (stability number) dapat dinyatakan sebagai,


c
Sn = 1.25 (9)
γL1 + γ  L2
dimana c = kohesi taksalur (kondisi pada φ = 0). Untuk definisi-definisi γ, γ  ,
L1 , dan L2 dapat diacu pada Gambar 3.

2.
L1 + L2
α= (10)
L1 + L2 + Daktual

3. Angka kelenturan (flexibility number), ρ [lihat Pers. (8)].

4. Md = momen rencana dan Mmax = momen maksimum teoretis.

Langkah-langkah untuk memperoleh momen reduksi dengan menggunakan Gambar 5


dapat diringkaskan sebagai berikut.

Langkah 1.

Menentukan H .
5. Metode Free Earth Support II–9

Langkah 2.

Menentukan α = (L1 + L2 )/H  .

1 ,0
L o g H = - 3 ,1

M 0 ,8
d
= = 0 ,8
M m a x
0 ,6 0 ,7
0 ,6
0 ,4
1 ,0
L o g H = - 2 ,6

M 0 ,8
d

M m a x
0 ,6 = = 0 ,8
0 ,7
0 ,6
0 ,4
1 ,0
L o g H = - 2 ,0

M 0 ,8
d

M m a x = = 0 ,8
0 ,6
0 ,6 0 ,7
0 ,4
0 0 ,5 1 ,0 1 ,5 1 ,7 5
A n g k a s ta b ilita s , S n

Gambar 5. Plot Md /Mmax vs. angka stabilitas untuk tiang turap tertanam pada lempung
(dikutip dari Rowe, 1957)

Langkah 3.

Menentukan Sn [Pers. (9)].

Langkah 4.

Dengan nilai-nilai α dan Sn , tentukanlah Md /Mmax untuk berbagai nilai log ρ dari
Gambar 5 dan memplot sebuah grafik Md /Mmax vs. log ρ.

Langkah 5.

Mengikuti Langkah 1 sampai Langkah 9 untuk kasus momen reduksi pada pasir, yang
sudah dijelaskan sebelumnya.
5.4. Metode Computational-Pressure-Diagram pada Pasir II–10

5.4 Metode Computational-Pressure-Diagram pada


Pasir
Metode Computational-Pressure-Diagram (CPD) adalah sebuah metode desain seder-
hana yang digunakan sebagai alternatif penggunaan metode free earth support pada
pasir (Nataraj and Hoadley, 1984). Pada metode ini diagram tekanan bersih pada
Gambar 2 diganti dengan diagram tekanan berbentuk persegi seperti diperlihatkan
pada Gambar 6. Pada gambar ini lebar diagram tekanan tanah aktif di atas tanah
galian dinyatakan dengan p̄a dan lebar diagram tekanan tanah pasif di bawah garis
galian dinyatakan dengan p̄p , dan besarannya adalah sebagai berikut,

l1
Ja n g k a r P a s ir
M u k a a ir F C , B , c = 0
L l2
ta n a h 1

P a s ir
C s a t, B , c = 0
L 2
p a

P a s ir
C s a t, B , c = 0
D
p p

Gambar 6. Metode diagram komputasi tekanan

p̄a = CKa γav L (11)


p̄p = RCKa γav L = Rp̄a (12)

dimana

γav = berat satuan efektif rata − rata pasir


γL1 + γ  L2
≈ (13)
L1 + L2
C = koefisien
L(L − 2l1 )
R = koefisien = (14)
D(2L + D − 2l1 )
Jangkauan nilai untuk C dan R dapat dilihat pada Tabel 1.
5. Metode Free Earth Support II–11

Tabel 1. Jangkauan nilai-nilai C dan R


Jenis tanah C R
Pasir lepas 0,80 - 0,85 0,30 - 0,50
Pasir lepas 0,70 - 0,75 0,55 - 0,65
Pasir lepas 0,55 - 0,65 0,60 - 0,75

Nilai ini berlaku dalam hal tidak ada beban
tambahan di atas tanah urugan, yaitu di se-
belah kanan turap pada Gambar 6.

Kedalaman penetrasi (D), gaya jangkar per satuan panjang dinding (F ), dan mo-
men maksimum pada dinding (Mmax ) dapat dihitung dengan rumus-rumus berikut ini.
Kedalaman penetrasi,
    2    
2 l1 L l1
D + 2DL 1 − − 1−2 =0 (15)
L R L

Gaya jangkar,

F = p̄a (L − RD) (16)

Momen maksimum,
 2   
R 2l1 RD
Mmax = 0, 5p̄a L2 1− − 1− (17)
D L L

Berikut ini adalah beberapa catatan penting.

1. Besaran D yang diperoleh dari Pers.(15) adalah sekitar 1,25 hingga 1,5 kali ni-
lai Dteoretis yang diperoleh dari metode konvensional free earth support, yaitu
Pers.(4). Sehingga,

D [Pers.(15)] ≈ Daktual [Pers.(4)]

2. Besar F yang diperoleh dari Pers.(16) adalah sekitar 1,2 sampai 1,6 kali nilai
yang diperoleh dari Pers.(2). Sehingga tambahan faktor keamanan dalam desain
jangkar tidak lagi diperlukan.

3. Besar Mmax yang diperoleh dari Pers.(17) adalah sekitar 0,6 sampai 0,75 kali nilai
Mmax yang diperoleh dari metode konvensional free earth support. Sehingga nilai
Mmax ini dapat dijadikan langsung sebagai nilai desain, sehingga momen reduksi
Rowe tidak perlu lagi digunakan.
II–12

6. Metode Fixed Earth Support


6.1 Metode Fixed Earth Support pada Pasir
Dalam menggunakan metode fixed earth support, diasumsikan bahwa kaki tiang tu-
rap tidak diperbolehkan mengalami rotasi (terjepit), seperti diperlihatkan pada Gam-
bar 6(a). Diagram distribusi tekanan lateral bersih untuk kondisi ini juga diperli-
hatkan pada gambar yang sama. Di dalam solusi metode ini, bagian bawah dari
diagram distribusi tekanan −yaitu HF H  GB− digantikan oleh sebuah beban ter-
pusat P  . Untuk menghitung L4 , sebuah penyelesaian sederhana yang disebut dengan
equivalent beam solution (solusi balok ekivalen) umumnya digunakan. Untuk mema-
hami solusi balok ekivalen ini, perhatikanlah titik I, yang merupakan titik perubahan
bentuk defleksi tiang turap. Pada titik ini, kepala tiang dapat diasumsikan sebagai
sendi sehingga momen lentur menjadi nol [Gambar 6(b)]. Jarak vertikal antara titik I
dan garis galian adalah sama dengan L5 . Blum (1931) telah memberikan solusi matem-
atis antara L5 dan L1 + L2 . [Gambar 6(d)] adalah hasil plot L5 /(L1 + L2 ) vs. sudut
gesek tanah, φ.
6. Metode Fixed Earth Support II–13

A
l1 P a s ir
L O ' Ja n g k a r
M u k a a ir 1 F
ta n a h C C , B , c = 0
p 1
z
B e n tu k le n d u ta n P a s ir
tia n g tu ra p C sat
B , c = 0
L 2

p 2
D
L I L
L 3
5 5

E D
L 4
F H
P '
H '
G
B
(a ) D ia g ra m te k a n a n (b ) D ia g ra m m o m e n

O ' F

p 1 0 ,3

0 ,2
p
2

2
+ L

L
5

5
L

I p '' P ''
L 1

I
p 2 ''
P '' 0 ,1
L 3 L 5

L 4
F P ' 0
H 2 0 2 5 3 0 3 5 4 0
p 2 ''' = C ' ( K p - K a ) L 4 S u d u t g e s e k ta n a h , B (d e ra ja t)
(c ) M e n e n tu k a n L 4 (d )

Gambar 7. Metode fixed earth support tertanam pada pasir


6.1. Metode Fixed Earth Support pada Pasir II–14

Dengan mengetahui nilai φ dan L1 + L2 , maka besar L5 dapat ditentukan. Bagian


turap [Gambar 6(c)] di atas titik I dapat diperlakukan sebagai sebuah balok yang
menahan tekanan lateral tanah melalui gaya jangkar F (kN/m) dan gaya geser P 
(kN/m). Gaya geser P  dapat dihitung dengan mengambil momen di titik O  (yaitu
tepat di kedudukan jangkar).
Sekali nilai P  diketahui, maka panjang L4 dapat diperoleh dengan mengambil
momen di titik H (lihat diagram bawah dari [Gambar 6(c)]). Kedalaman penetrasi D,
kemudian dapat ditentukan sebagai 1.2 sampai 1.4 (L3 + L4 ).

6.1.1 Prosedur Menentukan D


Berikut ini langkah-langkah untuk menghitung kedalaman penanaman turap akan
diberikan seperti halnya langkah-langkah yang sudah diterangkan sebelumnya.

Langkah 1.

Menentukan Ka dan Kp .

Langkah 2.

Menghitung p1 dan p2 dari Pers. (1) dan (2) pada Modul I.

Langkah 3.

Menghitung L3 dengan Pers. (6) pada Modul I.

Langkah 4.

Menentukan L5 dengan menggunakan [Gambar 6(d)]

Langkah 5.

Menghitung p2 [Gambar 6(c)]


p2 (L3 − L5 )
p2 = (18)
L3

Langkah 6.

Menggambarkan distribusi tekanan untuk bagian turap yang berada diatas I, seperti
diperlihatkan pada [Gambar 6(c)].

Langkah 7.

Untuk diagram yang digambar pada Langkah 6, ambil momen di titik O  untuk menghi-
tung P 
7. Contoh Soal II–15

Langkah 8.

Dengan mengetahui P  , gambarkan diagram distribusi tekanan untuk bagian turap


yang berada di antara titik I dan H, seperti pada [Gambar 6(c)]. Perlu dicatat bahwa
dalam diagram ini p 
2 adalah sama dengan γ (Kp − Ka )(L4 ).

Langkah 9.

Untuk diagram pada Lngkah 8, ambillah momen di titik H untuk menghitung L4 .

Langkah 10.

Menghitung D = 1.2 hingga 1.4(L3 + L4 ).

7. Contoh Soal
7.1 Soal 1
Ulanglah problem pada Soal 1 dalam Modul I, dengan menambahkan jangkar pada
turap, dan tentukanlah

a. Kedalaman penetrasi teoretis dan aktual.

b. Gaya jangkar per satuan panjang dinding.

c. Besarnya Mmax

d. Penampang desain turap yang paling cocok dengan menggunakan momen reduksi
Rowe.

Anggaplah jangkar terletak pada kedalaman 1 m dari puncak turap.

Penyelesaian

Dari penyelesaian Soal 1 sebelumnya,

p1 = 9.763 kN/m2
p2 = 18.53 kN/m2
L3 = 0.66 m
P = 58.32 kN/m
z̄ = 2.23 m
7.1. Soal 1 II–16

Bagian a: Kedalaman penetrasi

Dengan mengacu pada Pers. (3)

3P [(L1 + L2 + L3 ) − (z̄ + l1 )]
L34 + 1.5L24 (l2 + L2 + L3 ) − =0
γ  (Kp − Ka )

Karena,
l1 = 1 m Kp = 3.25
l2 = 1 m Ka = 0.307
Maka:
3(58.32)[(2 + 3 + 0.66) − (2.33 + 1)]
L34 + 1.5L24 (1 + 3 + 0.66) − =0
9.52(3.25 − 0.307)

L34 + 6.99L24 − 14.55 = 0 (a)

Nilai L4 dapat diperoleh dengan cara trial and error, dengan pertolongan tabel di
bawah ini.

L4 yang dicoba Sebelah kiri


(m) Pers. (a)
2.0 +21.41
1.5 +3.55
1.4 +2.89
1.3 −0.54

Dari tabel dapat dilihat nilai L4 = 1.4 m untuk satu desimal. Maka,

Dteoretis = L3 + L4 = 0.66 + 1.4 = 2.06 m

Daktual = 1.4Dteoretis = (1.4)(2.06) = 2.88 m (dibulatkan menjadi 2.9 m)

Bagian b: Gaya jangkar

Dari Pers. (2)


1
F = P − [γ  (Kp − Ka )]L24
2
1
= 58.32 − [9.52(3.25 − 0.307)](1.4)2 = 30.86 kN/m
2

Bagian c: Momen maksimum (Mmax )

Dengan mengacu pada Pers. (5) untuk gaya geser nol,


1 1
p1 L1 − F + p1 (z − L1 ) + Ka γ  (z − L1 )2 = 0
2 2
7. Contoh Soal II–17

1 1
( )(9.763)(2) − 30.86 + (9.763)(z − 2) + (0.307)(9.52)(z − 2)2 = 0
2 2
Ambillah z − 2 = x, sehingga

9.763 − 30.86 + 9.763x + 1.461x2 = 0


x2 + 6.682x − 14.44 = 0
x = 1.72 m

atau

z = x + 2 = 1.72 + 2 = 3.72 m
(L1 + L2 < z < L1 − terbukti)

Sekarang carilah momen pada titik dimana gaya geser nol (yaitu pada z = 3.72 m atau
pada x = 1.72 m).
     x 1 
1 1  2 x
Mmax = − p1 L1 x + (2) + F (x + 1) − (p1 x) − Ka γ (x)
2 3 2 2 3

9.763(1.72)2 (0.307)(9.52)(1.72)3
Mmax = −(9.763)(2.387) + (30.86)(2.72) − −
2 6
= −23.3 + 83.94 − 14.44 − 2.48 = 43.72 kN − m/m

Bandingkanlah momen ini dengan momen yang diperoleh dari Soal 1.

Bagian d: Momen reduksi untuk perancangan penampang

Untuk reduksi momen, tabel di bawah ini dapat dibuat.

Md =
4  10.91×10−7 H 4 3 Md
Section I (m /m) H ρ= EI
log ρ S (m /m) S.σall Mmax
(m) (kN−m)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
PDA-27 54.33×10−6 7.9 0.000378 −3.42 57 ×10−5 98.32 2.250
PMA-22 18.7×10−6 7.9 0.001098 −2.96 29 ×10−5 50.02 1.140
PSX-32 5.05×10−6 7.9 0.004080 −2.39 12.89 ×10−5 22.24 0.508
PS-28 3.82×10−6 7.9 0.005370 −2.27 10.2 ×10−5 17.60 0.403
(1),(2),(6) dari Tabel 1 pada Modul I
(4) Pers. (8), E = 207 × 103 MN/m2
(7) σall = 172,500 kN/m2
(8) Mmax = 43.72 kN−m/m
Gambar 7 menunjukkan nilai-nilai dari perhitungan log ρ yang dihubungkan dengan
nilai-nilai Md /Mmax (diasumsikan tanah berprilaku seperti pasir lepas). Pada gambar
II–18

ini juga diplot kurva rencana log ρ vs Md /Mmax sebagaimana yang diberikan oleh Rowe
(dari Gambar 4). Perlu dicatat bahwa semua titik-titik yang berada di atas kurva
adalah penampang yang aman digunakan dalam desain. Titik yang menunjukkan
penampang P S−28 adalah titik yang paling dekat ke kurva; maka inilah penampang
disain yang akan dipakai.

1 ,0

0 ,8
P a s ir le p a s
0 ,6
M d

M m a x P S -2 8
0 ,4
P S -3 2

0 ,2

0
- 3 ,5 - 3 ,0 - 2 ,5 - 2 ,0
L o g H

Gambar 8. Hasil plot penampang aman

8. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[3] Rowe, P.W.: Anchored sheet pile walls, Proceedings, Institute of Civil Engineers,
London, Vol. 1, Part 1, pp.27-70, 1952.
[4] Rowe, P.W.: Sheet pile walls in clay, Proceedings, Institute of Civil Engineers,
London, Vol. 7, pp.629-654, 1957.
Modul III

Jangkar
DAFTAR ISI i

Daftar Isi
1 Pengantar III–1

2 Tujuan Instruksional Umum III–1

3 Tujuan Instruksional Khusus III–1

4 Jangkar III–1
4.1 Jenis dan Fungsi Jangkar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–1
4.2 Penempatan Jangkar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–3
4.3 Plat dan Balok Jangkar pada Pasir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–3
4.4 Plat dan Balok Jangkar pada Lempung . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–9
4.4.1 Faktor keamanan untuk plat dan balok jangkar . . . . . . . . . III–11
4.4.2 Jarak plat jangkar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–11
4.4.3 Tahanan batas batang penguat (tie backs) . . . . . . . . . . . . III–11

5 Contoh Soal III–12


5.1 Soal 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–12
5.2 Soal 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . III–13

6 Referensi III–14
4. Jangkar III–1

Jangkar

1. Pengantar
Modul ini akan menguraikan jenis, fungsi, perhitungan gaya tarik yang diberikan oleh
jangkar. Sebagai bagian dari perencanaan turap berjangkar, metode konstruksi dan
penempatannya juga akan diuraikan. Jangkar perlu dengan hati-hati dipilih dan di-
rencanakan, karena stabilitas turap berjangkar bergantung pada stabilitas jangkarnya.

2. Tujuan Instruksional Umum


Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan mahasiswa mampu memilih dan meren-
canakan jangkar sebagai komponen pada turap berjangkar.

3. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat memenuhi hal-hal berikut.

1. Mahasiswa memahami jenis dan fungsi jangkar.

2. Mahasiswa mampu menghitung gaya tarik yang dapat dipikul jangkar, berikut
penempatannya dalam konstruksi turap berjangkar.

4. Jangkar
4.1 Jenis dan Fungsi Jangkar
Bagian ini akan membicarakan bagaimana untuk mendapatkan gaya F , per satuan
panjang dinding turap yang akan dipikul oleh jangkar. Ini akan meliputi berbagai jenis
jangkar yang umumnya dipakai dan prosedur untuk mengevaluasi kapasitas tahanan
batasnya (ultimate holding capacity).
Jangkar yang digunakan pada turap secara umum dapat di bagi sebagai berikut:

1. Plat dan balok (balok berat) jangkar

2. Batang penguat di belakang turap (tie backs)

3. Tiang jangkar vertikal

4. Balok jangkar yang didukung oleh tiang-tiang miring (tekan dan tarik)
4.1. Jenis dan Fungsi Jangkar III–2

4 5 -f /2 4 5 + f /2
4 5 -f /2 D C I
A T u ra p
F J a n g k a r p la t
M u k a a ir a ta u b a lo k
ta n a h G H
J a n g k a r p la t
E
a ta u b a lo k

W a lin g

B a ta n g ta rik

B
P o to n g a n T a m p a k
(a )

4 5 + f /2 4 5 + f /2
4 5 -f /2

M u k a a ir
ta n a h
M u k a a ir T ia n g ja n g k a r
ta n a h
b a ta n g ta rik
b a ta n g ta rik
a ta u k a b e l

b e to n g ro u tin g
(b ) (c )
4 5 + f /2

M u k a a ir b a ta n g ta rik
ta n a h B a lo k ja n g k a r

T ia n g te k a n T ia n g ta rik

(d )

Gambar 1. Berbagai jenis jangkar untuk turap: (a) plat atau balok jangkar; (b) batang
penguat (tie back); (c) tiang jangkar vertikal; (d) balok jangkar dengan tiang-
tiang miring
4. Jangkar III–3

Plat dan balok jangkar biasanya terbuat dari beton jadi [Gambar 1(a)]. Jangkar
dihubungkan ke turap dengan menggunakan batang penguat (tie rods). Sebuah wal-
ing (wale) ditempatkan pada bagian depan atau belakang turap untuk memudahkan
penempatan batang penguat pada dinding turap. Untuk mencegah batang penguat
berkarat, biasanya batang ini dilapisi dengan cat atau bahan-bahan dari aspal.
Pada waktu pemasangan batang-batang penguat di belakang turap, batang atau
kabel ditempatkan di dalam lubang-lubang yang dibor terlebih dahulu [Gambar 1(b)],
lalu digruting dengan beton (kabel biasanya berkekuatan tinggi, tendon baja prate-
gang). Gambar 1(c) dan 1.14(d) menunjukkan tiang jangkar vertikal dan balok jangkar
dengan tiang-tiang miring.

4.2 Penempatan Jangkar


Tahanan yang diberikan oleh plat dan balok jangkar pada pokoknya berasal dari gaya
pasif tanah yang berada dibelakangnya. Untuk mempelajari bagaimana menentukan
lokasi paling baik untuk plat jangkar (efisiensi maksimum), perhatikanlah Gambar
1(a), dimana AB adalah tiang turap. Jika jangkar ditempatkan di dalam baji ABC,
yang adalah zona aktif Rankine, maka tidak akan ada tahanan sedikitpun, sehingga
jangkar pasti akan gagal. Sebagai alternatif, jangkar bisa juga ditempatkan pada zona
CF EH. Catatan bahwa garis DF G adalah garis gelincir untuk tekanan pasif Rankine.
Jika bagian baji pasif ditempatkan di dalam baji aktif ABC, tahanan pasif penuh
jangkar tidak dapat disadari pada saat terjadi kegagalan turap. Namun, jika jangkar
ditempatkan dalam zona ICH, zona pasif Rankine di depan balok atau plat jangkar
akan berada keseluruhannya di luar zona aktif Rankine ABC. Dalam kasus ini, tahanan
pasif penuh dari jangkar akan dapat diperoleh.
Gambar 1(b), 1(c), dan 1(d) juga menunjukkan lokasi yang tepat untuk men-
empatkan batang penguat jangkar, tiang jangkar vertikal, dan balok jangkar yang
didukung oleh tiang-tiang miring.

4.3 Plat dan Balok Jangkar pada Pasir


Teng (1962) mengajukan persamaan-persamaan berikut ini untuk menghitung tahanan
batas plat atau dinding jangkar pada tanah granular yang berada di permukaan tanah
atau di dekatnya (H/h ≤ 1.5 sampai 2 pada Gambar 2).

Pu = B(Pp − Pa ) (untuk plat atau balok menerus − yaitu, B/h ≈ ∞) (1)

dimana Pu = tahanan batas jangkar


B = panjang jangkar ke arah kanan dari penampang
Pa = gaya aktif Rankine per satuan panjang jangkar
Pp = gaya pasif Rankine per satuan panjang jangkar
4.3. Plat dan Balok Jangkar pada Pasir III–4

P a s ir

H
K p = ta n 2(4 5 + B /2 )
P h K a = ta n 2(4 5 B /2 )
u

g H K p g H K a

Gambar 2. Tahanan batas plat dan balok jangkar pada pasir Pers. (1) dan (4)

Catatan bahwa Pp bekerja di sebelah depan jangkar, seperti ditunjukkan dalam


Gambar 2. Juga
 
1 2 2 φ
Pp = γH tan 45 + (2)
2 2

dan
 
1 2 2 φ
Pa = γH tan 45 − (3)
2 2

Pers. (1) berlaku hanya untuk kondisi jenis regangan-bidang (plane strain). Untuk
keseluruhan kasus-kasus praktek, B/h > 5 dapat dipertimbangkan sebagai kondisi
regangan bidang.
Untuk B/h < sekitar 5, harus dipertimbangkan sebagai keruntuhan permukaan
tiga-dimensi (three-dimensional failure surface) yaitu dengan memperhitungkan tahanan
gesek pada kedua ujung jangkar, Teng (1962) juga telah memberikan hubungan untuk
tahanan batas jangkar pada kondisi seperti itu sebagai berikut:
  
1  3 H
Pu = B(Pp − Pa ) + Ko γ( Kp + Ka )H tan φ untuk ≤ 1.5 sampai 2 (4)
3 h

dimana Ko = koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam ≈ 0.4.


Hasil yang lebih akhir diberikan oleh Ovesen dan Stromann (1972) yang mengajukan
sebuah metode untuk menentukan tahanan batas jangkar di dalam pasir. Metode
ini dianggap sebagai metode yang paling rasional yang ada saat ini. Berikut adalah
langkah-langkah perhitungan dengan menggunakan metode ini.
Langkah 1. Pertimbangan kasus dasar. Tentukan kedalaman penanaman
jangkar, H. Asumsikan bahwa plat jangkar mempunyai tinggi H dan menerus (yaitu, B
= panjang plat jangkar yang tegak lurus dengan penampang = ∞), seperti ditunjukkan
4. Jangkar III–5

pada Gambar 3. Gambar ini diacu sebagai kasus dasar. Pada gambar ini notasi berikut
akan digunakan.
Pp = gaya pasif per satuan panjang jangkar
Pa = gaya aktif per satuan panjang jangkar
φ = sudut gesek tanah
δ = sudut gesek antara plat jangkar dan tanah
Pu = tahanan batas per satuan panjang jangkar
W = berat per satuan panjang plat jangkar

4 5 + B /2 4 5 - B /2
P a
H B P u '
d P a s ir
g
P p B

Gambar 3. Kasus dasar-jangkar vertikal menerus di dalam pasir

Besarnya Pu dapat ditentukan dari rumus berikut,

Pu = 1
2
γH 2 Kp cos δ − Pa cos φ = 12 γH 2 Kp cos δ − 12 γH 2 Ka cos φ
= 1
2
γH 2 (Kp cos δ − Ka cos φ) (5)

dimana Ka = koefisien tekanan aktif dengan δ = φ [lihat Gambar 4(a)]


Kp = koefisien tekanan pasif
Untuk menentukan Kp cos δ, terlebih dahulu hitunglah Kp sin δ dengan rumus berikut,

W + Pa sin φ W + 12 γH 2 Ka sin φ
Kp sin δ = = (6)
1
2
γH 2 1
2
γH 2

Dengan menggunakan nilai Kp sin δ dari rumus di atas, besarnya Kp cos δ dapat diper-
oleh dari grafik pada Gambar 4(b).
Langkah 2. Kasus jalur. Disini akan ditentukan tinggi aktual jangkar, h. Jika
tinggi jangkar menerus (yaitu, B = ∞) ditempatkan di dalam tanah sedemikian hingga
kedalaman penanaman adalah H, seperti diperlihatkan pada Gambar 5, maka tahanan
batas per satuan panjang dapat dinyatakan sebagai berikut.
⎡ ⎤
⎢ Cov + 1 ⎥

Pus =⎢
⎣  ⎥ P  ←− Pers.(5) (7)
H ⎦ u
Cov +
h

dimana Pus = tahanan batas untuk kasus jalur
Cov = 19 untuk pasir padat dan 14 untuk pasir lepas
4.3. Plat dan Balok Jangkar pada Pasir III–6

0 ,7
0 ,6
0 ,5 P a
B
0 ,4

K a 0 ,3 B u s u r s p ira l

0 ,2

0 ,1
1 0 2 0 3 0 4 0 4 5
S u d u t g e s e k ta n a h , B (d e ra ja t)
(a )
1 4
1 2
4 5 O
1 0
4 0 O
8
3 5 O
c o s d

6
p

3 0 O
K

4
B = 2 5 O

2
0 1 2 3 4 5
K p s in d
(b )
Gambar 4. Analisis Ovesen and Stromann: (a) variasi Ka dengan δ = φ; (b) variasi Kp cos δ
dan Kp sin δ
4. Jangkar III–7

P a s ir
H g
h P u' s B

Gambar 5. Jangkar vertikal untuk kasus jalur

Langkah 3. Kasus Aktual. Dalam praktek, plat jangkar ditempatkan pada


suatu baris dengan jarak antara pusat ke pusatnya adalah S  seperti terlihat pada
Gambar 6(a). Untuk kasus aktual, tahanan batas setiap jangkar, Pu dapat dihitung
sebagai,

Pu = Pus Be (8)

dimana Be = panjang ekivalen.

B P a s ir
H S ' S ' g
h
B
(a )
0 ,5

P a s ir p a d a t
0 ,4
- B )(H + h )

0 ,3 P a s ir le p a s

0 ,2
(B e

0 ,1

0
0 0 ,5 1 ,0 1 ,2 5
(S ' - B )/(H + h )
(b )

Gambar 6. Jangkar vertikal untuk kasus jalur

Panjang ekivalen adalah sebuah fungsi dari S  , B, H, dan h. Gambar 6(b) menun-
jukkan hubungan antara (Be − B)/(H + h) dengan (S  − B)/(H + h) untuk kasus pasir
padat dan lepas. Dengan mengetahui nilai-nilai S  , B, H, dan h maka nilai Be dapat
dihitung untuk digunakan pada Pers.(8) dalam menentukan Pu .
4.3. Plat dan Balok Jangkar pada Pasir III–8

Sejauh ini studi-studi untuk menentukan hubungan antara beban dan perpindahan
jangkar adalah relatif sedikit. Gambar 7 menunjukkan sebuah contoh perpindahan
jangkar tak berdimensi untuk berbagai nilai B/h dan H/h, yang diperoleh oleh Neeley
et al. (1973) melalui percobaan di dalam pasir, dari medium hingga padat. Das (1975)
dan Das and Neeley (1975) juga menemukan hubungan yang mirip untuk jangkar di
dalam medium pasir lepas. Berdasar pada hasil-hasil percobaan, Das and Seeley (1975)
mengajukan hubungan antara beban dan perpindahan jangkar sebagai berikut:

Δ
P = (9)
0, 15 + 0, 85Δ

beban jangkar pada perpindahan horizontal, Δ


dimana P = (10)
beban batas pada perpindahan horizontal, Δu

Δ
Δ= (11)
Δu
Hubungan yang diberikan oleh Pers. (7) berlaku untuk B/h bervariasi dari 1 sampai
5 dan H/h bervariasi dari 1 sampai 5.

4 ,5

4 1
2
2 ,7 5
3 ,5
H 3
5
h

0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0
D U
(% )
h

Gambar 7. Jangkar vertikal untuk kasus jalur


4. Jangkar III–9

4.4 Plat dan Balok Jangkar pada Lempung


Sejauh ini, relatif sedikit studi-studi yang telah dilakukan untuk mendapatkan tahanan
batas plat dan balok jangkar pada tanah lempung (kondisi φ = 0). Mackenzie (1955)
dan Tschebotarioff (1973) telah menyediakan sifat-sifat variasi tahanan batas jangkar
jalur dan balok sebagai fungsi dari H, h, dan c (kohesi tak salur berdasarkan kondisi
φ = 0) dalam bentuk tunadimensi dari hasil uji model di laboratorium. Das, Tarquin,
dan Moreno (1985) menggagas prosedur berikut ini dalam menentukan tahanan batas
jangkar yang tertanam di tanah lempung.

L e m p u n g
g H
h P u
B = 0
c
(a )

L e m p u n g
g
B = 0
c H

h P u

(b )

Gambar 8. Sifat bidang keruntuhan dalam tanah di sekitar jangkar: (a) H/h relatif kecil;
(b) H/h > (H/h)cr

Apabila plat jangkar mempunyai dimensi h × B tertanam hingga kedalaman H,


permukaan runtuh tanah dalam keadaan beban batas dapat diteruskan ke permukaan
tanah, seperti ditunjukkan pada Gambar 8(a). Kondisi ini akan timbul apabila nisbah
H/h relatif kecil. Namun bila nisbah ini besar, maka keruntuhan geser lokal akan terjadi
pada beban batas [Gambar 8(b)]. Nilai kritis H/h dimana keruntuhan geser umum
berubah menjadi keruntuhan geser lokal dapat ditentukan dengan rumus berikut.
 
H
= 4, 7 + 2, 9 × 10−3 c ≤ 7
h cr−S
(untuk jangkar bujursangkar, yaitu, B/h = 1) (12)
4.4. Plat dan Balok Jangkar pada Lempung III–10

dan
       
H H B H
= 0, 9 + 0, 1 ≤ 1, 3
h cr−R h cr−S h h cr−S
(untuk jangkar persegipanjang, yaitu, B/h ≥ 1) (13)

Pada Pers.(12) dan (13) satuan kohesi taksalur adalah lb/ft2 .


Tahanan batas plat jangkar dapat dinyatakan dalam bentuk tunadimensi sebagai,
Pu
Fc = (14)
Bhc
dimana Fc = faktor kelolosan (breakout factor)
Pu = tahanan batas
Gambar 9 memperlihatkan sifat variasi Fc melawan H/h untuk plat jangkar yang
ditanam pada lempung. Perlu dicatat bahwa, untuk H/h ≥ (H/h)cr , besarnya Fc akan
sama dengan Fc(max) yaitu konstan. Untuk jangkar bujursangkar (yaitu, B = h), maka
Fc(max) = 9. Sehingga, dengan H/h ≥ (H/h)cr−S

Pu = 9h2 c (untuk jangkar bujursangkar) (15)

F c = P u /B h c

F c (m a x )

H /h
( H /h )c r

Gambar 9. Sifat variasi Fc dengan H/h untuk jangkar vertikal di dalam lempung

Untuk jangkar persegipanjang dengan H/h ≥ (H/h)cr−R , tahanan batas dapat


diberikan sebagai,
 
h
Pu = 9Bhc 0, 825 + 0, 175
B
atau
 
h
Pu = Bch 7, 425 + 1, 575 (16)
B
4. Jangkar III–11

Sehingga, untuk jangkar bujursangkar dan persegipanjang dengan H/h ≥ (H/h)cr ,


tahanan batas dapat dihitung dari hubungan empiris berikut:

H/h

(H/h)cr H/h
= 0, 41 + 0, 59 (17)
Pu /cBh (H/h)cr
7, 425 + 1, 575(h/B)

4.4.1 Faktor keamanan untuk plat dan balok jangkar


Tahanan ijin per plat jangkar, Pall , dapat diberikan sebagai
Pu
Pall = (18)
FS
dimana F S = faktor keamanan.
Secara umum faktor keamanan ini biasa diambil sebesar 2.

4.4.2 Jarak plat jangkar


Jarak jangkar dari pusat ke pusat (center-to-center spacing of anchors), S  , dapat
ditentukan dengan rumus:
Pall
S = (19)
F
dimana F = gaya per satuan panjang turap.

4.4.3 Tahanan batas batang penguat (tie backs)


Merujuk pada Gambar 10, tahanan batas yang dikerahkan oleh tie back pada pasir
dapat diberikan sebagai berikut:

Pu = πdlσ̄v K tan φ (20)

dimana Pu = tahanan batas


φ = sudut gesek tanah
σ̄v = tegangan efektif vertikal rata-rata (=γx pada pasir kering)
K = koefisien tekanan tanah

Nilai K dapat diambil sama dengan koefisien tekanan tanah diam (Ko ) jika beton
gruting ditempatkan di bawah tekanan (Das, 1984). Batas bawah nilai K dapat diambil
sama dengan koefisien tekanan tanah aktif Rankine.
Pada lempung, tahanan batas tie backs dapat diperkirakan dari rumus berikut:

Pu = πdlca (21)
III–12

dimana ca = adesi. Nilai ca dapat diambil sebesar 2/3 c (dimana c = kohesi tak-salur).
Sebuah faktor keamanan sebesar 1.5 − 2 dapat digunakan untuk seluruh tahanan
batas untuk memperoleh tahanan ijin yang dapat dikerahkan oleh masing-masing tie
back.

l
d

Gambar 10. Parameter untuk menentukan tahanan batas tie backs

5. Contoh Soal
5.1 Soal 1
Dengan mengacu pada Gambar 6(a). Diketahui: B = h = 0, 4 m, S  = 1, 2 m, H = 1
m, γ = 16, 51 kN/m3 , dan φ = 35◦ . Tentukanlah tahanan batas untuk masing-masing
plat jangkar. Plat jangkar terbuat dari beton dan tebalnya 0,15 m.

Penyelesaian

Dari Gambar 4(a) untuk φ = 35◦ , besarnya Ka = 0, 27


W = H t γbeton = (1 m)(0, 15 m)(23, 5 kN/m3 )
= 3, 525 kN/m
Dari Pers.(6)
W + 12 γH 2 Ka sin φ
Kp sin δ = 1
2
γH 2
3, 535 + (0, 5)(16, 51)(1)2(0, 26)(sin 35◦ )
= = 0, 576
(0, 5)(16, 51)(1)2
Dari Gambar 4(b) dengan φ = 35◦ dan Kp sin δ = 0, 576, nilai Kp cos δ adalah sekitar
4,5. Maka dengan menggunakan Pers.(5)
Pu = 1
2
γH 2 (Kp cos δ − Ka cos φ)
= ( 12 )(16, 51)(1)2[4, 5 − (0, 26)(sin 35◦ )] = 35, 92 kN/m
III–13


Untuk menghitung Pus , asumsikan bahwa pasir adalah lepas. Sehingga Cov pada
Pers.(7) adalah 14. Maka
⎡ ⎤ ⎡ ⎤
⎢ Cov + 1 ⎥ ⎢ 14 + 1 ⎥

Pus =⎢
⎣  ⎥ P 
= ⎢   ⎥ = 32, 65 kN/m
H ⎦ u ⎣ 1 ⎦
Cov + 14 +
h 0, 4

S − B 1, 2 − 0, 4 0, 8
= = = 0, 571
H +h 1 + 0, 4 1, 4
Untuk (S  − B)/(H + h) = 0, 571 dan pasir lepas Gambar 6(b) menurunkan
Be − B
= 0, 229
H−h
Sehingga

Be = (0, 229)(H + h) + B = (0, 229)(1 + 0, 4) + 0, 4


= 0, 72

Maka, dari Pers.(8)


Pu = Pus Be = (32, 65)(0, 72) = 23, 51 kN

6. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Pullout resistance of vertical anchors, Journal of the Geotechnical
Engineering Divisions, ASCE, Vol. 101, No. GT1, pp.87-91, 1975.
[3] Das, B.M., and Seeley, G.R.: Load-displacement relationships for vertical anchors
plates, Journal of the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 101, No.
GT7, pp.711-715, 1975.
[4] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[5] Neeley, W.J., Stuart, J.G., and Graham, J.: Failure loads of vertical anchor plates
in sand, Journal of the Soil Mechanics and Foundations Divisions, ASCE, Vol. 99,
No. SM9, pp.669-685, 1973.
[6] Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.
[7] Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-
Graw-Hill, New York, 1973.
Modul IV

Jenis dan Metode Instalasi


pada Pondasi Tiang
DAFTAR ISI i

Daftar Isi
1 Pengantar IV–1

2 Tujuan Instruksional Umum IV–1

3 Tujuan Instruksional Khusus IV–1

4 Fungsi dan Jenis Pondasi Tiang IV–2


4.1 Fungsi Pondasi Tiang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IV–2
4.2 Jenis Pondasi Tiang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IV–3
4.2.1 Tiang baja . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IV–3
4.2.2 Tiang beton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IV–7
4.2.3 Tiang kayu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IV–11
4.2.4 Tiang komposit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IV–12
4.2.5 Perbandingan antara jenis-jenis tiang . . . . . . . . . . . . . . . IV–12

5 Panjang Tiang dan Metode Instalasi IV–13


5.1 Perkiraan Panjang Tiang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IV–13
5.1.1 Point bearing piles . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IV–15
5.1.2 Friction piles . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IV–15
5.1.3 Tiang kompaksi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IV–16
5.2 Metode Instalasi Tiang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IV–16

6 Referensi IV–21
3. Tujuan Instruksional Khusus IV–1

Jenis dan Metode Instalasi


pada Pondasi Tiang

1. Pengantar
Modul ini akan menguraikan jenis, fungsi, dan metode instalasi pondasi tiang. Pondasi
tiang merupakan pondasi yang sangat banyak digunakan terutama untuk bangunan
gedung. Pondasi tiang tergolong ke dalam pondasi dalam, yang berarti bahwa biaya
konstruksinya menjadi jauh lebih mahal apabila dibandingkan dengan pondasi dangkal.
Namun ada kalanya pilihan pada penggunaan pondasi tiang merupakan keharusan.
Modul ini dititik beratkan pada pengenalan pondasi tiang, baik secara fisik maupun
sejumlah peralatan yang dibutuhkan dalam instalasinya (pemasukannya) ke dalam
tanah. Terdapat banyak metode instalasi hingga ke akhir-akhir ini. Metode instalasi
kuno berkaitan dengan penggunaan palu, yang sangat dikenal dengan istilah tiang
pancang. Namun perlu difahami bahwa akhir-akhir ini metode pemancangan bukanlah
metode yang terlalu populer, terutama di daerah perkotaan. Penggunaan tiang bor
malah boleh dikatakan terus meningkat terutama di daerah yang padat penduduknya.

2. Tujuan Instruksional Umum


Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan mahasiswa memiliki pengertian tentang
jenis-jenis pondasi tiang dan metode instalasinya.

3. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat memenuhi hal-hal berikut.

1. Mahasiswa memahami jenis-jenis pondasi tiang dan mampu memberi penjelasan


tentang keuntungan maupun kerugian suatu jenis pondasi tiang.

2. Mahasiswa mampu memahami metode instalasi tiang yang dilaksanakan hingga


akhir-akhir ini, dan mengerti keuntungan maupun kerugian suatu metode ter-
tentu berkaitan dengan situasi di lapangan.
IV–2

4. Fungsi dan Jenis Pondasi Tiang


4.1 Fungsi Pondasi Tiang
Tiang adalah bagian dari suatu struktur yang terbuat dari baja, beton, dan/atau
kayu. Tiang-tiang ini digunakan untuk membuat pondasi tiang, yang biasanya dalam
dan lebih mahal dari pondasi dangkal. Meskipun lebih mahal, penggunaan tiang ini
kadang merupakan keharusan demi tercapainya suatu struktur yang aman. Berikut
ini adalah beberapa fungsi yang berkaitan dengan kondisi yang memerlukan pondasi
tiang.

1. Apabila lapisan tanah bagian atas adalah sangat mudah termampatkan (highly
compressible) dan terlalu lunak untuk memikul beban dari struktur bagian atas,
sehingga tiang diperlukan untuk menyalurkan beban itu ke tanah keras atau
batuan. Hal ini diperlihatkan pada Gambar 1(a). Apabila batuan atau tanah
keras tidak berada pada kedalaman yang memadai, tiang dimanfaatkan un-
tuk menyalurkan beban secara berangsur ke tanah. Tahanan yang diberikan
tanah secara pokok akan berasal dari tahanan gesek yang dikerahkan oleh kulit
tiang yang merupakan muka-antara tanah-tiang (soil-pile interface), seperti di-
tunjukkan pada Gambar 1(b).

2. Ketika menerima gaya-gaya horizontal [lihat Gambar 1(c)], pondasi tiang dapat
melawan tekuk sementara menerima gaya-gaya vertikal yang datang dari struktur
di atasnya. Situasi dalam jenis ini umumnya ditemukan dalam perencanaan dan
pembangunan struktur-struktur penahan tanah dan pondasi dari gedung-gedung
tinggi yang mungkin menderita beban angin kencang dan/atau gaya-gaya gempa.

3. Di dalam banyak kasus, tanah-tanah ekspansive dan mudah runtuh bisa jadi
ditemukan pada tempat-tempat dimana struktur akan didirikan. Tanah seperti
ini mungkin saja mencapai kedalaman yang jauh di bawah permukaan tanah.
Tanah ekspansive akan mengembang dan menyusut bergantung pada naik atau
turunnya kadar air. Tekanan pengembangan dari tanah semacam ini biasanya
adalah tinggi. Jika pondasi dangkal digunakan dalam kondisi tanah seperti ini,
struktur bisa mengalami kerusakan yang serius. Tetapi kalau digunakan pondasi
tiang, maka tiang dapat diperpanjang sedemikian hingga melampaui zona yang
aktif mengembang maupun menyusut [Gambar 1(d)].
4. Fungsi dan Jenis Pondasi Tiang IV–3

4. Pondasi untuk struktur-struktur seperti menara transmisi, konstruksi lepas pan-


tai, dan basement yang berada di bawah muka air tanah akan mengalami gaya-
gaya angkat. Tiang dapat digunakan sebagai pondasi untuk jenis struktur seperti
ini untuk menahan gaya angkat [Gambar 1(e)].

5. Abutmen dan pier jembatan sering dibangun di atas pondasi tiang untuk menghin-
dari kemungkinan kehilangan daya dukung dari sebuah pondasi dangkal yang bisa
jadi disebabkan oleh erosi pada permukaan tanah [Gambar 1(f)].

Gambar 1. Pemakaian pondasi tiang

4.2 Jenis Pondasi Tiang


Jenis tiang yang akan digunakan dalam suatu konstruksi bergantung pada jenis beban
yang akan dipikul, kondisi tanah, dan letak muka air tanah. Biasanya tiang dapat
dibagi kedalam kategori: (a) tiang baja, (b) tiang beton, (c) tiang kayu, dan (d) tiang
komposit.

4.2.1 Tiang baja


Tiang baja umumnya digunakan baik sebagai tiang pipa maupun sebagai tiang baja
berpenampang H. Tiang pipa dapat disorongkan ke dalam tanah dengan ujung ter-
4.2. Jenis Pondasi Tiang IV–4

buka atau tertutup. Balok baja berpenampang flens-lebar (wide-flange) dan I dapat
juga digunakan sebagai tiang. Namun tiang berpenampang-H biasanya lebih disukai
karena badan (web) flensnya memiliki ketebalan yang sama. Pada balok berpenampang
flens-lebar dan I, ketebalan badannya lebih tipis dari flensnya. Tabel 1 memberikan
ukuran tiang baja penampang-H standar yang digunakan di Amerika Serikat. Tabel 2
memperlihatkan daftar sejumlah penampang pipa yang sering digunakan untuk pemi-
paan. Dalam banyak kasus, tiang pipa diisi dengan beton setelah dimasukkan ke dalam
tanah.

Tabel 1. Tiang berpenampang-H yang biasa digunakan di USA


Ukuran (mm) Tinggi Luas Tebal Lebar Momen inersia
× d1 Penampang w d2 (m4 × 10−6 )
Berat (kN/M) (mm) (m2 × 10−3 ) (mm) (mm) Ixx Iyy

HP 200 × 0.52 204 6.84 11.30 207 49.5 16.8


HP 250 × 0.834 254 10.80 14.40 260 123.5 42.5
× 0.608 246 8.00 10.60 256 87.5 24.0
HP 310 × 1.226 312 15.90 17.50 312 271.0 89.0
× 1.079 308 14.10 15.49 310 237.0 77.5
× 0.912 303 11.90 13.10 308 197.0 63.7
× 0.775 299 10.00 11.05 306 164.0 62.9
HP 330 × 1.462 334 19.00 19.45 335 370.0 123.0
× 1.264 329 16.50 16.90 333 314.0 104.0
× 1.069 324 13.90 14.50 330 263.0 86.0
× 0.873 319 11.30 11.70 328 210.0 69.0
HP 360 × 1.707 361 22.20 20.45 378 508.0 184.0
× 1.491 356 19.40 17.91 376 437.0 158.0
× 1.295 351 16.80 15.62 373 374.0 136.0
×1.060 346 13.80 12.82 371 303.0 109.0
4. Fungsi dan Jenis Pondasi Tiang IV–5

Tabel 2. Beberapa penampang tiang pipa


4.2. Jenis Pondasi Tiang IV–6

Beban rencana yang diijinkan untuk tiang baja dapat dihitung dengan rumus

Qijin = As σijin (1)

dimana As = luas penampang baja


σijin = tegangan ijin baja

Berdasar pada pertimbangan geoteknik, beban rencana untuk sebuah tiang dapat
ditentukan. Beban rencana Qrencana ini kemudian dikontrol oleh beban ijin tiang seperti
dalam Pers. (1). Tentunya beban rencana seharusnya lebih kecil dari beban ijin tiang.
Tiang baja, apabila diperlukan dapat disambung dengan las atau paku keling. Gam-
bar 2(a) memperlihatkan kondisi tipikal penyambungan dengan las sebuah tiang-H.
Kasus tipikal penyambungan dengan las tiang pipa terlihat pada Gambar 2(b). Gam-
bar 2(c) menunjukkan diagram penyambungan tiang-H dengan paku keling dan baut.

Gambar 2. Tiang baja: (a) sambungan tiang-H dengan las; (b) sambungan tiang pipa
dengan las; (c) sambungan tiang-H dengan paku keling dan baut; (d) sarung
datar pemancangan tiang pipa; (e) sarung konikal pemancangan tiang pipa

Kadang-kadang kondisi pemancangan agak sulit karena harus dipancang melalui


kerikil padat, lapisan keras, dan batuan lunak. Untuk ini ujung tiang dapat dilengkapi
4. Fungsi dan Jenis Pondasi Tiang IV–7

dengan titik pancang atau sepatu. Gambar 2(d) dan (e) menunjukkan dua jenis sepatu
yang sering dipakai pada tiang pipa.
Tiang baja bisa juga mengalami korosi. Sebagai contoh, tanah-tanah rawa, gambut
dan tanah organik lainnya bisa menyebabkan korosi. Tanah-tanah yang mempunyai pH
lebih besar dari 7 tidak terlalu korosif. Untuk mempertimbangkan akibat korosi, suatu
tambahan ketebalan baja (lebih dari luas penampang rencana) umumnya direkomen-
dasikan. Dalam keadaan tertentu penggunaan lapisan epoxy yang biasanya dipakai
di pabrik bisa juga mencegah korosi. Lapisan ini tidak begitu mudah rusak akibat
pemancangan tiang. Pelapisan dengan beton pada tiang baja juga dapat mencegah
korosi.

4.2.2 Tiang beton


Tiang beton dapat dibagi ke dalam dua kategori dasar: (a) tiang pracetak (precast piles)
dan (b) tiang dicor di tempat (cast-in-situ piles). Tiang pracetak dapat dibuat dengan
menggunakan beton bertulang biasa, yang penampangnya bisa jadi bujursangkar atau
segidelapan (octagonal), seperti ditunjukkan pada Gambar 3). Penulangan diperlukan
untuk memungkinkan tiang mampu melawan momen lentur ketika pengangkatan, be-
ban vertikal, dan momen lentur yang diakibatkan oleh beban lateral. Tiang dicetak
dengan panjang yang diinginkan dan dirawat hingga sebelum diangkut ke tempat pe-
mancangan.

Gambar 3. Tiang pracetak dengan penulangan biasa

Tiang pracetak bisa juga terbuat dari kabel prategang baja berkekuatan tinggi
(beton prategang). Kekuatan batas kabel baja ini berkisar 1800 MN/m2 (≈ 261 ksi).
Ketika mencetak tiang, kabel ditarik terlebih dahulu hingga sekitar 900 − 1300 MN/m2
(≈ 130−188 ksi), dan kemudian beton ditabur disekelilingnya. Setelah proses cur-
ing, kabel dipotong sehingga menghasilkan gaya kompresi pada lintang tiang. Tabel 3
4.2. Jenis Pondasi Tiang IV–8

memberi informasi tambahan tentang tiang beton prategang dengan penampang bu-
jursangkar dan oktagonal.

Tabel 3. Tiang beton prategang tipikal


4. Fungsi dan Jenis Pondasi Tiang IV–9

Cor di tempat dibuat dengan terlebih dahulu menggali lubang di tanah dan kemu-
dian mengisinya dengan beton. Berbagai jenis tiang beton cor di tempat digunakan
dalam konstruksi pada waktu akhir-akhir ini, dan kebanyakan diantaranya telah di-
patenkan oleh pabrik pembuatnya. Tiang-tiang semacam ini dapat dibagi ke dalam
dua kategori besar: (a) dengan casing dan (b) tanpa casing. Kedua jenis ini bisa
memiliki pedestal pada ujung bawahnya.
Tiang dengan casing terbuat dari sebuah casing baja yang disorongkan ke dalam
tanah dengan bantuan sebuah mandrel yang ditempatkan di dalam casing. Apabila
tiang telah mencapai kedalaman yang diinginkan, mandrel ditarik dan casing kemudian
diisi dengan beton. Gambar 4(a), (b), (c), dan (d) menunjukkan beberapa contoh
tiang dengan casing tanpa pedestal. Tabel 4 memberi informasi tentang tiang-tiang
dengan casing ini. Gambar 4(e) menunjukkan tiang dengan casing dan pedestal di
ujung bawahnya. Pedestal adalah beton yang dilebihkan pada ujung bawah tiang yang
menggelembung, ini bisa dibuat dengan menjatuhkan palu pada beton yang masih
segar.

Gambar 4. Tiang beton cor di tempat (lihat Tabel 4 untuk deskripsi lebih lanjut)

Gambar 4(f) dan (g) adalah dua jenis tiang tanpa casing dengan salah satu di-
4.2. Jenis Pondasi Tiang IV–10

antaranya menggunakan pedestal. Tiang tanpa casing dibuat dengan pertama-tama


mendorongkan casing ke dalam tanah hingga suatu kedalaman yang diinginkan dan
kemudian mengisinya dengan beton segar. Casing kemudian ditarik perlahan-lahan
secara bertahap.
Beban ijin untuk tiang beton cor di tempat bergantung pada apakah casing digu-
nakan atau tidak. Tiang dengan casing berarti casing akan menyumbang daya dukung
ijin pada tiang. Sedangkan tiang tanpa casing berarti beban seluruhnya dipikul oleh
beton. Dengan demikian beban ijin bisa diberikan dengan menggunakan rumus berikut
ini.

Tiang dengan casing:

Qijin = As fs + Ac fc (2)

dimana As = luas penampang baja


Ac = luas penampang beton
fs = tegangan ijin baja
fc = tegangan ijin beton

Tiang tanpa casing:

Qijin = Ac fc (3)

Tabel 4. Deskripsi tiang beton cor di tempat pada Gambar 4

Kedalaman tiang
Nama pada maksimum
Gambar 4 Nama tiang Jenis casing (m)
a Raymond Step-Taper Berombak, casing 30
silindris tipis
b Monotube atau Union Metal Bergalur tipis, casing 40
baja berpita
tanpa mandrel
c Western dengan casing Casing tipis 30-40
d Pipa Seamless atau Armco Casing pipa baja lurus 50
e Franki dengan casing Casing tipis 30-40
dan pedestal
f Western tanpa casing ——- 15-20
dan tanpa pedestal
g Franki tanpa casing ——- 30-40
tetapi dengan pedestal
4. Fungsi dan Jenis Pondasi Tiang IV–11

4.2.3 Tiang kayu


Tiang kayu adalah batang pohon yang cabang-cabangnya telah dipangkas dengan hati-
hati. Panjang maksimum kebanyakan tiang kayu adalah 10-20 m. Agar kualitas
tiang kayu yang dipakai bagus, maka kayunya harus lurus, keras, dan tanpa adanya
kerusakan. Manual Praktek No. 17 yang dikeluarkan oleh ASCE (The American Soci-
ety of Civil Engineers) tahun 1959, mengklasifikasikan tiang kayu ke dalam 3 kategori:
1. Tiang klas A: Tiang-tiang dalam kelas ini mampu menerima beban-beban yang
berat. Diameter minimum batang sekurang-kurangnya 356 mm.

2. Tiang klas B: Tiang-tiang dalam kelas ini mampu menerima beban-beban sedang.
Diameter minimum batang adalah 305-330 mm.

3. Tiang klas C: Tiang ini digunakan untuk kontruksi sementara. Tiang ini dapat
digunakan untuk konstruksi permanen apabila keseluruhan tiang tenggelam di
bawah muka air tanah. Diameter minimum batang sekurang-kurangnya 305 mm.
Dalam setiap keadaan, kepala tiang tidak boleh memiliki diameter yang kurang
dari 150 mm.
Tiang kayu biasanya tidak dapat menahan tegangan pada pemancangan yang keras;
oleh karena itu kapasitas tiang umumnya dibatasi hingga sekitar 220-270 kN (25-30
ton). Sepatu baja bisa digunakan untuk mencegah kerusakan ujung bawah tiang.
Kepala tiang mungkin bisa juga rusak selama proses pemancangan. Kerusakan pada
serat-serat kayu yang disebabkan oleh tumbukan palu dinamakan dengan brooming.
Untuk mencegah kerusakan kepala tiang, topi dari logam biasanya ditambahkan pada
kepala tiang.
Penyambungan tiang kayu haruslah dihindari, terutama apabila tiang akan memikul
beban tarik atau beban lateral. Namun apabila penyambungan diperlukan, maka ini
bisa dilakukan dengan menggunakan selubung pipa (pipe sleeves) seperti ditunjukkan
dalam Gambar 5(a) atau lempeng logam dengan baut (metal straps and bolt) pada
Gambar 5(b). Panjang selubung pipa sekurang-kurangnya 5 kali diameter tiang. Ujung
batang kayu harus dipotong bujur sangkar sehingga kontak penuh dapat dijaga. Bagian
penyambungan harus benar-benar dipotong sedemikian hingga cukup ketat di dalam
selubung pipa.
Tiang kayu dapat tetap tidak mengalami kerusakan dalam waktu tak terbatas apa-
bila sekeliling kayu adalah tanah yang jenuh air. Namun di lingkungan pantai, tiang
kayu dapat diserang oleh berbagai organisma yang akan menimbulkan kerusakan yang
berat setelah beberapa bulan. Bagian tiang yang berada di atas muka air bisa juga
diserang oleh serangga. Umur tiang bisa ditingkatkan dengan melumuri tiang dengan
minyak ter sebelum dipakai.
4.2. Jenis Pondasi Tiang IV–12

Gambar 5. Penyambungan tiang kayu: (a) selubung pipa; (b) lempeng logam dengan baut

Daya dukung ijin tiang kayu dapat dihitung dengan rumus berikut:

Qijin = Ap fw (4)

dimana Ap = luas penampang tiang rata-rata


fw = tegangan ijin kayu

4.2.4 Tiang komposit


Yang dimaksud dengan tiang komposit adalah tiang bagian atas dan bawah memiliki
bahan yang berbeda. Sebagai contoh, tiang komposit dapat terbuat dari baja dan
beton atau kayu dan beton. Tiang baja dan beton terdiri dari bagian bawah terbuat
dari baja dan bagian atas terbuat dari beton yang dicor di tempat. Tiang seperti
ini digunakan apabila panjang tiang yang dibutuhkan melampaui daya dukung tiang
beton cor di tempat yang sederhana. Tiang kayu dan beton biasanya terdiri dari
bagian bawah terbuat dari kayu yang secara permanen berada di bawah muka air dan
bagian atasnya beton. Dalam setiap kasus, bagaimanapun tidaklah mudah membuat
sambungan yang benar-benar baik antara dua bahan yang tidak sama, sehingga tiang
komposit sangat jarang digunakan.

4.2.5 Perbandingan antara jenis-jenis tiang


Beberapa faktor akan mempengaruhi pemilihan jenis tiang untuk suatu struktur ter-
tentu dan lokasi tertentu. Tabel 5 memberikan sebuah perbandingan ringkas antara
5. Panjang Tiang dan Metode Instalasi IV–13

keuntungan dan kerugian beberapa jenis tiang berdasarkan bahan tiang yang digu-
nakan.

5. Panjang Tiang dan Metode Instalasi


5.1 Perkiraan Panjang Tiang
Memilih jenis tiang yang akan digunakan dan perkiraan panjang tiang yang dibutuhkan
bukanlah perkara mudah, sebab memerlukan suatu pengambilan keputusan yang baik.
Pada bagian terdahulu tiang dibagi atas bahannya, dan sebagai tambahan tiang juga
dapat dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan pada panjang dan mekanisme transfer
bebannya ke tanah. Ketiga kategori itu adalah: (a) point bearing piles (b) friction piles
dan (c) compaction piles.
5.1. Perkiraan Panjang Tiang IV–14

Tabel 5. Perbandingan beberapa tiang


Panjang tiang Panjang tiang Perkiraan beban
Jenis tiang biasa dipakai maksium Beban biasa maksimum Komentar
(m) (m) (kN) (kN)
Baja 15-60 Praktisnya tak 300-1200 Pers. (1) Keuntungan
terbatas a. Mudah ditangani berkaitan dengan
pemotongan dan menambah pan-
jang tiang.
b. Dapat menahan tegangan yang
tinggi pada pemancangan.
c. Dapat disorongkan pada lapisan
tanah yang keras seperti
kerikil padat dan batuan lunak.
d. Daya dukung tinggi.
Kerugian
a. Bahan relatif mahal.
b. Pemancangan tiang menimbulkan
kebisingan
c. Mudah berkarat
d. Tiang-H bisa rusak atau meleng-
kung ketika dipancang di lapisan
tanah keras atau adanya halangan
Beton Cetak: Cetak: 30 300-3000 Cetak: 800-900 Keuntungan
cetak 10-15 Prategang: 60 Prategang: a. Tahan dengan pemancangan yang
Prategang: 7500-8500 keras.
10-35 b. Tahan terhadap korosi.
c. Dapat dengan mudah disatukan
dengan konstruksi beton.
Kerugian
a. Sulit dipotong.
b. Sulit dalam transportasi.
Beton cor 5-15 15-40 200-500 800 Keuntungan
di tempat a. Relatif murah.
dengan b. Memungkinkan diperiksa sebelum
casing beton mengering.
c. Mudah ditambah panjangnya.
Kerugian
a. Sulit disambung setelah jadi.
b. Casing yang tipis bisa rusak
selama pembuatan tiang.
Beton cor 5-15 30-40 300-500 700 Keuntungan
di tempat a. Awalnya ekonomis.
tanpa b. Dapat diselesaikan pada
casing setiap elevasi.
Kerugian
a. Pori bisa terbentuk apabila
pembetonan terlalu cepat.
b. Sulit disambung setelah jadi.
c. Pada tanah lunak, sebelah lubang
bisa runtuh sehingga
merusak beton.
Kayu 10-15 30 100-200 270 Keuntungan
a. Ekonomis.
b. Mudah ditangani.
c. Tiang yang tenggelam permanen
kualitasnya tak berkurang.
Kerugian
a. Kualitas kayu berkurang jika
berada di atas muka air.
b. Dapat rusak pada pemancangan
yang keras.
c. Kapasitas dukung rendah.
c. Kemampuan dengan beban tarik
rendah jika ada sambungan.
5. Panjang Tiang dan Metode Instalasi IV–15

5.1.1 Point bearing piles


Jika batuan atau mirip batuan pada lokasi berada pada kedalaman yang masuk akal,
yang dapat diketahui dari hasil pemboran, tiang dapat dibuat hingga mencapai batuan
itu (lihat Gambar 6). Dalam hal ini daya dukung batas tiang secara keseluruhannya
bergantung pada daya dukung batuan itu, sehingga tiang disebut dengan point bearing
piles yaitu daya dukung tiang merupakan daya dukung titik. Untuk kasus semacam
ini panjang tiang yang dibutuhkan dapat diketahui dengan pasti.
Disamping batuan, ada kalanya lapisan tanah yang sangat keras berada pada
kedalaman yang masuk akal, untuk ini tiang dapat diteruskan beberapa meter agar
mencapai tanah keras itu [lihat Gambar 6(b)]. Tiang dengan pedestal dapat dibuat
pada tanah seperti ini. Untuk jenis tiang seperti ini, beban batas tiang dapat diny-
atakan sebagai,

Qu = Qp + Qs (5)

dimana Qp = beban yang didukung oleh ujung (titik tiang)


Qs = beban yang dipikul oleh gesekan kulit pada sisi tiang (akibat tahanan
geser antara tanah dan tiang)
Jika Qs sangat kecil, maka

Qu ≈ Qp (6)

Dalam hal ini, panjang tiang yang dibutuhkan dapat juga diperkirakan dengan tepat
apabila catatan penyelidikan tanah tersedia.

5.1.2 Friction piles


Apabila batuan atau tanah keras tidak berada pada kedalaman yang masuk akal,
dukung tiang titik akan menjadi sangat panjang dan dengan demikian tidak ekonomis.
Untuk kondisi bawah tanah seperti ini, maka tiang dapat dimasukkan ke dalam tanah
melewati lapisan yang lunak hingga pada kedalaman tertentu [lihat Gambar 6(c)].
Beban batas untuk tiang semacam ini dapat dinyatakan seperti Pers. (5). Namun
apabila nilai Qp relatif kecil, maka

Qu ≈ Qs (7)

Tiang-tiang seperti ini disebut tiang gesek (friction piles) sebab dominan dukungan
tiang berasal dari gesekan kulit tiang. Namun istilah tiang gesek, meskipun sudah
sering digunakan, bukanlah istilah yang tepat, sebab pada tanah lempung tahanan
juga ditimbulkan oleh adanya adhesion.
5.2. Metode Instalasi Tiang IV–16

Panjang tiang gesek bergantung pada kuat geser tanah, beban, dan ukuran tiang.
Untuk menentukan panjang tiang yang dibutuhkan, yang dibutuhkan adalah penge-
tahuan tentang interaksi tiang-tanah, judgment yang baik, dan pengalaman.

Gambar 6. Dukung tiang titik [(a) dan (b)]; tiang gesek [(c)]

5.1.3 Tiang kompaksi


Dalam keadaan tertentu, tiang dapat disorongkan ke dalam tanah agar tanah yang
dekat dengan permukaan memadat (compaction). Tiang seperti ini disebut dengan
tiang kompaksi. Panjang tiang kompaksi bergantung pada faktor-faktor seperti (a)
kepadatan relatif tanah sebelum kompaksi, (b) kepadatan relatif yang diinginkan sete-
lah kompaksi, dan (c) kedalaman kompaksi yang diperlukan. Tiang-tiang ini umumnya
pendek, namun sejumlah pengujian dibutuhkan agar memperoleh gambaran yang tepat
untuk membuat keputusan tentang kedalamannya.

5.2 Metode Instalasi Tiang


Kebanyakan tiang dipancangkan kedalam tanah dengan menggunakan palu atau pen-
dorongan dengan vibrator. Dalam keadaan khusus tiang dapat juga dimasukkan den-
gan menggunakan pancaran (jetting) atau pemboran sebagian (partial augering). Palu
untuk pemancangan dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, seperti (a) palu dijatuhkan,
(b) palu tunggal (single-acting) dengan tenaga uap atau udara, (c) palu dobel (double-
acting) dengan tenaga uap atau udara, dan (d) palu diesel. Pada operasi pemancangan,
sebuah topi ditambahkan pada kepala tiang. Sebuah alas dapat juga ditambahkan an-
tara topi dan tiang. Agar topi tiang tidak rusak, sebuah alas bisa juga ditambahkan
sehingga palu akan memukul alas, bukan topi secara langsung.
5. Panjang Tiang dan Metode Instalasi IV–17

Gambar 7 memberi ilustrasi tiang pancang dengan berbagai macam palu. Sebuah
palu yang dijatuhkan [Gambar 7(a)] dinaikkan dengan derak hingga ketinggian H, lalu
dijatuhkan. Palu yang dijatuhkan (penumbuk) adalah jenis pemancangan yang paling
tua. Kerugian pokok dengan menggunakan jenis penumbuk ini adalah laju peman-
cangan sangat rendah. Prinsip pemancangan dengan tenaga uap atau udara untuk
single-acting ditunjukkan pada Gambar 7(b). Pada pemancangan jenis ini, bagian pe-
mukul atau ram dinaikkan dengan tenaga uap atau udara, lalu kemudian dijatuhkan.

Gambar 7. Peralatan pemancangan tiang: (a) palu jatuh; (b) tenaga uap atau udara single-
acting; (c) tenaga uap dan air double-acting dan differential; (d) diesel; (e)
vibrator

Gambar 7(c) menunjukkan operasi pemancangan dengan tenaga uap atau udara
untuk double-acting. Untuk jenis pemancangan ini, udara dan uap digunakan bersama-
sama untuk menaikkan ram dan untuk menekan ke bawah. Hal ini akan menaikkan
kecepatan impak ram. Palu diesel [Gambar 7(d)] secara pokok terdiri dari sebuah
ram, sebuah blok landasan, dan sebuah sistem injeksi-bahan bakar. Selama peng-
operasian, ram pertama sekali dinaikkan dan kemudian bahan bakar diinjeksikan ke
dekat landasan. Kemudian ram dilepas. Ketika ram jatuh, dia akan menekan campu-
ran udara-bahan bakar. Tekanan ini membakar campuran udara-bahan bakar. Sebagai
akibatnya, tiang akan tertekan ke bawah sedang ram kembali naik. Palu diesel bekerja
dengan baik meskipun dalam kondisi pemancangan yang berat. Pada tanah lunak,
pergerakan tiang ke bawah akan lebih besar dibandingkan dengan pergerakan ram ke
atas. Hal ini bisa tidak cukup untuk membakar sistem udara-bahan bakar, sehingga
5.2. Metode Instalasi Tiang IV–18

Gambar 7 Lanjutan
5. Panjang Tiang dan Metode Instalasi IV–19

ram harus diangkat secara manual. Tabel 6 dan 7 memberikan beberapa daftar diesel
yang tersedia di pasaran, palu dengan single-acting, double-acting, dan differential.
Prinsip pengoperasian pemancang dengan getaran (vibrator) ditunjukkan pada
Gambar 7(e). Pemancang ini pada pokoknya terdiri dari dua pemutar berat (counter-
rotating). Komponen horizontal gaya sentrifugal ditimbulkan oleh suatu hasil per-
putaran massa yang saling berlawanan satu dengan lainnya. Ini akan menghasilkan
gaya vertikal sinusoidal dinamik pada tiang sehingga membantu tiang terdorong ke
dalam tanah.

Tabel 6. Beberapa daftar palu dengan tenaga uap dan udara


Pabrik No. Laju energi Pukulan Berat ram
palu model Jenis palu kN-m kips-ft per menit kN kips
V 3100 Single acting 406.8 300.00 58 448.8 100.0
V 540 Single acting 271.2 200.00 48 181.9 40.9
V 060 Single acting 244.1 180.00 62 266.9 60.0
MKT OS-60 Single acting 244.1 180.00 55 266.9 60.0
V 040 Single acting 162.7 120.00 60 177.9 40.0
V 400C Differential 153.9 113.50 100 177.9 40.0
R 8/0 Single acting 110.2 81.25 35 111.2 25.0
MKT S-20 Single acting 81.4 60.00 60 89.0 20.0
R 5/0 Single acting 77.2 56.90 44 77.8 17.5
V 200-C Differential 68.1 50.20 98 89.0 20.0
R 150-C Differential 66.1 48.75 95-105 66.7 15.0
MKT S-14 Single acting 50.9 37.50 60 62.3 14.0
V 140C Differential 48.8 36.00 103 62.3 14.0
V 08 Single acting 35.3 26.00 50 35.6 8.0
MKT S-8 Single acting 35.3 26.00 55 35.6 8.0
MKT 11B3 Double acting 26.1 19.20 95 22.2 5.0
MKT C-5 Double acting 21.7 16.00 110 22.2 5.0
V 30-C Double acting 9.9 7.30 133 13.3 3.0
V (Vulcan Iron Works, Florida)
MKT (McKiernan-Terry, New Jersey)
R (Raymond International, Inc., Texas)

Pancaran (Jetting) adalah teknik yang kadang-kadang digunakan dalam peman-


cangan, apabila tiang perlu dipancangkan pada suatu lapisan tanah keras tetapi tipis
(seperti pasir dan kerikil) yang menutupi sebuah lapisan tanah yang lunak. Pada teknik
ini, air disemprotkan ke ujung tiang dengan menggunakan pipa dengan diameter 50-75
mm untuk membersihkan dan menghilangkan pasir dan kerikil.
Tiang kadang-kadang perlu dibuat membentuk sudut dengan horizontal atau dise-
but juga dengan tiang miring (batter piles). Tiang miring digunakan pada grup tiang
agar mendapatkan daya dukung lateral yang lebih besar. Tiang-tiang semacam ini
5.2. Metode Instalasi Tiang IV–20

dapat dibuat dengan sebagiannya adalah tiang bor. Dalam hal ini bor dapat diman-
faatkan untuk membuat lubang bor terlebih dahulu. Sehingga tiang dapat dimasukkan
ke dalam lubang hingga kedalaman yang diharapkan.

Tabel 7. Beberapa daftar palu diesel yang tipikal


Pabrik No. Laju energi Pukulan Berat piston
palu model kN-m kips-ft per menit kN kips
K K150 379.7 280.0 45-60 147.2 33.10
M MB70 191.2-86.0 141-63.40 38-60 70.5 15.84
K K-60 143.2 105.6 42-60 58.7 13.20
K K-45 123.5 91.1 39-60 44.0 9.90
M M43 113.9-51.3 84-37.80 40-60 42.1 9.46
K K-35 96.0 70.8 39-60 34.3 7.70
MKT DE70B 85.4-57.0 63-42.00 40-50 31.1 7.00
K K-25 68.8 50.7 39-60 24.5 5.51
V N-46 44.1 32.55 50-60 17.6 3.96
L 520 35.7 26.3 80-84 22.6 5.07
M M-14S 35.3-16.1 26-11.88 42-60 13.2 2.97
V N-33 33.4 24.6 50-60 13.3 3.00
L 440 24.7 18.2 86-90 17.8 4.00
MKT DE20 24.4-16.3 18-12.00 40-50 8.9 2.00
MKT DE-10 11.9 8.8 40-50 4.9 1.10
L 180 11.0 8.1 90-95 7.7 1.73
V (Vulcan Iron Works, Florida)
M (Mitsubishi International Corporation)
MKT (McKiernan-Terry, New Jersey)
L (Link, Belt, Cedar Rapids, Iowa)
K (Kobe Diesel)

Berdasarkan metode instalasinya, tiang dapat dibagi ke dalam dua kategori: tiang
perpindahan (displacement piles) dan tiang tunaperpindahan (nondisplacement piles).
Tiang pancang adalah tiang perpindahan, karena tiang ini menyebabkan tanah berpin-
dah ke arah lateral, dan oleh karena itu cenderung memadatkan tanah disekitarnya.
Kecenderungan untuk memadatkan tanah ini juga akan menghasilkan efek getaran ke
sekeliling lokasi pemancangan. Oleh karena itu pemakaian tiang pancang pada daerah
perumahan penduduk tidak terlalu disarankan. Untuk tiang−H agak kurang meng-
ganggu tanah secara lateral selama pemancangan, oleh karena itu tiang ini adalah
tiang perpindahan rendah. Sebaliknya, tiang bor adalah tiang tunaperpindahan. Pen-
empatan tiang ini hanya sedikit merubah keadaan tegangan di dalam tanah. Oleh
karena itu dewasa ini pemakaian tiang bor semakin meningkat, terutama di daerah
perkotaan dimana terdapat banyak gedung-gedung yang mungkin berada di dekat in-
IV–21

stalasi tiang.

6. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[3] Prakash, S., and Sharma, H.D.: Pile Foundations in Engineering Practice, John
Wiley & Sons, New York, 1990.
[4] Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.
[5] Tomlinson, M.J.: Pile Design and Construction Practice, A Viewpoint Publica-
tion, Cement and Concrete Association, 1977.
[6] Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-
Graw-Hill, New York, 1973.
Modul V

Daya Dukung Tiang Tunggal


DAFTAR ISI i

Daftar Isi
1 Pengantar V–1

2 Tujuan Instruksional Umum V–1

3 Tujuan Instruksional Khusus V–1

4 Mekanisme Transfer Beban V–1

5 Persamaan Daya Dukung Tiang V–4


5.1 Daya Dukung Titik (Ujung), Qp . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–4
5.1.1 Metode Meyerhof . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–5
5.1.2 Metode Vesic . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–9
5.2 Tahanan Gesek Kulit (Qs ) pada Pasir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–13
5.3 Tahanan Gesek Kulit (Qs ) pada Lempung . . . . . . . . . . . . . . . . V–14
5.3.1 Metode λ: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–14
5.3.2 Metode α: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–16
5.3.3 Metode β: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–16
5.4 Daya Dukung Ijin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–17
5.5 Komentar umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–18
5.6 Korelasi Desain Coyle dan Castello . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–19

6 Contoh Soal V–21


6.1 Soal 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–21
6.2 Soal 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–23
6.3 Soal 3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–24
6.4 Soal 4 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–25
6.5 Soal 5 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V–28

7 Referensi V–30
4. Mekanisme Transfer Beban V–1

Daya Dukung Tiang Tunggal

1. Pengantar
Modul ini akan menguraikan mekanisme transfer beban dan perhitungan daya dukung
tiang tunggal untuk sejumlah formula yang sudah mapan. Terdapat dua kategori kasar
dalam menghitung daya dukung tiang, yaitu dengan menggunakan data parameter
kekuatan geser tanah dari uji laboratorium dan formula dinamis yang dikembangkan
dari uji pemancangan tiang.
Dalam modul ini hanya akan diuraikan perhitungan daya dukung tiang berdasarkan
parameter kekuatan tanah yang diperoleh dari uji laboratorium dan sedikit menurut
hubungannya dengan data SPT dan CPT. Daya dukung tiang umumnya disumbangkan
oleh dua komponen tiang yang biasa disebut dengan daya dukung ujung dan hambatan
gesek kulit.

2. Tujuan Instruksional Umum


Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan mahasiswa mampu menghitung daya dukung
tiang tunggal sebagai dasar dalam menentukan daya dukung tiang kelompok.

3. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat memenuhi hal-hal berikut.

1. Mahasiswa memahami konsep mekanisme transfer beban pada pondasi tiang.

2. Mahasiswa mampu menghitung daya dukung ujung tiang, hambatan gesek kulit
dan akhirnya daya dukung batas tiang tunggal berdasarkan beberapa metode
yang sudah baku.

4. Mekanisme Transfer Beban


Mekanisme transfer beban dari tiang ke tanah adalah sungguh kompleks. Untuk mema-
haminya perhatikanlah sebuah tiang dengan panjang L dalam Gambar 1(a). Misalkan-
lah beban pada tiang dinaikkan sedikit demi sedikit dimulai dari nol sampai dengan
Q(z=0) pada permukaan tanah. Sebagian dari beban ini akan ditahan oleh gesekan
pada sisi tiang sepanjang tiang (Q1 ) dan sebagian lagi oleh tanah di ujung tiang (Q2 ).
V–2

Pertanyaan adalah, bagaimana Q1 dan Q2 dihubungkan dengan beban total? Jika pen-
gukuran dibuat untuk memperoleh beban yang dapat dipikul oleh batang tiang [Q(z) ]
pada setiap kedalaman z, maka variasinya akan menjadi seperti yang diperlihatkan
pada Kurva 1 dari Gambar 1(b). Tahanan gesek per satuan luas [f(z) ] untuk setiap
kedalaman z dapat ditentukan sebagai

Gambar 1. Mekanisme transfer beban untuk tiang

ΔQ(z)
f(z) = (1)
(p)(Δz)

dimana p = keliling penampang tiang. Variasi nilai-nilai f(z) dengan kedalaman ditun-
jukkan pada Gambar 1(c).
4. Mekanisme Transfer Beban V–3

Jika beban Q pada permukaan tanah dinaikkan sedikit demi sedikit, tahanan gesek
maksimum sepanjang batang tiang akan seluruhnya dikerahkan apabila perpindahan
relatif antara tanah dan tiang adalah sekitar 5-10 mm terlepas dari ukuran tiang dan
panjang L. Namun, tahanan titik maksimum Q2 = Qp tidak akan dikerahkan sampai
ujung tiang mengalami pergerakan sekitar 10-25% dari lebar (diameter) tiang. Nilai
terendah akan terjadi pada saat pemancangan tiang dan nilai tertinggi akan diperoleh
untuk tiang bor. Beban batas [Gambar 1(d) dan Kurva 2 pada Gambar 1(b)], Q(z=0) =
Qu . Dengan Q1 = Qs dan Q2 = Qp , maka penjelasan sebelumnya yang menunjukkan
bahwa Qs (atau satuan gesek kulit f sepanjang batang tiang) dikembangkan pada
perpindahan tiang yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahanan titik Qp . Hal ini
dapat dilihat dari hasil uji beban tiang pada tanah granular yang diberikan oleh Vesic
(1970), seperti diperlihatkan pada Gambar 2. Perlu diketahui bahwa hasil ini adalah
untuk tiang pipa pada pasir padat.

Gambar 2. Besaran relatif transfer beban titik pada berbagai tingkat pembebanan tiang
(dari Vesic, 1970)

Pada beban batas, bidang runtuh di dalam tanah pada ujung tiang (keruntuhan
daya dukung yang disebabkan oleh Qp ) adalah biasanya seperti ditunjukkan pada Gam-
bar 1(e). Catatan bahwa pondasi tiang adalah pondasi dalam, karena tanah biasanya
kebanyakan akan mengalami mode keruntuhan punching. Ini berarti bahwa sebuah
zona segitiga I yang dikembangkan pada ujung tiang, yang menekan ke bawah tanpa
menghasilkan bidang gelincir lain apapun. Pada pasir padat dan lempung kaku, sebuah
zona geser radikal, II bisa secara sebagian terjadi.
V–4

5. Persamaan Daya Dukung Tiang


Daya dukung batas tiang dapat diberikan dalam sebuah rumus sederhana sebagai jum-
lah daya dukung titik ditambah dengan tahanan gesek total (gesekan kulit) yang di-
turunkan dari muka-antara tanah-tiang [Gambar 3(a)], atau

Qu = Qp + Qs (2)

dimana Qu = daya dukung batas


Qp = daya dukung titik (ujung)
Qs = tahanan gesek kulit

Gambar 3. Notasi daya dukung


Sejumlah studi telah dipublikasikan berkenaan dengan menentukan nilai Qp dan Qs .
Publikasi lengkap yang meliputi penyelidikan yang paling akhir diberikan oleh Meyerhof
(1976), dan Coyle dan Castello (1981). Publikasi ini menyediakan wawasan mengenai
masalah dalam penentuan daya dukung batas.

5.1 Daya Dukung Titik (Ujung), Qp


Daya dukung batas pondasi dangkal telah dibicarakan sebelumnya. Dengan merujuk
pada persamaan Terzaghi untuk daya dukung pondasi dangkal,
qu = 1.3cNc + qNq + 0.4γBNγ (pondasi bujursangkar)
qu = 1.3cNc + qNq + 0.3γBNγ (pondasi lingkaran)
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–5

Dengan cara yang sama, persamaan daya dukung umum untuk pondasi dangkal dengan
beban vertikal diberikan sebagai,

qu = cNc Fcs Fcd + qNq Fqs Fqd + 0.5γBNγ Fγs Fγd

Maka secara umum daya dukung batas dapat dinyatakan sebagai,

qu = cNc∗ + qNq∗ + γBNγ∗ (3)

dimana Nc∗ , Nq∗ , dan Nγ∗ adalah faktor daya dukung yang meliputi faktor bentuk dan
faktor kedalaman yang diperlukan.
Pondasi tiang adalah dalam, namun tahanan batas per satuan luas pada ujung
tiang (qp ) dapat dinyatakan sebagai sebuah persamaan yang mirip bentuk pondasi
dangkal, walaupun nilai-nilai Nc∗ , Nq∗ , dan Nγ∗ akan berubah. Oleh karena lebar tiang
dinyatakan dengan D, maka Pers. (3) menjadi,

qu = qp = cNc∗ + qNq∗ + γDNγ∗ (4)

Oleh karena lebar tiang D relatif kecil, maka suku γDNγ∗ dapat dihilangkan tanpa
menyebabkan kesalahan yang serius, sehingga

qp = cNc∗ + q  Nq∗ (5)

Catatan bahwa q digantikan dengan q  untuk menandai tegangan vertikal efektif. Se-
hingga daya dukung titik tiang dapat dinyatakan sebagai,

Qp = Ap qp = Ap (cNc∗ + q  Nq∗ ) (6)

dimana Ap = luas ujung tiang


c = kohesi tanah pada ujung tiang
qp = tahanan titik satuan
q  = tegangan vertikal efektif pada ujung tiang
Nc∗ , Nq∗ = faktor daya dukung
Ada beberapa metode untuk menentukan faktor daya dukung Nc∗ dan Nq∗ , yaitu
metode Meyerhof dan metode Vesic.

5.1.1 Metode Meyerhof


Daya dukung titik tiang pada pasir umumnya meningkat dengan nisbah antara kedala-
man penanaman tiang dan lebar tiang (Lb /D) dan mencapai nilai maksimum pada
nisbah Lb /D = (Lb /D)cr . Perlu dicatat bahwa untuk tanah homogen Lb akan sama
dengan panjang penanaman tiang L [lihat Gambar 3(a)]. Namun pada tiang yang telah
masuk ke dalam lapisan pendukung tiang, Lb < L. Di luar nisbah kritis (Lb /D)cr ,
5.1. Daya Dukung Titik (Ujung), Qp V–6

nilai qp tetap konstan (yaitu qp = ql ). Fakta ini diperlihatkan pada Gambar 4 un-
tuk kasus tanah yang homogen, yaitu L = Lb . Variasi (Lb /D)cr dengan sudut gesek
tanah diberikan pada Gambar 5. Berdasarkan penyelidikan Meyerhof, faktor daya
dukung akan meningkat sesuai dengan (Lb /D) dan mencapai suatu nilai maksimum
pada Lb /D ≈ 0.5(Lb /D)cr . Seperti terlihat pada Gambar 5, bahwa (Lb /D)cr untuk
φ = 45◦ adalah kira-kira 25 dan akan berkurang dengan mengecilnya nilai φ. Untuk
keperluan praktis besaran Lb /D untuk tiang adalah lebih besar dari 0.5(Lb /D)cr . Se-
hingga nilai maksimum Nc∗ dan Nq∗ akan terpakai untuk perhitungan qp untuk semua
kemungkinan tiang. Variasi nilai maksimum dari Nc∗ dan Nq∗ dengan sudut gesek φ
ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 4. Variasi tanahan titik satuan pada pasir homogen

Gambar 5. Variasi (Lb /D)cr terhadap sudut gesek tanah (Meyerhof, 1976)
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–7

Gambar 6. Nisbah penanaman kritis dan faktor daya dukung untuk berbagai sudut gesek
tanah (Meyerhof, 1976)

1. Untuk pasir, karena c = 0, Pers. (6) sama dengan,

Qp = Ap qp = Ap q  Nq∗ (7)

2. Menentukan sudut gesek tanah, φ.

3. Menentukan nisbah Lb /D tiang.

4. Menentukan (Lb /D)cr dari Gambar 5.

5. Menentukan nilai Nq∗ dari Gambar 6.

6. Menggunakan nilai Nq∗ yang dihitung pada langkah 5 untuk memperoleh Qp se-
bagai

Qp = Ap q  Nq∗ ≤ Ap ql (8)

Tahanan titik pembatas dapat diberikan sebagai,

ql (kN/m2 ) = 50Nq∗ tan φ (9)

dimana φ = sudut gesek tanah pada ujung tiang.


5.1. Daya Dukung Titik (Ujung), Qp V–8

Berdasarkan pengamatan lapangan, Meyerhof (1976) juga menggagas bahwa tahanan


ujung batas, qp pada suatu tanah granular yang homogen (L = Lb ) dapat diperoleh
dari N − SP T sebagai

qp (kN/m2 ) = 40NL/D ≤ 400N (10)

dimana N = nilai N − SP T rata-rata di dekat ujung tiang (sekitar 10D di atas 4D di


bawah ujung tiang).
Dalam keadaan tertentu, sebuah tiang bisa jadi awalnya tertanam pada lapisan
pasir lunak tetapi kemudiannya mencapai lapisan yang lebih padat, seperti ditunjukkan
pada Gambar 7. Untuk tiang seperti ini,

Gambar 7. Variasi tanahan ujung satuan pada tanah berlapis


[ql(d) − ql(l) ]Lb
qp = ql(l) + ≤ ql(d) (11)
10D
dimana ql(l) = batasan tahanan ujung satuan pada pasir lepas ditentukan dari Pers.
(9) menggunakan nilai maksimum Nq∗ dan nilai φ dari pasir lepas.
ql(d) = batasan tahanan ujung satuan pada pasir padat ditentukan dari Pers.
(9) menggunakan nilai maksimum Nq∗ dan nilai φ dari pasir padat.
Lb = dalamnya penetrasi ke lapisan pasir padat.

Untuk tiang pada lempung jenuh dengan kondisi taksalur (φ = 0) berlaku,

Qp = Nc∗ cu Ap = 9cu Ap (12)

dimana cu = kohesi taksalur untuk tanah di bawah ujung tiang.


Untuk lempung yang memiliki parameter c dan φ (dengan dasar tegangan efektif),
beban ujung batas dapat diberikan dengan hubungan yang sama seperti pada Pers.
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–9

(7). Pada kebanyakan masalah perencanaan, nilai φ yang diasumsikan adalah kurang
dari sekitar 30◦ . Untuk φ kurang dari 30◦ , prosedur berikut ini dapat digunakan untuk
mendapatkan Nc∗ dan Nq∗ dari Gambar 8.

1. Menentukan (Lb /D)cr untuk suatu nilai φ dari Gambar 8.

2. Menghitung (Lb /D).

3. Jika (Lb /D) ≥ (Lb /D)cr /2, ambil nilai maksimum Nc∗ dan Nq∗ dari Gambar 8.

4. Jika (Lb /D) < (Lb /D)cr /2, maka


 L  
b

Nc∗ = Nc(pada

Lb /D=0)

+ [Nc(max) ∗
− Nc(pada Lb /D=0) ] DL 
b
(13)
0.5 D cr

 L  
b

Nq∗ = Nq(pada

Lb /D=0)

+ [Nq(max) ∗
− Nq(pada Lb /D=0) ] DL 
b
(14)
0.5 D cr

5.1.2 Metode Vesic


Vesic (1977) mengajukan sebuah metode untuk menghitung daya dukung ujung tiang
berdasar pada teori expansion of cavities. Merujuk pada teori ini, dengan parameter
tegangan efektif,

Qp = Ap qp = Ap (cNc∗ + σ◦ Nσ∗ ) (15)

dimana  
1 + 2K◦
σ◦ = q (16)
3
= tegangan (efektif) normal rata − rata pada level ujung tiang
K◦ = koefisien tekanan tanah diam = 1 − sin φ (17)
Nc∗ , Nq∗ = faktor daya dukung (18)

Perlu dicatat bahwa Pers. (15) adalah modifikasi dari Pers. (7) dengan,
3Nq∗
Nσ∗ = (19)
(1 + 2K◦ )
Hubungan untuk Nc∗ yang diberikan pada Pers. (15) dapat dinyatakan sebagai,

Nc∗ = (Nq∗ − 1) cot φ (20)

Merujuk kepada teori Vesic,

Nσ∗ = f (Irr ) (21)


5.1. Daya Dukung Titik (Ujung), Qp V–10

dimana Irr = indeks kekakuan reduksi tanah.


Namun,
Ir
Irr = (22)
1 + Ir Δ
dimana
Es Gs
Ir = indeks kekakuan = 
= (23)
2(1 + μs )(c + q tan φ ) c + q  tan φ
Es = modulus Young tanah
μs = nisbah Poisson tanah
Gs = modulus geser tanah
Δ = regangan volumetric rata − rata dalam zona plastis dibawah ujung tiang

Untuk kondisi tidak adanya perubahan volume (yaitu, pasir padat atau lempung
jenuh), Δ = 0. Sehingga,

Ir = Irr (24)

Tabel 1 memberi nilai-nilai Nc∗ dan Nσ∗ untuk berbagai nilai sudut gesek tanah (φ) dan
Irr . Untuk φ = 0 (yaitu kondisi tak salur),
4 π
Nc∗ = (ln Irr + 1) + + 1 (25)
3 2
Nilai Ir dapat dihitung dari uji triaksial dan konsolidasi di laboratorium yang berke-
naan dengan tingkat tegangan yang cocok. Namun, untuk perkiraan awal nilai-nilai
berikut ini dapat direkomendasikan:

Jenis tanah Ir
Pasir 70-150
Lanau dan lempung 50-100
(kondisi salur)
Lempung 100-200
(kondisi taksalur)

Terlepas dari prosedur teoretis yang dipakaikan dalam menghitung Qp , haruslah di-
ingat bahwa nilai penuh tidak dapat disadari sampai ujung tiang mencapai penurunan
10-25% dari diameter tiang. Hal ini merupakan kondisi kritis untuk kasus pasir.
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–11

Tabel 1. Faktor daya dukung untuk pondasi dalam, Nc∗ dan Nσ∗
5.1. Daya Dukung Titik (Ujung), Qp V–12
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–13

5.2 Tahanan Gesek Kulit (Qs) pada Pasir


Tahanan (hambatan) gesek atau tahanan kulit tiang dapat ditulis sebagai

Qs = Σ p ΔLf (26)

dimana p = keliling penampang tiang


ΔL = panjang tiang [Gambar 8(a)]
f = tahanan gesek satuan pada setiap kedalaman z

Tahanan gesek satuan untuk kedalaman tertentu tiang di dalam pasir dapat diny-
atakan sebagai,

f = Kσv tan δ (27)

dimana K = koefisien tekanan tanah


σv = tegangan vertikal efektif
δ = sudut gesek antara tanah-tiang
Pada kenyataan, nilai K bervariasi dengan kedalaman. Secara pendekatan nilai ini
akan sama dengan koefisien tekanan tanah pasif Rankine (Kp ) pada puncak tiang dan
bisa jadi kurang dari koefisien tekanan tanah diam (K◦ ) pada ujung bawah tiang. Dan
juga bergantung pada cara pemasukan tiang ke dalam tanah. Berdasarkan hasil-hasil
yang ada, nilai rata-rata K berikut ini dapat digunakan pada Pers. (27).

Cara pemasukan tiang K


Tiang bor atau jetter K = K◦ = 1 − sin φ
Tiang pancang perpindahan rendah K = K◦ (batas bawah)
K = 1.4K◦ (batas atas)
Tiang pancang perpindahan tinggi K = K◦ (batas bawah)
K = 1.8K◦ (batas atas)

Dapat dilihat bahwa tegangan vertikal efektif σv yang digunakan pada Pers. (27)
meningkat dengan kedalaman tiang hingga suatu batas maksimum pada kedalaman
15-20 kali diameter tiang dan tetap konstan untuk seterusnya. Ini diperlihatkan pada
Gambar 8(b). Kedalaman kritis L ini bergantung pada beberapa faktor, seperti sudut
gesek tanah, kompresibilitas, dan kerapatan relatif. Estimasi konservatif seharusnyalah
mengasumsikan

L = 15D (28)

Nilai δ dari berbagai investigasi diperoleh dalam jangkauan 0.5φ sampai 0.8φ. Un-
tuk memilih δ ini perlu keputusan yang benar-benar baik.
5.3. Tahanan Gesek Kulit (Qs ) pada Lempung V–14

Gambar 8. Tahanan gesek satuan untuk tiang dalam pasir


Meyerhof (1976) juga menunjukkan bahwa tahanan gesek satuan rata-rata (fav )
untuk tiang yang dipancangkan pada perpindahan tinggi dapat ditentukan dari nilai
N-SPT sebagai,

fav (kN/m2 ) = 2N (29)

dimana N = nilai N-SPT rata-rata.


Untuk pemancangan tiang dengan perpindahan rendah,

fav (kN/m2 ) = N (30)

Maka

Qs = pLfav (31)

5.3 Tahanan Gesek Kulit (Qs) pada Lempung


Terdapat beberapa metode yang sekarang tersedia untuk menentukan tahanan kulit
tiang pada tanah lempung. Beberapa diantaranya yang banyak dipakai akan diuraikan
secara ringkas di bawah ini.

5.3.1 Metode λ:
Metode ini diajukan oleh Vijayvergiya dan Focht (1972). Metode ini mengasumsikan
bahwa perpindahan tanah yang disebabkan oleh pemasukan tiang kedalam tanah meng-
hasilkan suatu tekanan lateral pasif pada suatu kedalaman tertentu, dan tahanan kulit
satuan rata-rata dapat dinyatakan sebagai,

fav = λ(σv + 2cu ) (32)


5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–15

dimana σv = nilai tengah tegangan vertikal efektif untuk seluruh panjang tiang
cu = nilai tengah kuat geser taksalur (konsep φ = 0)

Nilai λ akan berubah dengan kedalaman penetrasi tiang (lihat Gambar 9). Maka
tahanan gesek total dapat dihitung sebagai

Qs = pLfav

Gambar 9. Variasi λ dengan panjang tiang (McClelland, 1974)

Perlu kehati-hatian dalam menentukan nilai-nilai σv dan cu untuk tanah berlapis.
Hal ini dijelaskan dengan bantuan Gambar 10. Mengacu kepada Gambar 10(b), nilai
tengah cu adalah (cu(1) L1 + cu(2) L2 + ...)/L. Dengan cara yang sama, Gambar 10(c) me-
nunjukkan plot dari variasi tegangan efektif dengan kedalaman. Nilai tengan tegangan
efektif adalah
A1 + A2 + A3 + ...
σv = (33)
L
dimana A1 , A2 , A3 ,... = luas diagram tegangan vertikal efektif.
5.3. Tahanan Gesek Kulit (Qs ) pada Lempung V–16

Gambar 10. Pemakaian metode λ pada tanah berlapis


5.3.2 Metode α:
Menurut metode α, tahanan kulit satuan pada tanah kelempungan dapat digambarkan
dengan persamaan berikut,

f = αcu (34)

dimana α = faktor adhesion empiris.


Variasi pendekatan untuk nilai α ditunjukkan pada Gambar 11. Perlu dicatat
bahwa lempung terkonsolidasi normal dengan cu ≤ sekitar 50 kN/m2 nilai α akan
sama dengan 1. Maka

Qs = Σ f p ΔL = Σ α cu p ΔL (35)

5.3.3 Metode β:
Kalau tiang disorongkan ke dalam lempung jenuh, tekanan air pori di sekitar tiang akan
meningkat. Kelebihan tekanan air pori (excess pore water pressure) ini pada lempung
terkonsolidasi normal bisa jadi sebesar 4-6 kali cu . Namun, di dalam satu bulanan,
tekanan ini perlahan-lahan berkurang. Maka tahanan gesek satuan untuk tiang dapat
ditentukan dengan mengacu pada parameter tegangan efektif lempung dalam keadaan
remolded (yaitu, c = 0). Maka pada suatu kedalaman tertertu,

f = βσv (36)
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–17

Gambar 11. Variasi α dengan kohesi taksalur, cu


dimana σv = tegangan vertikal efektif untuk kedalaman tertentu
β = K tan φR
φR = sudut gesek salur lempung remolded
K = koefisien tekanan tanah

Nilai K dapat secara konservatif diambil sebagai koefisien tekanan tanah diam,
atau

K = 1 − sin φR (untuk lempung terkonsolidasi normal) (37)



K = (1 − sin φR ) OCR (untuk lempung overkonsolidasi) (38)

dimana OCR = nisbah overkonsolidasi.


Dengan mengombinasikan Pers. (36), (37), dan (38) diperoleh

f = (1 − sin φR ) tan φR σv (untuk lempung terkonsolidasi normal) (39)



f = (1 − sin φR ) tan φR OCR σv (untuk lempung overkonsolidasi) (40)

Apabila nilai f dapat ditentukan maka tahanan kulit total dapat dihitung dengan

Qs = Σ f p ΔL

5.4 Daya Dukung Ijin


Daya dukung batas tiang dapat dihitung sebagai jumlah dari daya dukung ujung
dan daya dukung tahanan kulit. Dengan diperolehnya daya dukung batas, maka
5.5. Komentar umum V–18

daya dukung tiang ijin dapat diperoleh dengan memakaikan suatu faktor keamanan
sedemikian hingga beban ijin total untuk masing-masing tiang dapat dihitung dengan
Qu
Qall = (41)
FS
dimana Qall = daya dukung ijin masing-masing tiang
F S = faktor keamanan

Faktor keamanan umunya dipakai dalam rentang 2.5 - 4, bergantung pada tingkat
ketidaktentuan perhitungan beban batas.

5.5 Komentar umum


Meskipun perhitungan-perhitungan daya dukung batas tiang dapat dibuat menurut
Pers. (3) sampai (2.47), namun beberapa hal berikut perlu diingat:

1. Untuk suatu nilai sudut gesek tanah (φ) tertentu, pemancangan tiang pada pasir
bisa menunjukkan tahanan ujung satuan lebih tinggi 50-100% bila dibandingkan
dengan tiang bor. Hasil ini disebabkan oleh densifikasi tanah selama pemancan-
gan.

2. Pada tanah pasir, tiang yang dicor di tempat dengan pedestal bisa memper-
lihatkan tahanan ujung satuan yang lebih tinggi 50-100% dibandingkan dengan
tiang yang dicor di tempat tanpa pedestal. Energi berimpak tinggi dari palu yang
dipakai membuat pedestal menyebabkan tanah memadat sehingga meningkatkan
besar sudut gesek tanah.

3. Dalam perhitungan luas penampang (Ap ) dan keliling (p) tiang profil pabrikasi,
seperti tiang-H dan tiang pipa terbuka, pengaruh plug tanah harus dipertim-
bangkan. Merujuk pada Gambar 3(b) dan 3(c), untuk tiang pipa

Ap = D2
4
dan

p=π D

Dengan cara yang sama untuk tiang-H,

Ap = d1 · d2
p = 2(d1 + d2 )

Juga, perlu dicatat bahwa untuk tiang-H, oleh karena d2 > d1 maka D = d1 .
5. Persamaan Daya Dukung Tiang V–19

4. Hubungan beban titik batas yang diberikan pada Pers. (6), (2.14), dan (2.22)
untuk beban titik batas kotor; yaitu termasuk berat tiang. Sehingga beban titik
batas bersih (net ultimate point load) dapat dihitung sebagai,

Qp(bersih) = Qp(kotor) − q 

Dalam praktek apabila tanah memiliki φ > 0, maka Qp(bersih) diasumsikan sama
dengan Qp(kotor) .

Untuk tanah kohesif dengan φ = 0, nilai Nq∗ adalah sama dengan satu (Gambar 5).
Maka dari Pers. (6),

Qp(kotor) = cu Nc∗ + q 

Sehingga

Qp(bersih) = (cu Nc∗ + q  ) − q  = cu Nc∗ = 9cu = Qp

Ini adalah hubungan yang diberikan dalam Pers. (12)

5.6 Korelasi Desain Coyle dan Castello


Coyle dan Castello (1981) telah menganalisis sejumlah uji beban lapangan berskala
besar pemancangan tiang pada pasir. Untuk pasir, beban batas dapat dinyatakan
dengan persamaan,

Qu = Qp + Qs = q  Nq∗ Ap + fav pL (42)


dimana fav = Kσv tan δ (43)

dimana q  = tegangan vertikal efektif pada ujung tiang


fav = tahanan gesek rata-rata untuk keseluruhan tiang
K = koefisien tekanan tanah lateral
σv = tekanan overburden efektif rata-rata
δ = sudut gesek antara tanah-tiang.

Berdasarkan studi ini, perhitungan untuk nilai faktor daya dukung (Nq∗ ) dikore-
lasikan dengan nisbah panjang tiang L/D. Gambar 12 memperlihatkan nilai-nilai Nq∗
untuk berbagai nisbah panjang tiang dan sudut gesek tanah. Di sini Nq∗ secara per-
lahan akan meningkat dengan L/D hingga mencapai suatu nilai maksimum tertentu
dan akan menurun sesudahnya.
5.6. Korelasi Desain Coyle dan Castello V–20

Gambar 12. Variasi Nq∗ dengan L/D (Coyle dan Castello, 1981)

Gambar 13. Variasi K dengan L/D (Coyle dan Castello, 1981)


6. Contoh Soal V–21

Dengan cara yang sama, nilai-nilai deduksi K untuk berbagai nilai φ dan nisbah
L/D diberikan pada Gambar 13. Di sini dapat terlihat bahwa untuk setiap nilai φ, K
berkurang secara linier dengan nisbah L/D. Pada gambar ini diasumsikan bahwa,
δ = 0.8φ (44)
Maka dengan mengombinasikan Pers. (42), (43), dan (44) dapat diperoleh
Qu = q  Nq∗ Ap + pLKσv tan(0.8φ) (45)
Dari hasil 24 uji beban tiang, Coyle dan Castello telah memperlihatkan bahwa
Pers. (45) dapat menghitung beban batas dengan rentang kesalahan ±30%, dengan
mayoritas jatuh di dalam rentang kesalahan ±30%.

6. Contoh Soal
6.1 Soal 1
Sebuah tiang pracetak dari beton prategang dengan panjang 12 m dipancangkan ke-
seluruhannya ke dalam lapisan pasir (c = 0). Penampang tiang adalah bujursangkar
dengan panjang sisi 305 mm. Berat isi kering pasir (γd ) adalah 16.8 kN/m3 , dan
sudut gesek tanah rata-rata adalah 35◦ . Nilai N-SPT di sekitar ujung tiang adalah 16.
Hitunglah beban titik batas tiang dengan metode berikut:
a. Metode Coyle dan Castello [Pers. (42) dan Gambar 12];

b. Metode Meyerhof [Pers. (7) dan Gambar 6];

c. Metode Vesic, gunakan Ir = 90 = Irr [Pers. (15)];

d. Pers. (10).

e. Bandingkanlah hasil dari a sampai d dan tentukanlah suatu nilai desain.

Penyelesaian:
a. Metode Coyle dan Castello

Qp = q  Nq∗ Ap
Dari Tabel 2.3, Ap = 929 cm3 = 0.0929 m2
q  = γd L = (16.8)(12) = 201.6 kN/m2
Sekarang L/D = 12/0.305 = 39.34. Untuk L/D = 39.34 dan φ = 35◦ , Gambar 12
memberi Nq∗ ≈ 45. Sehingga,
Qp = (201.6)(45)(0.0929) = 842.8 kN
6.1. Soal 1 V–22

b. Metode Meyerhof

Oleh karena tanahnya adalah homogen, Lb = L. Untuk φ = 35◦ , (Lb /D)cr ≈ 10 (dari
Gambar 6). Sehingga untuk tiang ini Lb /D = 39.34 > (Lb /D)cr . Maka dari Gambar
5 Nq∗ ≈ 120.

Qp = Ap q  Nq∗ = (0.0929)(201.6)(120) = 2247.4 kN

Namun, dari Pers. (9)

ql = 50Nq∗ tan φ = 50(120) tan 35◦ = 4201.25 kN/m2

Sehingga

Qp = Ap ql = (0.0929)(4201.25) = 390.3 < Ap q  Nq∗

Sehingga Qp ≈ 390 kN

c. Metode Vesic

Diketahui Irr ≈ 90. Dengan φ = 35◦ , Tabel 1 memberi Nσ∗ ≈ 79.5. Dari Pers. (15)

Qp = Ap σ◦ Nσ∗
1 + 2K◦ 
σ◦ = q
3
K◦ = 1 − sin φ = 1 − sin 35◦ = 0.43

Sehingga


1 + 2(0.43)
σ◦ = (201.6) ≈ 125 kN/m2
3
Dan

Qp = (0.0929)(125)(79.5) ≈ 923 kN

d. Pers. (10)

Diketahui N-SPT rata-rata pada sekitar ujung tiang = 16. Sehingga dari Pers. (10),
L
qp = 40N ≤ 400 N
D
Qp = Ap qp = (0.0929)(40)(16)(39.34) = 2339 kN

Namun nilai pembatas adalah

Qp = Ap 400N = (0.0929)(400)(16) = 594.6 kN ≈ 595 kN


6. Contoh Soal V–23

e. Estimasi nilai desain

Pada soal ini, persamaan Vesic memberi nilai yang jauh lebih tinggi (923 kN). Nilai
kedua tertinggi diperoleh dari persamaan yang diberikan oleh Coyle dan Castello (842.8
kN). Untuk estimasi konservatif, daya dukung dapat diperoleh dengan

390.3 + 595
Qp = ≈ 493 kN
2

6.2 Soal 2
Dengan menggunakan tiang yang sama seperti pada Soal 1. (a) Tentukanlah tahanan
gesek total dengan menggunakan K = 1.4 dan δ = 0.6φ [gunakan Pers. (26), (27), dan
(28)]. (b) Tentukanlah tahanan gesek total dengan menggunakan metode Coyle dan
Castello.

Penyelesaian
Bagian a:

Tahanan gesek kulit satuan untuk setiap kedalaman dinyatakan oleh Pers. (27) sebagai

f = Kσv tan δ

Juga dari Pers. (28)

L = 15D

Sehingga, untuk kedalaman z = 0 − 15D, σv = γz = 16.8 × z (kN/m2 ) dan diluar itu,
yaitu z ≥ 15D, σv = γ(15D) = (16.8)(15 × 0.305) = 76.86 kN/m2 . Ini ditunjukkan
dalam Gambar 13.

Gambar 14. Variasi tegangan efektif untuk Contoh Soal 2


6.3. Soal 3 V–24

Tahanan gesek dari z = 0 − 15D:




 (1.4)(76.86) tan(0.6 × 35)
Qs = pL fav = [(4)(0.305)][15D]
2
= (1.22)(4.575)(20.65) = 115.26 kN

Tahanan gesek dari z = 15D − 12 m:

Qs = p(L − L )fav = [(4)(0.305)][12 − 4.575][(1.4)(76.86) tan(0.6 × 35)]


= (1.22)(7.425)(41.3) = 374.1 kN

Jadi tahanan gesek kulit total sama dengan 115.26 + 374.1 = 489.35 kN ≈ 490 kN

Bagian b: Metode Coyle dan Castello

Dari Pers. (43) dan (44)

fav = Kσv tan δ


δ = 0.8φ
Qs = fav pL = [Kσv tan(0.8φ)]pL

Untuk tiang ini L/D = 39.34. Menurut Gambar 12 untuk menentukan K, ini diluar
jangkauan grafik. Dengan interpolasi, untuk L/D = 39.34 dan φ = 35◦ , diperoleh
K ≈ 0.7. Sekarang,
γL (16.8)(12)
σv = = = 100.8 kN/m2
2 2
Sehingga

Qs = [(0.7)(100.8) tan(0.8 × 35)][4 × 0.305][12] = 549.3 kN ≈ 550 kN

6.3 Soal 3
Dengan mengacu pada Soal 1 dan 2. Gunakanlah faktor keamanan sebesar 3, untuk
menghitung beban ijin tiang.

Penyelesaian

Qu = Qp + Qs

Dari Contoh Soal 2.1, Qp = 490 kN. Juga dari Contoh Soal 2.2, Qs adalah 490 kN
sampai 550 kN. Gunakan Qs = (490 + 550)/2 = 1040/2 = 520 kN. Sehingga
Qu 490 + 520
Qall = = = 336.7 ≈ 337 kN
FS 3
Dengan mengacu pada Tabel 2.3, daya dukung desain tiang adalah 801 kN, yang adalah
lebih besar dari 337 kN. Sehingga Qall = 337 kN.
6. Contoh Soal V–25

6.4 Soal 4
Sebuah tiang baja HP 310×1.079 dipancang kedalam pasir seperti ditunjukkan pada
Gambar 14(a).

a. Hitunglah beban titik batas dengan (1) prosedur Meyerhof, (2) prosedur Vesic
(Ir = 150 = Irr ), (3) menggunakan persamaan untuk N-SPT. (Diberikan: nilai
N rata-rata di sekitar ujung tiang adalah 45.)

b. Memperkirakan besar beban titik batas dari perhitungan pada bagian (a).

c. Menghitung tahanan gesek batas, Qs . Gunakan Pers. (26) sampai (2.35), K =


1.4 dan δ = 0.6φ

d. Menghitung beban ijin tiang. Gunakan F S = 4

Juga periksa daya dukung ijin tiang baja itu sendiri. Gunakan σall untuk baja adalah
62000 kN/m2 .

Penyelesaian

Di dalam Tabel 2.1, tinggi penampang tiang, d1 = 308 mm dan lebar flens = 310 mm.
Luas penampang tiang, Ap untuk perhitungan daya dukung = 0.308 × 0.310 = 0.0955
m2 .

Gambar 15. Contoh Soal 4

a. Perhitungan beban titik batas

Prosedur Meyerhof: Variasi tahanan titik satuan akan mirip dengan Gambar 6.
Kedalaman penetrasi lapisan bawah yang terdiri dari pasir padat, Lb adalah 4 m. Jadi
6.4. Soal 4 V–26

Lb /D = 4/0.308 = 12.99 > 10. Maka, mengacu pada Pers. (9)

qp = ql(d) = 50Nq∗ tan φ2

Untuk tan φ2 = 40◦ , Nq∗ ≈ 350 (lihat Gambar 5). Maka

qp = (50)(350)(tan 40◦ ) ≈ 14684 kN/m2

Sehingga

Qp = (14684)(0.0955) = 1402 kN

Juga periksa Pers. (7), dengan c = 0, Qp = Ap q  Nq∗ .

q  = (5)(15.7) + (13)(18.1 − 9.81) + (4)(19.4 − 9.81)


= 78.5 + 107.77 + 38.36 = 224.63 kN/m2

Sehingga

Qp = (0.0955)(224.63)(350) = 7508 kN

Oleh karena Qp = 1402 kN < 7508 kN, Pers. (9) mengontrol. Maka Qp = 1402 kN.
Prosedur Vesic: Diketahui Ir 150 = Irr . Dari Pers. (15)

Qp = Ap σ◦ Nq∗
K◦ = 1 − sin φ = 1 − sin 40◦ = 0.357


 1 + 2K◦  1 + (2)(0.357)
σ◦ = q = (224.63) = 128.34 kN/m2
3 3
Dari Tabel 1, untuk φ = 40◦ dan Irr = 150, diperoleh nilai Nq∗ ≈ (134.52 + 193.13)/2
= 163.8. Sehingga

Qp = (0.0955)(128.34)(163.8) = 2008 kN.

Persamaan N-SPT: Diketahui N-SPT rata-rata disekitar ujung tiang adalah 45. Dari
Pers. (10)
L
qp = 40N ≤ 400N
D  
22
= (40)(45) = 128571 kN/m2
0.308
atau

qp = (400)(N) = (400)(45) = 18000 kN/m2

Maka, qp = 18000 kN/m2 adalah kontrol. Sehingga

Qp = Ap qp = (0.0955)(18000) = 1719 kN
6. Contoh Soal V–27

b. Estimasi nilai Qp

Dengan mempertimbangkan ketiga hasil di atas, rata-rata berikut dapat diambil,

1402 + 2008 + 1719


Qp = ≈ 1709 kN
3

c. Menghitung tahanan gesek batas

Merujuk pada Pers. (28)

L = 15D = (15)(0.308) = 4.62 m

Untuk tahanan gesek batas, σv akan tetap konstan untuk z > 4.62 m. Variasi σv yang
diasumsikan dengan kedalaman ditunjukkan pada Gambar 14(b).
Tahanan gesek dari z = 0 sampai 4.62 m
 
Kσv tan δ
pLfav = (2)(0.308 + 0.310)(4.62)
2


(1.4)(72.53) tan(0.6 × 30)
= 5.71 = 94.2 kN
2

Tahanan gesek dari z = 4.62 sampai 22 m

pLfav = (2)(0.308 + 0.310)(22 − 4.62)(Kσv tan δ)


= 21.48[(1.4)(72.53)(tan δ)]

Sebagai suatu pendekatan, nilai δ dapat diambil sebagai 0.6φ1 = (0.6)(30) = 18◦ untuk
keseluruhan panjang tiang. Maka

Qs(z=4.62−22 m) = (21.48)(1.4)(72.53)(tan 18◦ ) = 708.7 kN

Sehingga tahanan gesek total menjadi

Qs = Qs(z=0−4.62 m) + Qs(z=4.62−22 m)

= 94.2 + 708.7 = 802.9 kN ≈ 803 kN

d. Menghitung beban ijin

Qu = Qp + Qs . Dari bagian (b) diperoleh Qp = 1709 kN. Dari bagian (c) diperoleh Qs
= 802.9 kN. Sehingga Qu ≈ 1709 + 803 = 2512 kN.

Qu 2512
Qall = = = 628 kN
FS 4
6.5. Soal 5 V–28

Daya dukung ijin penampang tiang baja perlu juga diperiksa. Tabel 2.1 memperli-
hatkan bahwa luas penampang tiang baja adalah 14.1 × 10−3 m2 .

Qall = (σall ) 14.1 × 10−3


σall = 62000 kN/m2

Sehingga

Qall = (62000)(14.1 × 10−3 ) = 874.2 kN

Maka beban ijin tiang adalah 628 kN (< 874.2 kN).

6.5 Soal 5
Sebuah tiang pipa dipancangkan pada tanah lempung seperti terlihat pada Gambar
15(a). Pipa memiliki diameter luar 406 mm dan tebalnya 6.35 mm.

a. Hitunglah daya dukung titik bersih. Gunakan Pers. (12).

b. Hitunglah tahanan gesek kulit (1) dengan menggunakan Pers. (34) (metode α),
(2) dengan menggunakan Pers. (32) (metode λ), dan (3) dengan menggunakan
Pers. (36) (metode β). Diketahui φR = 30◦ untuk semua lapisan lempung.
Lapisan atas setebal 10 m adalah lempung terkonsolidasi normal. Lapisan bawah
dengan OCR sama dengan 2.

c. Estimasi daya dukung bersih tiang. Gunakan FS = 4.

Gambar 16. Contoh Soal 5


6. Contoh Soal V–29

Penyelesaian

Luas penampang tiang termasuk tanah di dalam pipa adalah


π 2 π
Ap = D = (0.406)2 = 0.1295 m2
4 4

a. Perhitungan daya dukung titik bersih

Dari Pers. (12)

Qp = Ap qp = Ap Nc∗ cu(2) = (0.1295)(9)(100) = 116.55 kN

b. Perhitungan tahanan gesek kulit

(1) Dari Pers. (35)

Qs = Σ α cu p ΔL

Untuk lapisan tanah bagian atas, cu(1) = 30 kN/m2 . Merujuk kepada Gambar 10 untuk
besaran rata-rata diperoleh, α1 = 1.0. Dengan cara yang sama, untuk lapisan bawah,
cu(2) = 100 kN/m2 menghasilkan α2 = 0.5. Maka

Qs = α1 cu(1) [(π)(0.406)]10 + α2 cu(2) [(π)(0.406)]20


= (1)(30)[(π)(0.406)]10 + (0.5)(100)[(π)(0.406)]20
= 382.7 + 1275.5 = 1658.2 kN

(2) Menggunakan Pers. (32): fav = λ(σv + 2cu ) Nilai cu rata-rata adalah
cu(1) (10) + cu(2) (20) (30)(10) + (100)(20)
= = 76.7 kN/m2
30 30
Untuk memperoleh nilai σv rata-rata, diagram variasi tegangan vertikal efektif dengan
kedalaman diplot pada Gambar 15(b). Dari Pers. (33)
A1 + A2 + A3 225 + 552.38 + 4577
σv = = = 178.48 kN/m2
L 30
Nilai λ dapat diperoleh dari Gambar 8 sebagai 0.14. Sehingga

fav = 0.14[178.48 + (2)(76.7)] = 46.46 kN/m2

Maka

Qs = pLfav = π(0.406)(30)(46.46) = 1777.8 kN

(3) Menggunakan Pers. (36): Lapisan bagian atas (10 m) adalah terkonsolidasi normal,
φR = 30◦ .
V–30

Untuk z = 0 − 5 m [Pers. (39)]:


fav(1) = (1 − sin φR ) tan φR σv(av)
 
◦ ◦ 0 + 90
= (1 − sin 30 )(tan 30 ) = 13.0 kN/m2
2

Dengan cara yang sama, untuk z = 5 − 10 m:


 
◦ ◦ 90 + 130.95
fav(2) = (1 − sin 30 )(tan 30 ) = 31.9 kN/m2
2

Untuk z = 10 − 30 m:
√ 
fav = (1 − sin φR ) tan φR OCR σv(av)

Dengan OCR = 2, maka


 
◦ ◦
√ 130.95 + 326.75
fav(3) = (1 − sin 30 )(tan 30 ) 2 = 93.43 kN/m2
2

Sehingga

Qs = p[fav(1) (5) + fav(2) (5) + fav(3) (20)]


= (π)(0.406)[(13)(5) + (31.9)(5) + (93.43)(20)] = 2669.7 kN

c. Perhitungan daya dukung batas bersih, Qu

Jika dibandingkan ketiga nilai yang diperoleh di atas, terlihat metode α dan λ memberi
hasil yang agak dekat. Sehingga bisa digunakan
1658.1 + 1777.8
Qs = ≈ 1718 kN
2
Maka

Qu = Qp + Qs = 116.46 + 1718 = 1834.46 kN


Qu 1834.46
Qall = = = 458.6 kN
FS 4

7. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Coyle, H.M., and Castello, R.R.: New design correlations for piles in sand, Journal
of the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 107, No. GT7, pp. 965-986,
1981.
V–31

[3] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[4] McClelland, B.: Design of deep penetration piles for ocean structures, Journal of
the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 100, No. GT7, pp. 709-747,
1974.
[5] Meyerhof, G.G.: Bearing capacity and settlement of pile foundations, Journal of
the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 102, No. GT3, pp. 197-228,
1976.
[6] Vesic, A.S.: Test on instrumented piles−Ogeechee River site, Journal of the Soil
Mechanics and Foundations Divisions, ASCE, Vol. 96, No. SM2, pp. 561-584,
1970.
[7] Vesic, A.S.: Design of Pile Foundations, National Cooperative Highway Research
Program Synthesis of Practice No. 42, Transportation Research Board, Washing-
ton, D.C., 1977.
[8] Vijayvergiya, V.N., and Focht, J.A.,Jr.: A New Way to Predict Capacity of Piles
in Clay, Offshore Technology Conference Paper 1718, Fourth Offshore Technology
Conference, Houston, Texas, 1972.
Modul VI

Daya Dukung Kelompok Tiang


DAFTAR ISI i

Daftar Isi
1 Pengantar VI–1

2 Tujuan Instruksional Umum VI–1

3 Tujuan Instruksional Khusus VI–1

4 Daya Dukung Tiang Kelompok VI–1


4.1 Tiang pada Pasir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VI–3
4.2 Tiang pada Lempung . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VI–4
4.3 Tiang pada Batuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VI–5
4.4 Komentar Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VI–6

5 Contoh Soal VI–6


5.1 Soal 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VI–6
5.2 Soal 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VI–6
5.3 Soal 3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VI–7

6 Referensi VI–8
4. Daya Dukung Tiang Kelompok VI–1

Daya Dukung Kelompok Tiang

1. Pengantar
Pada hakekatnya pondasi tiang selalu dalam bentuk kelompok. Sangat jarang terjadi
pondasi tiang sebagai sebuah tiang tunggal. Tiang sebagai tiang tunggal kadang-
kadang dipakai dalam stabilisasi lereng yang dimaksudkan untuk mengurangi longsor.
Modul ini akan menguraikan metode perhitungan kapasitas dukung yang diberikan oleh
tiang kelompok. Oleh karena perhitungan kapasitas dukung tiang kelompok didasarkan
pada kapasitas dukung tiang tunggal, maka biasanya kapasitas dukung tiang kelompok
diacu sebagai efisiensi, yaitu perbandingan kapasitas dukung ting kelompok dengan
jumlah kapasitas dukung tiang tunggal.

2. Tujuan Instruksional Umum


Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan mahasiswa mampu menghitung daya dukung
tiang tiang kelompok yang menerima beban dari kolom bangunan atau tumpuan abut-
men dan pier pada jembatan.

3. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat memenuhi hal-hal berikut.

1. Mahasiswa memahami konsep efisiensi tiang kelompok.

2. Mahasiswa mampu menghitung kapasitas dukung tiang kelompok baik untuk


tanah pasir maupun lempung.

4. Daya Dukung Tiang Kelompok


Pada umumnya tiang digunakan dalam bentuk kelompok, seperti diperlihatkan pada
Gambar 1, untuk meneruskan beban struktural ke tanah. Sebuah kepala tiang (pile
cap) dibuat hingga meliputi seluruh tiang. Kepala tiang umumnya dibuat menyen-
tuh permukaan tanah [Gambar 1(a)] atau bisa juga terletak di atas permukaan tanah
sebagaimana dalam kasus konstruksi lepas pantai [Gambar 1(b)].
Bagian terdahulu telah membicarakan daya dukung tiang sebagai sebuah tiang
tunggal. Menentukan daya dukung tiang kelompok adalah masalah yang benar-benar
rumit dan belum seluruhnya dapat diselesaikan. Apabila tiang ditempatkan berdekatan
VI–2

satu sama lainnya, adalah masuk akal untuk mengasumsikan bahwa tegangan yang
disalurkan oleh tiang ke tanah akan tumpang tindih [lihat Gambar 1(c)], dan ini bisa
mereduksi daya dukung tiang itu sendiri. Idealnya tiang-tiang dalam sebuah kelompok
harus cukup memiliki jarak sedemikian hingga daya dukung kelompok tidak kurang
dari jumlah daya dukung masing-masing tiang tunggal. Di dalam praktek jarak dari
pusat tiang yang satu ke pusat tiang lainnya (d) harus dijaga minimum 2.5D. Namun
dalam situasi yang biasanya, jarak ini sekitar 3-3.5D.

Gambar 1. Tiang kelompok


4. Daya Dukung Tiang Kelompok VI–3

Efisiensi daya dukung tiang kelompok dapat didefinisikan sebagai,


Qg(u)
η= (1)
ΣQu
dimana η = efisiensi kelompok
Qg(u) = daya dukung batas tiang kelompok
Qu = daya dukung batas tiang tunggal tanpa pengaruh kelompok

4.1 Tiang pada Pasir


Banyak rekayasawan struktural menggunakan analisis sederhana untuk memperoleh
efisiensi kelompok untuk tiang gesek di dalam pasir. Ini dapat dijelaskan dengan
bantuan Gambar 1(a). Ketergantungan pada jaraknya dalam kelompok tiang bisa
bekerja dalam salah satu dari dua cara berikut ini: (1) sebagai sebuah blok dengan
ukuran Lg × Bg × L, atau (2) sebagai tiang tunggal. Jika tiang bekerja sebagai sebuah
blok, kapasitas gesekan dapat diberikan sebagai fav pg L ≈ Qg(u) . [Catatan: pg = keliling
penampang blok = 2(n1 + n2 − 2)d + 4D, dan fav = tahanan gesek satuan rata-
rata.] Dengan cara yang sama, untuk masing-masing tiang yang bekerja secara tunggal,
Qu ≈ pLfav . (Catatan: p = keliling penampang sebuah tiang.) Maka,
Qg(u) fav [2(n1 + n2 − 2)d + 4D]L
η = =
ΣQu n1 n2 pLfav
2(n1 + n2 − 2)d + 4D
= (2)
pn1 n2
Sehingga
 
2(n1 + n2 − 2)d + 4D
Qg(u) = ΣQu (3)
pn1 n2
Dari Pers. (3), jika jarak d besar maka bisa jadi η > 1. Dalam hal ini tiang akan
berprilaku sebagai tiang tunggal. Maka dalam praktek, jika η < 1

Qg(u) = ηΣQu

dan jika η ≥ 1

Qg(u) = ΣQu

Persamaan efisiensi tiang kelompok lain yang sering juga digunakan adalah per-
samaan Converse-Labarre yang dapat dinyatakan sebagai
 
(n1 − 1)n2 + (n2 − 1)n1
η =1− θ (4)
90n1 n2
dimana θ (derajat) = tan−1 (D/d) (5)
4.2. Tiang pada Lempung VI–4

Gambar 2 menunjukkan sekumpulan hasil dari uji model di laboratorium untuk


tiang bulat yang dipancang pada tanah pasir padat. Perlu diketahui bahwa dalam
kenyataan efisiensi kelompok bisa lebih besar dari satu. Ini disebabkan oleh pema-
datan tanah yang terjadi di sekitar tiang selama proses pemancangan. Berdasarkan
pengamatan eksperimen untuk prilaku tiang kelompok di dalam pasir yang dibuat
sejauh ini, berikut ini adalah kesimpulan umum yang dapat ditarik:

1. Untuk tiang kelompok yang dipancang ke dalam pasir dengan d ≥ 3D, Qg(u)
dapat diambil sama dengan ΣQu . Ini meliputi daya dukung gesek dan titik tiang
tunggal.

2. Untuk tiang bor di dalam pasir pada jarak konvensional (yaitu d ≈ 3D), Qg(u)
dapat diambil sama dengan 2/3 sampai 3/4 kali ΣQu (daya dukung gesek dan
titik tiang tunggal).

Gambar 2. Hasil uji model efisiensi tiang kelompok pada pasir padat

4.2 Tiang pada Lempung


Daya dukung batas tiang kelompok di dalam tanah lempung dapat diperkirakan dengan
cara berikut ini:
1. Menentukan ΣQu = n1 n2 (Qp + Qs ). Sebagai contoh

Qp = Ap [9cu(p) ]

dimana cu(p) = kohesi taksalur lempung pada ujung tiang. Juga Qs dapat dihi-
tung dengan,

Qs = Σ αpcu ΔL
4. Daya Dukung Tiang Kelompok VI–5

Maka diperoleh

ΣQu = n1 n2 [9Ap cu(p) + Σ αpcu ΔL] (6)

2. Menentukan daya dukung dengan mengsumsikan bahwa tiang dalam kelompok


bekerja sebagai sebuah blok dengan ukuran Lg × Bg × L. Tahanan kulit blok
menjadi

Σpg cu ΔL = Σ2(Lg + Bg )cu ΔL

Daya dukung titik dihitung sebagai,

Ap qp = Ap cu(p) Nc = (Lg Bg )cu(p) Nc

Nilai faktor daya dukung Nc dapat diperoleh dari Gambar 3, yang merupakan
faktor daya dukung untuk pondasi rakit. Sehingga beban batas dapat dihitung
sebagai,

ΣQu = Lg Bg cu(p) Nc + Σ2(Lg + Bg )cu ΔL (7)

3. Bandingkanlah kedua nilai dari Pers. (6) dan (7). Nilai terendah dari keduanya
akan menjadi Qg(u) .

Gambar 3. Variasi Nc dengan Lg /Bg dan L/Bg

4.3 Tiang pada Batuan


Untuk dukung titik tiang terletak di batuan, banyak peraturan bangunan memberi ke-
tentuan bahwa Qg(u) = ΣQu dengan minimum jarak antara tiang adalah sama dengan
D + 300 mm. Untuk tiang−H dan tiang dengan penampang bujursangkar, nilai D
adalah sama dengan panjang diagonal penampang tiang.
4.4. Komentar Umum VI–6

4.4 Komentar Umum


Kepala tiang yang terletak di tanah, seperti diperlihatkan pada Gambar 1(a) akan
menyumbang daya dukung pada tiang kelompok. Namun sumbangan ini bisa diabaikan
untuk tujuan perencanaan, karena dukungan ini bisa hilang akibat erosi tanah atau
penggalian selama masa hidup proyek itu.

5. Contoh Soal
5.1 Soal 1
Mengacu pada Gambar 1(a). Diketahui: n1 = 4, n2 = 3, D = 305 mm, d = 2.5D.
Penampang tiang adalah bujursangkar dan dipancang di tanah pasir. Gunakan Pers.
(2) untuk memperoleh efisiensi kelompok.

Penyelesaian

Dari Pers. (2)

2(n1 + n2 − 2)d + 4D
η =
pn1 n2
d = 2.5D = (2.5)(305) = 762.5 mm
p = 4D = (4)(305) = 1220 mm

Jadi
2(4 + 3 − 2)762.5 + 1220
η= = 0.604 = 60.4%
(1220)(4)(3)

5.2 Soal 2
Ulanglah Soal 1 tetapi menggunakan Pers. (4)

Penyelesaian

Dari Pers. (4)


   
(n1 − 1)n2 + (n2 − 1)n1 −1 D
η =1− tan
90n1 n2 d
Karena
   
−1 D −1 1
tan = tan = 21.8
d 2.5
5. Contoh Soal VI–7

Maka
 
(3)(3) + (2)(4)
η =1− (21.8◦ ) = 0.657 = 65.7%
(90)(3)(4)

5.3 Soal 3
Mengacu pada Gambar 1(a). Diketahui: n1 = 4, n2 = 3, D = 305 mm, d = 1220
mm dan L = 15 m. Penampang tiang adalah bujursangkar yang dipancangkan ke
tanah lempung homogen dengan cu = 70 kN/m2 . Gunakan faktor keamanan 4 untuk
menentukan daya dukung ijin tiang kelompok.

Penyelesaian

Dari Pers. (6)

ΣQu = n1 n2 [9Ap cu(p) + Σ αpcu ΔL]


Ap = (0.305)(0.305) = 0.093 m2
p = (4)(0.305) = 1.22 m

Diketahui: cu = 70 kN/m2 . Dari Gambar 2.17, untuk cu = 70 kN/m2 , α = 0.63.


Sehingga

ΣQu = (4)(3)[(9)(0.093)(70) + (0.63)(1.22)(70)(15)]


= 12(58.59 + 807.03) ≈ 10387 kN

Kembali dari Pers. (7)

ΣQu = Lg Bg cu(p) Nc + Σ2(Lg + Bg )cu ΔL


 
D
Lg = (n1 − 1)d + 2 = (4 − 1)(1.22) + 0.305 = 3.965 m
2
 
D
Bg = (n2 − 1)d + 2 = (3 − 1)(1.22) + 0.305 = 2.745 m
2
L 15
= = 5.46
Bg 2.745
Lg 3.965
= = 1.44
Bg 2.745

Dari Gambar 3, diperoleh Nc ≈ 8.6. Sehingga kapasitas tiang kelompok sebagai blok
adalah

ΣQu = (3.965)(2.745)(70)(8.6) + 2(3.965 + 2.745)(70)(15)


= 6552 + 14091 = 20643 kN
VI–8

Maka

Qg(u) = 10387 kN < 20643kN


Qg(u) 10387
Qg(all) = = ≈ 2597 kN
FS 4

6. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[3] Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.
[4] Tomlinson, M.J.: Pile Design and Construction Practice, A Viewpoint Publica-
tion, Cement and Concrete Association, 1977.
[5] Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-
Graw-Hill, New York, 1973.
Modul VII

Penurunan Pondasi Tiang


DAFTAR ISI i

Daftar Isi
1 Pengantar VII–1

2 Tujuan Instruksional Umum VII–1

3 Tujuan Instruksional Khusus VII–1

4 Penurunan Elastik Tiang VII–1


4.1 Penurunan Elastik Tiang Tunggal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VII–1
4.1.1 Menentukan s1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VII–2
4.1.2 Menentukan s2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VII–2
4.1.3 Menentukan s3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VII–3
4.2 Penurunan Elastik Tiang Kelompok . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VII–4

5 Penurunan Konsolidasi Tiang Kelompok VII–5

6 Contoh Soal VII–7


6.1 Soal 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VII–7
6.2 Soal 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VII–8

7 Referensi VII–10
4. Penurunan Elastik Tiang VII–1

Penurunan Pondasi Tiang


1. Pengantar
Modul ini menguraikan masalah penurunan pada pondasi tiang. Terdapat dua kom-
ponen yang harus dipertimbangkan, yaitu: (a) penurunan elastik dan (b) penurunan
konsolidasi. Penurunan elastik mencakup sifat elastik tanah maupun tiang itu sendiri.
Oleh karena itu penurunan elastik tiang kelompok bergantung pada penurunan elastik
tiang tunggal. Penurunan total pondasi tiang merupakan jumlah penurunan tiang
kelompok baik elastik maupun konsolidasi.

2. Tujuan Instruksional Umum


Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan mahasiswa mampu menghitung penu-
runan total pondasi tiang.

3. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat memenuhi hal-hal berikut.
1. Mahasiswa memahami konsep penurunan pada pondasi tiang.

2. Mahasiswa mampu menghitung penurunan elastik dan konsolidasi pada tiang


kelompok.

4. Penurunan Elastik Tiang


4.1 Penurunan Elastik Tiang Tunggal
Penurunan tiang di bawah beban kerja vertikal (Qw ) disebabkan oleh tiga faktor berikut
ini:
s = s1 + s2 + s3 (1)
dimana s = penurunan tiang total
s1 = penurunan batang tiang
s2 = penurunan tiang akibat beban titik
s3 = penurunan tiang akibat beban yang tersalur sepanjang batang

Berikut ini adalah prosedur untuk menentukan ketiga faktor penuruanan tiang di-
atas.
4.1. Penurunan Elastik Tiang Tunggal VII–2

4.1.1 Menentukan s1
Jika diasumsikan bahwa bahan tiang adalah elastik, maka deformasi batang tiang dapat
dievaluasi dengan menggunakan prinsip-prinsip mekanika bahan:

(Qwp + ξQws )L
s1 = (2)
Ap Ep

dimana Qwp = beban yang dipikul ujung tiang di bawah kondisi beban kerja
Qws = beban yang dipikul kulit tiang di bawah kondisi beban kerja
Ap = luas penampang tiang
L = panjang tiang
Ep = modulus Young bahan tiang

Besarnya ξ bergantung pada sifat distribusi tahanan kulit sepanjang batang tiang.
Jika distribusi f adalah seragam atau parabola, seperti diperlihatkan pada Gambar
1(a) dan (b), ξ adalah 0.5. Namun untuk distribusi f dalam bentuk segitiga [Gambar
1(c)], nilai ξ sekitar 0.67 (Vesic, 1977).

N = 0 .5 N = 0 .5 N = 0 .6 7

B B
B

(a ) (b ) (c )

Gambar 1. Jenis distribusi tahanan kulit sepanjang tiang

4.1.2 Menentukan s2
Penurunan tiang yang ditimbulkan oleh beban pada ujung tiang dapat dinyatakan
dalam bentuk yang sama seperti yang diberikan dalam pondasi dangkal:
qwp D
s2 = (1 − μ2s )Iwp (3)
Es
qwp = Qwp /Ap

dimana D = lebar atau diameter tiang


qwp = beban titik per satuan luas ujung tiang
Es = modulus Young tanah
μs = nisbah Poisson tanah
Iwp = faktor pengaruh
4. Penurunan Elastik Tiang VII–3

Untuk tujuan praktis, Iwp dapat ditentukan sama dengan αr sebagaimana digu-
nakan pada penurunan elastik pondasi dangkal. Dalam keadaan tidak adanya hasil
eksperimen, nilai modulus Young dan nisbah Poisson dapat diperoleh dari Tabel 1.

Tabel 1. Parameter elastik tanah

Modulus Young,Es
Jenis Tanah Nisbah Poisson, μs
MN/m2 lb/in.2
Pasir lepas 10.35−24.15 1,500−3,500 0.20−0.40
Pasir padat medium 17.25−27.60 2,500−4,000 0.25−0.40
Pasir padat 34.50−55.20 5,000−8,000 0.30−0.40
Pasir kelanauan 10.35−17.25 1,500−2,500 0.20−0.40
Pasir dan kerikil 69.00−172.50 10,000−25,000 0.15−0.40
Lempung lunak 2.07−25.18 300−750
Lempung medium 5.18−10.35 750−1,500 0.20−0.50
Lempung kaku 10.35−24.15 1,500−3,500

Vesic (1977) juga mengajukan suatu metode semiempiris untuk menentukan be-
sarnya penurunan s2 . Metode itu dapat dinyatakan dalam rumus berikut:
Qwp Cp
s2 = (4)
Dqp
dimana qp = tahanan ujung batas tiang
Cp = koefisien empiris

Nilai-nilai Cp untuk berbagai jenis tanah diberikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai tipikal Cp (dari Design of Pile Foundations by A.S. Vesic, 1977)
Jenis tanah Tiang pancang Tiang bor
Pasir (padat ke lepas) 0.02-0.04 0.09-0.18
Lempung (kaku ke lunak) 0.02-0.03 0.03-0.06
Lanau (padat ke lepas) 0.03-0.05 0.09-0.12

4.1.3 Menentukan s3
Penurunan tiang yang ditimbulkan oleh pembebanan pada kulit tiang dapat diberikan
dengan rumus berikut:
 
Qws D
s3 = (1 − μ2s )Iws (5)
pL Es
dimana p = keliling tiang
L = panjang tiang yang tertanam
Iws = faktor pengaruh
4.2. Penurunan Elastik Tiang Kelompok VII–4

Perlu dicatat bahwa suku Qws /pL pada persamaan di atas adalah nilai rata-rata
f di sepanjang batang tiang. Faktor pengaruh Iws dapat dinyatakan dengan sebuah
hubungan empiris yang sederhana sebagai (Vesic, 1977)

L
Iws = 2 + 0.35 (6)
D

Vesic (1977) juga mengajukan sebuah hubungan empiris sederhana untuk menen-
tukan s3 sebagai

Qws Cs
s3 = (7)
Lqp

dimana Cs = sebuah konstanta empiris = (0.93 + 0.16 L/D)Cp . Nilai-nilai Cp dapat
diperoleh dari Tabel 2.

4.2 Penurunan Elastik Tiang Kelompok


Beberapa penyelidikan tentang penurunan tiang kelompok yang telah dilaporkan dalam
literatur memiliki hasil yang sangat beragam. Hubungan yang paling sederhana untuk
penurunan tiang kelompok diberikan oleh Vesic (1969) sebagai

Bg
sg(e) = (8)
Ds
dimana sg(e) = penurunan elastik tiang kelompok
Bg = lebar tiang kelompok
D = diameter satu tiang dalam kelompok
s = penurunan elastik tiang tunggal

Untuk tiang kelompok di dalam pasir atau kerikil, Meyerhof (1976) menggagas
hubungan empiris berikut untuk penurunan elastik.

0.92q Bg I
sg(e) (mm) = (9)
Ncorr
Qg
q (kN/m2 ) = (10)
(Lg Bg )
L
I = 1− ≥ 0.5 (11)
8Bg

dimana Lg dan Bg = panjang dan lebar tiang kelompok


Ncorr = N-SPT koreksi rata-rata dalam daerah penurunan (≈ sedalam Bg
di bawah ujung tiang)
I = faktor pengaruh
L = panjang tiang yang tertanam
5. Penurunan Konsolidasi Tiang Kelompok VII–5

Dengan cara yang sama, penurunan tiang kelompok dapat juga dihubungkan den-
gan CPT sebagai

qBg I
sg(e) = (12)
2qc

dimana qc = nilai CPT rata-rata pada daerah penurunan. Dalam Pers. (12), semua
simbol harus dalam satuan yang sesuai.

5. Penurunan Konsolidasi Tiang Kelompok


Penurunan konsolidasi tiang kelompok di tanah lempung dapat dihitung dengan meng-
gunakan metode distribusi tegangan 2:1. Prosedur perhitungan menggunakan langkah-
langkah berikut ini:

1. Misalkan panjang tiang yang tertanam adalah L. Tiang kelompok menderita


beban total Qg . Jika kepala tiang berada di bawah permukaan tanah asli, Qg
adalah sama dengan beban total dari bangunan atas (superstructure) yang di-
terima tiang dikurangi dengan berat efektif tanah di atas tiang kelompok yang
dibuang oleh penggalian.

2. Asumsikanlah bahwa beban Qg akan disalurkan ke tanah mulai dari kedalaman


2L/3 dari puncak tiang, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Puncak tiang
adalah pada kedalaman z = 0. Beban Qg tersebar sepanjang garis 2 vertikal : 1
horizontal dari kedalaman ini. Garis aa dan bb adalah garis 2:1.

3. Hitunglah peningkatan tegangan yang timbul di tengah-tengah setiap lapisan


tanah dengan beban Qg :

Qg
Δpi = (13)
(Bg + zi )(Lg + zi )

dimana Δpi = peningkatan tegangan di tengah lapisan i


Bg , Lg = panjang dan lebar tiang kelompok
zi = jarak dari z = 0 ke tengah lapisan i

Sebagai contoh, dalam Gambar 2 untuk Lapisan No. 2, zi = L1 /2. Sama juga
halnya dengan Lapisan No. 3, zi = L1 + L2 /2; dan untuk Lapisan No. 4,
zi = L1 + L2 + L3 /2. Namun tidak akan ada peningkatan tegangan pada Lapisan
No. 1, karena berada di atas bidang horizontal (z = 0) dimana distribusi tegangan
pada tanah dimulai.
VII–6

Gambar 2. Penurunan konsolidasi tiang kelompok

4. Menghitung penurunan untuk masing-masing lapisan akibat adanya peningkatan


tegangan pada lapisan itu. Besarnya penurunan dapat dihitung dengan menggu-
nakan persamaan penurunan konsolidasi satu dimensi untuk lempung terkonsol-
idasi normal dan terkonsolidasi lebih.
Untuk lempung terkonsolidasi normal:
Cc(i) Hi p◦(i) + Δpi
Δsi = log (14)
1 + e◦(i) p◦(i)
Untuk lempung terkonsolidasi lebih dengan:

p◦(i) + Δpi < pc(i)

Cs(i) Hi p◦(i) + Δpi


Δsi = log (15)
1 + e◦(i) p◦(i)
Untuk lempung terkonsolidasi lebih dengan:

p◦(i) < pc(i) < p◦(i) + Δpi


6. Contoh Soal VII–7

Cs(i) Hi pc(i) Cc(i) Hi p◦(i) + Δpi


Δsi = log + log (16)
1 + e◦(i) p◦(i) 1 + e◦(i) p◦(i)

dimana,

Δsi = penurunan konsolidasi pada lapisan i.


p◦(i) = tegangan efektif rata-rata pada lapisan i tanpa pembebanan
pc(i) = tekanan prakonsolidasi (preconsolidated pressure)
e◦(i) = angka pori awal pada lapisan i
Cc(i) = indeks kompresi (compression index)
Cs(i) = indeks pengembangan (swelling index)
Hi = ketebalan lapisan i (Catatan: Di dalam Gambar 2, nilai Hi untuk Lapisan
No. 2 adalah L1 . Untuk Lapisan No. 3, Hi = L2 , dan untuk Lapisan
No. 4, Hi = L3 )

5. Penurunan konsolidasi total tiang kelompok menjadi

Δsg(c) = ΣΔsi (17)

Penurunan konsolidasi tiang disamping yang sudah diuraikan di atas bisa juga dipicu
oleh pengisian tempat di sebelah konstruksi, beban di dekat lantai, dan juga turunnya
mukai air tanah.

6. Contoh Soal
6.1 Soal 1
Sebagai contoh ambillah tiang dengan beban kerja yang diizinkan adalah 337 kN. Jika
240 kN disumbangkan oleh tahanan gesek kulit dan 97 kN berasal dari beban titik,
tentukanlah penurunan elastik tiang. Gunakan Ep = 21 × 106 kN/m2 , Es = 30000
kN/m2 , dan μs = 0.3.

Penyelesaian

Untuk menghitung penurunan elastik total akan digunakan Pers. (1)

s = s1 + s2 + s3

Dari Pers. (2)

Qwp + ξQws L
s1 =
Ap Ep
6.2. Soal 2 VII–8

Ambil ξ = 0.6 dan Ep = 21 × 106 kN/m2 . Sehingga

[97 + (0.6)(240)]12
s1 = = 0.00148 m = 1.48 mm
(0.305)2 (21 × 106 )

Dari Pers. (3)

qwp D
s2 = (1 − μ2s )Iwp
Es

Dari grafik yang digunakan untuk pondasi dangkal kaku diperoleh Iwp = 0.82

Qwp 97
qwp = = = 1042.7 kN/m2
Ap (0.305)2

Sehingga
 
(1042.7)(0.305)
s2 = (1 − 0.32 )(0.82) = 0.0079 m = 7.9 mm
30000

Kembali dari Pers. (5)


 
Qwp
D
s3 = (1 − μ2s )Iws
pLEs
 
L 12
Iws = 2 + 0.35 = 2 + 0.35 = 4.2
D 0.305
Maka
 
240 0.305
s3 = (1 − 0.32 )(4.2) = 0.00081 m = 0.81 mm
(π × 0.305)(12) 30000

Dengan demikian penurunan elastik total menjadi

s = 1.48 + 7.9 + 0.81 = 10.91 mm

6.2 Soal 2
Tiang kelompok di dalam tanah lempung seperti pada Gambar 3. Tentukanlah penu-
runan konsolidasi tiang kelompok. Semua lapisan lempung adalah terkonsolidasi nor-
mal.

Penyelesain

Oleh karena panjang tiang masing-masing adalah 15 m, maka distribusi tegangan mulai
dari kedalaman 10 m di bawah puncak tiang. Diketahui Qg = 2000 kN.
6. Contoh Soal VII–9

Gambar 3. Contoh penurunan konsolidasi


Perhitungan penurunan lapisan lempung 1

Untuk lempung terkonsolidasi normal

Cc(1) H1 p◦(1) + Δp1


Δs1 = log
1 + e◦(1) p◦(1)
Qg 2000
Δp1 = = = 51.6 kN/m2
(Lg + z1 )(Bg + z1 ) (3.3 + 3.5)(2.2 + 3.5)
p◦(1) = 2(16.2) + 12.5(18.0 − 9.81) = 134.8 kN/m2

Maka
 
(0.3)(7) 134.8 + 51.6
Δs1 = log = 0.1624 m = 162.4 mm
1 + 0.82 134.8

Perhitungan penurunan lapisan 2

Cc(2) H2 p◦(2) + Δp2


Δs2 = log
1 + e◦(2) p◦(2)
Qg 2000
Δp2 = = = 14.52 kN/m2
(Lg + z2 )(Bg + z2 ) (3.3 + 9)(2.2 + 9)
p◦(2) = 2(16.2) + 16(18.0 − 9.81) + 2(18.9 − 9.81) = 181.62 kN/m2
VII–10

Maka
 
(0.2)(4) 181.62 + 14.52
Δs2 = log = 0.0157 m = 15.7 mm
1 + 0.7 181.62

Perhitungan penurunan lapisan 3

Cc(3) H3 p◦(3) + Δp3


Δs3 = log
1 + e◦(3) p◦(3)
Qg 2000
Δp3 = = = 9.2 kN/m2
(Lg + z3 )(Bg + z3 ) (3.3 + 12)(2.2 + 12)
p◦(3) = 181.62 + 2(18.9 − 9.81) + 1(19 − 9.81) = 208.99 kN/m2
Dan
 
(0.25)(2) 208.99 + 9.2
Δs3 = log = 0.0054 m = 5.4 mm
1 + 0.75 208.99
Maka penurunan total menjadi
Δsg = 162.4 + 15.7 + 5.4 = 183.5 mm

7. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[3] Meyerhof, G.G.: Bearing capacity and settlement of pile foundations, Journal of
the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 102, No. GT3, pp. 197-228,
1976.
[4] Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.
[5] Tomlinson, M.J.: Pile Design and Construction Practice, A Viewpoint Publica-
tion, Cement and Concrete Association, 1977.
[6] Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-
Graw-Hill, New York, 1973.
[7] Vesic, A.S.: Experiment with instrumented pile groups in sand, American Society
for Testing and Materials; Special Technical Publication, No. 444, pp. 177-222,
1969.
[8] Vesic, A.S.: Test on instrumented piles−Ogeechee River site, Journal of the Soil
Mechanics and Foundations Divisions, ASCE, Vol. 96, No. SM2, pp. 561-584,
1970.
[9] Vesic, A.S.: Design of Pile Foundations, National Cooperative Highway Research
Program Synthesis of Practice No. 42, Transportation Research Board, Washing-
ton, D.C., 1977.
Modul VIII

Analisa Dinamis Pondasi Tiang


DAFTAR ISI i

Daftar Isi
1 Pengantar VIII–1

2 Tujuan Instruksional Umum VIII–1

3 Tujuan Instruksional Khusus VIII–1

4 Analisa Dinamis Pondasi Tiang VIII–1


4.1 Formula Pemancangan Tiang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VIII–1
4.1.1 Pacific Coast Uniform Building Code: . . . . . . . . . . . . . . . VIII–4
4.1.2 Formula Janbu: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VIII–4
4.2 Tegangan Selama Pemancangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VIII–4

5 Uji Pembebanan Tiang VIII–6

6 Contoh Soal VIII–9


6.1 Soal 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . VIII–9

7 Referensi VIII–10
4. Analisa Dinamis Pondasi Tiang VIII–1

Analisa Dinamis Pondasi Tiang

1. Pengantar
Analisa dinamis pondasi tiang dimaksudkan sebagai analisa pemancangan tiang dengan
menggunakan palu. Disebut dinamis karena pemancangan dengan palu merupakan
transfer energi ke tiang dalam bentuk perambatan gelombang. Analisis dinamis ini
telah menghasilkan begitu banyak formula dinamis pemancangan tiang, namun dalam
modul ini hanya beberapa diantaranya yang dibicarakan.

2. Tujuan Instruksional Umum


Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan mahasiswa mampu menghitung daya dukung
tiang berdasarkan formula dinamis pemancangan tiang.

3. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat memenuhi hal-hal berikut.

1. Mahasiswa memahami konsep formula dinamis yang dikembangkan untuk menghi-


tung daya dukung tiang.

2. Mahasiswa mampu menggunakan formula dinamis yang tersedia untuk menghi-


tung daya dukung tiang.

3. Mahasiswa mampu memahami konsep uji pembebanan tiang di lapangan dan


mampu menerapkannya untuk menetapkan daya dukung dan penurunan yang
rasional.

4. Analisa Dinamis Pondasi Tiang


4.1 Formula Pemancangan Tiang
Untuk mengembangkan kapasitas dukung yang diinginkan, daya dukung titik tiang
harus cukup mampu menembus lapisan tanah padat atau bisa mencapai lapisan bat-
uan. Persyaratan semacam ini tidak selalu dapat dipenuhi pada saat tiang dipan-
cangkan hingga mencapai kedalaman yang sudah ditentukan oleh karena begitu be-
ragamnya profil tanah. Untuk alasan inilah beberapa persamaan dikembangkan untuk
4.1. Formula Pemancangan Tiang VIII–2

mampu menghitung daya dukung tiang selama proses pemancangan. Persamaan di-
namis ini sangat luas dipakai di lapangan untuk memastikan apakah nilai daya dukung
telah tercapai pada kedalaman yang telah ditentukan. Salah satu persamaan dinamis
yang tertua adalah biasa disebut sebagai formula Engineering News Record (ENR),
yang diturunkan dengan basis teori kerja-energi (work-energy). Ini berarti bahwa

energi yang ditimbulkan oleh palu per pukulan =


(tahanan tiang) × (pemasukan per pukulan palu)

Menurut formula ENR, tahanan tiang adalah beban batas Qu yang dapat dinyatakan
sebagai

WR h
Qu = (1)
S+C

dimana WR = berat ram (lihat Modul IV)


h = tinggi jatuh ram
S = masuknya tiang per pukulan palu
C = konstanta

Pemasukan tiang, S biasanya didasarkan pada nilai rata-rata yang diperoleh dari
beberapa pukulan pemancangan yang terakhir. Dalam bentuk persamaan aslinya,
direkomendasikan nilai-nilai C berikut ini:

Untuk palu yang dijatuhkan:


C = 2.54 cm (jika satuan untuk S dan h centimeter)
C = 1 in (jika satuan untuk S dan h inchi)
Untuk palu uap (steam):
C = 0.254 cm (jika satuan untuk S dan h centimeter)
C = 0.1 in (jika satuan untuk S dan h inchi)

Juga faktor keamanan direkomendasikan F S = 6 untuk menghitung daya dukung tiang


ijin. Untuk palu dengan kerja tuggal dan ganda (single-and double-acting hammers),
suku WR h dapat digantikan oleh EHE (dimana E = efisiensi palu dan HE = laju
energi palu). Maka

EHE
Qu = (2)
S+C
Formula pemancangan ENR telah mengalami beberapa perubahan hingga saat ini.
Bentuk yang paling akhir (formula modifikasi ENR) dapat diberikan sebagai,

EWR h WR + n2 Wp
Qu = · (3)
S+C WR + Wp
4. Analisa Dinamis Pondasi Tiang VIII–3

dimana Wp = berat tiang


E = efisiensi palu
C = 0.254 cm atau 0.1 in, bergantung pada satuan S dan h
n = koefisien pemulihan (restitution) antara ram dan kepala tiang

Efisiensi berbagai pemancangan tiang dengan palu, E dapat dilihat dalam jangkauan
nilai berikut ini:
Jenis palu Efisiensi, E
Palu dengan kerja tunggal dan ganda 0.70 sampai 0.85
Palu diesel 0.80 sampai 0.90
Palu yang dijatuhkan 0.70 sampai 0.90

Nilai representatif untuk koefisien pemulihan n dapat diperoleh pada tabel berikut
ini:
Koefisien
Bahan tiang pemulihan, n
Palu dari besi tuang dan
tiang beton (tanpa topi) 0.40 sampai 0.50
Bantalan kayu pada pipa baja 0.30 sampai 0.40
Tiang kayu 0.25 sampai 0.30

Faktor keamanan sebesar 4-6 dapat digunakan dalam Pers. (3) untuk memperoleh
daya dukung ijin tiang.
The Michigan State Highway Commission (1965) telah melakukan penyelidikan
untuk memperoleh persamaan pemancangan tiang yang rasional. Pada tiga tempat
lokasi yang jauh berbeda, sejumlah total 88 tiang dipancangkan. Berdasarkan pada
pengujian ini, mereka memodifikasi formula ENR:
2.5HE WR + n2 Wp
Qu = · (4)
S + C WR + Wp
dimana HE = laju energi palu maksimum buatan pabrik
C = 0.254 cm atau 0.1 in, bergantung pada satuan S dan HE
FS = 6 direkomendasikan

Persamaan lain yang dikenal dengan formula Danish juga menurunkan hasil seandal
persamaan lainnya dinyatakan sebagai berikut:
EHE
Qu =  (5)
EHE L
S+
2Ap Ep
dimana E = efisiensi palu
HE = laju energi palu
Ep = modulus Young bahan tiang
L = panjang tiang
Ap = luas penampang tiang (tidak termasuk luas plug tanah)
4.2. Tegangan Selama Pemancangan VIII–4

Pada persamaan di atas penggunaan satuan harus konsisten. Faktor keamanan


dapat diambil bervariasi antara 3 sampai 6 untuk menghitung daya dukung izin tiang.
Persamaan pemancangan tiang lain yang sering juga dipakai adalah yang dibuat
oleh Pacific Coast Uniform Building Code (International Conference of Building Offi-
cials, 1982) dan yang diajukan oleh Janbu (1953). Persamaan mereka diuraikan berikut
ini.

4.1.1 Pacific Coast Uniform Building Code:


 
WR + nWp
(EHE )
WR + Wp
Qu = (6)
Qu L
S+
AE
Nilai n pada persamaan ini harus diambil sebesar 0.25 untuk tiang baja dan 0.1 untuk
tiang jenis lainnya. Faktor keamanan sebesar 4 biasanya direkomendasikan.

4.1.2 Formula Janbu:

EHE
Qu = (7)
Ku S

dimana Ku = Cd (1 + 1 + λ/Cd ) (8)
Cd = 0.75 + 0.15(Wp /WR ) (9)
λ = (EHE L/Ap Ep S 2 ) (10)

Faktor keamanan sekitar 4-5 umumnya digunakan.

4.2 Tegangan Selama Pemancangan


Tegangan maksimum yang dikembangkan dalam tiang selama operasi pemancangan
dapat diperkirakan dari formula pemancangan yang telah diberikan. Hal ini dapat
ditunjukkan, sebagai contoh, dengan mengambil formula modifikasi ENR dalam Pers.
(3) berikut:

EWR h WR + n2 Wp
Qu = ·
S+C WR + Wp

Pada persamaan ini S adalah sama dengan rata-rata pemasukan tiang per pukulan
palu. Ini dapat juga dinyatakan sebagai,
2.54
S= (11)
N
4. Analisa Dinamis Pondasi Tiang VIII–5

dimana S adalah centimeter dan N = jumlah pukulan palu per 2.54 cm pemasukan
tiang. Maka

EWR h WR + n2 Wp
Qu = · (12)
2.54 WR + Wp
+ 0.254
N
Dengan mengetahui jenis palu dan tiang yang digunakan maka Qu dapat dihitung
untuk suatu nilai N yang diasumsikan. Sehingga tegangan pemancangan dapat dihi-
tung untuk setiap nilai N sebagai Qu /Ap . Prosedur ini dapat didemonstrasikan dengan
bilangan. Andaikanlah bahwa sebuah tiang beton prategang dengan panjang 25 m di-
pancangkan dengan menggunakan palu 11B3 (MKT). Sisi tiang adalah 254 mm. Dari
Tabel 3 pada Modul IV untuk tiang ini diperoleh

Ap = 645 cm2

Berat tiang Wp = (Ap L)γc = (645/10000)(25)(23.58) ≈ 38 kN. Ambillah berat topi =


3 kN. Maka Wp = 38 + 3 = 41 kN. Kembali dari Modul IV untuk palu 11B3,

laju energi = 26.1 kN-m = 26.1 × 100 kN-cm = HE = Wr h

Berat ram = 22.2 kN. Asumsikan bahwa efisiensi palu = E = 0.85, dan n = 0.35.
Dengan mengisikan nilai-nilai ini ke Pers. (12),
⎡ ⎤

⎢ 0.85(26.1 × 100) ⎥ 22.2 + 0.352 (41) 955.6
Qu = ⎣ ⎦ =
25.4 22.2 + 41 25.4
+ 0.254 + 0.254
N N
Sekarang dengan memberi sejumlah nilai N, maka Qu dapat diperoleh untuk masing-
masing N. Agar lebih mudah daftar perhitungannya dapat dibuat dalam bentuk tabel
berikut:

Qu Ap Qu /Ap
N (kN) (m2 ) (MN/m2 )
0 0 645 × 10−4 0.00
2 627 645 × 10−4 9.72
4 1075 645 × 10−4 16.67
6 1410 645 × 10−4 21.87
8 1672 645 × 10−4 25.92
10 1881 645 × 10−4 29.16
12 2052 645 × 10−4 31.82
20 2508 645 × 10−4 38.88

Jumlah pukulan per 2.54 cm, N dan tegangan dapat diplot menjadi sebuah grafik,
seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Apabila grafik ini dibuat, maka hubungan antara
VIII–6

Gambar 1. Hubungan antara N dengn tegangan pemancangan


jumlah pukulan per 2.54 cm pemasukan tiang dan tegangan ijin pemancangan dapat
dengan mudah ditentukan.
Di dalam praktek, tegangan pemancangan tiang kayu dibatasi hingga kira-kira
0.7fu . Demikian juga halnya tiang beton dan baja yang dibatasi hingga berturut-turut
0.6fc dan 0.85σy .
Dalam banyak kasus, tiang kayu dipancangkan dengan suatu energi palu yang ku-
rang dari 60 kN-m. Tahanan pemancangan kebanyakan dibatasi hingga 4-5 pukulan
per 2.54 cm pemasukan tiang. Untuk beton dan baja nilai N yang biasa dipakai
berturut-turut adalah 6-8 dan 12-14.

5. Uji Pembebanan Tiang


Pada proyek-proyek besar, sejumlah tertentu uji pembebanan tiang harus dilakukan.
Pada pokoknya hal ini diperlukan karena tidak cukup andalnya metode perkiraan yang
ada. Daya dukung beban vertikal dan lateral yang dapat dipikul tiang dapat diuji di
lapangan. Gambar 2(a) memperlihatkan secara skematik diagram pengujian pembe-
banan tiang di lapangan. Dalam gambar ini pengujian dilakukan untuk pembebanan
tekan aksial. Beban yang dipakaikan pada tiang berasal dari dongkrak (jack) hidrolis.
Pembebanan dilakukan secara bertahap, dan antara pembebanan yang satu ke pem-
bebanan berikutnya harus ada selang waktu yang cukup agar laju penurunan tiang
mencapai suatu nilai yang kecil. Penurunan tiang akibat pemberian beban ini di-
catat dengan menggunakan cakra pengukur (dial gauges). Besar pembebanan yang
dipakai untuk setiap tahap beragam bergantung pada peraturan bangunan setempat.
5. Uji Pembebanan Tiang VIII–7

Kebanyakan peraturan bangunan mensyaratkan bahwa setiap tahap pembebanan sek-


itar seperempat dari beban kerja yang akan dipikul tiang. Dan tahap pembebanan
ini dilakukan hingga beban mencapai sekurang-kurangnya dua kali beban kerja. Sete-
lah mencapai beban tiang yang diinginkan, pembebanan kemudian dikurangi secara
bertahap (unloading).

Gambar 2. (a) Diagram skematik uji pembebanan tiang; (b) hubungan beban dengan penu-
runan total; (c) hubungan beban dengan penurunan bersih

Uji pembebanan tiang pada pasir dapat dilakukan segera setelah tiang dipan-
cangkan. Namun perlu hati-hati untuk memutuskan selang waktu yang diperlukan
antara pemancangan dengan dimulainya uji pembebanan pada tanah lempung. Selang
waktu ini dapat berada dalam rentang 30-60 hari atau lebih, karena tanah perlu waktu
untuk mencapai kembali kekuatan thixotropicnya (thixotropic strength).
Gambar 2(b) menunjukkan hubungan antara beban dan penurunan untuk kondisi
VIII–8

memuat beban (loading) dan bongkar muat beban (unloading). Untuk suatu beban Q
tertentu, penurunan tiang bersih dapat dihitung sebagai berikut: Apabila Q = Q1

penurunan bersih, snet(1) = st(1) − se(1)

Apabila Q = Q2

penurunan bersih, snet(2) = st(2) − se(2)


.. ..
. .

dimana snet = penurunan bersih


se = penurunan elastik tiang itu sendiri
st = penurunan total

Nilai-nilai Q ini kemudian diplot menjadi sebuah grafik hubungan antara Q dengan
penurunan bersih (snet ). Grafik seperti ini dicontohkan dalam Gambar 2(c). Beban
batas tiang dapat diperoleh dari grafik ini. Penurunan tiang bisa bertambah dengan
bertambahnya beban hingga pada suatu titik tertentu dimana setelah titik ini grafik
akan berubah menjadi vertikal. Beban yang berkenaan dengan titik ini akan menjadi
beban batas tiang (Qu ). Hal ini ditunjukkan oleh Kurva 1 pada Gambar 2(c). Namun
dalam kebanyakan kasus, bagian terakhir kurva adalah hampir linier, yang menun-
jukkan besarnya derajat penurunan pada pertambahan beban yang sangat kecil. Ini
ditunjukkan oleh Kurva 2 dalam Gambar 2(c). Beban batas (Qu ) untuk kasus seperti
ini ditentukan dari titik kurva hubungan Q dan snet dimana bagian linier yang curam
dimulai.
Prosedur uji pembebanan yang baru saja dijelaskan memerlukan pemakaian be-
ban secara bertahap pada tiang dan kemudian mengukur penurunannya. Pengujian
seperti ini disebut dengan model kontrol-beban (load controlled). Teknik pengujian
yang berbeda dengan ini ada yang disebut dengan uji laju penetrasi konstan (constant-
rate-penetration). Pada pengujian jenis ini, beban tiang secara terus menerus dit-
ingkatkan agar menjaga laju penetrasi tetap konstan yang berkisar pada rentang 0.25-
2.5 mm/menit. Pengujian ini memberi plot beban-penurunan yang sama seperti pada
uji kontrol beban. Model uji pembebanan tiang yang lain meliputi pembebanan sik-
lik (cyclic loading), dimana peningkatan beban secara berulang-ulang dipakaikan dan
dihilangkan.
6. Contoh Soal VIII–9

6. Contoh Soal
6.1 Soal 1
Sebuah tiang beton pracetak dengan ukuran (0.305 × 0.305) m dipancangkan dengan
palu Vulcan (Model No. 08). Berikut ini diketahui:

Laju energi palu maksimum = 35.3 kN-m


Berat ram = 35.6 kN
Panjang tiang total = 20 m
Efisiensi palu = 0.8
Koefisien pemulihan = 0.45
Berat kepala tiang = 3.2 kN
Jumlah pukulan terakhir untuk 25.4 mm pemasukan = 5
Hitunglah daya dukung ijin tiang dengan:
a. Pers. (2), gunakan FS = 6
b. Pers. (3), gunakan FS = 5
c. Pers. (5), gunakan FS = 4

Penyelesaian

Bagian (a): Menggunakan Pers. (2)


EHE
Qu =
S+C
Diketahui: E = 0.8, HE = 35.3 kN-m
25.4
S= = 5.08 mm = 0.508 cm
5
Jadi
(0.8)(35.3)(100)
Qu = = 3706 kN
0.508 + 0.254
Qu 3706
Qall = = = 617.7 kN
FS 6

Bagian (b): Menggunakan Pers. (3)


EWR h WR + n2 Wp
Qu = ·
S+C WR + Wp

Berat tiang = LAp γc = (20)(0.305)2(23.58) = 43.87 kN.


Wp = berat tiang + berat topi = 43.87 + 3.2 = 47.07 kN
VIII–10

Jadi

(0.8)(35.3)(100) 35.6 + (0.45)2(47.07)
Qu =
0.508 + 0.254 35.6 + 47.07
= (3706)(0.546) ≈ 2024 kN
Qu 2024
Qall = = = 404.8 kN ≈ 405 kN
FS 5

Bagian (c): Menggunakan Pers. (5)


EHE
Qu = 
EHE L
S+
2Ap Ep

Ep ≈ 20.7 × 106 kN/m2 . Jadi


 
EHE L (0.8)(35.3)(20)
= = 0.0121 m = 1.21 cm
2Ap Ep (2)(0.305)2 (20.7 × 106 )
Maka
(0.8)(35.3)(100)
Qu = = 1644 kN
0.508 + 1.21
Qu 1644
Qall = = = 411 kN
FS 4

7. Referensi
[1] Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,
1988.
[2] Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[3] Meyerhof, G.G.: Bearing capacity and settlement of pile foundations, Journal of
the Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 102, No. GT3, pp. 197-228,
1976.
Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.
[4] Tomlinson, M.J.: Pile Design and Construction Practice, A Viewpoint Publica-
tion, Cement and Concrete Association, 1977.
Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-
Graw-Hill, New York, 1973.
[5] Vesic, A.S.: Experiment with instrumented pile groups in sand, American Society
for Testing and Materials; Special Technical Publication, No. 444, pp. 177-222,
1969.
[6] Vesic, A.S.: Design of Pile Foundations, National Cooperative Highway Research
Program Synthesis of Practice No. 42, Transportation Research Board, Washing-
ton, D.C., 1977.
Modul IX

Pembebanan Lateral dan


Tahanan Tarik Tiang
DAFTAR ISI i

Daftar Isi
1 Pengantar IX–1

2 Tujuan Instruksional Umum IX–1

3 Tujuan Instruksional Khusus IX–1

4 Tiang Vertikal Dibebani Lateral IX–1


4.1 Tanah-tanah granular . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IX–1
4.2 Tanah kohesif . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . IX–5

5 Tahanan Tarik Tiang IX–8


4. Tiang Vertikal Dibebani Lateral IX–1

Pembebanan Lateral dan


Tahanan Tarik Tiang

1. Pengantar
Disamping adanya pembebanan vertikal, pondasi tiang juga harus dipertimbangkan
terhadap pembebanan lateral, terutama apabila beban-beban lateral cukup signifikan
akan dialami oleh pondasi selama umur bangunan. Beban-beban lateral dapat berasal
dari beban angin atau terutama akibat beban gempa. Tahanan tarik tiang adalah
tahanan yang dikembangkan oleh tiang pada kondisi-kondisi terdapat gaya apung (up-
lift).

2. Tujuan Instruksional Umum


Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan mahasiswa mampu menghitung daya dukung
tiang terhadap beban lateral dan tahanan tarik.

3. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat memenuhi hal-hal berikut.

1. Mahasiswa memahami konsep gaya lateral yang bekerja pada tiang.

2. Mahasiswa mampu menghitung beban lateral untuk menguji kemampuan tiang


terhadap beban lateral.

3. Mahasiswa mampu menghitung besarnya tahanan tarik yang bekerja pada tiang.

4. Tiang Vertikal Dibebani Lateral


4.1 Tanah-tanah granular
Sebuah penyelesaian umum untuk menentukan momen dan perpindahan tiang vertikal
yang dibebani lateral dan momen pada permukaan tanah telah diberikan oleh Matlock
dan Reese (1960). Pertimbangkanlah sebuah tiang dengan panjang L yang menderita
gaya lateral Qg dan momen Mg pada permukaan tanah (yaitu pada z = 0), seperti
ditunjukkan pada Gambar 1(a). Gambar 1(b) memperlihatkan sifat umum bentuk
lendutan tiang dan tahanan tanah akibat pemakaian gaya dan momen.
4.1. Tanah-tanah granular IX–2

Gambar 1. (a) Tiang dibebani lateral; (b) tahanan tanah pada tiang akibat beban lateral;
(c) aturan tanda untuk perpindahan, kemiringan, momen, geser, dan reaksi
tanah

Merujuk pada model sederhana dari Winkler, suatu medium elastik (dalam hal ini
tanah) dapat digantikan oleh sederetan pegas elastik tak terhingga banyaknya yang
tidak saling bersentuhan. Dengan asumsi ini, dapat ditulis bahwa
p (kN/m)
k= (1)
x (m)
dimana k = modulus reaksi tanah (subgrade reaction)
p = tekanan tanah
x = lendutan (deflection)
Modulus reaksi tanah untuk tanah granular pada kedalaman z dapat dinyatakan
sebagai

kz = nh z (2)

dimana nh = konstanta modulus reaksi tanah horizontal

Dengan mengacu pada Gambar 1(b) dan menggunakan teori balok di atas pondasi
elastik (beams on an elastic foundation) dapat ditulis bahwa
d4 x
Ep Ip = p (3)
dz 4
4. Tiang Vertikal Dibebani Lateral IX–3

dimana Ep = modulus Young bahan tiang


Ip = momen inersia penampang tiang

Berdasar pada model Winkler

p = −kx (4)

Tanda pada persamaan ini adalah negatif karena reaksi tanah adalah berlawanan den-
gan arah lendutan tiang.
Dengan mengombinasikan Pers. (1) dan (2)
d4 x
Ep Ip+ kx = 0 (5)
dz 4
Penyelesaian untuk persamaan ini dinyatakan sebagai berikut:
Lendutan tiang pada kedalaman tertentu [xz (z)]:
Qg T 3 Mg T 2
xz (z) = Ax + Bx (6)
Ep Ip Ep Ip
Kemiringan tiang pada kedalaman tertentu [θz (z)]:
Qg T 2 Mg T
θz (z) = Aθ + Bθ (7)
Ep Ip Ep Ip
Momen tiang pada kedalaman tertentu [Mz (z)]:

Mz (z) = Am Qg T + Bm Mg (8)

Gaya geser tiang pada kedalaman tertentu [Vz (z)]:


Mg
Vz (z) = Av Qg + Bv (9)
T
Reaksi tanah pada kedalaman tertentu [pz (z)]:
Qg Mg
pz (z) = Ap + Bp 2 (10)
T T
dimana Ax , Bx , Aθ , Bθ , Am , Bm , Av , Bv , Ap , Bp adalah koefisien dan

T = panjang karakteristik dari sistem tanah − tiang



Ep Ip
= 5 (11)
nh
Kalau panjang tiang, L ≥ 5T , maka tiang dipertimbangkan sebagai tiang panjang.
Untuk L ≤ 2T , tiang dikatakan sebagai tiang kaku. Tabel 1 memberi nilai-nilai koe-
fisien untuk tiang panjang (L/T ≥ 5) seperti pada Pers. (5) sampai (9). Pada kolom
pertama tabel ini, Z adalah kedalaman tunadimensi, atau
z
Z= (12)
T
4.1. Tanah-tanah granular IX–4

Tabel 1. Koefisien untuk tiang panjang, kz = nh Z


4. Tiang Vertikal Dibebani Lateral IX–5

Aturan tanda positif untuk xz (z), θz (z), Mz (z), Vz (z), pz (z) di dalam Tabel 1 men-
gacu pada Gambar 1(c). Pada Gambar 2 diperlihatkan juga variasi Ax , Bx , Am , Bm
untuk berbagai nilai L/T = Zmax . Gambar-gambar ini memperlihatkan bahwa apabila
L/T lebih besar dari sekitar 5, koefisien tidak lagi berubah. Hal ini benar hanya bagi
tiang panjang.

Gambar 2. Variasi Ax , Bx , Am , Bm dengan Z (Reese, 1960)

Untuk menghitung panjang karakteristik T tiang, perlu diasumsikan lebih dahulu


nilai nh dengan tepat. Beberapa nilai representatif nh dapat digunakan dari Tabel 2.

4.2 Tanah kohesif


Penyelesaian yang mirip Pers. (5) sampai (9) diberikan oleh Davisson dan Gill (1963)
untuk tiang yang tertanam pada tanah lempung. Merujuk pada penyelesaian ini
Qg R3 Mg R2
xz (z) = Ax + Bx (13)
Ep Ip Ep Ip
dan

Mz (z) = Am Qg R + Bm

Mg (14)
4.2. Tanah kohesif IX–6

Tabel 2. Nilai representatif nh


Jenis tanah nh (kN/m3 )
Pasir kering atau lembab Lepas : 1800-2200
Medium : 5500-7000
Padat : 15000-18000
Pasir terendam Lepas : 1000-1400
Medium : 3500-4500
Padat : 9000-12000

dimana Ax , Bx , Am , Bm



adalah koefisien-koefisien, dan

4 Ep Ip
R= (15)
k
Nilai-nilai koefisien A dan B diberikan pada Gambar 3. Pada gambar ini,
z
Z = (16)
R
dan

 L
Zmax = (17)
R

Gambar 3. Variasi Ax , Bx , Am , Bm


 dengan Z (Davisson dan Gill, 1960)

Untuk menggunakan Pers. (12) dan (13), haruslah diketahui panjang karakter-
istik R terlebih dahulu. Ini dapat dihitung dari Pers. (14) dimana koefisien reaksi
tanah telah diketahui. Untuk pasir, koefisien reaksi tanah telah diberikan pada Pers.
(2) yang adalah linier dengan kedalaman. Namun, untuk tanah kohesif koefisien ini
4. Tiang Vertikal Dibebani Lateral IX–7

diasumsikan kira-kira konstan dengan kedalaman. Vesic (1961) telah mengajukan per-
samaan berikut untuk menghitung k.

Es D 4 Es
k = 0.65 12 (18)
Ep Ip 1 − μ2s

dimana Es = modulus Young tanah


D = lebar tiang (diameter)
μs = nisbah Poisson tanah

Modulus Young lempung, Es dapat diperoleh dari uji konsolidasi tanah di laboratorium
sebagai,
3(1 − μs )
Es = (19)
mv
dimana mv = koefisien kompressibilitas volume,

Δe
mv = (20)
Δp(1 + eav )
Nilai μs dapat diasumsikan bervariasi diantara 0.3-0.4.

Contoh Soal 2.9

Pertimbangkanlah sebuah tiang-H (HP 250 × 0.834) dengan panjang 25 m disorongkan


keseluruhannya ke dalam tanah pasir. Asumsikan nh = 12000 kN/m3 . Perpindahan
yang diijinkan pada kepala tiang adalah 8 mm. Tentukanlah beban lateral ijin, Qg .
Anggaplah Mg adalah nol.

Penyelesaian

Dari Tabel 2.1 untuk tiang HP 250 × 0.834,

Ip = 123 × 10−6 m4 (pada sumbu terkuat)


Ep = 207 × 106 kN/m2

Dari Pers. (2.86)


 
5 Ep Ip 5 (207 × 106 )(123 × 10−6 )
T = = = 1.16 m
nh 12000
L/T = 25/1.16 = 21.25 > 5, sehingga ini adalah tiang panjang. Karena Mg = 0, Pers.
(2.81) akan mengambil bentuk

Qg T 3
xz (z) = Ax
Ep Ip
IX–8

Sehingga

xz (z)Ep Ip
Qg =
Ax T 3
Diketahui xz (z = 0) = 8 mm = 0.008 m. Pada z = 0, Ax = 2.435 (lihat Tabel 2.13).
Jadi
(0.008)(207 × 106 )(123 × 10−6 )
Qg = = 53.59 kN
(2.435)(1.163)

Nilai Qg = 53.59 kN ditentukan berdasarkan hanya pada kondisi perpindahan di-


batasi. Namun nilai Qg berdasarkan kapasitas momen tiang perlu juga ditentukan.
Untuk itu mengacu pada Pers. (2.83) dengan Mg = 0,

Mz (z) = Am Qg T

Berdasarkan Tabel 1, nilai maksimum untuk Am pada setiap kedalaman adalah 0.772.
Maka momen ijin maksimum yang dapat dipikul tiang menjadi
Ip
Mz(max ) = σall
d1
2
Ambillah σall = 125000 kN/m2 . Dari Tabel 1 Modul IV, Ip = 123 × 10−6 m4 dan
d1 = 0.254 m. Sehingga,

Ip 123 × 10−6
 =   = 968.5 × 10−6 m3
d1 0.254
2 2

Dengan demikian

Mz(max) (968.5 × 10−6 )(125000)


Qg = = = 135.2 kN
Am T (0.772)(1.16)

Nilai Qg = 135.2 kN lebih besar dari 53.59 kN. Maka akan digunakan kriteria lendutan,
sehingga Qg = 53.59 kN.
Ini hanyalah pendekatan pertama. Keabsahan asumsi nh = 12000 kN/m3 bisa
diperiksa kembali dengan menggunakan Qg = 53.59 kN.

5. Tahanan Tarik Tiang


Pada bagian awal bab ini sudah disinggung bahwa terdapat kemungkinan adanya kon-
disi konstruksi dimana tiang menderita gaya angkat (uplift forces). Tahanan batas
tiang akibat pembebanan semacam ini belum banyak diselidiki hingga sekarang ini.
5. Tahanan Tarik Tiang IX–9

Tahanan batas kotor tiang yang menderita gaya angkat dapat ditulis sebagai (lihat
Gambar 4)

Tug = Tun + W (21)

dimana Tug = kapasitas angkat kotor


Tun = kapasitas angkat bersih
W = berat efektif tiang

Gambar 4. Kapasitas angkat tiang

Kapasitas angkat batas bersih tiang yang tertanam pada lempung jenuh telah
dipelajari oleh Das dan Seeley (1982). Merujuk pada studi mereka,

Tun = Lpα cu (22)

dimana L = panjang tiang


p = keliling penampang tiang
α = koefisien adhesi muka-antara tanah-tiang
cu = kohesi taksalur lempung

Untuk tiang beton cor di tempat

α = 0.9 − 0.00625cu (untuk cu ≤ 80 kN/m2 ) (23)

dan

α = 0.4 (untuk cu > 80 kN/m2 ) (24)


IX–10

Dengan cara yang sama untuk tiang pipa

α = 0.715 − 0.0191cu (untuk cu ≤ 27 kN/m2 ) (25)

dan

α = 0.2 (untuk cu > 27 kN/m2 ) (26)

Apabila tiang tertanam pada tanah granular (c = 0), kapasitas angkat batas bersih
dapat dinyatakan sebagai (Das dan Seeley, 1975)
 L
Tun = (fu p) dz (27)
0

dimana fu = gesekan kulit satuan selama uplift (pengangkatan)


p = keliling penampang tiang

Gesekan kulit satuan selama uplift biasanya bervariasi seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 5(a). Meningkat secara linier hingga mencapai kedalaman z = Lcr ;
selebihnya akan menjadi konstan. Untuk z ≤ Lcr

fu = Ku σv tan δ (28)

dimana Ku = koefisien uplift


σv = tegangan vertikal efektif pada kedalaman z
δ = sudut gesek tanah-tiang
Variasi koefisien uplift dengan sudut gesek tanah φ diberikan pada Gambar 5(b).
Berdasarkan pengalaman, nilai-nilai Lcr dan δ bergantung pada kerapatan relatif tanah.
Gambar 5(c) memperlihatkan sifat variasi ini dengan kerapatan relatif tanah. Untuk
perhitungan kapasitas batas uplift bersih, prosedur berikut ini dapat digunakan.

1. Menentukan kerapatan relatif tanah dan gunakan Gambar 5(c) untuk memper-
oleh nilai Lcr .

2. Jika panjang tiang L kurang atau sama dengan Lcr


 L  L
Tun = p fu dz = p (σv Ku tan δ) dz (29)
0 0

Pada tanah kering, σv = γz (dimana γ = berat isi tanah). Sehingga


 L  L

Tun = p (σv Ku tan δ) dz = p γzKu tan δ dz
0 0
= 1
2
pγL2 Ku tan δ (30)

Nilai Ku dan δ dapat diperoleh dari Gambar 5(b) dan (c).


5. Tahanan Tarik Tiang IX–11

3. Untuk kasus dimana L > Lcr


 L  Lcr  L 
Tun = p fu dz = p fu dz + fu dz
0 0 Lcr
 Lcr  L



= p [σv Ku tan δ] dz + σv(pada z=Lcr ) Ku tan δ dz (31)
0 Lcr

Gambar 5. (a) Sifat variasi fu ; (b) koefisien uplift Ku ; (c) variasi δ/φ dan (L/D)cr dengan
kepadatan relatif pasir
IX–12

Pada tanah kering, persamaan di atas berubah menjadi bentuk sederhana berikut
ini

Tun = 12 pγL2cr Ku tan δ + pγLcr Ku tan δ(L − Lcr ) (32)

Nilai-nilai Ku dan δ dapat ditentukan dari Gambar 5(b) dan (c).

Untuk menghitung kapasitas uplift ijin bersih, gunakanlah faktor keamanan sebesar
2-3. Maka
Tug
Tu(all) = (33)
FS
dimana Tu(all) = kapasitas uplift ijin

Contoh Soal 2

Untuk tiang pipa seperti diberikan pada Contoh Soal 4 Modul 4, tentukanlah kapsitas
uplift batas bersih.

Penyelesaian

Akan digunakan Pers. (22) untuk soal ini. Oleh karena lapisan bagian atas dan bawah
adalah lempung dengan cu > 27 kN/m2 , nilai α untuk kedua lapisan adalah 0.2. Maka

Tun = pαΣcu ΔL = π(0.406)(0.2)[(30)(10) + (100)(20)]


= 586.7 kN

Contoh Soal 3

Dengan mengacu pada Contoh Soal 1 pada Modul 4. Untuk tiang beton, tentukanlah
kapasitas tarik batas bersih. Asumsikan kerapatan relatif tanah adalah 60%.

Penyelesaian

Dari Gambar 5(c), untuk kerapatan relatif 60%, (L/D)cr ≈ 12.7. Jadi

Lcr = (12.7)(0.305) = 3.87 m

Karena L = 12 m > Lcr , Pers. (32) akan digunakan

Tun = 12 pγL2cr Ku tan δ + pγLcr Ku tan δ(L − Lcr )


5. Tahanan Tarik Tiang IX–13

Dari Gambar 5(b), untuk φ = 35◦ , Ku = 1.9. Dengan cara yang sama, dari Gambar
5(c), untuk kerapatan relatif 60%, (δ/φ) ≈ 0.97. Jadi, δ = (0.97)(35) = 33.95◦. Dengan
mensubtitusikan nilai-nilai ini ke persamaan di atas diperoleh

Tun = ( 12 )(4 × 0.305)(16.8)(3.87)2(1.9) tan(33.95)


+(4 × 0.305)(16.8)(3.87)(1.9) tan(33.95)(12 − 3.87)
= 1021.2 kN
MODUL X

Gesekan Kulit Negatif

Disusun oleh:

Pintor T. Simatupang
1. Pendahuluan
Secara tradisional, perencanaan pondasi tiang mencakup daya dukung baik sebagai
end bearing pile maupun friction pile dan penurunan (settlement). Namun dalam
kondisi tertentu, disamping standard perencanaan tiang yang harus dituruti,
terdapat hal-hal lain yang juga harus dipertimbangkan. Jika tiang disorongkan ke
dalam tanah hingga mencapai stratum yang kuat, namun diatasnya terdapat lapisan
tanah yang lunak, maka perhitungan daya dukung ujung tiang (end bearing) harus
dikoreksi karena adanya gaya seret (dragload) yang timbul akibat memampatnya
tanah lunak tadi. Fenomena ini biasanya dikenal dengan negative skin friction. Hal-
hal khusus semacam ini harus dipertimbangkan dalam tingkat desain, karena hal ini
bisa jadi memicu kegagalan konstruksi. Hal-hal lain berkenaan dengan metoda
pelaksanaan konstruksi juga harus dipertimbangkan, jika tiang akan dimasukkan ke
dalam tanah lunak, yaitu tanah yang umumnya dikenal memiliki daya dukung yang
rendah dan sifat kompressibilitas yang tinggi.

2. Negative Skin Friction (Gesekan Kulit Negatif)


Aggaplah pondasi direncanakan akan dipancang sampai lapisan tanah keras
sementara tanah di atasnya adalah lapisan kompresibel. Tanah kompresibel ini
akan mengalami konsolidasi akibat adanya pertambahan beban pada permukaan
tanah. Selama proses konsolidasi ini tanah akan bergerak relatif terhadap tiang.
Sehingga, menghasilkan tahanan geser ke bawah di sekeliling tiang. Fenomena ini
dikenal dengan istilah negative skin friction. Gambaran kondisi dimana fenomena
ini akan terjadi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Timbulnya Negative Skin Friction

Besarnya negative skin friction ini dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:
Fnegative = π D (K σ’o tan φe) Le
dimana,
K = koefisien tekanan lateral tanah
φe = sudut geser dalam efektif

2
σ′o = tekanan efektif tanah
Le = tebal efektif lapisan tanah yang mengalami konsolidasi

Prakash dan Sharma (1990) mengusulkan tebal efektif lapisan tanah yang
mengalami konsolidasi tersebut dengan menggunakan persamaan:
Le = 0.75 Lc
dimana,
Lc = tebal total dari lapisan tanah yang mengalami konsolidasi

Nilai unit skin friction untuk tiang coated dan uncoated dpat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Unit Skin Friction untuk Tiang Coated dan Uncoated


(Prakash dan Sharma 1990)
Unit negative skin
Kondisi tanah dan tiang
friction
(a) uncoated pile
i. lapisan lanau dan lempung yang 0.15-0.30 σ′o
kompresibel, soft
ii. pasir, loose 0.30-0.80 σ′o
(b) coated pile, menggunakan bitumen atau bentonite 0.01-0.05 σ′o

Umumnya sudut geser dalam dari lanau lempungan berpasir adalah 10°. Untuk Ks/Ko
= 1.5 dan Ks/Ko = 0.7 unit skin friction diberikan dengan persamaan berikut:

fS = 0.15 σ′o

Fill material

Soft soil,
Consolidating soil

Bearing soil

Gambar 2 Distribusi dari Negative Skin Friction (Tomlinson, 2002)

2.1. Pendekatan Negative Skin Friction (NSF) Berdasarkan


Undrained Strength (Undrained Analysis)

3
Analisis NSF berdasarkan kondisi undrained strength adalah analisis NSF yang
berdasarkan kondisi insitu dimana excess pore water pressure dari timbunan belum
terdisipasi. Analisis ini digunakan untuk kondisi short term yang berkenaan dengan
besarnya gaya yang akan dipikul oleh tiang pada saat proses driving selesai.
Besarnya NSF pada kondisi undrained bisa dihitung dengan menggunakan formula
seperti berikut:
x = Lf + Lc + Lb
Pfriction = ∑
x = Lf + Lc
τΨ area selimut

= πφ pile diameter ( Σα Cu + Σ 0,5 Ksσ v tan δ Δz )


dimana,
α = faktor adhesi
Cu = undrained shear strength dari nilai N – SPT
Ks = Koeffisien lateral earth pressure
δ = interface sudut geser dalam antar tiang dan tanah
σv = effective overburden pressure

2.2. Pendekatan Negative Skin Friction (NSF) Berdasarkan


Effective Stress (Drained Analysis)
Drained analysis adalah cara perhitungan NSF untuk kondisi long term. Dalam
perhitungan drained transfer tegangan dari tanah ke tiang berlangsung lambat
sehingga excess pore pressure sempat terdisipasi.
Pada kondisi ini, secara perlahan beban dari timbunan akan dipikul oleh tanah
lunak sehingga akan menimbulkan peningkatan overburden pressure dan kekuatan
tanah.
Besarnya NSF untuk kondisi drained dapat dihitung dengan menggunakan formula
seperti di bawah,
z = Lf + Le

(Qf ) negatif = ∫τ × π × R × Δ z
z =0
z = Lf + Le

= ∫σ
z =0
0 × N0 ×π × R × Δ z

dimana,
σ′o = Effective vertical stress at depth z
f = pile diameter
Le = panjang effective dari lapisan yang terkonsolidasi yang
menimbulkan negative skin friction. Lc = 0.75 Le
(Prakash dan Sarma, 1990)
No = Non dimensional factor.
Besarnya nilai No ditujukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Non-dimensional factor untuk kondisi drained

4
Soil Type No
a. Uncoated Pile
- Sand 0.35 – 0.50
- Silt 0.25 – 0.35
- Clay 0.20 – 0.25
b. Coated Pile with Bitumen SL pile : τ = 0.2 ton/m2

2.3. Kapasitas Ijin Pada Tiang dengan NSF


Khusus untuk kasus tiang pancang dimana diprediksi akan mengalami negative skin
friction, perhitungan daya dukung ijin atau allowable bearing capacitynya adalah
sebagai berikut:
σ ultimate − NSF
σ ijin =
3
atau

σ ultimate
σ ijin = − NSF
2,5

Dari kedua persamaan untuk memperoleh kapasitas ijin tiang dipilih mana yang
hasilnya paling kecil itu yang digunakan sebagai kapasitas ijin tiang pancang.

2.4. Negatife Skin Friction dan Settlement


Perhitungan terdahulu menekankan bahwa pengaruh negative skin friction pada
tiang terletak pada berkurangnya daya dukung dengan adanya tambahan beban
seret (dragload) pada tiang. Namun menurut Fellenius (1984) persoalan negative
skin friction tidak semata-mata terletak pada dragload, tetapi terutama pada
timbulnya downdrag (terseretnya tiang ke bawah) yang mengakibatkan
bertambahnya settlement.
Merujuk pada Fellenius (1984), desain tiang dengan mempertimbangkan negative
skin friction, harus menentukan terlebih dahulu neutral plane. Neutral plane
adalah sebuah bidang pada tiang dimana terjadi perubahan dari negative skin
friction menjadi positive skin friction. Bidang ini adalah dimana tidak terdapat
perpindahan relatif antara tiang dan tanah, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Pada gambar ini distribusi beban layan yang bekerja pada tiang dinyatakan dengan
Qd dan dimasukkan ke dalam tanah yang reltif homogen, dimana tegangan geser
yang bekerja disepanjang tiang akibat perpindahan relatif merupakan fungsi
tegangan effective overburden. Diasumsikan bahwa excess pore pressure telah
terdissipasi dan pore pressure terdistribusi secara hidrostatis. Untuk
penyederhanaan, aggaplah tegangan geser sepanjang tiang diasumsikan tidak
bergantung pada arah perpindahan, yaitu negative skin friction, qn arahnya sama
dengan tahanan positif, rs. Diasumsikan juga bahwa tahanan ujung Rt ada. Gaya
seret, Qn adalah jumlah negative skin friction di seluruh tiang dan Rs adalah
jumlah dari seluruh tahanan gesek tiang. Dengan kondisi ini maka lokasi neutral
plane dapat ditentukan.

5
Gambar 3 Definisi dan diagram neutral plane (Fellenius, 1984)

Gambar 4 memberikan illustrasi bagaimana lokasi dari neutral plane untuk tiang
pada Gambar 3 berubah dengan berubahnya beban yang diberikan pada kepala
tiang, dan dengan demikian juga berubahnya dragload. Jika diasumsikan
settlement tanah di sekitar tiang seperti yang diperlihatkan pada bagian kanan dari
Gambar 4 untuk kasus beban layan medium, dengan menggambarkan garis
horizontal dari neutral plane hingga berpotongan dengan kurva settlement, maka
settlement pada neutral plane dapat ditentukan. Settlement kepala tiang adalah
settlement ini ditambah dengan kompressi tiang akibat beban. Illustrasi pada
gambar ini dibuat untuk baik pada settlement yang kecil yang berkurang drastis
dengan kedalaman maupun untuk settlement besar. Jika settlement kecil, maka
perpindahan ujung tiang tidak cukup besar untuk memobilisasi seluruh tahanan
ujung. Dalam hal ini, neutral plane akan bergerak ke lokasi yang lebih tinggi
sebagaimana yang ditentukan oleh kondisi kesetimbangan tertentu.

Gambar 4 Menentukan settlement tiang (Fellenius, 1984)

2.5. Lapisan Bitumen


Jika perhitungan menunjukkan pengaruh negative skin friction adalah signifikan,
maka beberapa upaya dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh ini. Sebagai
contoh, dengan menambah panjang tiang serta mengurangi diamater tiang. Namun
jika cara ini tidak praktis atau ekonomis, maka pengaruh negative skin friction
dapat dikurangi dengan melapisi tiang dengan bahan-bahan bitumen (bituminous
coating) sebelum tiang dipasang.

6
MODUL XI

Perencanaan Beban Gempa


Pada Substructure

Disusun oleh:
Pintor T. Simatupang
Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

BAB 1
PENDAHULUAN

Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki intensitas kejadian gempa yang
cukup tinggi (high seismicity area). Bahkan kejadian gempa yang memakan korban
jiwa hingga ratusan ribu orang baru saja terjadi di Banda Aceh pada tanggal 26
Desember yang lalu. Oleh karena itu perencanaan beban gempa pada struktur
bawah gedung adalah sangat penting dalam rangka mengurangi (mitigation) bahaya
gempa yang mungkin terjadi.

Pada umumnya gempa terjadi secara tiba-tiba dalam bentuk pelepasan energi akibat
adanya deformasi pada kulit bumi sebagai interaksi antar lempeng tektonik.
Lempeng-lempeng besar di dunia ditunjukkan pada Gambar 1-1, di bawah ini.
Bersamaan dengan terjadinya gempa, energi dirambatkan dari sumbernya dalam
bentuk gelombang seismik elastis. Lama terjadinya gempa (durasi), besarnya
(amplitude) dan frekuensi dari gelombang ini merupakan fungsi dari jenis dan
megnitude gempa, jaraknya dari epicenter dan jenis-jenis material geologis yang
dilewatinya. Struktur yang berada di daerah lintasan gelombang tersebut akan
mengalami guncangan yang dapat berakhir dengan kehancuran atau kerusakan
pada bangunan tersebut.

Gambar 1-1 Plat tektonik di dunia

Jakarta 20-21 Desember 2005 1


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Jenis Plate Boundary


Lempeng (plat) yang mengalami pergeseran dapat dibedakan dalam tiga macam
seperti ditunjukkan dalam Gambar 1-2.

Gambar 1-2(a) Jenis-jenis plate boundary

„ Divergent plate boundaries: dimana plat bergerak saling menjauh


„ Convergent Plate boundaries: dimana plat bergerak saling mendekati
„ Transform plate boundaries: dimana plat saling menggeser satu sama lain

Gambar 1-2(b) Jenis-jenis plate boundary

Jakarta 20-21 Desember 2005 2


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Bahaya Gempa (seismic hazard)


Akibat terjadinya gempa menyebabkan timbulnya bahaya-bahaya yang secara
umum dapat digolongkan menjadi sebagai berikut:

„ Ground Motion: mengguncang struktur hingga dapat menjadi rusak (Gambar


1-3)
„ Liquefaction: berubahnya tanah-tanah granular yang awalnya stabil menjadi
melumpur sehingga struktur-struktur yang berada di atasnya menjadi
mengalami penurunan atau menjadi rusak (Gambar 1-4 dan 1-5)
„ Landslides: dipicu oleh adanya guncangan (Gambar 1-6)
„ Kebakaran : hasil tidak langsung dari gempa yang menyebabkan terjadi
kebakaran karena rusaknya pipa-pipa gas dan lain-lain (Gambar 1-7)
„ Tsunami: gelombang laut yang besar yang terjadi akibat timbulnya
pergeseran dasar laut akibat terjadinya gempa yang bersumber di dasar laut
(Gambar 1-8).

Gambar 1-3 Rusaknya bangunan karena guncangan gempa

Jakarta 20-21 Desember 2005 3


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Gambar 1-4 Bangunan rubuh pada gempa Niigata 1964

Gambar 1-5 Rubuhnya jembatan Nishinomia akibat liquifaksi tanah


pada gempa Kobe 1995

Jakarta 20-21 Desember 2005 4


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Gambar 1-6 Longsoran badan jalan kereta api pada gempa Niigata 2004

Gambar 1-7 Kebakaran yang timbul pada saat gempa

Jakarta 20-21 Desember 2005 5


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Gambar 1-8 Illustrasi kejadian tsunami

Jakarta 20-21 Desember 2005 6


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

BAB 2
SEISMISITAS INDONESIA

2.1 Umum
Indonesia merupakan daerah dengan keatifan seismik yang besar karena dikelilingi
oleh empat lempeng tektonik terbesar di dunia, yaitu lempeng Eurasian, Australian,
Pacific dan Philipine. Dari kejadian-kejadian gempa yang telah dikumpulkan selama
ini menunjukkan bahwa dari tahun 1897 hingga tahun 2000 terdapat kejadian gempa
dengan magnitude gempa Ms > 5.0 sebanyak kira-kira 8237 kejadian dan 5 % diantaranya
terjadi di Pulau Jawa (Irsyam et al., 1999). Lokasi epicenter untuk kejadian gempa ini
ditunjukkan pada Gambar 2-1.

Gambar 2-1 Aktivitas seismik di Indonesia (Irsyam et. al., 1999)

Sumber zona kegempaan di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yaitu zona
subduction, zona strike slip dan zona diffuse seismik, seperti ditunjukkan pada Gambar 2-2.
Pada kenyataannya semua segmen merupakan zona aktif, namun hanya sedikit yang pernah
mengalami gempa besar (Mw > 8.5) selama dua abad terakhir ini.

Jakarta 20-21 Desember 2005 7


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

BACK ARC THRUST

Gambar 2-2 . Zona kegempaan di Indonesia


STRIKE

SUBDUCTION
SLIP

Jakarta 20-21 Desember 2005 8


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

2.2 Seismotektonik Pulau Jawa

2.2.1 Tectonic Setting


Sunda Arc merupakan salah satu sumber seismik yang sangat aktif di Indonesia, yang
mencapai kira-kira 5600 km antara Pulau Andaman di Barat Laut dan Banda Arc di Timur,
seperti ditunjukkan pada Gambar 2-3. Pulau-pulau yang terjadi di sekitar ini merupakan
hasil dari konvergensi dan subduksi plat Indo-Australian, plat Eurasian dan plat Pacific.
Arah konvergensi plat antara Asia Tenggara dan plat Indo-Australia diasumsikan sebagai
utara-selatan dan keseluruhan laju konvergensi diperkirakan sekitar 7,7 cm/tahun (DeMets
et.al, 1990).

Gambar 2-3 1: Strike-slip fault (BF= Batee fault); 2: Spreading Center; 3: Subduction
Trench; 4: Axis of Outer Ridge; 5: Axis of Fore-Arc Basin; 6: Direction of Relative
Motion; 7: Active Volcano (from Huchon and Pichon, 1984)

Jakarta 20-21 Desember 2005 9


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

2.2.2. Zona Subduksi Sunda Arc

a. Segmen Sumatra
Segmen Sumatera dari zona subduksi Sunda Arc ke utara mencapai Laut Andaman. Kerak
laut subduksi ini relatif muda sekitar 46 juta tahun, dibandingkan dengan 150 juta tahun
sunduksi sepanjang Segmen Jawa. Seismisitas yang berkaitan dengan zona ini meluas dari
seismik dekat trench ke kedalaman sekitar 250 km dan dibawah pada kedalaman 100 km,
dip lempeng bawah adalah kira-kira 30o dan 40o.

Sejumlah gempa-gempa besar (Ms > 7) dan sangat besar (Ms > 7.75) telah dilaporkan oleh
Newcomb dan McCann sepanjang plat Sumatera. Gambar 2-4 menunjukkan tingkat inferred
dari sejarah gempa antar lempeng sepanjang Segmen Sumatera. Gempa yang sangat
signifikan adalah gempa tahun 1833 dengan Mw = 8.8, dan ahun 1861 dengan Mw = 8.5.
Kelompok moderat (6<Mw<7) dan besar juga dilaporkan terjadi pada bagian ini.

Gambar 2-4 Rupture zones of historic earthquakes in Sumatra segment (from


Newcomb and McCann, 1987)

b. Selat Sunda

Selat Sunda berlokasi dalam zona transisi antara Segmen Sumatera dan Segmen Jawa dari
Sunda Arc dan ini merupakan salah satu daerah yang paling aktif di Indonesia dari segi
volkanis, seismisitas dan gerak vertikal (vertical motion), seperti diperlihatkan pada Gambar

Jakarta 20-21 Desember 2005 10


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

2-5. Perpanjangan Selat Sunda telah terbentuk secara struktural merupakan inti volkanis
Krakatau. Meletusnya gunung api Krakatau tahun 1883 tepat berada di tengah-tengah selat.

Gambar 2-5. Bathymetric map around Sunda Strait, and selected geologic-
geophysical features. K: Krakatau Volcano; 1: Strike-slip faults; 2: Normal faults
(inferred from bathymetry); 3: Subduction trench; 4: Crustal Earthquake Epicenters
(from Hayes and Taylor, 1978); 5: Hypothetical trench axis in absence of extension; 6:
Same for Axis of Outer Ridge; 7: Fore Arc Area (from Huchon and Pichon, 1984)

c. Segmen Jawa
Segmen Jawa dari Sunda Arc menjangkau dari Selat Sunda di Barat hingga ke sekitar
Selat Bali di Timur dan secara relatif merupakan kerak laut tua (150 juta tahun). Ini
konvergen dalam arah normal dengan busur dengan laju sekitar 6,0 cm/tahun di
trench Barat Jawa dan 4,9 cm/tahun di trench Timur Jawa. Zona seismic Benioff
sepanjang Segmen Jawa memiliki dip sekitar 50o dan menjangkau kedalaman sekitar
600 km dan gap dalam seismisitas terjadi di dalam segmen ini antara kedalaman 300
dan 500 km.

Tiga gempa besar dan sangat besar dilaporkan telah terjadi (Newcomb and McCann,
1987). Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2-6, tiga kejadian gempa ini terjadi

Jakarta 20-21 Desember 2005 11


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

pada tahun 1840, 1867 dan 1875. Beberapa gempa besar juga telah dicatat sejak tahun
1903. Pencacatan seismisitas di sepanjang Segmen Jawa menunjukkan bahwa dalam
periode sekitar 300 tahun, tidak terjadi gempa besar antar lempeng seperti yang
terjadi pada Segmen Sumatera tahun 1833 dan 1861.

Gambar 2-6 Rupture zones of historic earthquakes in Java segment


(Newcomb and McCann, 1987)

Sumber
Irsyam, M., “Development of earthquake microzonation and site specific response
spectra to obtain more accurate seismic base shear coefficient” Final Report, ITB,
2001.

Jakarta 20-21 Desember 2005 12


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

BAB 3
ANALISIS RESIKO GEMPA

3.1 Umum
Analisis resiko gempa (seismic hazard analysis) merupakan istilah yang berkaitan
dengan proses perencanaan parameter ground motion dalam analisis seismik.
Parameter ground motion ini biasanya menyangkut penentuan percepatan dan
respon spektra di batuan dasar dalam periode ulang tertentu. Secara umum untuk
mendapatkan parameter ini meliputi beberapa langkah berikut:

1. Identifikasi sumber-sumber gempa yang berkemampuan menimbulkan


gerakan batuan kuat (strong ground motion) pada lokasi proyek.
2. Mengevaluasi potensi seismik masing-masing sumber gempa tersebut.
3. Mengevaluasi intensitas rencana ground motion di lokasi proyek.

Identifikasi sumber-sumber gempa meliputi jenis fault dan lokasinya. Untuk itu
dibutuhkan data-data geologi, seismologi dan geofisika. Sumber-sumber gempa
yang diakomodasi adalah sumber-sumber gempa yang dianggap berpotensi
menghasilkan gerakan tanah yang cukup signifikan pada struktur yang ditinjau.
Sumber-sumber gempa Indonesia yang meliputi daerah 90o E sampai 125o E longitude
dan 10o S to 10o N latitude ditunjukkan pada Gambar 3-1. Magnitude terendah adalah M=5
dan kedalaman maksimum adalah 200 km. Data-data kegempaan ini berasal dari kejadian
gempa sejak 14 Desember 1901 hingga 30 Desember 2000.

Intensitas gerakan tanah pada suatu lokasi umumnya dapat ditinjau berdasarkan
evaluasi berikut:

1. Metode deterministik (Deterministic Seismic Hazard Analysis)


2. Metode probabilistik (Probabilistic Seismic Hazard Analysis)
3. Menggunakan peraturan dan standar bangunan yang ada.

Jakarta 20-21 Desember 2005 13


Foundation Problem 2005

Jakarta 20-21 Desember 2005


Gambar 3-1. Epicenter distribution of earthquake events from 1901 to 2001 for minimum magnitude
of 5.0 and maximum depth of 200 km
Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

14
Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

3.2 Resiko Gempa Batuan Dasar Berdasarkan Peta Gempa Indonesia

Sumber gempa di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga klasifikasi yang


berbeda seperti ditunjukkan pada Gambar 3-2 dengan pola yang berbeda dan
ditabulasi pada Tabel 3-1.

Jakarta 20-21 Desember 2005 15


Foundation Problem 2005

Jakarta 20-21 Desember 2005


Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

16
Gambar 3-2 Sumber kegempaan untuk mengembangkan peta gempa Indonesia (Firmansjah dan Irsyam, 1999)
Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Tabel 3-1 Classification of seismic zones used in the development of seismic hazard map of Indonesia
(Firmansjah, J. & Irsyam, M., 1999)

Classification Source Area Maximum Magnitude


Subduction Zones 1. Sumatera 8.5
2. Java 8.2
3. Banda 8.5
4. Seram 8.4
5. North Irian Jaya 8.4
6. Halmahera 8.5
7. Sangihe Talaud 8.5
8. North Sulawesi 8.0
9. Molluca Passage 8.5

Transform Zones 1. Sumatra Fault 7.6


2. Sukabumi 7.6
3. Baribis 6.0
4. Lasem 6.0
5. Majene – Bulukumba 6.5
6. Palu – Koro 7.6
7. Matano 7.6
8. Sorong 7.6
9. Ransiki – Lengguru 6.5
10. Yapen – Mamberano 7.6
11. Tarera - Aiduna 6.5

Diffuse Seismicity 1. Flores back-arc 7.0


2. East Kalimantan 6.0
3. South Arm Sulawesi 6.0
4. East Arm Sulawesi 6.0
5. Southeast Arm Sulawesi 6.0
6. Central Sulawesi 6.5
7. South Halmahera 7.0
8. Central Banda 8.0
9. Aru 6.0
10. Salawati – Bintuni Basin 6.0
11. Central Irian Jaya 8.5

Berdasarkan sumber-sumber gempa pada Gambar 3-2, maka dikembangkanlah peta


percepatan puncak pada batuan dasar untuk periode ulangan 500 tahun untuk wilayah
Indonesia, seperti diperlihatkan pada Gambar 3-3. Peta ini telah menjadi Peraturan Gempa
Indonesia (SNI-1726, 2003).

Jakarta 20-21 Desember 2005 17


Foundation Problem 2005

Jakarta 20-21 Desember 2005


Gambar 3-3. Maximum peak ground acceleration at bedrock SB for Indonesia for 500 year retun period
(SNI-1726, 2003)
Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

18
Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

3.3 Pengaruh Kondisi Tanah Dan Respon Spektra


Kondisi tanah setempat sangat berpengaruh pada saat gelombang gempa merambat ke
permukaan tanah. Gambar 3-4 menunjukkan bagaimana percepatan di permukaan tanah
menjadi lebih besar daripada percepatan di batuan terutama pada tingkat percepatan yang
kecil.

ils

ck
So
Peak Horizontal Acceleration at Ground Surface(g)

Ro
iff
St
0.6
S oils
based on Calculations ss
for Soft Soils io nle
0.5 es
Coh
ep
1989 Loma Prieta De
- Soft Soil
0.4
ils
t So
Sof

0.3

0.2

0.1
1985 Mexico - Soft Soils

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7


Peak Horizontal Acceleration in Bedrock(g)

Gambar 3-4 Hubungan antara percepatan batuan dan percepatan permukaan (After Idriss,
1990)

Pada Gambar 3-5 terlihat perbandingan antara nilai-nilai percepatan yang dicatat pada
batuan dan percepatan di puncak dam. Gambar ini menunjukkan besarnya pengaruh
amplifikasi pada struktur tanah.

Jakarta 20-21 Desember 2005 19


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Gambar 3-5 Perbandingan percepatan pada batuan dan puncak


struktur bendungan tanah (Harder, 1991)

Kondisi tanah lokal juga akan mempengaruhi kandungan frekuensi pada gerakan tanah
permukaan dan dengan demikian juga respon spektra yang dihasilkannya. Gambar 3-6
menunjukkan bagaimana pengaruh kondisi tanah setempat pada bentuk spektra. Ternyata
bahwa pada periode di atas 0,5 detik, amplifikasi spektral adalah jauh lebih besar pada tanah
daripada batuan. Pada periode yang lebih panjang amplifikasi spektral meningkat dengan
berkurangnya kekakuan tanah. Gambar ini dengan jelas menunjukkan bahwa kedalaman
dan lunaknya lapisan tanah akan menghasilkan gerakan tanah dengan periode yang panjang
(rendah frekuensi). Efek ini dapat menjadi sangat penting apabila struktur yang diletakkan
pada lapisan tanah itu memiliki periode alami yang panjang.

Jakarta 20-21 Desember 2005 20


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Gambar 3-6 Average normalized response spectra (5 % damping) for different local
site conditions (After Seed et al., 1976)

Disamping itu Borcherdt (1994) juga telah mempelajari pengaruh kondisi tanah lokal
berdasarkan data-data dari gempa Loma Prieta. Hasil penelitiannya memberikan
hubungan faktor amplifikasi terhadap kondisi tanah lokal ditunjukkan pada Tabel 3-
2. Klasifikasi tanah yang digunakan dalam tabel ini konsisiten dengan Uniform
Building Code (UBC) 1997. Tipe tanah SC-1a, SC-1b, SC-II, SC-III dan SC-IV adalah
sesuai dengan tipe tanah SA, SB, SC, SD dan SE (Tabel 3-3).

Tabel 3-2 Short period amplification factors with respect to ground conditions SC-1a Firm to
Hard Rocks (After Borcherdt, 1994)
Site Classes –shear wave velocity (m/s)
Ground SC-1a SC-1b SC-II SC-III SC-IV
Motion (g) 1620 1050 540 290 150
0.1 0.9 1.0 1.3 1.6 2.0
0.2 0.9 1.0 1.2 1.4 1.6
0.3 1.0 1.0 1.1 1.1 1.2
0.4 1.0 1.0 1.0 0.9 0.9
Average 1.0 1.0 1.2 1.3 1.4

Jakarta 20-21 Desember 2005 21


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Tabel 3-3 Soil classification from UBC - 1997


Site
Description v s (m/s) N − SPT Su (kPa)
Class
SA Hard Rock >1500 - -
SB Rock 760 < v s ≤ 1500 - -
SC Hard Soil and Soft rock 360 < v s ≤ 760 >50 >200

SD Medium Soil 180 < v s ≤ 360 15 < N ≤ 50 100 < S u ≤ 200


SE Soft Soil ≤ 180 <15 <100

Faktor amplifikasi Ca dan Cv berdasarkan UBC’97, berturut-turut ditunjukkan pada


Tabel 3-4 dan 3-5.

Tabel 3-4 Faktor Amplifikasi Percepatan Untuk Ca (UBC’97)

Klas Site Z=0.075 Z=0.15 Z=0.20 Z=0.30


A 0.8 0.8 0.8 0.8
B 1.0 1.0 1.0 1.0
C 1.1 1.2 1.2 1.0
D 1.5 1.5 1.4 1.2
E 2.4 2 1.7 1.2

Tabel 3-5 Faktor Amplifikasi Percepatan Untuk Cv (UBC’97)

Klas Site Z=0.075 Z=0.15 Z=0.20 Z=0.30


A 0.8 0.8 0.8 0.8
B 1.0 1.0 1.0 1.0
C 1.6 1.7 1.6 1.5
D 2.3 2.1 2.0 1.8
E 3.3 3.3 3.2 2.8

Sebagai contoh ambillah besarnya percepatan di batuan dasar sebesar 0.20 yang
diperoleh dari Peta Gempa Indonesia dengan kondisi tanah lokal merupakan klas D.
Maka dari Tabel 3-4 dan Tabel 3-5 diperoleh:

Jakarta 20-21 Desember 2005 22


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Untuk Site Class D:

C a = 0.2 * 1.4 = 0.28


C v = 0.2 * 2.0 = 0.40
Cv 0.40
Ts = = = 0.571
2.5C a 2.5 * 0.28
To = 0.2Ts = 0.2 * 0.571 = 0.114

Dari data-data tersebut dapat dibuat respon spektra rencana di permukaan tanah
sebagai berikut:

0.8

0.7 0.7
Spektra Percepatan (g)

0.6

0.5

0.4

0.3
0.28

0.2

0.1

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Perioda T (detik)

Gambar 3-7 Grafik Respon Spektra Jawa Barat

Jakarta 20-21 Desember 2005 23


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

BAB 4
LIQUEFACTION

4.1 Umum
Masalah liquefaction mulai dibicarakan secara serius setelah terjadinya gempa
Niigata tahun 1964. Pada kejadian gempa ini mulai dikenali akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh liquefaction, seperti banyaknya gedung-gedung yang mengalami
keruntuhan. Liquefaction pada tanah atau secara signifikan adalah hilangnya
kekuatan dan kekakuan tanah akibat meningkatnya tegangan air pori selama
berlangsungnya guncangan gempa.

Akhir-akhir ini telah dipercaya bahwa banyaknya keruntuhan pondasi pada gedung-
gedung dipicu oleh terjadinya liquefaction. Meskipun pondasi dari gedung-gedung
tersebut adalah pondasi tiang yang cukup dalam dan terletak pada tanah keras.
Apabila di atas lapisan dukung pondasi terdapat cukup tebal lapisan pasir yang
mengalami liquefaction selama terjadinya gempa, maka pondasi tiang tersebut akan
mengalami gangguan atau mengalami patah di tengah atau tergulingnya gedung
karena kepala tiang umumnya dihubungkan secara daktail, seperti ditunjukkan pada
Gambar 4-1.

Fig. 4-1 Kegagalan pondasi tiang akibat liquefaction

Jakarta 20-21 Desember 2005 24


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Kegagalan pondasi tiang pada kejadian liquefaction merupakan akibat timbulnya


gaya lateral tambahan yang harus dipikul oleh tiang. Kebanyakan kejadian
menunjukkan bahwa lokasi kerusakan terjadi pada kepala tiang dan batas antara
tanah yang mengalami liquefaction dan lapisan yang tidak mengalami liquefaction.

Perpindahan permanen horizontal permukaan tanah di dekat ujung bebas tiang


merupakan parameter penting dalam menentukan besarnya momen lentur yang
merusak tiang. Disamping itu parameter lain yang penting adalah sebagai berikut:
kekuatan dan kekakuan tiang, kekuatan dan kekuatan hubungan kepala tiang,
kekuatan dan kekakuan lapisan yang tidak mengalami liquefaction, ketebalan
lapisan yang mengalami liquefaction

Terdapat beberapa pendekatan untuk mengevaluasi liquefaction, sebagai berikut


(Kramer, 1996):

a. Cyclic stress approach


b. Cyclic strain approach
c. Energy dissipation approach
d. Effective stress-based response analysis approach, and
e. Probabilistic approach

4.2 CYCLIC STRESS APPROACH


Cyclic stress approach berkenaan dengan menentukan tegangan geser siklis yang
ditimbulkan oleh gempa agar terjadi liquefaction. Pendekatan ini didasarkan pada
magnitude gempa dan jumlah tegangan geser siklis akibat guncangan gempa.

Pendekatan tegangan siklis secara konseptual adalah sederhana: beban gempa


dinyatakan dalam tegangan geser siklis, kemudian dibandingkan dengan tahanan
liquefaction tanah yang juga dinyatakan tegangan geser siklis. Pada suatu lokasi
dimana beban melampaui tahanan, maka di situ akan terjadi liquefaction. Namun
perlu kehati-hatian dalam menentukan kondisi beban dan tahanan liquefaction.

Jakarta 20-21 Desember 2005 25


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

4.2.1 Earthquake Loading

The level of excess pore pressure required to initiate liquefaction is related to the
amplitude and duration of earthquake. The cyclic stress approach based on the
assumption that excess pore pressure generation fundamentally related to the cyclic
shear stresses, hence seismic loading is expressed in terms of cyclic shear stresses.
The loading can be predicted in two ways: a) a detailed ground response analysis
and b) simplified approach from Seed et al. (1975).

Simplified procedure of Seed et al. (1975) applied a weighting procedure to a set of


shear stress time histories from recorded strong ground motions to determine the
number of uniform stress (Neq), that would produce an increase in pore pressure
equivalent to that of the irregular time history. Neq is taken at an amplitude of 65 %
of the peak cyclic shear stress (τcyc = 0.65 τmax). The equivalent numbers of uniform
stress cycles for several earthquakes with magnitudes of 5.3-7.7 is shown in Fig. 4-1.
These are for the strongest component of the ground motion recorded.

Fig.4-1 Number of equivalent uniform stress cycles, Neq for earthquakes


of different magnitude (Seed, et al., 1975)

Jakarta 20-21 Desember 2005 26


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

4.2.2 Liquefaction Resistance

Liquefaction resistance can be obtained from laboratory test of an undisturbed


sample or based on the observation of past liquefaction event during earthquake.
According to Kramer (1996), the results from observation of past liquefaction are
more better compared to laboratory testing results, since the laboratory testing
produces that the variation of loading gives a scattering result.

Evaluation of the resistance to triggering or initiation of potential liquefaction failure


can be accomplished using the relationship between a corrected SPT penetration
resistance (N1)60 and the equivalent uniform cyclic stress ratio required to trigger
liquefaction during an earthquake with a duration representative of a typical
earthquake with a magnitude of M = 7.5, as suggested by Seed et al. (1984). In this
relationship, cyclic stress ration (CSR) is defined as

τ hv ,c
CSR = (1)
σ o′

where,
τ hc ,v = cyclic shear stress acting on a horizontal plane
σ o′ = initial (pre-earthquake) effective vertical stress

The standardized penetration resistance to be (N1)60 based on the standardized


equipment and procedure as presented in Table 4-1 (Seed et al., 1984). The (N1)60
standardized system and procedures, combined with a typical rope and cathead
system (with two turns of the rope about the cathead) typically deliver
approximately 60 % of the theoretical free fall hammer energy to the drill stem. For
other systems, the measured penetration resistances (N-values, blows/ft) should be
corrected.

Jakarta 20-21 Desember 2005 27


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Fig. 4-2 Relationship between Cyclic Stress Ratio (CSR) causing liquefaction
and (N1)60-values for M = 7.5 (Seed et al., 1975)

Table 4-1 Recommended standardized SPT equipment and procedures


(Seed et al., 1984)

Jakarta 20-21 Desember 2005 28


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

If N-values obtained using hammer-types and/or hammer release mechanism other


than those listed in Table 4-1, it must be corrected to the standardized blowcounts
(N60-values) as,

ER
N 60 = N × (2)
60%

Table 4-2 Summary of energy ratio (ER) for some common SPT procedures
(Seed et al., 1984)

An appropriate corrections necessary to develop the standardized, the penetration


resistance (N)60 must then be further corrected to account for effective overburden
pressure, by using a correction factor CN as shown in Fig. 4-3 as example. Thus

( N1 )60 = N 60 × CN (3)

The final penetration resistances are plotted in Fig. 4-2 to develop relationship with
cyclic stress ratio causing liquefaction (CSRl) for fines contents of ≤ 5%, 15%, and ≥
35%. However, it is should be noted that this relationship is only for earthquake

Jakarta 20-21 Desember 2005 29


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

magnitude of M=7.5. For earthquake magnitude other than M=7.5, the value CSRl
determined from Fig. 4-2 can be corrected to develop an estimate of the CSRl
necessary to cause liquefaction as

CSRl ( M + M ) = CSRl ( M =7,5) × CM (4)

Fig. 4-3 Correction factor CN to account for overburden stress


(Seed & Idriss, 1982)

The correction factor, CM is a function of earthquake magnitude as shown in Fig. 4-4.

CM =

Fig. 4-4 Representative relationship between CSR and number of cycles


required to cause liquefaction (Seed & Harder, 1990)

Jakarta 20-21 Desember 2005 30


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

4.2.3 Pore Pressure Generation

To evaluate the potential pore pressure increase due to a given intensity of


earthquake shaking in sandy soils, a simple approximate was presented by DeAlba,
et al. (1976) shown in Fig.4-5. From this figure, the relationship between induced
pore pressure ratio (ru) and cycle ratio of the number of equivalent cycles induced by
the earthquake (Ne) and the number of such cycles required to cause liquefaction
(Nl), will lie between the boundaries shown in Fig. 4-5.

Fig. 4-5 Rate of pore water pressure build up in cyclic simple shear test
(DeAlba et al., 1976)

The value of Ne can be determined from Fig. 4-1, and the value of Nl can be obtained
from Fig. 4-4 by following procedures: (Seed et al., 1983)

1. Determined the average cyclic stress ratio induced by the earthquake and the
factor of safety against liquefaction.
2. Determine the number of effective stress cycles (at 0.65 τmax) induced by the
earthquake, Ne.
3. Plot the induced effects (induced stress ratio expressed as the ordinate of the
curve shown in Fig. 4-4 divided by the factor of safety) vs. the number of
cycles as a point on Fig. 4-4.
4. For the ordinate of the point determined in step 3, read from the curve the
number of cycles required to cause liquefaction, Nl.

Jakarta 20-21 Desember 2005 31


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

4.3. MITIGATION OF LIQUEFACTION WITH GRAVEL DRAIN

4.3.1 Design of Gravel Drain

Mitigation of liquefaction by using gravel or rock drain is intended to control of


undesirable pore water pressure. Fig. 4-6 is a schematic diagram of gravel or rock
drains (Das, 1993). The purpose of the installation of gravel drains is to dissipate the
excess pore water pressure almost as fast as it is generated in the sand deposit due to
cyclic loading. The design principles of gravel drains have been developed by Seed
and Booker (1977). Assuming that Darcy’s law is valid, the continuity of flow
equation in the sand layer for the condition of purely radial flow can be written as

(5)

Eq. (5) has been solved by Seed & Booker (1977). It has been shown that the pore
water pressure ratio, ru is a function of the following parameters,

Rd radius of rock or gravel drains


=
Re effective radius of the rock or gravel drains

It is also a function of ratio Ne / Nl, as discussed previously. And the following


relation to be,

kh ⎛ td ⎞
Tad = ⎜ ⎟ (6)
γ w ⎝ mv 3 Rd2 ⎠

where kh is permeability, mv3 is coefficient of volume compressibility, and td is


earthquake duration. By using these parameters, the solution of Eq. (5) is given in a
nondimensional form as shown in Fig. 4-7. In this figure, pore water pressure ratio in
term of ug is defined as,

greatest limiting value of u g chosen for design


rg =
σ o′

Jakarta 20-21 Desember 2005 32


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Fig. 4-6 Gravel drain: (a) lay out (b) cross section S-S (Das, 1993)

Pore water pressure ratio ug reflects an effort of gravel drains to make the pore water
pressure ratio maximum induced during earthquake. It is noted that the ratio ug
should be less than one after installation of gravel drain.

Based on the Fig. 4-7 then the relationship between rg and ratio of Rd/Re can be used
to design gravel drain properly.

Jakarta 20-21 Desember 2005 33


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Fig. 4-7(a) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 1 (Seed & Booker, 1977)

4.3.2 Influence of Gravel Drain Installation

The installation of gravel drain is intended for dissipation pore water pressure from
sand layer to gravel column. However, the most important effect of gravel drain
installation is reduction of cyclic shear stress during earthquake. In case of the
installation of gravel drain and driven piles, the reduction factor for cyclic shear
stress is defined by the ratio of shear stress in the loose sand layer (Wismann et al,
1999) as

1
η= (7)
(1 − R a + R aR s )

where,
Ra = ratio of drain column and piles to the total cross section area
Rs = the stiffness ratio between gravel and sand

Jakarta 20-21 Desember 2005 34


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Fig. 4-7(b) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 2 (Seed & Booker, 1977)

Fig. 4-7(c) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 3 (Seed & Booker, 1977)

Jakarta 20-21 Desember 2005 35


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Fig. 4-7(d) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 4 (Seed & Booker, 1977)

The cyclic stress ratio developed in the earthquake shaking after installation of gravel
drains and piles to be,

(CSR )eq −after = η × (CSR )eq (8)

4.3.3 Pore Water Pressure Dissipation

Pore water pressure dissipation after installation of drain can be assumed by that of
one dimensional consolidation analysis proposed by Terzaghi. However, Terzaghi”s
consolidation analysis is actually used for vertical drainage. Therefore, the
application of gravel drain in the radial drainage needs to be changed .

Analogously to vertical flow equation, the consolidation time for radial flow is
defined as

Jakarta 20-21 Desember 2005 36


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Th d e
t= (9)
ch

where,
t = time for consolidation
de = the equivalent influence spacing between drain column
Th = the time factor for horizontal drainage
ch = the horizontal coefficient of consolidation for horizontal drainage as mobilized
by vertical compression.

The values of de and Th can be seen in Fig. 4-8. The factor ch is a function of
permeability and compressibility coefficients which can be taken as

k
ch = (10)
γ w mv

Fig. 4-8 Theoretical results for radial drainage (Koerner, R.M., 1984)

Jakarta 20-21 Desember 2005 37


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

4.4. CASE STUDY ON CILACAP POWER PLANT


In order to design of gravel drain, a complete calculation was conducted on the
based to the condition of main building by using data from boring B.04. Soil
condition and N-SPT values as shown in Fig. 4-9. It is noted that evaluation of
liquefaction only for sandy soil.

4.4.1 Evaluation of Liquefaction

Cyclic shear stress ratio induced by earthquake is defined by (CSR)eq for earthquake
magnitude M = 6.9 with duration of shaking about 20 seconds as shown in Table 4-3
(Seed et al., 1976). Number of cycles equivalent for this earthquake is 12 cycles based
on 0.65 of maximum shear stress. Table 4-4 shows a brief calculation to evaluate the
liquefaction potential in the main building area.

Table 4-3. Earthquake magnitude and corresponding duration


(Seed et al., 1976)

Jakarta 20-21 Desember 2005 38


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

B.03 (+1.156) B.04 (+1.103)

Fig. 4-9 Profile of boring B.04

Jakarta 20-21 Desember 2005 39


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Table 4-4 Calculation to evaluate the liquefaction potential

Depth (m) N (N1)60 (CSR)eq (CSR)l Fl Nl

3.5 10 16.5 0.371 0.297 0.80 6

5.5 12 15.8 0.367 0.276 0.75 5

7.5 9 10.2 0.351 0.201 0.57 3

9.5 12 12.0 0.347 0.233 0.67 4

12.0 8 7.1 0.336 0.148 0.44 2

From the above table, it can be seen that the sandy layer liquefies fully. Fl is factor of
safety against liquefaction. Fig. 4-9 shows also the liquefiable layer.

Since the sandy layer liquefies completely, to avoid this hazard then an installation of
gravel drain is necessary.

4.4.2 Reduction of Cyclic Shear Stress

After installation of gravel drains and driven piles, it is supposed that reduction of
cyclic shear stress is exist. Number of piles are designed approximately 1200 piles
with 0.6 m diameter. Gravel drains column are approximately 1100 columns with 0.6
m diameter. The area of main building approximately 8000 m2. The ratio of drain
columns and piles to total cross area of main building, Ra = 0.081. The stiffness ratio
between gravel and sand, Rs is suggested by Wismann et al. (1999) in the range of 8-
35. Since the absence of data about gravel will be used, it is realistic to apply a value
for Rs to be 8 as a minimum value. The calculation of cyclic stress ratio after
installation of gravel column and piles is given in Table 4-5.

Jakarta 20-21 Desember 2005 40


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Table 4-5 Evaluation the effect of installation gravel drains and piles

Depth (m) (CSR)eq (CSR)eq-after (CSR)l


(3)/(4) Nl Ne/Nl
(1) (2) (3) (4)

3.5 0.371 0.215 0.297 0.77 100 0.12

5.5 0.367 0.213 0.276 0.82 50 0.24

7.5 0.351 0.205 0.201 1.08 14 0.86

9.5 0.347 0.202 0.233 0.92 25 0.48

12.0 0.336 0.196 0.148 1.39 8 1.5

Number of cycles required to cause liquefaction (Nl) in the above table can be
obtained from Fig. 4-10. Cyclic stress ratio, (CSR)eq is cyclic stress ratio induced by
earthquake with magnitude M=7.5, where number of equivalent cycles is 15.

Fig. 4-10 Relationship between shear stress level and the number of cycles
required to cause liquefaction (Tokimatsu and Seed, 1987)

From the above table, it is noted that the ratio of number of cycles equivalent
induced by earthquake (12) and number of cycles equivalent against liquefaction,
Ne/Nl varies from 0.12 to 1.5. However, the lower sand layer about 2.5 m does not

Jakarta 20-21 Desember 2005 41


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

have any significant effect to liquefaction. Therefore, it is reliable if the ratio of Ne/Nl
is taken as 1.

4.4.3 Design of Gravel Drain


Parameters that used are given in the following:

The permeability is predicted from grain size analysis where D20 = 0.14 mm. Based
on typical permeability value given by Handbook on Liquefaction remediation of
Reclaimed Land (Port and Harbour Research Institute, Japan), permeability kh = 3.8
x 10-5 m/s.

Coefficient of volume compressibility, mv3 = 2.0 x 10-5 m2/kN. This value is taken
from Handbook on Liquefaction remediation of Reclaimed Land (Port and Harbour
Research Institute, Japan).

Duration of earthquake about, td = 40 s. The radius of gravel column is given, Rd = 0.3


m and the spacing of gravel drain, Re = 2.5 m for column length varies about 5 to 10
m.

Then, it is obtained Tad = 84

From previous calculation the ratio Ne/Nl = 1 and the ratio Rd/Re = 0.12. From curve
in Fig. 7(a) for Ne/Nl = 1 and Rd/Re = 0.12, the expected of pore water pressure
maximum is approximately less than ru = 0.45. It means that the generated pore
water pressure during earthquake is limited until 45 % of effective stress only.

Time consumption to dissipate pore water pressure from sand layer during
earthquake shaking can be obtained from Eq. (9) for 90 percent consolidation. By
using permeability value and coefficient of volume compressibility for sand layer,
the horizontal coefficient consolidation to be

ch = 0.19

Jakarta 20-21 Desember 2005 42


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

With de = 1.053 x 2.5 m = 2.6 m and dw = 0.3 m, it is obtained n = 9. From Fig. 4-8 for
Uz = 90% obtained Th = 0.4.

And finally,

t90 = 14.6 s

It can be concluded that the pore water pressure should be dissipated to drain
column completely during earthquake shaking. Thus, by application the gravel drain
the liquefaction can be prevented.

Jakarta 20-21 Desember 2005 43


Foundation Problem 2005 Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

Daftar Pustaka

1. Borcherdt, R.D., Estimates of site dependent response spectra for design (methodology
and justification), Earthquake Spectra, Vol. 10, No.4, 1994.
2. Das, B.M., (1993), Principles of Soil Dynamics, Elsevier.
3. DeAlba, P., Seed, H.B., Chan, C.K., (1976), Sand liquefaction in large-scale simple
shear tests, JGED, ASCE, 102, GT9.
4. Firmansjah, J. dan Irsyam, M., Development of seismic hazard map for Indonesia,
Konferensi Nasional Rekayasa Kegempaan di Indonesia, ITB, 1999.
5. Handbook on liquefaction remediation of reclaimed land, (1996), Port and Harbour
Research Institute.
6. Irsyam, M., Development of earthquake microzonation and site specific response
spectra to obtain more accurate seismic base shear coefficient, Final Report, ITB, 2001.
7. Koerner, M.K., (1985), Construction and Geotechnical Methods in Foundation
Engineering, McGraw-Hill.
8. Kramer, S.L., (1996), Geotechnical Earthquake Engineering, Prentice Hall.
9. Seed, H.B., Idriss, I.M., Makdisi, F., and Banerje, N., (1975), Representation of
irregular stress time histories by equivalent uniform stress series in liquefaction
analyses, EERC 75-29, University of California, Berkeley.
10. Seed, H.B., Martin, P.P., and Lysmer, J., (1976), Pore-water pressure changes during
soil liquefaction, JGED, ASCE, 102, GT4.
11. Seed, H.B., Tokimatsu, K., Harder, L.F., and Chung, R., (1985), Influence of SPT
procedures in soil liquefaction resistance evaluation, JGED, ASCE, 111, No.12.
12. Seed, H.B. and Booker, J., (1977), Stabilization of potentially liquefiable sand deposits
using gravel drains, JGED, ASCE, 103, GT7.
13. Seed, H.B. and Idriss, I.M., (1982), Ground motions and soil liquefaction during
earthquakes, EERI, Berkeley, California.
14. Seed, R.B. and Harder, L.F., (1990), SPT-based analysis of cyclic pore pressure
generation and undrained residual strength, in J.M. Duncan ed., Proceedings, H.
Bolton Seed Memorial Symposium, University of California, Berkeley, Vol.2.
15. Standar Nasional Indonesia , SNI-1726, 2003.
16. Tokimatsu, K. and Seed, H.B., (1987), Evaluation of settlements in sands due to
earthquake shaking, JGED, ASCE, 113, No.8.
17. Wissman, Lawton, and Farrel, (1999), Geopier Design.

Jakarta 20-21 Desember 2005 44

Anda mungkin juga menyukai