Anda di halaman 1dari 13

TUGAS REFLEKSI KASUS

BLOK ELEKTIF STUDENT EXCHANGE

Policlinico G. Martino, Messina, Italy


General Surgery Department

NAMA : Audy Marsha M


NIM : 20130310180
PEMBIMBING : dr Nico R, SpB

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
Refleksi Kasus

1. Rangkuman pengalaman
Pada bulan Agustus 2016 saya mengikuti program Professional Clinical Exchange
yang diadakan oleh SCOPE IFMSA . Program Professional Clinical Exchange ini
merupakan pengalaman yang sangat berharga dan tak terlupakan bagi saya. Saya dapat
bertemu dengan incoming lain dari berbagai negara dan tentunya saya mendapatkan banyak
pengalaman baru yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya. Selain itu saya juga
mendapatkan kesempatan untuk mempelajari sistem kesehatan di Italy khususnya di
Messina. Messina merupakan kota yang berada di timur laut sicily. Salah satu universitas di
kota ini adalah University of Messina yang berdiri pada tahun 1548. Selama clerkship ini
saya ditempatkan di Policlinico G. Martino departemen General Surgery. Prof. Giuseppe
Navarra adalah dokter supervisor saya, tetapi selain beliau ada juga Prof. Lazzara dan Prof.
Andrea yang membimbing saya sewaktu Prof. Giuseppe Navarra cuti.
Di Messina kegiatan clerkship ini dilaksanakan selama 16 hari dengan jadwal kerja
dari hari senin sampai jumat. Sebagai student exchange setiap harinya diwajibkan mengikuti
program ini selama 5 jam, akan tetapi di departemen saya tidak selalu full 5 jam dikarenakan
sedang tidak efektifnya kerja di rumah sakit saat musim panas karena banyak dokter dan
staff lain yang mengambil cuti untuk liburan sehingga rumah sakit hanya melakukan
tindakan untuk kasus darurat saja. Selain kerja di rumah sakit, ada juga social program yang
diadakan setiap weekend. Social program yang diadakan antara lain pergi ke Isola Bella -
Taormina (07/08/16), Etna dan Gole dell'Alcantara (13/08/16), Ferragosto (August 15th
Night) Mega Pool Party with Catania's and Palermo's Incomings, Mini Cruise to Aeolian
Island (together with Catania's and Palermo's Incomings) (20/08/16) dan yang terakhir ke
Scilla (27/08/16).
Hari pertama clerkship dimulai pada hari Selasa, 2 Agustus 2016. Sebelum menuju
departemen masing-masing, semua incomings dikelompokkan berdasarkan departemennya
kemudian tiap departemen dipandu satu orang dari panitia exchange untuk bertemu dengan
dokter supervisor. Setelah bertemu dengan dokter supervisor, saya langsung diperbolehkan
untuk mengikuti jalannya operasi yang kebetulan pada saat itu sedang dilakukan exploratory
laparotomy dan karena saya di departemen surgery, saya diwajibkan untuk mengenakan
scrub dan slippers. Setiap pagi setelah saya memakai scrub dan slippers, saya ke ruangan
dekat ruang operasi untuk bertemu dokter ataupun resident untuk dijelaskan sekilas
mengenai operasi yang akan dilakukan. Setelah itu sebelum memasuki ruang operasi saya
mencuci tangan dan mengenakan APD. Setelah operasi selesai biasanya diadakan sebuah
diskusi kecil mengenai operasi yang baru saja dilakukan, penyakit pasien, treatment
selanjutnya dan saya sempat diajarkan tehnik menjahit dan juga membuat simpul. Selain
mengikuti jalannya operasi, saya juga diperbolehkan melakukan visitasi ke ruang rawat inap.
Walaupun saya belum berkesempatan melakukan anamnesis karena keterbatasan bahasa
tetapi saya diperbolehkan melakukan pemeriksaan fisik.
Tidak terlalu banyak perbedaan mencolok yang saya temui antara Messina dan
Indonesia. Lama pendidikan kedokteran S1 di Messina sama dengan di Indonesia yaitu
enam tahun. Selain itu, lama pendidikan dokter spesialisnya pun juga sama sekitar 4-5 tahun.
Akan tetapi perbedaan mencolok yang saya temui disini adalah setiap pasien di Messina
mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama, tidak seperti di Indonesia yang ada perbedaan
kelasnya. Ini dikarenakan adanya asuransi kesehatan yang diambil dari gaji pokok setiap
bulannya sehingga biaya selama perawatan di rumah sakit dapat tercover semua.

2. Perasaan terhadap pengalaman


Nilai Positif
 Dapat mengenal dan mengetahui budaya dari negara lain.
 Dapat melakukan pemeriksaan fisik kepada pasien.
 Menambah relasi
 Mendapat pengetahuan baru pada saat bimbingan dengan dokter supervisor ataupun
resident.
 Mendapat banyak pengalaman baru salah satunya dengan menjadi observer pada
departemen General Surgery

Nilai Negatif
 Adanya keterbatasan bahasa sehingga informasi yang dijelaskan kurang maksimal.
 Tidak adanya kesempatan bagi incoming untuk mengambil peran dalam operasi.
 Dokter supervisor yang terlalu sibuk sehingga komunikasi dengan incoming kurang.
 Kurang tepatnya exchange pada musim panas karena sebagian besar dokter dan staff
mengambil liburan sehingga ilmu dan kasus yang didapat kurang maksimal.

3. Evaluasi
Evaluasi diri
 Saya harus belajar lebih giat lagi sebagai bekal saya kedepannya dan pengalaman saya
selama clerkship di Messina dapat menjadi bekal yang bermanfaat nantinya.
 Adanya kendala bahasa membuat saya kesulitan untuk berkomunikasi dengan pasien
dan kurangnya kemampuan kebanyakan dokter dan perawat dalam berbahasa Inggris
berdampak pada kurang maksimalnya informasi yang saya dapatkan selama menjalani
clerkship ini.

Panitia student exchange


Saya agak kecewa dengan panitia SCOPE SISM disana. Mereka cukup bertanggung jawab
sewaktu penjemputan kedatangan incoming di Messina dan pendampingan pada saat hari
pertama di rumah sakit. Akan tetapi mereka kurang bertanggung jawab dalam hal
pengantaran incoming sewaktu akan pulang ke negara asal karena tidak ada sama sekali
panitia yang mengantar atau mengkoordinir incoming untuk pergi ke
stasiun/pelabuhan/terminal bis. Selain itu, koordinasi antar panitia saya rasa masih kurang,
karena sering sekali adanya salah paham antar panitia.

Tempat kegiatan clerkship


Selama clerkship saya ditempatkan di Policlinico G. Martino. Disana fasilitas dan peralatan
yang digunakan sudah lengkap dengan kualitas yang bagus. Dokter dan resident disana juga
sangat berkompeten dibidangnya.

4. Analisis pembahasan
Crohn’s Disease

Crohn’s disease merupakan kasus yang menarik yang saya temui selama saya
menjalani clerkship di Messina. Crohn’s disease merupakan gangguan inflamasi kronis pada
saluran pencernaan, idiopatik dan mencakup semua segmen dari tractus gastrointestinal dari
mulut sampai anus. Crohn’s disease (CD) dan ulserative colitis (UC) secara kolektif disebut
inflammatory bowel disease (IBD). Di Eropa insidens Crohn’s disease sekitar 5,8 kasus per
100.000 penduduk. Sedangkan di Indonesia sendiri belum ada studi epidemiologi mengenai
IBD, data masih didasarkan laporan rumah sakit saja (hospital based).

Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya dimengerti. Faktor genetic dan lingkungan


dalam saluran cerna seperti perubahan bakteri usus dan peningkatan permeabilitas epitel
saluran cerna diduga berperan dalam gangguan imunitas saluran cerna yang berujung pada
kerusakan saluran cerna. Secara umum, diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali
adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan dan
dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade proses
inflamasi pada dinding usus.

Pada Crohn’s disease, peradangan dapat melibatkan seluruh mukosa saluran cerna
dimulai dari mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas yakni adanya
peradangan, striktur, dan fistula. Berbeda dengan ulcerative colitis, lesi pada Crohn’s disease
tidak hanya melibatkan mukosa dan submukosa namun juga dapat transmural. Hal ini
menjadi penanda patologis yang khas untuk Crohn’s disease. Selain itu, lesi pada Crohn’s
disease bersifat diskontinu sehingga akan ditemukan skip area.
Penatalaksanaan IBD dilakukan melalui tiga macam pendekatan, yakni rencana
diagnostik, rencana terapeutik, dan rencana edukasional Secara umum, prinsip terapi IBD
adalah untuk mengobati peradangan aktif IBD dengan cepat hingga tercapai remisi,
mencegah peradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin dan
mengobati serta mencegah komplikasi. Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap terakhir
jika medikamentosa gagal atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi misalnya perforasi
usus, perdarahan persisten, stenosis usus fibrotik, obstruksi, degenerasi maligna ataupun
megakolon toksik yang sering terjadi pada ulcerative colitis. Berikut alogaritma
penatalaksanaan pada Crohn’s disease:
Terapi Medikamentosa

Obat lini pertama berupa 5-acetil salicylic acid (5-ASA) dan kortikosteroid yaitu
sistemik atau topikal. Bila gagal, maka diberikan obat lini kedua yang bersifat imunosupresif
seperti 6-merkaptopurin, azatioprin, siklosporin, metotreksat dan anti-TNF (infliximab).

 Pengobatan umum
Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1.500-3.000 mg per hari
dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktifitas penyakit terutama pada
Crohn’s disease.
 Pengobatan radang aktif
Bertujuan menginduksi remisi secepat mungkin, contoh obatnya adalah:
a. Aminosalisilat (ASA)
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini lebih disukai
dari preparat sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil meski efektivitasnya
relatif sama. Di Indonesia, sulfasalazin dipasarkan dalam bentuk sediaan tablet 250
mg dan 500 mg, enema 4 g/60 mL, serta supositoria 500 mg. Dosis rerata untuk
mencapai remisi adalah 2 – 4 gram per hari meski ada kepustakaan yang
menyebutkan penggunaan 5-ASA ini minimal 3 gram per hari. Umumnya remisi
tercapai dalam 16 – 24 minggu yang kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan.
Dosis pemeliharaan 1,5 – 3 gram per hari. Untuk kasus-kasus usus bagian kiri atau
distal, dapat diberikan mesalazin supositoria atau enema, sedangkan untuk kasus
berat, biasanya tidak cukup hanya dengan menggunakan preparat 5-ASA.
b. Kortikosteroid
Obat golongan glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk IBD derajat
sedang dan berat dalam fase peradangan aktif. Pemilihan obat steroid konvensional,
seperti prednison, metilprednisolon ataupun steroid enema, masih menjadi primadona
karena harga yang murah dan ketersediaan yang luas. Dosis umumnya adalah setara
40 – 60 mg prednison. Namun, jangan dilupakan efek sistemik obat-obatan ini.
Idealnya, dicapai kadar steroid yang tinggi pada dinding usus namun dengan efek
sistemik yang rendah. Umumnya, preparat yang digunakan dewasa ini adalah
budesonid. Remisi biasanya tercapai dalam waktu 8 – 12 minggu yang kemudian
diikuti dengan penurunan dosis (tapering down) yakni sekitar 10 mg per minggu
hingga tercapai dosis 40 mg atau 5 mg per minggu hingga tercapai 20 mg. Kemudian
dosis di-tapering off 2.5 mg per minggu.
 Pengobatan pencegahan
Untuk mencegah peradangan berulang dilakukan upaya mempertahankan masa
remisi selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-ASA yang bersifat individual atau
mengganti obat steroid pada fase peradangan akut dengan obat-obatan golongan
imunosupresif, anti-tumor necrosis antibody, dan probiotik.
a. Imunomodulator
Beberapa jenis obat kelompok imunomodulator adalah azathioprine, 6-
mercaptopurine, cyclosporine, dan methotrexate. Dosis inisial azathrioprine 50 mg
diberikan hingga tercapai efek substitusi lalu dinaikkan bertahap 2.5 mg per kgBB.
Umumnya efek terapeutik baru tercapai dalam 2-3 bulan. Methotrexate efektif untuk
kasus Crohn’s disease steroid dependent sekaligus untuk mempertahankan remisi
pada ulcerative colitis. Dosis induksi 25 mg intramuscular atau subkutan per minggu
hingga selesai tapering off steroid.
b. Agen baru
Infliksimab, adalimumab, certolizumab (memiliki anti-TNF) umumnya
digunakan untuk kasus Crohn’s disease fistulated sedang dan berat (refrakter steroid).
Studi ACCENT I dan ACCENT II meneliti dosis infliksimab sebagai pemeliharaan
Crohn’s disease. Dalam studi tersebut diajukan dosis infliksimab 5 mg-10mg/kgBB
selama 8 minggu.

Terapi Bedah

a. Teknik bedah Stritturoplastiche/ Strictureplasty


Strictureplasty adalah terapi bedah yang aman dan efektif untuk pasien Crohn
disease. Teknik ini bertujuan untuk mengobati striktur dan penyubatan di small
intestinum untuk mencegah adanya pemotongan usus. Indikasi dilakukan strictureplasty
adalah sebagai berikut:
 Multiple small-bowel strictures within a long segment of the bowel
 Reseksi awal lebih dari 100 cm pada usus kecil
 Rekurensi yang cepat disertai obstructive symptoms
 Obstruksi, fibrotic small-bowel stricture tanpa sepsis
Kontraindikasi:
 Phlegmon, internal fistula, atau perforasi pada daerah yang terkena
 Striktur dekat dengan anastomosis yang sudah direncanakan
 Multiple strictures within a short segment
 Striktur dengan dysplasia atau malignancy
Berdasarkan panjang strikturnya, teknik strictureplasty dibedakan menjadi 3:
 Strikture pendek (<10 cm) – Heineke-Mikulicz strictureplasty

 Striktur medium-length (10-20 cm) – Finney strictureplasty


 Striktur panjang (>20 cm) – Side-to-side isoperistaltic strictureplasty

Selain tipe strictureplasty yang dilakukan, berikut merupakan prinsip operasi yang harus
diperhatikan:

 Insisi pada usus harus dilakukan sesuai dengan antimesenteric border


 Enterotomy harus dilebihkan 1-2 cm proximal dan distal dari segmen yang mengalami
kelainan.
 Pastikan tidak ada lesi yang tersisa agar tidak menjadi karsinoma
 Harus didapatkan keadaan hemostasis yang baik
 Setelah strictureplasty dilakukan, dokter bedah harus memastikan bahwa lumen usus
dalam keadaan paten dan dapat mengadakan gerakan peristaltic.

Tindakan terapi pembedahan untuk Crohn’s disease antara Italy-Indonesia


secara garis besar hampir sama. Namun karena keterbatasan alat dan tenaga kerja kerja
yang kompeten sehingga terapi pembedahan dalam kasus seperti ini hanya bisa
dilakukan di rumah sakit besar dan rujukan nasional.
5. Kesimpulan analisis pembahasan
Crohn’s disease adalah gangguan inflamasi kronis, idiopatik dan dan mencakup
semua segmen dari traktus gastrointestinal. Penangan penyakit ini dapat dilakukan
dengan terapi medikamentosa dan terapi pembedahan. Terapi pembedahan yang
dilakukan tergantung pada tingkat keparahan seperti seberapa panjang stikturnya, apakah
ada perforasi dan lain-lain. Pada kasus yang saya temui dilakukan teknik pembedahan
strictureplasty . Sedangkan penanganan penyakit di Indonesia saat ini masih terkendala
dengan kurangngya sarana dan fasilitas yang memadai di tiap lini kesehatan. Diharapkan
nantinya Indonesia dapat lebih meningkatkan pelayanan sistem kesehatan dengan
penggunaan alat-alat kesehatan yang canggih serta tim medis yang kompeten dan
professional.

6. Referensi

Aman, M. W. (2015). Strictureplasty. Retrieved September 26, 2016, from


http://emedicine.medscape.com/article/1893397-overview#showall.

Chandra, S., & Simadibrata, M. (2014). Management of Inflammatory Bowel Disease.


The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology and Digestive
Endoscopy, 15(2): 112-113

Danastari, I Gusti Ayu Mahaprani, & Putra, Ida Bagus Darma. (2011). Inflammatory
Bowel Disease. Tesis, Universitas Udayana, Denpasar
Firmansyah, Mohammad Adi. (2013). Perkembangan Terkini Diagnosis dan
Penatalaksanaan Inflammatory Bowel Disease. CDK-203, 40 (4): 247-251

Anda mungkin juga menyukai