REAKSI KUSTA Setelah Di Revisi
REAKSI KUSTA Setelah Di Revisi
I. PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau yang biasa disebut juga Morbus Hansen merupakan salah
satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat
kompleks.1,2Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorious bagian
atas, kemudia dapat ke orgain lain kecuali susunan saraf pusat. 3 Kusta memiliki
tiga gambaran klinis khas yang disebut cardinal sign yaitu adanya lesi yang mati
rasa, kerusakan saraf tepi, dan adaya bakteri asil tahan asam.11 Bila tidak
ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit,
saraf - saraf, anggota gerak dan mata.4
Reaksi kusta adalah episode akut penyakit kusta dengan gejala konstitusi,
aktivasi, dan atau timbulnya efloresensi baru di kulit pada perjalanan penyakit ini
yang sebenarnya sangat kronis.5Reaksi kusta pada penderita kusta merupakan
fenomena imunologi yang dapat terjadi sebelum, saat, dan setelah pengobatan
lengkap multi-drug treatment (MDT). Terdapat 2 jenis reaksi kusta, yaitu reaksi
tipe 1 atau reaksi reversal dan tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL).
Kedua jenis reaksi kusta ini dapat terjadi terpisah, tetapi dapat timbul pada
pasien yang sama di saat berbeda. Fenomena Lucio sering dianggap sebagai
reaksi kusta tipe 3 atau dikenal sebagai reaksi kusta sangat berat. 6
II. EPIDEMIOLOGI
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat didaerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindahan
penduduk maka penyakit ini bisa menyerang dimana saja. Kasus baru kusta
didunia sampai dengan tahun 2011 diperkirakan berjumlah 219.075 kasus.
Asia Tenggara menduduki peringkat pertama sebanyak 160.132 kasus diikuti
regional Amerika (36.832 kasus), regional Afrika (12.673 kasus), dan sisanya
berada di regional lain di dunia. Indonesia saat ini merupakan salah satu
negara penyumbang penyakit kusta terbesar didunia. Penderita kusta di
Indonesia tercatat sebanyak 19.805 penderita pada tahun 2011 dan menduduki
1
ranking ketiga jumlah penderita terbanyak setelah India dan Brazil berdasarkan
cacatan WHO. Angka penemuan kasus baru kusta di Indonesia selama periode
2008-2013 merupakan yang terendah pada tahun 2013 yaitu sebesar 0.68 per
10.000 penduduk, namun belum mencapai terget kurang dari 0.5 per 10.000
penduduk, sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 0.79 hingga 0.96
per 10.000 dan telah mencapai target kurang dari 1 per 10.000 penduduk.
Kasus baru kusta dilaporkan pada tahun 2013 sebesar 16.856, lebih rendah
dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 18.994 kasus, 83.4% kasus
diantaranya merupaka tipe multibasiler.2
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum
dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius
atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat
menyerang semua umur, anak – anak lebih rentan dari pada orang dewasa. Di
Indonesia penderita anak – anak di bawah umur 14 tahun di dapatkan ±
11.39%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi
terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.3
Prevalensi reaksi tipe 1 bervariasi antara 8%-33% dari seluruh pasien
kusta, umumnya terjadi kusta tipe borderline. Sebuah penelitian retrospektif di
Divisi Kusta URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo tahun 2007
– 2009 memperoleh data bahwa reaksi tipe 1 sejumlah 15,7 % dari seluruh
pasien kusta baru. Distribusi terbesar pada tipe multibasiler (MB) yaitu 52,9%
terutama pada tipe Boderline (BB) sebesar 33,7 %. Jenis kelamin pasien reaksi
tipe 1 terbanyak adalah laki – laki sebesar 41,2 % dan kelompok usia terbanyak
adalah usia diatas 14 tahun sebesar 50,4%.7
III. ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai serkarang belum juga
dapat dibiakkan dalam media artifisial. M.leprae berbentuk kuman dengan
ukuran 3-8𝜇m x 0.5𝜇m, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram, tidak
mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh
asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan
asam”.3 Mikobakterterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,
2
berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari
spesies Mycobacterium. Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada
laboratorium. Kuman ini menular kepada manusia melalui kontak langsung
dengan penderita (keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun
makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang) dan melalui
pernapasan, bakteri kusta ini mengalami proses perkembangbiakan dalam
waktu 2-3 minggu, pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu
bertahan 9 hari di luar tubuh manusia kemudian kuman membelah dalam
jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun
bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun.4
IV. ETIOPATOGENESIS
M.leprae adalah bakteri tahan asam dan alkohol, basil gram positif
intraseluler obligat yang menunjukkan tropisme untuk sel-sel sistem
retikuloendotelial dan sistem saraf perifer (terutama sel Schwann);
mikobakterium ini adalah satu-satunya dengan karakterisitik ini
Terdapat 2 jenis reaksi kusta, yaitu reaksi tipe 1 atau reaksi reversal dan
tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL). Kedua jenis reaksi kusta ini dapat
terjadi terpisah, tetapi dapat timbul pada pasien yang sama di saat berbeda.
Fenomena Lucio sering dianggap sebagai reaksi kusta tipe 3 atau dikenal
sebagai reaksi kusta sangat berat.6
FAKTOR RESIKO
A. Reaksi kusta tipe 1 / reversal
reaksi tipe 1 disebabkan oleh peningkatan respons imun seluler. Reaksi
kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi
hipersensitivitas tipe IV di saraf dan kulit. Antigen produk basil yang telah mati
akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan imunitas seluler yang
cepat. Pada dasarnya reaksi ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antara
cell mediated immunity(CMI) dan basil. Infeksi Mycobacterium leprae dapat
memicu ekspresi MHC kelas II pada permukaan sel. Hal ini akan memicu
limfosit CD4 membunuh sel terinfeksi dengan mediasi sitokin, seperti TNF,
pada dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat peruahan keseimabngan antara
imunitas dan basil; hasilnya dapat terjadi upgrading/reversal, jika terjadi
peningkatan respons CMI terhadap antigen M.leprae dan mengarah ke bentuk
3
klinis tuberkuloid, ataupun downgrading jika terjadi penurunan respons CMI
terhadap antigen M.leprae dan menuju bentuk klinis lepromatosa. Reaksi tipe
1 ini diartikan reaksi reversal karena paling sering dijumpai terutama pada
kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading
reaction lebih jarang dijumpai karena berjalan lebih lambat dan umumnya
dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.6,7 reaksi ini
dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga disebut juga
sebagai reaksi borderline.8
5
Gambar 2. Gejala klinis ENL pada tungkai
Sumber : http://akbid-ku.blogspot.com/2014/04/makalah-penyakit-kusta.html
6
singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi
makin eritematosa, lesi makula/ bercak menjadi infiltrat/plakat, lesi plakat
menjadi lebih infiltratif, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi
bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, karena
sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa gejala
neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.1,3,8
Reaksi ini lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum
border line(borderline lepromatous, borderline-borderline dan boderline
tuberculoid), karena tipe boderline ini merupakan tipe tidak stabil. Faktor yang
berperan penting adalah sistem imunologis selular. Reaksi tipe ini terutama
terjadi selama pengobatan karena adanya peningkatan hebat respons imun
selular secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya respons inflamasi pada
jaringan saraf dapat mengakibatkan kerusakan dan kecacatan.1,3,9Kadang
dapat terjadi gangguan keadaan umum, seperti demam dan lain -lain. Kalau
diperhatikan kembali reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi
7
eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, sehingga disebut reaksi
lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini
penting membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau
tidak adanya nodus. Kalau ada bearti reaksi nodular atau ENL, jika tidak ada
bearti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau reaksi boderline.1,3
C. Fenomena lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi
pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama
ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai di
negeri lain dengan prevalensi rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau
infiltrat difus, berwarna merah muda kebiruan, bentuk tak teratur dan terasa
nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh yang
kemudian mengalami infark yang dapat disertai atau tanpa bula.13 Lesi yang
berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura, dan bula, kemudian dengan
cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan
akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologik menunjukkan
nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial,
edema, dan profliferasi endotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan
banyak basil M.leparae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat
polimorfonuklear seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak
deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer
kompleks imun yang beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua
penderita.3,13
GAMBAR
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar
dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas
makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M.leprae) masuk,
akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas Seluler (SIS) orang itu.
Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M.leprae.
Datangnya histoisit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
8
dengan adanya faktor kemotaktik. Pada penderita dengan SIS rendah atau
lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.leprae yang sudah ada di
dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyerbar luasan. 3
Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subdermal (subepidermal clear
zone), yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak
patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline,
terdapat campuran unsur-unsur tersebut.3,12
9
Gambar 6. Histopatologi ( tanda panah menunjukkan sel virchow)
Sumber : Yahya YF. 2011. Dermatitis Ekfoliatif sebagai Manifestasi Reaksi
Lepra; 1-11
B. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang
tidak spesifik antara lain antibodi anti-liproarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta
yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Di samping
itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi
kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam – macam pemeriksaan
serologik kusta ialah JELASIN SECRA SINGKAT
1. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
2. Uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
3. ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
4. ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)3
VII. DIAGNOSIS
Secara inspeksi penyakit kusta mirip dengan penyakit lainnya, ada
tidaknya anastesi sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun
tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum
terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas
dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas
dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Gejala klinis untuk reaksi
reversal umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif
atau timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi
menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula/ bercak
menjadi infiltrat/plakat, lesi plakat menjadi lebih infiltratif, lesi infiltrat makin
infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Pada tipe ENL pada kulit akan
timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan jika nodus pecah
10
menimbulkan ulkus dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan, tungkai dan
dinding perut.3
11
IX. PENATALAKSANAAN
A. Terapi sistemik
1. Prednison (untuk reaksi tipe 1 dan 2)
Obat ini digunakan untuk penanganan / pengobatan reaksi. Untuk
reasksi, prednison diberikan dalam dosis tunggal pagi hari sesudah makan,
kecuali jika keadaan terpaksa dapat diberikan secra dosis bagi,misalnya
2x4 tablet/hari.
2 minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu keenam 5mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan
2. Lampren (untuk reaksi tipe 2 )
Obat ini digunakan untuk penanganan / pengobatan reaksi ENL yang
berulang (steroid dependent)
Lampren lepas diberikan pada penderita ENL berat, berulang (setelah
terjadi≥ 2 episode), sehingga terdepat ketergantungan terhadapat steroid.
Lampren diberikan dalam dosis tunggal, pagi hari sesudah makan, kecuali
jika keadaan terpaksa diberikan secara dosis terbagi, misalnya 3 x 1
tablet/hari atau 2x1 tab/hari.
300 mg/hari atau 3x 100 mg selama 2 bulan
200 mg/hari atau 2x 100 mg selama 2 bulan
100 mg/hari selama 2 bulan
3.Thalidomid ( untuk reaksi tipe 2) JELASIN
Obat ini tidak dipergunakan dalam program1
4.Antipiretik dan analgetik parasetamol atau metampiron 4 x 500 mg9
B. Terapi topikal
diajurkan melakukan cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai
dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus, jika terdapat keluhan
ini dapat dilakukan kompres. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan
diminyaki agar tidak ekring dan pecah.
12
X. Prognosis
Pada penyakit lepra yang tidak diatasi, pasien yang akan sembuh
dengan sendirinya adalah yang memiliki TT, atau pasien BT yang meningkat
menjadi TT. Jika tidak, penyakit akan semakin menyebar dengan morbidity
yang disebabkan oleh cedera syaraf dan keadaan reaksional. BT, BB, BL, dan
LLs mungkin terjadi peningkatan, BT, BB dan BL mungkin akan menurun, dan
BL, LLs, dan LLP, memungkinkan terjadinya perkembangan ENL. 10
XI. KOMPLIKASI
Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dulu lakukan identifikasi tipe
reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini da[pat dinilai dari hasil
kesimpulan pemeriksaan pada formulir pencatatan pencegahan cacat (POD),
seperti:1
1. Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir
2. Adanya nyeri raba saraf tepi
3. Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir
4. Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
5. Adanya bercak pecah atau nodul pecah
6. Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi
Bila terdapat salah satu dari gejala diatas bearti ada reaksi berat dan perlu
diberikan obat anti reaksi
Obat antireaksi terdiri atas :1
XII. EDUKASI
Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana,
misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai
sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan
memakai kacamata untuk melindungi matanya .
XIII. Kesimpulan
13
Reaksi kusta terbagi menjadi 2 reaksi, yaitu reaksi tipe ENL dan reaksi
tipe reversal . Gejala klinis untuk reaksi reversal umumnya sebagian atau
seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam waktu
relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi
makin eritematosa, lesi makula/ bercak menjadi infiltrat/plakat, lesi plakat
menjadi lebih infiltratif, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi
bertambah luas. Pada tipe ENL pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa
nodus eritema, dan jika nodus pecah menimbulkan ulkus dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan, tungkai dan dinding perut. Diagnosis untuk reaksi
kusta ini berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Terapi yang
dapat digunakan untuk pengobatan reaksi kusta tipe ENL adalah kortikosteroid.
Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik juga sesuai dengan gejala klinis.
Terapi untuk tipe reversal perlu diperhatikan apakah disertai dengan neuritis
atau tidak. Sebab jika tidak disertai dengan neuritis akut tidak perlu pengobatan
tambahan. Jika ada neuritis akut dapat ditambahkan kortikosteroid.
14
Daftar Pustaka
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:Mc Graw Hill
co., pp. 499-506.
11. Nabila AQ, Nurainiwati SA, Handaja D, 2012. Profil Penderita Penyakit Kusta
di Rumah Sakit Kusta Kediri Periode Januari 2010 sampai Desember
2010.8(2);70-7
12. Yahya YF. 2011. Dermatitis Ekfoliatif sebagai Manifestasi Reaksi Lepra; 1-11
15
13. Prada P, Rosandi R, Daili ESS, Sirait SP, Rihatmadja R, Marissa M, Hasanah
AU. Gambaran Klinis dan Histopatologi Fenomena Lucio.2016. 43(4);147-152
14. William D, Timothy G, Dirk. Andrew’s Diseases of The Skin. 11th ed. USA:
Elsevier; 2011.
15. Lima HR, Ribeiro C, etc. Erythema Nodosum Caused By Mycobacterium
tuberculosis in HTLV-1 Infected Patients
16