BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
Penyusun: Editor:
Ahmad Zarkasyi Dwi Nugroho Sunuhadi
Andri Eko Ari Wibowo Sabtanto Joko Suprapto
Arif Munandar
Asep Sugianto Redaktur:
Dedi Kusnadi Teuku Islah
Dikdik Risdianto Penny Oktaviani
Edi Suhanto Mochamad Ruslin
Lano Adhitya Permana Widya Asoka Suleman
Mochamad Nur Hadi
Rina Wahyuningsih Desain Grafis:
Robertus Simarmata Shega Priyanda
Sabtanto Joko Suprapto Jonathan KK Gurusinga
Sri Widodo
Tony Rahadinata Foto Sampul:
Yuanno Rezky Mata Air Panas Bahoan (depan)
Endapan Traventin, Bor Panas Bumi, dan Hembusan Uap di
Kawah Biru Tinggi Raja (belakang)
Diterbitkan oleh:
Pusat Sumber Daya Geologi
Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Jl. Soekarno Hatta No.444 Bandung 40254,
Telp (022) 5205572, 5226270
B U K U PA N D U A N
P E N Y E L I D I K A N PA N A S B U M I
BADAN GEOLOGI
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
KATA SAMBUTAN
KEPALA PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI
Indonesia merupakan salah satu wilayah yang kompleks secara geologi, karena
terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik.
Kondisi yang kompleks ini membawa dampak positif pada kehadiran sumber daya mineral
dan energi, diantaranya adalah energi panas bumi.
Hingga saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 300 lokasi panas bumi yang berada di
lingkungan vulkanik dan non vulkanik dan tersebar hampir di seluruh wilayah kepulauan
Indonesia.
Pemerintah telah memutuskan untuk memanfaatkan sumber daya panas bumi
sebagai salah satu sumber energi terbarukan dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional
melalui kebijakan energi bauran nasional seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.
79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam target tersebut telah ditetapkan
bahwa di tahun 2025 energi baru dan terbarukan diharapkan untuk dapat menyumbang
paling sedikit 23%. Penetapan target tersebut termasuk diantaranya dengan upaya
percepatan pengembangan energi listrik tenaga panas bumi.
Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi, merupakan instansi pemerintah yang
diberi tugas melakukan penelitian, penyelidikan, dan pelayanan sumber daya geologi,
termasuk di dalamnya panas bumi. Kami berharap buku yang disusun berdasarkan keahlian
dan pengalaman para staf kami ini dapat bermanfaat bagi para pelaku eksplorasi sumber
daya panas bumi dan juga sebagai bahan bagi penyebaran pengetahuan dan keahlian bidang
sumber daya panas bumi.
Hedi Hidayat
iii
Kata Pengantar
KATA PENGANTAR
Buku ini diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2015, sebagai panduan dalam penyelidikan panas
bumi dan menjadi materi utama dalam pelaksanaan Bimbingan Teknik Penyelidikan Panas
Bumi di daerah. Materi-materi panduan ini sebelumnya telah ditulis oleh staf pengajar dari
Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia pada tahun 2012 serta staf ahli panas
bumi Pusat Sumber Daya Geologi dalam rangka bimbingan teknik penyelidikan panas bumi
yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001.
Selain dari materi-materi sebelumnya, penyusunan buku ini dilaksanakan dalam
rangka mendokumentasikan pemahaman dan pengalaman praktis dari para ahli eksplorasi
panas bumi di Pusat Sumber Daya Geologi dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
eksplorasi, dan pelayanan di bidang sumber daya panas bumi yang telah dilakukan sejak
tahun 2001, sehingga buku ini memperbaiki dan melengkapi buku atau materi sebelumnya.
Diharapkan dengan tersedianya buku ini, pemahaman mengenai tingkat
penyelidikan panas bumi lebih mudah dicerna oleh seluruh pihak terkait, sehingga
pemanfaatan energi panas bumi akan lebih mudah dilaksanakan.
Penyusun
v
Daftar Isi
DAFTAR ISI
halaman
KATA SAMBUTAN ...................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ...... .......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvi
VII
3.3.2. Pengukuran Data Manifestasi ...................................................... 35
3.4. Pengambilan Conto ............................................................................... 35
3.4.1. Pengambilan Conto Air ................................................................ 35
3.4.1.1. Peralatan dan Pereaksi yang Digunakan ........................ 35
3.4.1.2. Pengukuran parameter pada conto air di lapangan ......... 36
3.4.1.3. Cara pengambilan conto air untuk analisis unsur ............ 36
3.4.1.4. Cara pengambilan conto air untuk analisis isotop ........... 36
3.4.2. Pengambilan Conto Gas .............................................................. 37
3.4.2.1. Peralatan dan Pereaksi yang Digunakan ........................ 37
3.4.2.2. Cara pengukuran gas secara kualitatif ............................ 38
3.4.2.3. Cara pengukuran gas secara kuantitatif .......................... 38
3.4.3. Pengambilan Conto Tanah .......................................................... 39
3.4.3.1. Peralatan yang Digunakan ........................................................ 39
3.4.3.2. Cara pengambilan conto tanah ....................................... 40
3.4.4. Pengambilan Conto Udara Tanah................................................ 41
3.4.4.1. Peralatan dan Pereaksi yang Digunakan ........................ 41
3.4.4.2. Cara pengambilan conto udara tanah ............................. 41
3.4.4.3. Cara pengukuran temperatur udara tanah ...................... 41
3.5. Analisis Laboratorium ............................................................................ 42
3.5.1. Preparasi Conto ........................................................................... 42
3.5.2. Analisis Conto.............................................................................. 42
3.5.2.1. Analisis Air ...................................................................... 42
3.5.2.2. Analisis Gas.................................................................... 45
3.5.2.3. Analisis Tanah dan Udara Tanah .................................... 45
3.6. Pengolahan dan Penyajian Data ............................................................ 47
VIII
5.3. Penyelidikan Rinci.................................................................................. 96
5.4. Pengeboran Eksplorasi (wildcat) ............................................................ 97
5.5. Pengeboran Delineasi ............................................................................ 98
5.6. Pengeboran Pengembangan ................................................................. 98
IX
9.3. Mineralisasi . .......................................................................................... 146
9.4. Ekstraksi Mineral Ikutan ......................................................................... 148
9.5. Penutup ...... .......................................................................................... 153
X
Daftar Gambar
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 1.1. Kebijakan pemerintah mengenai bauran energi nasional hingga
tahun 2025 ............................................................................... 1
Gambar 1.2 Model skematik sumberdaya panas bumi pada sistem
hidrotermal ............................................................................... 3
Gambar 1.3 Sistem panas bumi geopressure (Bebout, dkk.,1978 dalam
Lund, 2007) .............................................................................. 5
Gambar 1.4 Sistem panas bumi pada cekungan sedimen (Anderson dan
Lund,1979) ............................................................................... 6
Gambar 1.5 Ilustrasi penggunaan sistem Hot Dry Rock (Lund, 2007) .......... 6
Gambar 1.6 Sistem panas bumi radiogenik (Anderson dan Lund, 1979) ...... 7
Gambar 1.7 Konseptual model sistem heat sweep pada jalur pemekaran
lempeng aktif (Hochstein dan Browne, 2000) ........................... 8
Gambar 1.8 Manifestasi mata air panas mendidih di lapangan panas
Kamojang, Jawa Barat ............................................................. 8
Gambar 1.9 Manifestasi fumarola di lapangan panas bumi Ulumbu Pulau
Flores Nusa Tenggara Timur .................................................... 9
Gambar 1.10 Manifestasi solfatar di lapangan panas bumi Arjuna-Welirang,
Jawa Timur............................................................................... 9
Gambar 1.11 Manifestasi lumpur panas di lapangan panas bumi Mataloko
Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur ......................................... 10
Gambar 1.12 Manifestasi tanah panas beruap di lapangan panas bumi Atadei
Lembata, Nusa Tenggara Timur ............................................... 10
Gambar 1.13 Manifestasi batuan teralterasi di lapangan panas bumi Wapsalit,
Pulau Buru, Maluku .................................................................. 11
Gambar 1.14 Manifestasi sinter silika di Orakeikorako, Selandia Baru .......... 11
Gambar 1.15 Manifestasi sinter karbonat (travertin) di lapangan panas bumi
Sipoholon Sumatera Utara ....................................................... 12
Gambar 2.1. Batas lempeng konvergen, divergen dan pergerakan sejajar
(Perfit dan Davidson, 2000) ...................................................... 17
Gambar 2.2. Klasifikasi genetik dari endapan vulkanik (McPhie dkk., 1993) . 21
Gambar 2.3. Beberapa contoh data sekunder untuk studi literatur ................ 22
XI
Gambar 2.4. Pengelompokan dan distribusi produk vulkanik
(Bogie & Mackenzie, 1998 dalam Bronto, 2006) ....................... 23
Gambar 2.5. Conto analisis batuan dengan petrografi, XRF dan XRD .......... 25
Gambar 2.6. Hasil pemetaan geologi panas bumi......................................... 26
Gambar 2.7. Deskripsi inti dan serbuk bor .................................................. 27
Gambar 2.8. Pengukuran temperatur lumpur pembilas ................................. 28
Gambar 2.9. Komposit log litologi pengeboran ............................................ 28
Gambar 2.10. Identifikasi mineral ubahan ..................................................... 29
Gambar 2.11. Set casing dan penyemenan .................................................. 29
Gambar 3.1. Pengukuran temperatur mata air panas ................................... 36
Gambar 3.2. Pengambilan sampel air ........................................................... 37
Gambar 3.3. Pengukuran gas dengan tube detector gas pada fumarol ........ 38
Gambar 3.4. Pengambilan sampel gas pada fumarol menggunakan tabung
vakum ...................................................................................... 39
Gambar 3.5. Pengeboran untuk mengambil sampel tanah dan udara tanah . 40
Gambar 3.6. Conto air untuk dianalisis isotop ............................................... 44
Gambar 3.7. Analisis isotop 18O dan 2H air (Foto Sabtanto, 2015) ................ 45
Gambar 3.8. Contoh diagram segitiga Cl-SO4-HCO3 .................................... 54
Gambar 3.9. Contoh diagram segitiga Na/1000-K/100-√Mg .......................... 55
Gambar 3.10. Contoh diagram segitiga Cl/100-Li-B/4. .................................. 56
Gambar 4.1. a) Rangkaian listrik sederhana dan (b) ilustrasi resistansi ........ 60
Gambar 4.2. Konfigurasi Schlumberger untuk pengkuran tahanan jenis arus
searah...................................................................................... 60
Gambar 4.3. Peta dan penampang tahanan jenis hasil survei tahanan jenis
arus searah .............................................................................. 62
Gambar 4.4. Ilustrasi koreksi udara bebas di atas permukaan datum ........... 64
Gambar 4.5. Ilustrasi koreksi Bouguer di atas permukaan datum ................. 65
Gambar 4.6. Piringan melingkar sebagai dasar penghitungan koreksi medan 65
Gambar 4.7. Cincin silindris melingkar, terbagi menjadi delapan segmen
untuk menghitung koreksi medan (Robinson 1998) .................. 66
Gambar 4.8. Peta anomali Bouguer, regional, residual dan model 3D hasil
survei gaya berat ...................................................................... 68
Gambar 4.9. Komponen-komponen medan magnet ..................................... 70
Gambar 4.10. Inklinasi medan magnet bumi (Epoch, 2005) .......................... 71
XII
Gambar 4.11. Deklinasi dari medan magnet bumi (Epoch, 2005) ................. 71
Gambar 4.12. Medan magnet bumi (Epoch, 2005) ....................................... 71
Gambar 4.13. Peta intensitas magnet total dan pemodelan 3D hasil survei
geomagnet ............................................................................. 72
Gambar 4.14. Konfigurasi Pengukuran medan listrik dan medan magnet ..... 74
Gambar 4.15. Struktur 1-d dengan besaran impendasi pada masih masing
lapisan ................................................................................... 75
Gambar 4.16. Polarisasi TE dan TM metode magnetotellurik pada struktur
2-D dengan arah strik dalam arah x .................................... 76
Gambar 4.17. Peta tahanan jenis per kedalaman dan model 3D hasil survei
AMT dan MT .......................................................................... 80
Gambar 4.18. Konfigurasi TDEM sounding ................................................... 81
Gambar 4.19. Peta tahanan jenis per kedalaman dan penampang model hasil
survei TDEM .......................................................................... 83
Gambar 4.20 Peta sebaran konduktifitas panas hasil survei aliran panas ..... 85
Gambar 4.21 Logging suhu pada sumur landaian suhu ................................ 87
Gambar 4.22 Peta vp/vs hasil survei metode seismik pasif (Umar dkk, 2012) 89
Gambar 5.1 Diagram alur kegiatan penyelidikan panas bumi ............................. 94
Gambar 5.2 Skema penyelidikan pendahuluan ........................................................... 95
Gambar 5.3 Skema penyelidikan pendahuluan Lanjutan ...................................... 96
Gambar 5.4 Skema penyelidikan rinci .......................................................................... 97
Gambar 6.1. Diagram alir menunjukkan tahapan model konseptual (modifikasi
dari Akar dan Young, 2015) ...................................................... 104
Gambar 6.2. Geologi daerah Ungaran (modifikasi dari Hadisantono dan
Sumpena, 1993; Thaden dkk., 1996), Rezky Y., dkk, 2012 ...... 108
Gambar 6.3. Model 2D resistivity panas bumi Songa Wayaua (DIM, 2006) .. 108
Gambar 6.4. Model permukaan, di mana garis hitam vertikal mewakili horizon
dalam model, blok pertama dari tubuh / properti model 3D ....... 111
Gambar 6.5. Model geologi lapangan panas bumi Sorik Marapi (kiri) dan
Sumani (kanan) ........................................................................ 112
Gambar 6.6. Penampang sumur menunjukkan litologi dan log alterasi batuan
dengan temperatur formasi dan temperatur formasi yang telah
di up-scaling dalam persiapan untuk properti model (tubuh
model 3D)................................................................................. 113
Gambar 6.7. Property Model atau Tubuh model 3D dari inverse 3D survei
gravity di lapangan panas bumi Songa Wayaua (Zarkasyi-Rezky,
2013) ........................................................................................ 114
XIII
Gambar 6.8. Sebuah tampilan model konseptual sistem panas bumi di Sorik
Marapi (Rezky Y, dkk., 2012) ................................................... 115
Gambar 6.9. Sebuah tampilan model konseptual sistem panas bumi ter-
update di Sumani (PSDG, 2015) .............................................. 116
Gambar 7.1. Diagram hubungan antara tahapan survei dengan status sumber
daya dan cadangan .................................................................. 121
Gambar 7.2. Konsep hubungan sumber daya dan cadangan ....................... 122
Gambar 7.3. Hubungan temperatur reservoir terhadap rapat daya ............... 124
Gambar 7.4. Proses Gridding pada metode simulasi reservoir ..................... 128
Gambar 7.5. Hasil korelasi profil tekanan dan temperatur hasil simulasi
dengan data terukur ................................................................. 129
Gambar 7.6. Distribusi sifat permeabilitas hasil simulasi ............................... 129
Gambar 8.1. Diagram pemanfaatan panas bumi (Lindal, 1973) .................... 131
Gambar 8.2. Diagram pembangkit listrik tenaga panas bumi tipe
atmospheric (back-pressure) (Khasani, 2013) .......................... 132
Gambar 8.3. Diagram pembangkit listrik tenaga panas bumi tipe condensing
(Khasani, 2013) ........................................................................ 133
Gambar 8.4. Diagram pembangkit listrik tenaga panas bumi siklus biner
(Khasani, 2013) ........................................................................ 134
Gambar 8.5. Pemanfaatan panas bumi secara langsung berdasarkan
temperatur (Modifikasi dari Lindal, 1973) .................................. 135
Gambar 8.6. Kolam renang air panas (Roeroe, dkk., 2013) .......................... 138
Gambar 8.7. Pariwisata air panas di Cisolok (Sukhyar, dkk., 2014) .............. 138
Gambar 8.8. Budidaya jamur menggunakan panas bumi di Kamojang
(Darma, dkk., 2010) .................................................................. 139
Gambar 8.9. Pabrik gula aren dengan memanfaatkan 4 ton/jam air panas
bumi di Lahendong (Darma, dkk., 2010) ................................... 139
Gambar 8.10. Pengeringan kopra dengan menggunakan fluida panas bumi
(Roeroe, dkk., 2013) .............................................................. 140
Gambar 9.1. Sebaran logam pada fluida panas bumi lingkungan epitermal.
Komposisi logam bervariasi tergantung temperatur dan
kedalaman (modifikasi dari Buchanan, 1987 dalam
Suprapto, 2010) ....................................................................... 144
Gambar 9.2. (A) Kerak pada pipa mengandung kadar emas sangat tinggi
(5%), pada kondisi di kedalaman sebelum terjadi pendidihan
dan kehilangan gas kandungan emas pada fluida 10µg/kg.
Kandungan Au pada fluida pada mata air panas <0,1 µg/kg.
Terjadi penurunan tingkat kelarutan emas pada larutan yang
XIV
berubah menjadi uap (Hedenquist dkk, 1996). (B) Bijih emas
berupa urat kuarsa dari Tambang Gosowong, Halmahera, dan
kerak silika pada pipa PLTP di Kyusu, Jepang mengandung
emas ± 50 mg/kg (Suprapto, 2011) .......................................... 144
Gambar 9.3. Ekstraksi silika dari fluida panas bumi (modifikasi dari Bakane,
2013) ....................................................................................... 145
Gambar 9.4. Lumpur silika pada kolam pengendapan di PLTP Dieng, Jawa
Tengah (Pohan, dkk., 2008) ..................................................... 146
Gambar 9.5. (A) Manifestasi panas bumi berupa fumarol dan endapan sinter
silika mengandung emas ± 15 µg/kg; (B) Hamparan deposit
bijih emas tipe hot spring di kaldera Gunung Osore, Jepang
(Suprapto, 2011) ...................................................................... 147
Gambar 9.6. Mata air panas dengan pH netral, dikelilingi endapan sinter
mengandung Au sampai dengan 540 ppm, Ag 745 ppm serta
As-Sb-Hg-Tl, sistem geothermal Waiotapu, New Zealand
(Mroczek dkk., 2015) ............................................................... 148
Gambar 9.7. Proses hidrometalurgi metode heap leach. Timbunan batuan
bijih emas hasil penambangan dan crushing, terus menerus
disiram sianida selama kurun waktu sampai ± 3 bulan untuk
melarutkan logam, lokasi di Nunukan, Kalimantan Utara.
Tahapan proses tersebut tidak diperlukan pada pengolahan
fluida panas bumi (Foto Jonatan, 2014) ................................... 150
Gambar 9.8. Skema proses heap leach dapat menggunakan fluida panas
bumi sebagai pemanas untuk meningkatkan daya larut sianida
(modifikasi dari Lund, 2003) ..................................................... 150
Gambar 9.9. Pemisahan Zn-Li-Mn dari fluida panas bumi (brine), (modifikasi
http://www.fastcompany.com) .................................................. 152
Gambar 9.10. Diagram proses ekstraksi silika, litium, Zn, dan Mn dari fluida
panas bumi ............................................................................ 152
Gambar 9.11. Miniatur zinc ingot produksi dari fluida panas bumi Salton Sea
(Clutter, 2000) ........................................................................ 153
Gambar 10.1. Kerangka kebijakan pengelolaan energi dan sumber daya
mineral ................................................................................... 160
XV
Daftar Tabel
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1.1. Jadwal Kegiatan Tim Pemutakhiran Data dan Neraca Sumber
Daya Energi Tahun 2014 ............................................................. 13
Tabel 2.1. Tipe gunung api (diresumekan dari Lockwood dan Hazlett, 2010) 18
Tabel 2.2. Hasil analisis geokimia batuan dengan XRF ................................ 24
Tabel 3.1. Metode analisis dalam survei geokimia panas bumi ..................... 43
Tabel 3.2. Contoh penghitungan temperatur bawah permukaan ................... 44
Tabel 3.3. Contoh data lapangan dari manifestasi ........................................ 48
Tabel 3.4. Contoh tabel data lapangan pengambilan conto Hg tanah & CO2
udara tanah ................................................................................. 49
Tabel 3.5. Contoh tabel data hasil analisis air ............................................... 50
Tabel 3.6. Contoh tabel perhitungan kesetimbangan ion (Ion Balance) ........ 51
Tabel 3.7. Contoh tabel data hasil analisis gas ............................................. 52
Tabel 3.8 Contoh tabel data hasil analisis tanah dan udara tanah ................ 53
Tabel 6.1 Diagram alir menunjukkan proses kerja pembuatan model 3D
(modifikasi dari Axelsson dan Mortensen, 2013).......................... 109
Tabel 7.1 Format pelaporan sumber daya dan cadangan panas bumi .......... 122
Tabel 7.2 Hubungan parameter rapat daya dengan temperatur reservoir ..... 124
Tabel 8.1 Daerah panas bumi yang telah dikembangkan menjadi PLTP
(sumber PSDG, 2015) ................................................................. 137
Tabel 9.1 Kandungan unsur logam pada lumpur silika limbah PLTP Dieng
(Pohan dkk., 2008) ...................................................................... 146
Tabel 9.2 Contoh kadar logam tinggi pada fluida panas bumi dari beberapa
lokasi PLTP ................................................................................. 151
Tabel 10.1 Harga listrik panas bumi sistem feed in tariff ............................... 171
Tabel 10.2 Harga Patokan tertinggi Pembelian Tenaga Listrik dari PLTP oleh
PT. PLN....................................................................................... 172
XVI
BAB 1 SISTEM PANAS BUMI DAN SEJARAH PENGEMBANGAN DI INDONESIA
BAB 1
SISTEM PANAS BUMI DAN SEJARAH PENGEMBANGAN
DI INDONESIA
Oleh:
Rina Wahyuningsih, Arif Munandar, Edi Suhanto, Lano Adhitya Permana
1
Sampai saat ini pengembangan sumber energi panas bumi di Indonesia
masih difokuskan untuk pembangkit tenaga listrik dan itupun masih terbatas dari
lokasi yang berkaitan dengan lingkungan vulkanisme aktif, yaitu di 10 lokasi panas
bumi yang sudah dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
(PLTP). Sebanyak 1436 MW energi listrik dari panas bumi berasal dari Kamojang,
Darajat, Wayang Windu, Patuha, Gunung Salak, Dieng, Ulubelu, Sibayak, Lahedong,
dan Ulumbu. Kapasitas ini hanya menyumbangkan sekitar 5% dari total potensi
panas bumi Indonesia dan menyumbangkan sekitar 2,9% dari total kapasitas
terpasang nasional. Di tahun 2025, pemerintah menargetkan panas bumi dapat
menyumbangkan hingga 8,9% dalam bauran energi nasional. Namun demikian
kegiatan eksplorasi di daerah non-vulkanik semakin ditingkatkan agar di masa
mendatang sumber non-vulkanik ini dapat juga dimanfaatkan, mengingat
keterdapatannya banyak dijumpai di Indonesia bagian timur yang relatif tidak
mempunyai sumber energi primer seperti minyak, gas bumi dan batubara. Seperti
diketahui, Indonesia Timur mempunyai rasio elektrifikasi rata-rata hanya sekitar 50%
sangat jauh dibanding dengan rasio elektrifikasi nasional yang sudah mencapai 85%.
Selain itu proyeksi kebutuhan akan listrik nasional tahun 2015-2024, peningkatan
yang signifikan akan terjadi di Indonesia bagian timur. Untuk menunjang program
pemerintah dalam hal pemerataan pembangunan dan menuju kemandirian energi,
pengembangan sumber energi panas bumi non-vulkanik terutama di Indonesia timur
menjadi sangat perlu untuk dipertimbangkan.
1.2. Definisi dan Sistem Panas Bumi
Secara istilah panas bumi atau “geothermal” berasal dari kata Geo yang
artinya bumi dan Thermal berari panas. Jadi panas bumi secara harfiah merupakan
energi panas alamiah yang berasal dari dalam bumi. Meskipun secara umum energi
panas bumi didefinisikan sebagai energi panas yang berasal dari dalam bumi, namun
energi panas bumi lebih dimaksudkan sebagai bagian dari panas bumi yang dapat
diekstrak dan dimanfaatkan oleh manusia. Sehingga dalam Undang-undang Panas
Indonesia, panas bumi di definisikan sebagai sumber energi panas yang terkandung
di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya
yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi.
Secara umum terdapat empat jenis sistem panas bumi yaitu sistem
hidrotermal, geopressure, hot dry rock, dan magma. Sampai saat ini sistem
hidrotermal merupakan sistem yang paling banyak dikembangkan dan dimanfaatkan
sebagai sumber energi listrik. Tiga jenis sistem lainnya masih dalam tahap awal
pengembangan.
Sistem hidrotermal dicirikan oleh adanya akumulasi air (hydro) dan panas
(thermal) dalam wadah tertentu atau reservoir di bawah permukaan. Reservoir panas
bumi yang berisi uap atau air panas tercipta secara alami di lokasi-lokasi dimana
magma dapat mencapai dekat permukaan untuk memanasi air tanah yang terjebak
2
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 1 SISTEM PANAS BUMI DAN SEJARAH PENGEMBANGAN DI INDONESIA
Gambar 1.2. Model skematik sumberdaya panas bumi pada sistem hidrotermal.
Pada sistem hidrotermal, terdapat tiga komponen alami yang harus ada, yakni
fluida, panas, dan permeabilitas batuan. Sistem panas bumi ini banyak terjadi di
berbagai setting geologi, umumnya ditandai secara jelas dengan munculnya
manifestasi panas bumi di permukaan, namun terkadang tanpa ditandai oleh
kenampakkan atau manifestasi panas yang jelas di permukaan.
Sistem reservoir hidrotermal dengan sirkulasi fluida yang kuat dapat terbentuk
di daerah sekitar gunungapi aktif, dimana sumber panas masih sangat panas yang
biasa di sebut dengan sistem panas bumi hidrotermal bertemperatur tinggi. Di daerah
lainnya, sirkulasi fluida terjadi lemah saja karena sumber panas yang kecil atau suplai
air yang sedikit yang biasa disebut sistem panas bumi hidrotermal bertemperatur
sedang-rendah. Di daerah lain lagi, air panas tidak banyak bersirkulasi karena tidak
3
adanya sumber panas dan permeabilitas sehingga hanya air tertampung dan
terpanasi dalam waktu yang lama oleh aliran panas rata-rata alamiah bumi.
Sistem-sistem panas bumi umumnya dibagi menjadi sistem temperatur tinggi
dan sistem temperatur rendah hingga menengah. Sistem temperatur tinggi dapat
memiliki temperatur lebih daripada 200 oC pada kedalaman 1 km, sementara sistem
menengah ke rendah sekitar 150 oC atau kurang. Pembagian temperatur sistem
panas bumi berbeda dari satu negara ke negara lain tergantung pada skema
pemanfaatan yang dianut. Indonesia menganut pembagiannya menjadi 3, yaitu
sistem temperatur tinggi >225 oC, sistem temperatur menengah 125 oC-225 oC dan
sistem temperatur rendah <125 oC (SNI 13-6171-1999).
Berdasarkan lingkungan geologinya, sistem panas bumi dapat juga dibedakan
menjadi 2, yaitu yang berkaitan dengan aktivitas vulkanisme Kuarter (vulkanik) dan
yang bukan (non-vulkanik) termasuk diantaranya adalah yang berkaitan dengan
vulkanisme Tersier, geopressured, sedimen, hot dry rock dan radiogenik. Sistem
panas bumi vulkanik memiliki sumber panas bumi yang terdistribusi di sepanjang jalur
vulkanik dan biasanya memiliki kandungan panas yang tinggi, sehingga sudah
banyak dikembangkan dan menghasilkan energi listrik yang dapat dimanfaatkan.
Sebagian besar sumber panas bumi di Indonesia tergolong dalam kelompok vulkanik,
seperti yang tersebar di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Bali, Kepulauan Bali dan
Nusa Tenggara, Sulawesi bagian utara hingga Maluku bagian uUtara.
Pembentukan sistem panas bumi kelompok vulkanik biasanya tersusun oleh
batuan yang bersifat intermediet (menengah) hingga asam dan umumnya memiliki
karakteristik reservoir sekitar 1,5 km dengan temperatur reservoir tinggi (~250 s.d.
≤370°C). Pada daerah vulkanik aktif biasanya memiliki umur batuan yang relatif muda
dengan kondisi temperatur yang sangat tinggi dan kandungan gas magmatik besar.
Sedangkan, untuk daerah vulkanik yang tidak aktif biasanya berumur relatif lebih tua
dan telah mengalami aktivitas tektonik yang cukup kuat untuk membentuk
permeabilitas batuan melalui rekahan dan celah yang intensif. Pada kondisi tersebut
akan terbentuk temperatur menengah s.d. tinggi dengan konsentrasi gas magmatik
yang lebih sedikit dibandingkan dengan daerah vulkanik aktif.
Sistem panas bumi non-vulkanik di Indonesia bagian barat pada umumnya
tersebar di bagian timur Paparan Sunda (Sundaland), karena pada daerah tersebut
didominasi oleh batuan yang merupakan penyusun kerak Benua Asia (batuan
metamorf dan batuan sedimen), contohnya seperti yang ada di wilayah Pulau
Bangka. Sementara itu, di wilayah Indonesia bagian timur lingkungan non-vulkanik
berada di daerah lengan dan kaki Sulawesi serta daerah Kepulauan Maluku hingga
Papua yang didominasi oleh batuan-batuan granitik, metamorf dan sedimen laut. Tipe
sistem panas bumi di lingkungan non-vulkanik dapat dijumpai juga di Pulau
Kalimantan termasuk diantaranya di perbatasan Kalimantan Timur dengan Sabah
(Malaysia).
4
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 1 SISTEM PANAS BUMI DAN SEJARAH PENGEMBANGAN DI INDONESIA
Gambar 1.3. Sistem panas bumi geopressure (Bebout, dkk.,1978 dalam Lund,
2007)
5
Gambar 1.4. Sistem panas bumi pada cekungan sedimen (Anderson dan Lund,
1979)
Pada prinsipnya sistem panas bumi hot dry rock menggunakan panas yang
tersimpan dalam batuan impermeable, dan untuk mengekstraksi energi panas, sistem
dibuat menyerupai sistem konvektif dengan cara membuat artifisial rekahan pada
batuan yang diikuti dengan injeksi air dingin pada lapisan batuan impermeabel yang
mengandung panas, sehingga air dingin tersebut terpanaskan dan digunakan untuk
pembangkit tenaga listrik (Gambar 1.5). Sistem panas bumi ini belum digunakan
secara umum, hanya beberapa negara saja yang pernah melakukan dalam skala
eksperimen, seperti Amerika Serikat (New Meksiko) dan Jepang.
Gambar 1.5. Ilustrasi penggunaan sistem Hot Dry Rock (Lund, 2007)
6
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 1 SISTEM PANAS BUMI DAN SEJARAH PENGEMBANGAN DI INDONESIA
Gambar 1.6. Sistem panas bumi radiogenik (Anderson dan Lund, 1979)
Selain empat sistem panas bumi non vulkanik yang telah disebutkan oleh
Lund (2007), terdapat juga sistem panas bumi non vulkanik heat sweep. Hochstein
dan Browne dalam Encyclopedia of Volcanoes (2000), menyebutkan bahwa sistem
panas bumi heat sweep berkaitan dengan sistem zona rekahan pada kedalaman
yang cukup dalam pada daerah yang memiliki heat flow yang tinggi (Gambar 1.7).
Sistem panas bumi heat sweep yang terjadi pada tumbukan antar lempeng (plate
collision), sumber panasnya berupa kerak benua yang mengalami deformasi
(shearing). Dalam hal ini, infiltrasi air hujan maupun air meteorik yang berasal dari
lelehan salju, masuk melalui rekahan dan menyapu sumber panas tersebut,
kemudian mengalir menuju ke permukaan kembali. Sistem ini banyak ditemukan di
daerah Tibet, Yunan bagian barat dan utara serta India.
Sementara itu, sistem heat sweep pada jalur pemekaran lempeng aktif
terletak di sepanjang kerak bumi yang panas, yang sumber panasnya berasal dari
batuan intrusi. Model sistem panas bumi heat sweep pada jalur pemekaran lempeng
aktif, dapat dijumpai di Tanzania Utara, Kenya dan Ethopia.
7
Gambar 1.7. Konseptual model sistem heat sweep pada jalur pemekaran
lempeng aktif (Hochstein dan Browne, 2000)
Gambar 1.8. Manifestasi mata air panas mendidih di lapangan panas Kamojang,
Jawa Barat
Fumarola adalah munculnya atau semburan gas yang sebagian besar berupa
uap air dan mempunyai temperatur tinggi.
8
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 1 SISTEM PANAS BUMI DAN SEJARAH PENGEMBANGAN DI INDONESIA
Gambar 1.9. Manifestasi fumarola di lapangan panas bumi Ulumbu Pulau Flores
Nusa Tenggara Timur
Solfatara adalah munculnya hembusan gas vulkanis yang didominasi oleh gas
H2S dan biasanya diikui dengan sublimasi belerang di permukaan.
9
Gambar 1.11. Manifestasi lumpur panas di lapangan panas bumi Mataloko
Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur
Tanah panas merupakan kondisi tanah dengan temperatur di atas temperatur
tanah atau udara di sekitarnya, apabila mengeluarkan uap maka disebut tanah
panas beruap.
Gambar 1.12. Manifestasi tanah panas beruap di lapangan panas bumi Atadei
Lembata, Nusa Tenggara Timur
Batuan terubah merupakan hasil ubahan mineral dalam batuan akibat dari
interaksi batuan dan fluida panas bumi yang melaluinya.
10
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 1 SISTEM PANAS BUMI DAN SEJARAH PENGEMBANGAN DI INDONESIA
11
Gambar 1.15. Manifestasi sinter karbonat (travertin) di lapangan panas bumi
Sipoholon Sumatera Utara.
12
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 1 SISTEM PANAS BUMI DAN SEJARAH PENGEMBANGAN DI INDONESIA
Tabel 1.1. Peran ilmu kebumian secara umum dalam penyelidikan panas bumi
(Utami, 2013)
Pemilihan lokasi Pemodelan dan Pencarian bagian
Tahap
prospek karakterisasi sistem sistem yang produktiif
Data
Pengeboran Pengeboran eksplorasi
bawah -
eksplorasi tambahan
permukaan
Geologi Studi geologi Studi komponen, Studi riwayat alterasi
regional dengan konfigurasi, dan hidrotermal: di mana
penekanan sejarah karakter komponen sekarang kecenderungan
magmatisme, terdapatnya temperatur
vulkanisme dan tinggi, permeabilitas
tektonisme Studi alterasi tinggi dan fluida yang
Inventarisasi dan hidrotermal bawah bersahabat
karakterisasi permukaan untuk
alterasi melihat
permukaan: kecenderungan
daerah panas perilaku sistem
aktif? Sudah tak
aktif?
Geokimia Inventarisasi Studi geokimia yang Studi geokimia lanjutan
manifestasi panas mendukung unuk revisi model
dan karakterisasi pemodelan sistem
discharge fluids: (struktur panas dan
sistem panas bumi penyebaran fluida-
magmatik? Sistem fluida hidrotermal di
panas bumi yang bawah permukaan
“matang”?
Geofisika Studi geofisika Studi geofisika yang Studi geofisika lanjutan
yang mendukung mendukung unuk revisi model
studi geologi pemodelan sistem
regional
13
yang merupakan pionir dalam pengembangan panas bumi antar lain Amerika Serikat,
Islandia, dan Selandia Baru. Di Asia, Jepang merupakan pelaku ekplorasi panas bumi
yang paling maju sejalan dengan kekayaan energi panas bumi di sana. Indonesia dan
Filipina merupakan negara yang hampir bersamaan memulai pemanfaatan energi
panas bumi di Asia Tenggara. Namun pemerintah Filipina sangat serius dalam
mengembangkan energi panas bumi sehingga perkembangan pemanfaatan energi ini
lebih pesat dibandingkan Indonesia.
Sejarah ekplorasi dan pengembangan panas bumi di Indonesia dimulai sekitar
tahun 1920an, yaitu dengan dilakukan inventarisasi oleh Pemerintah Belanda dan
salah satunya ditemukan prospek Kamojang di Garut, Jawa Barat. Penyelidikan
panas bumi daerah Kamojang, dimulai pada tahun 1926 hingga tahun 1928 oleh
Pemerintah Belanda. Pada kurun waktu tersebut dilakukan pengeboran dangkal 5
sumur eksplorasi dengan kedalaman 66 – 128 m. Satu sumur ekplorasi tersebut yaitu
Sumur KMJ-3 sampai saat ini masih menyemburkan uap kering dengan temperatur
140 oC dan tekanan 2,5 ksc. Pada tahun 1971, Pemerintah Indonesia dalam hal ini
Direktorat Geologi bekerja sama dengan pemerintah Selandia Baru (New Zealand
Geothermal Project) melakukan studi kelayakan potensi panas bumi di Indonesia,
termasuk diantaranya Daerah Kamojang. Pada tahun 1972 – 1975, di Kamojang ini
dilakukan penyelidikan kebumian terpadu (geologi, geokimia dan geofisika) atas
kerjasama Direktorat Geologi –Selandia Baru-Pertamina, hasilnya dapat
mendelineasi daerah potensial berupa sistem panas bumi dengan jenis reservoir
dominasi uap (vapor dominated system).
Lapangan Kamojang dijadikan wilayah kerja panas bumi yang pertama dan
diserahkan kepada Pertamina untuk dikembangkan. Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) Kamojang seluas 757.773 m2, dengan luas daerah potensial sekitar 14 km2
dan total potensi energi panas bumi sekitar 330 MWe. Pembangkit Listrik Tenaga
Panas Bumi (PLTP) Kamojang Unit I diresmikan pada tanggal 29 Januari 1983
dengan kapasitas 30 MW dan menjadi PLTP pertama di Indonesia. Sampai saat ini di
Kamojang sudah terpasang 5 unit PLTP dengan kapasitas total sebesar 235 MWe.
Selain Kamojang, di beberapa lapangan panas bumi juga dilakukan eksplorasi seperti
di Darajat, Dieng, Gunung Salak, Lahendong, Sibayak dan Wayang Windu. Ketujuh
lapangan panas bumi ini yang memberikan kontribusi energi listrik berasal dari panas
bumi dalam bauran energi nasional.
Hingga terbitnya Undang-undang Panas Bumi yang pertama (UU 27/2003)
belum ada penambahan lokasi panas bumi baru yang menjadi PLTP. Penambahan
PLTP di wilayah kerja baru, terealisasi pada tahun 2012 dengan beroperasinya PLTP
Ulubelu , kemudian di susul PLTP Patuha, dan PLTP Ulumbu tahun 2014. Hingga
saat ini telah telah dikembangkan 10 lapangan panas bumi yang memberikan
kontribusi kedalam ketenagalistrikan nasional dengan kapsitas terpasang total
sebesar 1.436 MW (Tabel 1.2).
14
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 1 SISTEM PANAS BUMI DAN SEJARAH PENGEMBANGAN DI INDONESIA
15
DAFTAR PUSTAKA
16
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 2 METODE PENYELIDIKAN GEOLOGI DALAM EKSPLORASI PANAS BUMI
BAB 2
METODE PENYELIDIKAN GEOLOGI DALAM EKSPLORASI PANAS BUMI
Oleh:
Mochamad Nur Hadi dan Robertus Simarmata
Gambar 2.1. Batas lempeng konvergen, divergen dan pergerakan sejajar (Perfit
dan Davidson, 2000)
17
Jalur gunung api sebagai sumber panas dikelompokkan menjadi dua tipe
yaitu; tipe monogenetik dan tipe poligenetik (Tabel 2.1). Gunung api monogenetik
artinya gunung tersebut sekali erupsi setelah itu mati tidak aktif lagi, sedangkan
poligenetik berarti mempunyai beberapa kali erupsi dari korok gunung api yang sama
sebelum akhirnya mati (Lockwood dan Hazlett, 2010). gunung api poligenetik meliputi
gunung api tipe perisai dan gunung api komposit atau strato. Gunung api
monogenetik bisa berupa satu tubuh gunung api yang terpisah atau beberapa tubuh
gunung api yang tersebar di sekitar gunung api poligenetik, termasuk kerucut
piroklastika (spatter, cinder, pumis atau abu), kubah gunung api dan perisai lava (lava
shield).
Tabel 2.1. Tipe gunung api (diresumekan dari Lockwood dan Hazlett, 2010)
Batuan vulkanik secara struktur terdiri dari tiga macam batuan, yaitu aliran
lava, intrusi, dan endapan vulkaniklastik (Agung Haryoko, 2012).
Aliran lava
Aliran lava menghasilkan batuan yang bersifat afanitik, dan umumnya dicirikan
oleh tekstur aliran atau tersusun oleh gelas vulkanik. Aliran lava bertipe basaltik lebih
umum dibandingkan dengan tipe yang lainnya. Aliran lava dapat dibagi menjadi
beberapa macam, seperti pahoehoe, aa, dan blocky. Lava pahoehoe umumnya
terbentuk oleh magma basalt dengan viskositas rendah. Sebarannya mencapai
beberapa kilometer dengan ketebalan 1 – 10 m. Lava aa merupakan lava basaltik,
lebih umum daripada lava pahoehoe, bentuk permukaannya runcing-runcing. Lava
18
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 2 METODE PENYELIDIKAN GEOLOGI DALAM EKSPLORASI PANAS BUMI
blok umumnya berasal dari magma asam, kaya akan SiO2 (seperti andesitik, dasitik,
atau riolitik). Magma dari lava ini umumnya lebih kental dari kedua jenis lava
sebelumnya. Lava yang kental ini biasanya mengalir pada jarak yang relatif pendek,
mulai beberapa ratus meter hingga beberapa kilometer. Pada kondisi tertentu, lava
riolitik atau kadang-kadang dasitik membentuk obsidian.
Intrusi vulkanik
Batuan vulkanik intrusif umumnya berbentuk sill atau dike dengan tekstur
afanitik atau porfiritik (porfiro afanitik). Struktur yang dijumpai biasanya berupa kekar
lembaran atau kekar tiang (columnar joint). Rentang batuan ini cukup luas, mulai dari
riolit yang bersifat asam, hingga basal yang sifatnya basa.
Endapan vulkaniklastik
Endapan vulkaniklastik terbentuk sebagai hasil erupsi gunung api yang
sifatnya eksplosif. Batuan hasil erupsinya ini umumnya terdiri atas fragmen-gragmen
dari yang ukurannya halus (tuf) sampai yang kasar (bom). Endapan hasil erupsi
eksplosif dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu endapan piroklastik yang
terdiri dari piroklastik aliran, piroklastik surge, dan piroklastik jatuhan serta endapan
epiklastik (hasil resedimentasi endapan piroklastik), yang terbentuk sesaat setelah
erupsi berlangsung, seperti endapan lahar. Secara umum, klasifikasi hasil erupsi
vulkanik dapat dilihat dibawah ini.
Studi sistem panas bumi membuktikan bahwa di daerah sabuk gunung api
terutama di lingkar Pasifik, sistem panas bumi berasosiasi dengan sistem gunung api
atau yang disebut sebagai volcanogenic geothermal system. Dalam pembentukan
sistem panas bumi, sistem gunung api memberi kontribusi berupa sumber panas
yang berasal dari dapur magma dangkal, batuan yang menjadi reservoir panas bumi
dan kemungkinan struktur gunung api yang mendukung terbentuknya zona
permeabel untuk jalan sirkulasi air panas bumi. Namun tidak semua gunung api
selalu menghasilkan sistem panas bumi. Oleh karena itu studi vulkanologi dan
petrologi akan memberikan manfaat yang besar di tahap awal eksplorasi terutama
dalam memilih area prospek panas bumi.
Duffield (1992) mengusulkan strategi dalam eksplorasi energi panas bumi di
daerah gunung api dengan konsep hubungan antra waktu, ruang, volume dan
komposisi (Time- Space-Volume-Composition (TSVC)) batuan gunung api di daerah
yang sedang disurvei (Muffler dan Dufield, 1994).
19
2.2. Metode Geologi
Penyelidikan geologi panas bumi meliputi tiga tahapan; yaitu studi literatur,
penyelidikan lapangan, dan analisis laboratorium.
2.2.1. Studi Literatur
Studi literatur dilakukan sebelum berangkat ke lapangan. Studi literatur
dilakukan untuk mempelajari/mengumpulkan data yang relevan dari hasil penyelidik
terdahulu yang digunakan sebagai pembanding terhadap hasil penyelidikan terakhir.
Target yang diharapkan dari studi literatur adalah menghasilkan kerangka berpikir
dan efisiensi cara kerja di lapangan yang lebih terarah. Beberapa hal yang biasa
dilakukan dalam studi literatur meliputi:
a. geologi regional, melakukan identifikasi, antara lain: satuan batuan
utama/formasi, struktur regional, tektonik dan vulkanisme
b. peta topografi, melakukan identifikasi, antara lain: bentang alam, kelurusan-
kelurusan topografi, pola dan daerah aliran sungai, tingkat erosi, lokasi
manifestasi, pencapaian lokasi, tata guna lahan.
c. foto udara/citra penginderaan jauh.
d. geografi, melakukan identifikasi, antara lain: batas wilayah administrasi,
kependudukan, tata guna lahan, iklim, budaya.
e. hasil penyelidikan terdahulu lainnya yang berhubungan dengan penyelidikan
kebumian daerah terkait.
20
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 2 METODE PENYELIDIKAN GEOLOGI DALAM EKSPLORASI PANAS BUMI
Gambar 2.2. Klasifikasi genetik dari endapan vulkanik (McPhie dkk., 1993).
21
Gambar 2.3. Beberapa contoh data sekunder untuk studi literature
22
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 2 METODE PENYELIDIKAN GEOLOGI DALAM EKSPLORASI PANAS BUMI
23
yang mewakili setiap satuan batuan. Conto batuan ubahan diambil untuk
mengetahui jenis mineral ubahan. Conto untuk penentuan umur batuan diambil
dari batuan vulkanik (ekstrusif) atau intrusif yang diperkirakan termuda.
6. Penentuan koordinat lokasi manifestasi dan conto batuan yang umumnya
menggunakan Global Positioning System (GPS) receiver dengan ketelitian yang
memadai dan diplot ke dalam peta kerja.
2.2.3. Analisis Laboratorium
Conto batuan yang diperoleh di lapangan selanjutnya dianalisis di
laboratorium. Analisis yang mungkin dilakukan di laboratorium terdiri dari beberapa
jenis seperti berikut ini.
1) Analisis petrografi batuan untuk mengetahui komposisi mineral penyusun batuan,
mineral ubahan dan penamaan batuan serta sejarah dan evolusi fluida dalam
bentuk paragenesa batuan.
2) Analisis geokimia batuan dengan metode X-Ray Fluoressence (XRF), bertujuan
untuk mengetahui jenis dan komposisi kimia batuan dan digunakan untuk
penamaan litologi, sejarah lingkungan terbentuknya batuan pada tatanan tektonik
geologi.
24
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 2 METODE PENYELIDIKAN GEOLOGI DALAM EKSPLORASI PANAS BUMI
3) Conto batuan ubahan yang sudah diseleksi kemudian dipersiapkan untuk analisis
Infra merah, bertujuan untuk mengetahui jenis mineral ubahan yang terbentuk
oleh proses hidrotermal, termasuk temperatur pembentukan mineral ubahannya,
sifat fluida yang mempengaruhi terjadinya hidrotermal tersebut. Ada beberapa
penentuan mineral ubahan yang dilakukan di laboratorium, seperti X-Ray
Diffraction (XRD) dan Spektra Analisis.
4) Melakukan pentarikhan umur absolut batuan antara lain dengan metode jejak
belah (fission track) atau dengan Carbon dating terhadap batuan terseleksi yang
diperkirakan paling muda (berumur Kuarter) dan diduga berkaitan dengan proses
pembentukan sistem panas bumi.
Gambar 2.5. Conto analisis batuan dengan petrografi, XRF dan XRD
2.2.4. Peralatan
Peralatan dan bahan yang dipergunakan dalam penyelidikan lapangan adalah
sebagai berikut :
a) kompas geologi,
b) altimeter,
c) Global Positioning System (GPS) receiver,
d) palu geologi,
e) loupe (perbesaran 20 kali),
f) meteran,
g) termometer,
h) larutan HCl,
i) kantong conto,
j) kamera,
25
k) buku catatan lapangan dan alat tulis, dan
l) alat keselamatan kerja
2.2.5. Data yang Dihasilkan
Penyelidikan lapangan dan analisis laboratorium menghasilkan data geologi
berupa:
a) lintasan pengamatan dan pengambilan conto batuan,
b) geomorfologi,
c) geologi, yang mencakup:
- jenis batuan,
- susunan stratigrafi,
- penyebaran batuan,
- penyebaran struktur geologi, dan
- manifestasi panas bumi.
d) Zonasi hidrologi,
e) model geologi panas bumi tentatif,
f) umur batuan
g) petrografi batuan
h) analisis batuan ubahan
26
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 2 METODE PENYELIDIKAN GEOLOGI DALAM EKSPLORASI PANAS BUMI
- Menghitung waktu tempuh lumpur pembilas dari mulai dihisap dari bak lumpur
sampai keluar di permukaan lubang bor (bottom-up time) berdasarkan dari debit
pompa lumpur dan volume total lubang bor.
- Mengukur temperatur dan debit lumpur pembilas baik yang masuk maupun yang
keluar di lubang bor berdasarkan bottom-up time yang ada.
27
Gambar 2.8. Pengukuran temperatur lumpur pembilas
- Menghitung volume dan mengamati sifat fisik lumpur pembilas (pH, viskositas
dll.) dalam sistim sirkulasi aktif, terutama untuk mengantisipasi kendala dalam
operasi pengeboran.
- Membuat litologi log/composite log sesuai pertambahan kedalaman sumur bor
yang memuat profil lubang sumur, data litologi dan ubahan, data hilang sirkulasi
(sebagian/total), parameter bor lainnya seperti ROP (Rate of Penetration) dan
data pengukuran temperatur lumpur pembilas.
28
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 2 METODE PENYELIDIKAN GEOLOGI DALAM EKSPLORASI PANAS BUMI
29
2.3.2. Analisis Laboratorium
Analisis laboratorium yang biasa dilakukan untuk menganalisa conto batuan
hasil pengeboran panas bumi adalah sebagai berikut:
- Analisis XRD dan Analisis Spectral
- Analisis Inklusi Fluida
- Analisis Petrofisik (Porositas dan Permeabilitas)
- Analisis Konduktivitas Panas
- Analisis Petrografi
2.3.3. Peralatan
Peralatan yang dipergunakan dalam Geologi Sumur antara lain:
- Laptop/computer
- GPS
- Mikroskop binocular/lup
- Saringan untuk serbuk bor
- Kotak conto untuk inti bor
- Plastik conto
- Alat pengering
- Termometer
- Cairan HCl dan Fenolptaline
- Kamera
- Perlengkapan keselamatan kerja
- Alat-alat gambar, ballpoint, pensil warna
2.3.4. Data yang dihasilkan
Hasil yang didapat dalam Geologi Sumur antara lain:
- Litologi sumur bor
- Instensitas, Jenis dan tipe ubahan sumur bor
- Struktur Geologi Sumur bor
- Temperatur Lumpur Pembilas sumur bor
- Landaian suhu dari sumur bor
Data tersebut di atas diplotkan dalam bentuk composite log, yang dilakukan di
lapangan mengikuti kedalaman.
30
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 2 METODE PENYELIDIKAN GEOLOGI DALAM EKSPLORASI PANAS BUMI
DAFTAR PUSTAKA
Bronto, S., 2006, Fasies Gunung Api dan Aplikasinya, Indonesian Journal on
Geoscience, Badan Geologi.
Harijoko A., Warmada I.W, 2013. Studi Vulkanologi dan Petrologi dalam
Pengembangan Sumber Daya Panas Bumi, Universitas Gajah Mada.
Lockwood, J. P. dan Hazlett, R. W., 2010. Volcanoes: Global Perspectives. John
Wiley & Sons. 541p.
McPhie, J., Doyle, M., Allen, R., 1993. Volcanic Textures. Centre of Ore Deposit and
Exploration Studies. 196p.
Muffler, L.J.P., and Duffield, W.A., 1995, The Role of Volcanic Geology in the
Exploration for Geothermal Energy. Proceedings of the World Geothermal
Congress 1995, Vol. 2, 657-662.
Perfit, M. R. dan Davidson, J. P., 2000, Plate Tectonics and Volcanism. in
Sigurdsson dkk. (eds) Encyclopedy of Volcanoes.
Rogers, N. dan Hawkesworth, C. 2000, Composition of Magma. in Sigurdsson dkk.
(eds) Encyclopedy of Volcanoes.
Schmincke, H.-U., 2004, Volcanism, Springer, 324 p.
Wohletz, K. dan Heiken, G., 1992. Volcanology and Geothermal Energy, Berkeley:
University of California Press
31
32
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
BAB 3
METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
Oleh
Andri Eko Ari Wibowo dan Dedi Kusnadi
33
a. kegiatan pra lapangan,
b. kegiatan pengamatan dan pengukuran data manifestasi,
c. pengambilan conto air, gas, tanah, dan udara tanah,
d. kegiatan analisis laboratorium, dan
e. penyajian data.
3.2. Kegiatan Pra Lapangan
Kegiatan persiapan pra lapangan meliputi studi literatur, analisis data
sekunder, dan penyiapan peralatan dan pereaksi, serta penentuan titik ukur. Studi
literatur dan analisis data sekunder merupakan kegiatan pengumpulan dan analisis
data pustaka melalui identifikasi terhadap hasil penyelidikan terdahulu yang berkaitan
dengan geokimia, berdasarkan informasi geologi regional, peta topografi, foto udara,
citra satelit dan geografi daerah penyelidikan yang ada atau pernah dilakukan di
daerah yang akan diselidiki.
Penyiapan peralatan dan pereaksi dilakukan dengan cara kalibrasi peralatan
dan standarisasi pereaksi yang akan digunakan. Titik-titik ukur yang telah ditentukan
pada lokasi penyelidikan harus diketahui ketinggian dan koordinatnya. Terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan titik ukur.
1) Penentuan titik ukur harus memperhatikan kondisi geologi, keberadaan
manifestasi panas bumi, dan mempertimbangkan faktor kesulitan medan
(topografi).
2) Sebaran titik ukur dapat berbentuk kisi (grid) atau acak dengan spasi berkisar
antara 250 – 2000 m.
3) Penentuan titik ukur dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur topografi
yang dapat memenuhi akurasi ketinggian maksimal 1 meter dan akurasi koordinat
maksimal 5 meter, seperti Theodolit (T0), Laser Beam (Electronic Distance
Measurement), dan GPS (sistem diferensial).
4) Sistem koordinat titik ukur harus diproyeksikan ke dalam sistem koordinat
geodetik yang umum dipakai di Indonesia, misalnya Universal Traverse Mercartor
(UTM) - World Geodetic System (WGS) 84 dan Latitude/Longitute-WGS84
3.3. Pengamatan dan Pengukuran Data Manifestasi
Kegiatan ini meliputi pengamatan dan pengukuran jenis dan sifat fisik dari
manifestasi permukaan panas bumi.
3.3.1 Pengamatan Manifestasi
Pengamatan manifestasi antara lain dilakukan terhadap:
a) jenis manifestasi: tanah panas, tanah panas beruap, kolam lumpur panas, geyser,
mata air panas, fumarol, dan solfatara. Keterdapatannya pada suatu daerah
penyelidikan dapat langsung diamati di lapangan dengan kasat mata.
b) jenis endapan pada manifestasi seperti sinter karbonat, sinter silika, belerang,
dan oksida besi.
34
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
c) sifat fisika air yang muncul pada manifestasi dengan membedakan diantaranya:
rasa (tawar, asin, pahit, asam), bau (bau belerang/H2S) dan warna (jernih, keruh,
putih, dll).
3.3.2 Pengukuran Data Manifestasi
Data yang diukur pada manifestasi antara lain:
a) temperatur manifestasi dan udara di sekitarnya,
b) pH air,
c) debit air panas/dingin,
d) daya hantar listrik (DHL) air panas/dingin,
e) koordinat dan ketinggian lokasi pengambilan conto,
f) kandungan CO2, CO, H2S, dan NH3 pada hembusan uap air, fumarol dan
solfatara,
g) Luas manifestasi.
3.4. Pengambilan Conto
Pengambilan conto dilakukan terhadap air, gas, tanah dan udara tanah.
3.4.1. Pengambilan Conto Air
Pengambilan conto air dilakukan terutama pada mata air panas, dan sebagai
pembanding dilakukan juga terhadap mata air dingin. Pengambilan conto air panas
dilakukan pada tempat di mana temperatur dan debitnya paling tinggi, sehingga
kontaminasi oleh lingkungannya dapat dihindari seminimal mungkin. Pengambilan
conto air dilakukan untuk dua tujuan, yaitu untuk analisis unsur dan analisis isotop
(18O dan 2H).
3.4.1.1. Peralatan dan pereaksi yang digunakan
a) botol poliethylene bervolume 500 ml, yang tahan terhadap asam, panas dan
korosif.
b) botol isotop 18O dan 2H bervolume 15 ml terbuat dari gelas atau plastik tahan
panas
c) syringe plastik tahan panas bervolume minimal 50 ml.
d) filter holder diameter 25 mm
e) kertas filter porositas 0,45 m
f) GPS Receiver, altimeter
g) stop watch
h) pH meter digital, kertas pH, konduktivitimeter
i) sarung tangan karet tahan panas
j) kamera
k) peta kerja
l) HNO3 1 : 1
35
3.4.1.2. Pengukuran parameter pada conto air di lapangan
a) temperatur manifestasi dan udara di sekitarnya, dengan menggunakan
thermocouple atau termometer maksimum (Gambar 3.1).
b) pH air, dengan menggunakan pH meter digital
c) debit air panas/dingin, dengan cara volumetri (V-notch meter)
d) daya hantar listrik (DHL) air panas/dingin, dengan konduktivitimeter
e) koordinat dan ketinggian lokasi pengambilan conto, dengan GPS Receiver
f) kandungan CO2, CO, H2S dan NH3 pada hembusan uap air, fumarol dan
solfatara, dengan detektor gas
g) luas manifestasi
36
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
b) botol yang akan digunakan untuk menyimpan conto isotop dibilas dengan
menggunakan conto air yang sudah disaring.
c) Botol conto diberi label sesuai lokasi pengambilan dan nomor conto.
37
j) kamera
k) peta kerja
l) NaOH 25%.
Gambar 3.3. Pengukuran gas dengan tube detector gas pada fumarol
38
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
Gambar 3.4. Pengambilan conto gas pada fumarol menggunakan tabung vakum
39
d) bor tangan,
e) sarung tangan,
f) kantong plastik,
g) peta kerja
3.4.3.2. Cara pengambilan conto tanah
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengambilan conto tanah.
a) harus dihindari tempat-tempat yang diperkirakan terkontaminasi zat-zat organik
seperti rawa, humus tebal, bekas bakaran, sawah
b) pada lokasi titik amat yang telah diukur koordinatnya dan diberi tanda (patok,
bendera) dilakukan pengambilan conto dengan bor tangan pada horizon B dan
pengeboran dilanjutkan sampai kedalaman sekitar 100 cm untuk keperluan
pengukuran temperatur dan pengambilan conto udara tanah (Gambar 3.5).
c) conto tanah yang diperoleh dikeluarkan dari mata bor dengan alat yang tidak
menyebabkan kontaminasi (sendok plastik, sendok gelas), untuk kemudian
didiskripsi antara lain jenis tanah, warna, besar butir, hubungan antara butir serta
kalau memungkinkan sifat fisik alterasinya
d) conto tanah diambil pada horizon B sekurang-kurangnya 200 gram untuk
dianalisis kandungan Hg dan pH, atau unsur lainnya
e) conto tanah yang diperoleh, dibagi 2 bagian. Satu bagian digunakan untuk
analisis pH dan satu bagian lainnya untuk analisis Hg atau unsur lainnya
f) selama penyimpanan dan pembawaan conto dari lapangan ke laboratorium,
harus dihindari kontak dengan temperatur tinggi (diusahakan temperatur tidak
lebih dari 27oC) untuk memcegah terjadinya penguraian dan penguapan sebagian
konsentrasi Hg.
Gambar 3.5. Pengeboran untuk mengambil conto tanah dan udara tanah
40
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
41
3.5. Analisis Laboratorium
Kegiatan laboratorium meliputi preparasi conto dan analisis unsur dengan
menggunakan metode konvensional dan/atau instrumen.
3.5.1. Preparasi conto
Conto sebelum dianalisis kandungan unsur-unsurnya perlu dipersiapkan mulai
dari penyusunan conto agar tidak terjadi kesalahan sistematis penyontohan dan
penyediaan duplikat untuk memantau presisi analisis kimia. Penyusunan conto
berikut duplikat dilakukan secara random dalam tempat yang tersedia (batch).
3.5.2. Analisis conto
Analisis untuk menentukan konsentrasi unsur-unsur dalam conto air, gas,
tanah dan udara tanah dilakukan di laboratorium. Beberapa parameter diukur di
lapangan, terutama pH, temperatur, daya hantar listrik, dan debit air.
3.5.2.1. Analisis air
Analisis unsur kimia air
Conto air yang diperoleh dari lapangan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.
Tata cara analisis air menggunakan beberapa metode yang telah distandarkan
seperti tercantum pada Tabel 3.1 dan conto perhitungannya seperti pada Tabel 3.2.
42
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
43
Tabel 3.2. Contoh penghitungan temperatur bawah permukaan
Geotermometer
Persamaan Geotermometer
Gas
T CO2-H2S
ToC = 194.3 + 56.44 log H2S +1/6 log CO2
(Nehring&D'Amore)
T CO2-H2
ToC = 190.3 + 55.97 x (log H2 + 1/2 CO2)
(Nehring, 1983)
CO2-CH4
Log (CO2 /CH4) = (1.29 - 0.003) ToC + 853/ToC
(Taran, 1986)
44
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
Gambar 3.7. Analisis isotop 18O dan 2H air (Foto Sabtanto, 2015)
45
a) conto tanah dikeringudarakan atau diangin-angin pada temperatur kamar, hindari
penjemuran dibawah matahari agar tidak terjadi penguapan unsur Hg.
b) conto tanah kering dihaluskan dengan menggunakan penumbuk dan lumpang
porselin untuk melumatkan butiran-butiran yang menggumpal. Dalam hal ini
conto-conto tidak boleh digerus, sebab penggerusan dapat mengakibatkan
penurunan konsentrasi unsur.
c) lumpang dan penumbuk porselin harus selalu dibersihkan untuk setiap
penghalusan conto agar tidak terjadi kontaminasi silang antar conto.
d) conto-conto diayak dengan saringan berukuran 80 mesh agar homogenisasi
fraksi tercapai.
e) sisa conto yang tidak tersaring pada saringan berukuran 80 mesh disimpan
sebagai arsip.
f) randomisasi conto dilakukan terhadap conto dan duplikat. Duplikasi dilakukan
minimal untuk setiap kelipatan 10 conto. Ini dilakukan untuk mengevaluasi presisi
analisis.
46
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
47
Tabel 3.3. Contoh data lapangan dari manifestasi.
Nama Lokasi
Koordinat X= Y= Z=
Desa
Kecamatan
Kabupaten
Propinsi
Diamati: tanggal
jam
Sandi/ No. Conto
Jenis manifestasi
Keadaan cuaca setempat
Temperatur udara setempat (oC)
Temperatur manifestasi (oC)
Tekanan Udara (hPa)
Debit air (l/det)
Warna air
Bau
Rasa
PH
Daya Hantar Listrik
Jenis pengeluaran gas H2S/NH3/CO/CO2/Uap air *)
Endapan air panas Sinter karbonat/sinter silika *)
Jenis manifestasi Air panas/Tanah panas/fumarol *)
Luas daerah manifestasi (m2)
Keterangan:
*) coret yang tidak perlu
SKETSA LOKASI MANIFESTASI
48
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
Tabel 3.4. Contoh tabel data lapangan pengambilan conto Hg tanah & CO2
udara tanah
--------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal : Hari: Jam:
Lokasi : ……………………………………………………..
Lintasan : …………………………………………………..…
Koordinat : X= ………………Y=……………Z=……………..
Tekanan Udara (hPa): ……………………………………………………..
Cuaca : …………………………………………………….
Temperatur udara (oC) : ………………………………………………
Temperatur lubang ( C) : ………………………………………………
o
49
Tabel 3.5. Contoh tabel data hasil analisis air
Nomor/Kode Conto
Jenis Conto
Koordinat X= Y= Z=
T manifestasi (oC)
Warna air
Rasa
Debit Air
PH
SiO2(mg/L)
Al (mg/L)
Fe(mg/L)
Ca(mg/L)
Mg(mg/L)
Na(mg/L)
K(mg/L)
Li(mg/L)
As(mg/L)
NH4 (mg/L)
B(mg/L)
F(mg/L)
Cl(mg/L)
SO4 (mg/L)
HCO3 (mg/L)
CO3 (mg/L)
50
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
51
Tabel 3.7. Contoh tabel data hasil analisis gas.
Nomor/Kode Conto
Jenis Conto
Koordinat X= Y= Z=
T manifestasi (oC)
CO2 (% mol)
H2S (% mol)
SO2 (% mol)
NH3 (% mol)
HCl (% mol)
H2 (% mol)
N2 (% mol)
O2 (% mol)
Ar (% mol)
CH4 (% mol)
CO (% mol)
H2O (% mol)
52
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
Tabel 3.8. Contoh tabel data hasil analisis tanah & udara tanah.
53
Gambar 3.8. Contoh diagram segitiga Cl-SO4-HCO3.
Diagram Segitiga Cl-SO4-HCO3 ini mengacu kepada Giggenbach (1988), untuk
mengetahui jenis tipe air panas yang dianalisis, dengan menggunakan rumus seperti
berikut:
% Cl = 100 x (Cl)/S dan % SO4 = 100 x (SO4)/S, dimana S = Cl+SO4+HCO3
konsentrasi Cl, SO4, dan HCO3 masing-masing dimasukkan dalam rumus tersebut
dalam satuan mg/L.
54
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
55
Gambar 3.10. Contoh diagram segitiga Cl/100-Li-B/4.
56
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 3 METODE PENYELIDIKAN GEOKIMIA
Daftar Pustaka
Arnorsson, S., and Gunlaugsson, E., 1983, New Gas Geothermometers For
Geothermal Exploration Calibration And Application, Geochimica et
Cosmochimica Acta Vol. 49, pp 1307-1325.
Fournier, R.O., 1981. Application of Water Geochemistry Geothermal Exploration and
Reservoir Engineering, Geothermal System: Principles and Case Histories,
John Willey & Sons. New York.
Fournier, 1991, Geochemistry in Geothermal Exploration and Production, U.S.
Geological Survey, Menlo Park, CA 94025
Giggenbach, W.F., 1988, Geothermal Solute Equilibria Deviation of Na-K-Mg-Ca
Geo- Indicators, Geochemica Acta 52. pp. 2749 – 2765.
Giggenbach, W.F., and Goguel, 1988, Methods for the Collection And Analysis Of
Geothermal And Volcanic Water And Gas Samples, Petone New Zealand.
Giggenbach, W., Gonfiantini, R., and Panichi, C., 1983, Geothermal Systems,
Guidebook on Nuclear Techniques in Hydrology, Technical Reports Series No.
91. International Atomic Energy Agency, Vienna.
Gonviantini, R., 1981, Determination of Isotope Composition of Natural Water, Stable
Isotope hydrology, D and 18O in the water Circle. Technical Report series No.
210 IAEA p. 60-69.
Kooten, V., and Gerald, K., 1987, Geothermal Exploration Using Surface Mercury
Geochemistry, Journal of volcanology and Geothermal Research, 31, 269-
280.
Lawless, J., 1995, Guidebook: An Introduction to Geothermal System, Short course,
Unocal Ltd. Jakarta.
Mahon, K., Ellis, A.J., 1977, Chemistry and Geothermal System. Academic Press Inc.
Orlando.
Marini, L., 2001, Geochemical Techniques for the Exploration and Exploitation of
Geothermal Energy, Dipartimento per lo Studio del Territorio e delle sue
Risorse, Università degli Studi di Genova, Italy.
Nicholson, K., 1993, Geothermal Fluids; Chemistry and Exploration Techniques,
Springer-Verlag, Berlin.
SNI 06-1133-1989, Cara Uji Kadar Mangan.
SNI 06-2413-1991, Metode Pengujian Kualitas Fisika Air.
SNI 06-2426-1991, Metode Pengujian Sulfat Dengan Alat Spektrofotometer Serapan
Atom.
57
SNI 06-2427-1991, Metode Pengujian Kalium Dengan Alat Spektrofotometer Serapan
Atom.
SNI 18-6009-1999, Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi Di Indonesia.
SNI 06-2428-1991, Metode Pengujian Natrium dalam Air dengan Alat
Spektrofotometer Serapan Atom.
SNI 06-2429-1991, Metode Pengujian Kalsium Dengan Titrimetrik EDTA.
SNI 06-2430-1991, Metode Pengujian Magnesium Dengan Titrimetrik EDTA.
SNI 06-2431-1991, Metode Pengujian Khlorida Dengan Argentometrik Mohr.
SNI 06-2470-1991, Metode Pengujian Kadar Sulfida Dengan Alat Ion Selektif Meter.
SNI 13-6169-1999, Metode Estimasi Potensi Energi Panas Bumi.
SNI 06-2477-1991, Metode Pengujian Kadar Silika Dengan Alat Spektrofotometer
Secara Molibdat Silikat.
SNI 06-2479-1991, Metode Pengujian Kadar Amonium Dengan Alat Spektrofotometer
Secara Nessler.
SNI 06-2481-1991, Metode Pengujian Kadar Boron Dengan Alat Spektrofotometer
Secara Kurkumin.
SNI 06-2482-1991, Metode Pengujian Kadar Fluorida Dengan Alat Spektrofotometer
Secara Alizarin Merah.
SNI 06-2523-1991, Metode Pengujian Kadar Besi Dengan Alat Spektrofotometer
Serapan Atom Secara Langsung.
SNI 06-2912-1992, Metode Pengujian Kadar Merkuri Dalam Air Dengan Alat
Merkurimeter.
SNI 06-2913-1992, Metode Pengujian Kadar Arsen Dalam Air Dengan Alat
Spektrofotometer Serapan Atom Secara Natrium Borohidrida.
SNI 06-6596-2001, Perlakuan Conto Air Untuk Analisis Logam Dengan
Spektrofotometer Serapan Atom (SSA).
SNI 13-6983-2004, Prosedur Pelaksanaan Dan Pelaporan Dalam Penyelidikan
Pendahuluan Dan Penyelidikan Pendahuluan Lanjutan Panas Bumi.
Taran, Y.A., 1986, Gas Geothermometers for hydrothermal Systems, Geochemistry
International Vol. 23 No.7, 111-126.
Wohletz, K. and Heiken, G, 1992, Volcanology and Geothermal Energy, University of
California Press, Berkeley, 435 pp.
58
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
BAB 4
METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
Oleh
Ahmad Zarkasyi dan Tony Rahadinata
59
Gambar 4.1. (a) Rangkaian listrik sederhana dan (b) ilustrasi resistansi
Resistansi merupakan fungsi dari sifat material dan geometri, untuk
mendapatkan karakteristik dari suatu material maka resistasi dinormalisasi terhadap
geometri sehingga menjadi resistivitas (ρ). Prinsip kerja dengan metode resistivitas,
arus listirk baik arus searah atau arus bolak-balik yang berfrekuensi rendah, dialirkan
ke dalam bumi melalui dua elektroda (Gambar 4.2), yaitu elektroda arus (A dan B)
dan distribusi potensial yang dihasilkan diukur dengan dua elektroda lainnya (M dan
N) yang dinamakan elektroda pengukur (potensial).
60
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
A2 I
V1 dimana A2 A1
r2 2
Dengan demikian akan didapatkan :
I 1 1
V1 V2
2 r1 r2
Dengan cara yang sama dilakukanlah penurunan di atas terhadap elektroda
potensial P2, sehingga pada akhirnya dapat diukur perbedaan potensial antara P1 dan
P2, yaitu:
I 1 1 1 1
V
2 r1 r2 r3 r4
atau dapat ditulis
1
1 1 1 1 V V
2 K
r1 r2 r3 r4 I I
Keterangan:
ΔV= Beda potensial P1 dan P2 (Volt) I= arus (ampere)
r1, r2, r3, r4= Jarak elektroda potensial terhadap elektroda arus (meter)
K= Faktor geometri
Dengan demikian, dalam metode tahanan jenis bumi, arus listrik searah atau
arus listrik bolak-balik berfrekuensi rendah, dialirkan ke dalam bumi melalui
elektroda-elektroda arus, dan distribusi potensial yang dihasilkan diukur dengan
elektroda lainnya yang dinamakan elektroda pengatur atau elektroda potensial.
Peralatan yang digunakan dalam pengukuran Tahanan jenis arus searah
adalah umumnya berupa:
Multimeter Poly Recorder untuk pembacaan arus dan tegangan,
Transmitter arus,
Porous pot,
Sumber arus (accu),
Elektroda Arus,
Kabel Arus.
Data yang diperoleh dari metode tahanan jenis arus searah adalah informasi
bawah permukaan berupa peta sebaran titik ukur, peta sebaran tahanan jenis semu
dan model tahanan jenis bisa inversi 1 dimensi atau 2 dimensi.
61
352000 PETA TAHANAN JENIS SEMU AB/2 = 1000 M
DAERAH PANAS BUMI DOLOK MARAWA
0 KAB. SIMALUNGUN, PROV. SUMATERA UTARA
40
U
A 5500
351000
Batu Holing A 5000
A 4500
400
A 4000
B 5500
A 3500
B 5000
350000 0 500 1000 1500
A 3000 B 4500
314
A 2500 Keterangan
100
A 2250 B 3800 < 25 ohm - m
n
A 2000
atu
50
25
400
25 s/d 50 ohm - m
S.T
B 3200
50
349000 Bahoan 50 s/d 100 ohm - m
B 2500
0
B 2100 40 > 100 ohm - m
C 4000 S.Puluna
D 5500 25 Kontur tahanan jenis semu
B 1500 C 3500
Bukit Tinggi Raja D 5000 Jalan
806
C 3000
348000 D 4500
C 2500 100 Sungai
Dolok Marawa
D 4000 E 5500 Mata air panas
C 2000100
25
400 D 3500 E 5000
C 1500 Kontur topografi
DOLOK SILAU
D 3000 E 4500
50 D 2500 Kampung
C 500 C 1000
347000 E 4000
60 D 2000 Peta indeks
500
0
70 E 3500
0 50 Kota Pari
Medan
Bukit Bahtopu E 3000 3º30'
Binjai
Lubuk Pakam
Kutacane
E 2500 Bangunpurba
Tebing Tinggi
400
Sibolangit
k
80
Asahan
90
gin
Dolokmerawan
0
ak
Laubaleng Kabanjahe
An
al
Saran Padang
Pematangsiantar
3º
B
S.
gin
Merek
Dolok Seribu Bangun Begrun Tigadolok
ian
DANAU TOBA
Sinikalang
S.S
Rundeng
Sabulus Salam Tomok
Pangururan Lumbanjulu
Salak Tete
2º30'
Butar Mogang Porsea
345000 Lipat Kajang
98º 98º30' 99º 99º30'
473000 474000 475000 476000 477000 478000 479000 480000 Lokasi penyelidikan
43 36
-300 -300
51 26
-500 44 28 -500
METER
METER
D-2000 D-2500
D-3000 D-3500 D-4000 D-4500 D-5000 D-5500
400 338
400
722
9 232 193 211 488
29 456
200 136 200
15 64 96 130 139 212
30
0 38 82 77 84 63 110 0
23 140 104 66 69
-200 203 154 39 -200
138 42
-400 -400
METER METER
E-2500 E-3000 E-3500 E-4000 E-4500 Keterangan
400 E-5000 E-5500 400
67 120
382
269 423 < 25 ohm - m
388
200 93
455
200
60 71 175 172
145 25 s/d 50 ohm - m
199
0 55
125
87 72
80 0 50 s/d 100 ohm - m
68 62
54 72 83
-200 -200 > 100 ohm - m
Gambar 4.3. Peta dan penampang tahanan jenis hasil survei tahanan jenis arus
searah
4.2. Metode Gaya Berat
Teori yang mendasari metode gaya berat adalah hukum Newton yang
menyatakan bahwa setiap bagian suatu benda akan menimbulkan gaya tarik menarik
terhadap bagian lain yang besarnya sama dengan hasil kali massa-massa dan
berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua massa. Besarnya gaya tarik
antara dua partikel bermassa m1 dan m2 diberikan oleh persamaan:
62
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
m m
F 21 2 r (1)
r
Keterangan:
F = gaya tarik menarik antara 2 benda m1 dan m2 (Newton)
= konstanta gaya berat (6.67 x 10-11 m3/kgs2)
m1, m = massa 1 dan massa 2 (kg)
r = vektor satuan berarah m2 ke m1
R = jarak antara massa 1 dan 2 (m)
Gaya tarik bumi terhadap suatu massa yang berada di luar bumi
menyebabkan massa dipercepat secara vertikal ke bawah. Percepatan yang dialami
suatu massa (m2) akibat tarikan massa lain, dalam hal ini bumi (m1) dalam jarak r
dikenal sebagai percepatan gravitasi yang dinyatakan sebagai:
F
g (m/s2) (2)
m2
Jika persamaan (2) dimasukkan ke dalam persamaan (1) maka akan
diperoleh persamaan percepatan gravitasi gaya berat:
F m21 r
(3)
r
Percepatan g sebanding dengan gaya gravitasi persatuan massa terhadap
m1 (Telford, dkk., 1990).
Koreksi anomali gaya berat
a. Gaya berat normal
Rotasi bumi menimbulkan percepatan sentrifugal yang arahnya berlawanan
dengan percepatan gravitasi bumi. Bentuk bumi yang mengalami pemepatan
menyebabkan percepatan gravitasi bumi akan terukur lebih besar di daerah kutub.
Tahun 1967 International Association of Geodesy merumuskan suatu formula yang
sudah memperhitungkan faktor-faktor yang disebabkan percepatan sentrifugal dan
bentuk bumi. Formula tersebut diberikan pada persamaan:
(4)
Keterangan:
g0 = Gaya Berat normal pada lintang λ ( mGals),
λ = sudut lintang (derajat)
63
b. Koreksi udara bebas atau Free Air Correction (FAC)
Percepatan gravitasi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak kedua massa
sehingga perbedaan ketinggian terhadap bidang datum (mean sea level, msl) akan
mempengaruhi nilai percepatan gravitasi. Koreksi ini bertujuan untuk mereduksi
pengaruh elevasi terhadap data yang diakuisisi (Gambar 4.4).
Dengan menganggap bentuk bumi sebuah ellipsoid dan massa terkonsentrasi
pada pusatnya, nilai gaya berat pada msl adalah:
M
g0 G (5)
R2
Sedangkan nilai gaya berat pada titik dengan ketinggian h (meter) di atas msl
adalah:
M M 2h
g G G 1
h (6)
R h2 R 2 R
Perbedaan nilai gaya berat antara yang terletak di msl dengan titik h adalah
koreksi udara bebas (free air correction, FAC) yang diberikan pada persamaan
(Reynolds, 1977):
2g h
g F g 0 g h 0
R
Keterangan: R = 6.37 x 106 m, g = 9817854.5 mGal
Besarnya FAC jika ketinggian bertambah 1 meter adalah
dG
d R = 0.3086 mGal/meter
Koreksi udara bebas di darat pada ketinggian h meter dengan asumsi bahwa bumi
adalah ellipsoid diberikan oleh persamaan:
FAC 0.3086 .h (mGal) (7)
64
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
65
g 2G ( H R H 2
R2 ) (10)
Dimana, R = radius piringan (m)
ρ = densitas piringan (gr/cm3)
H =ketebalan piringan (m)
Persamaan ini digunakan untuk menghitung nilai gaya berat pada cincin
silindris pada Gambar 4.7. Nilai gravitasi dari setiap kompartemen diperoleh dengan
menggunakan persamaan 11 (dalam satuan meter).
2G
TC (rL rD ) rL2 z 2 rD2 z 2 (11)
n
Keterangan:
n = jumlah kompartemen dalam zona tersebut
z = perbedaan elevasi rata-rata kompartemen dan titik pengukuran (m)
rL, rD = radius luas dan radius dalam kompartemen (m)
ρ = densitas batuan rata-rata (gr/cm3)
Gambar 4.7. Cincin silindris melingkar, terbagi menjadi delapan segmen untuk
menghitung koreksi medan (Robinson 1998)
e. Koreksi Pasang Surut (Tidal correction )
Koreksi yang disebabkan pengaruh gaya tarik yang dialami bumi akibat massa
bulan dan matahari. Untuk menghilangkan efek gaya berat benda-benda tersebut,
pada prakteknya sebagian besar dikembangkan dari persamaan teoritis oleh
Longman (1959) berikut ini
2
TD
3GM m r
3
Dm
2
3 cos m1
3 GM m r
2 Dm 4
3
5 cos m3 cos m
GM s r
Ds
3
3
3 cos s 1 (12)
Keterangan:
G = konstanta gravitasi (6.67 x 10-11 m3/kgs2), R = jari-jari bumi (m)
Ms dan Ms= massa matahari dan bulan (kg), Ds dan Ds= jarak matahari-bulan (m)
αs dan αs=sudut geosentris matahari dan bulan (derajat).
66
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
67
Data yang Dihasilkan
Penyelidikan gaya berat menghasilkan informasi bawah permukaan yang
disajikan dalam bentuk peta dan penampang (Gambar 4.8). Data yang dihasilkan
dari metode gaya berat dapat berupa peta anomali bouguer, bouguer regional,
bouguer sisa dan penampang model 2D/3D.
Gambar 4.8. Peta anomali Bouguer, regional, residual dan model 3D hasil survei
gaya berat
4.3. Metode Geomagnet
Anomali magnetik adalah variasi medan magnet bumi sebagai respon dari
variasi kerentanan magnet batuan (kerentanan magnetik/suseptibilitas, k) di dekat
permukaan. Prinsip dasar dari anomali magnet berasal dari gaya magnet yang
ditimbulkan oleh dua muatan m1 dan m2 yang terpisah dengan jarak r, maka besar
gaya magnetnya adalah
68
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
1
F m21 m2 r
Newton (2.20)
r
Keterangan:
F =gaya magnet di m2 (Newton) µ = permeabilitas magnet medium (SI)
m1, m2 = muatan 1 dan 2 (Coulomb) r= jarak m1 ke m2 (meter)
r =vektor satuan dari m1 ke m2
sedangkan kuat medan magnet H, di titik m2
1
H m21 r (Tesla) (2.21)
r
Benda yang berada dalam area medan magnet H, akan mengalami polarisasi
magnet yang besarnya:
M k H (Tesla) (2.22)
M ini biasa disebut intesitas magnet dengan k (satuan SI) adalah kerentanan
magnet yang mencerminkan sifat fisis kemagnetan batuan. Dalam eksplorasi magnet,
nilai k dan geometri benda menjadi target utama. Medan magnet yang terukur
dipermukaan mengasumsikan medan magnet remanen dan luar bumi tidak ada.
Medan magnet yang terukur di permukaan besarnya adalah B yang ditulis dengan
persamaan:
B 1 k H H M (2.23)
o 0
Dimana B adalah induksi magnet, µ0 adalah permeabilitas ruang hampa dan
µ=(1+k) adalah permeabilitas relatif, sehingga induksi magnet B ditulis:
B H (2.24)
o
Dari persamaan (2.23), jika medan magnet remanen dan luar bumi diabaikan,
maka medan magnet total yang terukur adalah penjumlahan medan magnet utama
bumi (H) dan variasinya (M). M adalah anomali magnet yang diamati dalam
eksplorasi magnet.
Secara teoritis, medan magnet utama bumi disebabkan oleh sumber dari
dalam dan luar bumi. Medan magnet dari dalam bumi diduga dibangkitkan oleh
perputaran aliran arus dalam inti bagian bagian luar bumi yang bersifat cair dan
konduktif (Sharma, 1997). Medan magnetik utama bumi H (Gambar 4.9) dapat
diuraikan menjadi komponen vertikal Z dan horizontal H dengan komponen horizontal
x ke utara dan y ke arah timur (Telford, 1991).
69
Gambar 4.9. Komponen-komponen medan magnet
H H x iˆ H y ˆj H z kˆ
(2.25)
Intesitas komponen horizontal medan utama magnet bumi dinyatakan dengan
H hz H x2 H y2
1/ 2
(2.26)
Sedangkan intensitas medan magnet utama bumi dinyatakan dengan
H H x2 H y2 H z2 1/ 2
(2.27)
Sudut yang dibentuk medan magnet utama dengan bidang horizontal disebut
sudut inklinasi sedangkan sudut penyimpangan komponen horizontal dengan
terhadap arah utara geografis disebut deklinasi. Besar sudut inklinasi dan deklinasi
magnet adalah sebagai berikut.
Hz Hy
I arctan 2 2 dan D arcsin 2 2
Hx Hy Hx Hy
(2.28)
Dimana I=sudut inklinasi dan D= sudut deklinasi keduanya dalam derajat.
Model matematis dari medan magnet utama bumi, inklinasi dan deklinasi di
ambil dari IGRF (International Geomagnetic Reference Field) yang selalu
diperbaharui setiap 5 tahun sekali. Gambar 4.10 sampai dengan Gambar 4.12
adalah model IGRF yang dikeluarkan dari data satelit pada tahun 2005.
70
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
71
Medan magnet yang terukur di permukaan selain medan magnet bumi yang
bersumber dari dalam bumi juga dari luar bumi. Medan external ini adalah medan dari
luar atmosfer bumi tepatnya diasosiasikan dengan adanya arus listrik dalam lapisan
ionosfer dan juga berhubungan dengan aktivitas matahari. Medan dari luar ini yang
terukur dipermukaan hanya sekitar 1% sehingga dapat diabaikan dalam eksplorasi
magnet. Perubahan nilai magnet akibat aktivitas ini biasa disebut variasi harian
magnet.
Anomali magnet total bumi merupakan medan yang dibangkitkan oleh anomali
atau batuan termagnetisasi pada kerak bumi akibat induksi medan magnetik utama
bumi. Anomali medan magnet total dihitung dari pengukuran medan magnet total
dikurangi medan magnet utama bumi (menggunakan model dari IGRF) dan variasi
harian magnet. Peralatan yang digunakan dalam pengukuran geomagnet adalah
umumnya berupa: magnetometer untuk pembacaan nilai medan magnet, dan GPS
untuk penentuan lokasi.
Data Yang Dihasilkan
Penyelidikan geomagnet menghasilkan informasi bawah permukaan yang
disajikan dalam bentuk peta dan penampang (Gambar 4.13).Data yang dihasilkan
dari metode geomagnet dapat berupa peta intensitas medan magnet total dan
penampang model 2D/3D.
Gambar 4.13. Peta intensitas magnet total dan pemodelan 3D hasil survei
geomagnet
72
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
73
Utara
X
Ey
Y
Ex
Coi l Hz
Coi Hy
l Hx Coi l
Z
Gambar 4.14. Konfigurasi pengukuran medan listrik dan medan magnet
Tensor Impedansi (Z)
Impedansi (Z) merupakan salah satu besaran yang menunjukan sifat medium
untuk mendeskripsikan resistensi terhadap induksi medan elektromagnetik.
Impedansi merupakan tensor yang menghubungkan medan listrik dengan medan
magnet. Untuk gelombang elektromagnetik yang terpolarisasi bidang dengan
komponen medan listrik dan magnet , maka besaran medan
listrik (E) dapat dinyatakan dalam besaran Impedansi (Z) dan medan magnet (H)
sebagai berikut :
E X Z XX H X Z XY H Y
EY ZYX H X ZYY HY
Dalam bentuk matrik:
(1)
74
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
Gambar 4.15. Struktur 1-d dengan besaran impendasi pada masih masing
lapisan
75
(5)
Kasus struktur 2-dimensi (2D)
Pada kasus 2-D dengan kondisi resistivitas bervariasi baik dalam arah
vertical maupun salah satu arah horizontal (arah x atau arah y), besar medan listrik
dan medan elektromagnet dipengaruhi oleh arah pengukuran yang dilakukan
terhadap arah jurus atau strike. Oleh karena itu, pada kasus ini gelombang
elektromagnetik dapat didekomposisi menjadi dua jenis polarisasi atau modus, yaitu
mode Transverse Electric (TE) dan Transverse Magnetic (TM). Modus TE
didefinisikan jika medan listrik searah jurus/strike sedangkan modus TM
didefinisikan jika medan listrik tegak lurus strike/jurus. Gambar 4.16 menunjukan
arah strike/jurus dan kaitannya dengan modeus TE dan TM.Asumsi arah jurus
searah dengan arah x (Gambar 4.16), maka modus TE berkaitan dengan besaran
dalam komponen xy dan modus TM berkaitan dengan besaran dalam kompnen yx.
(8)
(9)
76
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
Analisis Dimensionalitas
Pada umumnya, struktur bawah permukaan merupakan struktur 3 dimensi.
Oleh karena itu, besaran impedansi untuk semua komponen tidak sama dengan
nol. Akan tetapi, kita dapat melakukan pendekatan melalui pemodelan 1 dimensi
atau 2 dimensi tergantung pada konsidi struktur di lapangan. Untuk menentukan
jenis struktur apakah 1D, 2D atau 3D, perlu dilakukan analisis dimensionalitas. Ada
beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan dimensionalitas,
diantaranya analisis beberapa parameter seperti elipticity, skew, alpha atau beta.
Phase tensor. Apabila hasil analisis menunjukkan bahwa datanya merupakan data
2D, maka tahap selanjutnya adalah menentukan arah jurus/strike.
Penentuan Arah Strike pada Struktur 2D
Beberapa metode sudah dikembangkan untuk menentukan arah jurus (strike)
diantaranya adalah dengan metode Swift (1960) dengan menghitung sudut yang
menghasilkan nilai maksimum dari:
2 2
Z ' xy Z ' yx
Yang memberikan solusi:
Z Z Z Z * Z Z * Z Z
xx yy xy yx xx yy xy yx
4 tan
1
2 2 (10)
Z xx Z yy Z xy Z yx
Arah strike yang dihitung memiliki ambiguitas sebesar 90o,
Statik Shift
Statik shift merupakan fenomena dimana terjadinya perubahan resistivitas
semu secara vertikal dalam kurva sounding. Fenomena ini disebabkan adanya
anomali konduktif kecil dipermukaan (inhomogeneties structures) yang menyebabkan
terjadinya pengumpulan muatan pada batas anomali tersebut. Adanya pengumpulan
muatan ini menyebabkan penurunanmedan listrik yang terukur sehinga akan
mempenagruhi impedansi yang terukur. Jika anomali ini berukuran besar, jauh lebih
besar dari skin depth, maka dalam hal ini, anomali tersebut tidak akan menyebabkan
efek statik shift dan dapat dimodelkan sebagai target dari pengukuran.
Ada beberapa cara untuk menghilangkan efek static ini,
a. Melakukan koreksi terhadap struktur dangkal dimana data responnya dapat
diperoleh dari pengukuran TDEM atau metode lain yang tidak terpengarush
efek ini.
b. Melakukan koreksi secara langsung dalam proses pemodelan inversi dimana
parameter efek static dilibatkan sebagai parameter pemodelan inverse.
Pengukuran dengan metode Remote reference
Untuk mendapatkan data yang lebih baik, pada umunya digunakan metode
pengukuran dengan remote refrence. Untuk membahas proses pengolahan data
77
dengan metode ini, diawali dengan proses pengolahan data dari time series (deret
waktu). Deret waktu dengan rentang yang sangat panjang dipartisi menjadi deret-
deret waktu yang pendek. Dari tiap partisi akan diperoleh estimasi impedansi pada
beberapa frekuensi. Perkalian tiap komponen medan elektromagnetik dengan
konjugat kompleksnya akan menghasilkan spektrum daya dan spektrum silang
sebagai berikut:
(11a)
(11b)
(11c)
(11d)
(11e)
(11f)
(11g)
(11h)
Persamaan-persamaan (24) terdiri dari spektrum-daya atau dan
spektrum silang dimana X dan Y adalah medan listrik atau medan magnetik
komponen-i atau –j.
Data pengukuran medan listrik dan magnetik selalu mengandung noise. Oleh
karena itu, komponen medan listrik dan magnetik hasil pengukuran bisa dituliskan
sebagai penjumlahan antara medan alami dan noise.
(12)
(13)
Dengan asumsi noise bersifat inkoheren (random dan independen terhadap
medan alam serta terhadap noise lain), maka spektrum daya dan spektrum silang
dapat ditulis:
(14)
(15)
(16)
Persamaan (27) dan (28) memperlihatkan bahwa spektrum daya mengandung
noise.Noise ini bisa mengakibatkan nilai hasil estimasi terbias. Persamaan-
persamaan (11a), (11b), (11e) dan (11f) mengandung spektrum daya komponen
medan listrik sehingga memberikan solusi yang bias atau terkontaminasi oleh
noise.
Nilai yang lebih akurat dapat dihasilkan dari persamaan (11c), (11d), (11g)
dan (11h) yang mengandung spektrum silang EH*.Namun demikian, persamaan-
persamaan tersebut masih mengandung spektrum daya komponen magnetik,
78
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
(18)
Dan persamaan (24g) dan (24h) memberikan nilai Zyy dan Zyx sebagai berikut:
(19)
(20)
79
Gambar 4.17. Peta tahanan jenis per kedalaman dan model 3D hasil survei AMT
dan MT
4.4.2. Metode Time Domain Electromagnetic (TDEM)
Metode TDEM (Time Domain Electro Magnetic) atau kadang disebut juga
dengan TEM (Transient Electromagnetic) adalah salah satu dari metode
elektromagnetik yang menggunakan sumber buatan, yaitu medan magnet
dibangkitkan dengan mengirimkan besaran arus tertentu melalui kawat dengan
konfigurasi lingkaran tertutup di permukaan bumi dan ketika arus tiba-tiba dimatikan
medan magnet mulai berubah meluruh terhadap waktu. Perubahan medan magnet ini
menginduksi sistem Arus Eddy (Eddy Current) pada material bumi, yang pada
akhirnya membangkitkan medan magnet sekunder sebagai fungsi waktu (transient).
Medan magnet sekunder inilah yang kemudian diukur di permukaan (dalam bentuk
tegangan transien) dan digunakan untuk menentukan resistivitas bawah permukaan.
Metode TDEM (Time Domain Electro Magnetic) atau kadang disebut juga
TEM (Transient Electro Magnetic) adalah salah satu metode geofisika yang
memanfaatkan medan elektromagnetik untuk mengetahui struktur tahanan jenis
bawah permukaan. Metode ini menggunakan sumber buatan dengan mengukur
peluruhan tegangan transien sebagai fungsi waktu.
Konfigurasi metode TDEM menggunakan sumber buatan berupa kumparan
berdiameter tertentu misalnya 100 m atau dipol listrik sepanjang 1-2 km, ujungnya
ditancapkan kedalam tanah dan sebuah kumparan (coil receiver) TDEM dengan
aliran arus tertutup (loop) biasanya untuk aplikasi dangkal (300-500 m) dan juga
digunakan untuk koreksi statik data MT, sedangkan penggunaan TDEM dengan dipol
arus (sering disebut LOTEM/Long Offset Transient Electromagnetic) biasanya
digunakan untuk aplikasi dalam (hingga 4-5 km) bukan untuk koreksi statik.
80
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
Keterangan:
, dan
= Luas area receiver coil
= Jumlah perputaran didalam receiver coil
= Luas area dari transmitting loop
= Jumlah perputaran didalam transmitter loop
= Waktu yang berjalan setelah arus pada transmitter dimatikan
81
= Permeabilitas magnetik
= Tegangan transien
= Jari-jari dari transmitter loop
= Arus pada transmitting loop .
Dengan mensubtitusi pada persamaan di atas, dihasilkan nilai tahanan
jenis sebagai berikut:
82
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
Gambar 4.19. Peta tahanan jenis per kedalaman dan penampang model hasil
survei TDEM
4.5. Survei Aliran Panas
Survei Aliran Panas ini dimaksudkan untuk memetakan aliran panas secara
vertikal dan horizontal pada daerah anomali dan daerah prospek di sekitar
manifestasi panas bumi dengan mengkaji morfologi, satuan batuan, pola struktur,
serta mempelajari semua parameter geologi yang berperan dalam pembentukan
sistem panas bumi. Suatu sistem panas bumi (hidrotermal) terdiri dari beberapa
parameter geologi, yaitu sumber panas, zona reservoir, zona penudung,
struktur/patahan, sumber fluida dan siklus hidrologi. Sumber panas yang dimaksud
adalah massa panas pada aliran fluida panas atau pembawa panas ke permukaan
yang akan berinteraksi dengan sistem air tanah bawah permukaan dan terperangkap
dalam zona reservoir yang permeabel.
83
Pada umumnya massa panas berbentuk aliran konduksi atau konveksi yang
berhubungan dengan kontak sentuh hasil kegiatan vulkanisme. Perangkap fluida
panas pada umumnya berupa lapisan batuan yang karena pengaruh tektonik atau
perubahan gaya gerak struktur geologi (sesar dan perlipatan) akan membentuk
rekahan-rekahan (fractures) sebagai permeabilitas batuan reservoir. Aliran fluida
panas muncul ke permukaan melalui suatu saluran yang dapat berupa struktur
geologi atau bidang perlapisan batuan, membentuk manifestasi panas bumi seperti
mata air panas, solfatara, dan fumarola, serta batuan ubahan hasil interaksi antara
fluida panas dengan batuan di sekitarnya.
Melalui penelitian aliran panas yang berdasarkan pada konsep geologi,
sumber daya panas bumi diharapkan dapat mendukung adanya anomali atau zona
prospek yang terbentuk dari suatu model geologi dan vulkanisme, model hidrotermal
dan sumber panas, sehingga dapat memberikan kontribusi dalam pembuatan model
sistem panas bumi dan penajaman lokasi daerah prospek dalam program untuk
pengembangan energi panas bumi.
Peralatan yang digunakan dalam pengukuran aliran panas adalah umumnya
berupa: Perangkat Pemboran Tangan (Hand Auger maksimum 10 meter),Global
Positioning System (GPS) receiver dan altimeter,Palu geologi,Meteran (10
meter),Termometer maksimum dan Thermocouple, sertaprobe 10 meter.
Data yang Dihasilkan
Penyelidikan aliran panas dapat menghasilkan data berupa kontur-kontur hasil
penyelidikan aliran panas (Gambar 4.20), diskripsi geologi sumur 5 meter s.d. 10
meter yang mencakup jenis batuan, ubahan, soil dan pengambilan conto, manifestasi
panas bumi di sekitarnya, model geologi panas bumi tentatif, dan analisis
laboratorium Thermal conductivity, PIMA (Portable Infrared Mineral Analyzer) dan
atau petrografi batuan.
84
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
Gambar 4.20. Peta sebaran konduktifitas panas hasil survei aliran panas
4.6. Logging Suhu Pada Sumur Landaian Suhu
Pengukuran T-logging dimaksudkan untuk mendapatkan data temperatur di
dalam sumur sehingga diperoleh gambaran temperatur bawah permukaan yang
85
aktual. Probe temperatur logging dikalibrasi terlebih dahulu di Balai Kalibrasi Dan
Pengkajian Logam Industri LIPI.
Pemboran sumur eksploitasi didasarkan pada parameter gradient geotermis,
dengan ketentuan setiap pertambahan kedalaman 100 meter, akan terjadi kenaikan
temperatur sebesar 3 °C. Apabila pada penambahan kedalaman 100 m tersebut
kenaikan temperatur melebihi 3 °C, maka daerah ini dapat dikatakan mempunyai
anomali temperatur yang tentunya berhubungan dengan fluida panas bumi yang
terdapat di bawahnya.
Anomali temperatur tersebut merupakan salah satu menyebab terbentuknya
batuan ubahan hidrotermal yang mempunyai intensitas yang bervariasi sesuai sistim
rekahan, jauh dekatnya batuan reservoir, jenis fluida panas bumi (uap/air panas) dan
parameter lainnya. Pada batuan akan terlihat mineral ubahan hidrotermal terbentuk
oleh proses ubahan seperti argilitisasi, karbonatisasi dan proses ubahan lainnya.
Secara teoritis pengukuran logging dilakukan oleh karena adanya sumber
panas yang mengalir kepermukaan melalui rekahan atau fracture, kemudian masuk
kedalam aliran air bawah permukaan sehingga terpanaskan secara konduksi ataupun
secara konveksi. Pengukuran suhu ekstrapolasi (static formation temperature test),
dilakukan dengan sistem “Temperatur Tracient Analyze” dan metode “Horner Plot”
(Menzeis A.J, Roux at all, 1979). Menurut sistem tersebut diatas, suhu formasi pada
kedalaman tertentu dapat dihitung apabila persyaratan berikut dipenuhi: dilakukan
pengukuran data pengamatan kenaikan suhu pada kedalaman tertentu secara
berulang pada waktu berbeda beda, setelah mengalami pendinginan pada waktu
pemboran dan sirkulasi pemboran berlangsung. Dengan asumsi keadaan formasi
homogen, baik secara lateral ataupun vertical, panas Jenis formasi tetap. Suhu yang
diukur adalah panas yang mengalir secara konduksi hanya pada arah radial.
Suhu formasi dapat dihitung dengan rumus seperti dibawah ini,
Ti = Tws + ( m x Tdb )
Keterangan:
Ti = suhu formasi ( oC )
Tws = Suhu yang diperoleh dari ekstrapolasi data pada harga
= ( t + t / t ) = 1
m = Slope ( oC/cycle)
Tdb = Thermal correction factor yang hubungannya dengan dimensi
waktu sirkulasi ( Tcd )
Tcd = t x K / ( Cp . . r 2 )
t = Waktu pendinginan formasi (dihitung sejak tembus
formasi sampai stop sirkulasi)
K = Thermal conductivity formasi
ρ = density formasi
Cp = Spesifik heat formasi
86
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
Harga K/(Cp. .r2) diasumsika sebesar 0.43/jam untuk diameter sumur 8 inchi
atau r2 = 0,01 meter (P.F. Bixley, 1985), apabila data thermal propertis formasi pada
kedalaman tidak ada. Dari asumsi tersebut diperoleh harga K/(Cp..r ) = 0,0043,
sehingga Tdc dapat dihitung untuk variable (r).
Peralatan yang digunakan dalam pengukuran logging temperatur adalah
umumnya berupa: probe suhu, wireline dan mobile logging.
Data yang Dihasilkan
Logging suhu dapat menghasilkan data berupa grafik suhu terhadap
kedalaman pada sumur bor (Gambar 4.21).
87
Menurut Gylfy dan Axel (1991), ada dua jenis gelombang badan (body waves)
yang menjalar di dalam medium batuan yaitu:
a. Gelombang primer (P-waves), merupakan gelombang longitudinal yang arah
rambat gelombangnya searah dengan arah getarannya.
b. Gelombang sekunder (S-waves),merupakan gelombang transversal yang arah
rambat gelombangnya tegak lurus dengan arah getarannya.
Jenis Metode Seismik
Metode seismik dapat dibagi menjadi dua berdasarkan sumber gelombang
yang akan diukur yaitu:
a. Metode seimik pasif, gelombang yang diukur berasal dari sumber alami yang ada
di bumi. Metode seismik pasif meliputi:
Ground noise, gelombang dibangkitkan dari sistem panas bumi seperti aliran
konveksi panas dan boiling (proses pendidihan air).
Micro eartquake, gelombang disebabkan oleh aktivitas bidang patahan,
rekahan hidrolik dan retakan pada saat pendinginan intrusi magma.
b. Metode seismik aktif, gelombang yang diukur merupakan respon dari ganguan
yang diberikan secara buatan. Metode seismik aktif meliputi:
Seismik refleksi, merupakan metode yang menggunakan prinsip pemantulan
gelombang.
Seismik refraksi, merupakan metode yang menggunakan prinsip pembiasan
gelombang
Teleseismik, merupakan metode yang dapat memberikan informasi terkait
anomali kecepatan.
Vertical Seismic Profilling (VSP), merupakan metode yang pengukurannya
dilakukan dengan variasi kedalaman yang ada di lubang sumur.
Micro Earthquake (MEQ)
Injeksi fluida akan menghasilkan tekanan yang melawan formasi batuan dan
menciptakan hydraulyc fracture. Dari fracture yang terbentuk akan menyebabkan
timbulnya micro earthquake yang melepakan energi gelombang seismik (Phillips,
dkk., 2001). Micro earthquake yang terjadi pada area produksi panas bumi
mempunyai magnitudo kurang dari 3 Mw (Julian dan Foulger, 2009).
Gempa mikro memiliki peran penting dalam sistem hidrotermal. Pengamatan
gempa mikro pada eksplorasi panas bumi adalah untuk meneliti retakan berpotensi
(sesar aktif) yang mempunyai permeabilitas dan porositas tinggi, melokalisir perkiraan
daerah prospek panasbumi dan kalau memungkinkan dapat membantu menentukan
posisi bor (John M. Reynolds, 1997). Dalam proses produksi, dari pola kejadian
gempa mikro yang dipantau dan juga reinjeksi air, akan dapat ditarik kesimpulan
mengenai karakteristik pengisian recharge retakan-retakan besar yang sangat
mempengaruhi pengisian reservoir secara keseluruhan. Karakteristik pengisian
kembali reservoir ini penting diketahui untuk melakukan pemeliharaan agar tidak
88
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
terjadi ketimpangan air dalam reservoir yang pada gilirannya nanti akan
mengakibatkan penurunan produksi.
Dalam menentukan epicenter gempa harus diketahui koordinat x, y dan z
serta waktu kejadian gempa. Solusi bisa diperoleh dari rekaman kedatangan antara
gelombang-P dan gelombang-S dari tiga stasiun pengukuran yang berbeda yang
digambarkan dalam Diagram Wadati.
Peralatan yang digunakan dalam pengukuran MEQ pada umumnya berupa:
datalogger,
seismometer,
penambah daya (Accu atau solar sel).
Data Yang Dihasilkan
Penyelidikan MEQ menghasilkan informasi bawah permukaan berupa peta
vp/vs (Gambar 4.22) yang dapat menunjukan indikasi keberadaan fluida, episenter
gempa yang dapat menunjukan keberadaan reservoir panas bumi.
Gambar 4.22. Peta vp/vs hasil survei metode seismik pasif (Umar dkk, 2012)
89
Daftar Pustaka
Anonim-A, Geosystem SRL, 2007. A Guide to Using WinGlink
Anonim-B. http://sammashuri.blogspot.co.id/2013/10/metode-seismik-dalam-
reservoir.html
Anonim-C, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2003 Tentang
Panas Bumi
Anonim-D, West JEC, Basic Concept of Magnetotelluric Survei in Geothermal
Fields, Geothermal Departement
Anonim-E, Zonge Engineering and Research Organization, 2009. GDP-32.I
Multifunction Receiver Operation manual
Árnason, K., 1989: Central loop transient electromagnetic sounding over a
horizontally layered earth. Orkustofnun, Reykjavík, report OS-89032/JHD-
06, 129 pp
Árnason K., Eysteinsson, H., Hersir G.P., 2010. Joint 1D inversion of TEM and MT
data and 3D Inversion of MT data in the Hengill area, SW Iceland.
Geothermics, 39, 13–34
Berdichevsky, M.N. dan Dmitriev, V.I., 2008, Model and Methods of
Magnetotellurics, Sringer
Burger, H.R., 1992. Exploration Geophysics of shallow Sub Surface, Prentice Hall
Cagniard, L., 1953. Basic theory of the magneto-telluric method of geophysical
prospecting, Geophysics, 18, 605-635.
Hendra, A., H. Grandis, 1996, Koreksi efek statik pada data magnetotellurik
menggunakan data elektromagnetik transien, Prosiding PIT HAGI ke-21.
Jones, A.G., 1988. Static shift of magnetotelluric data and its removal in a
sedimentary basin environment.Geophysics, 53-7, 967-978
Kadir, W.G.A., 2000. Eksplorasi Gaya Berat dan Magnetik, Jurusan Teknik
Geofisika, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi
Bandung
Pellerin, L., Hohmann, G.W., 1990, Transient electromagnetic inversion: a remedy
for magnetotelluric static shifts,Geophysics, 55, 1242-1250.
Phoenix-Geophysics, 2007. V5 System 2000 MTU/MTU-A User Guide
Rowland, B.F., 2002. Time-domain electromagnetic exploration. Northwest
Geophysical Associates,Inc., 6 pp.
Simpson, F., dan Bahr, K., 2005. Practical Magnetotellurics, Cambrigde University
Press.
Stephen, J., S.G. Gokarn, C. Manoj S.B. Singh, 2003. Effects of galvanic
distortions on magnetotelluric data: Interpretation and its correction
using deep electrical data, Proc. Indian Acad. Sci. (Earth Planet. Sci.), 112.
90
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 4 METODE PENYELIDIKAN GEOFISIKA
Sternberg, B.K., Washburne, J.C., Pellerin, L., 1988. Correction for the static shift
in magnetotellurics using transient electro-magnetic soundings,
Geophysics, 53, 1459.
Telford, W.M., 1982. Applied Geophysics, Cambridge University Press. Cambridge.
Zhdanov, M.S., 2009, Geophysical Electromagnetic Theory and Methods. Elsevier
91
92
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 5 TAHAPAN PENYELIDIKAN DAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI
BAB 5
TAHAPAN PENYELIDIKAN DAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI
Oleh
Mochamad Nur Hadi
93
dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan geokimia, serta survei landaian suhu
apabila diperlukan, untuk memperkirakan letak serta ada atau tidak adanya sumber
daya panas bumi. Berdasarkan penafsiran dari Undang Undang, pengertian dari
survei pendahuluan sudah meliputi survei rinci dalam SNI.
94
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 5 TAHAPAN PENYELIDIKAN DAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI
95
Gambar 5.3. Skema penyelidikan pendahuluan lanjutan
96
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 5 TAHAPAN PENYELIDIKAN DAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI
(setelah disesuaikan dengan rencana perubahan SNI baru) yang berarti sumber daya
yang potensi energinya dihitung berdasarkan pada pengamatan kondisi geologi,
pengukuran geokimia dan geofisika sehingga dapat menggambarkan dimensi
reservoir dan temperatur reservoir yang diestimasikan serta dibuktikan keberadaan
zona anomali temperaturnya dari hasil pengeboran landaian suhu atau temperatur
fumarol.
97
5.5. Pengeboran Delineasi
Kegiatan pada tahap ini adalah pengeboran eksplorasi tambahan yang
dilakukan untuk mendapatkan data geologi, fisik dan kimia reservoar serta potensi
sumur dari suatu lapangan panas bumi.
5.6. Pengeboran Pengembangan
Jenis kegiatan yang dilakukan adalah pengeboran sumur produksi dan sumur
injeksi untuk mencapai target kapasitas produksi. Pada tahap pengeboran
pengembangan ini dilakukan pengujian seluruh sumur yang ada sehingga
menghasilkan kapasitas produksi.
Tingkat penyelidikan pada tahap ini menghasilkan potensi cadangan pada
kelas terbukti yang diartikan sebagai potensi energinya dihitung berdasarkan hasil
penyelidikan geologi, geokimia, geofisika, dan sumur-sumur eksplorasi dan
pengembangan serta mempunyai nilai ekonomis. Penjelasan dalam klasifikasi
potensi panas bumi pada masing masing kelas disajikan dalam tabel dibawah berikut:
98
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
Parameter Spekulatif Hipotetis
Luas Area 1. Lingkungan geologi (vulkanik/non Kompilasi dari hasil penyelidikan geologi, geokimia dan geofisika yang
vulkanik) terdiri dari
2. Jenis dan penyebaran manifestasi 1. Sebaran Manifestasi
3. Sebaran struktur geologi berdasarkan 2. Sebaran struktur geologi pengamatan di lapangan
analisis penginderaan jauh 3. Sebaran anomali gaya berat, tahanan jenis (+MT), dan atau
magnetik
4. Sebaran anomali geokimia
5. Sebaran anomali temperatur dangkal
Temperatur diperkirakan berdasarkan data Diperkirakan berdasarkan data geotermometer (air dan atau gas)
geotermometer (air dan atau gas)
99
Parameter Mungkin Terduga Terbukti
Luas Area Kompilasi Geologi, Geokimia, Geofisika Kompilasi 3G yang terdiri dari Sebaran anomali temperatur dari
(3G): 1. Sebaran temperatur berdasarkan data sumur eksplorasi dan
1. Sebaran manifestasi pengukuran landaian temperatur pengembangan
2. Sebaran struktur geologi berdasarkan 2. Sebaran struktur geologi
pengamatan di lapangan berdasarkan pengamatan di
3. Sebaran anomali gaya berat, tahanan lapangan
jenis dan atau magnetik 3. Sebaran anomali gaya berat,
4. Sebaran anomali geokimia tahanan jenis, dan atau magnetik
5. Sebaran temperatur berdasarkan 4. Sebaran anomali geokimia
pengukuran landaian temperatur 5. Sebaran manifestasi
Tebal 1. Sifat tahanan jenis batuan (MT) 1. Sifat tahanan jenis batuan (MT) 1. Tebal dihitung mulai dari top
reservoir 2. Asumsi kedalaman maksimum 2. Data sumur eksplorasi reservoir s.d. Kedalaman sumur
reservoir 3 km eksplorasi terdalam
2. Data geofisika
Temperatur 1. Diperkirakan berdasarkan data Pengukuran langsung temperatur Pengukuran langsung temperatur
geotermometer (air dan atau gas) reservoir, dari minimal satu sumur reservoir, terhadap sejumlah sumur
2. Ekstrapolasi data landaian suhu eksplorasi yang menunjukkan temperatur produktif yang jumlahnya
reservoir mencukupi secara komersial
Cadangan Metode Volumetric Stored Heat Metode Volumetric Stored Heat Metode Volumetric Stored Heat
atau simulasi reservoir
Daftar Pustaka
Standar Nasional Indonesia 13-5012-1998 tentang Klasifikasi Potensi
Energi Panas Bumi Indonesia, Badan Standarisasi Nasional
Standar Nasional Indonesia 13-6983-2004 tentang Prosedur Pelaksanaan
dan Pelaporan dalam Penyelidikan Pendahuluan dan
Penyelidikan Pendahuluan Lanjutan Panas Bumi, Badan
Standarisasi Nasional
Undang Undang Republik Indonesia No.27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi
Undang Undang Republik Indonesia No.21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi
101
102
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 6 PEMODELAN KONSEPTUAL SISTEM PANAS BUMI
BAB 6
PEMODELAN KONSEPTUAL SISTEM PANAS BUMI
Oleh
Yuanno Rezky dan Edi Suhanto
6.1. Pendahuluan
Sumber daya panas bumi tersebar di seluruh kerak bumi dengan konsentrasi
energi terbesar berasosiasi dengan sistem hidrotermal di daerah vulkanik pada batas
kerak lempeng, dan juga dijumpai pada satuan batuan sedimen atau pada sistem
sirkulasi dalam (deep circulation) pada batuan kristalin. Sistem panas bumi dan
reservoir diklasifikasikan atas dasar aspek yang berbeda, seperti suhu reservoir atau
entalpi, sifat fisik, dan keadaan geologi.
Pemahaman tentang sifat sistem hidrotermal mulai berkembang selama abad
ke-20. Peningkatan pemanfaatan dan pemahaman yang sangat meningkat beriringan
dengan adanya sumur-sumur panas bumi menjadi instrumen utama untuk
pengembangan panas bumi. Hal ini karena sumur panas bumi memberikan
peningkatan data dari sistem panas bumi, dibandingkan dengan natural outflow, serta
menyediakan akses jauh ke dalam sistem, dan memungkinkan untuk melakukan
pengukuran langsung di kedalaman.
Kunci suksesnya eksplorasi, pengembangan dan pemanfaatan pada semua
jenis sistem panas bumi adalah dengan pemahaman yang jelas tentang sifat dan
karakteristik dari sistem tersebut, berdasarkan semua informasi dan data yang
tersedia. Pemahaman tentang sifat dan karakteristik sistem panas bumi dapat
diperoleh melalui pengembangan model konseptual.
Model konseptual adalah penggabungan model deskriptif maupun kualitatif,
dan menyatukan fitur fisik penting dari sistem (Grant dan Bixley, 2011). Integrasi dari
berbagai disiplin ilmu yang menjadi landasan dalam penelitian dan pengembangan
panas bumi sangat penting, dan lebih informatif daripada setiap disiplin yang
mengembangkan model sendiri atau gagasan secara independen. Model konseptual
merupakan dasar penting dari rencana pengembangan suatu lapangan panas bumi,
salah satunya dalam memilih lokasi dan target dari sumur yang akan dibor (Axelsson,
dkk., 2013) dan akhirnya sebagai dasar untuk semua penilaian sumber daya panas
bumi, terutama penilaian volumetrik dan pemodelan reservoir panas bumi (Axelsson,
2013). Berikut akan digambarkan langkah-langkah pembuatan model konseptual
sistem panas bumi, sejalan dengan tahapan eksplorasi dan pengembangan sistem
panas bumi.
103
6.2. Tahapan Dalam Pemodelan Konseptual
Model konseptual merupakan informasi yang terbaik dalam menggambarkan
geologi, geokimia, dan fluida reservoir, dan properti batuan dari suatu sistem panas
bumi (Cumming, 2009). Pada awal survei pendahuluan, model konseptual dapat
hanya berupa garis penampang geologi yang dikorelasikan dengan peta unsur-unsur
konseptual, seperti temperatur dan beberapa data ilustratif lainnya. Setelah tahap
eksplorasi, model tersebut dapat dibentuk seperti model bawah permukaan 3D yang
lebih kompleks termasuk data 3D geofisika (contoh magnetotelurik, resistivity) dan
distribusi temperatur 3D (Akar, dkk, 2011).
Reservoir dapat dipertimbangkan dengan beberapa parameter seperti
tekanan, temperatur, permeabilitas, porositas, dan kimia air. Meskipun belum ada
sumur panas bumi, isotermal bisa digambar dengan menggunakan temperatur bawah
permukaan dari manifestasi permukaan, pertimbangan titik didih, dan karakteristik
permeabilitas dengan menggunakan resistivity dan metode lain (Cumming, 2009).
Informasi ini bisa mendukung lokasi dan desain gradien temperatur sumur atau
sumur-sumur landaian suhu.
Selama tahap eksplorasi, telah direkomendasikan bahwa suatu model
konseptual dapat dibangun menggunakan informasi yang ada terlebih dahulu,
kemudian diperbarui dengan data tambahan pada setiap tahapnya (Boseley, et al,
2010). Apabila ada tambahan data, hal tersebut akan menambah informasi mengenai
dimensi reservoir dan struktur yang mengontrol secara lebih tepat.
104
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 6 PEMODELAN KONSEPTUAL SISTEM PANAS BUMI
105
meningkat; pertama ketika pengeboran dalam yang substansial telah dilakukan dan
kemudian ketika pemanfaatan skala besar telah berlangsung selama beberapa
waktu, dengan pemantauan rutin. Dengan demikian maka kemudian pengetahuan
komprehensif yang cukup tentang informasi tersebut menjadi tersedia.
106
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 6 PEMODELAN KONSEPTUAL SISTEM PANAS BUMI
107
Gambar 6.2. Geologi daerah Ungaran (modifikasi dari Hadisantono dan
Sumpena, 1993; Thaden dkk., 1996), Rezky Y., dkk, 2012.
Gambar 6.3. Model 2D resistivity panas bumi Songa Wayaua (DIM, 2006)
108
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 6 PEMODELAN KONSEPTUAL SISTEM PANAS BUMI
109
Setelah batas-batas model sudah ditetapkan langkah berikutnya adalah
membuat tubuh (properti) Model 3D, tapi ini adalah proses tiga langkah. Langkah
pertama adalah membuat grid dalam batas-batas model. Langkah kedua adalah up-
scaling, yaitu merata-ratakan data (misalnya data sumur) ke dalam lapisan dari model
grid. Pada Gambar 6.6 menunjukkan contoh perbandingan log suhu formasi dengan
up-scaling temperatur formasi dalam persiapan model suhu/temperatur. Perlu
diperhatikan bahwa resolusi data akan menurun karena up-scaling, sehingga penting
untuk memastikan bahwa data yang di up-scaling mempertahankan distribusi statistik
yang dapat diterima jika dibandingkan dengan input data sehingga tidak terjadi
kesalahan pada pemodelan. Langkah terakhir dalam membuat tubuh model 3D,
misalnya untuk suhu atau resistivitas (Gambar 6.7), adalah untuk menetapkan nilai
properti untuk semua sel dalam grid tubuh model 3D melalui penggunaan interpolasi
geo-statistik seperti kriging.
110
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 6 PEMODELAN KONSEPTUAL SISTEM PANAS BUMI
Gambar 6.4. Model Permukaan, di mana garis hitam vertikal mewakili horizon
dalam model, blok pertama dari tubuh / properti model 3D
111
Gambar 6.5. Model Geologi lapangan panas bumi Sorik Marapi (kiri) dan
Sumani (kanan)
112
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 6 PEMODELAN KONSEPTUAL SISTEM PANAS BUMI
Gambar 6.6. Penampang sumur menunjukkan litologi dan log alterasi batuan
dengan temperatur formasi dan temperatur formasi yang telah di up-scaling
dalam persiapan untuk properti model (tubuh model 3D)
113
Gambar 6.7. Property Model atau Tubuh model 3D dari inverse 3D Survei
gravity di lapangan panas bumi Songa Wayaua (Zarkasyi-Rezky, 2013)
114
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 6 PEMODELAN KONSEPTUAL SISTEM PANAS BUMI
Ketika data dapat diakses dari bawah permukaan melalui sumur pengeboran,
interpretasi mengenai panas dan upflow fluida serta konveksi tergantung pada
interpretasi log suhu dan tekanan dari sumur dengan tingkat yang lebih tinggi
(Steingrímsson, 2013). Namun, dalam fase awal pengeboran eksplorasi, sumur
masih sedikit dan bisa berjauhan satu sama lain.
Data dari sumur memiliki resolusi spasial rendah dan oleh karena itu
kemudian menjadi penting untuk membandingkan data dari sumur dengan data dari
eksplorasi permukaan, yang memiliki resolusi spasial tinggi, seperti survei resistivitas
dan peta geologi, untuk memverifikasi apakah model konseptual asli dari lapangan
panas bumi masih valid atau apakah harus direvisi. Pada Gambar 6.8 ditampilkan
contoh dari model konseptual dari lapangan panas bumi Sorik Marapi. Model yang
lebih rinci nantinya akan menguraikan zona upflow suhu tinggi, suhu yang lebih
rendah.
Dengan berjalannya pengembangan suatu lapangan panas bumi dan
beberapa sumur dibor, kelayakan data dari bawah permukaan akan meningkat. Ini
menunjukkan bahwa penekanan diletakkan pada data bawah permukaan, dan model
konseptual adalah merupakan ulasan dari data tersebut. Gambar 6.8 dan Gambar
6.9 adalah contoh dari model konseptual 3D. Model ini menunjukkan kombinasi data
permukaan dan bawah permukaan, menggambarkan kondisi suhu dan kontrol
struktur aliran fluida dalam sistem serta sumber panas yang mendalam sebagaimana
digariskan oleh anomali low-resistivity.
Gambar 6.8. Sebuah tampilan model konseptual sistem panas bumi di Sorik
Marapi (Rezky Y, dkk., 2012)
115
Gambar 6.9. Sebuah tampilan model konseptual sistem panas bumi ter-update
di Sumani (PSDG, 2015)
116
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 6 PEMODELAN KONSEPTUAL SISTEM PANAS BUMI
Daftar Pustaka
Akar, S. and Young, K., (2015) Assessment of New Approaches in Geothermal
Exploration Decision Making, National Renewable Energy Laboratory
(NREL), U.S. Department of Energy.
Axelsson,G. (2013), Conceptual Models Of Geothermal Systems – Introduction,
Short Course V on Conceptual Modelling of Geothermal Systems, UNU-GTP
and LaGeo, Santa Tecla, El Salvador.
Cumming, W. and Mackie, R. (2009), MT Survey for Resource Assessment and
Environmental Mitigation at the Glass Mountain KGRA, California Energy
Commission, GRDA Report, Geothermal Resources Development Account.
Cumming, W. (2009), Geothermal Resource Conceptual Models Using Surface
Exploration Data, Thirty-Fourth Workshop on Geothermal Reservoir
Engineering, Stanford University, Stanford, California.
Lynne, B. (2014), Conceptual Models, The Geothermal Institute, University of
Auckland
Mortensen, A. and Axelsson, G. (2013), Developing A Conceptual Model Of A
Geothermal System, Short Course on Conceptual Modelling of Geothermal
Systems, UNU-GTP and LaGeo, Santa Tecla, El Salvador.
Rae, A. (2013), Geothermal Systems and Modelling, presentation slide, NZGA
Geothermal Workshop, New Zealand.
117
118
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 7 EVALUASI DAN ESTIMASI POTENSI ENERGI PANAS BUMI
BAB 7
EVALUASI DAN ESTIMASI POTENSI ENERGI PANAS BUMI
Oleh:
Arif Munandar dan Dikdik Risdianto
7.1. Pendahuluan
Tahapan evaluasi dan estimasi prospek panas bumi merupakan bagian yang
terpenting dalam rangkaian survei di suatu daerah panas bumi. Evaluasi yang
dilakukan pada hasil kegiatan survei geologi, geokimia dan geofisika (3-G), yang
meliputi luasan daerah prospek, estimasi ketebalan reservoir, dan temperatur
reservoir Hasil evaluasi ini akan menghasilkan keputusan lanjut atau tidaknya suatu
proyek eksplorasi panas bumi dan akan dijadikan sebagai bahan dalam tahapan studi
kelayakan.
Tujuan dari evaluasi dan estimasi potensi energi panas bumi pada dasarnya
adalah mengestimasi energi panas yang terkandung dalam suatu sistem panas bumi
(reservoir) berdasarkan data geosain. Hasil estimasi sangat tergantung pada metode
survei yang sudah dilakukan. Makin lengkap data geosain yang sudah dilakukan
makin akurat hasil yang didapat.
Dalam evaluasi potensi ini meliputi assessment suatu prospek dengan dasar
data geosain dan estimasi sumber daya dan cadangan daerah prospek tersebut.
Dalam proses estimasi ini beberapa negara melakukan dengan metode yang
berlainan. Di Indonesia dasar estimasi potensi menggunakan beberapa Standar
Nasional Indonesia (SNI), diantaranya :
1. Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi Indonesia (SNI 13-5012-1998).
2. Metode Estimasi Potensi Energi Panas Bumi (SNI 13-6171-1999).
3. Angka parameter dalam estimasi potensi energi panas bumi (SNI 13-6482-
2000).
4. Metode uji alir fluida sumur panas bumi (SNI 13-6605-2001).
119
Sumber daya terbagi menjadi sumber daya spekulatif dan sumber daya
hipotetis. Sumber daya spekulatif adalah kelas sumber daya yang estimasi potensi
energinya didasarkan pada studi literatur serta penyelidikan pendahuluan.
Sedangkan sumber daya hipotetis adalah kelas sumber daya yang estimasi potensi
energinya didasarkan pada hasil penyelidikan pendahuluan lanjutan. Peningkatan
status sumber daya panas bumi menjadi suatu cadangan pada hakekatnya adalah
peningkatan tingkat keyakinan atau certainty status potensi energi panas bumi yang
terkandung. Makin lengkap metode survei yang diterapkan, makin meningkat tingkat
keyakinannya.
Cadangan terbagi menjadi tiga kelas yaitu cadangan terduga, cadangan
mungkin dan cadangan terbukti. Cadangan terduga adalah kelas cadangan yang
estimasi potensi energinya didasarkan pada hasil penyelidikan rinci. Cadangan
mungkin adalah kelas cadangan yang estimasi potensi energinya didasarkan pada
hasil penyelidikan rinci dan telah diindentifikasi dengan bor eksplorasi (wildcat) serta
hasil prastudi kelayakan, dan Cadangan terbukti adalah kelas cadangan yang
estimasi potensi energinya didasarkan pada hasil penyelidikan rinci, diuji dengan
sumur eksplorasi, delineasi dan pengembangan serta dilakukan studi kelayakan.
Kelas cadangan ini merupakan kelas tertinggi dalam estimasi potensi energi, selain
parameter geosains juga sudah mulai memperhitungkan parameter keekonomian.
Hubungan antara tahapan kegiatan survei dengan peningkatan status potensi sesuai
SNI 13-5012-1998 dapat dilihat pada Gambar 7.1.
120
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 7 EVALUASI DAN ESTIMASI POTENSI ENERGI PANAS BUMI
Gambar 7.1. Diagram hubungan antara tahapan survei dengan status sumber
daya dan cadangan
121
Kelvey, 1972), sehingga angka cadangan tidak dapat dijumlahkan secara langsung
dengan sumber daya.
TINGKAT KEYAKINAN
MENINGKAT
Dalam hal pelaporan juga terdapat perubahan dimana kolom sumber daya
dan kolom cadangan terpisah dan tidak dapat dijumlahkan secara langsung, karena
cadangan sudah merupakan bagian dari sumber daya.
Tabel 7.1. Format pelaporan sumber daya dan cadangan panas bumi
122
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 7 EVALUASI DAN ESTIMASI POTENSI ENERGI PANAS BUMI
panas bumi berdasarkan hasil penyelidikan geologi, geokimia dan geofisika (3-G),
karakteristik reservoar, serta estimasi kesetaraan listrik. Ada beberapa metode di
dalam mengestimasi besarnya potensi energi panas bumi. Metode yang paling umum
digunakan dalam estimasi potensi adalah metode perbandingan dan volumetrik.
Metode perbandingan merupakan metode yang khusus digunakan untuk
estimasi potensi sumber daya spekulatif dengan cara statistik sederhana, sedangkan
metode volumetrik adalah estimasi potensi energi panas bumi pada kelas sumber
daya hipotesis sampai dengan cadangan terbukti. Pada proses kalkulasi parameter-
parameternya dianggap seragam dan sederhana (lump parameter).
Adapun dua model pendekatan yang diaplikasikan dalam metode estimasi
volumetrik, yaitu:
1) Model pendekatan dengan menganggap parameter-parameter reservoarnya
seragam (lumped parameter model).
2) Model pendekatan dengan menganggap parameter-parameter reservoirnya
heterogen (distributed parameter model) yang digunakan dalam metoda
simulasi reservoir. Metode simulasi reservoir digunakan untuk membantu
estimasi potensi cadangan terbukti pada panas bumi yang sudah mempunyai
sumur yang telah berproduksi.
7.4.1. Metode Perbandingan
Prinsip dasar metode perbandingan adalah menyetarakan besar potensi
energi suatu daerah panas bumi baru (belum diketahui potensinya) dengan lapangan
lain (diketahui potensinya) yang memiliki kemiripan kondisi geologinya. Kelas sumber
daya dari hasil kalkulasi dengan metode perbandingan ini adalah Kelas Sumber Daya
Spekulatif.
Formula dasar dari metode estimasi perbandingan adalah:
Hel = A x Qel
Hel = Besarnya sumber daya (Mwe)
A = luas daerah (km2)
Qel = daya listrik yang dapat dibangkitkan per satuan luas, MWe/km2
Ada beberapa referensi yang bisa dijadikan dari metode perbandingan ini
diantaranya adalah dari Malcom Grant tahun 2011, yang melakukan studi di
beberapa lapangan panas bumi di seluruh dunia dan menghasilkan suatu hubungan
antara temperatur reservoir sistem panas bumi dengan rapat daya per satuan luas
(MWe/km2).
123
Gambar 7.3. Hubungan temperatur reservoir terhadap rapat daya
Hasil kalkulasi dengan metode ini tidak dapat dibandingkan dengan hasil
kalkulasi dengan metode lain, karena kelas sumber dayanya berlainan sehingga pada
saat pelaporannya tidak dapat dijumlahkan secara langsung dengan kelas cadangan.
124
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 7 EVALUASI DAN ESTIMASI POTENSI ENERGI PANAS BUMI
Sumber daya atau cadangan energi panas bumi yang terkandung dalam
reservoir adalah selisih dari kondisi awal (initial) terhadap kondisi akhir (final) selama
kurun waktu tertentu, umumnya 30 tahun.
1. Menghitung kandungan energi di dalam reservoir pada keadaan awal (Ti)
Hei=Ah{(1- φ) ρrcrTi + φ(ρLULSL + ρvUvSv)i]
2. Menghitung kandungan energi di dalam reservoir pada keadaan akhir (Tf):
Hef=Ah{(1- φ) ρrcrTf + φ(ρLULSL + ρvUvSv)f]
3. Menghitung energi maksimum yang dapat dimanfaatkan:
Hth = Hei - Hef
4. Menghitung energi panas yang pada kenyataannya dapat diambil (cadangan
panas bumi). Apabila cadangan dinyatakan dalam satuan kJ, maka besarnya
cadangan ditentukan sebagai berikut:
Hde = Rf . Hth
125
Apabila cadangan dinyatakan dalam satuan MWth, maka besarnya cadangan
ditentukan sebagai berikut:
5. Menghitung besarnya potensi listrik panas bumi yaitu besarnya energi listrik
yang dapat dibangkitkan selama periode waktu (t) tahun (dalam satuan MWe),
126
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 7 EVALUASI DAN ESTIMASI POTENSI ENERGI PANAS BUMI
data sumur bor. Dengan metode ini reservoir dimodelkan sebagai suatu sistim yang
terdiri dari sejumlah blok (grid) dan masing-masing saling berhubungan. Dalam
proses perhitungan diperlukan program aplikasi simulator reservoir (TOUGH2,
iTOUGH2, PETRASIM dsb.) dan diperlukan keahlian khusus untuk
mengoperasikannya. Metode ini juga memberikan gambaran yang lebih baik
mengenai penyebaran permeabilitas di dalam reservoir dan perubahan-perubahan
yang terjadi di dalamnya pada saat sebelum dan sesudah mulai diproduksikan.
Dengan menggunakan simulator kemudian dihitung besarnya tekanan,
temperatur, saturasi air dan saturasi uap di tiap blok serta laju alir masa dan laju alir
uap dari blok yang satu ke blok lainnya untuk berbagai variasi waktu.
Hasil perhitungan yang didapat berupa:
Perubahan tekanan dan temperatur terhadap kedalaman, baik di sumur
maupun ditempat-tempat lainnya.
perubahan tekanan, temperatur, laju alir masa dan entalpi fluida terhadap
waktu.
Untuk mendapatkan kondisi awal reservoir (natural state), perlu dilakukan
perhitungan dengan waktu yang lama sehingga diperoleh kondisi setimbang (steady),
yaitu kondisi reservoir, yang tekanan dan temperaturnya tidak berubah terhadap
waktu.
Model ini diuji validitasnya dengan cara membandingkan hasil perhitungan
dengan data sebenarnya, yaitu hasil pengukuran di lapangan pada keadaan awal
(sebelum reservoir diproduksi). Kalibrasi dilakukan dengan mengubah-ubah
parameter batuan dan aliran panas ke dalam reservoir yang mempunyai tingkat
ketidak pastian tinggi.
Setelah dibuat model reservoir pada kondisi awal, kemudian dilakukan
perhitungan untuk mengetahui kondisi reservoir pada tahap produksi. Penyelarasan
hasil simulasi dengan data lapangan (history matching) dilakukan dengan mengubah-
ubah harga aliran panas yang masuk ke dalam reservoir dan parameter batuan,
khususnya di daerah sekitar sumur. Model tersebut dinilai telah merepresentasikan
kondisi reservoir sebenarnya apabila telah tercapai keselarasan antara hasil simulasi
dengan data lapangan.
Prediksi kinerja sumur dan reservoir dilakukan dengan menggunakan model
tersebut diatas dengan berbagai skenario produksi dan injeksi. Secara garis besar
tahapan kegiatan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Pengkajian keseluruhan data yang mencakup data manifestasi permukaan
2. Data geologi, geofisika, geokimia, fluida reservoir dan semua data sumur
lainnya serta hasil-hasil studi yang telah dilakukan sebelumnya.
3. Interpretasi dengan mengintegrasikan semua data ilmu kebumian dan
semua data sumur dengan data yang baru diperoleh.
127
4. Pengkajian model konseptual yang ada dan melakukan revisi (apabila
diperlukan) dengan mengikut sertakan hasil interpretasi data ilmu kebumian
serta data sumur baru.
5. Penetapan bagian dari reservoir yang akan dimodelkan.
6. Simulasi model komputer (grid system)
7. Persiapan data masukan komputer, mengenai ukuran dan parameter-
parameter reservoir di masing-masing blok seperti permeabilitas, porositas,
panas spesifik, konduktivitas batuan, dll.
8. Simulasi model yang merepresentasikan kondisi reservoir sebenarnya
pada keadaan awal.
9. Simulasi untuk memperoleh model yang merepresentasikan kinerja semua
10. Sumur dan reservoir pada saat diproduksi.
11. Peramalan kinerja semua sumur dan reservoir dengan berbagai skenario
12. Produksi dan injeksi (selama jangka waktu 20-30 tahun).
Zone
Prospek
128
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 7 EVALUASI DAN ESTIMASI POTENSI ENERGI PANAS BUMI
Gambar 7.5. Hasil korelasi profil tekanan dan temperatur hasil simulasi
dengan data terukur
129
Daftar Pustaka
Anonim-A, 1998. Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia. Badan
Stardarisasi Nasional.
Anonim-B, 1999. Metode Estimasi Potensi Energi Panas Bumi. Badan Stardarisasi
Nasional.
Anonim-C. 2000. Angka Parameter Dalam Estimasi Potensi Energi Panas Bumi.
Badan Stardarisasi Nasional.
Mc. Kelvey, V.E. 1972. Mineral Resources Estimates And Public Policy American
Sci., Vol. 60. Issue 1, pp.32-40.
Malcolm, A., Grant. 2011. Geothermal Reservoir Engineering. Academic Press, 2nd
Edition.
130
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 8 PEMANFAATAN PANAS BUMI
BAB 8
PEMANFAATAN PANAS BUMI
Oleh
Asep Sugianto, Rina Wahyuningsih, dan Sabtanto Joko Suprapto
8.1. Umum
Secara umum pemanfaatan energi panas bumi terbagi ke dalam dua
kelompok, yaitu pemanfaatan secara tidak langsung (indirect use) untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan pemanfaatan secara langsung (direct uses).
Jenis pemanfaatan sumber energi panas bumi tergantung pada karakteristik sumber
panas tersebut terutama tingginya temperatur. Energi panas bumi yang memiliki
temperatur tinggi (high entalphy) dapat digunakan untuk pembangkit listrik
konvensional, sedangkan energi panas bumi dengan temperatur medium dapat
digunakan untuk pembangkit listrik siklus biner (binary). Sementara itu, energi panas
bumi dengan temperatur rendah dapat dimanfaatkan secara langsung seperti untuk
pemanas rumah kaca dan pemandian atau kolam renang. Lindal (1973)
mengelompokkan pemanfaatan energi panas bumi berdasarkan temperatur seperti
tersaji dalam Gambar 8.1.
131
8.2. Pemanfaatan Tidak Langsung untuk Pembangkit Listrik
Pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit listrik sangat bergantung kepada
karakteristik sumber panasnya. Untuk membangkitkan listrik dapat menggunakan
turbin uap konvensional atau pembangkit listrik siklus biner bergantung pada
temperatur fluida yang dihasilkan dari sumur panas bumi.
a. Pembangkit listrik konvensional
Pembangkit listrik konvesional artinya fluida panas bumi berupa uap dengan
temperatur dan tekanan tinggi langsung dimanfaatkan sebagai penggerak tubin.
Pembangkit jenis ini membutuhkan temperatur uap minimal 1500C. Jenis turbin yang
digunakan dapat berupa turbin tipe atmospheric (back-pessure) atau dapat juga
berupa turbin yang dilengkapi dengan kondensor atau condensing turbine.
Tipe back-pressure mempunyai bentuk yang sederhana dan lebih murah. Uap
kering yang berasal langsung dari sumur uap atau dari uap hasil proses flashing dari
separator untuk sumur basah dialirkan ke turbin dan setelah memutar turbin
kemudian dikeluarkan ke udara/atmosfer (Gambar 8.2).
Gambar 8.2. Diagram pembangkit listrik tenaga panas bumi tipe atmospheric
(back-pressure) (Khasani, 2013)
Dengan tipe ini, per kWh yang dihasilkan (dari tekanan inlet turbin yang sama)
membutuhkan jumlah uap hampir dua kali dari tipe yang menggunakan kondesor.
Efisiensi turbin tipe ini lebih rendah karena tekanan outlet turbin lebih besar (1 atm)
daripada tekanan outlet turbin tipe condensing. Meskipun demikian, tipe ini sangat
bermanfaat untuk digunakan sebagai pilot plant, stand-by plant, untuk sumur-sumur
terisolasi atau untuk pembangkitan listrik dari sumur uji selama pengembangan
lapangan. Tipe ini karena bentuknya sederhana maka relatif cepat pemasangannya,
dan pada umumnya tersedia untuk ukuran kecil (2,5 – 5 MWe).
Tipe condensing mempunyai peralatan tambahan yang lebih banyak, lebih
kompleks, ukuran lebih besar dan memerlukan waktu lebih lama (dua kali) untuk
konstruksi dan pemasangannya dibandingkan dengan tipe back-pressure. Namun
demikian, konsumsi uap tipe ini kurang lebih setengah dari tipe back-pressure dan
132
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 8 PEMANFAATAN PANAS BUMI
efisiensi turbin lebih besar tergantung dari tekanan condenser. Pada umumnya
kapasitas satu unit power plant tipe condensing adalah 55 – 60 MWe, tetapi saat ini
banyak PLTP yang dibangun dengan kapasitas 110 MWe (Gambar 8.3).
Gambar 8.3. Diagram pembangkit listrik tenaga panas bumi tipe condensing
(Khasani, 2013)
133
Gambar 8.4. Diagram pembangkit listrik tenaga panas bumi siklus biner
(Khasani, 2013)
PLTP siklus biner biasanya dibuat dalam bentuk unit modul kecil dengan
kapasitas beberapa kWe sampai MWe. Beberapa unit ini dapat digabungkan untuk
memperoleh PLTP dengan kapasitas sampai beberapa puluh MWe. Harga per unit
sangat bergantung pada beberapa faktor di antaranya adalah temperatur fluida panas
bumi, alat penukar panas/kalor dan sistem pendinginan.
Pembangkit listrik portable kecil, konvensional maupun bukan, menjadi
penting karena dapat membantu penyediaan energi terutama untuk daerah terpencil
(isolated area). Standar kehidupan masyarakat dapat terangkat karena mereka dapat
memanfaatkan sumber energi lokal. Mereka dapat memanfaatkannya untuk beberapa
kebutuhan seperti pemompaan air untuk irigasi, pendinginan buah-buahan dan sayur-
sayuran. Selain untuk daerah terpencil, pembangkit portable ini sangat bermanfaat
sekali bagi daerah-daerah yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan
bakar konvensional (solar, bensin) serta bagi masyarakat yang harus membayar
mahal untuk melakukan koneksi ke jaringan/grid listrik nasional.
8.3. Pemanfaatan Langsung
Pemanfaatan panas bumi secara langsung merupakan pemanfaatan energi
panas bumi tanpa perlu merubah ke dalam bentuk energi lain (energi listrik). Secara
umum energi panas bumi yang dimanfaatkan secara langsung memiliki temperatur
yang rendah hingga medium. Beberapa pemanfaatan langsung yang telah dilakukan
di beberapa negara pada periode 1995 sampai dengan 2015 (Lund dan Boyd, 2015),
diantaranya Geothermal Heat Pump (GHP), penghangat ruangan, memanaskan
rumah kaca (greenhouse heating), pengeringan hasil pertanian dan perkebunan
(agricultural drying), industri, pemandian dan kolam renang, serta mancairkan salju.
134
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 8 PEMANFAATAN PANAS BUMI
135
c. Budidaya di Lahan Perairan (Aquaculture Pond Heating)
Budidaya pada lahan perairan merupakan suatu cara pemeliharaan dan
budidaya organisme air (baik air tawar maupun air laut) dalam kondisi yang terkontrol.
Pada budidaya ini dilakukan pemanasan air sampai mencapai temperatur yang
optimum untuk pertumbuhan organisme air seperti udang, lele, dan sebagainya.
Kolam yang digunakan untuk budidaya ini disesuaikan dengan besarnya sumber
panas yang ada.
d. Pengeringan Hasil Pertanian dan Perkebunan (Agricultural Drying)
Energi panas bumi juga dapat digunakan untuk mengeringkan produk
pertanian, seperti kopra, coklat, dan buah-buahan. Pengeringan hasil pertanian kopra
dengan panas bumi ini menghasilkan kualitas produk kering yang lebih baik daripada
pengeringan langsung dengan matahari. Kualitas produk hasil pengeringan ini lebih
unggul dilihat dari sisi kebersihan dan penampilannya karena proses dilakukan dalam
kondisi tertutup sehingga kontaminasi jamur dan bakteri dari udara dapat dihindarkan.
e. Industri
Industri juga dapat memanfaatkan energi panas bumi untuk mengoptimalkan
proses produksinya, di antaranya industri pengolahan kertas dan kayu. Di Cina,
panas bumi juga dimanfaatkan untuk pemintalan wool dan pengeringan kain.
f. Pemandian, Kolam Renang, dan Pariwisata
Pemanfaatan panas bumi untuk pemandian dan kolam renang telah dilakukan
oleh manusia sejak dahulu. Pemanfaatan jenis ini sangat sederhana dan mudah
untuk dilakukan. Air panas yang berasal dari bumi dapat langsung dimanfaatkan
dengan cara mengalirkan air panas tersebut ke tempat pemandian ataupun kolam
renang. Selain sebagai tempat pemandian, di beberapa tempat air panas yang
muncul ke permukaan juga dapat dijadikan sebagai tempat pariwisata karena
memiliki pemandangan yang menarik, seperti di Baturraden, Purwokerto dan Cisolok,
Sukabumi.
8.4. Pemanfaatan Energi Panas Bumi di Indonesia
Energi panas bumi di Indonesia umumnya dimanfaatkan secara tidak
langsung untuk pembangkit listrik. Pemanfaatan secara langsung belum banyak
berkembang. Pemanfaatan langsung di Indonesia umumnya berupa pemandian dan
kolam renang. Pemanfaatan panas bumi untuk pertanian, perkebunan sudah mulai
dikembangkan pada tahun 2000-an.
Sampai saat ini, berdasarkan data dari Pusat Sumber Daya Geologi (PSDG)
tahun 2015, energi panas bumi yang telah dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik
sebesar 1.436 MWe. Kapasitas pembangkit listrik tersebut umumnya berasal dari
sistem panas bumi dengan temperatur tinggi (high entalphy). Daerah panas bumi
136
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 8 PEMANFAATAN PANAS BUMI
yang telah dikembangkan menjadi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP)
sebanyak 10 lokasi yang sebagian besar berada di Jawa Barat (Tabel 8.1).
Di Indonesia Pemanfaatan energi panas bumi secara langsung belum banyak
berkembang. Pada era sebelum abad ke-21, pemanfaatan langsung panas bumi
hanya digunakan untuk pemandian, kolam renang air panas, dan pariwisata (Gambar
8.6 dan Gambar 8.7). Saat ini mulai dikembangkan pemanfaatan langsung untuk
sektor perkebunan, diantaranya untuk penanaman jamur di Pangalengan/Wayang
Windu dan Kamojang (Gambar 8.8), pembuatan gula merah di Lahendong (Gambar
8.9), pengeringan kopra di Lahendong, Mataloko, dan Wai Ratai Lampung (Gambar
8.10), pengeringan dan pensterilan teh di Pangalengan, dan pengeringan coklat di
Lampung.
Selain untuk sektor perkebunan, pemanfaatan langsung panas bumi juga
mulai dikembangkan untuk budidaya ikan tawar dan lele di Lampung. Pada
pemanfaatan langsung ini, air panas yang berasal dari mata air panas dicampur
dengan air dingin yang berasal dari sungai, hasilnya ikan lele tersebut tumbuh lebih
baik daripada hidup di air dingin.
Tabel 8.1. Daerah panas bumi yang telah dikembangkan menjadi PLTP (sumber
PSDG, 2015)
Kapasitas
No. Lokasi Kabupaten/Kota Provinsi Terpasang
(MW)
1. Sibayak Karo Sumatera Utara 12
2. Ulubelu Tenggamus Lampung 110
3. Gunung Salak Bogor Jawa Barat 377
4. Patuha Bandung Jawa Barat 55
5. Wayang Windu Bandung Jawa Barat 227
6. Kamojang Garut dan Jawa Barat 235
Bandung
7. Darajat Garut dan Jawa Barat 270
Bandung
8. Dieng Banjarnegara Jawa Tengah 60
9. Lahendong Tomohon Sulawesi Utara 80
10. Ulumbu Manggarai Nusa Tenggara 10
Timur
Total Kapasitas Terpasang 1.436
137
Gambar 8.6. Kolam renang air panas (Roeroe, dkk., 2013)
138
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 8 PEMANFAATAN PANAS BUMI
Gambar 8.9. Pabrik gula aren dengan memanfaatkan 4 ton/jam air panas bumi
di Lahendong (Darma, dkk., 2010)
139
Gambar 8.10. Pengeringan kopra dengan menggunakan fluida panas bumi
(Roeroe, dkk., 2013)
140
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 8 PEMANFAATAN PANAS BUMI
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2015, Peta Sebaran Potensi Panas Bumi Indonesia, Pusat Sumber Daya
Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
Bandung
Darma, S., Tisnaldi, dan Gunawan, R., 2010. Country Update: Geothermal Energi
Use and Development in Indonesia. Proceedings World Geothermal
Congress 2010, Bali, Indonesia.
Khasani, 2013. Pemanfaatan Sumber Daya Panas Bumi. Di dalam: Modul
Bimbingan Teknis Pengembangan Sumber Daya Panas Bumi, Pusat Sumber
Daya Geologi, Bandung.
Lindal, B., 1973. Industrial and other applications of geothermal energy. In:
Armstead, H.C.H., ed., Geothermal Energy, UNESCO, Paris, pp.135—148.
Lund, J.W. dan Boyd, T.L., 2015. Direct Utilixaton of Geothermal Energy 2015
Worldwide Review. Proceedings World Geothermal Congress 2015,
Melbourne, Australia.
Roeroe, H.J., Tuerah, N., Surana, T., Suyanto., Maranis, J., Pangerego, F., Kolibu,
H., dan Malingkas, T.D., 2013. Direct of Geothermal Energy for Drying
Agricultural Products and Making Palm Sugar Crystals. Proceedings
Thirty-Eighth Workshop on Geothermal Reservoir Engineering, Stanford
University. Stanford, California.
Sukhyar, S., Gurusinga, C.K.K., Kasbani, Widodo, S., Munandar, A., Dahlan, Hadi,
M.N., Risdianto, D., Rezky, Y., Wibowo, A.E., Permana, L.A., Setiawan, D.E.,
dan Wahyuningsih, R., 2014. Potensi dan Pengembangan Sumber Daya
Panas Bumi Indonesia. Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral, Bandung.
141
142
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 9 PEMANFAATAN MINERAL IKUTAN FLUIDA PANAS BUMI
BAB 9
PEMANFAATAN MINERAL IKUTAN FLUIDA PANAS BUMI
Oleh
Sabtanto Joko Suprapto dan Rina Wahyuningsih
9.1. Umum
Panas bumi merupakan sumber energi panas yang terkandung di dalam air
panas, uap air dan batuan, yang keberadaannya bersama mineral ikutan dan gas
lainnya dalam satu sistem yang secara keterjadiannya tidak bisa saling dipisahkan.
Pemanfaatan panas bumi umumnya berkaitan dengan energi yang dapat dihasilkan.
Sementara mineral ikutan yang terkandung dalam fluida panas bumi berpotensi juga
untuk diusahakan, sehingga dapat menambah nilai keekonomian dari panas bumi.
Larutan hidrotermal terpanaskan dari kedalaman bumi, dalam kurun waktu
yang lama bersentuhan dan berinteraksi dengan batuan sekitarnya yang dilewati, hal
ini dapat menyebabkan terlarutnya mineral-mineral dan logam dari batuan tersebut
dan larutan yang ada sebelumnya ke dalam larutan hidrotermal. Larutan tersebut
dapat diproses untuk mendapatkan kandungan mineral dan logamnya. Teknik
pemisahan dan pemurnian dikenal dengan teknik metalurgi hidrotermal.
Teknologi dan keahlian dalam pengolahan mineral pada industri
pertambangan dapat diterapkan untuk mengekstraksi mineral dan logam dari larutan
panas bumi. Pengolahan mineral dari larutan panas bumi dapat memberikan
pendapatan tambahan dari pemanfaatan panas bumi. Di daerah seperti Salton Sea,
Amerika Serikat, litium dan mineral berharga lainnya telah berhasil diekstrak secara
ekonomis dari fluida panas bumi.
9.2. Mineral Ikutan
Sumber fluida panas bumi dapat berasal dari cairan sisa magma, air connate,
dan air meteorik. Selain dipengaruhi oleh larutan asal, komposisi fluida juga
dipengaruhi antara lain oleh jenis magma, komposisi batuan yang mengalami
interaksi dengan fluida, pH, dan kondisi fisik misalnya adanya zona pendidihan
(boiling), serta dipengaruhi temperatur. Semakin tinggi temperatur semakin tinggi
bahan yang dapat terlarut. Fluida dengan temperatur rendah salinitas kurang dari
1000 (ppm) TDS (Total Dissolved Solids), pada temperatur tinggi salinitas dapat lebih
dari 300.000 ppm (Entingh and Vimmerstedt, 2005 dalam Blommquist, 2006). Tingkat
kelarutan silika semakin rendah pada larutan yang semakin pekat.
Komposisi larutan tidak konstan, diantaranya tergantung zona kedalaman dari
larutan (Gambar 9.1 dan Gambar 9.2). Total konsentrasi garam pada larutan panas
bumi sesuai dengan nilai densitas, terdapat korelasi antara densitas dengan
konsentrasi khlorida. Konsentrasi khlorida cenderung merefleksikan variasi
kandungan penyusun dari larutan. Sistem panas bumi dengan salinitas dan
143
kandungan khlorida tinggi, kaya akan besi dan logam dasar yang berasal dari
khlorida komplek. Kandungan unsur dalam fluida dapat mengindikasikan lingkungan
geologi. Sebagai contoh kandungan fluida kaya akan litium, sesium dan rubidium
berasal dari lingkungan batuan volkanik kaya silika. Fluida dapat juga berasal dari
hasil reaksi dengan batuan sedimen kaya kandungan evaporit, seperti fluida panas
bumi di dekat Salton Sea (Bourcier dkk., 2005).
Gambar 9.1. Sebaran logam pada fluida panas bumi lingkungan epitermal.
Komposisi logam bervariasi tergantung temperatur dan kedalaman (modifikasi
dari Buchanan, 1987 dalam Suprapto, 2010).
Gambar 9.2. (A) Kerak pada pipa mengandung kadar emas sangat tinggi (5%),
pada kondisi di kedalaman sebelum terjadi pendidihan dan kehilangan gas
kandungan emas pada fluida 10µg/kg. Kandungan Au pada fluida pada mata air
panas <0,1 µg/kg. Terjadi penurunan tingkat kelarutan emas pada larutan yang
berubah menjadi uap (Hedenquist dkk, 1996). (B) Bijih emas berupa urat kuarsa
dari Tambang Gosowong, Halmahera, dan kerak silika pada pipa PLTP di
Kyusu, Jepang mengandung emas ± 50 mg/kg (Suprapto, 2011).
144
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 9 PEMANFAATAN MINERAL IKUTAN FLUIDA PANAS BUMI
Gambar 9.3. Ekstraksi silika dari fluida panas bumi (modifikasi dari Bakane,
2013)
Penelitian pada lapangan panas bumi di Dieng yang dilakukan Kelompok
Program Penelitian Konservasi, Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi, pada
bulan April 2008 (Pohan, dkk, 2008), di antaranya dengan melakukan analisis
kandungan logam pada lumpur silika hasil endapan fluida berasal dari PLTP,
didapatkan kadar yang signifikan beberapa unsur logam. Analisis terhadap tujuh
sampel lumpur silika, diperoleh kadar rata-rata: Au 0,477 ppm, perak 3,14 ppm, Hg
145
1,982 ppm, As 69,14 ppm, Sb 46,14 ppm, Pb 115,43 dan As 199 ppm (Tabel 9.1).
Produksi endapan lumpur silika pada kolam pengendapan di PLTP Dieng beberapa
puluh ton dalam sebulan (Gambar 9.4).
Gambar 9.4. Lumpur silika pada kolam pengendapan di PLTP Dieng, Jawa
Tengah (Pohan, dkk., 2008)
9.3. Mineralisasi
Model sistem panas bumi sering digambarkan dengan proses merebus air
menggunakan ketel menghasilkan uap. Uap panas yang dihasilkan dari sistem panas
bumi, digunakan untuk menggerakkan turbin menghasilkan listrik. Proses merebus air
menggunakan ketel dalam kurun waktu lama dapat menimbulkan kerak yang
146
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 9 PEMANFAATAN MINERAL IKUTAN FLUIDA PANAS BUMI
menempel pada bagian dalam dari ketel. Ketebalan dan komposisi kerak, antara lain
tergantung pada komposisi air yang direbus. Kerak tersebut apabila terbentuk di alam
disebut dengan mineralisasi. Di alam kerak mengisi pori-pori batuan, rongga rekahan
pada struktur geologi, dan terbentuk juga di permukaan tanah pada manifestasi
panas bumi, membentuk deposit bijih atau mineral (Gambar 9.5 dan Gambar 9.6).
Mineralisasi terbentuk pada lingkungan epitermal, disebut mineralisasi tipe epitermal
(Gambar 9.1).
Kondisi geologi terbentuknya bijih emas yang selama ini dikenal dengan
lingkungan epitermal, merupakan lingkungan di mana sistem panas bumi terbentuk.
Fluida hidrotermal/panas bumi merupakan media utama pembawa emas dan logam
ikutannya. Fluida hidrotermal pada lingkungan epitermal potensial membawa unsur-
unsur logam Cu, Pb, Zn, Mn, Fe, Cd, As, Sb, Au, Ag, Hg, dan Se.
Proses mineralisasi oleh aktifitas hidrotermal membentuk bijih emas dan
ikutannya, untuk menghasilkan jumlah deposit dalam sekala ekonomis diperlukan
waktu 10 – 100 ribu tahun (Suprapto, 2009). Aktivitas lapangan panas bumi di
beberapa lokasi di Indonesia, mempunyai kisaran umur 200 ribu tahun (Gunung
Lawu, Jateng) sampai dengan 1,5 juta tahun di Ranang, Sulawesi Tengah (Suprapto,
2011). Oleh karena itu pada lapangan panas bumi di Indonesia potensial telah
terbentuk deposit emas dan ikutannya dalam sekala ekonomis.
Gambar 9.5. (A) Manifestasi panas bumi berupa fumarol dan endapan sinter
silika mengandung emas ± 15 µg/kg; (B) Hamparan deposit bijih emas tipe hot
spring di kaldera Gunung Osore, Jepang (Suprapto, 2011)
147
Gambar 9.6. Mata air panas dengan pH netral, dikelilingi endapan sinter
mengandung Au sampai dengan 540 ppm, Ag 745 ppm serta As-Sb-Hg-Tl,
sistem geothermal Waiotapu, New Zealand (Mroczek, dkk., 2015)
148
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 9 PEMANFAATAN MINERAL IKUTAN FLUIDA PANAS BUMI
lokasi tambang, akan tetapi beaya pengolahan logam/mineral dari fluida panas bumi
relatif jauh lebih rendah. Hal ini mengingat beberapa faktor sbb:
Operasional pabrik pengolahan mineral merupakan gabungan dengan
operasional pembangkit. Instalasi dan proses ekstraksi logam/mineral hanya
merupakan tambahan dari rangkaian kegiatan pembangkit PLTP.
Tidak memerlukan proses penambangan dan proses fisik seperti pada
ekstraksi deposit bijih (Gambar 9.7 dan Gambar 9.8), dalam hal ini dampak
terhadap lingkungan sangat kecil dibandingkan kegiatan tambang mineral.
Bahan sudah berupa larutan, sehingga tidak ada tahapan proses pelarutan
logam sebagaimana proses pelarutan dari bijih.
Meskipun kandungan logam pada fluida panas bumi rendah, akan tetapi
volume fluida yang diproses jumlahnya sangat besar, bisa mencapai puluhan
juta liter/hari, sehingga jumlah mineral berharga yang dapat diambil dalam
sekala ekonomi sangat signifikan (Bourcier dkk., 2005).
149
Gambar 9.7. Proses hidrometalurgi metode heap leach. Timbunan batuan bijih
emas hasil penambangan dan crushing, terus menerus disiram sianida selama
kurun waktu sampai ± 3 bulan untuk melarutkan logam, lokasi di Nunukan,
Kalimantan Utara. Tahapan proses tersebut tidak diperlukan pada pengolahan
fluida panas bumi (Foto Jonatan, 2014)
Gambar 9.8. Skema proses heap leach dapat menggunakan fluida panas bumi
sebagai pemanas untuk meningkatkan daya larut sianida (modifikasi dari Lund,
2003).
150
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 9 PEMANFAATAN MINERAL IKUTAN FLUIDA PANAS BUMI
151
Gambar 9.9. Pemisahan Zn-Li-Mn dari fluida panas bumi (brine), (modifikasi
http://www.fastcompany.com)
Gambar 9.10. Diagram proses ekstraksi silika, litium, Zn, dan Mn dari fluida
panas bumi
152
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 9 PEMANFAATAN MINERAL IKUTAN FLUIDA PANAS BUMI
Gambar 9.11. Miniatur zinc ingot produksi dari fluida panas bumi Salton Sea
(Clutter, 2000)
9.5. Penutup
Potensi panas bumi di Indonesia tersebar di lingkungan volkanik dan non-
volcanic. Tataan geologi Indonesia yang sangat beragam, fluida panas bumi yang
dihasilkan beragam juga. Di Indonesia terdapat beberapa jalur metalogenik dan
banyak cekungan sedimenter, sehingga komposisi fluida panas bumi yang dihasilkan
akan beragam sesuai dengan litologi yang berinteraksi dengan fluida tersebut.
Komposisi fluida panas bumi di jalur metalogenik timah akan berbeda dengan di jalur
volkanik Sunda-Banda. Demikian juga fluida panas bumi yang berinteraksi dengan
litologi lingkungan cekungan sedimenter.
Fluida panas bumi dengan komposisi mineral ikutan dan logam tinggi akan
memberikan dampak pada operasi pembangkitan listrik dan lingkungan. Dengan
pemisahan dan pengolahan kandungan mineral ikutan dan kandungan unsur logam
dari fluida dengan salinitas dan densitas tinggi akan menghasilkan produk sampingan
dari pengoperasian PLTP, serta mengurangi dampak degradasi lingkungan akibat
dari logam-logam yang bersifat toksik.
Kegiatan usaha dengan semata-mata melakukan pengolahan fluida panas
bumi untuk mendapatkan kandungan logam dan mineral ikutannya, belum tentu
ekonomis. Akan tetapi kegiatan operasi produksi logam dan mineral ikutan dalam
satu kesatuan dengan operasi produksi listrik dari PLTP, meningkatkan keekonomian
keduanya. Diperlukan payung hukum untuk dapat melakukan gabungan dua jenis
kegiatan usaha tersebut.
Manifestasi panas bumi yang berlangsung dalam kurun waktu ribuan tahun,
potensial mengendapkan mineral dalam sekala ekonomi di permukaan atau dekat
permukaan. Endapan sinter silika dengan pelamparan luas mengandung logam mulia
dan ikutannya, dapat berpotensi untuk diusahakan. Kandungan logam pada endapan
sinter silika umumnya rendah, namun dengan keberadaannya di permukaan atau
dekat permukaan, memudahkan dalam proses penambangan, sehingga beaya untuk
ekstraksi rendah.
153
Untuk menambah nilai keekonomian operasi produksi PLTP dengan
memanfaatkan potensi mineral ikutan dan bahan ekonomi yang lain, maka perlu
dilakukan analisis terhadap kandungan bahan berpotensi ekonomi yang terkandung
dalam fluida panas bumi. Analisis tidak hanya dilakukan untuk menentukan komposisi
fluida panas bumi, akan tetapi juga analisis komposisi endapan mineral pada
lingkungan manifestasi panas bumi.
154
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 9 PEMANFAATAN MINERAL IKUTAN FLUIDA PANAS BUMI
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. http://www.fastcompany.com/1783482/simbol-materials-turning-us-lithium-
production-powerhouse. Diunduh 6 Oktober 2015
Bakane, P., 2013. Uses and Advantages of Geothermal Resources in Mining.
GHC Bulletin. Oregon Institute of Technology
Bloomquist, R.G., 2006. Economic Benefits of Mineral Extraction From
Geothermal Brines. Washington State University Extension. Washington.
Bourcier, W.L., Lin, M., Nix, G., 2005. Recovery of Minerals and Metals from
Geothermal Fluids. UCRL-CONF-215135. 2003 SME Annual Meeting.
Cincinnati.
Clutter, T.J., 2000. Mining Economic Benefits From Geothermal Brine. GHC
Bulletin. California
Glassley, W.E., 2015. Geothermal Energy: Renewable Energy and the
Environment. 2nd Edition, Taylor & Francis Group, LLC, New York.
Hedenquist, J.W., Izawa, E., Arribas, A., White, N.C. 1996. Epithermal Gold
Deposits: Styles, Characteristics, and Exploration. Komiyama Printing
Co.Ltd. Tokyo
Kruger, N. A Rare Opportunity. https://www.dmr.nd.gov/ndgs/. Diunduh 28 September
2015
Lund, J.W., 2003. Examples of industrial uses of geothermal energy in the
United States. International Geothermal Conference. Reykjavík
Pohan, M.P., Herman, D.Z., Hutamadi, R. 2008. Penelitian Mineral Ikutan Pada
Lapangan Panas Bumi Daerah Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi
Jawa Tengah. Pusat Sumber Daya Geologi. Bandung.
Suprapto, S.J., 2009. Panas Bumi Sebagai Sumber Energi dan Penghasil Emas.
Majalah Warta Geologi , Vol. 4 No. 2. Badan Geologi. Bandung.
Suprapto, S.J., 2011. Kekerabatan Emas dan Panas Bumi. Majalah Geomagz, Vol.
1 No. 4. Badan Geologi. Bandung.
Suprapto, S.J., dan Ruslin, M., 2014. Panduan Penyelidikan Mineral: Pengenalan
Pengolahan Logam. Pusat Sumber Daya Geologi. Bandung.
Ted J. Clutter, T.J. & Davis, C.A., 2000. Mining Economic Benefits From
Geothermal Brine. GHC Bulletin. California
155
156
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 10 TAHAPAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DI INDONESIA
BAB 10
TAHAPAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DI INDONESIA
Oleh
Sri Widodo
10.1. Pendahuluan
Panas bumi sebagai salah satu jenis energi, akhir-akhir ini menjadi bahan
perbincangan yang cukup menarik. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya
cadangan energi fosil (minyak, gas bumi dan batubara) yang semakin lama akan
menipis sebagai energi utama, sehingga perlu dikembangkan energi alternatif
penggantinya. Kekurangan energi ini dipicu dengan meningkatnya kebutuhan energi,
baik untuk rumah tangga maupun industri yang semakin berkembang. Dalam hal
panas bumi, energi ini khususnya dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik.
Kekurangan pasokan listrik di luar Jawa sangat terasa, oleh sebab itu perlu dilakukan
kebijakan percepatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pengusahaan panas bumi di Indonesia dimulai pada tahun 1983, sejak
dibangunnya pembangkit listrik dengan energi panas bumi sebesar 30 MW di
Lapangan Kamojang dan telah mengalami pasang surut dalam perkembangannya.
Sebelum masa krisis di akhir 90-an sempat dibangun beberapa lapangan panas bumi
di Pulau Jawa seperti di Gunung Salak, Dieng, Wayang Windu, dan Darajat. Akan
tetapi semenjak awal tahun 2000, belum ada satupun lapangan baru yang dibangun,
yang terjadi hanya penambahan kapasitas listrik dari lapangan lama.
Pengusahaan panas bumi memiliki risiko yang sangat besar dibandingkan
pengusahaan pembangkitan tenaga listrik dari bahan bakar jenis lainnya.
Pengembang panas bumi harus memikul risiko sisi hulu maupun risiko pembangkitan
dalam pengusahaan suatu lapangan panas bumi. Kenyataan ini dihadapi oleh
pengembang panas bumi pada tahun 1990-an sebelum era undang-undang panas
bumi.
Pada akhir tahun 1990-an pada saat krisis moneter melanda Indonesia,
pemerintah mengambil langkah menunda proyek-proyek oleh produsen listrik swasta
(independent power producer) termasuk di bidang panas bumi. Keadaan ini
menyebabkan usaha di bidang panas bumi mengalami kelesuan, dan sangat
mengkhawatirkan bagi kepanas-bumian di Indonesia. Perlindungan hukum perlu
dilakukan terhadap investasi yang sudah ditanam dan risiko yang ditanggung oleh
pengembang panas bumi. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kehadiran undang-
undang panas bumi untuk memberikan kepastian hukum, bukan hanya bagi para
pengembang yang telah beroperasi, namun juga bagi pengembang yang baru
memulai bidang usaha panas-buminya.
157
Pada tahun 2003 disusunlah suatu undang-undang baru tentang kepanas-
bumian. Undang-undang baru ini diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
rancangan dibuat oleh Asosiasi Panas Bumi (API) dan Pemerintah. Pemerintah juga
melakukan studi banding ke Selandia Baru untuk mengamati praktek pengembangan
panas bumi di negara tersebut, sebagai bahan masukan dalam penyusunan undang-
undang tersebut. Hasil studi banding ini memberikan inspirasi agar Pemerintah ikut
dalam eksplorasi panas bumi untuk meringankan risiko pengusaha panas bumi.
10.2. Peraturan Perundangan
Landasan berpikir atau filosofi yang mendasari penyusunan undang-undang
panas bumi adalah sebagai berikut:
1) Pengusahaan panas bumi dihadapkan pada mata rantai risiko disisi hulu dan hilir.
Oleh sebab itu Pemerintah diminta untuk melakukan eksplorasi untuk
meringankan risiko tersebut. Data eksplorasi ini menjadi data dasar penentuan
wilayah kerja panas bumi dan yang kemudian dapat dilelang. Kegiatan usaha
panas bumi oleh badan usaha dilakukan mulai dari tahapan eksplorasi (apabila
belum lengkap dilakukan Pemerintah), produksi uap hingga pembangkitan.
2) Mengingat panas bumi merupakan energi yang cukup vital, maka kewenangan
melakukan tender atas wilayah kerja dilakukan oleh Pemerintah. Demikian pula
pengawasan atas kegiatan usaha panas bumi dilakukan sesuai dengan
kewenangannya.
3) Kebijakan fiskal berkaitan dengan kewajiban badan usaha mengikuti undang-
undang di bidang keuangan yang berlaku. Badan usaha diwajibkan membayar
royalti uap panas bumi disamping kewajiban pajak lainnya.
4) Memberikan kepastian hukum terhadap kontrak panas bumi yang telah
ditandatangani oleh Pemerintah. Sangat disayangkan, undang-undang ini belum
memberikan jaminan kepastian usaha kepada izin-izin wilayah kerja yang telah
dikeluarkan oleh Pemerintah untuk BUMN seperti kepada Pertamina, PLN dan
koperasi. Perlindungan hukum ini kemudian dicantumkan dalam Peraturan
Pemerintah No.59/2007 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Panas
Bumi No.27/2003.
5) Sejak diundangkan, Undang-Undang Panas Bumi No.27/2003 ini ternyata belum
bisa memecahkan permasalahan dalam pengembangan panas bumi, khususnya
berkaitan dengan pemanfaatan lahan hutan konservasi dan harga panas bumi.
Oleh sebab itu Undang-Undang No.27/2003 ini perlu diamandemen, untuk dapat
mengatasi masalah tersebut.
6) Dengan adanya permasalahan pengembangan panas bumi berdasarkan UU No.
27 Tahun 2003 di atas, maka Pemerintah mengambil langkah untuk
menggantikan undang-undang tersebut dengan UU No. 21 tahun 2014 beserta
aturan perundang-undangan turunannya.
158
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 10 TAHAPAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DI INDONESIA
159
KERANGKA KEBIJAKAN
PENGELOLAAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Menteri**)
Catatan :
*) Dengan perubahannya berdasarkan putusan MK tahun 2004
**) Sepanjang diamanatkan Peraturan yang lebih tinggi dan/atau dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan
negara (Hak Atribusi)
Gambar 10.1. Kerangka kebijakan pengelolaan energi dan sumber daya mineral
160
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 10 TAHAPAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DI INDONESIA
161
1) Hasil survei pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi yang
dilakukan oleh Menteri dan pihak lain berdasarkan penugasan dari Menteri,
2) Hasil evaluasi survei pendahuluan yang dilakukan oleh gubernur atau
bupati/walikota, dan
3) Hasil evaluasi terhadap Wilayah Kerja yang dikembalikan.
Luas Wilayah Kerja yang ditetapkan berdasarkan pada sistem panas buminya
dan luas wilayahnya tidak lebih dari 200.000 hektar.
b. Survei Pendahuluan dan Eksplorasi
Survei pendahuluan merupakan kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis,
dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika,
dan geokimia, serta survei landaian suhu apabila diperlukan, untuk memperkirakan
letak serta ada atau tidak adanya sumber daya panas bumi.
Eksplorasi merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi,
geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang
bertujuan untuk memperoleh informasi kondisi geologi bawah permukaan guna
menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan panas pumi.
Dalam melaksanakan kegiatan pendataan kepanasbumian untuk penentuan
wilayah kerja, Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM berwenang untuk
melakukan Survei Pendahuluan (SP), dan bila dirasa perlu maka dapat diperlengkapi
dengan kegiatan Eksplorasi (SPE). Apabila dirasa perlu, Menteri dapat menugaskan
Gubernur, Bupati/Walikota, atau pihak lain yang mempunyai kemampuan baik dalam
bidang finansial, teknologi dan sumber daya manusia.
Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi hanya dapat
dilakukan pada ‘Wilayah Terbuka Panas Bumi’. Khusus untuk kegiatan pengeboran
uji dan pengeboran sumur eksplorasi, perlu dilakukan penyelesaian penggunaan
lahan dengan pemegang hak atas tanah.
c. Penawaran Wilayah Kerja
Penawaran Wilayah Kerja dilakukan oleh Menteri secara lelang, baik dengan
cara pelelangan terbuka atau pemilihan langsung.
1) Pelelangan terbuka dilakukan terhadap Wilayah Kerja yang ditetapkan
berdasarkan data dan informasi hasil survei pendahuluan, survei pendahuluan
dan eksplorasi, penugasan survei pendahuluan, dan hasil evaluasi wilayah
kerja yang dikembalikan.
2) Pemilihan langsung dilakukan untuk Wilayah Kerja yang ditetapkan
berdasarkan data dan informasi hasil Penugasan Survei Pendahuluan dan
Eksplorasi.
- Pelaksanaan Lelang Terbuka
Dalam pelaksanaan pelelangan Wilayah Kerja, Menteri membentuk panitia
lelang yang terdiri sedikitnya tujuh orang wakil instansi di Kementerian dan dapat
melibatkan instansi lain, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota terkait.
162
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 10 TAHAPAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DI INDONESIA
163
Dokumen lelang tahap kesatu di dalamnya memuat:
1) persyaratan administratif;
2) kualifikasi aspek teknis dan keuangan;
3) Data dan informasi panas bumi pada Wilayah Kerja yang akan dilelang;
4) prosedur pelaksanaan kualifikasi;
5) pedoman penyusunan dokumen penawaran tahap kesatu;
6) tata cara penyampaian dokumen penawaran tahap kesatu;
7) metode evaluasi dan penilaian;
8) penetapan hasil kualifikasi; dan
9) model perjanjian jual beli uap atau tenaga listrik.
Dokumen lelang tahap kedua di dalamnya memuat:
1) prosedur pelaksanaan pelelangan terbuka tahap kedua;
2) pedoman penyusunan dokumen penawaran tahap kedua;
3) tata cara penyampaian dokumen penawaran tahap kedua;
4) metode evaluasi dan penilaian;
5) tata cara penetapan hasil pelelangan terbuka tahap kedua; dan
6) tata cara sanggahan.
Panitia lelang melakukan pembukaan dokumen penawaran serta melakukan
evaluasi terhadap dokumen penawaran. Evaluasi dokumen penawaran tahap kesatu
dengan menggunakan sistem gugur, dilakukan terhadap kelengkapan persyaratan
administrasi serta pemenuhan kualifikasi aspek teknis dan keuangan yang berada
dalam satu sampul. Evaluasi dokumen penawaran tahap kedua pada sampul 1 yang
dilakukan dengan sistim gugur berisikan proposal pengembangan proyek. Proposal
pengembangan proyek meliputi kajian hasil survei pendahuluan dan eksplorasi,
rencana dan jadwal eksplorasi dan eksploitasi, dan komitmen waktu beroperasi
secara komersial (commercial operation date).
Evaluasi dokumen penawaran tahap kedua sampul 2 yang dilakukan untuk
menentukan peringkat calon pemenang lelang berisikan penawaran komitmen
eksplorasi yang meliputi jumlah sumur eksplorasi dan biaya yang diperlukan dan
pernyataan kesanggupan menempatkan dana komitmen eksplorasi pada bank BUMN
dan bank utama (prime bank).
- Pelaksanaan Pemilihan Langsung
Pemilihan Langsung ditawarkan oleh Panitia Lelang kepada:
1) Pihak Lain yang melaksanakan PSPE pada Wilayah Kerja tersebut; dan
2) BUMN yang berusaha di bidang panas bumi.
Kegiatan ini dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu:
1) Tahap Kesatu untuk menentukan peringkat kualifikasi peserta lelang; dan
2) Tahap Kedua untuk memilih peserta lelang yang akan mendapatkan IPB.
Pihak lain yang melaksanakan penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi
(PSPE) langsung dapat mengikuti pemilihan langsung tahap kedua. Apabila
164
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 10 TAHAPAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DI INDONESIA
berdasarkan hasil PSPE wilayah kerja itu tidak diminati calon peserta, maka
penawaran Wilayah Kerja diulang dengan metode pelelangan terbuka.
Prosedur pelaksanaan pemilihan langsung meliputi:
1) penawaran mengikuti pemilihan langsung;
2) pengambilan dokumen pemilihan langsung tahap kesatu;
3) penjelasan dokumen pemilihan langsung tahap kesatu;
4) pemasukan dokumen penawaran tahap kesatu;
5) pembukaan dokumen penawaran tahap kesatu;
6) evaluasi dan klarifikasi dokumen penawaran tahap kesatu;
7) penetapan peringkat peserta pemilihan langsung;
8) pengambilan dokumen pemilihan langsung tahap kedua;
9) penjelasan dokumen pemilihan langsung tahap kedua;
10) pemasukan dokumen penawaran tahap kedua;
11) evaluasi dan klarifikasi dokumen penawaran tahap kedua
12) penetapan calon pemenang;
13) penyampaian hasil penawaran Wilayah Kerja kepada Menteri;
14) penetapan pemenang oleh Menteri;
15) pengumuman pemenang.
165
4) perencanaan tahapan kapasitas pembangkitan tenaga listrik;
5) kelayakan keekonomian;
6) rencana sistem pembangkitan tenaga listrik dan transmisi tenaga listrik;
7) rencana pemeliharaan sumber daya panas umi untuk kegiatan pengusahaan;
8) rencana penggunaan kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan/atau
hutan produksi, jika terdapat rencana penggunaan kawasan hutan;
9) rencana keselamatan dan kesehatan kerja; dan
10) rencana pasca pengusahaan panas bumi.
166
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 10 TAHAPAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DI INDONESIA
167
2) melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi
lingkungan hidup;
3) melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, dan pemanfaatan sesuai dengan kaidah
teknis yang baik dan benar;
4) mengutamakan pemanfaatan barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan
rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing;
5) memberikan dukungan terhadap kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi panas bumi;
6) memberikan dukungan terhadap kegiatan penciptaan, pengembangan
kompetensi, dan pembinaan sumber daya manusia di bidang Panas Bumi;
7) melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
setempat;
8) menyampaikan rencana jangka panjang eksplorasi, eksploitasi, dan
pemanfaatan kepada Menteri yang mencakup rencana kegiatan dan rencana
anggaran serta menyampaikan besarnya cadangan;
9) menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dengan memperhatikan
itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang
sebenarnya,
10) menyampaikan laporan tertulis pengusahaan panas bumi untuk
pemanfaatan tidak langsung
11) memberikan bonus produksi kepada Pemerintah Daerah berdasarkan
persentase tertentu dari pendapatan kotor sejak unit pertama berproduksi
secara komersial.
12) memenuhi kewajiban pendapatan negara berupa penerimaan pajak dan
penerimaan negara bukan pajak yang meliputi iuran tetap, iuran produksi,
dan pungutan negara lainnya sesuai peraturan perundang-undangan,
13) memenuhi kewajiban pendapatan daerah berupa pajak daerah, retribusi
daerah, dan pendapatan lainnya yang sesuai peraturan perundang-
undangan.
10.4. Risiko Dalam Pengusahaan Panas Bumi
10.4.1. Risiko Eksplorasi
Dalam setiap kegiatan eksplorasi panas bumi tentu saja ada beberapa risiko
yang berpotensi menghambat rangkaian kegiatan pengusahaan dan pemanfaatan
panas bumi, antara lain:
a. Tidak ditemukannya sumber energi panas bumi di lokasi survei,
b. Potensi energinya kecil dan temperatur rendah sehingga tidak komersial,
c. Jumlah sumur eksplorasi yang berhasil lebih sedikit dari yang
diharapkan/diperhitungkan,
168
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 10 TAHAPAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DI INDONESIA
169
6) Berhati-hati dalam pengelolaan lingkungan
7) Merancang dan menerapkan program sesuai dengan tujuan/target serta
berdasarkan jadual pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan
8) Melaksanakan simulasi (pemodelan) untuk meramalkan kinerja reservoir dan
sumur pada berbagai skenario pengembangan lapangan PB
9) Melakukan evaluasi secara rutin terhadap pelaksanakan program untuk
mengetahui kesesuaian dengan rencana kerja
10.6. Perkembangan Harga Listrik Panas Bumi
Dalam pengusahaan listrik panas bumi, tidak bisa dipungkiri bahwa harga
merupakan sesuatu yang menentukan cepat atau lambatnya pengembangan bisnis
panas bumi. Beberapa kasus telah terjadi di negeri ini, contohnya: dengan harga
yang dipatok 9,7 sen$/kWh, telah mengakibatkan gagalnya pelelangan Wilayah Kerja
panas bumi yang terjadi di daerah panas bumi Marana di Sulawesi Tengah,
Sipoholon di Tapanuli Utara, dan Bonjol di Sumatera Barat. Hal ini memberikan
gambaran bahwa tanpa harga yang sesuai, dalam artian yang menguntungkan untuk
pengusaha panas bumi, maka tidak mungkin para pengembang panas bumi berani
melakukan bisnis di bidang ini.
Paska tersusunnya UU 27/2003 telah terjadi beberapa kali perubahan aturan
tentang harga listrik panas bumi ini, yaitu dari mulai Permen 14/2008, Permen
5/2009, Permen 32/2009, dan Permen 2/2011.
a. Permen 14/2008
Permen ini memuat tentang pelelangan listrik panas bumi dilelang
berdasarkan harga terendah. Harga Patokan Tertinggi (HPT) penjualan tenaga listrik
panas bumi dalam pelelangan Wilayah Kerja dihitung berdasarkan persentasi Biaya
Pokok Penyediaan (BPP) dari Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK)
atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk kepentingan Umum (PIUKU)
terintegrasi.
1) untuk kapasitas unit 10 – 55 MW, harga listrik di sisi tegangan tinggi dan sisi
tegangan menengah adalah 85% Biaya Pokok Penyediaan (BPP) sistem
kelistrikan setempat sesuai dengan rencana interkoneksinya.
2) untuk kapasitas unit lebih besar 55 MW, harga listrik di sisi tegangan tinggi
adalah 80% Biaya Pokok Penyediaan (BPP) sistem kelistrikan setempat.
Ketentuan harga ini hanya berlaku satu tahun disebabkan karena sulitnya
penentuan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) sistem kelistrikan setempat yang bisa
berubah setiap tahun.
b. Permen 5/2009
Permen 5/2009 disusun oleh Pemerintah untuk memperkuat pelaksanaan
Permen 14/2008 yang berisi tentang pedoman harga pembelian tenaga llstrlk oleh
PT. PLN (Persero) dari koperasi atau badan usaha lain, diantaranya memuat tentang:
170
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 10 TAHAPAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DI INDONESIA
1) PT. PLN wajib melampirkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan Harga Patokan
Tertinggi (HPT).
2) HPS dihitung berdasarkan jenis pembangkit, lokasi pembangkit, besaran
kapasitas, dan biaya eksplorasi dan pengembangan yang meliputi
a. tingkat Kandungan Komponen Dalam Negeri (TKDN);
b. harga dan kualitas bahan bakar;
c. nilai tukar; dan
d. indikator ekonomi makro lainnya
3) Untuk kapasitas dibawah 10 MW, PT PLN dapat menerbitkan Harga Patokan
Tertinggi (HPT)
Dalam suatu pembangkitan listrik tenaga panas bumi, penghitungan HPS
perlu mempertimbangkan parameter acuan biaya eksplorasi dan pengembangan.
c. Permen 32/2009
Dalam Permen ini Pemerintah menentukan harga listrik panas bumi dengan
Harga Patokan Tertinggi (HPT) sebesar 9,7 sen US$/kWh. Pemenang lelang
ditentukan dengan harga penawaran terendah. Harga ini dinilai terlalu rendah apabila
diberlakukan untuk sistim panas bumi yang berpotensi rendah dan bertemperatur
sedang/rendah.
d. Permen 2/2011
Permen ini menegaskan kepada PT. PLN untuk membeli listrik panas bumi
berdasarkan hasil lelang yang mengacu pada Permen 32/2009.
e. Permen 22 /2012
Aturan mengenai harga listrik panas bumi terakhir yang saat saat ini berlaku
adalah Permen 22/2012 yang berisi tentang harga listrik berdasarkan sistem feed in
tariff. Harga listrik berdasarkan Permen ini ditentukan berdasarkan besarnya
tegangan pembangkit listrik dan wilayah pembangkitan (Tabel 10.1).
Tabel 10.1. Harga listrik panas bumi sistem feed in tariff
Harga Listrik Panas Bumi
(sen US$/kWh)
No. Wilayah
Tegangan Tegangan
Tinggi Menengah
1 Sumatera 10 11,5
2 Jawa, Madura dan Bali 11 12,5
3 Sulawesi Selatan, Sulawesi 12 13,5
Barat, dan Sulawesi Tenggara
4 Sulawesi Utara, Sulawesi 13 14,5
Tengah, dan Gorontalo
171
5 Nusa Tenggara Barat, dan Nusa 15 16,5
Tenggara Timur
6 Maluku dan Papua 17 18,5
172
BUKU PANDUAN
PENYELIDIKAN PANAS BUMI
BAB 10 TAHAPAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DI INDONESIA
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999. Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia, SNI 18-6009-
1999. Badan Standardisasi Nasional.
Saptadji, N.M., 2002. Teknik Panas Bumi. Departemen Teknik Perminyakan. ITB.
Bandung.
Sukhyar, R., Karo Karo, C.G., Kasbani, Widodo, S., Munandar, A., 2010. Potensi
dan Pengembangan Sumber Daya Panas Bumi Indonesia. Badan Geologi.
Bandung.
Sukhyar, R., 2010. Potensi Panas Bumi serta Prospek Pengembangannya di
Indonesia. Bahan Diskusi Panel di Direktorat Jenderal Energi Baru
Terbarukan dan Konservasi Energi. Jakarta.
Sumiarso, L., 2011. Kebijakan dan Regulasi Industri Panas Bumi Indonesia.
Materi Presentasi. Seminar Indo-geothermal. Jakarta.
173
Lampiran 10.1. Kriteria Penetapan WKP Berdasarkan PERMEN ESDM NO.11/2008
Hasil Survei Hasil
Jenis/metode Kegiatan Tambahan Hasil
Pendahuluan Eksplorasi
A. Data Geosains
Survei Geologi Laporan geologi rinci; peta-peta dan
Analisis foto udara/citra satelit √ √ penampang geologi; dapat menentukan
Jenis dan distribusi satuan batuan √ √ posisi heat source
Pemetaan Geologi √ √
Struktur geologi √ √
Hidrogeologi √ √
Manifestasi panas bumi √ √
Survei Geofisika
Tahanan jenis (sounding dan √ √ Laporan geofisika; peta dan
mapping) penampang geofisika; dapat
Geomagnet √ √ menentukan ketebalan lapisan
Gaya berat √ √ konduktif (clay cap) dan kedalam top
Magneto tellurik (MT) dan TDEM √ reservoir
Survei Geokimia
Analisis fluida panas bumi (air, √ √ Laporan geokimika; peta geokimia;
uap dan gas) peta sebaran Hg dan CO2 dalam
Analisis kimia tanah √ √ tanah; zonasi kimia; diagram geokimia;
dapat menentukan geotermometri
reservoir, suhu reservoir, zona up flow,
zona out flow dan sistem geothermal
Survei Landaian Suhu
BUKU PANDUAN
gradient temperatur sumur
174
Kriteria Penetapan WKP Berdasarkan PERMEN ESDM NO.11/2008
…… lanjutan
Hasil Survei Hasil
Jenis/metode Kegiatan Tambahan Hasil
Pendahuluan Eksplorasi
Pengeboran eksplorasi
Pengeboran eksplorasi √ Mengetahui data geologi bawah
permukaan; sifat fisik dan kimia fluida
sumur; potensi sumur; profil temperatur
dan tekanan sumur; mengetahui potensi
cadangan panas bumi
B. Sistem Panas Bumi
Analisis data geosains terpadu √ √ mengetahui model /sistem panas bumi
baik 2D atau 3D dan estimasi
sumberdaya/ cadangan panas bumi
C. Status Lahan
Tumpang tindih lahan
Pertambangan √ √
Kehutanan √ √
Perkebunan √ √
Transmigrasi √ √
Tata Ruang √ √
BAB 10 TAHAPAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DI INDONESIA
175
Lampiran 10.3. Skema Alur Pelelangan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi di Indonesia
177
Alur Pengusahaan Panas Bumi Berdasarkan UU no. 21/2014