Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rheumatoid Arhritis (RA) adalah penyebab tersering dari penyakit inflamasi
kronis pada sendi. Manifestasi yang seringkali timbul adalah poliartritis simetris
dan tenosynovitis, kaku pada pagi hari atau morning stiffness, dan peningkatan
rasio sedimentasi eritrosit/ erythrocyte sedimentation rate (ESR). RA merupakan
penyakit sistemik, sehingga dapat menimbulkan perubahan pada beberapa
jaringan lain pada tubuh penderitanya (Solomon dkk, 2010). Berbagai manifestasi
yang terjadi ekstraartikular, antara lain adalah kelemahan, nodul subcutaneous,
pericarditis, neuropati perifer, vasculitis, dan abnormal hematologi (Braunwald,
2012).
Pemahaman yang diperoleh dari sejumlah hal mendasar dan penelitian
kesehatan selama lebih dari dua dekade telah merubah paradigma tentang
diagnosis dan manajemen RA saat ini. Serum antibodi untuk cyclic citrullinated
peptides (anti-CCPs) sekarang telah menjadi penanda penting dari diagnosis dan
prognosis. Selain itu, kemajuan akan penggunaan suara ultrasonik dan resonansi
magnetik dapat meningkatkan kemampuan kita untuk mendeteksi inflamasi dan
kerusakan sendi pada Rheumatoid Arthritis. Ilmu pengetahuan mengenai RA telah
mengambil lompatan besar dengan mengidentifikasi penyakit baru yang
berhubungan dengan genetik dan menguraikan lebih lanjut mengenai jalur
molekuler dari patogenesis penyakit. Hal yang relatif penting dari beberapa
perbedaan mekanisme telah digambarkan melalui penelitian baru mengenai terapi
biologis dengan target tinggi. Disamping kemajuan tersebut, pemahaman yang
belum sempurna mengenai pengenalan jalur patogen dari RA menjadi penghalang
yang cukup besar dalam pengobatan dan pencegahan (Braunwald, 2012).
Pada dua dekade terakhir terlihat peningkatan hasil yang luar biasa dari
Rheumatoid Arthritis. Deskripsi mengenai kelumpuhan persendian pada saat ini
telah jarang ditemukan. Banyak dari kemajuan tersebut yang dapat ditelusuri
untuk terapi yang lebih luas dan mengadopsi terkait pengobatan dini. Perubahan
strategi pengobatan menentukan pemikiran baru pada praktisioner primary care,
salah satu yang menuntut penyerahan pasien dengan inflamasi arthritis untuk

1
rheumatologist dengan tujuan mendukung diagnosis dan permulaan terapi. Dan
kemudian mereka akan memperoleh hasil yang terbaik dari beberapa strategi
pengobatan tersebut (Braunwald, 2012).

B. TUJUAN PENULISAN
C. MANFAAT PENULISAN

2
BAB II

ANATOMI KNEE JOINT

Struktur knee joint terbagi atas tiga kelompok: struktur tulang,


ekstraartikuler dan intraartikuler. Struktur tulang terdiri dari 3 bagian: femur, tibia
dan patella yang kemudian membentuk kompartemen: medial, lateral dan
patellofemoral.4,5

A. Struktur Tulang

Distal Femur

Ujung distal femur memiliki bangunan : condylus medialis, condylus


lateralis, epicondylus medialis, epicondylus lateralis, facies patellaris, fossa
intercondylaris, linea intercondylaris, tuberculum adductorium, linea
intercondylaris, tuberculum adductorium, fossa dan sulcus popliteus.

Condylus femur merupakan dua tonjolan bulat yang membentuk lengkung


eksentrik. Bagian anterior, merupakan bangunan rata, yang membentuk
permukaan lebar untuk kontak dan meneruskan beban. Condylus ini nampak
pipih dan sejajar batang femur di bagian depan tetapi nampak menonjol sekali
dibagian belakang. Cekungan pada bagian anterior antara Condylus disebut
trochlea. Pada bagian posterior, condylus dipisahkan oleh fossa intercondylaris.
Permukaan artikuler pada condylus medial lebih panjang dibanding condylus
lateral, tetapi condylus lateral lebih lebar. Sumbu panjang condylus lateral sesuai
dengan bidang sagital, sedangkan condylus medial biasanya membentuk sudut 22
⁰ terhadap bidang sagital.

Condylus medialis femoris.


Merupakan bagian medial dari ujung bawah os femur dimana lebih
melengkung dan lebih menonjol ke sisi dibanding condylus lateralis. Facies
inferiornya akan berada dalam satu bidang horizontal dengan facies inferior
condylus lateralis bila femur dalam posisi anatomi, sedangkan bila femur
dalam posisi vertical maka facies inferior condylus medialis ini akan
merupakan titik terendah dari femur. Pada facies medialis dijumpai

3
epicondyius medialis, sedangkan pada bagian atas belakang medial dijumpai
tuberculum adductorium.

Condylus Lateralis Femoris.


Merupakan bagian lateral dari ujung bawah os. femur, dengan axis
panjang yang kurang obliq serta facies inferior yang kurang convex. Pada
facies lateralisnya dijumpai tonjolan yang disebut epicondylus lateralis. Di
bawah epicondylus kita jumpai lekukan yang disebut fossa poplitea yang
menerus dengan suatu parit yang berjalan keatas belakang yang disebut sulcus
popliteus dimana ini akan ditempati tendo m.popliteus apabila lutut dalam
keadaan flexi penuh.

Gambar Femur:

A. Tampak depan (kanan)


B. Tampak belakang (kanan)
C. Distal femur; tampak lateral (Kanan)
D. Distal femur; tampak permukaan inferior (kanan)
(Diambil dari Atlas Anatomi Manusia, SOBOTTA)

4
Epicondylus medialis.
Adalah tonjolan atau peninggian ke medial dari facies medialis condylus
medialis femoris.

Epicondylus lateralis.
Suatu penonjolan atau peninggian ke lateral dari facies lateralis condylus la-
teralis femoris.

Facies Patellaris.
Bentuk seperti kerekan/katrol. Ini bersendi dengan patella bila lutut melurus.
Bagian lateral dari bangunan kerekan ini lebih menonjol dan lebih meluas ke
atas dari yang medial.

Fossa intercondylaris.
Adalah lekukan luas antara condylus medialis dan lateralis di bagian belakang.
Disini dijumpai daerah kasar untuk perlekatan lig. cruciatum anterius dan
posterius.

Linea intercondylaris.
Adalah suatu garis horizontal yang memisahkan fossa intercondylaris dan fa-
cies poplitea.

Tubercullum adductorium.
Adalah tonjolan kecil diatas epicondylus medialis yang merupakan bagian
tertinggi dari facies medialis condylus untuk perlekatan m.adductor magnus.

Condylus lateralis dan medialis bila kita lihat dari samping lateral
maupun medial akan terlihat bahwa : ke bagian depan kurang menonjol dimana
lebih merupakan garis lanjutan dari corpus, sedangkan ke belakang melengkung
melewati garis/bidang lanjutan dari corpus femoris.

Facies articularis superior tibiae beserta meniscusnya akan bersendi


dengan facies posterior condylus femoris bila lutut flexi. facies inferior
condylus lateralis dan medialis akan berada dalam satu bidang horizontal

5
apabila femur dalam posisi anatomi yakni posisi miring, sedangkan bila posisi
femur tegak (erect) maka condylus medialis akan lebih rendah.

Proksimal Tibia

Pelebaran bagian proksimal tibia membentuk dua permukaan rata, yang


disebut kondilus atau plateau yang akan berartikulasi dengan kondilus femoris.
Mereka dipisahkan oleh eminentia interkondilaris pada bagian tengah, eminentia
ini terdiri dari tuberkulum interkondilare medial dan tuberkulum interkondilare
lateral . Bagian anterior dan posterior eminensia interkondilaris ini merupakan
tempat melekatnya ligamentum cruciatum dan meniscus.
Ujung proximal ini lebih besar dibandingkan ujung distal, sedangkan
diameter terluas kearah transversal dan dari samping tampak sedikit melengkung
ke belakang. disini kita jumpai: facies articularis superior, condylus medialis,
condylus lateralis, facies articularis fibularis, eminentia intercondylaris, area
intercondylaris anterior dan posterior, tuberculum intercondylaris mediale dan
laterale, dan tuberositas tibiae.

Facies articularis superior.


Merupakan facies superior dari condylus lateralis dan medialis, dimana yang
medial lebih oval dan lebih concav dari yang lateral.

Gambar Tibia:

Tibia tampak depan (ventral view), tampak samping (lateral view), tampak belakang (dorsal view)

(Diambil dari Atlas Anatomi Manusia, SOBOTTA) 6


Condylus medialis.

Lebih besar dibanding condylus lateralis. Pada aspect posteromedialnya kita


jumpai parit horizontal untuk perlekatan m.semimembranosus.

Condylus lateralis.

Lebih kecil dibanding condylus lateralis, rnempunyai facies inferior yang


sempit yang tidak di temui pada condylus medialis. Pada facies inferior ini kita
dapati facies articularis fibularis.

Facies articularis fibularis.

Terdapat pada facies inferior condylus lateralis tibiae, di sebelah belakang.


Disini facies datar hampir circular untuk bersendi dengan facies articularis
capitis fibulae.

Eminentia intercondylaris.

Adalah peninggian diantara kedua facies articularis superior kanan dan kiri,
dimana letaknya lebih dekat pada tepi belakang daripada tepi depan.

Gambar

Tibia & fibula: tampak proximal (Kanan)

*permukaan sendi Condylus medialis dan lateralis disebut juga Facies Articularis superior

(Diambil dari Atlas Anatomi Manusia, SOBOTTA)

Area intercondylaris anterior dan posterior.

7
Adalah daerah diantara facies articularis superior kanan dan kiri, di depan &
di belakang eminentia intercondylaris. Daerah ini merupakan tempat
perlekatan lig. cruciatum anterius dan posterius, serta meniscus.

Tuberkulum intercondylare mediale dan laterale.


Ini tidak lain daripada penyusun eminentia intercondylaris di sebelah medial &
lateral.

Tuberositas tibiae.
Adalah penonjolan pada ujung atas di sebelah depan kira-kira 2,5 cm
dari tepi
atas. Bangunan ini mudah diraba pada orang hidup. Bagian atasnya licin untuk
perlekatan lig. patellae, sedangkan bagian bawah kasar terdapat langsung di
bawah
kulit.

Patella

Patella adalah tulang sesamoid terbesar dan terletak pada trochlea femur.
Patella berbentuk oval asimetris dengan apex mengarah ke distal. Tendon
quadriceps membungkus pada bagian anterior dan berpadu dengan ligamentum
patella. Patella memiliki tiga fungsi yaitu sebagai pengungkit untuk otot
quadriceps femoris, melindungi knee joint dan meningkatkan lubrikasi dan nutrisi
pada knee joint. (insall,joseph hamil)

Gambar :

Patella, tampak depan (ka,80%) dan tampak belakang (ka, 80 %)

(Diambil dari Atlas Anatomi Manusia, SOBOTTA)

8
Patella berbentuk triangular yang lebih lebar pada ujung proksimal
dibanding ujung distal. Artikular surface pada patella dipisahkan oleh sebuah
peninggian ke arah vertical, menjadikan lebih kecil pada permukaan medial dan
lebih lebar pada permukaan lateral. Jika lutut dalam keadaan ekstensi , patella
berada di batas permukaan superior dari troklea. Bagian distal dari permukaan
lateral patella berartikulasi dengan condylus lateral femur, tetapi permukaan
medial patella hampir tidak berartikulasi dengan condylus medial sampai terjadi
gerakan fleksi maksimal. Pada fleksi 45 ⁰ patella bergerak ke sebelah proksimal
ke bagian tengah artikular surface. Pada fleksi maksimal, bagian proksimal kedua
permukaan patella dalam keadaan bertemu dengan femur dan selama fleksi dan
ekstensi, petella bergerak antara 7-8 cm terhadap condylus femur. Dengan fleksi
maksimal, tekanan lebih besar berada pada permukaan medial.

B. Struktur Ekstraartikuler

Tendo Ekstraartikuler

Struktur ekstraartikuler penting yang menyokong dan mempengaruhi fungsi


sendi yaitu kapsul, ligamentum kollateral dan tendo otot yang melingkupi sendi
tersebut. Tendo otot yang utama antara lain tendo muskulus quadriceps femoris,
gastrocnemius, popliteus, otot-otot hamstring dan iliotibial band.

Keempat musculus quadriceps membentuk 3 lapis tendo quadriceps yang


berinsertio pada os. Patella. Tendo muskulus rectus femoris tepat diatas patella
membentuk lapisan anterior yang masuk di tepi anterior ujung proksimal os
patella. Tendo muskulus vastus intermedius berlanjut menjadi lapisan terdalam
dari tendo quadriceps dan masuk ke tepi posterior ujung proksimal os. Patella.
Lapisan tengah terbentuk oleh pertemuan antara vastus lateralis dan medialis.
Serabut retinakulum medialis terbentuk oleh aponeurosis muskulus vastus medial
yang masuk secara langsung ke sisi medial patella dan membantu mencegah
lateral displacement dari patella selama fleksi. Tendo patella berorigo dari ujung
distal os patella dan berinsertio di tuberositas tibia.

9
Muskulus gastrocnemius merupakan otot terkuat pada betis, melingkupi
bagian posterior lutut dan berhubungan erat dengan kapsul posterior, otot ini
berorigo pada bagian posterior kondilus medial dan lateral femur.

Pes anserinus merupakan istilah untuk menyebut gabungan tendo muskulus


Sartorius, gracilis dan semitendinosus yang melekat pada bagian medial dari
proksimal tibia. Merupakan otot fleksor utama dari lutut dan otot sekunder untuk
gerakan internal rotasi os. tibia dan membantu melindungi lutut melawan trauma
memutar dan valgus stress. Pada sisi berlawanan yaitu bagian lateral lutut
berinsertio muskulus biceps femoris pada caput fibula, lateral tibia dan sisi
posterolateral kapsul. Otot ini merupakan otot fleksor yang kuat untuk sendi lutut
dan juga menjadi otot yang berperan untuk gerakan eksternal rotasi pada os tibia.
Musculus biceps femoris memberikan stabilitas terhadap gerakan memutar dan
mencegah dislokasi ke anterior os tibia terhadap femur selama gerakan fleksi.

Ligamentum arcuatum kompleks berperan pada sisi posterolateral sendi


lutut dan menjaga stabilitas varus dan gerakan rotasi. Tendo Fascia Lata melekat
pada epikondilus lateral femur dan tuberkel lateral tibia (Gerdys Tubercle).
Membentuk ligament tambahan yang berdekatan dengan vastus lateral pada sisi
anterior dan biceps pada sisi posterior. Fascia lata ini akan bergerak kedepan
apabila terjadi ekstensi dan kebelakang bila terjadi gerakan fleksi tetapi akan tetap
tegang pada kedua posisi. Selama fleksi fascia lata, tendo popliteus dan
ligamentum collateral lateral menyilang satu sama lain, namun fascia lata dengan
tendo biceps masih sejajar seperti saat ekstensi, semuanya memperkuat stabilitas
pada sisi lateral.

Muskulus popliteus memiliki 3 origo, yang paling kuat adalah yang berasal
dari condylus lateral femur. Origo penting yang lain adalah yang berasal dari
fibula (ligamentum popliteofibular) dan berasal dari sisi posterior meniscus
lateral. Origo dari femur dan fibula membentuk cabang dari ligament berbentuk
Y- obliq, yaitu ligamentum arcuatum. Kemudian cabang tersebut bergabung
bersama ke dalam kapsul dan meniscus. Penelitian menggunakan elektromyografi,
Basmajian dan Lovejoy menemukan bahwa muskulus popliteus merupakan otot
rotator ke medial utama untuk tibia selama awal fleksi dan juga berperan sebagai

10
peredam meniscus selama fleksi. Sebagai tambahan, dia juga berperan pada
menstabilkan rotasi femur terhadap tibia dan membantu Posterior Cruciatum
Ligament mencegah dislokasi ke anterior os femur terhadap tibia.

Gambar : Otot poplitea memiliki tiga origo

Muskulus semimembranosus merupakan otot yang penting dalam


mempertahankan stabilitas struktur posterior dan posteromedial sendi lutut.
Memiliki 5 buah cabang bangunan pada tendo distalnya. Pertama yaitu
ligamentum popliteum obliqum yang berasal dari insertio tendo musculus
semimembranosus pada bagian posteromedial tibia berjalan menyilang dan
kelateral atas masuk ke dalam caput gastrocnemius lateral. Berperan penting
dalam stabilitas lutut bagian posterior. Musculus semimembranosus membantu
mengencangkan ligamentum ini dengan kontraksi. Ketika ligamentum poplituem
tertarik ke sebelah medial dan kedepan, akan menyebabkan kapsul posterior knee
menjadi rapat. Manuver ini bisa digunakan untuk mengencangkan kapsul
posterior pada sudut posteromedial saat operasi repair. Tendo kedua melekat pada
kapsul posterior dan sisi posterior meniscus medial.

11
Gambar : Otot Semimembranosus memilki Lima cabang insertio

Tendo ini membantu mengencangkan kapsul posterior dan menarik


meniscus medial ke posterior pada saat fleksi lutut. Caput anterior atau dalamnya
berlanjut melebar sepanjang condylus medial tibia dan masuk terbenam ke
ligamentum collateral tibia superficial sebelah distal dari garis sendi. Caput utama
dari tendo musculus semimembranosus melekat pada tuberkel bagian posterior
condylus medial tibia dibawah persis garis sendi. Adanya perlekatan tendo ini
memberikan tempat untuk membenamkan jahitan pada repair kapsul
posterolateral. Bagian distal tendomusculus semimembranosus berlanjut ke arah
distal membentuk sebuah jaringan fibrous yang menutupi musculus popliteus dan
bergabung dengan periosteum pada tibia sebelah medial. Kontraksi musculus
semimembranosus membuat tegang bangunan disekitar kapsul posterior dan
posteromedial, memberikan stabilitas yang signifikan. Fungsinya sendiri berperan
sebagai otot fleksor knee joint dan endorotasi tibia.

12
Gambar : Ligamentum yang memperkuat kapsul posterior

Retinaculum medialis merupakan perluasan aponeurosis muskulus vastus


medialis. Melekat sepanjang perbatasan medial patella dan tendo patella dan
bagian distal melekat pada tibia. Fungsinya yaitu membuat patella tetap berada
pada fosa patellofemoral dan menutupi atau menjadi satu dengan ligamentum
kapsuler anteromedial. Kontraksi vastus medialis membantu mengencangkan
bagian anterior dari ligamentum kapsuler medial.

Retinakulum lateralis merupakan perluasan vastus lateral yang melekat pada


fascia lata yang berfungsi membantu mengencangkan fascia pada saat lutut
ekstensi dan fascia lata maju kedepan. Ketidakseimbangan antara retinaculum
lateral dan medial kadang-kadang nampak pada subluksasi atau dislokasi patella.

Ligament Ekstraartikuler

Ligamentum Patella

13
Ligamentum ini melekat mulai dari apeks dan margin disekitarnya pada
Os.Patella sampai Tuberositas Tibia. Ligamentum ini adalah ligamentum anterior
pada sendi lutut, dan pada bagian sisinya mendapat perlekatan dari retinaculum
patella medial dan lateral yang merupakan ekspansi apponeurosis dari M.Vastus
medial dan lateral dan fascia diatasnya. Retinaculum ini berfungsi secara relatif
mempertahankan alignmen Os Patella terhadap Facies articularis Patellaris dari
Os.Femur. Ligamentum patellae ini sebenarnya merupakan lanjutan dari bagian
pusat tendon bersama m. quadriceps femoris. Dipisahkan dari membran synovial
sendi oleh bantalan lemak intra patella dan dipisahkan dari tibia oleh sebuah bursa
yang kecil. Bursa infra patellaris superficialis memisahkan ligamentum ini dari
kulit.

Ligamentum Collaterale Fibulare (Lateral)

Ligamentum ini menyerupai tali dan melekat di bagian atas pada epicondylus
lateralis os. femur dan dibagian bawah melekat pada caput fibulae. Ligamentum
ini dipisahkan dari capsul sendi melalui jaringan lemak dan tendo m. popliteus.
Dan juga dipisahkan dari meniscus lateralis melalui bursa m. poplitei.

Ligamentum Collaterale Tibiae (Medial)

Ligamentum ini berbentuk seperti pita pipih yang melebar, lebih lemah dibanding
lig.collateral fibula. Melekat dibagian atas pada epicondylus medialis os femur
dan pada bagian bawah melekat pada condylus medial os tibia. Ligamentum ini
menembus dinding capsul sendi dan sebagian melekat pada meniscus medialis.

Ligamentum Popliteum Obliquum

Ligamentum ini berawal pada daerah posterior medial tibia menuju condilus
lateral femur. Merupakan ligamentum yang kuat, terletak pada bagian posterior
dari sendi lutut, letaknya membentang secara oblique ke medial dan bawah.
Sebagian dari ligamentum ini berjalan menurun pada dinding capsul dan fascia m.
popliteus dan sebagian lagi membelok ke atas menutupi tendon m.
semimembranosus.

Ligamentum Popliteal Arcuatum

14
Ligamentum ini memperkuat sendi pada daerah posterolateral. Berawal dari aspek
posterior caput fibula menuju superomedial dan melekat pada permukaan
posterior sendi lutut.

15
Ligamentum Transversum Genu

Ligamentum ini terletak membentang paling depan pada dua meniscus , terdiri
dari jaringan connective, kadang- kadang ligamentum ini tertinggal dalam
perkembangannya , sehingga sering tidak dijumpai pada sebagian orang.

Kapsul sendi dan ligamentum kolateral merupakan bangunan ekstraartikuler


utama yang memberikan stabilitas statis. Kapsul ini dibungkus oleh jaringan ikat
yang meluas dari patella dan tendo patella pada bagian anterior sampai ke lateral,
medial dan posterior meluas ke sendi. Meniskus melekat kuat pada kapsul ini,
khususnya pada sebelah medial dan kurang melekat pada sebelah lateral. Pada
bagian lateral, tendo poplitea melewati hiatus popliteus untuk berorigo pada
kondilus lateral femur sehingga membuat perlekatan meniscus lateral kurang kuat
dibanding sebelah medial. Kapsul medial lebih berbeda dan berbatas tegas
dibanding bagian lateral. Struktur kapsul, Perluasan muskulus quadriceps femoris
ke sebelah lateral dan medial merupakan penstabil utama struktur anterior
terhadap axis transversal sendi. Kapsul secara khusus diperkuat oleh ligamentum
collateral dan otot-otot hamstring bagian medial dan lateral, musculus popliteus
dan tensor fascia lata pada axis transversal.

Nicholas dan Minkof menyebut “quadruple komplek” medial dan lateral


sebagai stabilizer utama lutut. Quadruple complex medial terbentuk oleh Medial
Cruciatum Ligament (MCL), semimembranosus, dan tendo pes anserinus, dan
juga bagian ligamentum poplitea obliqum dari kapsul posterior. Lateral quadruple
complex terbentuk oleh tensor fascia lata, lateral collateral ligament (LCL), tendo
poplitea dan biceps femoris. Kapsul sendi bagian posterior diperkuat ligamentum
popliteum obliqum dan pada sisi posteromedial diperkuat oleh percabangan
semimembranosus, bagian posterolateral oleh struktur yang menyusun
ligamentum arcuatum kompleks.

Sisi anteromedial dan anterolateral kapsul relative tipis tetapi diperkuat oleh
adanya perluasan retinakulum patella lateral dan medial dan juga pada sisi lateral
oleh tensor fascia lata dan sisi medial diperkuat oleh fascia yang meluas dari
patella sebagai patelloepicondylar ligament dan patellotibial ligament. Bagian sisi

16
anteromedial dan anterolateral kapsul terlindungi struktur-struktur tersebut dari
subluksasi dan gerakan rotasi.

17
Kapsul Sendi ( Cavitas Articularis)

Kapsula sendi secara umum terdiri atas lapisan Eksternal (fibrosa) dan
Lapisan dalam berupa Membran Synovial yang melingkupi seluruh permukaan
sendi yang tidak tertutup kartilago articularis . Pada bagian superior lapisan
Fibrosa (eksternal) melekat tepat proximal dari batas articular condylus femur.
Pada bagian posterior, lapisan fibrosa menutupi fossa intercondilaris dan kedua
condylus femur. Lapisan Fibrosa memiliki bukaan pada posterior dari Condylus
lateral Tibia sebagai jalan bagi tendo M.Popliteus. Pada daerah inferior, lapisan
fibrosa melekat pada batas (margin) dari Facies articularis superior Tibia (tibial
Plateu), kecuali pada daerah dimana M.Popliteus menyilang. Pada daerah
anterior, lapisan fibrosa digantikan oleh Tendo M.Quadriceps dan Ligamentum
Patella, dimana lapisan fibrosa melekat pada margin medial dan lateral struktur
tersebut.

C. Struktur Intraartikuler

Ligamentum cruciatum adalah dua ligamentum intra capsular yang sangat


kuat, saling menyilang didalam rongga sendi. Ligamentum ini terdiri dari dua
bagian yaitu posterior dan anterior sesuai dengan perlekatannya pada tibiae.
Ligamentum ini penting karena merupakan pengikat utama antara femur dan
tibiae.

Ligamentum Cruciatum Anterior

Ligamentum ini melekat pada area intercondylaris anterior tibiae dan


berjalan supero-postero-lateral menuju bagian posterior permukaan medial dari
condilus lateral Femur. Ligamentum ini akan mengendur bila lutut ditekuk dan
akan menegang bila lutut diluruskan sempurna. Ligamentum cruciatum anterior
berfungsi untuk mencegah hiperekstensi dan menahan gerakan ke depan tibia
pada femur.

Ligamentum Cruciatum Posterior

18
Ligamentum cruciatum posterior melekat pada area intercondylaris posterior
dan berjalan kearah atas , depan dan medial, dan melekat pada bagian anterior
permukaan lateral condylus medialis femoris. Ligamentum cruciatum posterior
menjadi tegang saat hiperfleksi dan mempunyai fungsi menahan pergeseran
posterior tibia pada femur.

Gambar Penampang anterior, tampak ligamentum sendi lutut. (Diambil dari


Thompson et al. 2002. Netter's Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy, 1st ed.
Saunders, Elsevier )

Meniscus (Cartilago Semilunaris)

Meniscus adalah plat fibrocartilago yang terdapat pada permukaan sendi Os.
Tibia. Ujung-ujungnya melekat pada area intercondiler tibia. Ligamentum
coronarium adalah bagian dari kapsula sendi yang melekat diantara margin dari
meniscus, sedang Ligamentum transversum genu adalah ligamen yang melekat
diantara tepi depan meniscus. Tepi luar meniscus ini lebih tebal dan cembung
dibandingkan bagian dalamnya. Permukaan atasnya cekung dan berhubungan
langsung dengan condylus femoris. Fungsi meniscus ini adalah sebagai shock

19
absorber dan memperdalam permukaan fascies articularis condylus tibialis untuk
menerima condylus femoris yang cekung.

Gambar Penampang posterior, tampak ligamentum sendi lutut. (Diambil dari


Thompson et al. 2002. Netter's Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy, 1st ed.
Saunders, Elsevier )

Meniscus Medialis

Bentuknya hampir semi sirkular membentuk C dan bagian belakang jauh


lebih lebar daripada bagian depannya. Cornu anterior melekat pada area
intercondylaris anterior tibiae dan berhubungan dengan meniscus lateralis melalui
beberapa serat yang disebut ligamentum transversum. Cornu posterior melekat
pada area intercondylaris posterior tibiae. Batas bagian perifernya melekat pada

20
simpai dan ligamentum collaterale sendi. Dan karena perlekatan inilah meniscus
medialis relatif kurang mobile.

Meniscus Lateralis

Bentuknya hampir sirkular dan melebar secara merata. Cornu anterior melekat
pada area intercondylaris anterior, tepat di depan eminentia intercondylaris.
Cornu posterior melekat pada area intercondylaris posterior, tepat di belakang
eminentia intercondylaris. Seberkas jaringan fibrosa biasanya keluar dari cornu
posterior dan mengikuti ligamentum cruciatum posterior ke condylus medialis
femoris. Batas perifer cartilago dipisahkan dari ligamentum collaterale laterale
oleh tendon m. popliteus, sebagian kecil dari tendon melekat pada meniscus ini.
Akibat susunan yang demikian ini meniscus lateralis kurang terfiksasi pada
tempatnya bila di bandingkan dengan meniscus medialis.4,5,6,7,8

Gambar Penampang superior, tampak meniscus lateralis dan medialis. (Diambil


dari Thompson et al. 2002. Netter's Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy, 1st ed.
Saunders, Elsevier )

21
22
BAB III

RHEUMATOID ARTHRITIS
A. Definisi

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik yang tidak


diketahui pasti penyebabnya yang ditandai dengan poliarthritis perifer dan
simetris. Keduanya pada umumnya merupakan akibat dari inflamasi arthritis dan
kerusakan sendi, serta gangguan fisik. Karena RA merupakan penyakit sistemik,
RA menimbulkan berbagai manifestasi ekstraarticular, termasuk kelelahan, nodul
pada lapisan subcutaneous, lung involvement, pericarditis, neuropati perifer,
vaskulitis, dan keabnormalan dari hematologi. (Braunwald, et.al., 2012)

B. Etiologi dan Predisposisi

Etiologi dari RA masih belum sepenuhnya diketahui. Akan tetapi


sebuah loncatan besar pada penelitian mengenai RA membawa kita pada
hipotesis mengenai etiologi dan patogenesis RA. Berikut ini beberapa faktor
pada evolusi atau perjalanan penyakit RA yaitu : (Solomon dkk, 2010)

1. Kemungkinan adanya peranan dari faktor genetik.


2. Reaksi imunologi, yang mungkin melibatkan antigen asing yang terfokus
pada jaringan synovial.
3. Reaksi inflamasi pada sendi dan selubung tendon.
4. Munculnya antibody anti-IgG ( rheumatoid factor ) didalam darah dan
synovium
5. Proses inflamasi yang terjadi secara terus menerus
6. Kerusakan kartilago persendian

1. Faktor Genetik
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis (RA) belum diketahui secara pasti.
Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian RA, dengan angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan HLA class II

23
histocompatibility antigen, DRB1-9 beta chain (HLA-DRB1) dengan kejadian
RA telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga
berhubungan dengan RA seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang
mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-κB) (Suarjana,
2009).
Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada RA. Faktor genetik
juga berperanan penting dalam terapi RA karena aktivitas enzim seperti
methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk
metabolisme methoraxate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik.
Pada kembar monozigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya
RA lebih dari 30% dan pada orang kulit putih dengan RA yang
mengekspresikan HLA-DL1 atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuain
sebesar 80% (Suarjana, 2009).

2. Reaksi inflamasi dan faktor rheumatoid

Peranan sinovial mediator pada RA Synovial mediator ataupun sitokin yang


dihasilkan akibat adanya aktivasi berbagai sel imunokompeten mengaktivasi
endotel vaskuler, dan sel-sel inflamasi lainnya yang akhirnya sel-sel tersebut
mensekresi sitokin. Pada RA tampak gangguan keseimbangan sitokin pro
inflamasi dan anti inflamasi yang menyebabkan otoimunitas berjalan. Berbagai
sitokin terlibat pada kerusakan dan inflamasi sinovium. Interleukin-1 dan TNF-α
merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalam pathogenesis RA. Kedua
sitokin ini merupakan stimulator yang kuat sel-sel fibroblast sinovium, osteoklas
dan kondrosit.( Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007)

24
Tabel 1. Sitokin- sitokin yang terlibat dalam patologi RA

Suatu antigen penyebab RA yang berada pada membran sinovial, akan diproses
oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel
sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi
determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan
dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang

25
terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks
trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang
dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
aktivasi sel CD4+.

Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan


mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang
diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada
permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi
sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap
berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga
mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis
factor β (TNF-β), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain
yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya
dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.

Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang
sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang
akan membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a
merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular
juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah
lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan
bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada RA adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada
membran sinovial.

Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan
dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease
neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi
dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi
hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi.

26
Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan
sendi.

Prostaglandin E2(PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat


merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan
TNFβ. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen
penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada RA,
antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian,
sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya
destruksi persendian pada RA kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya
faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop
fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien RA. Faktor reumatoid akan
berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses
peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan
terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan
histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
(
Kumar, 2007), (velyn,c pearce,2006)

Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan


kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang
paling destruktif dalam patogenesis RA. Pannus merupakan jaringan granulasi
yang terbentuk dari makrofag dan sel-sel radang lainnya, factor pertumbuhan
(Fibroblast Growth Factor, FGF) yang menyebabkan proliperasi fibroblast serta
faktor angiogenesis (Vascular Endothelial Growth Factor, VEGF) yang
membentuk pembuluh darah baru ( neovaskularisasi).

Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus


terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan
kolagen dan proteoglikan. Kumar, 2007), (velyn,c pearce,2006)

27
Gambar 3. Peran sentral IL-1 dan TNF- α dalam pathogenesis RA

3. Faktor Infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab. Organisme
diduga menginfeksi sel induksi sel (host) dan merubah reaktivitas atau respon
sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan
agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyakit (Suarjana, 2009).

Gambar 2. Mekanisme erosi sendi oleh osteoklast pada AR

28
Tabel 1. Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab RA

Agen infeksi Mekanisme patogenik


Mycoplasma Infeksi sinovial langsung, superantigen
Parvovirus B19 Infeksi sinovial langsung
Retrovirus Infeksi sinovial langsung
Enteric bacteria Kemiripan molekul
Mycobacteria Kemiripan molekul
Epstein-Barr Virus Kemiripan molekul
Bacterial Cell Walls Aktivasi mikrofag

4. Sinovitis kronis dan destruksi sendi

Sinovium merupakan bagian penting dari sendi diartrodial dan secara


fisiologis berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam rongga sendi serta
mengeluarkan sisametabolismenya, membantu stabilitas sendi dan bersifat low-
friction lining. Secara normal, sinovium diharapkan mampu memelihara,
mendukung dan mengganti substansiyang diperlukan dalam kerja sendi sebagai
suatu organ sepanjang hidup individu yang bersangkutan. Perubahan- perubahan
yang terjadi pada sinovium tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap sendi.
Sebagian besar perubahan tersebut disebabkan oleh peningkatan dari volume
sinovium itu sendiri seperti perubahan dari jumlah dan komposisi dari sel yang
secara normal ditemukan pada sinovium yaitu sinoviosit, fibroblast, makrofag, sel
mast, sel vaskular dan sel limfatik ataupun adanya infiltrasi sel- sel tertentu ke
dalam sinovium .Peranan sinovium dalam kerusakan sendi pada berbagai penyakit
memiliki mekanisme yang berbeda. Pada RA ditemukan pada sinovium adanya
hyperplasia yang didominasi oleh sel sinoviosit A dan sinoviosit B pada bagian
luar. Selain hyperplasia sinovium ditemukan juga vaskularisasi yang meningkat
dan infiltrasi sel-sel inflamasi terutama sel limfosit T CD4, yang merupakan peran
utama pada respon imun seluler. Daerah utama terjadinya kerusakan sendi terletak
pada pertemuan jaringan sinovium yang meradang (pannus) dengan rawan sendi
dan tulang. Pada stadium lanjut terdapat kerusakan periartikuler dan erosi tulang
(16). (Bermawan, Penyakit Radang Sendi 2011)

29
C. Patologi Rheumatoid Arthritis (Solomon dkk,2010)
Stage 1-preklinis

Sebelum RA menunjukkan gejala klinis, penderita telah menunjukkan perubahan


patologi imunitas yaitu, peningkatan ESR, C-reactive protein (CRP) dan factor
rheumatoid (FR). Ketiga penanda tersebut dapat dideteksi beberapa tahun sebelum
diagnosis pertama.

Stage 2-sinovitis

Perubahan awal berupa kongesti vaskuer dengan pembentukan pembuluh darah


baru, proliferasi sinoviosit dan infiltrasi lapisan subsinovial oleh sel polimorfik,
limfosit dan sel plasma. Disamping itu terdapat penebalan struktur kapsula ,
pembentukan villous pada sinovium dan efusi sel-sel kedalam sendi serta lapisan
selubung tendon. Meskipun pada proses ini terasa nyeri, akan tetapi struktur sendi
masih intak dan mobile, serta kelainan yang terjadi masih bersifat reversible.

Stage 3-destruksi

Inflamasi yang menetap menyebabkan destruksi sendi dan tendon. Kartilago


articular mengalami erosi, yang disebabkan oleh aktivitas enzim proteolitik,
jaringan vaskuler pada lipatan refleksi synovial dan juga karena invasi secara
direk ke dalam kartilago oleh pannus jaringan granulasi yang meluas di atas
permukaan sendi. Pada tepian sendi, tulang mengalami erosi oleh granulasi
jaringan yang menginvasi dan resorpsi osteoklas.

Perubahan yang serupa juga terjadi pada selubung tendon, menyebabkan


tenosynovitis, invasi kolagen dan terkadang menyebabkan rupture tendon baik
komplit maupun parsial.

Stage 4-deformitas

Akibat dari destruksi articular, peregangan kapsul dan rupturnya tendon akan
menghasilkan instabilitas yang progresif serta deformitas pada sendi. Proses
inflamasi biasanya tetap berjalan sementara itu pengrusakan sendi dan tendon
secara mekanis dan fungsional akan menjadi vital.

30
D. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis

Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:


1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 3 bulan.

E. Penegakan Diagnosis

31
Rheumatoid arthritis umumnya hadir dengan nyeri dan kekakuan pada
beberapa sendi, biasanya pasien mengalami gejala awalnya hanya di satu lokasi
atau beberapa lokasi persendian (Harris, 2005).
Sendi yang paling sering terkena adalah persendian dengan rasio tertinggi
sinovium pada tulang rawan artikular. Peradangan sinovium dapat menyerang dan
merusak tulang dan kartilago. Sel penyebab radang melepaskan enzim yang dapat
mencerna tulang dan kartilago. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan
kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan
bergerak (Harris, 2005).
Atritis Reumatoid biasanya mengalami kekakuan, bengkak, dan eritematosa.
Akibat artritis, timbul inflamasi umum yang dikenal sebagai artritis reumatoid
yang merupakan penyakit autoimun. Beberapa pasien mengeluh "bengkak" pada
persendian tangan, bengkak tersebut terjadi dikarenakan untuk peningkatan aliran
darah ke daerah meradang. Otot di dekat sendi meradang sering atrofi. Kekakuan
pada pagi hari yang berlangsung setidaknya 45 menit sebelum melakukan
aktivitas. Pada umunya persendian dengan posisi fleksi dapat meminimalkan
distensi menyakitkan dari kapsul sendi. Beberapa penelitian mengatakan,
Seseorang dapat didiagnosis AR jika onsetnya telah 6 bulan dengan beberapa
kriteria gejala AR. Biasanya diagnosis disertai dengan gejala-gejala non spesifik
seperti, malaise, kelemahan otot, berat badan turun, demam ringan, kelelahan, dan
keluhan sistemik lainnya mungkin timbul, terutama dalam presentasi akut (Chan,
2004 ; Harris, 2005).
Kurang lebih 70% penderita AR mengalami erosi tulang dalam 2 tahun
pertama penyakit , dimana hal ini menunjukan penyakit berjalan progresif.
Keterlibatan sendi pergelangan tangan, metacarpophalangeal (MCP) dan
proximal inter phalangeal (PIP) hampir selalu dijumpai, sementara keterlibatan
distal interphalangeal (DIP) lebih jarang dijumpai. Bentuk awal dari deformitas
adalah tenosinovitis yang menyebabkan tendon menjadi lemah, memanjang,
bahkan ruptur. Selain itu, penderita AR dengan keterbatasan mobilitas memiliki
kemungkinan terjadinya penurunan kekuatan otot sebesar 30-70% dibandingkan
orang normal, dengan penurunan endurans mencapai 50% (Widiani, 2011).

1. Anamnesis :

32
Beberapa pemeriksaan anamnesis yaitu (Daud, 2006):
a. Riwayat penyakit, diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan
kronologis.
b. Umur, penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi
frekuensi penyakit terdapat pada umur tertentu, penyakit rheumatoid
atritis banyak ditemukan pada usia lanjut.
c. Jenis kelamin, penyakit rheumatoid arthritis lebih banyak diderita
oleh wanita dari pada pria dengan perbandingan 3:1.
d. Nyeri sendi, nyeri merupakan keluhan utama pada pasien dengan
reumatik.. Pada pasien RA, nyeri paling sering terjadi pada pagi hari,
membengkak disiang hari, dan sedikit lebih berat dimalam hari.
e. Kaku sendi, merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar
untuk menggerakan sendinya. Keadaan ini biasanya akibat desakan
cairan yang berada disekitar jaringan yang mengalami inflamasi.
f. Bengkak sendi dan deformitas, pasien sering mengalami bengkak
sendi, perubahan warna, perubahan bentuk, dan perubahan posisi
struktur ekstremitas (dislokasi atau sublukasi).
g. Disabilitas dan handicap, disabilitas terjadi apabila suatu jaringan,
organ, atau sistem tidak dapat bekerja secara adekuat. Handicap
adalah apabila disabilitas menyebakan aktivitas sehari-hari
terganggu, termasuk aktivitas sosial.
h. Gejala siskemik, penyakit sendi inflamator baik yang disertai
maupun tidak disertai keterlibatan multisystem akan menyebabkan
peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP.
Selain itu akan disertai dengan gejala siskemik seperti panas,
penuruanan berat badan, kelelahan, lesu, dan mudah terangsang.
Kadang-kadang pasien mengeluhkan hal yang tidak spesifik seperti
merasa tidak enak badan. Pada orang tua disertai dengan gangguan
mental.
i. Gangguan tidur dan depresi, ganguan tidur dapat disebabkan oleh
adanya nyerikronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti inflamasi
nonsteroid.

33
2. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik pada sistem musculoskeletal meliputi:
a. Gaya berjalan yang abnormal pada pasien RA yaitu pasien akan
segera mengangkat tungkai yang nyeri atau deformasi, sementara
tungkai yang nyeriakan lebih lama diletakkan dilantai, biasanya
diikut oleh gerakan lengan yang asimetris, disebut gaya berjalan
antalgik.
b. Sikap/postur badan, pasien akan berusaha mengurangi tekanan
artikular pada sendi yang sakit dengan mengatur posisi sendiri
tersebut senyaman mungkin, biasanya dalam posisi fleksi.
c. Deformasi, akan lebih terlihat pada saat bergerak.
d. Perubahan kulit, kemerahan disertai dengan kemerahan disertai
deskuamasi pada kulit disekitar sendi menunjukan adanya inflamasi
pada sendi.
e. Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses inflamasi di
daerah sendi tersebut.
f. Bengkak sendi bisa disebabkan karena cairan, jaringa lunak, atau
tulang.
g. Nyeri raba
h. Pergerakan sinovitis menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi
pada semua arah.
i. Krepitus, merupakan bunyi yang dapat diraba sepanjang gerakan
struktur yang diserang.
j. Atrofi dan penurunan kekuatan otot.
k. Ketidakstabilan.
l. Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan observasi
pada penggunaan normal seperti bangkit dari kursi atau kekuatan
menggenggam.
m. Nodul sering ditemukan dalam berbagai atopic, umunya ditemukan
pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang,
sacrum).

34
n. Perubahan kuku, adanya jari tangan, timble pitting onycholysis atau
serpihan darah.
o. Pemeriksaan sendi satu persatu, meliputi pemeriksaan rentang
pergerakan sendi, adanya bunyi krepitus dan bunyi lainnya.
p. AR mempengaruhi berbagai organ dan sistem lainnya yaitu :
i. Kulit : nodul subkutan (nodul rheumatoid) terjadi pada banyak
pasien dengan RA yang nilai RF-nya normal, sering lebih dari
titik-titik tekanan (misalnya, olekranon. Lesi kulit dapat
bermanifestasi sebagai purpura teraba atau ulserasi kulit).
ii. Jantung : morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang
meningkat pada pasien RA. Faktor resiko non tradisional tampak
memainkan peran penting. Serangan jantung, disfungsi miokard,
dan efusi perikrdial tanpa gejala yang umum dan gejala
perikarditis konstriktif jarang. Miokarditis, vaskulitis koroner,
penyakit katup, dan cacat konduksi kadang-kadang diamati.
iii. Paru : RA mempengaruhi paru-paru dalam beberapa bentuk
termasuk efusi pleura, fibrosis interstisial, nodul (Caplan
sindrom), dan obliterans bronchiolitis-pengorganisasian
pneumonia.
iv. Ginjal : ginjal biasanya tidak terpengaruh oleh RA langsung.
Umumnya akibat pengaruh obat-obatan (misalnya : obat anti-
inflamatory peradangan (amyloidosis)).
v. Vascular : lesi vaskuler dapat terjadi diorgan mana saja namun
yang paling sering ditemukan di kulit. Lesi dapat hadir sebagai
perpura gambling, borok kulit, atau infak digital.
vi. Hematologi : sebagian besar pasien aktif memiliki penyakit
anemia kronis, termasuk anemia normokromik-normositik,
trombositiosis, dan eosinofilik, meskipun yang terakhir ini sering
terjadi. Leukopenia ditemukan pada pasien dengan sindrom
Felty.

35
vii. Neurologis : biasanya saraf jeratan, seperti padasaraf median di
carpal, lesi vasculitis, multiple mononeuritis, dan myelopathy
leher rahim dapat menyebabkan konsekuensi serius neurologis.
viii. Okular : keratoconjunctivitis siscca adalah umum pada orang
dengan RA dan sering manifestasi awal dari sindrom Sjogren
sekunder. Mata mungkin juga episkleritis uveitis, dan scleritis
nodular yang dapat menyebabkan scleromalacia.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratoris
Pemeriksaan hematologi
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
mendiagnosis artritis reumatoid. Beberapa hasil uji serologis
laboratorium menunjukan adanya kenaikan titer antibodi IgM yang
bereaksi terhadap perubahan IgG α-1 dan IgG α-2 yang juga
meningkat. Faktor reumatoid (RF) ditemukan negatif (<5%) pada
30% penderita AR stadium dini, meskipun begitu tidak serta-merta
mematahkan diagnosis AR selama masih memenuhi 4 dari 7 kriteria
utama. Kenaikan C-Reactive Protein (CRP) umumnya terjadi
sampai >0,7 pg/mL (Suarjana, 2009).
Pada pemeriksaan darah rutin sering ditemukan kenaikan laju
endap darah (LED) hingga >30mm/jam. Kenaikan CRP atau LED
dapat digunakan untuk memonitor perjalanan penyakit (Suarjana,
2009). Pada AR sering pula ditemukan penurunan kadar Hb yang
bila kemudian diperiksa melalui apusan darah tepi menunjukan
anemia normositik normokrom akibat pengaruhnya pada sumsum
tulang (Price, 2005). Hitung sel leukosit (WBC) meningkat
mencapai 2000/µL dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini
merupakan karakteristik peradangan pada artritis, namun hal
tersebut tidak mendiagnosis RA (Kasper et al., 2005).
Pemeriksaan cairan sinovial

36
Pemeriksaan cairan sinovial diperlukan bila diagnosis
meragukan. Pada AR tidak ditemukan kristal, kultur negatif, dan
kadar glukosa rendah (Suarjana, 2009). Analisi cairan sinovial tidak
menunjukkan satupun temuan spesifik untuk artritis reumatois,
namun menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi. Cairan sinovial
biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun, dan peningkatan
kandungan protein (Kasper et al., 2005).
b. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos sendi mungkin normal atau tampak adanya
osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit,
Foto pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk data
dasar, sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya (Suarjana,
2009). Setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat
terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya struktur rawan
sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan
densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel
(Price, 2005).
Pemeriksaan MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan gambaran
yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakan kartilago, dan
erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid.
MRI mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal
dibandingkan dengan foto polos dan dilengkapi dengan tampilan
struktur sendi yang lebih rinci (Suarjana, 2005).

37
Gambar 1. Pasien RA menunjukkan adanya penebalan jaringan ikat
dan penyempitan celah sendi interphalanx proksimal
(sumber: American Journal of Roentgenology)

c. Biopsy synovial

Jaringan synovial diambil dengan biopsi jarum melalui arthroskopi atau


dengan operasi. Tes ini menunjukkan peningkatan volume dan kekeruhan, tapi
viscositas yang menurun. Kadang ditemukan sel darah putih lebih dari
10000/mm3. Sayangnya kebanyakan hasil histologi dari RA tidak spesifik. 1,3

4. Gambaran patognomonik artritis reumatoid

Patognomonik adalah tanda atau gejala khas yang tipikal tehadap


suatu penyakit sehingga dapat dijadikan tolak ukur dan spesifikasi
penyakit tersebut. Patognomonik RA adalah munculnya nodul-nodul
reumatoid yang merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak
diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau
pada olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh,
tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang sekitar
20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit
lain, sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis (Eisenberg RL,
Johnson NM, 2003). Kekakuan selama minimal 1 jam dan artritis yang
simetrk juga menjadi gejala khas dari RA (Suarjana, 2009).

38
Gambar 2. Nodul reumatoid di zona persendian lutut (sumber: University of
California, Sandiego)

5. Gold Standart Diagnosis atau Kriteria Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis dapat berdasarkan kriteria ARA


(American Rheumatism Association), yaitu (Daud, 2006):
a. Kaku pagi hari di sendi dan sekitarnya, sekurangnya selama 1 jam
sebelum perbaikan maksimal.
b. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) 3 daerah
sendi atau lebih secara bersamaan yang diobservasi oleh dokter.
c. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal
interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan
tangan.
d. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah
sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
e. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang
atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler yang
diobservasi dokter.
f. Faktor rheumatoid serum positif, terdapat titer abnormal faktor
rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang membrikan
hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.

39
g. Perubahan gambaran radiologis, perubahan gambaran radiologis
yang khas pada AR pada pemeriksaan sinar X tangan posterior atau
pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya erosi atau
dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang
berdekatan sendi.

Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7


kriteria di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ada minimal 6
minggu.

F. Diagnosis Banding
Gambaran Artritis
Gout Osteoartritis
Radiologi Reumatoid
Intermitten,
Soft tissue Periartrikular, Esentrik,
tidak sejelas
swelling simetris tophi
yang lain
Subluksasi Ya Tidak biasa Kadang-kadang
Menurun di
Mineralisasi Baik Baik
periartrikular
Kadang-
Kalsifikasi Tidak kadang pada Tidak
tophi
Baik hingga
Celah sendi Menyempit Menyempit
menyempit
Punched out
Ya, pada
Erosi Tidak dengan garis
intraartikular
sklerotik
Produksi Menjalar ke
Tidak Ya
tulang tepi korteks
Bilateral,
Simetri Asimetri Bilateral, simetri
simetri
Kaki,
Proksimal ke pergelangan Distal ke
Lokasi
distal kaki, tangan proksimal
dan siku
Seagull
Karakteristik
Pembentukan appearance pada
yang Poliartrikular
kristal sendi
membedakan
interfalangeal

40
G. Penatalaksanaan

1. Farmakologis
a. Aspirin dan semua golongan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid
(OAINS)
Tujuan : terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan
(Suarjana, 2009).
b. Glukokortikoid
Steroid dengan prednisone dengan dosis kurang 10 mg/hari.
Mekanisme kerja : untuk meredakan gejala dan memperlambat
kerusakan sendi. Pemberian glukokortikoid harus disertai
pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 IU/hari
(Suarjana, 2009).
c. DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs)
Pemberian DMARD harus mempertimbangkan aspek :
1) Kepatuhan pasien
2) Beratnya penyakit
3) Pengalaman dokter
4) Adanya penyakit penyerta

Table 2. DMARD yang paling banyak digunakan (Suarjana, 2009).

DMARD Mekanisme Dosis Waktu Efek


kerja timbulnya samping
respon

Hidroksikl Menghambat 200-400 2-6 bulan Mual,


or-okuin sekresi sitokin, mg p.o. sakit
(Plaquenil), enzim per hari kepala,
klorokuin lisosomal, dan sakit
250 mg
fosfat fungsi makrofag perut,
p.o. per
myopati,
hari
toksisitas
pada

41
retina

Methorexat Inhibitor 7,5-25 1-2 bulan Mual,


e (MTX) dihidrofolat mg p.o, diare,
reduktase, IM atau kelemaha
hambat SC per n, ulkus
kemotaksis, minggu mulut,
efek anti gangguan
inflamasi fungsi
hati, dll

sulfasalazin Menhambat 2-3 gr 1-3 bulan Mual,


respon sel B p.o. per diare,
dan hambat hari leukopeni
angiogenesis ,
gangguan
fungsi
hati, dll

Azathiopri Mengahambat 50-150 2-3 bulan Mual,


ne(Imuran) sintesis DNA mg p.o. leukopeni
per hari , sepsis,
limfoma

cyclosporin Menghambat 2,5-5 2-4 bulan Mual,


e sintesis IL-2 mg/kgB parestesia
dan sitokin sel B p.o. ,
T lainnya per hari gangguan
ginjal,
hipertensi
, sepsis,
dll

42
d. Terapi kombinasi
Kombinasi terbukti memiliki efikasi terapi yang lebih tinggi
daripada terapi tunggal. Beberapa kombinasi yang sudah banyak
diteliti dan memiliki efektivitas yang lebih besar yaitu :
1) MTX + hidroksiklorokuin
2) MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine
3) MTX + sulfasalazine + prednisolon
4) MTX + leflunomide
5) MTX + infiximab
6) MTX + etanercept
7) MTX + adalimumab
8) MTX + anakinra
9) MTX + rituximab
Terapi kombinasi ini memberikan respon yang lebih baik dan
efektif dalam menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan
radiografi (Suarjana, 2009).

e. Elemen kunci terapi dengan modalitas farmaklogi pada pasien RA


adalah :
a. Identifikasi pasien dengan RA sedini mungkin
b. Mulai dengan segera pengobatan dengan DMARDs
c. Pertimbangkan terapi kombinasi dengan DMARDs
multiple.
d. Jika pengobatan dengan DMARDs gagal, beralih pada
terapi biologis seperti inhibitor TNF yaitu Infliximab,
etanercept, dan adalimumab.
2. Terapi RA dengan pembedahan dan prosedur lain

Meskipun kombinasi dari pengobatan dan peraatan mandiri merupakan terapi


utama rheumatoid arthritis, ada beberapa metode lain untuk kasus – kasus
berat:

a. Prosorba column

43
Teknik penyaringan darah ini menghilangkan beberapa antibodi
yang mengakibatkan nyeri dan inflamasi pada sendi dan otot dan biasanya
dilakukan sekali dalam semingu selama 12 minggu sebagai prosedur rawat
jalan. Beberapa efek sampingnya antara lain kelelahan dan peningkatan
nyeri singkat dan pembengkakan pada sendi pada hari – hari pertama
terapi. Terapi Prosorba column tidak direkomendasikan jika pasien
mengkonsumsi ACE inhibitor atau jika memiliki masalah jantung,
hipertensi atau masalah pembekuan darah. 3

b. Surgery technique
Untuk beberapa orang dengan rheumatoid arthritis, obat – obatan
dan terapi tidak bisa mencegah kerusakan sendi. Ketika sendi telah rusak
parah, operasi penggantian sendi bisa membantu mengembalikan fungsi
sendi, mengurangi nyeri atau memperbaiki deformitas. Pasien bisa
memilih penggantian sendi secara keseluruhan dengan prostesis metal atau
plastik. Operasi juga melibatkan pengencangan tendon yang terlalu
kendur, mengendurkan tendon yang terlalu tegang, menyatukan tulang
untuk mengurangi nyeri atau mengambil bagian dari tulang yang rusak
untuk meningkatkan mobilitas. Operator juga bisa mengambil dinding
sendi yang mengalami inflamasi (synovectomy). Pada dasarnya ada
beberapa teknik operatif yang bisa dilakukan pada persendian yang terkena
RA yaitu:

1. Sinovektomi, dilakukan lebih efektif dengan arthroskopi, yaitu pannus


artikular dan tonjolan kartilago dihilangkan pada saat bersamaan.
Tindakan ini dilakukan jika synovitis gagal dicegah atau dikontrol,
untuk mempertahankan fungsi sendi.
Sinovektomi, khususnya pada sendi lutut berguna untuk meluruskan
kembali dan memperbaiki tendon. Sendi buatan dapat dilakukan
misalnya pada sendi panggul, lutut, jari-jari tangan. Artrodesis
mungkin perlu dilakukan pada nyeri atau deformitas yang berat
(Rubenstein, David. et al., 2005).

44
2. Arthrotomi, yaitu dengan membuka persendian. Indikasinya antara lain
: untuk melakukan biopsi synovial, untuk mengeluarkan hematom atau
abses, untuk mengambil loose bodies atau struktur yang rusak, untuk
mengeksisi synovium yang inflamasi.
3. Arthrodesis, sering dilaksanakan pada lutut, tumit dan pergelangan
tangan dengan cara mematikan persendian, digunakan untuk
menghilangkan rasa nyeri yang terus-menerus karena RA.
4. Arthroplasty, pembedahan dengan cara membuat kembali persendian
dengan memasang prostesis atau persendian buatan. Untuk
menghilangkan nyeri dan mengembalikan pergerakan. 1

Telah diketahui secara umum bahwa rheumatoid arthritis lebih


banyak menyerang sendi – sendi ekstremitas atas. Jadi nyeri dan
pembengkakan dari sendi kecil pada jari merupakan tanda penting untuk
mendiagnosa rheumatoid arthritis. Dibawah ini ada beberapa teknik
pembedahan pada ekstremitas atas yang terkena rheumatoid arthritis: 7

a. Sendi bahu
Efek setelah dilakukan synovectomy pada bahu belum jelas, biasanya
hanya diterapi dengan obat – obatan dan injeksi. Bahu dengan
kerusakan pada cartilago persendian diterapi dengan prosthetic
arthroplasty atau total shouder replacement.

b. Sendi siku
Sendi siku harus dipertahankan dalam keadaan bebas nyeri dan dapat
bergerak dengan baik, karena memiliki fungsi yang penting untuk
menggerakkan tangan menuju pusat tubuh. Arthroplastic synovectomy
pada siku dipikirkan sebagai prosedur yang berguna pada kasus dengan
tahap awal dari klasifikasi Steinbrocker. Pada fase akhir, arthroplasty
yang menggunakan membran interposisional cukup populer di tahun
1960 – 1970. Sejak 1980, total elbow arthroplasty cukup populer di
Jepang.

45
c. Pergelangan tangan
Pada pergelangan yang rheumatoid, ada dua prosedur pembedahan
yang sering dilakukan. Yaitu arthroplastic synovectomy dan
arthrodesis.

d. Jari – jari
Hasil synovectomy pada jari sangat tidak bagus dan tidak stabil,
lagipula synovectomy tidak selalu bisa melindungi meluasnya
kerusakan kartilago sendi. Terapi pembedahan dilakukan untuk
memperbaiki deformitas pada sendi jari. Cedera tendon sering ditemui
pada tangan yang rheumatoid, sehingga membutuhkan rekonstruksi
tendon.

c. Pengobatan RA yang lain meliputi :


- imobilisasi sendi atau bed rest atau keduanya, ini akan berguna utnuk
pasien dengan radang akut
- physical terapi
- bedah rekonstruktif, ini kadangkala diperlukan untuk memperbaiki
deformitas, terutama pada tangan
- antagonis sitokin spesifik, seperti antibodi anti-tumor nekrosis factor,
dapat menguntungkan pada beberapa pasien. Dosis dan indikasi yang
tepat untuk terapi ini masih dalam penyelidikan. 5

Sukses besar pada joint arthroplasty didalam mengurangi nyeri dan


meningkatkan fungsi telah membawa teknik ini didalam penggunaannya
dalam menangani kerusakan permukaan sendi yang parah pada pinggul dan
lutut, juga sudaah mulai meningkat penggunaannya pada sendi bahu, siku, dan
persendian lainnya meliputi pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan sendi-
sendi kecil pada tangan. 8

Defisiensi tulang sering ditemukan pada pasien-pasien yang dilakukan


joint arthroplasty. Etiologi dari defisiensi tulang ini meliputi diantaranya
defisiensi pada saat perkembangan, bone cyst atau erosi tulang yang

46
disebabkan oleh penyakit degeneratif atau arthritis, dan kehilangan tulang
akibat trauma sebelumnya, infeksi, atau reseksi tumor. Karena adanya
defisiensi tulang disekitar joint arthroplasty maka akan mengganggu
tujuannya yaitu untuk mendapatkan fiksasi implan yang stabil dan
mengembalikan mekanisme persendian sefisiologis mungkin. Sehingga untuk
mencapai tujuan ini para ahli bedah melakukan bone graft disekitar
arthroplasty. 8

H. Kriteria Remisi

I. Prognosis

Perjalanan penyakit dan hasil pengobatan artritis reumatoid pada


setiap pasien tidak dapat di prediksi. Faktor-faktor yang menjadikan
prognosis buruk

1. Poliartritis generalisata (jumlah sendi yang terkena > 20)


2. LED dan CRP yang tinggi walaupun sudah menjalani terapi
3. Manifestasi ekstraartikuler, misalnya nodul/vaskulitis
4. Ditemukannya erosi pada radiografi polos dalam kurun waktu 2
tahun sejak onset

47
J. Komplikasi
Rheumatoid arthritis menyebabkan kekakuan dan rasa nyeri dan dapat pula
menimbulkan kelelahan. Dapat mengakibatkan kesulitan dengan aktivitas sehari
– hari, seperti memutar knob pintu atau memegang bolpoint. Menahan rasa sakit
dan rheumatoid arthritis yang tidak dapat diprediksi dapat menyebabkan gejala –
gejala depresi.
Rheumatoid arthritis dapat meningkatkan resiko osteoporosis, terutama
jika penderita mengkonsumsi kortikosteroid. Beberapa peneliti mempercayai
bahwa rheumatoid arthritis dapat meningkatkan resiko penyakit jantung. Ini
dikarenakan inflamasi yang diakibatkan oleh rheumatoid arthritis
mempengaruhi arteri dan jaringan otot jantung.
Inaktivitas yang lama dapat menimbulkan kelemahan dan menurunnya
kekuatan otot. Ini dapat dicegah dengan fisioterapi dan pengobatan nyeri, jika
tidak maka ahli bedah akan dihadapkan pada kesulitan rehabilitasi post operasi.
Terkadang dinding sendi bisa ruptur dan isi synovial akan keluar ke
jaringan lunak. Infeksi juga rentan terjadi pada pasien RA terutama yang
diterapi dengan kortikosteroid. Peningkatan rasa nyeri pada satu sendi harus
diwaspadai terjadinya septik arthritis dan membutuhkan aspirasi sendi.
Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi antara lain kompresi medula
spinalis, vasculitis sistemik, amyloidosis terjadi karena penyakit rheumatoid
yang sangat lama ditandai dengan proteinuria dan kerusakan ginjal progresif.1,3

48
BAB III
KESIMPULAN
1. Rheumatoid Arhritis (RA) adalah penyebab tersering dari penyakit
inflamasi kronis pada sendi. Manifestasi yang seringkali timbul
adalah poliartritis simetris dan tenosynovitis, kaku pada pagi hari atau
morning stiffness, dan peningkatan rasio sedimentasi eritrosit/
erythrocyte sedimentation rate (ESR).
2. Beberapa faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi dari
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah faktor genetik, reaksi imunologi,
reaksi inflamasi, factor rheumatoid dan kerusakan kartilago pada
persendian.
3. Patofisiologi RA melalui 4 tingkatan yaitu preklinis, sinovitis,
destruksi dan deformitas.
4. Penatalaksanaan untuk penyakit Rheumatoid Arthritis (RA) dapat
berupa tatalaksana non- farmakologis dan farmakologis
5. Komplikasi dari Rheumatoid Arthritis (RA) adalah deformitas yang
menetap, kelemahan otot, rupture dinding sendi, infeksi, kompresi
korda spinalis, vaskulitis sistemik, dan amyloidosis.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. 2010. Apley’s System of


Orthopaedics and Fractures, ninth edition. UK : Hodder Arnold.
2. Braunwald, Eugene, et.al. 2012. 18th Edition Harrison’s Principles of
Internal Medicine. United States of America: The McGraw-Hill
Companies
3. Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga
4. Eisenberg RL, Johnson NM. 2003. Comprehensive Radiographic
Pathology. Ed 4. Philadelphia: Mosby Elsevier
5. Juniaidi, Iskandar. 2007. Osteoporosis. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
6. Kasper LK, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, and Jameson
JL. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed 16. New York:
McGraw-Hill.
7. Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M.. 2005. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.
8. Rubenstein, David., Wayne, David. et al. 2006. Lecture Notes Kedokteran
Klinis. Jakarta : Erlangga.
9. Schoellnast H et al. Psoriatic Arthritis and Rheumatoid Arthritis: Findings
in Contrast-Enhanced MRI. American Journal of Roentgenology (2006)
Agustus. Vol 187 No. 2351-357.
10. Shiel, W. C. J. 2006. Carpal Tunnel Syndrome. Available at:
http://www.emedicinehealth.com/carpal_tunnel_syndrome/article_em.htm
11. Shopia, Enny. 2009. Kenali Rheumatoid Actritis. Available at :
http://medicastore.com/seminar/95/Kenali_Reumatoid_Artritis_Si_Sistem
_Imun_yang_tak_lagi_Menjalankan_Fungsinya.html
12. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2009.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: FKUI
13. Suarjana IN. 2009. Artritis Reumatoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 3. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing.

50
14. Velyn C. Pearce. 2006. Sendi atau persambungan pada kerangka dalam
Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
15. Bermawan. Penyakit Radang Sendi 2011. Diunduh dari :
http://naturindonesia.com/artikel-berbagai-penyakit-degeneratif/449-
artritis-
reumatoidhttp://cpddokter.com/home/index.php?option=com_content&tas
k=view&id=1670&Itemid=1
16. Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. BUKU AJAR PATOLOGI
Edisi 7. Jakarta : EGC

51

Anda mungkin juga menyukai