Anda di halaman 1dari 80

RESUME TUTORIAL A

SKENARIO 1

Oleh :

Tutor A
Aristanti Endahingtyas 142010101014
Prima Dhika Ayu W. A 152010101136
Ali Habibi 182010101045
Valentinus Dave Sugiharto 182010101070
Aulya Rahmi 182010101100
Sofia Yusnur Rafida 182010101102
Dwi Agustina Cindy Fajarwati 182010101106
Wahyuning Pangestu 182010101113
Nexia Nevarachell O 182010101120
Radinta Maharani Putri 182010101128
Maureta Salsabila D. 182010101129
Aldy Bachtiar Hidayat 182010101134
Claudia Nola Muzuka 182010101141
1.1 Anatomi ekstremitas superior
OTOT:
BAHU

· M. Trapezius (aksesorius, pleksus servica;is C2-4)


o Pars Desendens: Origo: Os osipitalis,
o Pars Transversa
o Pars Ascendens
§ Insersio: Sepertiga lateral scapula, Acromion, spina scapula
· M. Sternocleidomastoiedeus CN XI, C1-2

o Origo: Manubrium Sterni, sepertiga medial dari scapula


o Insersi: Procesus mastoideus

· M. Omohyoideus C1-4 ada inter tendo


o Origo: Margo superior scapula
o Insersi: Os hyoideum
o Fungsi: Penurunan lidah, pegreseran laring, meregangkan fasia leher
dengan tendo sentral Vena jugularis interna terbuka
·

· M. Seratus Anterior

· M. Subclavius

· M. Levator Scapulae

· M. Rhomboideus Major et Minor

· Rotator:

o M. Supraspinatus
o M. Infraspinatus
o M. Teres minor
o M. Supscapularis
· M. Deltoideus C5-6
o Origo: Sepertiga lateral clavicula, acromion, spina scapula
o Insersio: tuberositas deltoidea humeri
· M. Latisimus Dorsi (C6-C8)
o Insersi: Crista Tuberculi minoris humeri
o Pars vertevralis, pars iliaca, pars costalis, pars scapularis
· M. Pectoralis Major et minor
o Pars clavicularis, pars sternocostalis, pars abdominalis
o Insersi: crista tuberculi majoris humeri

LENGAN ATAS
· M. Biceps brachii Pronasi lebih jauh
o Origo: Tuberculum supraglenoidalr, proc coracoideus scapule
o Inseri Tuberositas radii
· M. Brachialis
o Origo: Distal humerus
o Insersi: Tuberositas Ulna
·

· M. Triceps brachii
o Insersi Olecranon
o Caput Longum: Tuberculum Infraglenoidale scalpule
o Caput Lateral: Humerus belakang Septum intermusculare
o Caput mediale: Humerus belakang septum intermusculare
· M. acnoneus
ARTERI VENA
Vena Arteri hampir sama (profunda) Subclavia Axilaris Brachialis Radialis Ulnaris
Superfisioalis
- Vena Cephalica
- Basilica
- Mediana Cubiti
1.2 Anatomi ekstremitas inferior

PELVIS

Pelvis terdiri atas sepasang tulang panggul (hip bone) yang merupakan tulang
pipih.Masing-masing tulang pinggul terdiri atas 3 bagian utama yaitu ilium, pubis dan
ischium.Ilium terletak di bagian superior dan membentuk artikulasi dengan vertebra
sakrum, ischium terletak di bagian inferior-posterior, dan pubis terletak di bagian
inferior-anterior-medial.Bagian ujung ilium disebut sebagai puncak iliac (iliac
crest).Pertemuan antara pubis dari pinggul kiri dan pinggul kanan disebut simfisis
pubis.Terdapat suatu cekungan di bagian pertemuan ilium-ischium-pubis disebut
acetabulum, fungsinya adalah untuk artikulasi dengan tulang femur.

FEMUR

Femur adalah yang terkuat dari tulang panjang dalam tubuh dan merupakan
tulang hanya di daerah paha.Bagian paling adalah berbentuk seperti kepala baik-bulat
yang duduk di acetabulum tulang pinggul untuk membentuk sendi panggul.Sebuah
leher kurus menghubungkan kepala dengan poros tulang dan sering situs fraktur pada
orang tua.

Bagian bawah dari femur sedikit diratakan dan menyebar keluar dan
merupakan bagian dari sendi lutut. Poros tebal femur terletak pada inti dari paha,
benar-benar dikelilingi oleh otot-otot yang kuat seperti paha depan dan paha belakang.
TIBIA FIBULA

Tibia merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih medial dibanding
dengan fibula. Di bagian proksimal, tibia memiliki condyle medial dan lateral di mana
keduanya merupakan facies untuk artikulasi dengan condyle femur. Terdapat juga
facies untuk berartikulasi dengan kepala fibula di sisi lateral.Selain itu, tibia memiliki
tuberositas untuk perlekatan ligamen.Di daerah distal tibia membentuk artikulasi
dengan tulang-tulang tarsal dan malleolus medial.

Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral dibanding
dengan tibia. Di bagian proksimal, fibula berartikulasi dengan tibia. Sedangkan di
bagian distal, fibula membentuk malleolus lateral dan facies untuk artikulasi dengan
tulang-tulang tarsal.
TARSALIA

Os tarsalia dihubungkan dengan tungkai bawah oleh sendi pergelangan kaki, terdiri atas :

a) Talus: berhubungan dengan tibia dan fibula terdiri atas kaput talus, kolumna talus, dan
korpus tali.permukaan atas korpus tali mempunyai bongkol sendi yang sesuai dengan lekuk
sendi, terbentuk dari ujung sendi distal tibia dan fibula yang dinamakan trokhlea tali sebelah
medial permukaan berbentuk bulan sabit (fasies molaris medialis) yang berhubungan dengan
maleolus medialis.

b) Kalkaneus: terletak di bawah talus, permukaan atas bagian medial terdapat tonjolan
yang dinamakan suntentakulum tali, di bawahnya terdapat sulkulus muskular flexor halusis
longus. Bagian belakang kalkaneus terdapat tonjolan besar tuberkalkanei yang mempunyai
prosesus tuberkalkanei.

c) Navikulare: pada bagian medial terdapat tonjolan yang dinamakan tuberositas ossis
navikulare pedis, permukaan sendi belakang berhubungan dengan os kunaiformi I, II, dan III.

d) Os kuboideum: permukaan proksimal mempunyai fasies artikularis untuk kalkaneus,


permukaan distal mempunyai 2 permukaan untuk metatarsal IV dan V. Pada permukaan
medial mempunyai 2 permukaan sendi untuk navikular dan kunaiformi medialis.

e) Os kunaiformi, terdiri atas:

- Kunaiformi lateralis,
- Kunaiformi intermedialis,

- Kunaiformi medialis,

semuanya berbentuk baji, sedangkan permukaan proksimal berbentuk segitiga. Puncak dari
kunaiformi lateralis menghadap ke atas dan puncak kunaiformi medialis menghadap ke
bawah.
METATARSAL

Os metatarsalia mempunyai 5 buah tulang metatarsal I, II, III, IV, dan V.


Bentuk kelima tulang ini hampir sama yaitu bulat panjang. Bagian proksimal dari
masing-masing tulang agak lebar disebut basis ossis matatarsale.

Bagian tengah ramping memanjang dan lurus sedangkan bagian distalnya


mempunyai bongkok kepala (kaput ossis matatarsale).Metatarsal I agak besar
daripada yang lain, sedangkan metatarsal V bagian lateral basisnya lebih menonjol ke
proksimal disebut tuberositas ossis metatarsal V.

1. FALANG PEDIS

Os falang pedis merupakan tulang-tulang pendek.Falang I terdiri atas 2 ruas


yang lebih besar daripada yang lainnya. Fallang II, III, IV, dan V mempunyai 3 ruas
lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan falang I. Pada ibu jari terdapat dua buah
tulang kecil berbentuk bundar yang disebut tulang baji (os sesamoid).

Pada kaki terdapat 4 buah lengkungan :

- Lengkungan medial: dari belakang ke depan kalkaneus.

- Lengkungan lateralis: dibentuk oleh kalkaneus kuboidea dengan dua tulang


metatarsalia.
- Lengkungan longitudinal: lengkung melintang metatarsal dibentuk oleh
tulang tarsal.

- Lengkungan tranversal anterior: dibentuk oleh kepala tulang metatarsal


pertama dan kelima.

OTOT
OTOT-OTOT VENTRAL PANGKAL PAHA

1. M.Iliacus
2. M.psoas major
3. M.psoas minor

OTOT-OTOT VENTRAL PAHA

1. M.quadriceps femoris

2. M.sartorius

3. M.tensor fasciae latae

OTOT-OTOT MEDIAL PAHA ATAS

1. M.gracilis

2. M.pectineus

3. M.adductor brevis
4. M.adductor longus

5. M.adduktor magnus

6. M.obturatorius eksternus

OTOT-OTOT DORSAL PINGGUL

1. M.gluteus maximus

2. M.gluteus medius

3. M.gluteus minimus

4. M.piriformis

5. M.obturatorius internus

6. M.gemellus superior

7. M.gemellus inferior

8. M.quadratus femoris
OTOT-OTOT DORSAL PAHA

1. M.biceps femoris

2. M.semitendinosus

3. M.semimembranosus

OTOT-OTOT VENTRAL BETIS

1. M.tibialis anterior

2. M.extensor hallucis longus

3. M.extensor digitorum longus

4. M.fibularis (peroneus) tertius

OTOT-OTOT LATERAL BETIS

1. M.fibularis (peroneus) longus

2. M.fibularis (peroneus) brevis


OTOT-OTOT DORSAL BETIS BAGIAN PERMUKAAN

1. M.triceps surae

OTOT-OTOT DORSAL BETIS BAGIAN DALAM

1. M.popliteus

2. M.tibialis posterior

3. M.flexor digitorum longus

4. M.flexor hallucis longus

OTOT-OTOT KAKI DORSAL

1. M.ekstensor digitorum brevis

2. M.ekstensor hallucis brevis

OTOT-OTOT MEDIAL TELAPAK KAKI


1. M.abduktor hallucis

2. M.flexor hallucis brevis

3. M.adduktor halluces

OTOT-OTOT BAGIAN TENGAH TELAPAK KAKI

1. M.flexor digitorum brevis

2. M.quadratus plantae

3. Mm.lumbricales pedis I-IV

2. Histologi ekstremitas

Histologi Tulang

Komponen selular dari tulang terdiri dari osteogenic precursor cell, osteoblas, osteoklas,
osteosit, dan elemen hematopoietik dari sumsum tulang. Osteogenic precursor cell terdapat
pada periosteum dan endosteum. Periosteum merupakan jaringan ikat yang menutupi tulang,
kecuali pada permukaan persendian, yang terdiri atas lapisan luar dan lapisan dalam. Lapisan
luar terdiri dari jaringan ikat padat yang iregular sedangkan lapisan dalam disebut juga
osteogenic layer terdiri dari sel-sel osteogenic. Pada endosteum hanya terdapat selapis sel
osteogenic dan tidak mengandung komponen jaringan ikat (Kalfas, 2001). Osteoblas
merupakan mature, metabolically active, dan bone forming cells. Osteoblas mensekresikan
osteoid yang merupakan unmineralized organic matriks yang kemudian mengalami proses
mineralisasi yang menyebabkan tulang menjadi keras dan kaku. Sebagian dari osteoblas
berubah menjadi osteosit, sedangkan sebagian lainnya tetap berada di permukaan periosteum
dan endosteum. Osteoblas juga berperan mengaktivasi resorpsi tulang oleh osteoklas (Kalfas,
2001). Osteosit merupakan osteoblas dewasa yang terjebak dalam bone matriks. Setiap
osteosit melakukan kontak dengan osteosit lainnya dan pembuluh darah melalui kanalikuli.
Osteosit berperan dalam regulasi konsentrasi kalsium dan fosfat ekstraseluler serta dalam
reaksi adaptasi terhadap lingkungan lokal (Kalfas, 2001).
Gambar 2.1 Gambaran Histologi Osteoblas Dan Osteosit (Simon,
1994).

Osteoklas adalah multinucleated, bone-resorbing cells, yang diregulasi


oleh mekanisme hormonal dan seluler. Sel ini berperan dalam resorpsi tulang.
Pada proses tersebut osteoklas melekat pada permukaan tulang dan melepaskan
enzim hidrolitik yang menyebabkan hidrolisis dari matriks tulang dan calcified
cartilage. Proses tersebut menghasilkan terbentuknya cekungan pada tulang
yang disebut lakuna Howship (Kalfas, 2001). Gambaran histologi osteoklas
dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Gambaran Histologi Osteoklas (Simon, 1994).
Terdapat tiga jenis tulang, yaitu tulang woven, tulang kortikal, dan tulang
kanselous. Tulang woven ditemukan pada proses pembentukan tulang saat
perkembangan embrio, pada pembentukan kalus pada penyembuhan tulang, serta
pada keadaan-keadaan patologis, misalnya hiperparatiroid dan Paget disease.
Tulang woven terdiri dari serat-serat kolagen yang tidak teratur dan irregularly
shaped vascular space yang dibatasi oleh osteoblas. Tulang woven kemudian
digantikan dengan tulang kortikal atau tulang kanselous (Kalfas, 2001).

Tulang kortikal disebut juga tulang lamelar merupakan hasil


perkembangan dari tulang woven. Unit struktural primer dari tulang kortical
adalah osteon yang disebut juga dengan Sistem Havers. Osteon terdiri dari
cylindrical shaped lamellar bone yang mengelilingi kanal pembuluh darah yang
berorientasi longitudinal yang disebut kanal Havers. Selain itu juga terdapat
kanal yang berorientasi horizontal yaitu kanal Volkmann yang menghubungkan
osteon yang berdekatan (Kalfas, 2001). Gambaran histologi tulang lamelar dapat
dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Gambaran Histologi Tulang Lamelar (Simon, 2012).

Tulang kanselous atau tulang trabekular terdiri dari jaringan-jaringan


trabekula tulang dan elemen-elemen hematopoietik. Jaringan trabekula
berorientasi tegak lurus terhadap gaya luar untuk berperan sebagai structural
support. Tulang kanselous secara kontinu melakukan remodeling pada
permukaan dalam endosteal- nya (Kalfas, 2001).

Histologi Jaringan Otot

Jaringan otot merupakan salah satu bagian dari sistem pergerakan tubuh manusia yang
termasuk dalam sistem muskuloskeletal. Oleh karena itu, jaringan otot bertanggung jawab
untuk pergerakan tubuh. Jaringan otot terdiri dari sel-sel otot yang juga mengandung
jaringan ikat. Sel-sel otot memiliki aktivitas metabolisme yang sangat aktif sehingga
membutuhkan banyak oksigen dan sumber nutrisi. Agar dapat berfungsi dengan baik maka
jaringan otot harus tertambat pada jaringan ikat fibrosa. Struktur dari sebuah sel otot, adalah
sebagai berikut :

1. Membran sel, disebut dengan sarkolemma atau plasmalemma

2. Sitoplasma, disebut dengan sarkoplasma

3. Retikulum endoplasma, disebut dengan retikulum sarkoplasma


4. Mitokondria, disebut dengan sarkosom

5. Mikrofilamen, disebut dengan miofibril

Sarkolemma atau membran sel mengelilingi sarkoplasma dengan organel yang umumnya
sama dengan organel sel lainnya. Sel otot banyak mengandung mioglobin yang merupakan
suatu oxygen-binding protein. Terdapat celah yang disebut tubulus transversa (T-tubules),
merupakan suatu invaginasi sarkolemma yang menembus miofibril dan saling beranastomose
serta melingkari miofibril membentuk celah yang sempit. Tubulus transversa berfungsi untuk
difusi sinyal depolarisasi yang menimbulkan kontraksi dan berisi cairan ekstrasel.

Miofibril adalah suatu struktur berbentuk silindris pada serabut otot yang terdiri dari filamen-
filamen (miofilamen). Ada 3 jenis miofilamen pada otot, yaitu : 1. actin (filamen tipis), 2.
miosin (filamen tebal) dan 3. titin (filamen elastis). Pada setiap ujung serat otot, miofibril
berikatan dengan permukaan dalam sarkolemma. Bila miofibril memendek, maka otot akan
memendek dan terjadi kontraksi.

Retikulum sarkoplasma merupakan retikulum sarkoplasma yang halus, berjalan longitudinal


dan mengelilingi setiap miofibril. Retikulum sarkoplasma membentuk ruangan di sekitar T-
tubules yang disebut terminal cisternae. Sebuah T-tubules dan 2 terminal cisternae
membentuk suatu kesatuan (triad). Retikulum sarkoplasma menyimpan Ca++ saat otot berada
dalam keadaan istirahat. Jika distimulasi untuk berkontraksi maka kalsium akan dilepaskan
ke sarkoplasma. Pada membran retikulum sarkoplasma terdapat pompa Ca++ yang berfungsi
untuk memompa kalsium kembali ke retikulum sarkoplasma setelah suatu kontraksi.

Gambar struktur dari sel otot Jaringan ikat yang terdapat pada otot, berupa :

1. Epimisium, pembungkus terluar, mengelilingi otot, memisahkan otot dari jaringan


dan organ sekitarnya. Mengandung pembuluh darah, limfe dan serabut saraf

2. Perimisium, membungkus fasikulus otot, terdiri dari serat kolagen dan elastis,
mengandung pembuluh darah dan serabut saraf

3. Endomisium, membungkus serat otot, terdiri dari jaringan ikat longgar, mengandung
pembuluh darah, serabut saraf dan sel satelit. Serat kolagen pada ketiga lapis pembungkus
otot bersatu pada ujung otot dan membentuk tautan otot berupa tendo atau aponeurosis.
JENIS-JENIS JARINGAN OTOT

Otot Skelet

Disebut juga dengan voluntary muscle atau striated muscle. Teridri dari sel-sel atau serat otot,
jaringan ikat, pembuluh darah dan saraf. Seratnya panjang, berbentuk silindris dengan inti
yang banyak di perifer. Panjang seratnya antara 1 mm – 4 cm. Sarkolemma dibungkus oleh
endomisium dan tampak berlurik.

Mikroskopik

Pada potongan memanjang tampak inti sel banyak di bawah sarkolemma, inti lebih dari 1,
mitokondria sangat banyak untuk produksi ATP. Retikulum sarkoplasmik halus banyak dan
mengandung ion kalsium, ribosom terlihat di sekitar inti untuk sintesa miofibril. Terlihat juga
granula glikogen sebagai tempat penyimpanan enenrgi serta mioglobin sebagai tempat
penyimpanan oksigen.

Setiap miofibril terbentuk dari filamen yang berjalan sejajar, yang terdiri dari filamen tebal
dan filamen tipis dan membentuk pita gelap (Pita A) dan pita terang (Pita I) berselang seling.
Pada bagian tengah pita gelap terdapat pita terang (Pita H) dan di tengahnya terdapat garis M.
Bagian tengah pita terang terdapat garis Z (Krause membrane). Di antara 2 garis Z disebut
dengan sarkomer, yaitu unit kontraksi terkecil dari otot. Jumlahnya sekitar 10.000 sarkomer
pada setiap miofibril dengan panjang ±2 μm. Distribusi filamen tebal dan tipis
mengakibatkan serat otot tampak berlurik.

- Pita A – pita gelap; dibentuk oleh filamen tebal (miosin)

- Garis M – protein tempat melekatnya miosin

- Pita H - bagian dr pita A dimana filamen tebal & tipis tidak saling tumpang tindih

- Pita I – pita terang; mulai dari garis Z sampai ujung filamen tebal dan hanya terdiri
dari filamen tipis.

- Garis Z – merupakan jaringan protein filamen, tempat melekatnya miofilamen aktin

- Filamen Titin – suatu rantai elastik asam amino yang berfungsi untuk menjaga
kestabilan filamen tebal dan tipis.
Miofilamen

Terdiri dari:

1. Filamen tebal

Panjangnya 1,6 μm, lebar 15 nm. Ditemukan pada pita A (bagian sentral dari sarkomer).
Filamen tipis berjalan sejajar dan terletak di antara filamen tebal. Protein utamanya adalah
miosin

2. Filamen tipis

Panjang 1,0 μm, lebar 8 nm. Protein utamanya adalah aktin, tropomiosin dan troponin

Struktur filamen pada otot terdiri dari :

1. Aktin

Memiliki polimer filamen yang panjang. Sruktur globular (G-actin) terpilin spiral. Berbentuk
double helix dengan diameter 5,6 nm

2. Tropomiosin

Molekul tipis dengan panjang sekitar 40 nm. Terdiri dari 2 rantai polipeptida berbetntuk
spiral. Berjalan sepanjang sisi luar benang aktin yang terpilin

3. Troponin

Merupakan kompleks dari 3 subunit, yaitu 1. troponin T (Tn T) melekat pada tropomiosin, 2.
Troponin C (Tn C) yang berfungsi untuk mengikat ion kalsium, dan 3. Troponin I (Tn I) yang
menghambat interaksi antara aktin dan miosin

4. Miosin

Terdiri dari 2 rantai berat yang identik dan 2 pasang rantai ringan. Rantai berat berpilin
membentuk ekor sedangkan penonjolan kecil pada ujung rantai berat membentuk kepala yang
berfungsi untuk mengikat ATP dan mengikat aktin

Regenerasi serat otot rangka


Dilakukan oleh sel satelit. Bila terjadi kerusakan akan diganti oleh jaringan ikat tetapi fungsi
otot tidak hilang karena terjadi hipertrofi dari serat otot yang tidak rusak.

Inervasi otot rangka

Berasal dari saraf motorik dan sensorik. Reseptor sensorik berupa :

- muscle spindle pada otot rangka

- Organ tendo pada tendo

- Reseptor sendi pada simpai sendi

3.1 Fisiologi ekstremitas ( inervasi, vaskularisasi, fungsi otot )

Muskulus yang terdapat pada lengan atas (brachium) seperti pada gambar di atas,
diantaranya:

- M.deltoideus; diinervasi oleh n. axillaris

- M.triceps brachii; diinervasi oleh n.radialis

- M.biceps brachii; diinervasi oleh n.musculocutaneous

- M.brachialis; diinervasi oleh n.musculocutaneous

- M.brachioradialis; diinervasi oleh n.radialis

- M.coracobrachialis; diinervasi oleh n.musculocutaneous

Vaskularisasi pada brachium (lengan atas) berasal dari arteri brachialis,


dimana arteri ini merupakan kelanjutan dari arteri axillaris. Perjalanan arteri axillaris
berawal pada tepi kaudal M.teres mayor dan berakhir di dalam fossa cubiti tepat di
depan leher ulna. Di bawah aponeurosis M.bicipitalis brachii, arteria brachialis
terpecah menjadi arteria radialis dan arteria ulnaris.Arteria brachialis yang terletak
superfisial dan teraba sepanjang seluruh lintasannya, terletak anterior terhadap
M.triceps dan M.brachialis. Sewaktu arteria brachialis melintas ke arah inferolateral,
ia mengikuti N.medianus yang menyilang arteria brachialis anterior.
3.2 Fisiologi Struktur Sendi Ekstremitas Atas

Sendi merupakan pertemuan antara dua atau beberapa tulang dari kerangka yang
dihubungkan dengan kapsul sendi, jaringan ikat fibrosa, ligament, tendon, fascia, maupun
otot. Sendi dibagi menjadi synarthrosis (tidak memiliki ruang sendi) dan diarthrosis
(memiliki ruang sendi)

Diarthrosis merupakan sendi yang memungkinkan terjadinya gerakan.

Gerakan pada sendi terbagi menjadi osteokinetik dan arthrokinematik.

Gerakan osteokinetik adalah gerakan pada tulang, dimana gerakan tersebut diwakili oleh
perubahan sudut artikuler dan bersifat volunter. Gerakan ini terdiri dari fleksi, ekstensi,
abduksi, adduksi, rotasi interna, dan rotasi eksterna.

- Fleksi Merupakan gerakan menekuk antara tulang yang satu dengan yang lain,
menyebabkan kedua bagian mendekat. Biasanya terjadi pada permukaan anterior
tulang (kecuali pada lutut)

- Ekstensi

Merupakan gerakan meluruskan/ menjauhkan satu tulang dengan yang lain. Gerakan ini
biasanya digunakan untuk mengembalikan bagian tubuh ke posisi anatomis setelah telah
tertekuk. Hiperekstensi adalah kelanjutan dari ekstensi di luar kemampuan secara
anatomis.

- Abduksi dan Adduksi Abduksi adalah gerakan menjauh dari garis tengah tubuh,
sedang adduksi adalah gerakan menuju garis tengah. Sendi bahu dan pinggul dapat
melakukan gerakan abduksi dan adduksi. Pada jari tengah pada tangan dan kaki,
titik acuan untuk gerakan ini adalah jari kedua.

- Abduksi horisontal dan adduksi horizontal Gerakan bahu yang tidak bisa terjadi
dalam posisi anatomi. Bahu harus fleksi atau abduksi 90° sehingga lengan sejajar
dengan bahu (dan tegak lurus dengan tanah). Dari posisi ini, gerakan bahu ke
belakang adalah abduksi horizontal, dan gerakan bahu ke depan adalah adduksi
horizontal.
- Deviasi radial dan ulnaris Deviasi radial adalah istilah yang digunakan untuk
merujuk pada abduksi pergelangan ketika tangan bergerak ke lateral, atau ke arah
sisi ibu jari. Deviasi ulnaris adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada
pergelangan adduksi. Ketika tangan bergerak ke arah medial dari posisi

OTOT

Otot merupakan suatu organ/alat yang dapat bergerak ini adalah sutau penting bagi
organisme. Gerak sel terjadi karena sitoplasma merubah bentuk. Pada sel-sel sitoplasma ini
merupakan benang-benang halus yang panjang disebut miofibril. Kalau sel otot yang
mendapatkan rangsangan maka miofibril akan memendek, dengan kata lain sel otot akan
memendekkan dirinya ke arah tertentu.

Otot merupakan jaringan pada tubuh hewan yang bercirikan mampu berkontraksi,
aktivitas biasanya dipengaruhi oleh stimulus dari sistem saraf. Unit dasar dari seluruh jenis
otot adalah miofibril yaitu struktur filamen yang berukuran sangat kecil yang tersusun dari
protein kompleks ,yaitu filamen aktin dan miosin. Pada saat berkontraksi, filamen-filamen
tersebut saling bertautan yang mendapatkan energi dari mitokondria di sekitar miofibil.

Metode pergeseran filamen dijelaskan melalui mekanisme kontraksi pencampuran


aktin dan miosin membentuk kompleks akto-miosin yang dipengaruhi oleh ATP. Miosin
merupakan produk, dan proses tersebut mempunyai ikatan dengan ATP. Selanjutnya ATP
yang terikat dengan miosin terhidrolisis membentuk kompleks miosin ADP-Pi dan akan
berikatan dengan aktin. Selanjutnya tahap relaksasi konformasional kompleks aktin, miosin,
ADP-pi secara bertahap melepaskan ikatan dengan Pi dan ADP, proses terkait dan
terlepasnya aktin menghasilkan gaya fektorial.

Otot akan berkontraksi jika mendapat rangsangan motorik dari pusat motorik (otak).
Antara otot dan saraf otot dan saraf akan membentuk sambungan yang disebut sinapsis
neuromuskulus dimana ujung saraf motorik melekat pada serabut otot. Langkah-langkah
kontraksi otot :

1. Jika rangsang sampai pada ujung saraf motorik, maka ujung saraf motorik akan
melepaskan neurotransmiter (pemindah rangsang ke sel berikutnya) yang berupa
asetilkolin ke serabut otot melalui celah sinapsis
2. Asetilkolin menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan ion Ca2+ masuk ke
dalam sarkoplasma otot

3. Ion Ca2+ yang dilepaskan di ikat oleh unit troponin C yang menyebabkan kompleks
troponin-miosin secara fisik bergeser ke samping, membuka tempat pengikatan jembatan
silang aktin.

4. Dengan terbentuknya tempat pengikatn jembatan silang aktin menyebabkan


terbentuknya jembatan silang antara kepala miosin dan filamen aktin dan menyebabkan
serabut otot menjadi lebih pendek (zona Z dan H menjadi pendek dan juga sarkomer
menjadi lebih pendek) dan otot berkontraksi.

Untuk berkontraksi ini otot memerlukan energi yang berasal dari ATP dan kreatin
fospat. Pada saat kontraksi ATP terurai menjadi ADP+fosfat+energi dan ADP menjadi
AMP+fosfat +energi. Pemecahan zat tersebut dalam keadaan anaerob. Energi
pembentukan ATP berasal dari pemecahan glikogen atau gula yang dilarutkan menjadi
laktasidogen yang kemudian dipecah menjadi asam laktat dan glukosa secara aerob.
Langkah relaksasi otot:

1. Tidak adanya ion kalsium di dalam sarkoplasma. Ion Ca2+ dibebaskan oleh unit
troponin C. Ion Ca2+ dipompa kembali kedalam retikulum sarkoplasma dengan transport
atktif

2. Komplek troponin-tropomiosin bergeser kembali keposisinya menutupi tempat


pengikatan jembatan silang aktin sehingga aktin dan miosin tidak lagi berikatan di
jembatan silang

3. Filamen tipis bergeser kembali keposisi istirahat dan terjadi proses relaksasi.

Tegangan yang diproduksi secara internal oleh sarkomer disalurkan ke tulang melalui
jaringan ikat dan tendon sebelum tulang dapat digerakkan. Otot biasanya melekat ke
paling sedikit dua tulang berbeda melewati suatu sendi melalui tendon yang berjalan dari
kedua ujung otot. Tidak semua kontraksi otot memperpendek otot dan menggerakkan
tulang. Agar otot memendek sewaktu berkontraksi, tegangan yang terbentuk di otot harus
melebihi gaya-gaya yang melawan gerakan tulang tempat insersi otot tersebut. Terdapat
tiga jenis utama kontraksi:
1. Kontraksi isotonik, tegangan otot tidak berubah sementara panjang otot berubah.
Contohnya pada otot biseps saat mengangkat sebuah benda. Ketika tegangan yang
terbentuk di biseps telah cukup besar untuk mengatasi berat berat benda di tangan, maka
dapat mengangkat benda tersebut, dengan keseluruhan otot memendek dalam prosesnya.

2. Kontraksi isokinetik, laju pemendekan tetap konstan sementara panjang otot berubah.
Terjadi ketika serat otot memendek dengan laju, atau kecepatan, yang konstan. Kontraksi
isokinetik didapat dengan menggunakan mesin olahraga khususyang dapat diatur agar
kontraksi otot terjadi pada laju yang konstan di sepanjang gerakan.

3. Kontraksi isometrik, otot tidak dapat memendek sehingga terbentuk tegangan dengan
panjang otot tetap. Kontraksi ini terjadi saat mengangkat benda yang terlalu berat, yaitu
ketika tegangan yang mampu dibentuk otot-otot lengan lebih kecil dari yang dibutuhkan.
4. Patologi

4.1 DDH (Developmental Dysplasia of the Hip)

Definisi dan Epidemiologi

DDH merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelainan pada


pinggul anak tidak tepat dan membingungkan. Istilah 'dislokasi kongenital pinggul'
(congenital dislocation of the hip/CDH) sebagian besar telah digantikan oleh displasia
perkembangan pinggul (developmental dysplasia of the hip/DDH) dalam upaya untuk
menggambarkan jangkauan dan evolusi kelainan yang terjadi pada kondisi ini. Terdapat 4
tipe DDH, yaitu dislocated, dislocatable, subluxated atau perlemahan pada pinggul, dan
dysplasia.

Bentuk-bentuk malartikulasi teratologis yang menyebabkan dislokasi juga termasuk.


Perkembangan pinggul yang normal bergantung pada pertumbuhan proporsional dari
kartilago acetabular triradiate dan adanya kepala femoralis yang terletak secara konsentris.
Apakah ketidakstabilan datang lebih dulu dan kemudian mempengaruhi perkembangan
asetabular karena tempat duduk yang tidak sempurna dari kepala femoralis, atau akibat
displasia asetabular primer, masih belum pasti. Kedua mekanisme tersebut mungkin penting
sebagai patomekanisme dari DDH.

Insidensi dari ketidakstabilan pinggul neonatal di Eropa utara kira-kira 1 per 1000
kelahiran hidup, tetapi ini tergantung pada definisi 'ketidakstabilan'. Barlow (1962)
menggambarkan kejadian DDH adalah 1 kasus dari 60 kelahiran; namun 60% pasien dapat
mencapai stabil dalam waktu satu minggu dan 88% dalam 8 minggu. Insiden ini jauh lebih
tinggi di beberapa kelompok etnis tertentu, yaitu sebanyak 25-50 kasus per 1000 kelahiran
hidup di Lapps dan penduduk asli Amerika. Anak perempuan lebih sering terkena daripada
anak laki-laki, rasionya sekitar 7: 1. Pinggul kiri lebih sering terkena daripada pinggul kanan;
dan 1 dari 5 kasus kondisinya bilateral.

Etiologi

Faktor genetik

Faktor genetik memiliki peran yang besar dalam etiologi DDH, karena DDH
cenderung terjadi dalam keluarga dan bahkan di seluruh populasi (misalnya di negara-negara
di sepanjang pesisir utara dan timur Mediterania). Wynne-Davies (1970) mengidentifikasi
dua fitur yang dapat diwariskan yang dapat mempengaruhi ketidakstabilan pinggul:
kelemahan sendi umum (sifat dominan), dan acetabulum yang dangkal (sifat poligenik yang
terlihat terutama pada anak perempuan dan ibu mereka). Namun, ini tidak bisa menjadi
keseluruhan cerita karena dalam 4 dari 5 kasus hanya satu pinggul yang terkilir.

Faktor hormonal

Faktor hormonal (misalnya tingginya kadar estrogen ibu, progesteron dan relaksin
dalam beberapa minggu terakhir kehamilan) dapat memperburuk kelemahan ligamen pada
bayi. Ini bisa menjelaskan kelangkaan ketidakstabilan pada bayi prematur, yang lahir
sebelum hormon mencapai puncaknya.

Malposisi intrauterine

Malposisi intrauterine (terutama posisi sungsang dengan kaki terentang)


menyebabkan dislokasi; yang disebut 'gangguan pengemasan' ini terkait dengan insiden yang
lebih tinggi pada bayi pertama lahir, di antaranya versi spontan lebih kecil kemungkinannya.
Dislokasi unilateral biasanya mempengaruhi pinggul kiri; ini sesuai dengan presentasi verteks
biasa (oksiput kiri anterior) di mana pinggul kiri berdekatan dengan sakrum ibu,
menempatkannya dalam posisi adduksi. Manifestasi lain dari kepadatan intrauterin, termasuk
plagiocephaly, torticollis kongenital dan kelainan bentuk kaki postural, juga berhubungan
dengan kejadian DDH yang lebih tinggi dari biasanya.

Faktor postnatal

Faktor postnatal dapat berkontribusi pada ketidakstabilan neonatal dan


maldevelopment asetabular. Dislokasi sangat umum terjadi pada Lapps dan Indian Amerika
Utara yang membungkus bayi mereka dan menggendongnya dengan kaki bersama-sama,
pinggul dan lutut terentang penuh, dan jarang terjadi pada orang Negro, Cina, dan Afrika
yang menggendong bayi mereka dengan menunggangi punggung mereka dengan kaki diculik
secara luas. Ada juga bukti eksperimental bahwa ekstensi pinggul dan lutut secara bersamaan
menyebabkan dislokasi pinggul selama perkembangan awal (Yamamuro dan Ishida, 1984).

Manifestasi Klinis
Idealnya, yang masih belum terealisasi, adalah mendiagnosis setiap kasus saat lahir.
Untuk alasan ini, setiap bayi yang baru lahir harus diperiksa apakah ada tanda-tanda
ketidakstabilan pinggul. Jika ada riwayat keluarga dengan ketidakstabilan kongenital, dan
dengan presentasi bokong atau tanda-tanda kelainan kongenital lainnya, perhatian ekstra
diberikan dan bayi mungkin harus diperiksa lebih dari satu kali. Bahkan kemudian beberapa
kasus terlewat.
Pada neonatus, ada beberapa cara untuk menguji ketidakstabilan pinggul, yaitu
dengan melakukan tes Ortolani dan tes Barlow. Dalam tes Ortolani, paha bayi dipegang
dengan ibu jari secara medial dan jari-jari diletakkan pada trokanter mayor; pinggul ditekuk
hingga 90 derajat dan dengan lembut diabduksikan. Biasanya terjadi abduksi halus hingga
hampir 90 derajat. Pada dislokasi bawaan, gerakan biasanya terhambat, tetapi jika tekanan
diterapkan ke trokanter mayor yang lebih besar, maka akan terdengar bunyi 'clunk' lunak saat
dislokasi berkurang, dan kemudian pinggul abduksi sepenuhnya ('sentakan masuk'). Jika
abduksi berhenti di tengah jalan dan tidak ada sentakan masuk, mungkin ada dislokasi yang
tidak dapat direduksi.
Tes Barlow dilakukan dengan cara yang sama, tetapi di sini ibu jari pemeriksa ditempatkan di
selangkangan dan, dengan memegang paha atas, dilakukan upaya untuk mengangkat caput
femur ke dalam dan ke luar asetabulum selama abduksi dan adduksi. Jika kepala femoralis
biasanya dalam posisi yang diperkecil, tetapi dapat dibuat keluar dari soket dan masuk
kembali, pinggul digolongkan sebagai 'dislokasi' (yaitu tidak stabil).
Setiap pinggul dengan tanda-tanda ketidakstabilan - betapapun ringannya - harus
diperiksa dengan ultrasonografi. Ini menunjukkan bentuk soket tulang rawan dan posisi
kepala femoralis. Jika ada kelainan, bayi ditempatkan di bidai dengan pinggul tertekuk dan
diabduksikan dan dipanggil kembali untuk pemeriksaan ulang - dalam bidai - pada 2 minggu
dan 6 minggu selanjutnya. Pada saat itu pemeriksa harus menilai apakah dislokasi pinggul
berkurang dan stabil, berkurang tapi tidak stabil (terkilir pada saat dilakukan tes Barlow),
subluksasi atau dislokasi.
Pada penemuan gejala klinis yang terlambat biasanya ditemukan oleh ibu yang teliti
mungkin melihat asimetri, pinggul yang berbunyi ketika digerakkan, atau kesulitan
memasang popok karena gerakan abduksi yang terbatas. Dengan dislokasi unilateral, lipatan
kulit terlihat asimetris dan tungkai agak pendek (tanda Galeazzi) dan berputar ke luar; ibu jari
di selangkangan mungkin merasa bahwa kepala femoralis hilang.
Dengan dislokasi bilateral ada celah perineum yang sangat lebar. Abduksi menurun.
Demikian juga gaya berjalan yang lemas atau Trendelenburg, atau gaya berjalan yang
terhuyung-huyung bisa menjadi tanda dislokasi yang terlewat.
Pemeriksaan Penunjang
Pemindaian ultrasonografi telah menggantikan radiografi untuk pencitraan pinggul
pada bayi baru lahir. Acetabulum dan kepala femoralis yang 'tak terlihat' secara radiografik
dapat, dengan latihan, ditampilkan dengan ultrasound statis dan dinamis. Penilaian berurutan
sangat mudah dan memungkinkan pemantauan pinggul selama periode splintage.
Foto rontgen polos pada bayi sulit untuk diinterpretasikan dan pada bayi baru lahir rontgen
tersebut bisa menyesatkan. Hal ini karena acetabulum dan kaput femoral sebagian besar (atau
seluruhnya) merupakan tulang rawan dan oleh karena itu tidak terlihat pada x-ray.
Pemeriksaan sinar-X lebih berguna setelah 6 bulan pertama, dan penilaian dibantu dengan
menggambar garis pada pelat sinar-X untuk menentukan tiga indeks geometris (Gbr. 19.10).

Screening
Screening neonatal di pusat-pusat khusus telah menyebabkan penurunan kasus DDH
yang nyata. Faktor risiko seperti riwayat keluarga, presentasi bokong, oligohidramnion dan
adanya kelainan kongenital lainnya diperhitungkan dalam pemilihan bayi baru lahir untuk
pemeriksaan khusus dan ultrasonografi. Idealnya semua neonatus harus diperiksa, tetapi jika
programnya efektif, mereka yang melakukan pemeriksaan harus menerima pelatihan khusus
(Harcke dan Kumar, 1991; Jones, 1994).
Manajemen
 Neonatus dan bayi usia di bawah 6 bulan: Pinggul yang belum matang dan stabil (Barlow
negatif) yang menjadi normal tidak membutuhkan perawatan. Pinggul yang Barlow
positif saat lahir juga bisa menjadi stabil dalam 3 minggu pertama kehidupan; oleh
karena itu, pengobatan mungkin tertunda. Dalam kedua kasus tersebut, tindak lanjut yang
dekat dan pemeriksaan fisik rutin diperlukan, dan melakukan ultrasonography yang lebih
baru untuk mendokumentasikan stabilitas dan perkembangan pinggul yang normal.
Dengan pinggul positif Ortolani yang tidak stabil, perawatan dini diperlukan. Pinggul
yang diturunkan diposisikan dalam fleksi dan penculikan ringan untuk merangsang
perkembangan sendi normal, paling sering dilakukan melalui Pavlik Harness, penyangga
dinamis yang memposisikan paha untuk memungkinkan dan mempertahankan
pengurangan pinggul. Bayi diikuti dua minggu sekali untuk penyesuaian tali. Kemajuan
dipantau dan pengurangan diverifikasi dengan evaluasi ultrasonography berikutnya.
Perawatan Pavlik berlanjut sampai parameter ultrasonography menjadi normal dan
pinggul stabil pada pemeriksaan, rata-rata 2-3 bulan kemudian. Tindak lanjut melalui
kematangan tulang kemudian ditekankan.

 Bayi usia 6 bulan hingga 1-2 tahun: Anak-anak yang datang pada saat ini atau gagal
stabil dengan Pavlik Harness memerlukan anestesi genera, diikuti dengan reduksi
pinggul tertutup atau terbuka dan spica cast.
 Di atas 2 tahun: Anak-anak yang lebih tua mungkin memerlukan bedah reduksi terbuka
ekstensif dengan kemungkinan osteotomi femoralis dan panggul (memotong dan
meluruskan tulang), diikuti dengan spica cast.
Komplikasi
 Reduksi yang gagal
Berbagai upaya pengobatan, dengan kegagalan untuk mencapai pengurangan
konsentris, mungkin lebih buruk daripada tanpa pengobatan. Asetabulum tetap tidak
berkembang, kepala femoralis mungkin berubah bentuk, leher biasanya anteversi dan
kapsul menebal dan melekat. Penting juga untuk menanyakan mengapa reduksi gagal:
apakah dislokasi bagian dari kondisi umum, atau gangguan neuromuskuler terkait
dengan ketidakseimbangan otot? Prinsip pengobatan untuk anak di atas 8 tahun sama
dengan yang dibahas di atas.
 Nekrosis avaskular
Komplikasi pengobatan yang paling ditakuti adalah iskemia pada kaput femoralis
yang belum matang. Ini dapat terjadi pada semua usia dan tahap pengobatan apa pun
dan mungkin karena cedera vaskular atau obstruksi akibat reduksi yang kuat dan
pembengkakan pinggul saat abduksi. Efeknya sangat bervariasi: pada kasus yang
paling ringan, perubahan terbatas pada inti tulang, yang tampak sedikit terdistorsi dan
tidak teratur pada x-ray. Epifisis tulang rawan mempertahankan bentuk dan
pertumbuhan fisik normal. Setelah 12-24 bulan penampilan kembali normal. Dalam
kasus yang lebih parah, lempeng pertumbuhan epifisis dan fisis juga menderita; inti
tulang tampak terfragmentasi, epifisis terdistorsi ke tingkat yang lebih besar atau lebih
kecil dan perubahan metafisis menyebabkan pemendekan dan deformitas leher femur.
Pencegahan adalah pengobatan terbaik: pengurangan manipulatif paksa tidak boleh
dibiarkan; traksi harus lembut dan dalam posisi netral; posisi penculikan ekstrim harus
dihindari; pelepasan jaringan lunak (tenotomi adduktor) harus mendahului reduksi tertutup;
dan jika kesulitan diantisipasi, reduksi terbuka lebih disukai.
Setelah kondisi terbentuk, tidak ada pengobatan yang efektif kecuali untuk
menghindari manipulasi dan menahan beban sampai epifisis sembuh. Dalam kasus yang
paling ringan tidak akan ada deformitas sisa, atau paling buruk deformitas leher femur yang
dapat diperbaiki dengan osteotomi. Dalam kasus yang parah, hasilnya mungkin mendatar dan
menjamur di kepala femoralis, pemendekan leher (dengan atau tanpa coxa vara), displasia
asetabular, dan ketidaksesuaian pinggul. Koreksi bedah pada femur proksimal dan osteotomi
panggul untuk reposisi atau memperdalam acetabulum mungkin diperlukan.

4.2 OI ( osteogenesis imperfecta )

Definisi

Osteogenesis imperfekta adalah suatu gangguan dari fragilitas tulang kongenital oleh
suatu mutasi genetik pada kode prokolagen tipe 1.
Etiologi
Osteogenesis imperfekta adalah suatu kondisi cacat bawaan. Pada banyak kasus, cacat
bawaan yang terjadi merupakan suatu kondisi dari mutasi genetik. Hampir 90% bentuk klinis
osteogenesis imperfekta disebabkan kelainan structural atau produksi dari prokolagen tipe 1
(COL1A1 dan COL1A2), yaitu komponen protein utama matriks ekstaseluler tulang dan
kulit.Sekitar 10% kasus klinis yang tak jelas, tidak didapat kelainan biokimia dan molekul
prokolagen.Tidak diketahui dengan jelas apakah kasus ini dikarenakan deteksi yang terbatas
atau karena kelainan genetik yang heterogen.
Patofisiologi
Serat kolagen tipe 1 ditemukan pada tulang, organ kapsular, fasia, kornea, sclera,
meninges, dan dermis. Mutasi yang tidak terkodekan menjadi penyebab osteogenesis
imperfekta yang ditemukan pada pemeriksaan histologis. Defek kualitatis (abnormalitas
molekul kolagen 1) dan defek kuantitatif (penurunan produksi molekul kolagen 1)
memberikan manifestasi modifikasi dari kolagen dan menghasilkan sindrom dari osteogenesis
imperfekta.
Tipe dan Klinis
a. Tipe 1:
- Tidak memiliki deformitas pada tulang panjang
- Bisa didapatkan sklera berwarna biru atau putih
- Didapatkan adanya dentinogenesis imperfekta
- Seumur hidup kejadian fraktur antara 1-60 kali
- Tinggi badan biasanya normal
- Kemampuan adaptasi nyeri sangat tinggi
- Toleransi latihan dan kekuatan otot menurun secara signifikan
- Fraktur sering terjadi selama usia bayi dan bisa terjadi pada seluruh fase usia
- Hal lainnya yang mungkin didapatkan: kifoskoliosis, arkus senilis premature, kehilangan
pendengaran, dan mudah mengalami memar
b. Tipe 2:
- Didapatkan sklera berwarna biru
- Semua pasien mengalami fraktur di dalam rahin, termasuk tulang kepala, tulang belakang,
dan tulang panjang
- Penonjolan tulang iga
- Deformitas berat pada tulang-tulang panjang
- Penyebab kematian utama, seperti: retaknya tulang-tulang iga serta malformasi atau
perdarahan sistem saraf pusat
c. Tipe 3:
- Pasien mengalami gangguan sendi (hiperlaxity), kelemahan otot, nyeri tulang kronis,
deformitas tengkorak, dan kerapuhan tulang selama usia bayi
- Deformitas rangka atas
- Didapatkan adanya dentinogenesis imperfekta
- Perubahan warna sklera menjadi biru
- Fraktur dalam rahim
- Pemendekan rangka badan dan deformitas
- Sering memiliki wajah segitifa disertai maloklusi
- Vertigo
- Malformasi struktur jantung kongenital
- Hiperkalsiuria
- Komplikasi pernapasan sekunder dan kifoskoliosis
- Konstipasi
- Hernia
d. Tipe 4:
Tipe 4 adalah tipe dari osteogenesis imperfekta yang tidak teridentifikasi dengan
jelas. Walaupun pasien memiliki tinggi badan atau sklera normal tetapi bisa didapatkan
adanya dentinogenesis imperfekta. Fraktur sering terjadi pada masa bayi. Tulang panjang
biasanya mengalami pembengkokan.

Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Pemeriksaan densitas mineral tulang dengan pemeriksaan dual-energy x-ray absorptiometry
(DEXA) pada osteogenesis imperfekta tipe 3.
b. Radiodiagnostik
Pemeriksaan foto polos menunjukkan hal-hal berikut:
- Tipe 1: penipisan kortikal tulang-tulang panjanh. Tidak didapatkan adanya deformitas
tulang panjang.
- Tipe 2: pelebaran tulang, didapatkan adanya fraktur dan deformitas pada beberapa tulang
panjang.
- Tipe 3 dan 4: normal atau pelebaran tulang pada awalnya dan kemudian terjadi penipisan
tulang pada fase lanjut. Fraktur tulang iga dan dan tulang belakang sering didapatkan.

Penatalaksanaan
a. Konservatif
Tujuan utama penatalaksanaan konservatif adalah mengurangi angka kejadian fraktur,
mencegah deformitas tulang panjang dan scoliosis serta meningkatkan luaran fungsional.Oleh
karena osteogenesis imperfekta merupakan kondisi genetik, maka tidak ada pengobatan
spesifik.Walaupun begitu pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa bifosfonat intravena
(pamidronat) memberikan perbaikan bagi anak dengan osteogenesis imperfekta.Bifosfonat
adalah analog sintetis dari pirofosfat, penghambat alami reabsorpsi tulang osteoklastik
sehingga meningkatkan mineralisasi tulang dan memperkuat tulang. Mekanisme kerjanya
adalah dengan menekan aktivitas dan juga memperpendek usia hidup osteoklas.
Penderita osteogenesis imperfekta yang rentang terhadap trauma dan memerlukan
imobilisasi jangka lama akibat frakturnya sering menyebabkan defisiensi vitamin D dan
kalsium pada anak. Oleh karena itu, diperlukan suplementasi vitamin D 400-800 IU dan
kalsium 500-1000 mg sebagai profilaktik walau tidak memperbaiki penyakit osteogenesis
imperfekta sendiri.
b. Terapi bedah
Tatalaksana ortopedi ditujukan untuk perawatan fraktur dan koreksi deformitas.
Fraktur harus dipasang splin atau cast. Pada osteogenesis imperfekta fraktur akan sembuh
dengan baik, sedangkan cast diperlukan untuk meminimalkan osteoporosis akibat imobilisasi
jangka lama. Koreksi pada deformitas tulang panjang memerlukan prosedur osteotomi dan
pemasangan rod intramedullary.
c. Aktivitas
Rehabilitasi fisik dimulai pada usia awal penderita sehingga penderita dapat mencapai
tingkat fungsional yang lebih tinggi, antara lain berupa penguatan otot isotonik, stabilisasi
sendi, dan latihan aerobik. Penderita tipe 1 dan beberapa kasus tipe 4 mobilisasi
spontan.Penderita tipe 3 kebanyakan memerlukan kursi roda namun tetap tak mencegah
terjadinya fraktur berulang.Kebanyakan penderita tipe 4 dan beberapa tipe 3 dapat
mobilisasi/berjalan dengan kombinasi terapi fisik penguatan otot sendi panggul, peningkatan
stamina, pemakaian bracing, dan koreksi ortopedi.
Orang tua perlu mendapatkan instruksi dalam merawat anaknya.Perhatian khusu
terhadap berbagai aktivitas yang bisa menyebabkan kondisi trauma selama memandiakan,
mengenakan pakaian, atau stimulasi fisik lainnya.

4.3 Kelainan kongenital

4.3.1 Clubfoot

Kasus terbanyak pada laki-laki. Curiga adanya mielomengingocel, dan arthroriposis.


Bentuk deformitas secara nyata terlihat sejak lahir : khas tapak kaki menghadap
posteromedial secara lebih detail berupa : 1) pergelangan kaki berbentuk equinus; 2)
Tumit inversi; 3) Kaki bagian depan adduksi dan supinasi.
Proses deformitas berdampak pada tumit yang biasanya kecil, lebih pendek
dibandingkan kontralateral, dan betis kurus.
Penegakan Diagnosis
Gambaran klinis
Radiologi roentgen foto AP & Lateral.
AP roentgen : Diambil dengan posisi ankle plantarfleksi 300. Kemudian tarik garis
imajiner yang dibentuk oleh poros os. Talus dan os. Calcaneus. Normal membentuk
perpotongan dengan sudut 20-400 .
AP Lateral : Diambil dalam keadaan dorsofleksi secara paksa. Taris garis imajiner dari
tengah os. Talus dan batas bawah os. Calcaneus. Normal perpotongan ± 400 . Dikatakan
deformitas apabila <200. Prosedur ini dampak berakibat pada fraktur midfoot dan
memberikan gambaran klinis khas yang disebut deformitas kursi goyang
Manajemen terapi
Sasaran terapi :
1. Memperbaiki deformitas secara dini

2. Memperbaiki deformitas sepenuhnya

3. Mempertahankan posisi kaki

Non-medikamentosa : Ponchetti technique dan operatif


• TERAPI NON-MEDIKAMENTOSA

• Ponchetti technique dapat dimulai 2 atau 3 hari pasca kelahiran. Diawali dengan
adduksi forefoot/kaki depan, baru kemudia mengatasi supinasi dan ekuinus. Mengawali
tekhnik dengan ekuinus terlebih dahulu berdampak pada fraktur mid foot dengan klinis
deformitas kursi goyang. Diulang setiap 6-8 minggu. Evaluasi dengan menilai sumbu
longitudinal pada foto AP ankle.

• Apabila resisten, pertimbangkan operasi. Diawali pemanjangan tendon achilles,


dilanjutkan pelepasan kapsul posterior & talocalcaneus, Posisi varus dikoreksi melalui
tindakan pelepasan lig. Talonavikularius medial dan pemanjangan tendon tibialis
posterior.

4.3.2 Genovalgum
Genu valgum adalah angulasi tulang dimana segmen distal dari sendi lutut menjauhi garis
tengah. Orang-orang dengan genu valgum akan mengalami misalignment tulang patela,
ketidaknyamanan lutut, ketidakstabilan ligamen, dan gangguan fungsional lainnya seperti
pola jalan yang berubah, ketidakstabilan postur tubuh, dan kesulitan dalam berdiri, berjalan,
berlari, dan naik turun tangga. Gangguan keseimbangan dan mobilitas fungsional adalah
faktor risiko utama untuk jatuh.

Banyak anak akan terlihat bengkok ketika mereka mulai berjalan dan kemudian mengetuk
lutut antara tiga sampai tujuh tahun. Perubahan bertahap dari varum ke valgum dapat
disebabkan oleh pelebaran pelvis. Genu varum (kaki busur) terlihat sejak lahir hingga usia
dua tahun, sedangkan genu valgum (lutut ketukan) mencapai puncaknya dari dua hingga
empat tahun. Jika genu varum fisiologis atau genu valgum bertahan lebih dari tujuh sampai
delapan tahun, rujukan ortopedi diindikasikan.

Pada genu valgum, terjadi pergeseran aksis mekanis ke arah lateral, sehingga terjadi
penekanan pada sisi lateral tulang femur dan tibia. Bila penekanan terjadi secara kontinyu dan
dengan intensitas tinggi, maka regio epifisis tulang akan terganggu sehingga pertumbuhan
tulang ikut terganggu. Proses ini akan menyebabkan kondisi asimetris ukuran tungkai dan
gangguan fungsi pergerakan tungkai bawah.

Etiologi:

- Trauma,

- Infeksi,

- Tumor

- Osteomalacia

- Renal osteodistrofi

- myelodisplasia

Gambaran klinis:

- Kaki berbentuk huruf X,


- Kesulitan berjalan,

- Intermalleolar distance > 9 cm,

- Lutut saling menempel

Diagnosis

- Radiografi

- Pemeriksaan berdasarkan gambaran klinis

Tatalaksana:

Hemiepiphysiodesis.

4.3.3 Genovarum

Definisi:

Kelainan pada angulasi tulang dimana segmen distal sendi lutut menuju garis tengah.

Etiologi dan epidemiologi:

Genu varum fisiologis: biasanya terjadi pada anak-anak berusia <2 tahun

Genu varum Patologis: lebih jarang terjadi, khususnya dengan semakin bertambahnya usia.
Genu varum juga ditemukan pada kondisi rakitis, tibia vara (penyakit Blount) atau trauma
pada lempeng epifisis.

Patofisiologi
Alignment normal artinya adalah panjang ekstremitas bagian bawah sama (satu dengan
lainnya) dan aksis mekanik (pusat gravitasi) membagi lutut ke dalam 2 bagian sama besar
ketika pasien berdiri dengan patella menghadap ke depan. Posisi ini memberikan tekanan
yang relatif seimbang pada kompartemen medial dan lateral.
Manifestasi klinik:

- Postur tubuh pendek. Kondisi ini diakibatkan karena pada esktremitas bawah anak
terbentuk garis kesejajaran tibia dan femur yang abnormal (membentuk sudut ke arah medial
atau ke arah lateral).

- Bentuk kaki seperti huruf O.

- Nyeri lutut karena overkompresi sendi lutut dan struktur yang ada di sekitarnya.

- Pola jalan abnormal ini sering menimbulkan kesulitan berjalan pada anak, karena
langkah anak akan melambat.

Pemeriksaan fisik:

a. Inspeksi

- Bentuk kaki seperti huruf O

- Torsi tibia interna dan toris femoral eksternal

b. Posisi berdiri

- Sudut femoral-tibial : > 15 derajat, normalnya 8 derajat


- Jarak interkondilar : menjauh

c. Posisi berjalan : sudut pada lutut ketika melangkah mengarah ke

lateral (lateral thrust)

Pemeriksaan penunjang

Radiologi posisi AP

Tatalaksana
Genu varum fisiologis: akan membaik secara spontan dan penatalaksanaan hanya berupa
observasi.
Genuvarum patologis: Brace treatment hingga pembedahan

4.3.4 Dropfoot

a. Definisi

Drop foot adalah kelainan gaya berjalan yang menjatuhkan kaki depan terjadi karena
kelemahan, iritasi atau kerusakan pada saraf fibula umum termasuk saraf sciatic, atau
kelumpuhan otot-otot di bagian anterior dari kaki bagian bawah. Ini biasanya merupakan
gejala dari masalah yang lebih besar,bukan penyakit itu sendiri. Hal ini ditandai dengan
ketidakmampuan atau gangguan kemampuan untuk menaikkan jari kaki atau mengangkat
kaki dari pergelangan kaki.

b. Etiologi

Ada sebagian orang kadang mengenali penyebab kaki cedera penurunan dapat disebabkan
cedera pada tulang belakang atau penyakit yang mendasari lain, seperti amyotrophic lateral
sclerosis, multiple sclerosis, atau penyakit Parkinson. kadangkadang, drop foot merupakan
komplikasi dari operasi penggantian pinggul, atau cedera lain.

c. Patofisiologi

Penurunan kaki adalah hasil dari gangguan neurologis dapat menjadi pusat (otak sumsum
tulang belakang) atau perifer (saraf terletak menghubungkan dari sumsum tulang belakang ke
otot atau reseptor sensorik). Penurunan kaki hasil dari patologi yang melibatkan otot-otot atau
tulang yang membentuk kaki bagian bawah. tibialis anterior adalah otot yang digunakan
untuk mengangkat kaki. itu dipersarafi oleh saraf peroneal fibula, yang cabang dari saraf
sciatic. saraf sciatic keluar ruang saraf lumbal. Otot tibialis anterior di hadapan kaki drop,
membuat patologi jauh lebih kompleks daripada kaki drop. Penurunan kaki biasanya kondisi
lembek atau tidak ada kontraksi otot.

d. Manifestasi Klinis

Ada beberapa gejala yang dapat menandai kasus drop foot. Ketidakmampuan untuk
mengangkat kaki keatas, saat berjalan kaki diseret, kelemahan pada kaki, mati rasa.Peroneal
nerve palsy paling sering diakibatkan oleh duduk bersilang kaki yang mana menyebabkan
saraf peroneal terjepit antara caput fibula dan condylus femur externa serta patella pada
tungkai yang berlawanan.

e. Tatalaksana

• Konservatif, menghindari faktor kompresi

• Menggunakan ortosis

• Physical therapy

4.3.5 Drophand

a. Definisi

Drop Hand merupakan salah satu jenis dari neuropati radialis, yaitu suatu kelainan
fungsional dan struktural pada saraf radialis, kelainan yang mana dihubungkan dengan
adanya bukti klinis, elektrografis dan atau morfologis yang menunjukkan terkenanya
saraf tersebut atau jaringan penunjangnya. Tanda-tanda klinisnya yaitu ketidakmampuan
untuk ekstensi jari di sendi metakarpofalangealis (MCP), dan ketidakmampuan untuk
ekstensi – abduksi ibu jari.

b. Etiologi

Lesi saraf radialis dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor mana mungkin terjadi
sendiri-sendiri atau secara bersamaan (multiple faktor), antara lain:

1. Trauma

Pada fraktur dan dislokasi, neuropati terjadi karena penekanan saraf oleh fragmen tulang,
hematom, kallus yang terbentuk sesudah fraktur, atau karena peregangan saraf akibat suatu
dislokasi. Neuropati radialis sering terjadi pada fraktur kaput humerus, terutama pada
sepertiga tengah (fraktur Holstein-Lewis) atau di persimpangan sepertiga tengah dengan
distal. Paresis saraf radialis dapat terjadi akibat tidur dengan menggantungkan lengan di atas
sandaran kursi (Saturday night palsy), atau tidur dengan kepala diatas lengan atas. Akibat
penekanan pada waktu saraf ini menembus septum intermuskularis lateralis. Pada tempat
mana saraf ini terletak agak superfisial dan menempel pada tulang. Disamping itu trauma
pada waktu olah raga, kerja, pemakaian ‘krek’, atau posisi tangan pada waktu operasi dapat
menyebabkan terjadinya parese saraf radialis.

2. Infeksi.

Dapat terjadi karena: sifilis, herpes zoster, lepra dan TBC. Bisa mengenai satu saraf atau
banyak saraf

3. Toksik.

Lebih spesifik mengenai saraf radialis adalah pada intoksikasi timah

4. Penyakit vaskuler

5. Neoplasma

c. Gejala Klinis

Gejala dipengaruhi oleh letak lesi:


1. Pada level lengan atas lesi pada n.radialis dapat terjadi pada aksila, pada waktu melilit
humerus di musculoradialis groove, atau sewaktu berjalan superfisial pada sisi lateral lengan
atas. Menyebabkan parese semua otot yang dipersarafinya yaitu triseps, ekstensorpergelangan
tangan, ekstensor jari dan brakhioradialis, dan disertai defisit sensorik pada daerah yang
dipersarafi yaitu sisi lateral-dorsal tangan, ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah. Lesi pada
aksila dapat disebabkan kompresi oleh kruk, dislokasi sendi bahu, fraktur humerus dan luka
tembus.

2. Lesi saraf radialis sewaktu melilit humerus atau sewaktu berjalan superfisial pada lateral
lengan atas pada sulkus radialis, sering akibat kelamaan menggantung lengan diatas sandaran
kursi (Saturday nigth palsy), akibat tertekannya lengan karena posisi yang tidak tepat selama
anestesi atau tidur, penggunaan tomiket yang tidak benar atau akibat iritasi dan kompresi oleh
kallus sesudah fraktur tulang.

Gejalanya :

- tidak dapat ekstensi siku karena parese triseps

- tidak dapat fleksi siku pada posisi lengan bawah antara pronasi dan supinasi karena parese
m.brakhioradialis

- tidak dapat supinasi lengan bawah karena parese m.brakhioradialis

- tidak dapat supinasi lengan bawah karena parese m. Supinator

- wrist drop dan finger drop karena parese ekstensor pergelangan tangan dan jari

- gangguan abduksi ibu jari tangan (hitch hike sign)

- refleks trispes negatif atau menurun

- gangguan sensorik berupa parestesi atau baal pada bagian dorsal distal lengan bawah, sisi
lateral dan dorsal tangan, ibu jari, telunjuk dan jari tengah.

3. Lesi pada bagian saraf yang berjalan antara septum intermuskularis lateralis dan tempat
dimana n.interosseus posterior menembus m.supinator mengakibatkan jari yang dipersarafi
oleh nerpus ini.

Gejalanya:
- tidak dapat supinasi dan meluruskan jari

- ada wrist drop

- refleks triseps positif

- gangguan sensorik tidak ada

d. Pemeriksaan

Hasil pemeriksaan fisik bergantung pada lokasi cedera sesuai dengan perjalanan
anatomi saraf. Cedera di axilla akan menyebabkan kelemahan pada ekstensi siku, ekstensi
pergelangan tangan dan ekstensi jari. Biasanya terdapat deviasi radial pergelangan tangan
dengan ekstensi, karena fleksor carpi radialis (yang dipersarafi oleh nervus medianus) tidak
terpengaruh. Seluruh distribusi sensorik dari nervus radialis akan terpengaruh. Apabila cedera
di dalam spinal groove, hasil pemeriksaan akan sama, kecuali fungsi triceps yang tidak
terganggu.

Neuropati radialis pada lengan bawah biasanya akan menyebabkan berkurangnya


fungsi sensorik. Jika saraf terjepit pada otot supinator, kekuatan supinator seharusnya normal.
Hal ini dikarenakan percabangan yang menginervasi otot supinator keluar ke arah proksimal
otot. Pasien akan memiliki deviasi radialis dengan ekstensi pergelangan tangan dan
kelemahan dari ekstensor jari. Cedera sensori radial superficialis akan menghasilkan parestesi
atau disestesi sepanjang distribusi sensorik radial di tangan.

e. Diagnosis

Diagnosa suatu neuropati radialis ditegakkan dengan pemeriksaan Elektromiografi (EMG).

f. Tatalaksana

1. Pasien neuropati radialis akibat fraktur atau dislokasi, dapat mengalami perbaikan
spontan. Pasen dengan Saturday nigth palsy biasanya membaik dalam 6-8 minggu
bahkan kadang-kadang lebih lama.

2. Fisioterapi
3. Operasi pada keadaan terdorongnya nervus radialis oleh tulang atau jaringan lunak,
juga adanya jebakan pada muskulus supinator. Dapat membaik dalam beberapa minggu
atau bulan.

4.4 Polidaktil

Polidactili merupakan kelainan kongenital dimana terdapat kelainan pada jari sehingga
jumlah jari lebih dari lima. Hal ini bisa terjadi karena adanya kesalahan pada duplikasi pada
saat organogenesis.

Pasien dengan polidactili memiliki jari tambahan yang kadang tidak berfungsi karena tidak
memiliki tendon.

Etiologi : polidactili ini dpaat bermanifestasi ebagai kelainan tunggal ataupun sebagai suatu
sindrom anomaly kongenital (menyertai penyakit lain).

Beberapa factor yang dapat memengaruhi terjadinya polidaktili adalah

a. Kelainan genetic dan kromosom -> polidactili biasnaya diturunkan secara


genetic (autosomal dominan tapi terkadang juga pada autosomal resesif)
sehingga adanya kelainan genetic pada orang tua dapat memengaruhi ada
tidaknya polidactili pada anaknya

b. Faktor teratogenik -> teratogenik berarti terdapat perkembangan tidak normal


dari sel selama kehamilan yang dapat menyebabkan kerusaka pada embrio
sehingga pembentukan organ organ tidak berlangsung secara sempurna.

- Faktor teratogenik fisik

Bahan tertogenik fisik adalah bahan yang bersifat teratogen dari unsur-unsur
fisik misalnya radiasi nuklir, sinar gamma dan sinar X (sinar rontgen). Bila ibu
terkena radiasi nuklir atau terpajan dengan agen fisik tersebut, maka janin
akan lahir dengan berbagai kecacatan fisik. Tidak ada tipe kecacatan fisik
tertentu pada paparan ibu hamil dengan radiasi, karena agen teratogenik ini
sifatnya tidak spesifik karena mengganggu berbagai macam organ. Untuk
menghindari efek agen teratogen fisik, maka ibu sebaiknya menghindari
melakukan foto rontgen apabila ibu sedang hamil. Foto rontgen yang terlalu
sering dan berulang pada kehamilan kurang dari 12 minggu dapat memberikan
gangguan berupa kecacatan lahir pada janin.

- Faktor teratogenik kimia

Bahan teratogenik kimia adalah bahan yang berupa senyawa senyawa kimia
yang bila masuk dalam tubuh ibu pada saat pembentukan organ tubuh janin
dapat menyebabkan gangguan pada proses tersebut. Kebanyakan bahan
teratogenik adalah bahan kimia. Bahkan obat-obatan yang digunakan untuk
mengobati beberapa penyakit tertentu juga memiliki efek teratogenik. Alkohol
merupakan bahan kimia teratogenik yang umum terjadi terutama di
negaranegara yang konsumi alkohol tinggi. Konsumsi alkohol pada ibu hamil
selama kehamilannya terutama di trisemester pertama, dapat menimbulkan
kecacatan fisik pada anak dan terjadinya kelainan yang dikenal dengan fetal
alkoholic syndrome . Konsumsi alkohol ibu dapat turut masuk kedalam
plasenta dan memperngaruhi janin sehingga pertumbuhan otak terganggu dan
terjadi penurunan kecerdasan/retardasi mental. Alkohol juga dapat
menimbulkan bayi mengalami berbagai kelainan bentuk muka, tubuh dan
anggota gerak bayi begitu ia dilahirkan. Obat-obatan untuk kemoterapi kanker
umumnya juga bersifat teratogenik. Beberapa polutan lingkungan seperti gas
CO, senyawa karbon dan berbagai senyawa polimer dalam lingkungan juga
dapat menimbulkan efek teratogenik.

- Faktor teratogenik biologis

Agen teratogenik biologis adalah agen yang paling umum dikenal oleh ibu
hamil. Istilah TORCH atau toksoplasma, rubella, cytomegalo virus dan herpes
merupakan agen teratogenik biologis yang umum dihadapi oleh ibu hamil
dalam masyarakat. Infeksi TORCH dapat menimbulkan berbagai kecacatan
lahir dan bahkan abortus sampai kematian janin. Selain itu, beberapa infeksi
virus dan bakteri lain seperti penyakit sifilis/raja singa juga dapat memberikan
efek teratogenik.

KLASIFIKASI
a) Berdasarkan Letak Duplikasi Jari

• Polidaktili postaxial : Jari tambahan didapatkan pada sisi ulnar (paling


sering)

• Polidaktili preaxial : Jari tambahan pada sisi radial (lebih jarang dari ulnar)

• Polidaktili sentral : Jari tambahan pada jari telunjuk, tengah, dan jari manis
(sangat jarang)

• Polidaktili campuran : polidaktili ulnar dan radial yang terjadi bersamaan

• Polidaktili silang (crossed polydactyly) : melibatkan tangan dan juga kaki

b) Berdasarkan Kedalaman Perlekatan Jari

• Tipe 1 : jari tambahan melekat pada kulit dan nervus.

• Tipe 2 : jari tambahan dengan bagian normalnya melekat pada tulang atau
sendi.

• Tipe 3 : jari tambahan dengan bagian normalnya berhubungan dengan os

metakarpal tambahan pada tangan.

Gejala dan Manifestasi Klinis

a) Ditemukan sejak lahir.

b) Dapat terjadi pada salah satu atau kedua jari tangan atau kaki atau keduanya.

c) Jari tambahan bisa melekat pada kulit ataupun saraf, dapat juga melekat sampai
ke tulang.

d) Dapat terjadi bersamaan dengan kelainan bawaan lainnya, walaupun jarang.

e) Jari tambahan dapat berupa sepotong jaringan lunak yang dilekatkan oleh
sebuah tangkai kecil (biasanya di sebelah jari kelingking), dapat juga berisi
tulang tanpa sendi maupun dengan sendi, tapi jarang didapatkan yang utuh dan
yang bersifat fungsional

Penatalaksanaan

Pembedahan dilakukan dengan cara eksisi dan diindikasikan untuk memperbaiki kosmetik
dan bila ada keluhan kecocokan untuk memakai sepatu (bila polidaktili terdapat

pada kaki). Biasanya operasi dilakukan saat usia pasien lebih dari 1 tahun agar pengaruh

pada perkembangan dan gaya jalan minimal. Operasi sebaiknya ditunda hingga
perkembangan tulang (ossifikasi) selesai sehingga memungkinkan penilaian anatomi

yang akurat.

a) Polidaktili pada tangan

Klasifikasi Waffel digunakan untuk menyederhanakan pengkategorian secara klinis

dan perencanaan prosedur pembedahan. Pedoman dalam mengoperasi polidaktili pada

jari tangan:

• Jari radial hipoplastik yang direseksi.

• Pada polidaktili tipe II dan III dengan kaliber yang simetris dan memiliki
komponen tulang, dipillih prosedur Bilhaut Cloquet yang memungkinkan stabilitas
sendi karena mempertahankan ligamentum kolateral ulnar dan radial sendi
interphalanx. Komplikasi prosedur antara lain kekakuan sendi, hipertrofi jaringan
parut, deformitas punggung kuku. Perbaikan nail bed yang cermat dan rekonstruksi
ukuran kuku yang serupa untuk mencegah masalah kecacatan ini. Penting pula
untuk memperingatkan pasien akan jari yang tersisa pasti akan mengalami
hipoplasia, yaitu dalam hal lebar dan lingkarannya.

• Untuk polidaktili tipe II, instabilitas sendi sering terjadi karena kelainan
berkembang pada level sendi. Ligamentum kolateral, perlekatan kapsul, dan tendon
ekstrinsik dari jari hipoplastik merupakan struktur esensial untuk menjaga stabilitas
sendi. Instabilitas yang mucul belakangan akibat gangguan pada jaringan lunak
yang mengakibatkan peregangan kronik dan rekonstruksi jaringan lunak yang tidak
seimbang. Oleh karena itu, lebih bai dilakukan over-tensioning pada rekonstruksi
jaringan lunak. Namun penilaian instabilitas sendi (>5% angulasi pada IPJ) sering
pula tidak tepat.

• Pada polidaktili tipe III, anomali tidak mencapai IPJ sehingga diharapkan hasil
yang memuaskan setelah dilakukan eksisi sederhana. Meskipun demikian,
dilaporkan pula adanya komplikasi setelah ligasi sederhana pada bifid thumb yaitu
deformitas Z ibu jari (Z thumb deformity), instabilitas sendi, dan deformitas sendi.
Namun instabilitas sendi ini dapat pula berasal dari instabilitas preoperatif. Tarikan
eksentrik pada oto-otot ekstenso pada IPJ mungkin berperan dalam perubahan
sekunder dalam kapsul sendi da ligamentum kolateral. Over-tightening ligament
kolateral dan re-alignment tendon ekstrinsik yang tepat dapat memperbaiki
instabilitas sendi. Prosedur Bilhaut-Cloquet tidak dapat memperbaiki instabilitas
sendi pada polidaktiili tipe III akibat eksisi sederhana, namun bisa pada tipe II.

• Ligamentum kolateral radial dengan perlekatannya pada flap periosteal


dipertahankan dan over-tightened untuk menjaga stabilitas sendi dan mencegah
deformitas.

• Jari tipe II dan IV biasanya berhubungan dengan phalanx proksimal dan kepala
metakarpal yang sangat besar.

• Osteotomi korektif lebih dipilih untuk deformitas angular residual tulang.

• Realignment dengan atau tanpa augmentasi tendon penting untuk mengembalikan


kelurusan aksial dan mencegah deformitas Z karena tarikan tendon yang eksentris.
Pada tipe IV, prosedur yang biasa dilakukan adalah suturing duplicated extensor
jari radial ke ekstensor longus jari ulnar dan melekatkan kembali m. abductor
pollicis brevis dan m. extensor pollicis brevis ke basis phalanx proksimal. Delapan
dari sebelas penderita polidaktili tipe IV mengalami instabilitas sendi, dan tiga
mengalami deformitas sendi.

• Tujuan terapi polidaktili adalah untuk mempertahankan jari yang paling


fungsional, tanpa mengingat apakah berupa bi- atau tri-phalangeal.
b) Polidaktili pada kaki

Penanganan termasuk eksisi jari tambahan dan rekonstruksi jaringan lunak di sekitar jari yang
tersisa untuk memperbaiki kesejajaran bila terdapat deviasi. Jari paling medial pada
polidaktili preaksial dan jari paling lateral pada polidaktili postaksial adalah jari yang dipilih
untuk direseksi agar kaki bisa menyempit dengan tepi lateral atau medial yang lurus. Pada
polidaktili postaksial, dilakukan insisi oval atau racquet-shaped pada jari paling lateral
melalui kulit dan fasia. Tendon dibelah ke distal sejauh mungkin. Kapsul sendi
metatarsophalangeal (MTP) dibelah dan jari dipisahkan dari artikulasinya. Ketelitian
diperlukan untuk menyeimbangkan dengan tepat antara musculus halluces abductor dan
adductor serta meminimalkan hallux varus. Koreksi terhadap longitudinal bracket epiphysis
mencegah berkembangnya hallux varus dan metatarsal I yang kependekan. Kapsul diperbaiki
seakurat mungkin. Bila jari yang lebih lateral yang hipoplastik dan dieksisi, ligamentum
intermetatarsal harus ditaksir ulang. Penempatan Kirschner wire (K-wire) selama 4-6 minggu
dapat membantu mempertahankan posisi dan

mencegah deformitas varus atau dapat pula dibalut atau digips (cast). Pada polidaktili sentral,
insisi racquet-shaped dorsal dilakukan pada dasar/lantai duplikasi. Jari tambahan

dieksisi melalui disartikulasi. Ligamentum intermetatarsal dinilai ulang sebelum ditutup.

Gips (cast) atau orthosis bermanfaat pada postoperasi untuk meminimalkan sisa kaki depan
yang melebar. Dengan indikasi kosmetik, dilakukan penutupan kulit plastik/sintetis yang
cermat. Walking cast pada memungkinkan anak-anak bisa tetap bergerak aktif dan sekaligus
melindung daerah insisi. Komplikasi postoperatif antara lain hallux varus residual dan
jaringan parut akibat operasi.

Prognosis

Kebanyakan pasien memiliki hasil keluaran yang baik hingga sempurna. Tindakan yang hati-
hati menentukan keluaran yang baik dalam hal kosmetik dan fungsional. Potensi
pertumbuhan dari jari yang direkonstruksi masih belum diketahui. Pengukuran lebar kuku,
lingkaran dan panjang jari, menunjukkan potensi pertumbuhan jari yang tersisa setelah eksisi
jari yang hipoplasti.
4.5 Kelainan tulang belakang ( kifosis, lordosis, scoliosis )

4.5.1 KIFOSIS

Kifosis adalah kelainan pada tulang belakang yang menyebabkannya membulat sehingga
bagian belakang terlihat membungkuk. Tulang belakang toraks normal memanjang dari
vertebra toraks ke-1 hingga ke-12 dan harus memiliki sedikit sudut kyphotic, berkisar dari
20° hingga 45°. Ketika "kebulatan" dari tulang belakang bagian atas meningkat melewati 45 °
disebut kyphosis atau "hyperkyphosis".

Penyebab Kifosis

Berdasarkan penyebabnya, kifosis dibedakan menjadi tiga, yaitu:

•Postural kyphosis
Postural kyphosis adalah jenis kifosis yang paling sering terjadi dan terlihat saat masa
pertumbuhan. Kifosis jenis ini ditandai dengan kondisi tulang belakang yang melengkung
hingga 50 derajat atau lebih. Bungkuk pada postural kyphosis tergolong lentur, dan dapat
diperbaiki dengan fisioterapi rutin. Di samping itu, kifosis ini juga jarang menimbulkan nyeri,
sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari penderitanya. Postural kyphosis biasanya
disebabkan oleh postur tubuh yang salah, misalnya karena bersandar di kursi dengan posisi
yang terlalu membungkuk, atau akibat membawa tas sekolah yang terlalu berat. Penelitian
menunjukkan, kifosis ini lebih sering terjadi pada anak perempuan dibanding anak laki-laki.

•Scheuermann’s kyphosis
Scheurmann’s kyphosis terjadi ketika tulang belakang mengalami kelainan pada
perkembangannya. Kifosis ini terjadi sebelum masa puber, dan lebih sering terjadi pada anak
laki-laki dibanding anak perempuan. Umumnya, lengkungan pada kifosis ini kaku dan
memburuk seiring pertumbuhan, sehingga membuat penderitanya tidak bisa berdiri lurus.
Pada sebagian orang, kifosis ini bisa sangat menyakitkan. Nyeri bisa terasa di punggung
bagian atas atau bawah.

•Congenital kyphosis
Kifosis jenis ini terjadi akibat kelainan perkembangan tulang belakang saat masih di dalam
kandungan. Kelainan bisa terjadi pada satu atau lebih tulang belakang, dan dapat memburuk
seiring pertumbuhan anak. Congenital kyphosis membutuhkan tindakan bedah secepatnya
guna mencegah bungkuk bertambah parah.
Belum diketahui apa yang menyebabkan congenital kyphosis, namun kondisi ini diduga
terkait dengan kelainan gen. Dugaan tersebut muncul karena pada beberapa kasus, kondisi ini
dialami anak dari keluarga dengan riwayat congenital kyphosis.

Gejala Kifosis

Gejala kifosis yang biasanya terjadi, antara lain:

•Postur tubuh bungkuk.

•Nyeri punggung.

•Kekakuan.

•Beda tinggi antara bahu kiri dan kanan

•Beda tinggi atau posisi pada tulang belikat

•Saat membungkuk, punggung atas terlihat tidak normal

•Otot hamstring tegang

Diagnosis Kifosis

Sebagai langkah awal untuk mendiagnosis kifosis, dokter akan menjalankan pemeriksaan
fisik, termasuk tinggi badan pasien. Kemudian, dokter akan meminta pasien membungkuk
untuk melihat kelengkungan tulang belakang dari samping.

Dokter juga akan meminta pasien berbaring, untuk melihat apakah tulang belakang menjadi
lurus atau tetap bengkok. Bila tulang belakang pasien lurus saat berbaring, pasien diduga
mengalami postural kyphosis. Namun bila tulang belakang pasien tetap bengkok saat
berbaring, diduga pasien mengalami Scheuermann’s atau congenital kyphosis.

Pemeriksaan saraf juga akan dilakukan untuk melihat seberapa baik impuls saraf tulang
belakang, terutama jika pasien mengalami mati rasa atau melemahnya kekuatan otot.

Untuk menguatkan diagnosis, dokter akan menjalankan pemeriksaan penunjang, seperti:

•Uji pencitraan. Foto Rontgen dapat memperlihatkan tingkat kelengkungan, dan mendeteksi
kelainan bentuk tulang belakang. Bila dokter memerlukan gambaran tulang belakang yang
lebih jelas, maka pemeriksaan CT scan akan dilakukan. Sedangkan MRI dilakukan bila
dokter menduga ada tumor di tulang belakang.
•Uji kepadatan tulang (bone density scan). Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tingkat
kepadatan tulang, sehingga dapat dilakukan tindakan untuk mencegah kerapuhan tulang yang
akan memperburuk kifosis.

•Tes darah. Pemeriksaan sampel darah dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya infeksi,
seperti tuberkulosis.

Terapi Kifosis

Dalam penanganannya terdapat 4 cara, yaitu:

1. Brace. Terapi dengan menggunakan mekanik pasif yang dipasangkan pada tubuh
penderita kifosis yang disesuaikan dengan postur tubuh.
2. Terapi Fisik. Terapi fisik dapat dilakukan dengan cara berbaring telentang, dan tidur
dengan menggunakan alas yang keras.
3. Bedah. Terapi dengan cara pembedahan dilakukan karena runtuhnya vertebra tulang
belakang.

Komplikasi Kifosis

Jika tidak ditangani dengan benar, kifosis berpotensi menimbulkan beberapa komplikasi,
seperti:

•Gangguan pernapasan. Pada kasus yang parah, kifosis dapat menekan paru-paru dan
menyebabkan penderitanya menjadi sesak napas.

•Gangguan pencernaan. Kifosis parah dapat menekan saluran pencernaan dan memicu
masalah, seperti maag atau sulit menelan.

•Gerak tubuh yang terbatas. Kifosis dapat menyebabkan penderitanya sulit berjalan,
bangkit dari kursi, atau menengadahkan kepala. Tulang punggung yang melengkung juga
dapat menimbulkan nyeri bila penderita berbaring.

•Penampilan tubuh yang tidak menarik. Kifosis membuat penderitanya terlihat tidak
menarik, karena bungkuk atau karena memakai penyangga punggung untuk memperbaiki
kondisinya. Pada keadaan ekstrim bisa menimbulkan pengucilan dari lingkungan sosial.

4.5.2 LORDOSIS
Ketidakseimbangan yang terjadi pada tulang belakang dapat terjadi dari apa pun yang
mendorong pusat massa tubuh ke depan. Ada beberapa etiologi, yaitu kelainan bawaan,
degeneratif, traumatis, dan iatrogenik. Trauma tulang belakang yang diobati secara
nonoperatif atau operatif dapat menyebabkan perubahan kronis pada keseimbangan tulang
belakang, terutama dengan keterlibatan sambungan torakolumbal (zona transisi yang relatif
netral dari kifosis ke lordosis).

Patofisiologi

Lordosis serviks

● normal 20-40 °

Lordosis Lumbar

● Rata-rata 60 °
● Berbagai macam nilai yang dapat diterima tergantung pada anatomi panggul
● Sebanyak 75% lordosis lumbal terjadi antara L4 dan S1 dengan 40-50% terjadi pada
L5 / S1

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Riwayat menyeluruh dari kondisi medis serta patologi tulang belakang sebelumnya
harus dicermati, seperti mungkin adanya operasi tulang belakang sebelumnya. Nyeri juga
harus dibedakan dari etiologi diskogenik, mekanis, atau neuropatik. Pemeriksaan
muskuloskeletal dan neurologis lengkap harus dilakukan. Pemeriksaan pasien harus
dilakukan dalam posisi terlentang dan berdiri. Pemeriksaan gaya berjalan harus dilakukan
untuk mengetahui mekanisme kompensasi sekunder.

Evaluasi

Untuk pencitraan, film berdiri 36 inci adalah andalan pencitraan penyelarasan tulang
belakang. Sangat penting untuk mengevaluasi kedua panggul, kepala femoralis, dan anatomi
tulang belakang untuk menggambarkan keselarasan, simetri, dan kompensasi yang tepat.
Pengukuran tertentu sangat penting. Sistem EOS X-ray adalah terobosan terbaru dalam
pencitraan koreksi deformitas. Ini adalah teknologi baru yang memanfaatkan konsep
pemenang hadiah Nobel dalam deteksi partikel, memungkinkan rekonstruksi 2D ke 3D dari
gambar sinar-X biplanar. Mesin ini memungkinkan pengukuran parameter tulang belakang
yang akurat di berbagai bidang, yang sangat penting dalam operasi kelainan bentuk.
Keuntungan dari modalitas pencitraan ini adalah memberikan dosis radiasi 800-1000 kali
lebih sedikit untuk pasien dibandingkan dengan CT untuk gambar yang sama. CT dan MRI
dapat digunakan selama investigasi bedah pra-operasi atau evaluasi penyakit klinis pasien.
Namun, diagnosis utama tetap pada rontgen. Penting untuk diingat bahwa modalitas CT /
MRI adalah platform pencitraan rekombinan.

Perawatan / Manajemen

Tujuan keseluruhannya adalah untuk menempatkan tubuh dalam posisi fisiologis


sehingga dapat mempertahankan keseimbangan dengan sedikit usaha. Perawatan mungkin
non-operatif dengan penyangga untuk dukungan struktural atau terapi fisik dapat digunakan
untuk penguatan. Perawatan operatif memiliki tingkat invasif atau pengangkatan tulang yang
berbeda untuk memulihkan kesejajaran tulang belakang. Prosedur ini berkisar dari osteotomi
pengurangan pedikel hingga reseksi kolom vertebral, atau koreksi lebih lanjut.

4.5.3 SKOLIOSIS

A. Definisi

Skoliosis adalah deformitas dari tulang belakang yang dicirikan dengan adanya
abnormalitas kelengkungan tulang belakang ke arah lateral. Selain itu, pada skoliosis juga
dapat ditemukan adanya rotasi dari vertebra.

B. Etiologi

Berdasarkan etiologinya, skoliosis dapat dikategorikan menjadi skoliosis non-


struktural dan struktural.

· Skoliosis Non-struktural

Pada skoliosis non-struktural, lengkung dari tulang belakang yang abnormal dapat dikoreksi
dengan membungkuk ke samping atau posisi supinasi. Kondisi ini dapat berlangsung
sementara, dan tidak ada perubahan struktural. Skoliosis non-struktural dapat dikelompokkan
berdasar etiologinya menjadi:

o Skoliosis Postural
o Skoliosis Histerikal

o Iritasi akar saraf

o Inflamasi

o Keadaan leg length disrepancy

o Keadaan kontraktur sekitar sendi panggul

Pada skoliosis postural, deformitas yang terjadi bersifat sekunder, yang diakibatkan
oleh kompensasi suatu keadaan selain masalah tulang belakang, contohnya tungkai
bawah yang pendek atau pinggul yang miring karena kontraktur, duduk terlalu lama
dengan posisi yang salah.

· Skoliosis Struktural

Skoliosis struktural adalah deformitas tulang belakang yang tidak dapat dikoreksi dan
rotasi dari vertebra. Pada kondisi ini, processus spinosus berputar ke arah kecekungan dari
kurva, dan processus transversus pada area yang cembung berotasi ke arah posterior. Di
regio thorakal, terjadi permukaan yang cembung di area skapular dan disebut sebagai “rib
hump” atau “humping” yang disebabkan tulang rusuk yang menonjol. Kondisi ini adalah
karakteristik dari deformitas tulang belakang pada skoliosis non-struktural. Rotasi pada
vertebra terbentuk oleh tulang rusuk di area thorakal dan musculus erector spinae di daerah
lumbal. Pada kelengkungan awal dan kecil, rotasi vertebra hanya dapat dilihat ketika pasien
membungkuk ke depan dengan sudut 90 derajat pada pinggul.

Jika masih awal, deformitas mungkin dapat diperbaiki, tetapi jika deformitas telah
mencapai titik tertentu dari kestabilan mekanis, vertebra akan melengkung dan berotasi
mencapai deformitas yang bersifat menetap dan tidak dapat hilang dengan perubahan postur
tubuh. Kelengkungan sekunder yang terbentuk untuk mengimbangi deformitas primer lebih
mudah untuk diperbaiki, tetapi makin lama dapat menetap. Menurut etiologinya, skoliosis
dapat diklasifikasikan menjadi :

1) Skoliosis Idiopatik

o Infantile skoliosis (0-3 tahun)


o Juvenile skoliosis (3-10 tahun)

o Adolescent skoliosis (> 10 tahun)

2) Skoliosis Neuromuskular

o Neuropathic / neurogenic (karena penyakit atau anomali pada jaringan


saraf)

o Miopatik

3) Kongenital

o Kegagalan pembentukan

o Kegagalan segmentasi

C. Tanda dan Gejala

Skoliosis idiopatik adolesen pada umumnya tidak menimbulkan kematian,


namun lengkung kurva yang besar dapat menimbulkan keluhan mengenai penampilan.
Jika deformitas mencapai tahap tertentu, maka deformitas dapat dirasakan. Pada
umumnya, pasien menyadari dan mengeluhkan gejala seperti “rib hump” pada bagian
thorakal, dan pinggang yang tampak tidak simetris, ketidak simetrisan payudara, salah
satu shoulder blade lebih tinggi dan menonjol dibandingkan yang lain, salah satu bahu
lebih tinggi, dan postur tubuh yang kurang baik.

Melalui pemeriksaan fisik dapat dilihat apabila tulang belakang berdeviasi dari
midline dan hanya dapat dilihat jika pasien membungkuk ke depan. Jika skoliosis terjadi
di regio thorakal, rotasi vertebra dapat menyebabkan “rib cage” menonjol sehingga
menghasilkan permukaan yang konkaf pada daerah skapular dan menimbulkan gambaran
rib hump pada pemeriksaan fisik.

Nyeri pada punggung adalah hal yang jarang terjadi, dan apabila ada harus
dipikirkan penyebab yang lain. Nyeri punggung yang non-spesifik memiliki prevalensi
sebesar 70% di populasi dan tidak harus langsung menduga skoliosis sebagai
penyebabnya. Penekanan pada akar – akar saraf tulang belakang di bagian lumbal dapat
menyebabkan sakit yang menjalar ke tungkai – tungkai bawah.

Gejala pada pasien dewasa bergantung dengan pada lokasi lengkung


maksimum dari skoliosis terdapat. Jika lengkung maksimum terdapat pada regio lumbal,
dapat menyebabkan nyeri pada bagian punggung, sedangkan lengkung maksimum pada
regio thorakal yang lebih dari 80 derajat dapat menyebabkan gangguan kardiopulmoner.
Fungsi pulmoner cenderung berkurang pada skoliosis yang terjadi pada regio thorakal dan
dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas vital paru dengan tingkat keparahan
kelengkungan kurva.

D. Diagnosis

Dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh, disertai


pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologis, diagnosis dan komplikasi yang
terjadi pada pasien skoliosis dapat ditegakkan.

· Pemeriksaan Fisik

Ada 3 hal penting yang harus diberikan perhatian lebih saat melakukan
pemeriksaan fisik yaitu deformitas, penyebab, dan komplikasinya.

Saat melakukan pemeriksaan fisik, pasien diperiksa tanpa busana. Pertama


yang mulai diukur adalah tinggi badan pasien saat berdiri dan duduk, panjang lengan,
dan berat badan. Punggung diperiksa dengan posisi pasien membelakangi pemeriksa
dan yang dilihat adalah kesimetrisan dari bahu, scapula, garis pinggul, dan hubungan
thoracopelvic.

Keseimbangan tulang belakang antara thorak dengan pelvis dapat diperiksa


dengan cara plumb line. Cara ini dilakukan dengan menjatuhkan pendulum dari
processus spinosus yang paling menonjol, yaitu pada C7, kemudian lihat garis
vertikal yang dibentuk. Jarak dari garis vertikal dengan celah gluteal diukur dalam
satuan sentimeter dan dicatat. Pada vertebra yang normal, garis vertikal akan jatuh
tepat di celah gluteal, namun jika ada keasimetrisan pada tulang belakang, garis
vertikal akan jatuh di salah satu dari kedua sisi celah gluteal.

Untuk mengetahui apabila ada ketidaksimetrisan dari level bahu, yang diukur
adalah selisih tinggi dari keduanya. Cara untuk mengukur selisih tinggi adalah dengan
menarik garis horizontal dari ujung atas sendi acromioclavicular kedua bahu. Bila
terdapat ketidaksimterisan dari pelvis, yang dibandingkan adalah tinggi antara anterior
superior atau posterior superior spina iliaca kiri dengan yang kanan.

Lakukanlah Adam’s forward bending test pada pasien, dengan


membungkukkan posisi anak 90 derajat ke depan, kedua kaki dirapatkan, lutut lurus,
kedua tangan menggantung dengan kepala menunduk. Untuk skoliosis thorakolumbal
dan lumbal, inspeksi pasien dari belakang, namun untuk skoliosis servikal dan
thorakal, inspeksi pasien dilakukan dari depan. Yang perlu diperhatikan berikutnya
adalah arah rotasi vertebra. Pada skoliosis struktural, processus spinosus berotasi ke
bagian yang cekung dari kurva yang ditunjukkan oleh menonjolnya tulang rusuk dari
thoracal cage. Sedangkan pada skoliosis postural, processus spinosus akan berotasi
ke bagian yang cembung dari kurva dengan tulang rusuk dan otot – otot paravertebral
yang menonjol pada sisi cembung ketika pasien dilihat dari belakang. Menggunakan
scoliometer adalah sebuah metode yang akurat untuk mengukur rotasi vertebra.
Pemeriksaan dengan scoliometer memungkinkan terlihatnya kurva minimal yang sulit
untuk dilihat jika pasien dalam posisi berdiri, sehingga seringkali dianjurkan untuk
pemeriksaan rutin.

· Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis seluruh tulang belakang diperlukan untuk menentukan


penyebab dan tipe dari skoliosis, letak deformitas, pola kurva dan besarnya, dan
maturitas tulang. Pemeriksaan radiologi awal yang diperlukan hanyalah gambaran
radiografi anteroposterior dan lateral. Pada gambaran radiografi lateral, ada atau
tidaknya kifosis, hiperkifosis atau hipokifosis, lordosis atau hipolordosis, dan
spondylolisthesis ditentukan.

Pada pemeriksaan radiologis, terdapat cara lain untuk mengukur kurva, yaitu
dengan menggunakan metode Cobb. Sudut Cobb adalah sudut yang dibentuk oleh
perpotongan garis tegak lurus yang ditarik dari bagian atas lengkung vertebra dengan
bagian bawah dari lengkung vertebra. Langkah pertama untuk mengukur kurva adalah
dengan mengidentifikasi kedua ujung vertebra yang atas dan bawah. Ujung vertebra
adalah vertebra terakhir yang membengkok ke sisi kurva yang cekung. Setelah itu,
dibuat garis pada ujung atas vertebra paling atas dan pada ujung bawah vertebra
paling bawah. Pertemuan antara kedua garis ini disebut sudut Cobb. 20 derajat
kelengkungan lateral setara dengan 5 derajat ART.

Untuk mengukur derajat rotasi vertebra dapat digunakan teknik Nash dan
Moe. Pada teknik ini dilakukan pengamatan pada posisi – posisi processus spinosus.
Penggolongan derajat rotasi adalah: pada grade 0 tidak terdapat rotasi, grade I pedikel
telah mulai berputar mulai dari tepi corpus vertebra, grade II pedikel hampir tidak
terlihat, grade III pedikel terletak pada pertengahan dari vertebra, grade IV pedikel
telah melewati garis tengah.

Mengukur maturitas tulang dilakukan karena berhubungan dengan


progresifitas kurva. Untuk mengukur maturitas tulang dapat digunakan gambaran
anteroposterior dari spina dan menggunakan metode Risser sign. Osifikasi apofisis
iliaka dimulai pada daerah anterior pada spina iliaca anterior superior, berlanjut ke
arah posterior yaitu spina iliaca posterior superior. Pada Risser 0, tidak terdapat
osifikasi pada apofisi iliaka. Pada Risser 1, telah terjadi osifikasi pada seperempat
anterior. Risser 2, telah terjadi osifikasi dari setengah dari krista iliaka. Pada Risser 3,
telah terjadi osifikasi pada tiga perempat anterior krista iliaka, dan pada Risser 4 telah
terjadi osifikasi sepenuhnya. Apofisis iliaka mulai terosifikasi segera setelah pubertas
dan ketika krista iliaka telah terofisikasi sepenuhnya, progresi skoliosis minimal.

E. Penatalaksanaan

Penanganan skoliosis bertujuan untuk mencegah deformitas ringan menjadi


lebih buruk serta memperbaiki skoliosis yang telah ada. Skoliosis dapat dibagi
penanganannya menjadi penanganan konservatif dan penanganan operatif.

Observasi
Tujuan dari penanganan non-operatif adalah mencegah progresi dari skoliosis.
Derajat kurva yang kurang dari 20 dan tidak menunjukkan adanya progresi diberikan
penanganan observasi selama 3 – 4 bulan.

Orthotik
Jika kurva yang dimiliki antara 20 – 30˚ dan progresif, diperlukan penanganan
dengan menggunakan brace. Ada dua macam bracing yang seringkali digunakan
yaitu: Milwaukee brace untuk menyokong daerah thorakal, terdiri dari korset pada
pelvis yang dihubungkan dengan logam untuk menyokong cincin yang terletak pada
daerah servikal yang menyangga oksipital dan dagu dan Boston brace yang digunakan
untuk menyokokng daerah lumbal atau thorakolumbal.

Penggunaan spinal brace dilakukan full time yaitu 22 jam sehari atau part time
yaitu 16 jam sehari atau hanya dipakai pada malam hari. Kurva yang lebih dari 30˚
dan kurva yang progresif membutuhkan pemakaian full time. Kontraindikasi dari
penanganan orthotik adalah jika pasien telah mengalami maturitas skeletal, pasien
dengan lordosis di regio thorakal, pasieng dengan lengkung kurva lebih dari 45˚, dan
pasien yang mengalami gangguan kepribadian.

Pemakaian brace dapat mencegah progresifitas kurva, memberikan koreksi yang


permanen pada batas-batas tertentu, dan menstabilkan kurva. Semakin muda penderita
dan semakin kecil sudut kurva maka akan semakin besar keberhasilan pemakaian
spinal brace.

Operatif
Penanganan operatif dilakukan apabila kurva telah lebih dari 30˚ yang secara
kosmetik tidak baik, dan untuk deformitas yang ringan namun tidak membaik
setelah menjalankan penanganan konservatif. Tujuan dari penanganan operatif adalah
untuk meluruskan kurva termasuk komponen vertebra yang telah berotasi.

Berikut adalah penerapan sistemik dari terapi konservatif berdasarkan sudut

Cobb dan penuaan skeletal menurut SOSORT Guidelines :

1. Anak yang belum memiliki tanda-tanda maturitas

a. Cobb < 15˚ : observasi dengan interval 6-12 bulan.

b. Cobb 15-20 : outpatient physical therapy dengan treatment free


interval. Diberikan latihan 2-7/ minggu selama 6-12 minggu, lalu
setelah 3 bulan dilaksanakan latihan 2 minggu sekali.
c. Cobb 20-25 : outpatient physical medicine, SIR

d. Cobb > 25 : outpatient physical medicine , SIR, dan pemakaian


brace (dengan paruh waktu selama 12 – 16 jam sehari).

2. Anak dan remaja, Risser 0 – 3

a. Progression risk kurang dari 40% : observasi 3 bulan

b. Progression risk 40% : outpatient physical medicine

c. Progression risk 50% : outpatient physical medicine

dan SIR

d. Progression risk 60% : outpatient physical medicine, SIR, dan


pemakaian brace (paruh waktu 16-22 jam/hari)
e. Progression risk 80% : outpatient physical medicine, SIR, dan
pemakaian brace (23 jam/hari).
3. Anak dan remaja, Risser 4

a. Cobb<20 : observasi

b. Cobb 20-25 : outpatient physical medicine

c. Cobb > 25 : outpatient physical medicine dan SIR

d. Cobb > 35 : outpatient physical meicine, SIR, dan pemakaian


brace paruh waktu 16 jam/hari

e. Melepas brace: outpatient physical medicine, SIR, dan


pemakaian brace dikurangi secara bertahap

4. Risser 4 – 5

a. Cobb >25 : outpatient physical medicine

b. Cobb > 30 : outpatient physical medicine dan SIR

5. Dewasa dengan sudut Cobb > 30: outpatient physical medicine dan SIR

6. Remaja dan dewasa dengan skoliosis (derajat berapapun ) disertai nyeri yang
kronis : outpatient physical medicine, SIR + program khusus penanganan
nyeri, dan pemakaian brace.

4.6 DMD ( Distrofi Muscular Duchenn )

Distrofi muskular Duchenne adalah suatu penyakit otot herediter yang disebabkan oleh
mutasi genetik pada gen dystropin yang diturunkan secara x-linked resesif mengakibatkan
kemerosotan dan hilangnya kekuatan otot secara progresif.

Epidemiologi

Insiden distrofi muskular Duchenne hampir 1 kasus dari 3300 kelahiran hidup bayi laki-laki.
Bentuk paling sering dari penyakit ini adalah x-linked resesif (ibu carrier), 70% dari kasus
pria dengan kelainan ini mewarisi mutasinya dari ibu yang membawa satu salinan gen DMD
tetapi hampir 30% kasus terjadi mutasi spontan. Oleh karena itu hampir sepertiga laki-laki
dengan distropfi muskular Duchenne tidak memiliki riwayat keluarga dengan distrofi
muskular. Pasien distrofi muskular Duchenne yang tidak memiliki riwayat keluarga mungkin
merupakan hasil germinal mosaicism pada kromosom X (suatu mutasi yang muncul sebelum
kelahiran ibu), dimana ibu adalah carrier, tetapi tidak ada anggota keluarga lain yang terkena
distrofi muskular Duchenne. Kemungkinan lain adalah ibu atau ayah memiliki gonadal
mosaicism, suatu mutasi baru pada sel-sel bibit maternal atau paternal. Distrofi muskular
Duchenne merupakan bentuk yang paling banyak dan paling dikenal diantara distrofi
muskular, dimana gejala dapat terlihat pada usia 3-5 tahun atau sebelum usia 12 tahun

Etiologi

Pada distropi muskular Duchenne terjadi mutasi pada gen dystropin pada kromosom X
berupa delesi, duplikasi dan mutasi titik (point mutations), sehingga tidak dihasilkannya
protein dystropin atau terjadi defisiensi dan kelainan struktur dystropin. Kira-kira 60% pasien
distrofi muskular Duchenne terjadi mutasi secara delesi dan 40% merupakan akibat mutasi-
mutasi kecil dan penduplikasian

Patogenesis

Dystropin merupakan protein dengan jumlah sedikit yang membentuk 0,002% dari total
protein otot. Dystropin adalah protein sitoskeletal dengan globular amino seperti tangkai
terpusat dan globular carboxy. Dystropin terletak pada permukaan dalam sarcolemma,
berkumpul sebagai homotetramer yang dihubungkan dengan aktin pada amino terminus dan
dengan glikoprotein pada carboxy terminus.

Dystropin berperan dalam memberikan kekuatan otot dan kestabilan membran otot. Mutasi
gen yang terjadi pada distrofi muskular Duchenne adalah delesi dan duplikasi. Fenotip
distrofi mulekular Duchenne tidak selalu berhubungan dengan ukuran delesi pada gen
dystropin, tetapi sangat berpengaruh pada sintesis dystropin. Delesi merusak codon triplet
sehingga merubah konsep pembacaan, terjadi penghentian prematur codon dan sintesis
dystropin terhenti dan mengalami degradasi, menghasilkan molekul protein kecil, terpotong
tanpa carboxy terminal

BMD (Becker Muscular Distrophy)

Becker muscular dystrophy (BMD) merupakan kelainan herediter resesif terkait


kromosom X. Kelainan menunjukkan gejala hanya pada laki-laki, sedangkan perempuan
bersifat karier. BMD disebut juga sebagai DMD versi ringan, karena kelainan terlihat pada
mulai usia remaja. BMD merupakan kelainan berupa distrofi muskuler progresif diakibatkan
karena kelainan dalam produksi protein disrofin. Pada BMD protein distrofin masih memiliki
sebagian fungsi normalnya, sehingga atrofi pada penderita BMD berjalan lebih lambat dari
pada penderita DMD.

Orang dengan BMD menunujukkan adanya gejala kesulitan berjalan atau melompat
karena ototnya yang melemah. BMD akan berbahaya apabila menyerag otot jantung sehingga
terjadi kardiomyopati yang sebelumnya ditandai dengan adanya aritmia. Diagnosis
ditegakkan menggunakan foto radiologis yang menunjukkan adanya kelainan bentuk tubuh
seperti skoliosis. Creatine phospokinase test untuk melihat adanya protein otot CPK. Biopsi
muskuler dan test genetika juga sebagai pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Karena
berkaitan dengan gen, maka kelainan BMD hanya mampu ditangani gejalanya. Seperti terapi
fisik dan penggunaan steroid yang memperlama proses atrofi muskulernya.

4.7 Sindrom marfan

Sindrom Marfan adalah gangguan pada jaringan ikat, yang terjadi akibat kelainan genetik.
Jaringan ikat adalah jaringan yang berfungsi sebagai penunjang atau penghubung antara
organ tubuh, termasuk stuktur tulang. Gangguan apa pun yang terjadi pada jaringan ikat, akan
berdampak pada seluruh tubuh.

Sindrom Marfan bisa menimpa siapa saja, baik pria maupun wanita, dalam segala rentang
usia. Gangguan ini termasuk jarang terjadi, yaitu pada setiap 1 dari 5000 orang.

Gejala Sindrom Marfan

Gejala sindrom Marfan sangat bervariasi. Beberapa penderita hanya mengalami gejala yang
ringan, namun pada penderita lain, gejala yang muncul bisa berbahaya. Berbagai gejala di
bawah bisa muncul di usia kanak-kanak atau menjelang dewasa:

● Tubuh tinggi, kurus dan terlihat tidak normal.


● Bentuk kaki yang besar dan ceper.
● Bentuk lengan, tungkai, serta jari tangan dan kaki yang panjang atau tidak
proporsional.
● Sendi lunglai dan lemah.
● Masalah pada tulang belakang, seperti skoliosis.
● Tulang dada menonjol ke luar atau cekung ke dalam
● Rahang bawah tampak
● Gigi bertumpuk tidak beraturan.
● Gangguan pada mata, seperti glaukoma, rabun jauh (miopia), katarak, pergeseran
lensa mata, dan ablasi retina.
● Stretch mark pada pundak, punggung bawah, dan panggul.
● Gangguan jantung dan pembuluh darah, seperti perdarahan akibat pecahnya pembuluh
darah arteri besar (aorta) atau penyakit katup jantung.

Penyebab Sindrom Marfan

Sindrom Marfan disebabkan oleh kelainan gen penghasil protein yang disebut fibrilin.
Kerusakan gen tersebut membuat fibrillin diproduksi secara abnormal. Akibatnya, beberapa
bagian tubuh meregang secara tidak normal dan tulang tumbuh lebih panjang dari
seharusnya.

Sebagian besar kasus sindrom Marfan diturunkan dari orang tua dan bersifat autosomal
dominant, artinya anak memiliki kemungkinan untuk mewarisi sindrom ini apabila salah satu
dari kedua orang tua menderita sindrom Marfan (tidak harus kedua orang tua yang membawa
gen). Namun demikian, 1 dari 4 kasus sindrom Marfan terjadi bukan karena keturunan.
Kondisi tersebut disebabkan oleh mutasi gen fibrillin pada sperma ayah atau sel telur ibu.
Janin yang dihasilkan dari pembuahan sel sperma atau sel telur tersebut berkembang menjadi
sindrom Marfan.

4.8 Fraktur kongenital

Selama kehamilan, terdapat cairan amnion yang berfungsi untuk melindungi janin dari
kejadian trauma. Namun, tetap ada beberapa kasus fraktur kongenital yang mungkin terjadi
terutama pada bagian tulang tempurung kepala, ekstremitas atas dan bawah, serta tulang
belakang.

Etiologi:

- Fraktur pelvis pada ibu

- Kelainan tulang seperti osteogenesis imperfect,


- Faktor lain termasuk karakteristik ibu seperti usia, primipara, mioma uterus dan diabetes
mellitus, serta karakteristik yang berhubungan dengan kehamilan seperti berat badan lahir
tinggi atau rendah, persalinan yang sulit, dan malpresentasi.

Fraktur femur janin secara spontan didefinisikan sebagai terjadinya fraktur intrauterin
tanpa adanya faktor traumatis, kerapuhan tulang, dan penyakit bawaan lainnya. Perlu
dicatat bahwa diagnosis fraktur femur spontan janin hanya dapat ditegakkan bila riwayat
traumatis dan penyakit skeletal telah disingkirkan. Faktor risiko pada laporan kasus ini
terjadi pada bayi laki – laki. Saat ini, patogenesis dari fraktur femur janin spontan masih
belum jelas. Berkenaan dengan jenis kelamin janin, menurut pendapat beberapa jurnal,
tingkat beberapa hormon yang berhubungan dengan seks seperti estradiol, yang telah
terbukti berkorelasi dengan penguatan tulang paha pada laki-laki dewasa, dapat
menyebabkan kelemahan yang sesuai pada janin laki-laki. Mengenai lokasi di sepanjang
tulang paha, batang tulang paha berkembang lebih cepat dari kedua ujungnya, membuat
situs ini lebih rapuh. Selain itu, lokasi fraktur mungkin terkait dengan posisi femur in
utero karena femur kanan selalu berada di atas femur kiri, yang dapat menyebabkan efek
tuas / titik tumpu. Sayangnya, tidak satupun dari empat laporan kasus yang
menggambarkan posisi janin dalam rahim tulang paha

Diagnosis fraktur femur spontan janin tidak sulit dan terutama didasarkan pada
ultrasonografi rutin selama kehamilan.

Gambaran klinis utama adalah angulasi femoralis dan tulang paha yang pendek atau
bahkan garis fraktur yang ditandai yang didiagnosis dengan ultrasonografi.

Tatalaksana: operasi.

5. Rehabilitasi medik kelainan kongenital musculoskeletal

Penggunaan berbagai upaya sehingga lebih besar dampak kondisi disabilitas serta ketunaan
dan memampukan kelompok dengan kebutuhan khusus untuk mencapai integrasi social yang
optimal.
Layanan rehabilitasi medic adalah suatu proses untuk mengoptimalkan kemampuan individu
untuk mempertahankan dan mencapai tingkat fungsi fisik, mental, emosional dan spiritual
untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.
Tujuan program rehabilitasi
- Pencegahan kehilangan fungsi
- Memperlambat kehilangan fungsi
- Memperbaiki kehilangan fungsi
- Mengkompensasi fungsi yang hilang
- Mempertahankan fungsi yang masih ada

Rehabilitasi genu varum


• Lateral Wedge

• Orthotic lutut

• Latihan jalan menggunakan sisi medial kaki operasi

• Modifikasi sepatu

Rehabilitasi Genu Valgum


• Modifikasi sepatu : medial wedge

• Orthotik lutut

• Latihan berjalan pada bagian lateral kaki

Rehabilitasi Club foot


• Serial casting/splinting

• Foot abduction orthotic

• Stretching Sepatu rehab

• operatif

Rehabilitasi Pes planus


• Derajat 1: observasi dan strengthening

• Derajat 2-3: sepatu rehab strengthening

Rehabilitasi claw foot


• Sepatu Rehab

• Stretching

• Strengthening
Rehabilitasi claw hand
• Stimulasi listrik

• Strengthening orthotic

Rehabilitasi drop foot


• Stimulasi listrik

• Strengthening exercise

• Orthotik cane

Rehabilitasi drop hand


• Stimulasi listrik

• Streghtnening splint

Anda mungkin juga menyukai