Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa terakhir pada kehamilan pada manusia ditandai dengan kontraksi uterus yang

menyebabkan dilatasi serviks dan mendorong janin melalui jalan lahir. Banyak energi

dikeluarkan pada waktu ini, oleh karena itu, penggunaan istilah labor (kerja keras) dimaksudkan

untuk menggambarkan proses ini. Kontraksi miometrium pada persalinan terasa nyeri, sehingga

istilah nyeri persalinan digunakan untuk mendeskripsikan proses ini. Beberapa jam terakhir pada

kehamilan manusia ditandai dengan kontraksi uterus yang menyebabkan dilatasi serviks dan

mendorong janin melalui jalan lahir.

Banyak energi dikeluarkan pada waktu ini; oleh karena itu, penggunaan istilah labor (kerja

keras) dimaksudkan untuk menggambarkan proses ini. Kontraksi miometrium pada persalinan

terasa nyeri, sehingga istilah nyeri persalinan digunakan untuk mendeskripsikan proses ini. Fase-

fase dalam parturition, merupakan suatu proses fisiologis dalam kelahiran yang terdiri dari

empat fase yaitu fase 0 (fase awal menuju kelahiran), fase 1( persiapan untuk kelahiran), fase 2

(proses dari kelahiran), fase 3 (fase akhir dari kelahiran).

Adanya perbedaan alamiah dari fase-fase fisiologis ini membuktikan bahwa dalam uterus

terjadi transformasi fungsi uterus secara multipel yang hanya dapat dibuktikan dengan waktu-

waktu dalam setiap proses kelahiran. Keempat fase ini bertanggung jawab terhadap perubahan

fisiologis dari miometrium dan serviks pada masa kehamilan.


1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui konsep parturien.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Untuk mengetahui perjalanan klinis persalinan

1.2.2.2 Untuk mengetahui Peran Miometrium

1.2.2.3 Untuk mengetahui Peran Serviks

1.2.2.4 Untuk mengetahui Pola-pola Persalinan Proses Fisiologis dan Biokimiawi Persalinan

1.2.2.5 Untuk mengetahui Riset Persalinan Manusia Kontemporer

1.2.2.6 Untuk mengetahui Fase-fase Uterus Pada Persalinan

1.2.2.7 Untuk mengetahui Sistem Anti-gagal Untuk Mempertahankan Ketenangan Uterus

1.2.2.8 Untuk mengetahui Sistem Anti Gagal Untuk Memastikan Keberhasilan Fase 2

Persalinan

1.3 Manfaat Penulisan

1.3.1 Bagi Pembaca

Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tentang Konsep Parturition dan diharapkan

bisa membagi informasi yang berkaiatan dengan Konsep Parturition

1.3.2 Bagi Penulis

Diharapkan dapat meambah pengetahuan tentang Konsep Parturition dan Memenuhi

matakuliah Obstetri Fisiologi

1.3.3 Bagi Institusi

Sebagai sumber infomasi mengenai Konsep Parturition


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perjalanan Klinis Persalinan

Beberapa jam terakhir pada kehamilan manusia ditandai dengan kontraksi uterus yang

menyebabkan dilatasi serviks dan mendorong janin melalui jalan lahir. Banyak energi

dikeluarkan pada waktu ini, oleh karena itu, penggunaan istilah labor (kerja keras) dimaksudkan

untuk menggambarkan proses ini.

Kontraksi miometrium pada persalinan terasa nyeri, sehingga istilah nyeri persalinan

digunakan untuk mendeskripsikan proses ini. Namun, sebelum kontraksi yang kuat dan terasa

nyeri ini dimulai, uterus harus dipersiapkan untuk persalinan. Pada 36 sampai 38 minggu

pertama kehamilan, miometrium tidak responsif; setelah masa tenang yang panjang ini,

diperlukan fase transisi agar ketidakresponsifan miometrium menghilang dan serviks melunak

dan mendatar. Memang, ada banyak status fungsional uterus yang harus dilaksanakan selama

kehamilan dari masa nifas; status-status fungsional ini diuraikan belakangan dan digolong-

golongkan sebagai fase-fase uterus pada persalinan.

Kontraksi miometrium yang tidak menyebabkan dilatasi serviks dapat dirasakan kapan pun

selama kehamilan. Kontraksi-kontraksi ini ditandai dengan kejadian yang tidak dapat

diramalkan, intensitas rendah dan durasinya singkat. Rasa tidak nyaman yang ditimbulkan

biasanya terbatas di abdomen bawah dan lipat paha.

Menjelang akhir masa kehamilan, ketika uterus mengalami persiapan untuk bersalin,

kontraksi jenis ini lebih sering, khususnya pada multipara, dan kadangkala disebut sebagai

persalinan palsu. Namun, pada beberapa ibu, kontraksi kuat uterus yang menimbulkan dilatasi
serviks, penurunan janin dan pelahiran konseptus dimulai secara mendadak, dan tampaknya

tanpa peringatan.

2.1.1 Miometrium

2.1.1.1 Pertimbangan-pertimbangan Anatomis dan Fisiologis

Ada ciri-ciri unik otot miometrium (dan otot polos lainnya) dibanding dengan otot

rangka. Perbedaan-perbedaan ini menciptakan keuntungan yang istimewa bagi miometrium dari

sisi efisiensi kontraksi uterus dan pelahiran janin.

1) Derajat pemendekan sel otot polos saat kontraksi mungkin satu tingkat lebih besar

daripada yang dicapai oleh sel otot lurik.

2) Sel otot polos gaya-gaya kontraksi dapat diberikan ke berbagai arah, sedangkan gaya

kontraksi yang ditimbulkan oleh otot rangka selalu sejajar dengan sumbu serat otot.

3) Otot polos tidak diorganisasi dengan cara yang sama seperti otot rangka, pada

miometrium ditemukan filamen tebal dan tipis pada berkas-berkas yang panjang dan acak

di seluruh sel tersebut dan mempermudah daya pemendekan yang lebih besar dan

menimbulkan gaya yang lebih besar.

4) Terdapat keuntungan bahwa pembangkitan gaya yang multidireksional pada otot polos

miometrium memungkinkan kesanggupan pengarahan daya dorong ke segala arah

sehingga pelahiran dapat dilakukan tanpa memandang letak atau presentasi janin.

2.1.1.2 Biokimiawi Kontraksi Otot Polos

Interaksi miosin dan aktin penting untuk kontraksi otot. Miosin (Mr sekitar 500.000)

terdiri dari rantai ganda ringan dan berat dan terletak pada miofilamenmiofilamen tebal. Interaksi
miosin dan aktin yang menyebabkan aktivasi ATPase, hidrolisis ATP dan pembentukan kekuatan

dipengaruhi oleh fosforiIasi enzimatik rantai ringan miosin 20-kd (Stull dkk, 1988, 1998). Reaksi

fosforilasi ini dikatalisis oleh enzim kinase miosin rantai ringan, yang diaktifkan oleh Ca2+.

Ca2+ mengikat kalmodulin, suatu protein pengatur pengikatan kalsium, yang selanjutnya akan

mengikat dan mengaktifkan kinase miosin rantai ringan. Dengan cara ini, agen- agen yang

bekerja pada sel otot polos miometrium untuk meningkatkan konsentrasi kalsium sitosol

intraselular ([Ca2+]i) dapat memacu kontraksi.

Kondisi yang menyebabkan penurunan [Ca2+]i menimbulkan relaksasi. Biasanya, agen-

agen yang menyebabkan peningkatan kontraksi adenosin monofosfat siklik intraselular (cAMP)

atau guanosin monofosfat siklik (cGMP) menyebabkan relaksasi uterus. Kerja cAMP dan cGMP

dianggap, menyebabkan penurunan [Ca2+]i, meskipun mekanisme pastinya tidak diketahui.

Gambar 1.

Pengaturan metabolik kontraksi dan relaksasi otot polos miometrium.


Peningkatan Ca2+ bebas, sitoplasmik, dan intraseluler mengaktifkan rantai ringan miosin

kinase yang mengatalisis fosforilasi miosin rantai ringan 20-kd. Miosin yang terfosforilasi

berinteraksi dengan aktin dan mengaktifkan ATPase; dengan hidrolisis ATP, dihasilkan tenaga

dan otot memendek. Relaksasi ditimbulkan oleh sekuestrasi Ca2+ di retikulum sarkoplasma,

defosforilasi miosin terfosforilasi akibat kerja fosfatase dan kemungkinan dengan fosforilasi

(inaktivasi) kinase miosin rantai ringan oleh protein kinase yang bergantung pada cAMP.

2.1.1.3 Kala Persalinan

Persalinan aktif dibagi menjadi empat kala yang berbeda. Kala satu persalinan mulai

ketika telah tercapai kontraksi uterus dengan frekuensi, intensitas dan durasi yang cukup untuk

menghasilkan pendataran dan dilatasi serviks yang progresif. Kala satu persalinan selesai ketika

serviks sudah membuka lengkap (sekitar 10 cm) sehingga memungkinkan kepala janin lewat.

Oleh karena itu, kala satu persalinan disebut stadium pendataran dan dilatasi serviks.

Kala dua persalinan mulai ketika dilatasi serviks sudah lengkap, dan berakhir ketika janin

sudah lahir. Kala dua persalinan adalah stadium ekspulsi janin. Kala tiga persalinan mulai segera

setelah janin lahir, dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban janin.

Kala tiga persalinan adalah stadium pemisahan dan ekspulsi plasenta dan Kala empat

persalinan yaitu 2 jam Postpartum

2.1.1.4 Awitan Persalinan

Secara Klinis Tanda yang dapat diandalkan dimulainya dengan awitan persalinan aktif

(asalkan belum dilakukan pemeriksaan rektal atau vaginal dalam 48 jam sebelumnya) adalah

keluarnya sedikit mukus bercampur darah dari vagina.


Tanda ini menunjukkan ekstrusi sumbat mukus yang mengisi saluran serviks sepanjang

kehamilan dan disebut sebagai “show” atau “bloody show” (darah lendir).

Normalnya, darah yang keluar dari sumbat mukus hanya beberapa tetes, perdarahan yang

lebih banyak menunjukkan penyebab yang abnormal.

2.1.1.5 Kontraksi Uterus yang Khas untuk Persalinan

Kontraksi otot polos uterus pada persalinan terasa sangat nyeri, dan hal ini merupakan

sesuatu yang unik dibanding kontraksi otot fisiologis lainnya. Penyebab nyeri tidak diketahui

secara pasti, tetapi sudah diusulkan beberapa kemungkinan :

1) Hipoksia pada miometrium yang berkontraksi (seperti pada angina pektoris).

2) Penekanan ganglia saraf di serviks dan uterus bagian bawah oleh berkas-berkas otot yang

saling bertautan.

3) Peregangan serviks sewaktu dilatasi.

4) Peregangan peritoneum yang terletak di atas fundus.

Penekanan ganglia saraf di serviks dan segmen bawah uterus oleh miometrium yang

sedang berkontraksi adalah hipotesis yang sangat menarik. Infiltrasi paraservikal dengan

anestetik lokal biasanya menghasilkan peredaan nyeri yang signifikan pada kontraksi-kontraksi

uterus berikutnya, Kontraksi uterus bersifat involuntar dan, sebagian besar tidak bergantung pada

kendali ekstrauteri. Blokade saraf dari, analgesi epidural tidak mengurangi frekuensi dan

intensitas kontraksi uterus.

Selain itu, kontraksi miometrium pada, perempuan paraplegik adalah normal, meskipun

tidak terasa nyeri seperti pada perempuan yang mengalami simpatektomi lumbal bilateral.
Peregangan mekanis serviks meningkatkan aktivitas uterus Mekanisme pasti yang membuat

dilatasi mekanis serviks menyebabkan peningkatan kontraktilitas miometrium tidak jelas.

Pembebasan oksitosin diduga sebagai penyebabnya, tetapi hal ini tidak terbukti.

Manipulasi serviks dan “pelucutan” selaput ketuban diikuti dengan peningkatan kadar

metabolit prostaglandin F2a (PGFM) di dalam darah. Interval antar kontraksi berkurang secara

bertahap dari sekitar 10 menit pada awitan kala satu persalinan menjadi 1 menit atau kurang pada

kala dua. Namun, masa-masa relaksasi antar kontraksi penting untuk kesejahteraan janin.

Kontraksi uterus yang tidak mereda mengancam aliran darah uteroplasenta, dan akhirnya, aliran

darah fetoplasenta, yang cukup untuk menyebabkan hipoksemia janin.

Pada fase aktif persalinan, lama masing-masing kontraksi berkisar dari 30 sampai 90

detik, dengan rata-rata sekitar 1 menit. Intensitas kontraksi uterus bervariasi lumayan besar pada

persalinan yang jelas normal, seperti yang ditekankan oleh Schulman dan Romney (1970).

Mereka mencatat tekanan-tekanan cairan amnion yang ditimbulkan oleh kontraksi uterus pada

persalinan spontan: rata-ratanya sekitar 40 mmHg, tetapi berkisar dari 20 sampai 60 mmHg.

2.1.1.6 Diferensiasi Aktivitas Uterus

Selama persalinan aktif, uterus berubah menjadi dua bagian yang berbeda. Segmen atas

yang berkontraksi secara aktif menjadi lebih tebal ketika persalinan maju. Bagian bawah yang

terdiri dari segmen bawah uterus dan serviks, relatif pasif dibanding dengan segmen atas dan

bagian ini berkembang menjadi jalan yang berdinding jauh lebih tipis untuk janin.

Segmen bawah uterus analog dengan ismus uterus yang melebar dan menipis keluar pada

perempuan yang tidak hamil, pembentukannya tidak hanya merupakan fenomena persalinan.

Segmen bawah secara bertahap terbentuk ketika kehamilan bertambah tua dan kemudian menipis
sekali pada saat persalinan. Dengan palpasi abdomen kedua segmen dapat dibedakan ketika

terjadi kontraksi, sekalipun selaput ketuban belum pecah. Segmen atas uterus cukup kencang

atau keras, sedangkan konsistensi segmen bawah uterus jauh kurang kencang. Segmen atas

uterus merupakan bagian uterus yang berkontraksi secara aktif, segmen bawah adalah bagian

yang diregangkan, normalnya jauh lebih pasif.

Gambar 2.

Urutan perkembangan segmen-segmen dan cincin di uterus pada perempuan hamil aterm dan

saat bersalin.

Perhatikan perbandingan antara uterus perempuan tidak hamil, uterus aterm dan uterus

pada saat bersalin. Segmen bawah korpus uteri yang pasif berasal dari istmus, cincin retraksi

fisiologis terbentuk pada persambungan segmen bawah dan atas uterus. Cincin retraksi patologis

terbentuk dari cincin fisiologis. (OS. INT. ANAT = os internum anatomic; E.O. = os eksternum;

OS INT HIST = os internal histologic; Ph.R.R cincin retraksi fisiologis.)

Seandainya seluruh dinding otot uterus, termasuk segmen bawah uterus dan serviks,

berkontraksi secara bersamaan dan dengan intensitas yang sama, gaya dorong bersih akan jelas

menurun. Di sinilah letak pentingnya pembagian uterus menjadi segmen atas yang aktif
berkontraksi dan segmen bawah yang lebih pasif yang berbeda bukan hanya secara anatomis

melainkan juga secara fisiologis. Segmen atas berkontraksi, mengalami retraksi dan mendorong

janin keluar sebagai respons, terhadap gaya dorong kontraksi segmen atas, segmen bawah uterus

dan serviks yang semakin lunak berdilatasi dan dengan cara demikian membentuk suatu saluran

muskular dan fibromuskular yang menipis keluar sehingga janin dapat menonjol keluar.

Miometrium pada segmen atas uterus tidak berelaksasi sampai kembali ke panjang

aslinya setelah kontraksi; namun, menjadi relatif menetap pada panjang yang lebih pendek.

Gambar 3.

Uterus pada saat pelahiran per vaginam.

Segmen atas uterus yang aktif beretraksi di sekeliling janin karena janin turun melalui

jalan lahir. Di dalam segmen bawah yang pasif, tonus miometrium jauh lebih kecil. Namun,

tegangannya tetap sama seperti sebelum kontraksi.

Bagian atas uterus, atau segmen aktif, berkontraksi ke bawah ketika isinya berkurang,

tetapi tegangan miometrium tetap konstan. Efek akhirnya adalah mengencangkan yang kendur,
dengan mempertahankan kondisi menguntungkan yang diperoleh dari ekspulsi janin dan

mempertahankan otot uterus tetap menempel erat pada isi uterus.

Sebagai konsekuensi retraksi, setiap kontraksi yang berikutnya mulai di tempat yang

ditinggalkan oleh kontraksi sebelumnya, sehingga bagian atas rongga uterus menjadi sedikit

lebih kecil pada setiap kontraksi berikutnya. Karena pemendekan serat otot yang terus menerus

pada setiap kontraksi, segmen atas uterus yang aktif menjadi semakin menebal di sepanjang kala

pertama dan kedua persalinan dan menjadi tebal sekali tepat setelah pelahiran janin.

Fenomena retraksi segmen atas uterus bergantung pada berkurangnya volume isi uterus.

Agar isi uterus berkurang, terutama pada awal persalinan ketika seluruh uterus benar-benar

merupakan sebuah kantong tertutup dengan hanya sebuah lubang kecil pada os serviks, otot-otot

segmen bawah harus meregang. Ini memungkinkan semakin banyak isi intrauteri mengisi

segmen bawah, dan segmen atas hanya beretraksi sejauh mengembangnya segmen bawah dan

dilatasi serviks. Relaksasi segmen bawah uterus bukan merupakan relaksasi sempurna, tetapi

lebih merupakan lawan retraksi. Serabut-serabut segmen bawah menjadi teregang pada setiap

kontraksi segmen atas dan sesudahnya tidak kembali ke panjang sebelumnya namun relatif tetap

mempertahankan panjangnya yang lebih panjang; namun, tegangan pada dasarnya tetap sama

seperti sebelumnya.

Otot-otot masih menunjukkan tonus, masih menahan regangan, dan masih berkontraksi

sedikit pada saat ada rangsangan. Ketika persalinan maju, pemanjangan berturut-turut serabut

otot di segmen bawah uterus diikuti dengan pemendekan, normalnya hanya beberapa milimeter

pada bagian yang paling tipis. Sebagai akibat menipisnya segmen bawah uterus dan bersamaan

dengan menebalnya segmen atas, batas antara keduanya ditandai oleh suatu rete pada permukaan

dalam uterus, cincin retraksi fisiologis. Jika pemendekan segmen bawah uterus terlalu tipis,
seperti pada partus macet, cincin ini sangat menonjol, sehingga membentuk cincin retraksi

patologis. Ini merupakan kondisi abnormal yang juga disebut cincin Bandl.

Adanya suatu gradien aktivitas fisiologis yang semakin mengecil dari fundus sampai ke

serviks diketahui dari pengukuran perbedaan perilaku bagian atas dan bawah uterus pada

persalinan normal.

2.1.1.7 Perubahan Bentuk Uterus

Setiap kontraksi menghasilkan pemanjangan uterus berbentuk ovoid disertai pengurangan

diameter horizontal. Dengan perubahan bentuk ini, ada efek-efek penting pada proses persalinan

yaitu :

1) Pengurangan diameter horizontal menimbulkan pelurusan kolumna vertebralis janin,

dengan menekankan kutub atasnya rapat-rapat terhadap fundus uteri, sementara kutub

bawah didorong lebih jauh ke bawah dan menuju ke panggul. Pemanjangan janin

berbentuk ovoid yang ditimbulkannya diperkirakan telah mencapai antara 5 sampai 10

cm. Tekanan yang diberikan dengan cara ini dikenal sebagai tekanan sumbu janin.

2) Memanjangnya uterus, serabut longitudinal ditarik tegang dan karena segmen bawah

dan serviks merupakan satu-satunya bagian uterus yang fleksibel, bagian ini ditarik ke

atas pada kutub bawah janin. Efek ini merupakan faktor yang penting untuk dilatasi

serviks pada otot-otot segmen bawah dan serviks.

2.1.1.8 Gaya-gaya Tambahan pada Persalinan

Setelah serviks berdilatasi penuh, gaya yang paling penting pada ekspulsi janin adalah

gaya yang dihasilkan oleh tekanan intraabdominal ibu yang meninggi. Gaya ini terbentuk oleh
kontraksi otot-otot abdomen secara bersamaan dengan upaya pernapasan paksa dengan glottis

tertutup. Gaya ini disebut “mengejan”. Sifat gaya yang ditimbulkan sama dengan gaya yang

terjadi pada defekasi, tetapi intensitasnya biasanya jauh lebih besar.

Pentingnya tekanan intraabdominal pada ekspulsi janin paling jelas terlihat pada

persalinan perempuan yang menderita paraplegi. Perempuan seperti ini tidak menderita nyeri,

meskipun uterus mungkin berkontraksi kuat sekali. Dilatasi serviks yang sebagian besar adalah

hasil dari kontraksi uterus yang bekerja pada serviks yang melunak berlangsung secara normal,

tetapi ekspulsi bayi terlaksana dengan lebih mudah kalau ibu diminta mengejan dan dapat

melakukan perintah tersebut selama terjadi kontraksi uterus.

Meskipun tekanan intraabdominal yang tinggi diperlukan untuk menyelesaikan

persalinan spontan, tenaga ini sia-sia sampai serviks sudah membuka lengkap. Secara spesifik,

tekanan ini merupakan bantuan tambahan yang diperlukan oleh kontraksikontraksi uterus pada

kala dua persalinan, tetapi mengejan hanya membantu sedikit pada kala satu selain menimbulkan

kelelahan belaka.

Tekanan intraabdominal mungkin juga penting pada kala tiga persalinan, terutama bila

ibu yang melahirkan tidak diawasi. Setelah plasenta lepas, ekspulsi spontan plasenta dibantu oleh

tekanan intraabdominal ibu yang meningkat.

2.1.2 Serviks

Sebelum persalinan mulai, pada fase pembangkitan dan persiapan uterus, serviks melunak,

sehingga mempermudah dilatasi serviks begitu kontraksi miometrium yang kuat dimulai pada

persalinan.
2.1.2.1 Perubahan pada Serviks yang Diinduksi

Persalinan Tenaga yang efektif pada kala satu persalinan adalah kontraksi uterus, yang

selanjutnya akan menghasilkan tekanan hidrostatik ke seluruh selaput ketuban terhadap serviks

dan segmen bawah uterus. Bila selaput ketuban sudah pecah, bagian terbawah janin dipaksa

langsung mendesak serviks dan segmen bawah uterus.

Sebagai akibat kegiatan daya dorong ini, terjadi dua perubahan mendasar pendataran dan

dilatasi pada serviks yang sudah melunak. Untuk lewatnya kepala janin rata-rata aterm melalui

serviks, saluran serviks harus dilebarkan sampai berdiameter sekitar 10 cm, pada saat ini, serviks

dikatakan telah membuka lengkap. Mungkin tidak terdapat penurunan janin selama pendataran

serviks, tetapi paling sering bagian terbawah janin turun sedikit ketika serviks membuka.

Pada kala dua persalinan, penurunan bagian terbawah janin terjadi secara khas agak

lambat tetapi mantap pada nulipara. Namun, pada multipara, khususnya yang paritasnya tinggi,

penurunan berlangsung sangat cepat.

2.1.2.2 Pendataran Serviks

“Obliterasi” atau “pendataran” serviks adalah pemendekan saluran serviks. Serabut-

serabut otot setinggi os serviks internum ditarik ke atas, atau, dipendekkan, menuju segmen

bawah uterus, sementara kondisi os eksternum untuk sementara tetap tidak berubah, pinggiran os

internum ditarik ke atas beberapa sentimeter sampai menjadi bagian (baik secara anatomik

maupun fungsional) dari segmen bawah uterus.

Sebagai hasil dari aktivitas miometrium yang meningkat sepanjang persiapan uterus

untuk persalinan, pendataran yang lumayan besar pada serviks yang lunak kadangkala selesai
sebelum persalinan aktif mulai pendataran menyebabkan ekspulsi sumbat mukus ketika saluran

serviks memendek.

Gambar 4.

Serviks mendekati akhir kehamilan tetapi sebelum persalinan. Atas, primigravida; bawah,

multipara.

2.1.2.3 Dilatasi Serviks

Dibandingkan dengan korpus uteri, segmen bawah uterus dan serviks merupakan daerah

yang resistensinya lebih kecil. Oleh karena itu, selama terjadi kontraksi, struktur-struktur ini

mengalami peregangan, yang dalam prosesnya serviks mengalami tarikan sentrifugal. Ketika

kontraksi uterus menimbulkan tekanan pada selaput ketuban, tekanan hidrostatik kantong

amnion akan melebarkan saluran serviks seperti sebuah baji. Bila selaput ketuban sudah pecah,

tekanan pada bagian terbawah janin terhadap serviks dan segmen bawah uterus juga sama

efektifnya. Selaput ketuban yang pecah dini tidak mengurangi dilatasi serviks selama bagian
terbawah janin berada pada posisi meneruskan tekanan terhadap serviks dan segmen bawah

uterus.

Proses pendataran dan dilatasi serviks ini menyebabkan pembentukan kantong cairan

amnion di depan kepala yang akan diuraikan secara rinci kemudian

Gambar 5.

Pandataran serviks berlanjut. Atas primigravida dan bawah, multipara

Gambar 6.

Kanalis servikalis mengalami obliterasi yaitu serviks mendatar sempurna. Atas, primigravida dan

bawah mutigravida
2.1.3 Pola-pola Persalinan

2.1.3.1 Pola Dilatasi Serviks Friedman,

Dalam risalahnya tentang persalinan (1978), menyatakan bahwa “ciri-ciri klinis kontraksi

uterus yaitu frekuensi, intensitas dan durasi tidak dapat diandalkan sebagai ukuran kemajuan

persalinan dan sebagai indeks normalitas. Selain dilatasi serviks dan turunnya janin, tidak ada

ciri klinis pada ibu melahirkan yang tampaknya bermanfaat untuk menilai kemajuan persalinan.”

Pola dilatasi serviks yang terjadi selama berlangsungnya persalinan normal mempunyai bentuk

kurva sigmoid. dua fase dilatasi serviks adalah fase laten dan fase aktif. Fase aktif dibagi lagi

menjadi fase akselerasi, fase lereng maksimum dan fase deselerasi (Friedman, 1978).

Lamanya fase laten lebih variabel dan rentan terhadap perubahan-perubahan sensitif oleh

faktor-faktor luar dan oleh sedasi (pemanjangan fase laten). Lamanya fase laten kecil

hubungannya dengan perjalanan persalinan berikutnya, sementara ciri-ciri fase akselerasi

biasanya mempunyai nilai prediktif terhadap hasil akhir persalinan tersebut. Friedman

menganggap fase landai maksimum sebagai alat ukur yang bagus terhadap efisiensi mesin ini

secara keseluruhan, sedangkan sifat fase deselerasi lebih mencerminkan hubungan- hubungan

fetopelvik. Lengkapnya dilatasi serviks pada fase aktif persalinan dihasilkan oleh retraksi serviks

disekeliling bagian terbawah janin. Setelah dilatasi serviks lengkap, kala dua persalinan mulai;

sesudah itu, hanya turunnya bagian terbawah janin secara progresiflah satu-satunya alat ukur

yang tersedia untuk menilai kemajuan persalinan.


Gambar 7.

Kerja hidrostatik selaput ketuban janin untuk menimbulkan pendataran dan dilatasi serviks.

Bila selaput ketuban sudah pecah, bagian terbawah janin yang menempel ke serviks dan

membentuk egmen bawah uterus berfungsi sama. Dalam gambar ini Berta Gambar 11-9 dan 11-

10, perhatikan perubahan hubungan- hubungan os eksternum (OE) dan os internum (OI)

Gambar 8.

Kerja hidrostatik selaput janin untuk menyempurnakan pendataran.


Gambar 9.

Kerja hidrostatik selaput janin pada dilatasi serviks lengkap

2.1.3.2 Pola-pola Penurunan Janin

Pada banyak nuhpara, masuknya kepala janin ke pintu atas panggul telah tercapai

sebelum persalinan mulai dan penurunan janin lebih jauh tidak akan terjadi sampai akhir

persalinan. Pada multipara yang masuknya kepala janin ke pintu atas panggul mula-mula tidak

begitu sempurna, penurunan lebih jauh terjadi pada kala satu persalinan.

Dalam pola penurunan pada persalinan normal, terbentuk kurva hiperbolik yang khas

ketika station kepala janin diplpt pada suatu fungsi durasi persalinan. Penurunan aktif biasanya

terjadi setelah dilatasi serviks sudah maju untuk beberapa lama. Pada nulipara, kecepatan turun

biasanya bertambah cepat selama fase lereng maksimum dilatasi serviks. Pada waktu ini,

kecepatan turun bertambah sampai maksimum, dan laju penurunan maksimal ini dipertahankan

sampai bagian terbawah janin mencapai dasar perineum.


2.1.3.3 Kriteria Persalinan Normal

Kelompok perempuan yang diteliti adalah nulipara dan multipara yang tidak mempunyai

disproporsi fetopelvik, tidak ada kehamilan ganda, dan tidak ada yang diobati dengan sedasi

berat atau analgesi konduksi, oksitosin, atau intervensi operatif. Semuanya mempunyai panggul

normal, kehamilan aterm dengan presentasi verteks, dan bayi berukuran rata-rata.

2.1.3.4 Ketuban Pecah

Pecah ketuban secara spontan paling sering terjadi sewaktu- waktu pada persalinan aktif.

Pecah ketuban secara khas tampak jelas sebagai semburan cairan yang normalnya jernih atau

sedikit keruh, hampir tidak berwarna dengan jumlah yang bervariasi. Selaput ketuban yang

masih utuh sampai bayi lahir lebih jarang ditemukan. Jika kebetulan selaput ketuban masih utuh

sampai pelahiran selesai, janin yang lahir dibungkus oleh selaput ketuban ini dan bagian yang

membungkus kepala bayi yang baru lahir kadangkala disebut sebagai caul.

Pecah ketuban sebelum persalinan mulai pada tahapan kehamilan mana pun disebut

sebagai ketuban pecah dini.

2.1.3.5 Perubahan pada Vagina dan Dasar Panggul

Jalan lahir disokong dan secara fungsional ditutup oleh sejumlah lapisan jaringan yang

bersama-sama membentuk dasar panggul. Struktur yang paling penting adalah m. levator ani dan

fasia yang membungkus permukaan atas dan bawahnya, yang demi praktisnya dapat dianggap

sebagai dasar panggul. Kelompok otot ini menutup, ujung bawah rongga panggul sebagai sebuah

diafragma sehingga memperlihatkan permukaan atas yang cekung dan bagian bawah cembung

Di sisi lain, m. levator ani terdiri dari bagian pubokoksigeus dan iliokoksigeus.
Bagian posterior dan lateral dasar panggul, yang tidak diisi oleh m. levator ani, diisi oleh

m. piriformis dan m. koksigeus pada sisi lain. Ketebalan m. levator ani bervariasi dari 3 sampai 5

mm, meskipun tepi-tepinya yang melingkari rektum dan vagina agak lebih tebal. Selama

kehamilan m. levator ani biasanya mengalami hipertrofi. Pada pemeriksaan per vaginam, tepi

dalam otot ini dapat diraba sebagai tali tebal yang membentang ke belakang dari pubis dan

melingkari vagina sekitar 2 cm di atas himen. Sewaktu kontraksi, m. levator ani menarik rektum

dan vagina ke depan dan ke atas sesuai arah simfisis pubis sehingga bekerja menutup vagina.

Otot-otot perineum yang lebih superfisial terlalu halus untuk berfungsi lebih dari sekedar

sebagai penyokong. Pada kala satu persalinan, selaput ketuban dan bagian terbawah janin

memainkan peran untuk membuka bagian atas vagina. Namur, setelah ketuban pecah,

perubahan-perubahan dasar panggul seluruhnya dihasilkan oleh tekanan yang diberikan oleh

bagian terbawah janin. Perubahan yang paling nyata terdiri dari peregangan serabut-serabut m.

levatores ani dan penipisan bagian tengah perineum, yang berubah bentuk dari massa jaringan

berbentuk baji setebal 5 cm menjadi (kalau tidak dilakukan episiotomi) struktur membran tipis

yang hampir transparan dengan tebal kurang dari 1 cm. Ketika perineum teregang maksimal,

anus menjadi jelas membuka dan terlihat sebagai lubang berdiameter 2 sampai 3 cm dan di sini

dinding anterior rektum menonjol.

Jumlah dan besar pembuluh darah yang luar biasa yang memperdarahi vagina dan dasar

panggul menyebabkan kehilangan darah yang amat besar kalau jaringan ini sobek. f. Pelepasan

Plasenta Kala tiga persalinan mulai segera setelah kelahiran janin dan melibatkan pelepasan dan

ekspulsi plasenta.

Setelah. kelahiran plasenta dan selaput janin, persalinan aktif selesai. Karena bayi sudah

lahir, uterus secara spontan berkontraksi keras dengan isi yang sudah kosong. Normalnya, pada
saat bayi selesai dilahirkan, rongga uterus hampir terobliterasi dan organ ini berupa suatu massa

otot yang hampir padat, dengan tebal beberapa sentimeter di atas segmen bawah yang lebih tipis.

Fundus uteri sekarang terletak di bawah batas ketinggian umbilikus.

Penyusutan ukuran uterus yang mendadak ini selalu disertai dengan pengurangan bidang

tempat implantasi plasenta. Agar plasenta dapat mengakomodasikan diri terhadap permukaan

yang mengecil ini, organ ini memperbesar ketebalannya, tetapi karena elastisitas plasenta

terbatas, plasenta terpaksa menekuk. Tegangan yang dihasilkannya menyebabkan lapisan

desidua yang paling lemah lapisan spongiosa, atau desidua spongiosa mengalah dan pemisahan

terjadi di tempat ini. Oleh karena itu, pelepasan plasenta terutama disebabkan oleh disproporsi

yang terjadi antara perubahan ukuran plasenta dan mengecilnya ukuran tempat implantasi di

bawahnya pada seksio sesarea, fenomena ini mungkin dapat diamati langsung bila plasenta

berimplantasi di posterior.

Pemisahan plasenta amat dipermudah oleh sifat struktur desidua spongiosa yang longgar,

yang dapat disamakan dengan garis perforasi pada perangko. Ketika pemisahan berlangsung,

terbentuk hematoma di antara plasenta yang sedang terpisah dan desidua yang tersisa.

Pembentukan hematoma biasanya merupakan akiba bukan penyebab dari pemisahan tersebut,

karena pada beberapa kasus perdarahan dapat diabaikan. Namun hematoma dapat mempercepat

proses pemisahan. Karena pemisahan plasenta melalui lapisan spongiosa desidua, bagian dari

desidua tersebut dibuang bersama plasenta, sementara sisanya tetap menempel pada miometrium.

Jumlah jaringan desidua yang tertinggal di tempat plasenta bervariasi. Pemisahan plasenta

biasanya terjadi dalam beberapa menit setelah pelahiran.


2.1.3.6 Pemisahan Amniokorion

Pengurangan besarbesaran luas permukaan rongga uterus secara bersamaan menyebabkan

membran janin (amniokorion) dan desidua parietalis terlepas menjadi lipatan yang banyak sekali

dan menambah ketebalan lapisan tersebut dari kurang dari 1 mm menjadi 3 sampai 4 mm.

Lapisan uterus pada awal stadium ketiga menunjukkan bahwa banyak dari lapisan parietal

desidua parietalis termasuk di dalam lipatan-lipatan amnion dan korion laeve yang melekuk-

lekuk tersebut.

Membran-membran tersebut biasanya tetap in situ sampai pemisahan plasenta hampir

lengkap. Kemudian membran ini terkelupas dari dinding uterus, sebagian karena kontraksi

miometrium yang lebih kuat dan sebagian karena tarikan yang dilakukan oleh plasenta yang

terlepas, yang terletak di segmen bawah uterus yang lebih tipis atau di bagian atas vagina.

Korpus uteri pada waktu itu normalnya membentuk suatu massa otot yang hampir padat, yang

dinding anterior dan posteriornya masing-masing mempunyai ketebalan 4 sampai 5 cm terletak

saling menempel sehingga rongga uterus hampir hilang.

Gambar 10.

Pengecilan ukuran tempat plasenta setelah bayi lahir. A. Hubungan-hubungan spasial sebelum

bayi lahir. B. Hubungan spasial plasenta setelah bayi lahir


2.1.3.7 Ekstrusi Plasenta

Setelah plasenta terpisah dari tempat implantasinya, tekanan yang diberikan padanya oleh

dinding uterus menyebabkan organ ini menggelincir turun menuju ke segmen bawah uterus atau

bagian atas vagina. Pada beberapa kasus, plasenta dapat terdorong keluar dari lokasi-lokasi itu

akibat meningginya tekanan abdomen, tetapi ibu yang dalam posisi telentang sering tidak dapat

mendorong keluar plasenta secara spontan. Dengan demikian, diperlukan cara-cara artificial

untuk menyelesaikan stadium ketiga. Metode yang biasa dilakukan adalah bergantian menekan

dan menaikkan fundus, sambil melakukan traksi ringan pada tali pusat.

2.1.3.8 Mekanisme-mekanisme Ekstrusi Plasenta

Bila terjadi pemisahan plasenta tipe sentral, atau tipe biasa, hematoma retroplasenta

dipercaya mendorong plasenta menuju ke rongga uterus, pertama bagian tengah dan kemudian

sisanya. Dengan demikian plasenta mengalami inversi dan dibebani oleh hematoma tersebut,

kemudian turun. Karena membran di sekitarnya menempel kakis pada desidua, plasenta hanya

dapat turun dengan menyeret membran secara perlahan-lahan; kemudian membran-membran

tersebut mengelupas bagian perifernya. Akibatnya, kantong yang terbentuk oleh membran

tersebut mengalami inversi dan yang muncul di vulva adalah amnion yang mengkilap di atas

permukaan plasenta.

Hematoma retroplasenta dapat mengikuti plasenta atau ditemukan di dalam kantong

inversi. Pada proses ini yang dikenal sebagai ekspulsi plasenta mekanisme Schultze, darah dari

tempat plasenta tercurah ke dalam kantong inversi tersebut dan tidak, mengalir keluar sampai

setelah ekstrusi plasenta. Cara ekstrusi plasenta yang lain dikenal sebagai mekanisme Duncan,

yakni pemisahan plasenta pertamA kali terjadi di perifer, dengan akibat darah mengumpul di
antara membran dan dinding uterus dan keluar dari plasenta. Pada situasi ini, plasenta turun ke

vagina secara menyamping, dan permukaan ibu adalah yang pertama kali terlihat di vulva.

2.2 Proses Fisiologis dan Biokimiawi Persalinan

Proses kehamilan dipengaruhi oleh kegiatan progesteron untuk mempertahankan

ketenangan uterus sampai mendekati akhir kehamilan. Pada banyak spesies ini, penurunan kadar

progesteron di dalam plasma ibu yang kadang-kadang terjadi mendadak ini biasanya dimulai

setelah mendekati 95 persen kehamilan.

Selain itu, pemberian progesteron pada spesies-spesies ini di akhir masa kehamilan

memperlambat awitan persalinan. Namun, pada kehamilan primata (termasuk manusia),

pelucutan progesteron tidak mendahului awitan partus. Kadar progesteron di dalam plasma

perempuan hamil meningkat sepanjang kehamilan, baru menurun setelah pelahiran plasenta,

jaringan yang merupakan lokasi sintesis progesteron pada kehamilan manusia.

2.2.1 Riset Persalinan Manusia Kontemporer

Dua observasi yang terpisah mempengaruhi arah riset persalinan selama 35 tahun terakhir.

Salah satu identifikasi mekanisme yang dipakai untuk mensintesis estrogen pada kehamilan

manusia. Pada tahun 1960, telah diketahui bahwa kehamilan manusia adalah suatu status

hiperestrogenik , dan bahwa plasenta sebenarnya merupakan satu-satunya tempat jaringan untuk

pembentukan estrogen. Selain itu plasenta manusia tidak dapat mensintesis estrogen de novo,

dari asetat atau kolesterol. plasenta dapat mengubah steroid-C19, menjadi estrogen. Pada tahun

1960-an, diketahui bahwa kelenjar adrenal janin memproduksi steroid-C19 dalam jumlah yang

sangat banyak, yang dihantarkan oleh darah janin ke plasenta. Di dalam sinsitio trofoblas, steroid
C19 adrenal janin ini dimetabolisme menjadi estrogen dengan efisiensi yang besar. Oleh karena

itu, plasenta manusia adalah organ endokrin yang tidak lengkap, setidaknya dalam hal biosintesis

estrogen. Beberapa temuan ini disusun sebagai satu bagian dari konsep tentang sistem

komunikasi janin-ibu pada kehamilan manusia.

Janin Manusia dan Partus terdapat bukti yang tidak lengkap bahwa kehamilan yang relatif

mengalami hipoestrogenisme anensefali janin atau hipoplasia adrenal, atau defisiensi sulfatase

plasenta kadangkala disertai dengan pemanjangan masa kehamilan. Namun, meski estrogen

mungkin mempermudah perkembangan proses persalinan yang optimal dengan meningkatkan

kapasitas miometrium, untuk berkontraksi dan berespons terhadap agen-agen kontraktil, zat ini

bukan sinyal inisiasi persalinan pada manusia.

Kelainan-kelainan janin lainnya yang mencegah atau yang amat mengurangi masuknya

urine janin (tidak adanya ginjal janin) atau sekret paru (hipoplasia paru) ke dalam cairan amnion

tidak menyebabkan pemanjangan kehamilan pada manusia. Dengan demikian, suatu sinyal dari

janin melalui lengan parakrin sistem komunikasi janin-ibu tampaknya tidak diperintahkan untuk

melakukan inisiasi persalinan.

2.2.2 Fase-fase Uterus pada Persalinan

Persalinan, melahirkan bayi, mencakup seluruh proses fisiologis yang terlibat pada saat

melahirkan: pendahuluan, persiapan, proses persalinan, dan pemulihan ibu dari kelahiran anak.

Dari proses-proses fisiologis yang memiliki sifat berbeda-beda ini, jelas bahwa banyak

transformasi fungsi uterus yang harus disesuaikan secara tepat waktu selama kehamilan dan

persalinan yang berhasil, partus dapat dibagi menjadi empat fase uterus yang bersesuaian dengan

transisi-transisi fisiologis besar pada miometrium dan serviks sepanjang kehamilan :


2.2.2.1 Fase 0 Uterus pada Partus

Fase partus ini ditandai dengan ketenangan otot polos miometrium disertai pemeliharaan

integritas struktural serviks. Dalam fase inilah kecenderungan inheren miometrium untuk

berkontraksi ditahan. Pada fase ini, yang menetap selama sekitar 95 persen kehamilan pertama

pada kehamilan normal, otot polos miometrium dibuat tidak responsif terhadap rangsangan alami

dan paralisis kontraktil relatif terjadi terhadap sekelompok tantangan mekanik dan kimiawi yang

sebaliknya akan mencetuskan pengosongan isi uterus.

Ketidakresponsifan kontraktil miometrium pada fase 0 demikian luar biasa sehingga

mendekati akhir kehamilan miometrium harus bangun dari masa tidur persalinan yang panjang

ini dalam persiapan untuk bersalin. Selama fase 0 partus ketika miometrium dalam status tenang,

serviks harus tetap kencang dan tak mudah terangsang. Pemeliharaan integritas anatomik dan

struktural serviks ini penting untuk keberhasilan fase 0 partus.

Dilatasi serviks dini, inkompetensi struktural atau keduanya, menandakan hasil akhir

kehamilan yang tidak menguntungkan yang paling sering berakhir dengan pelahiran preterm.

Pemendekan serviks, bila ditemukan antara minggu gestasi ke-24 sampai 28, merupakan indikasi

adanya peningkatan risiko pelahiran preterm.

2.2.2.2 Fase 1 Uterus pada Partus

Untuk mempersiapkan uterus terhadap persalinan, ketenangan uterus pada fase 0 partus

harus dihentikan, inilah saatnya uterus bangun. Perubahan morfologis dan fungsional pada

miometrium dan serviks yang mempersiapkan uterus untuk persalinan mungkin merupakan hasil

alami penghentian. fase 0 uterus, tetapi apapun mekanismenya, kapasitas sel miometrium untuk

mengatur konsentrasi Ca2+ sitoplasmik dikombalikan lagi; responsivitas sel miometrium


dipulihkan kembali, sensitivitas uterotonin berkembang dan kemampuan komunikasi interselular

terbentuk. Karena kapasitas fungsional otot polos miometrium untuk berkontraksi ini telah

kembali dan serviks menjadi matang, fase partus berlanjut dengan fase 2, persalinan aktif.

Challis and Lye (1994) menyebut perubahan fungsi uterus sebelum persalinan sebagai “aktivasi”.

2.2.2.3 Perubahan Uterus Selama Fase 1 Partus

Perubahan-perubahan spesifik fungsi uterus berkembang seiring terhentinya fase 0 uterus

1) Peningkatan mencolok reseptor oksitosin miometrium

2) Peningkatan sambungan-sambungan celah (gap pinctions) (dalam jumlah dan luas

permukaan) antara sel-sel miometrium.

3) Iritabilitas uterus.

4) Keresponsifan terhadap uterotonin.

5) Transisi dari status kontraktil yang terutama ditandai dengan kontraksi-kontraksi

kadang-kadang tanpa nyeri menjadi status kontraktil dengan kontraksi yang lebih sering

terjadi

6) Pembentukan segmen bawah uterus

7) Pelunakan serviks

Dengan berkembangnya segmen bawah uterus yang terbentuk dengan baik, kepala janin

seringkali turun ke atau bahkan melewati pintu atas panggul ibu, suatu peristiwa tersendiri yang

disebut sebagai lightening (peringanan).


Abdomen perempuan hamil umumnya mengalami perubahan bentuk, suatu peristiwa

yang kadangkala diceritakan oleh ibu sebagai “bayinya jatuh”. Tidak diragukan bahwa ada

banyak perubahan uterus lain pada akhir kehamilan selama fase 1, beberapa di antaranya

mungkin adalah komponen-komponen integral kesiapan uterus untuk bersalin.

Pada akhir kehamilan, kadang-kadang pada fase -1 partus, terdapat peningkatan

mencolok-50 kali lipat atau lebih jumlah reseptor oksitosin di miometrium. Hal ini bertepatan

dengan peningkatan resposivitas kontraktil uterus terhadap oksitosin. Demikian juga, kehamilan

manusia yang memanjang disertai penundaan peningkatan reseptor ini . Juga pada fase 1, jumlah

dan besar persambungan celah antara sel miometrium membesar sebelum awitan persalinan,

terus melebar sepanjang persalinan, dan kemudian mengecil dengan cepat setelah pelahiran. Hal

ini terjadi pada partus spontan, baik aterm maupun preterm (Garfield and Hayashi, 1981).

2.2.2.4 Perubahan-perubahan Serviks pada Fase 1 Partus

Korpus uteri (fundus) dan serviks, meskipun merupakan bagian organ yang sama, harus

berespons, dengan cara yang cukup berbeda selama kehamilan dan partus. Di satu pihak, pada

sebagian besar masa kehamilan, miometrium harus dapat mengembang tetapi tetap tenang. Di

lain pihak, serviks harus tetap tak responsif dan cukup kaku. Namun, bersamaan dengan inisiasi

partus, serviks harus melunak, mengalah, dan menjadi lebih mudah melebar. Fundus harus

berubah dari organ yang relatif relaks dan tidak responsif yang khas pada sebagian besar masa

kehamilan menjadi organ yang akan menimbulkan kontraksi yang efektif daft mendorong janin

melalui serviks yang mudah membuka dan melalui jalan lahir.

Kegagalan interaksi terkoordinasi antara fungsi-fungsi fundus dan serviks menandakan

hasil kehamilan yang kurang baik. Namun, meskipun peran-peran antara serviks dan fundus
tampak membalik dari sebelumnya sampai pada masa bersalin, kemungkinan proses-proses pada

kedua bagian uterus tersebut diatur oleh agen- agen yang sama.

2.2.2.5 Komposisi Serviks

Ada tiga komponen struktural utama pada serviks: kolagen, otot polos, dan jaringan ikat

atau substansi dasar. Konstituen serviks yang penting pada perubahan serviks saat partus adalah

yang terdapat dalam matriks ekstraselular dan. substansi dasar, glikosaminoglikan, dermatan

sulfat dan asam hialuronat. Kandungan otot polos pada serviks jauh lebih sedikit daripada

kandungan di fundus, dan bervariasi secara anatomis dari 25 sampai hanya 6 persen.

2.2.2.6 Pelunakan Serviks

Modifikasi serviks pada fase 1 partus pada prinsipnya meliputi perubahan-perubahan

yang terjadi pada kolagen, jaringan ikat dan substansi dasarnya pelunakan serviks disertai dua

perubahan yang saling melengkapi yaitu pemecahan kolagen dan penyusunan kembali serat

kolagen dan perubahan-perubahan jumlah relatif berbagai glikosaminoglikan. Asam hialuronat

dikaitkan dengan kapasitas suatu jaringan untuk menahan air. Mendekati aterm, terdapat

peningkatan mencolok jumlah relatif asam hialuronat di serviks, disertai penurunan dermatan

sulfat yang terjadi bersamaan.

Peranan otot polos pada proses pelunakan serviks tidak jelas, tetapi mungkin lebih

penting daripada yang dipercayai sebelumnya. Prostaglandin E2 dan PGF2a yang dioleskan

langsung ke serviks menginduksi perubahan-perubahan pematangan ke arah pelunakan serviks,

yaitu perubahan kolagen dan perubahan konsentrasi relatif glikosaminoglikan. Supositoria

prostaglandin, yang dipasang intravagina di dekat serviks, digunakan secara klinis untuk
menimbulkan pelunakan serviks dan digunakan untuk mempermudah induksi persalinan. Pada

beberapa spesies, peristiwa-peristiwa ini dapat diinduksi sebagai respons terhadap penurunan

kadar progesteron. Senyawa- senyawa yang lain lagi mungkin bekerja sebagai partisipan aktif

pada aktivasi atau penyelarasan peristiwa-peristiwa terkoordinasi tersebut. Relaksin, misalnya,

bekerja menimbulkan pelunakan serviks sambil mempertahankan uterus dalam keadaan tenang.

Apabila proses yang dimediasi oleh relaksin bekerja pada kehamilan manusia, proses ini akan

menjadi perubahan fungsional yang paling awal pada fase 1, sehingga relaksin dapat dianggap

sebagai suatu partisipan dalam menjalankan fase 1 uterus. Tetapi, sekalipun pelunakan serviks

amat penting demi kesuksesan persalinan, urut- urutan pasti (atau pengaturan) proses-proses

biokirhiawi yang terlibat masih relatif sedikit diketahui.

2.2.2.7 Fase 2 Uterus pada Partus

Fase 2 sinonim dengan persalinan aktif, yaitu, kontraksi uterus yang menghasilkan

dilatasi serviks progresif dan pelahiran konseptus. Fase 2 persalinan biasanya dibagi menjadi tiga

tahapan persalinan yang diterangkan sebelumnya dalam bab ini. Awitan persalinan adalah

transisi dari fase 1 uterus ke fase 2 partus.

2.2.2.8 Fase 3 Uterus pada Partus

Fase 3 meliputi peristiwa-peristiwa nifas pemulihan ibu dari melahirkan, kontribusi ibu

untuk kelangsungan hidup bayi dan pemulihan fertilitas ibu melahirkan. Segera setelah pelahiran

konseptus, dan selama sekitar satu jam atau sesudahnya, miometrium harus dipertahankan pada

kondisi keras dan melakukan kontraksi/retraksi menetap, yang menyebabkan kompresi

pembuluh- pembuluh besar uterus dan trombosis lumen-lumennya. Dalam cara yang
terkoordinasi ini, perdarahan pascapartum yang fatal dapat dicegah. Pada masa nifas awal, pola

perilaku keibuan berkembang dan ikatan ibu-bayi mulai terbentuk. Awitan laktogenesis dan

pengeluaran ASI di kelenjar mammae ibu juga dalam pengertian evolusioner amat penting untuk

membesarkan anak.

Akhirnya, involusi uterus yang memulihkan organ ini ke keadaan tidak hamil dan

kembalinya ovulasi harus diselesaikan sebagai persiapan untuk kehamilan berikutnya. Biasanya

diperlukan empat sampai enam minggu untuk mencapai involusi sempurna uterus, tetapi

lamanya fase 3 partus bergantung pada lamanya menyusui. Infertilitas biasanya berlangsung

terus sepanjang menyusui diteruskan karena terjadi anovulasi dan amenore yang diinduksi laktasi

(prolaktin).

2.2.3 Sistem Anti-gagal untuk Mempertahankan ketenangan Uterus

Ketenangan miometrium pada fase 0 partus begitu jelas (dan biasanya begitu berhasil)

karena mungkin diinduksi oleh banyak proses yang independen dan kooperatif. Secara sendiri-

sendiri, beberapa di antara proses-proses ini mungkin terjadi berlebihan, yaitu, kehamilan

mungkin berlanjut tanpa satu atau beberapa proses yang normalnya ikut andil dalam sistem anti-

gagal untuk pemeliharaan kehamilan.

2.2.3.1 Mengatasi Kecendrungan Inheren Miometrium untuk Berkontraksi

Otot polos miometrium fasik secara inheren adalah suatu jaringan kontraktil, pita-pita

miometrium pada uterus perempuan tidak hamil bila ditempatkan di dalam bak air isotonik

berkontraksi secara ritmik tanpa rangsangan tambahan, sekalipun ada inhibitor prostaglandin

sintase. Oleh karena itu, sulit dimengerti bagaimana uterus dapat mengembang untuk
menampung janin 3500 g, 1 L cairan amnion dan 800 g plasenta serta selaput ketuban tanpa

mencetuskan kontraksi kuat. Kapasitas volume rongga uterus meningkat beberapa tingkatan

pembesaran selama kehamilan. Uterus bertambah besar dari sebuah organ dengan berat sekitar

50 sampai 70 gram menjadi organ yang mempunyai berat lebih dari 1000 g pada aterm.

Dengan mengetahui daya luar biasa yang akan ditimbulkannya pada persalinan, amat

mengherankan bahwa beban intrauteri pada kehamilan manusia ditoleransi dengan ketenangan

miometreium fungsional seperti itu. defek pada satu komponen dalam sistem ini (baik yang

terjadi secara alami atau terinduksi secara farmakologis), seberapa pun beratnya, mungkin tidak

harus menghalangi keberhasilan pemeliharaan kehamilan sampai aterm.

2.2.3.2 Investasi Fisiologis pada Fase 0 Partus

Proses-proses fisiologis yang berlebihan pada kehamilan manusia telah dikenali dengan

baik. Sebagai contoh, pembentukan laktogen plasenta manusia (hPL), serta varian hormon

pertumbuhan plasenta, dapat sama sekali tidak ada namun kehamilan tetap normal. Hampir tidak

adanya pembentukan estrogen pada kehamilan manusia yang disebabkan oleh beberapa macam,

gangguan tidak menghalangi keberhasilan kehamilan dan partus. Bahkan pemberian suatu

antiprogestin pada perempuan hamil dekat aterm pun tidak menyebabkan awitan persalinan.

2.2.3.3 Kontribusi Hormon Steroid pada Fase 0 Partus

1) Estrogen

Estrogen menimbulkan berbagai perubahan pada miometrium yang meningkatkan

kapasitas miometrium untuk menimbulkan daya kontraksi yang kuat, hipertrofi sel

miometrium, potensial kontraktil sel miometrium, reseptor uterotonin dan


komunikabilitas sel-ke-sel . Namun, estrogen tidak bekerja secara langsung untuk

menyebabkan kontraksi miometrium; melainkan, estrogen meningkatkan kapasitas untuk

melakukan kontraksi yang kuat dan terkoordinasi progesteron (langsung atau tak

langsung) tampaknya membuat ketidakresponsifan kontraktil (mungkin selaras dengan

sistem- sistem lainnya). Sebagai contoh, estrogen mungkin bekerja meningkatkan

persambungan celah (gap junctions) antara sel miometrium dan saluran-saluran Ca2+

tipe-L; tetapi persambungan dan saluran- saluran ini harus dibuka untuk memfasilitasi

kontraksi. Kemungkinan besar, estrogen dan progesteron bekerja secara selaras untuk

meningkatkan efektivitas fase 0 partus. Estrogen bekerja sebagian dengan meningkatkan

keresponsifan terhadap progesteron. Di banyak jaringan responsif, reseptor estrogen yang

bekerja melalui elemen respons estrogen pada gen reseptor progesteron menginduksi

sintesis reseptor progesteron.

2) Progesteron

Selama beberapa dekade kerja progesteron dianggap esensial bagi kesuksesan

pemeliharaan kehamilan. Namun, patut disesalkan bahwa ternyata tak satu pun partikel

biomolekular pada progesteron, maupun peran agen-agen lain dalam menimbulkan

keadaan uterus yang toleran ini yang telah ditetapkan dengan. jelas. Meski demikian,

karena kerjanya pada spesies mamalia lain, timbul anggapan bahwa progesteron bekerja

untuk menimbulkan dan mempertahankan fase 0 uterus pada partus.

3) Hormon Steroid dan Komunikasi Sel ke Sel pada Miometrium Komunikasi antara sel-sel

miometrium terbentuk dengan menggunakan persambungan. celah (gap junctions) yang


memfasilitasi lewatnya arus (listrik atau kopling ion) atau metabolit (kopling metabolit).

Persambungan celah adalah saluran-saluran membran transelular yang terdiri dari

konekson- konekson. Saluran ini merupakan suatu susunan heksamerik dari suatu

koneksin spesifik (protein persambungan celah) yang tersambung secara simetri cermin

dengan konekson lain di membran plasma sel sebelahnya . Pasangan-pasangan konekson

ini membentuk suatu saluran untuk pertukaran molekulmolekul kecil (Mr kurang dari

1000) dan ion-ion antarsel. Karena penting untuk fungsi kontraktil miometrium, cAMP

dan Ca2+ harus diangkut melalui saluran-saluran ini. Di jantung dan miometrium,

koneksin43 (Mr. sekitar 43 kd) adalah protein utama persambungan celah. Jumlah (luas)

optimal persambungan celah permeabel yang berfungsi di antara sel-sel miometrium

dipercaya penting secara fisiologis untuk membentuk keselarasan elektrik di miometrium,

yang menghasilkan koordinasi kontraksi dan dengan demikian juga menghasilkan

kekuatan yang lebih besar sepanjang persalinan. Terapi estrogen meningkatkan

pembentukan persambungan celah pada beberapa binatang dengan meningkatkan sintesis

koneksin43. Pemberian anti-estrogen pada saat yang sama mencegah hal ini. Terapi

progesteron juga meniadakan efek perangsangan estrogen pada pembentukan dini

persambungan celah serta terjadinya persalinan dan pelahiran pieterm.

4) Hormon Steroid dan Reseptor Oksitosin Sebagian besar penelitian pengaturan sintesis

reseptor oksitosin di miometrium dilakukan. pada tikus. Terapi estradiol- 17b in vivo atau

pada eksplan miometrium percobaan menyebabkan peningkatan reseptor oksitosin di

miometrium. Kerja estradiol-17b ini dihambat oleh pemberian progesteron pada saat

yang bersamaan. Progesteron juga mungkin bekerja meningkatkan degradasi reseptor


oksitosin . Terapi estradiol-17b pada jaringan uterus domba in vitro tidak menyebabkan

peningkatan reseptor oksitosin, tetapi terapi oksitosin dan progesteron menurunkan kadar

reseptor ini. Kadar reseptor oksitosin mRNA di jaringan miometrium manusia yang

diambil aterm lebih besar dibanding pada jaringan uterus pada perempuan yang tidak

hamil. Oleh karena itu, peningkatan jumlah reseptor oksitosin di miometrium aterm dapat

dikaitkan dengan peningkatan transkripsi gen oksitosin. 45 Reseptor oksitosin juga

terdapat di dalam endometrium manusia dan desidua aterm dan ini merangsang produksi

prostaglandin (Fuchs dkk, 1981). Reseptor oksitosin juga ada di dalam amnion dan

jaringan korion-desidua.

5) Antagonis Reseptor Progesteron dan Persalinan Manusia Antiprogestin steroid RU-486

(mifepriston), yang diberikan kepada perempuan selama fase akhir siklus ovulasi,

menginduksi menstruasi sebelum waktunya (prematur) dan cukup efektif menginduksi

aborsi pada beberapa minggu pertama kehamilan manusia. RU-486 kurang efektif untuk

menginduksi aborsi atau persalinan pada perempuan kalau kehamilannya sudah lanjut.

Terapi RU-486 pada perempuan mendekati aterm dapat mempermudah induksi

persalinan dengan oksitosin tetapi amat tidak efektif untuk menyebabkan persalinan bila

digunakan tersendiri. Ini berlawanan dengan induksi persalinan prematur oleh RU-486

pada spesies-spesies yang normalnya mengalami penghentian progesteron sebelum

persalinan.

6) Reseptor LH/hCG Kadar reseptor LH/hCG di miometrium selama kehamilan lebih besar

sebelum persalinan daripada selama persalinan. Gonadotropin korionik bekerja untuk

mengaktifkan adenilil siklase melalui reseptor membran plasma sistem yang terkait Gus.
Ini menyebabkan penurunan frekuensi dan kekuatan kontraksi serta menurunkan

persambungan celah sel miometrium yang spesifik jaringan.

7) Relaxin Ada dua gen relaksin manusia yang berbeda, yang disebut H1 dan H2. Relaksin

di dalam plasma perempuan hamil dipercaya berasal secara eksklusif dari sekret korpus

luteum. Kadar relaksin dalam plasma paling besar (sekitar 1 ng/mL) pada usia gestasi

antara 8 sampai.12 minggu, dan sesudah itu turun ke kadar yang lebih rendah dan

menetap sampai aterm. Reseptor membran plasma untuk relaksin memerantarai aktivasi

adenilil siklase dan meningkatkan relaksasi miometrium, juga pelunakan serviks.

Akibatnya, peran nyata hormon ini pada persalinan manusia belum terbayangkan.

8) Corticotropin-Releasing Hormone (CRH) CRH disintesis di plasenta, amnion, desidua,

dan miometrium. kadar plasma CRH meningkat selama awal kehamilan, tetapi selama 6

sampai 8 minggu terakhir kehamilan normal kadarnya meningkat secara dramatik. CRH

terlibat dalam inisiasi persalinan manusia. Namun, bagaimana persalinan yang diinduksi

CRH dapat terjadi tidak dapat langsung terlihat, karena CRH bekerja meningkatkan

pembentukan cAMP dan hal ini diharapkan meningkatkan relaksasi otot polos

miometrium.

9) Prostaglandin Sejumlah reseptor prostaglandin dan subtipenya yang termasuk dalam

keluarga besar protein terkait-protein G membran plasma heptaheliks telah diidentifikasi.

Reseptor dari keluarga prostaglandin digolongkan menurut spesifisitas pengikatan

reseptor tersebut. kesuatu prostaglandin tertentu. Reseptor-reseptor tersebut (serta ligan

yang lebih disukai dan terdapat secara alami) adalah TP (tromboksan A2), DP (PGD2),

IP (PGI2), FP (PGF2a), dan EP (PGE2). 10) Prostaglandin dan Relaksasi Miometrium

Meski prostaglandin paling sering dianggap sebagai uterotonin, prostanoid tertentu


kadangkala merupakan relaksan otot primer. Secara spesifik, PGE2, PGD2, dan PGI2

menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah dan vasodilatasi pada banyak kondisi.

Pada konsentrasi tinggi, PGE2 dapat bekerja melalui Gai atau Gaq untuk menghambat

adenilil siklase atau mengaktifkan fosfolipase C, sehingga dengan demikian

menyebabkan peningkatan kontraksi miometrium. Oleh karena itu, kerja besih prostanoid

amat bergantung pada banyak faktor. Mungkin sekali prostanoid ikut membantu relaksasi

miometrium pada satu tahapan kehamilan dan membantu kontraksi miometrium setelah

inisiasi partus (Crankshaw dan Dyal, 1994).

2.2.4 Sistem Anti Gagal untuk Memastikan Keberhasilan Fase 2 Persalinan

2.2.4.1 Teori-teori Uterotonin untuk Inisiasi Partus

Banyak peneliti mulai menyelidiki kemungkinan bahwa peningkatan pembentukan suatu

uterotonin merupakan penyebab inisiasi persalinan yang paling mungkin, dan hal ini sebagian

dikarenakan pemutusan progesteron tidak mendahului inisiasi persalinan pada kehamilan

manusia. Begitu fase 0 terhenti dan proses fase 1 uterus dilaksanakan, sejumlah uterotonin

mungkin penting untuk keberhasilan fase 2 persalinan aktif.

Seperti halnya berbagai proses yang mungkin berperan dalam pemeliharaan

ketidakresponsifan miometrium pada fase 0 persalinan, proses- proses lain juga mungkin

bergabung dan ikut serta dalam suatu sistem untuk menjamin keberhasilan persalinan. Banyak

uterotonin yang diketahui menyebabkan kontraksi otot polos miometrium in vitro telah diusulkan

: oksitosin, prostaglandin, serotonin, histamin, faktor pengaktif trombosit (PAF), angiotensin II,

dan banyak yang lain. Berlawanan dengan sistem- sistem miometrium terkait adenilil siklase Gas

yang diperantarai reseptor yang mungkin meningkatkan akumulasi cAMP, telah diidentifikasi
reseptor-reseptor heptaheliks lain di dalam miometrium manusia yang lebih sering mengaktifkan

proses-proses yang diperantarai Gai atau Gaq yang akhirnya menyebabkan peningkatan [Ca2+]i

sel miometrium.

1) Reseptor-reseptor Heptaheliks Miometrium dan Fase 2 Oksitosin Persalinan dan Fase 2

Persalinan Oksitosin berarti kelahiran cepat dan oksitosin adalah uterotonin pertama

yang dilibatkan dalam inisiasi partus. Pada tahun 1906 Sir Henry Dale menemukan

bioaktivitas uterotonik pada ekstrak kelenjar hipofisis posterior. Oksitosin tampaknya

tidak menyebabkan inisiasi partus. Namun, begitu fase 1 persalinan berlangsung,

oksitosin mungkin merupakan salah satu partisipan yang menjamin efektivitas

persalinan aktif. Oksitosin tampaknya merupakan hormon yang sangat penting pada

fase 3 persalinan.

2) Apakah Oksitosin Terlibat dalam Inisiasi Persalinan Induksi persalinan yang aman dan

berhasil dengan pemberian oksitosin pada perempuan hamil yang mendekati aterm.

Oleh karena itu, langsung dibuat hipotesis bahwa oksitosin secara fisiologis terlibat

dalam inisiasi persalinan spontan. Serangkaian bukti mendukung dasar pemikiran ini.

Efektivitas oksitosin dalam menginduksi persalinan aterm, potensi besar uterotonin ini,

dan keberadaannya secara alami pada manusia cukup menjadi alasan untuk menduga

bahwa oksitosin mungkin terlibat dalam inisiasi persalinan.

Penemuan- penemuan yang lebih baru memberikan dukungan tambahan untuk teori ini :

(1) Terdapat peningkatan mencolok jumlah reseptor oksitosin di jaringan miometrium

dan desidua pada akhir kehamilan.

(2) Oksitosin bekerja pada jaringan endometrium (desidua) untuk meningkatkan

pelepasan prostaglandin.
(3) Oksitosin disintesis secara langsung di jaringan desidua dan jaringan janin

ekstraembrional atau di plasenta.

Terdapat bukti tentang meningkatnya sekresi oksitosin janin selama persalinan

manusia. Kadar oksitosin lebih tinggi di dalam arteria umbilikalis daripada vena

plasma dan lebih tinggi setelah persalinan spontan daripada sebelum persalinan mulai.

Namun tidak ada bukti bahwa oksitosin dapat lolos melalui degradasi plasenta dan

memasuki sirkulasi ibu (Leake, 1990).

Semua bukti ini, bila dikaji secara kritis, tidak menunjukkan suatu peran oksitosin

dalam inisiasi persalinan. Kadar oksitosin di dalam darah itu tidak meningkat sebelum

atau selama persalinan, setidaknya sebelum stadium II persalinan.

Meskipun terdapat peningkatan konsentrasi reseptor oksitosin yang mencolok di

miometrium pada akhir kehamilan, hal ini terjadi beberapa saat sebelum persalinan

dimulai. Selain itu, oksitosin tidak bekerja sebagai antiprogestin. Tidak ada bukti

bahwa oksitosin terlibat di dalam transisi ke fase 1 persalinan, khususnya, oksitosin

tidak menginduksi pembentukan persambungan celah antara sel-sel miometrium, juga

tidak menginduksi sintesis, reseptor oksitosin. Bahkan, infus oksitosin, sekalipun

dalam jumlah besar, relatif tidak efektif untuk menginduksi pada kebanyakan

kehamilan manusia kecuali saat-saat mendekati aterm.

2.2.4.2 Oksitosin Sebagai Hormon Nifas dari Partus

Ada banyak sekali bukti yang mendukung peran penting oksitosin pada stadium kedua

persalinan dan selama masa nifas, fase 3 partus. Terdapat peningkatan kadar oksitosin dalam

plasma ibu pada stadium kedua persalinan (akhir fase 2 partus), pada masa pascapartum dini dan
selama menyusui (fase 3 partus). Waktu meningkatnya pelepasan oksitosin ini menunjukkan

peran oksitosin pada akhir persalinan dan selama masa nifas. Segera setelah pelahiran janin,

plasenta, dan selaput janin (selesainya fase 2 uterus), kontraksi dan retraksi uterus yang kuat dan

terus, menerus, penting sekali untuk mencegah perdarahan uterus pascapartum.

Oksitosin kemungkinan menyebabkan kontraksi uterus yang terus-menerus. Tentu saja,

kadar oksitosin di dalam plasma ibu meningkat pada saat ini, dan peningkatan reseptor oksitosin

miometrium sebelum awitan persalinan mendukung proses ini.

1) Involusi Uterus Infus oksitosin pada perempuan merangsang peningkatan kadar mRNA

di miometrium pada gen-gen yang mengode protein-protein yang esensial untuk

involusi uterus. Protein ini antara lain adalah kolagenase, monocyte chemoattractan

protein- 1, interleukin-8 (IL-8), dan reseptor aktivator plasminogen urokinase

(MacDonald dan Casey, observasi yang tidak dipublikasikan). Oleh karena itu, kerja

oksitosin pada akhir persalinan dan selama fase 3 partus mungkin terlibat dalam

involusi uterus.

2) Oksitosin dan Pengeluaran ASI Populasi reseptor oksitosin sel mioepitelial di duktus

jaringan mammae meningkat dengan cara yang sama seperti di sel otot polos

miometrium pada akhir kehamilan. Selama masa nifas, oksitosin bekerja pada sel

duktus payudara ini untuk menimbulkan pengeluaran ASI, yang merupakan komponen

fase 3 partus.

2.2.4.3 Prostaglandin dan Fase 2 Partus

Banyak peneliti menerima dan mendukung pandangan bahwa prostaglandin terutama

PGF2a dan PGE2 terlibat pada inisiasi partus aterm. Serangkaian bukti mendukung teori ini.
1) Kadar prostaglandin (atau metabolitnya) di dalam cairan amnion, plasma ibu dan urine

ibu meningkat selama persalinan.

2) Terapi perempuan hamil dengan prostaglandin, melalui beberapa rute pemberian,

menyebabkan abortus atau persalinan pada semua stadium kehamilan.

3) Pemberian inhibitor PGH2 sintase kepada perempuan hamil akan menunda waktu

awitan induksi abortus atau persalinan spontan dan kadangkala menghentikan

persalinan preterm.

4) Terapi prostaglandin pada jaringan otot polos miometrium in vitro kadangkala

menyebabkan kontraksi, bergantung pada prostanoid yang diuji dan status fisiologis

jaringan yang diterapi.

2.2.4.4 Prostaglandin dalam Cairan Amnion

Sebelum Persalinan Prostaglandin, khususnya PGE2 (juga PGF2a), ditemukan di dalam

cairan amnion pada semua stadium kehamilan. Sebelum persalinan mulai, prostanoid di dalam

cairan amnion berasal dari ekskresi di urine janin dan mungkin kulit, paru, dan tali pusat (Casey

dkk., 1983).

Ketika janinnya tumbuh, kadar prostaglandin di dalam cairan amnion meningkat secara

bertahap. Namun, tidak ada peningkatan kadar prostaglandin yang dapat dihubungkan dengan

atau diinterpretasikan sebagai peningkatan yang berkait dengan prapartus. Sebenarnya, jumlah

prostaglandin total pada aterm sebelum persalinan dimulai kecil sekah (sekitar 1μg). Karena

waktu paruh prostaglandin di dalam cairan amnion sangat panjang (6 sampai 12 jam), laju

masuknya prostaglandin ke dalam cairan amnion dengan sendirinya menjadi kecil


2.2.4.5 Kantong Depan Sakus Amnion

Untuk memahami jebakan kesalahan eksperimental dalam mengevaluasi prostaglandin

(dan mediator inflamasi lainnya) di dalam cairan amnion saat partus, perubahan anatomis yang

melibatkan selaput janin selama dilatasi serviks harus ditinjau. Kutub paling bawah membran

janin secara struktural dimodifikasi untuk membentuk kantong depan sakus amnion. Sebelum

persalinan, membran janin menempel dan melekat pada desidua parietalis uterus, dan di segmen

bawah uterus membran ini tipis dan kurang berkembang.

Pergerakan otot uterus yang sangat ringan di bawahnya pada waktu kontraksi

menyebabkan membran janin tertarik dari dan kemudian menyisip maju-mundur di atas desidua.

Ketika kutub bawah sakus amnion tertarik dari dinding uterus, fragmen-fragmen desidua

parietalis robek tetapi tetap menempel agak kuat ke permukaan luar korion laeve. Fenomena

normal pada awal persalinan ini merupakan pelengkap keberhasilan dilatasi serviks.

Membran yang mudah bergeser pada segmen bawah uterus dan sebagian melewati

serviks merupakan dilator yang jauh lebih efektif. Selama selaput janin masih utuh, kutub bawah

membran (kantong depan) ini menjadi baji terdepan yang memfasilitasi dilatasi serviks pada

awal persalinan. Inilah yang terjadi sebelum bagian terdepan janin turun cukup jauh ke panggul

ibu untuk mengambil peranannya. Karena kantong depan terbentuk melalui proses penipisan dan

dilatasi serviks, kantong ini baru ada setelah persalinan mulai atau pada dilatasi serviks abnormal

atau inkompetensi serviks. Ketika serviks terbuka, kantong depan muncul melewati serviks di

vagina bagian atas, seperti ujung balon berisi cairan penuh yang ditekan dan didorong melewati

diameter silinder rongga yang semakin membesar. Luas permukaan kantong depan yang terpajan

semakin besar ketika dilatasi serviks berlanjut pada fase 2 partus. Jaringan kantong depan yang
paling dalam adalah membran amnion avaskular, yang dibasuh oleh cairan amnion pada

permukaan epitelnya.

Permukaan luar amnion ini melekat ke korion laeve yang avaskular. Fragmen-fragmen

jaringan desidua yang mengalami trauma dan devaskularisasi yang terlepas dari uterus

membentuk lapisan iregular pada permukaan luar kantong depan tersebut, yang tampak di

vagina. Pada sekitar tahap perkembangan persalinan ini, bagian terbawah janin umumnya sudah

cakap di panggul ibu, sehingga memisahkan cairan amnion secara anatomis dan fungsional

menjadi dua kompartemen. Sebelum pemisahan kedua kompartemen ini sempurna, konstituen

cairan amnion kantong depan dapat bercampur dengan cairan amnion di kompartemen atas;

tetapi setelah pemisahan cairan amnion sempurna, transfer prostaglandin dari kantong depan ke

kompartemen atas melemah atau terhenti.

Temuan-temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa desidua parietalis yang melapisi

kantong depan merupakan tempat utama pembentukan prostaglandin yang masuk ke dalam

cairan amnion kantong depan. Khususnya, PGF2a dan metabolit stabilnya, PGFM, terdapat di

dalam cairan amnion kantong depan dalam jumlah yang jauh lebih besar daripada PGE2.

Desidua memproduksi PGF2a dan PGE2, tetapi amnion dan korion laeve terutama memproduksi

PGE2 dan sangat sedikit PGF2a. Tidak ada peningkatan kadar prostaglandin di dalam cairan

amnion yang berkaitan dengan persalinan sebelum persalinan mulai. Jumlah total prostaglandin

di dalam cairan amnion dan laju masuknya autakoid-autakoid ini ke dalam cairan amnion

sebelum dan selama persalinan amat kecil dibanding dengan jumlah yang diperlukan untuk

menginduksi persalinan.

Kadar prostaglandin di dalam cairan amnion yang diambil pada stadium kemajuan

persalinan yang sama amat bervariasi (100 kali lipat atau lebih) di antara kehamilan-kehamilan
normal. Konsentrasi prostaglandin di kompartemen kantong depan berhubungan dengan lebarnya

dilatasi serviks. Prostaglandin disekresi dengan kecepatan yang tinggi dari kantong depan ke

vagina selama persalinan. Meskipun memang proses-proses ini terlibat pada persalinan aterm

sama seperti keterlibatannya pada suatu reaksi radang, kemungkinan. bahwa proses peradangan

menginisiasi partus sangat kecil. Namun, jelas bahwa proses-proses persalinan normal

menimbulkan peradangan, yang mencakup juga peningkatan sintesis prostaglandin.

2.2.4.6 Inhibisi Sintesis Prostaglandin dan Persalinan

1) Inhibisi Sintesis Prostaglandin dan Penundaan Waktu Induksi Abortus

Pramedikasi dengan indometasin suatu inhibitor prostaglandin sintase pada

perempuan, menyebabkan penundaan waktu induksi abortus setelah pemberian larutan

hipertonik intraamnion pada kehamilan midtrimester. Pengamatan ini juga sudah

disebutkan sebagai bukti adanya keterlibatan prostaglandin pada inisiasi partus.

Interpretasi yang bermakna atas, temuan-temuan tentang penundaan waktu induksi

abortus oleh inhibitor prostaglandin sintase ini secara realistik tidak mungkin dilakukan

karena terdapat banyak sekali variabel pada penelitian seperti ini. Pemberian larutan

hipertonik ke dalam cairan amnion bukan merupakan ciri fisiologis partus spontan. Selain

itu, pemeliharaan kehamilan pada usia gestasi 12 sampai 16 minggu tidak identik dengan

pemeliharaan pada trimester ketiga. Sebagai contoh, pemberian antiprogestin akan

mengakibatkan abortus pada awal kehamilan, tetapi kemanjuran agen-agen ini untuk

menyebabkan abortus atau persalinan menurun seiring dengan berlanjutnya kehamilan.

Mendekati aterm, terapi RU- 486 tidak akan menyebabkan awitan persalinan pada
kehamilan manusia. Selain itu, efek indometasin dan larutan hipertonik pada janin

mungkin merupakan penentu penting untuk hasil kehamilan seperti itu.

2) Residua Parietalis dan Partus

Kontribusi metabolik desidua parietalis pada inisiasi partus merupakan sebuah

kemungkinan yang menarik dengan sejumlah alasan, baik anatomik maupun fungsional.

Pembentukan uterotonin-uterotonin di dalam desidua yang bekerja secara parakrin pada

miometrium yang ada di dekatnya merupakan sebuah pilihan yang menarik.

Terdapat pula serangkaian bukti bahwa aktivasi desidua menyertai persalinan pada

manusia. Namun, pertanyaan yang terpenting adalah apakah aktivasi desidua terjadi

sebelum atau sesudah awitan persalinan.


BAB III

PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

Berdasarkan beberapa observasi, peranan mutlak progesteron pada pemeliharaan

kehamilan manusia tidak dapat dipastikan atau disangkal. Tampaknya kemungkinan besar kerja

estrogen dan progesteron terlibat sebagai komponen dari suatu sistem biomolekular anti-gagal

yang lebih luas yang melaksanakan dan memelihara fase 0 pada persalinan manusia.

Tenaga yang efektif pada kala satu persalinan adalah kontraksi uterus, yang selanjutnya

akan menghasilkan tekanan hidrostatik ke seluruh selaput ketuban terhadap serviks dan segmen

bawah uterus. Bila selaput ketuban sudah pecah, bagian terbawah janin dipaksa langsung

mendesak serviks dan segmen bawah uterus. Sebagai akibat kegiatan daya dorong ini, terjadi dua

perubahan mendasar pendataran dan dilatasi pada serviks yang sudah melunak.

Untuk lewatnya kepala janin rata-rata aterm melalui serviks, saluran serviks harus

dilebarkan sampai berdiameter sekitar 10 cm, pada saat ini, serviks dikatakan telah membuka

lengkap. Mungkin tidak terdapat penurunan janin selama pendataran serviks, tetapi paling sering

bagian terbawah janin turun sedikit ketika serviks membuka.

Pada kala dua persalinan, penurunan bagian terbawah janin terjadi secara khas agak lambat

tetapi mantap pada nulipara. Namun, pada multipara, khususnya yang paritasnya tinggi,

penurunan berlangsung sangat cepat.


3. 2 Saran

3.2.1 Institusi

3.2.2 Pembaca

3.2.3 Penulis

Anda mungkin juga menyukai