Anda di halaman 1dari 8

ANATOMI SISTEM HEPATOBILIER

Pengetahuan yang akurat akan anatomi hati dan traktus biliaris, dan hubungannya dengan
pembuluh darah penting untuk kinerja pembedahan hepatobilier karena biasanya terdapat variasi
anatomi yang luas. Deskripsi anatomi klasik pada traktus biliaris hanya muncul pada 58%
populasi. (4)

Hepar, kandung empedu, dan percabangan bilier muncul dari tunas ventral (divertikulum
hepatikum) dari bagian paling kaudal foregut diawal minggu keempat kehidupan. Bagian ini
terbagi menjadi dua bagian sebagaimana bagian tersebut tumbuh diantara lapisan mesenterik
ventral: bagian kranial lebih besar (pars hepatika) merupakan asal mula hati/hepar, dan bagian
kaudal yang lebih kecil (pars sistika) meluas membentuk kandung empedu, tangkainya menjadi
duktus sistikus. Hubungan awal antara divertikulum hepatikum dan penyempitan foregut,
nantinya membentuk duktus biliaris. Sebagai akibat perubahan posisi duodenum, jalan masuk
duktus biliaris berada disekitar aspek dorsal duodenum. (4)

Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen, jalur intra-hepatik dan ekstra-hepatik.
Unit sekresi hati (hepatosit dan sel epitel bilier, termasuk kelenjar peribilier), kanalikuli empedu,
duktulus empedu (kanal Hearing), dan duktus biliaris intrahepatik membentuk saluran
intrahepatik dimana duktus biliaris ekstrahepatik (kanan dan kiri), duktus hepatikus komunis,
duktus sistikus, kandung empedu, dan duktus biliaris komunis merupakan komponen
ekstrahepatik percabangan biliaris. (4)

Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk duktus biliaris. Duktus biliaris
komunis kira-kira panjangnya 8-10 cm dan diameter 0,4-0,8 cm. Duktus biliaris dapat dibagi
menjadi tiga segmen anatomi: supraduodenal, retroduodenal, dan intrapankreatik. Duktus biliaris
komunis kemudian memasuki dinding medial duodenum, mengalir secara tangensial melalui
lapisan submukosa 1-2 cm, dan memotong papila mayor pada bagian kedua duodenum. Bagian
distal duktus dikelilingi oleh otot polos yang membentuk sfingter Oddi. Duktus biliaris komunis
dapat masuk ke duodenum secara langsung (25%) atau bergabung bersama duktus pankreatikus
(75%) untuk membentuk kanal biasa, yang disebut ampula Vater. (4)

Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah disebut pleksus vaskular peribilier.
Pembuluh aferen pleksus ini berasal dari cabang arteri hepatika, dan pleksus ini mengalir
kedalam sistem vena porta atau langsung kedalam sinusoid hepatikum. (4)

METABOLISME NORMAL BILIRUBIN

Bilirubin berasal dari hasil pemecahan hemoglobin oleh sel retikuloendotelial, cincin heme
setelah dibebaskan dari besi dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau.
Biliverdin berubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin ini dikombinasikan
dengan albumin membentuk kompleks protein-pigmen dan ditransportasikan ke dalam sel hati.
Bentuk bilirubin ini sebagai bilirubin yang belum dikonjugasi atau bilirubin indirek berdasar
reaksi diazo dari Van den Berg, tidak larut dalam air dan tidak dikeluarkan melalui urin. Didalam
sel inti hati albumin dipisahkan, bilirubin dikonjugasikan dengan asam glukoronik yang larut
dalam air dan dikeluarkan ke saluran empedu. Pada reaksi diazo Van den Berg memberikan
reaksi langsung sehingga disebut bilirubin direk. (5)

Bilirubin indirek yang berlebihan akibat pemecahan sel darah merah yang terlalu banyak,
kekurangmampuan sel hati untuk melakukan konjugasi akibat penyakit hati, terjadinya refluks
bilirubin direk dari saluran empedu ke dalam darah karena adanya hambatan aliran empedu
menyebabkan tingginya kadar bilirubin didalam darah. Keadaan ini disebut hiperbilirubinemia
dengan manifestasi klinis berupa ikterus. (5)

KLASIFIKASI

Gambar 3 berisi daftar skema bagi klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan post-
hepatik. Jaundice obstruktif selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak pada
jalur metabolisme bilirubin melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk sebagai jaundice
non-obstruktif. Bentuk ini akibat defek hepatosit (jaundice hepatik) atau sebuah kondisi pre-
hepatik. (1)

DIAGNOSIS

Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati. (5)

Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa gatal, keluhan
saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya kontak dengan pasien
ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau tindakan pembedahan. (5)

Diagnosa banding jaundice sejalan dengan metabolisme bilirubin (Tabel 1). Penyakit yang
menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang menyebabkan jaundice ‘medis’
seperti peningkatan produksi, menurunnya transpor atau konjugasi hepatosit, atau kegagalan
ekskresi bilirubin; dan ada penyakit yang menyebabkan jaundice ‘surgical’ melalui kegagalan
transpor bilirubin kedalam usus. Penyebab umum meningkatnya produksi bilirubin termasuk
anemia hemolitik, penyebab dapatan hemolisis termasuk sepsis, luka bakar, dan reaksi transfusi.
Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, sepsis dan akibat hepatitis
virus. Kegagalan ekskresi bilirubin menyebabkan kolestasis intrahepatik dan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Penyebab umum kegagalan ekskresi termasuk hepatitis viral atau alkoholik, sirosis,
kolestasis induksi-obat. Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat disebabkan oleh beragam gangguan
termasuk koledokolitiasis, striktur bilier benigna, kanker periampular, kolangiokarsinoma, atau
kolangitis sklerosing primer. (2) Ketika mendiagnosa jaundice, dokter harus mampu membedakan
antara kerusakan pada ambilan bilirubin, konjugasi, atau ekskresi yang biasanya diatur secara
medis dari obstruksi bilier ekstrahepatik, yang biasanya ditangani oleh ahli bedah, ahli radiologi
intervensional, atau ahli endoskopi. Pada kebanyakan kasus, anamnesis menyeluruh,
pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan pencitraan radiologis non-invasif membedakan
obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab jaundice lainnya. Kolelitiasis selalu berhubungan
dengan nyeri kuadran atas kanan dan gangguan pencernaan. Jaundice dari batu duktus biliaris
umum
biasanya sementara dan berhubungan dengan nyeri dan demam (kolangitis). Serangan jaundice
tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan hilangnya berat badan diduga sebuah
keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi setelah kolesistektomi, batu kandung empedu
menetap atau cedera kandung empedu harus diperkirakan. (2)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-tanda stigmata
sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema palmaris, bekas garukan di kulit karena pruritus,
tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar dapat dijumpai pada pasien dengan anemia
hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya sumbatan pada saluran
empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh tumor (dikenal hukum Courvoisier). (5)

Hukum Courvoisier

“Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin disebabkan oleh batu kandung
empedu”. Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor pankreas,
ampula, duodenum, CBD), striktur pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal. (3)

Pemeriksaan Laboratorium

Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk serum bilirubin direk
dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel darah lengkap.
Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi bilirubin
atau menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi bilirubin (kolestasis
intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan hiperbilirubinemia (direk)
terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada bilirubin serum biasanya ditemukan pada
pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya meluas sampai 15 mg/dL yang
diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya berhubungan dengan peningkatan lebih
menengah pada bilirubin serum (4 – 8 mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih
sensitif pada obstruksi bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan
obstruksi bilier parsial. (2)

Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan oleh gangguan
pada sel-sell hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran empedu. Bilirubin direk
meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan oleh sumbatan saluran
empedu dibanding bila bilirubin indirek yang jelas meningkat. Pada keadaan normal bilirubin
tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan melalui ginjal
sedangkan bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu adanya
bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada kerusakan sel-sel
hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses menjadi akolis
menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen usus (pigmen tidak dapat
mencapai usus). (2)

Pemeriksaan Penunjang
USG

Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan yang pertama dilakukan
sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim
hati, duktus yang melebar, adanya batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan
sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu empedu, pembesaran kandung empedu,
pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda
pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran
empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif. (2)

Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan sonografi ialah sekaligus kita dapat menilai
kelainan organ yang berdekatan dengan sistem hepatobilier antara lain pankreas dan ginjal.
Aman dan tidak invasif merupakan keuntungan lain dari sonografi. (2)

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar batu empedu
radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat kontras tidak
diekskresikan oleh sel hati yang sakit. (5)

Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah pemeriksaan ERCP
(Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography). Dengan bantuan endoskopi melalui
muara papila Vater kontras dimasukkan kedalam saluran empedu dan saluran pankreas.
Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah ada kelainan pada
muara papila Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan. Keterbatasan yang mungkin
timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak dapat dimasuki kanul. (5)

Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran proksimalnya dapat
divisualisasikan dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui jarum yang ditusukkan ke arah
hilus hati dan sisi kanan pasien. Kontras disuntikkan bila ujung jarum sudah diyakini berada di
dalam saluran empedu. Computed Tomography (CT) adalah pemeriksaan radiologi yang dapat
memperlihatkan serial irisan-irisan hati. Adanya kelainan hati dapat diperlihatkan lokasinya
dengan tepat. (5)

Untuk diagnosis kelainan primer dari hati dan kepastian adanya keganasan dilakukan biopsi
jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum tidak dianjurkan bila ada tanda-tanda
obstruksi saluran empedu karena dapat menimbulkan penyulit kebocoran saluran empedu. (5)

JAUNDICE OBSTRUKTIF

Hambatan aliran empedu yang disebabkan oleh sumbatan mekanik menyebabkan terjadinya
kolestasis yang disebut sebagai ikterus obstruktif saluran empedu, sebelum sumbatan melebar.
Aktifitas enzim alkalifosfatase akan meningkat dan ini merupakan tanda adanya kolestasis.
Infeksi bakteri dengan kolangitis dan kemudian pembentukan abses menyertai demam dan
septisemia yang tidak jarang dijumpai sebagai penyulit ikterus obstruktif. (5)

Patofisiologi jaundice obstruktif

Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk pencernaan dan
penyerapan lipid di usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen, obat-obatan, dan
metabolitnya, dan menyediakan jalur primer ekskresi beragam komponen endogen dan produk
metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan berbagai hormon. (4)

Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan komponen empedu


(yang paling penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di usus halus, dan cadangannya, yang
menyebabkan tumpahan pada sirkulasi sistemik. Feses biasanya menjadi pucat karena kurangnya
bilirubin yang mencapai usus halus. Ketiadaan garam empedu dapat menyebabkan malabsorpsi,
mengakibatkan steatorrhea dan defisiensi vitamin larut lemak (A, D, K); defisiensi vitamin K
bisa mengurangi level protrombin. Pada kolestasis berkepanjangan, seiring malabsorpsi vitamin
D dan Ca bisa menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. (4)

Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa bilirubin terkonjugasi


mencapai urin dan menggelapkan warnanya. Level tinggi sirkulasi garam empedu berhubungan
dengan, namun tidak menyebabkan, pruritus. Kolesterol dan retensi fosfolipid menyebabkan
hiperlipidemia karena malabsorpsi lemak (meskipun meningkatnya sintesis hati dan menurunnya
esterifikasi kolesterol juga punya andil); level trigliserida sebagian besar tidak terpengaruh. (4)

Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik, disfungsi mitokondria
dan gangguan pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan asam empedu hidrofobik
mengindikasikan penyebab utama hepatotoksisitas dengan perubahan sejumlah fungsi sel
penting, seperti produksi energi mitokondria. Gangguan metabolisme mitokondria dan akumulasi
asam empedu hidrofobik berhubungan dengan meningkatnya produksi oksigen jenis radikal
bebas dan berkembangnya kerusakan oksidatif. (4)

Etiologi jaundice obstruktif

Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran misalnya adanya
tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu empedu dan cacing askaris sering
dijumpai sebagai penyebab sumbatan di dalam lumen saluran. Pankreatitis, tumor kaput
pankreas, tumor kandung empedu atau anak sebar tumor ganas di daerah ligamentum
hepatoduodenale dapat menekan saluran empedu dari luar menimbulkan gangguan aliran
empedu. (5)

Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara lain kista koledokus,
abses amuba pada lokasi tertentu, divertikel duodenum dan striktur sfingter papila vater. (5)

Ringkasnya etiologi disebabkan oleh: koledokolitiasis, kolangiokarsinoma, karsinoma ampulla,


karsinoma pankreas, striktur bilier. (4)
Gambaran klinis jaundice obstruktif

Jaundice, urin pekat, feses pucat dan pruritus general merupakan ciri jaundice obstruktif.
Riwayat demam, kolik bilier, dan jaundice intermiten mungkin diduga
kolangitis/koledokolitiasis. Hilangnya berat badan, massa abdomen, nyeri yang menjalar ke
punggung, jaundice yang semakin dalam, mungkin ditimbulkan karsinoma pankreas. Jaundice
yang dalam (dengan rona kehijauan) yang intensitasnya berfluktuasi mungkin disebabkan
karsinoma peri-ampula. Kandung empedu yang teraba membesar pada pasien jaundice juga
diduga sebuah malignansi ekstrahepatik (hukum Couvoissier). (4)

Pemeriksaan pada jaundice obstruktif

1. Hematologi (4)

Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin terkonjugasi. Serum
gamma glutamyl transpeptidase (GGT) juga meningkat pada kolestasis.

Umumnya, pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu hiperbilirubinemia lebih rendah
dibandingkan pasien dengan obstruksi maligna ekstra-hepatik. Serum bilirubin biasanya < 20
mg/dL. Alkali fosfatase meningkat 10 kali jumlah normal. Transaminase juga mendadak
meningkat 10 kali nilai normal dan menurun dengan cepat begitu penyebab obstruksi
dihilangkan.

Meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma pankreas dan kanker obstruksi
lainnya, bilirubin serum meningkat menjadi 35-40 mg/dL, alkali fosfatase meningkat 10 kali
nilai normal, namun transamin tetap normal.

Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat pada karsinoma
pankreas, kolangiokarsinoma, dan karsinoma peri-ampula, namun penanda tersebut tidak spesifik
dan mungkin saja meningkat pada penyakit jinak percabangan hepatobilier lainnya.

1. Pencitraan (4)

Tujuan dibuat pencitraan adalah: (1) memastikan adanya obstruksi ekstrahepatik (yaitu
membuktikan apakah jaundice akibat post-hepatik dibandingkan hepatik), (2) untuk menentukan
level obstruksi, (3) untuk mengidentifikasi penyebab spesifik obstruksi, (4) memberikan
informasi pelengkap sehubungan dengan diagnosa yang mendasarinya (misal, informasi staging
pada kasus malignansi)

USG : memperlihatkan ukuran duktus biliaris, mendefinisikan level obstruksi, mengidentifikasi


penyebab dan memberikan informasi lain sehubuungan dengan penyakit (mis, metastase hepatik,
kandung empedu, perubahan parenkimal hepatik).

USG : identifikasi obstruksi duktus dengan akurasi 95%, memperlihatkan batu kandung empedu
dan duktus biliaris yang berdilatasi, namun tidak dapat diandalkan untuk batu kecil atau striktur.
Juga dapat memperlihatkan tumor, kista atau abses di pankreas, hepar dan struktur yang
mengelilinginya.

CT : memberi viasualisasi yang baik untuk hepar, kandung empedu, pankreas, ginjal dan
retroperitoneum; membandingkan antara obstruksi intra- dan ekstrahepatik dengan akurasi 95%.
CT dengan kontras digunakan untuk menilai malignansi bilier.

ERCP dan PTC : menyediakan visualisasi langsung level obstruksi. Namun prosedur ini invasif
dan bisa menyebabkan komplikasi seperti kolangitis, kebocoran bilier, pankreatitis dan
perdarahan.

EUS (endoscopic ultrasound) : memiliki beragam aplikasi, seperti staging malignansi


gastrointestinal, evaluasi tumor submukosa dan berkembang menjadi modalitas penting dalam
evaluasi sistem pankreatikobilier. EUS juga berguna untuk mendeteksi dan staging tumor
ampula, deteksi mikrolitiasis, koledokolitiasis dan evaluasi striktur duktus biliaris benigna atau
maligna. EUS juga bisa digunakan untuk aspirasi kista dan biopsi lesi padat.

Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) merupakan teknik visualisasi


terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas. Hal ini terutama berguna pada
pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukan ERCP. Visualisasi yang baik dari anatomi bilier
memungkinkan tanpa sifat invasif dari ERCP. Tidak seperti ERCP, MRCP adalah murni
diagnostik.

Penatalaksanaan jaundice obstruktif

Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan ikterus obstruktif bertujuan untuk menghilangkan
penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan tersebut dapat berupa tindakan
pembedahan misalnya pengangkatan batu atau reseksi tumor. Upaya untuk menghilangkan
sumbatan dapat dengan tindakan endoskopi baik melalui papila Vater atau dengan laparoskopi.
(5)

Bila tindakan pembedahan tidak mungkin dilakukan untuk menghilangkan penyebab sumbatan,
dilakukan tindakan drainase yang bertujuan agar empedu yang terhambat dapat dialirkan.
Drainase dapat dilakukan keluar tubuh misalnya dengan pemasangan pipa nasobilier, pipa T
pada duktus koledokus atau kolesistotomi. Drainase interna dapat dilakukan dengan membuat
pintasan biliodigestif. Drainase interna ini dapat berupa kolesisto-jejunostomi, koledoko-
duodenostomi, koledoko-jejunostomi atau hepatiko-jejunostomi. (5)

Penyebab timbulnya ikterus atau jaundice

 Kurangnya protein Y dan Z ,enzim glukoronil tranferase yang belum cukup jumlahnya (
ikterus fisiologis )
 Produksi bilirubin yang berlebihan misalnya pada pemecahan darah ( hemolisis ) yang
berlebihan pada incompabilitas ( ketidaksesuaian ) darah bayi dengan ibunya
 Gangguan dalam proses uptake da konjugasi akibat dari gangguan fungsi liver
 Ganguan proses tranportasi karena kurangnya albumin yang meningkat bilirubin
 Gangguan ekskresi yang terjadim akibat sumbatan liver karena infeksi atau kerusakan sel
liver

Anda mungkin juga menyukai