Anda di halaman 1dari 39

RESEARCH DESIGN

IDENTIFIKASI POLA PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN


USAHA MIKRO KECIL DI KOTA CILEGON

BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN


BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA
CILEGON TAHUN 2018
i
LEMBAR PERSETUJUAN RD

Judul : Identifikasi Pola Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro


Kecil di Kota Cilegon
Unit Kerja : Bidang Litbang Bappeda Kota Cilegon
Tim Pelaksana :
a. Ketua : H. Andi Pratama Putra, SH
b. Sekretaris : Sandra Pusparini, S.STP., M.Si
c. Anggota : 1. Dewi Permanasari, S.Si.,MT
2. Rodrigo Singgit S, S.Si, MM
3. Oki Oktaviana, M.AP
4. Ratna Ekawati, ST, MT
5. Nuraida Wahyuni, ST.MT
6. Drs. Didin S Maulana, MM
7. Dadang Krisnawadi, S.Sos
8. Hj. Puji Wahyuningsh, SH., M.Si
9. Aulia Yusran, ST, MT
10. Ani Umyati, ST, MT
11. H. Tb Nanang Hudori, S.Psi, MM
12. Bagus Abdurochman
13. Nurul Irfan
14. Danang Triwibowo
15. Rino Emil Agusta
16. Safira Aulia Rosalini

Penanggung Jawab, Ketua,

Dra. Hj. RATU ATI MARLIATI, M.Si TENGKU HERRYSYAH PUTRA, SE, MM
(,..................................................) (,..................................................)

Anggota Anggota

Prof. Dr. MEUTIA, SE, MP Dr. WAHYU SUSIHONO, ST, MT


(,..................................................) (,..................................................)

ii
DAFTAR ISI

RESEARCH DESIGN ....................................................................................................................... i


LEMBAR PERSETUJUAN RD ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................... 1
1.2. Pertanyaan Kelitbangan...................................................................................................... 4
1.3. Maksud dan Tujuan ............................................................................................................ 5
1.4. Keluaran (output) ............................................................................................................... 5
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................................................. 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 6
2.1. Pengertian Usaha Mikro Kecil ........................................................................................... 6
2.2. Usaha Mikro Kecil dan Pembangunan Ekonomi Daerah ................................................. 10
2.3. Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro ............................................................ 11
2.4. Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Mikro.................................................................. 13
2.5. Keterlibatan Lembaga Non-Pemerintah dalam Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha
Mikro .......................................................................................................................................... 19
BAB 3 METODE PENELITIAN .................................................................................................. 22
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................................................ 22
3.2. Pendekatan Penelitian ...................................................................................................... 22
3.3. Metode Pengumpulan Data .............................................................................................. 23
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................. 25
BAB 4 INSTRUMEN PENELITIAN ........................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 35

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indikator makro ekonomi Kota Cilegon menunjukan laju pertumbuhan ekonomi
Cilegon tahun 2016 sebesar 5,05% dengan PDRB Per kapita sebesar 196,84 juta (Badan
Pusat Statistik Cilegon, 2017). Nilai PDRB tersebut merupakan nilai tertinggi dibandingkan
kabupaten /kota lainya di wilayah Provinsi Banten. Meski demikian, tingkat pertumbuhan
ekonomi diatas 5% serta tingginya PDRB perkapita tersebut tidak berkorelasi positif dengan
tingkat pengangguran terbuka yang terus meningkat. Di tahun 2016 tingkat pengangguran
terbuka di Kota Cilegon mencapai 12% jauh di atas TPT Provinsi Banten yang sebesar
9,82% (Badan Pusat Statistik Cilegon, 2017).
Mengapa tingkat pertumbuhan ekonomi yang positif ini tidak memberikan dampak
yang signifikan terhadap penurunan tingkat pengangguran terbuka di Kota Cilegon? Hal ini
terjawab jika kita menelaah lebih detail struktur PDRB Kota Cilegon. Data sumbangsih
sektor terhadap PDRB menunjukan bahwa sektor industri pengolahan merupakan sektor
dominan penyumpang PDRB yaitu sebesar 60,87%. Sementara data ketenagakerjaan Kota
Cilegon menunjukan bahwa tenaga kerja yang bekerja di sektor ini hanya sekitar 22%,
sedangkan sekitar 28% tenaga kerja bekerja pada sektor perdagangan dan jasa (Badan Pusat
Statistik Cilegon, 2017). Dari sisi investasi, data investasi menunjukan bahwa sektor
industri pengolahan yang didominasi oleh Penanaman Modal Asing, merupakan industri
padat modal di samping sektor ini membutuhkan tenaga kerja yang memiliki skill tertentu.
Sehingga dengan profil tenaga kerja Cilegon yang didominasi oleh tingkat pendidikan
menengah, peningkatan investasi sektor industri tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap penyerapan tenaga kerja. Maka masalah pengangguran merupakan issue strategis
daerah, sementara RPJMD menargetkan di tahun 2021, Tingkat pengangguran terbuka di
Kota Cilegon dapat turun hingga mencapai angka 7,01 % (Kota Cilegon, 2016).
Selain permasalahan pengangguran, isu strategis lainnya di Kota Cilegon adalah masih
rendahnya kontribusi sektor usaha menengah dalam perekonomian wilayah Kota Cilegon.
Dalam Dokumen RPJMD Kota Cilegon tahun 2016-2021 disebutkan bahwa tahun 2015
prosentase usaha kecil mikro terhadap seluruh UMKM masih pada kisaran 99.26%, hal ini
menunjukan bahwa dari semua UMKM di kota cilegon 99.26% masih pada level mikro dan
kecil, hanya 0.74% berada pada level menengah. Untuk mendorong peningkatan status dari

1
usaha ekonomi mikro menjadi usaha ekonomi kecil atau pun menengah, serta penciptaan usaha
ekonomi mikro yang baru maka dibutuhkan intervensi kebijakan pemerintah melalui program
Pemberdayaan dan pengembangan UMKM sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah Kota
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa kewenangan pemerintah daerah
Kota dalam hal pemberdayaan usaha mikro meliputi pendataan, kemitraan, kemudahan
perijinan, penguatan kelembagaan dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan.
Kewenangan lainnya yang melekat pada pemerintah Kota adalah pengembangan usaha mikro
dengan orientasi peningkatan skala usaha menjadi usaha kecil (Undang-Undang 23 tahun 2014).
Untuk itu, selain perlunya penyusunan regulasi di tingkat daerah yang kondusif upaya
pengembangan sentra-sentra usaha mikro harus lebih digalakkan, sehingga dapat berkembang
menjadi usaha dengan dengan yang lebih besar
Tentu hal ini merupakan tantangan bagi Pemerintah Daerah. Untuk menjawab hal
tersebut, sebagaimana tercantum dalam RPJMD Kota Cilegon 2016-2021, Pemerintah
melakukanya melalui upaya pencapaian misi pertama pembangunan yakni meningkatkan
keberdayaan perekonomian daerah. Misi ini memiliki sasaran : (1) meningkatnya
kesempatan kerja masyarakat dan perlindungan ketenagakerjaan; (2) meningkatnya
keberdayaan koperasi dan usaha mikro kecil; (3) meningkatnya peran sektor industri,
perdagangan dan jasa sebagai penggerak perekonomian daerah.
Beberapa hasil penelitian menunjukan peran UMKM dalam menciptakan lapangan
pekerjaan atau pengurangan tingkat pengangguran. Sudarno (2011) menyebutkan bahwa
kemampuan UMKM di Kota Depok mampu menyerap keseluruhan angkatan kerja sebesar
534.500 orang atau sekitar 73 %. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki
potensi dalam meningkatkan pendapatan serta penyerapan tenaga kerja (Lantu, Triady,
Utami, & Ghazali, 2016). Penelitian lainnya menyebutkan bahwa salah satu sektor riil yang
dapat mengurangi tingkat pengangguran adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM), dimana alat yang digunakan sebagai motor penggeraknya adalah orang-orang
yang bekerja di perkotaan maupun pedesaan dalam ruang lingkup usaha kecil maupun
menengah (Hafni & Rozali, 2015). Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa sasaran 1 dan 2
pada misi pertama dalam RPJMD Kota Cilegon tahun 2016-2021 yakni meningkatkan
keberdayaan perekonomian daerah memiliki keterkaitan yang sangat erat. Karena itu, sangat
wajar ketika isu tingginya tingkat pengangguran di wilayah Kota Cilegon coba dijawab
melalui pemberdayaan dan pengembangan UMKM.

2
Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah
mendefinisikan pemberdayaan UMKM adalah “upaya yang dilakukan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat secara sinergis dalalm bentuk
penumbuhan iklim usaha dan pengembangan usaha terhadap UMKM sehingga menjadi
usaha tangguh dan mandiri. Meski memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi,
namun pemberdayaan maupun pengembangan UMKM bukan tanpa kendala. Permasalahan
yang paling banyak dihadapi oleh pengusaha UMKM adalah masalah permodalan, kurang
terampilnya sumber daya manusia, ketersediaan bahan baku, persaingan, lokasi,
perijinan,serta pemasaran (Sudarno, 2011).
Dalam RPJMD setidaknya terdapat tiga strategi utama yang dilakukan Pemerintah
daerah untuk memberdayakan usaha mikro kecil dan menengah : (1) Peningkatan
pembinaan, fasilitasi peningkatan kualitas SDM, kapasitas kelembagaan dan manajemen,
akses permodalan, pemasaran produk dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan.
bagi UMKM dan koperasi ; (2) Peningkatan keberdayaan masyarakat melalui aspek
pemanfaatan teknologi dan kelembagaan/ komunitas; (3) Peningkatan daya saing industri
kecil dan menengah.
Pada scope Pemerintah Daerah, intervensi yang terkait dengan pemberdayaan
ekonomi melibatkan berbagai Organisasi Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Meskipun terdapat dua urusan utama yang terkait hal ini yaitu urusan
koperasi usaha kecil dan menengah serta perindustrian, namun beberapa urusan lain juga
terkait pada sasaran Usaha kecil menengah, antara lain pada urusan ketenagakerjaan pada
kaitannya dengan usaha mandiri dan pemberdayaan perempuan pada kaitannya dengan
peningkatan ekonomi perempuan, urusan sosial pada kaitannya dengan pemberdayaan
sosial, serta urusan pemberdayaan masyarakat terkait dengan kelembagaan/komunitas.
APBD Kota Cilegon menunjukan bahwa rata-rata 8% APBD dialokasikan untuk
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro kecil melalui beberapa program yang dilakukan
oleh beberapa OPD. Keberhasilan upaya ini ditandai dengan peningkatan usaha mikro
menjadi kecil, yang mana RPJMD menargetkan terdapat peningkatan jumlah usaha kecil
sebanyak 5% setiap tahun hingga prosentase usaha kecil dari total usaha mikro kecil
mencapai 55% di tahun 2021.
UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM mendefisinikan usaha mikro sebagai “usaha
produktif milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memiliki asset maksimal
50 juta atau omzet maksimal 300 juta rupiah. Sedangkan usaha kecil adalah usaha yang
memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan) dan
3
industri kecil adalah kegiatan ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang memiliki
kekayaan bersih lebih dari 50 juta sampai dengan 500 juta tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha atau memiliki omzet lebih dari 300 juta sampai dengan 2,5 milyar.
Maka sasaran program pemberdayaan usaha mikro kecil mengarah kepada : (1) bagaimana
usaha-usaha mikro memiliki peningkatan asset atau omzet sehingga mencapai tingkatan
usaha kecil dengan meningkatkan produktifitas usaha mikro; (2) mencetak dan
meningkatkan daya saing industri-industri kecil. Maka upaya ini tidak hanya terkait dengan
kualitas produk, tetapi juga terkait manajemen (SDM), permodalan, pasar dan bahan baku.
Maka pemberdayaan Usaha Mikro Kecil tidak hanya mengintervensi dari sisi peningkatan
kualitas produk, tetapi juga intervensi dari sisi pemasaran, peningkatan kapasitas
SDM/pelaku usaha, kesinambungan bahan baku, dan lain sebagainya.
Jika intervensi ini dikaitkan dengan tupoksi OPD yang dalam hal ini memiliki
tupoksi spesifik dan berbeda dari yang lainnya, maka proses pemberdayaan usaha mikro
kecil ini tidak dapat dilakukan oleh satu OPD tetapi harus ‘dikeroyok’ oleh berbagai OPD
secara terkoordinasi. Dengan kata lain harus ada sinergitas antar OPD dalam pemberdayaan
usaha mikro kecil ini. Diperlukan perencanaan yang holistik, itegratif, tematik dan spasial
untuk mewujudkan usaha ekonomi skala mikro yang ada di wilayah Kota Cilegon memiliki
peran lebih dalam peningkatan ekonomi keluarga maupun daerah sehingga pada akhirnya
berkontribusi pada pengurangan tingkat pengangguran kesejahteraan masyarakat kota
cilegon. Berdasarkan latar belakang sebagaimana disampaikan sebelumnya maka, perlu
kajian tentang Peningkatan Peran Usaha Mikro Kecil Dalam Pembangunan Ekonomi di
Kota Cilegon untuk menghasilkan landasan ilmiah bagi perumusan kebijakan perwujudan
misi meningkatkan keberdayaan perekonomian daerah.

1.2. Pertanyaan Kelitbangan


a) Bagaimana peran dari masing-masing pemangku kepentingan dalam proses
pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro kecil di Kota Cilegon?
b) Bagaimana pelaksanaan intervensi program dari masing-masing pemangku
kepentingan dalam proses pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro kecil di
Kota Cilegon?
c) Bagaimana hasil intervensi program dari masing-masing pemangku kepentingan
dalam proses pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro kecil di Kota Cilegon?
d) Bagaimana usulan rekonstruksi pola pemberdayaan dan pengembangan usaha
ekonomi mikro kecil di Kota Cilegon?
4
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi peran, pelaksanaan dan
hasil intervensi program dari masing-masing pemangku kepentingan dalam pemberdayaan
dan pengembangan usaha mikro kecil di Kota Cilegon, dan bertujuan untuk menghasilkan
bahan rekomendasi bagi penyusunan kebijakan daerah dalam upaya pengembangan dan
pemberdayaan usaha mikro kecil di Kota Cilegon

1.4. Keluaran (output)


Keluaran (output) yang diharapkan dari kajian ini adalah tersedianya dokumen hasil
kajian yang berisikan bahan bagi penyusunan kebijakan rekonstruksi pola pemberdayaan
dan pengembangan usaha mikro kecil di Kota Cilegon yang menggambarkan pola intervensi
program oleh pemangku kepentingan yang dilaksanakan secara terintegrasi dan terukur.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dibatasi dalam ruang lingkup :
1. Ruang lingkup pemberdayaan Usaha Mikro Kecil (UMK) dibatasi pada
pemberdayaan usaha ekonomi skala mikro menjadi usaha kecil serta upaya
penumbuhan industri mikro tersebut, sebagaimana sasaran pembangunan pada
RPJMD Kota Cilegon Tahun 2016-2021 serta kewenangan yang dimiliki
Pemerintah Daerah pada urusan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil sebagaimana
diatur pada Undang-Undang. No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Aktor yang diteliti dibatasi pada lembaga pemerintahan di lingkungan
Pemerintah Kota Cilegon yang dalam hal ini lembaga teknis yang memiliki
keterkaitan tupoksi dengan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil, pelaku usaha
ekonomi skala mikro serta peran perguruan tinggi dan swasta yang memiliki
program dalam pengembangan UMKM
3. Ruang lingkup wilayah dalam hal ini adalah Kota Cilegon. Maka model yang
dihasilkan melalui kajian ini adalah model yang efektif diterapkan di lingkup
Pemerintah Kota Cilegon.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Usaha Mikro Kecil


Usaha Kecil menengah didefinisikan sebagai bdab usaha bukan merupakan anak
perusahaan melainkan perusahaan independen yang mempekerjakan kurang dari jumlah
tertentu berdasarkan sistem statistik nasional yang berlaku di negaranya (OECD, 2000).
Ayyagari, Beck and Demirgüc-Kunt (2003) menjelaskan bahwa definisi usaha kecil dan
menengah diberbagai negara cukup beragam dan biasanya didasarkan pada jumlah pekerja,
nilai penjualan dan nilai aset yang dimilikinya. Untuk kepentingan statistik Australian
Bureau of Statistics (2013) dalam McKeown (2017) mendefinisikan usaha kecil sebagai
usaha perusahaan yang aktif dengan jumlah pekerja 0–19 orang sedangkan usaha menengah
sebagai perusahaan aktif dengan jumlah pekerja antara 20 sampai 200 orang. Selain negara,
beberapa lembaga keuangan di dunia juga memberikan batasan yang berbeda tentang jumlah
pekerja atau pun aset maksimum yang dimiliki oleh UMKM. Perbedaaan tersebut disajikan
pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1. Definisi UKM berbagai lembaga di Dunia


Lembaga Jumlah Pekerja Hasil Penjualan Asset
Maksimum Tahunan ($) Maksimum ($)
World Bank 300 15.000.000 15.000.000
MIF-IADB 100 3.000.000 (none)
African Development Bank 50 (none) (none)
UNDP 200 (none) (none)
sumber: (Gibson & Vaart, 2008)
Menurut Gibson & Vaart (2008) mendefinisikan UKM berdasarkan jumlah
karyawan merupakan hal yang keliru, pandangan semakin besar perusahaan semakin
banyak karyawan yang dimilikinya, serta untuk menumbuhkannya harus mempekerjakan
lebih banyak karyawan merupakan hal yang salah. Banyak perusahaan mejadikan teknologi
sebagai pilihan utama dalam rangka perluasan usahanya. Alasan efisiensi dan peningkatan
produktifitas kerap kali meyebabkan perusahaan memilih untuk memiliki jumlah pekerja
yang sangat sedikit. Dengan kata lain faktor jumlah tenaga kerja sering kali tidak dapat
dijadikan dasar pengklasifikasian besar atau kecilnya suatu perusahaan (Gibson & Vaart,
2008).

6
Kebijakan yang berlaku di Indonesia, penggolongan UKM tidak berdasarkan jumlah
tenaga kerja melainkan berdasarkan jumlah aset yang dimiliki dan nilai penjualan yang
diperoleh dalam setahunnya. Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha
Mikro Kecil didefinisikan sebagai berikut:
1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha
Besar yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Berdasarkan Undang-Undang tersebut terlihat bahwa penggolongan jenis usaha di
Indonesia hanya didasarkan pada jumlah kekayaan yang dimiliki (tidak termasuk tanah dan
bangunan) serta jumlah hasil penjualan tahunan yang dihasilkan oleh usaha tersebut. Dengan
kata lain, penggolongan usaha ini sedikit berbeda dengan kebijakan negara lainnya yang
melihat jumlah tenaga kerja sebagai salah satu kriterianya.
Pengelompokan UKM berdasarkan nilai aset yang dimiliki serta nilai penjualan
selama satu tahun menemukan kendala ketika pencatatan jumlah aset serta jumlah penjualan
tidak dilakukan. Kondisi ini terutama ditemui pada usaha ekonomi skala mikro. UKM jarang
memiliki perkiraan yang tepat atas nilai aset tetap mereka dan umumnya meminimalkannya
ketika pajak atas aset dikenakanan (Gibson & Vaart, 2008). Karakteristik lainnya yang kerap
dijumpai dalam UKM adalah dominasi personal yang dominan untuk memulai atau
mengembangkan usahanya. Dalam memeulai dan mengembangkan usahanya, perusahaan
mikro bergantung pada jaringan pribadi sedangkan perusahaan kecil bergantung pada
jaringan profesional (warta UMKM, 2016). Dari segi perijinan, usaha mikro merupakan
usaha yang paling mudah untuk dikerjakan oleh sebagian besar masyarakat karena tidak
ada izin khusus bagi mereka untuk membuka usaha, lokasi bisa dimana saja baik di tempat
tetap, tidak tetap atau keliling (BPS Cilegon, 2016). Karena itu, jumlah usaha mikro di suatu
7
daerah akan jauh lebih banyak dan mendominasi dibandingkan dengan usaha kecil atau pun
usaha menengah.
Bank Indonesia (2015) menyebutkan bahwa karakteristik UMKM merupakan sifat
atau kondisi faktual yang melekat pada aktifitas usaha maupun perilaku pengusaha yang
bersangkutan dalam menjalankan bisnisnya. Karakteristik ini yang menjadi ciri pembeda
antar pelaku usaha sesuai dengan skala usahanya. Menurut Bank Dunia dalam Bank
Indonesia (2015), UMKM dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu: 1. Usaha Mikro
(jumlah karyawan 10 orang); 2. Usaha Kecil (jumlah karyawan 30 orang); dan 3. Usaha
Menengah (jumlah karyawan hingga 300 orang). Dalam perspektif usaha, UMKM
diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu:
1. UMKM sektor informal, contohnya pedagang kaki lima.
2. UMKM Mikro adalah para UMKM dengan kemampuan sifat pengrajin namun
kurang memiliki jiwa kewirausahaan untuk mengembangkan usahanya.
3. Usaha Kecil Dinamis adalah kelompok UMKM yang mampu berwirausaha
dengan menjalin kerjasama (menerima pekerjaan sub kontrak) dan ekspor.
4. Fast Moving Enterprise adalah UMKM yang mempunyai kewirausahaan yang
cakap dan telah siap bertransformasi menjadi usaha besar
Untuk tujuan membedakan skala usaha, karakteristik lainnya yang digunakan dalam
adalah indikator sifat komoditas yang dijadikan objek usaha, tempat usaha, pengelolaan
administrasi keuangan serta kondisi sumber daya manusia pengelola usaha tersebut (Bank
Indonesia, 2015). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.2. Karakteristik UMKM dan Usaha Besar


Ukuran Usaha Karakteristik
Usaha Mikro • Jenis barang/komoditi tidak selalu tetap; sewaktu-waktu
dapat berganti.
• Tempat usahanya tidak selalu menetap; sewaktu-waktu
dapat pindah tempat.
• Belum melakukan administrasi keuangan yang
sederhana sekalipun.
• Tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan
usaha
• Sumber daya manusia (pengusaha) belum memiliki jiwa
wirausaha yang memadai.
• Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah.
Umumnya belum akses kepada perbankan, namun
sebagian sudah akses ke lembaga keuangan non bank.

8
Ukuran Usaha Karakteristik
• Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan
legalitas lainnya termasuk NPWP.
Contoh: Usaha perdagangan seperti kaki lima serta
pedagang di pasar.
Usaha Kecil • Jenis barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah
tetap tidak gampang berubah.
• Lokasi/tempat usaha umumnya sudah menetap tidak
berpindah- pindah.
• Pada umumnya sudah melakukan administrasi keuangan
walau masih sederhana.
• Keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan
keuangan keluarg
• Sudah membuat neraca usaha.
• Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas
lainnya termasuk NPWP.
• Sumberdaya manusia (pengusaha) memiliki
pengalaman dalam berwira usaha.
• Sebagian sudah akses ke perbankan dalam keperluan
modal.
• Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha
dengan baik seperti business planning.
Contoh: Pedagang di pasar grosir (agen) dan pedagang
pengumpul lainnya.
Usaha Menengah • Memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik,
dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian
keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi.
• Telah melakukan manajemen keuangan dengan
menerapkan sistem akuntansi dengan teratur sehingga
memudahkan untuk auditing dan penilaian atau
pemeriksaan termasuk oleh perbankan.
• Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi
perburuhan.
• Sudah memiliki persyaratan legalitas antara lain izin
tetangga.
• Sudah memiliki akses kepada sumber-sumber
pendanaan perbankan.
• Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia
yang terlatih dan terdidik.
Contoh: Usaha pertambangan batu gunung untuk
kontruksi dan marmer buatan
Usaha Besar • Usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan
usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah,
yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta,
usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan
kegiatan ekonomi di Indonesia.
Sumber: (Bank Indonesia, 2015)

9
Dalam penelitian ini objek penelitian hanya difokuskan pada permasalahan jenis
usaha mikro dan usaha kecil, hal ini sesuai dengan kewenangan yang melekat pada
pemerintah Kota sebagaimana diamantkan dalan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.

2.2. Usaha Mikro Kecil dan Pembangunan Ekonomi Daerah


Undang-Undang 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) menyebutkan bahwa UMKM bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan
usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi
ekonomi yang berkeadilan. UMKM memiliki peran yang cukup besar dalam peningkatan
penyerapan tenaga kerja, pembentukan produk domestik bruto (PDB) dan penyediaan jaring
pengaman khususnya bagi masyarakat yang terimbas krisis keuangan dan ekonomi
(Bappenas, 2014). UMKM telah terbukti tidak terpengaruh terhadap krisis ketika menerpa
pada periode tahun 1997 – 1998 (Bank Indonesia, 2015). Selain itu peran UMKM dapat
terlihat berdasarkan kontribusi penciptaan (PDB) pada tahun 2011 mencapai sebesar 57,60
persen dari total PDB nasional (BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM, 2012). Dalam
hal penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2011 jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor
ini mencapai 101,72 juta orang dengan 55,21 juta unit usaha. Jumlah unit UMKM dan
serapan tenaga kerja tersebut meningkat masing-masing 2,57 persen dan 2,33 persen
dibandingkan posisi di tahun 2010.
Peran UMKM dalam pembangunan ekonomi daerah juga terkonfirmasi dalam
beberapa hasil penelitian. Sudarno (2011) menyebutkan bahwa kemampuan UMKM di Kota
Depok mampu menyerap keseluruhan angkatan kerja sebesar 534.500 orang atau sekitar 73
%. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki potensi dalam meningkatkan
pendapatan serta penyerapan tenaga kerja (Lantu, Triady, Utami, & Ghazali, 2016).
Penelitian lainnya menyebutkan bahwa salah satu sektor riil yang dapat mengurangi tingkat
pengangguran adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dimana alat yang
digunakan sebagai motor penggeraknya adalah orang-orang yang bekerja di perkotaan
maupun pedesaan dalam ruang lingkup usaha kecil maupun menengah (Hafni & Rozali,
2015).
Gambaran peran UMKM dalam pembangunan nasional maupun daerah
sebagaimana disebutkan di atas menjadi alasan kuat bagi pemerintah atau pun pemerintah
daerah untuk terus menumbuhkembangkan UMKM sehingga meningkatkan kontribusinya
dalam pembangunan. Untuk itu, berbagai program dan kegiatan banyak digulirkan baik
10
pusat dan daerah sesuai dengan keweangannya. Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah telah mengatur batas kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota dalam pemberdayaan dan pengembangan UMKM. Dalam Undang-Undang
tersebut disebutkan bahwa kewenangan pemerintah daerah Kota dalam hal pemberdayaan usaha
mikro meliputi pendataan, kemitraan, kemudahan perijinan, penguatan kelembagaan dan
koordinasi dengan para pemangku kepentingan. Kewenangan lainnya yang melekat pada
pemerintah Kota adalah pengembangan usaha mikro dengan orientasi peningkatan skala usaha
menjadi usaha kecil (Undang-Undang 23 tahun 2014).

2.3. Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro


Undang-Undang Nomor 20/2008 menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah upaya
yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat secara
sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap Usaha Mikro
sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Dalam
Undang- Undang yang sama juga disebutkan bahwa pengembangan adalah upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat untuk
memberdayakan Usaha Mikro, melalui pemberian fasilitas, bimbingan, pendampingan, dan
bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing.
Makna pemberdayaan sebagaimana disebutkan dalam UU 20/2008 menjadikan kewajiban
bagi Pemerintah dan Pemerintah daerah untuk turut memberdayakan dan mengembangkan
Usaha mikro agar menjadi usaha yang tangguh, mandiri dan berdaya saing.
Peran pemerintah daerah terutama Pemerintah daerah Kota dalam pemberdayaan
usaha mikro dapat di lihat dalam lampiran Undang-Undang nomor 23/2014 tentang
Pemerintah Daerah yang membagi kewenangan pemerintah, pemerintah daerah dan
pemerintah kabupaten/kota. Dalam lampiran Undang-undang tersebut disebutkan bahwa
kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota dalam urusan Pemerintahan Bidang Koperasi,
Usaha Kecil, Dan Menengah sub urusan Pemberdayaan usaha mikro dilakukan melalui
pendataan, kemitraan, kemudahan perijinan, penguatan kelembagaan dan koordinasi dengan
para pemangku kepentingan dan sub urusan Pengembangan usaha mikro dengan orientasi
peningkatan skala usaha menjadi usaha kecil.
Kewenangan pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro yang melekat pada
pemerintah Kabupaten/Kota tentu harus dilakukan melalui pemetaan hambatan dan kendala
baik lingkungan internal atau pun ekternal usaha mikro yang ada di wilayahnya. .
Permasalahan yang paling banyak dihadapi oleh pengusaha UMKM adalah masalah

11
permodalan, kurang terampilnya sumber daya manusia, ketersediaan bahan baku,
persaingan, lokasi, perijinan,serta pemasaran (Sudarno, 2011). Bank Indonesia (2015)
menjelaskan lebih terperinci tentang permasalahan pengembangan usaha mikro bahwa
secara umum permasalahan internal maupun eksternal yang harus dihadapi para pelaku
usaha mikro antara lain:
1. Internal
a) Modal : Sekitar 60-70% UMKM belum mendapat akses atau pembiayaan
perbankan. Diantara penyebabnya, hambatan geografis. Belum banyak
perbankan mampu menjangkau hingga ke daerah pelosok dan terpencil.
Kemudian kendala administratif, manajemen bisnis UMKM masih dikelola
secara manual dan tradisional, terutama manajemen keuangan. Pengelola belum
dapat memisahkan antara uang untuk operasional rumah tangga dan usaha.
b) Sumber Daya Manusia (SDM) :
- Kurangnya pengetahuan mengenai teknologi produksi terbaru dan cara
menjalankan quality control terhadap produk.
- Kemampuan membaca kebutuhan pasar masih belum tajam, sehinggabelum
mampu menangkap dengan cermat kebutuhan yang diinginkan pasar.
- Pemasaran produk masih mengandalkan cara sederhana mouth to mouth
marketing (pemasaran dari mulut ke mulut). Belum menjadikan media sosial
atau jaringan internet sebagai alat pemasaran.
- Dari sisi kuantitas, belum dapat melibatkan lebih banyak tenaga kerja karena
keterbatasan kemampuan menggaji.
- Karena pemilik UMKM masih sering terlibat dalam persoalan teknis,
sehingga kurang memikirkan tujuan atau rencana strategis jangka panjang
usahanya.
c) Hukum : Pada umumnya pelaku usaha UMKM masih berbadan hukum
perorangan.
d) Akuntabilitas : Belum mempunyai sistem administrasi keuangan dan
manajemen yang baik.
2. Eksternal
a) Iklim usaha masih belum kondusif.
- Koordinasi antar stakeholder UMKM masih belum padu. Lembaga
pemerintah, institusi pendidikan, lembaga keuangan, dan asosiasi usaha lebih
sering berjalan masing-masing.
12
- Belum tuntasnya penanganan aspek legalitas badan usaha dan kelancaran
prosedur perizinan, penataan lokasi usaha, biaya transaksi/ usaha tinggi,
infrastruktur, kebijakan dalam aspek pendanaan untuk UMKM.
b) Infrastruktur
- Terbatasnya sarana dan prasarana usaha terutama berhubungan dengan alat-
alat teknologi.
- Kebanyakan UMKM menggunakan teknologi yang masih sederhana.
c) Akses
- Keterbatasan akses terhadap bahan baku, sehingga seringkali UMKM
mendapatkan bahan baku yang berkualitas rendah.
- Akses terhadap teknologi, terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/ grup
bisnis tertentu.
- Belum mampu mengimbangi selera konsumen yang cepat berubah, terutama
bagi UMKM yang sudah mampu menembus pasar ekspor, sehingga sering
terlibas dengan perusahaan yang bermodal lebih besa
Berdasarkan regulasi dan beberapa pendapat yang telah disampaikan sebelumnya
dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan dan pengembangan Usaha Mikro yang menjadi
kewenangan pemerintah Kota diwujudkan melalui kebijakan dalam bentuk program dan
kegiatan untuk penciptaan iklim bagi tumbuh kembangnya usaha mikro atau pun
peningkatan daya saing Usaha mikro yang sudah ada.

2.4. Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Mikro


Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa meski Usaha Mikro memiliki peran
penting dalam pembangunan ekonomi di suatu daerah, namun upaya pemberdayaan maupun
pengembangan usaha tersebut bukan tanpa kendala. Kebijakan pembagian kewenangan
sebagimana diatur dalam UU 23/2014 diharapkan dapat meminimalisir kendala tersebut
mengingat pembagian kewenangan yang sangat jelas.

Tabel 2.3.
Pembagian Kewenagan Urusan Pemerintah Bidang Usaha Usaha Kecil dan Menengah

13
Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah Kab/ Kota

Pemberdayaan Pemberdayaan usaha Pemberdayaan usaha Pemberdayaan usaha mikro


Usaha Menengah, menengah dilakukan kecil
yang dilakukan melalui
Usaha Kecil, melalui
yang dilakukan melalui
pendataan, kemitraan,
Dan Usaha Mikro pendataan,
pendataan, kemitraan,
kemitraan, kemudahan perijinan,
(UMKM)
kemudahan perijinan,
kemudahan penguatan kelembagaan dan
perijinan, penguatan penguatan kelembagaan
kelembagaan dan koordinasi dengan para
dan
koordinasi dengan pemangku kepentingan.
koordinasi dengan para
para pemangku pemangku kepentingan.
kepentingan.

Pengembangan Pengembangan Pengembangan usaha Pengembangan usaha mikro


UMKM usaha kecil
dengan orientasi
menengah dengan dengan orientasi
peningkatan skala usaha
orientasi peningkatan
menjadi usaha kecil.
peningkatan skala skala usaha menjadi
usaha usaha
menjadi usaha besar. menengah.
Sumber: UU 23/2014

Tabel di atas memperlihatkan pembagian kewenangan yang jelas antar Pemerintah,


Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota. Dengan adanya
pembagian kewenangan tersebut berarti pemerintah Kabupaten/Kota hanya berwenang
mengurusi usaha mikro atau usaha dengan kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki
hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Selain itu
berdasarkan klasifikasi usaha menurut Bank Indonesia (2015) maka pemerintah kabupaten
kota berwenang mengurusi umkm informal seperti pedagang kaki lima. Meski demikian
dalam prakteknya sebagaimana disampaikan oleh (Gibson & Vaart, 2008) sebelumnya
bahwa pengelompokan UKM berdasarkan nilai aset yang dimiliki serta nilai penjualan
selama satu tahun akan banyak menemukan kendala mengingat banyak usaha mikro dan
kecil tidak melakukan pencatatan jumlah penjualan secara benar bahkan tidak
melakukannya. Batasan yang tidak jelas ini menyebabkan seolah tanggung jawab
pembinaan UKM informal, usaha mikro serta usaha kecil menjadi tanggung jawab
pemerintah Kabupaten/Kota.

14
Permasalahan lainya yang berkaitan dengan kebijakan pembagian kewenangan
antara pemerintah Kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi adalah belum terciptanya
keselarasan dalam hal program pembinaan bagi UKM yang naik kelas. Sebagaimana
disebutkan dalam UU 23/2014, pengembangan usaha mikro menjadi usaha kecil akan
beralih kewenangan ketika usaha mikro tersebut berubah skala menjadi usaha menengah.
Sinkronisasi program dan kegiatan sangat diperlukan agar proses pembinaan dan
pendampingan dapat dilakukan secara simultan.
Pengembangan usaha mikro sebetulnya telah memiliki regulasi setingkat Undang-
Undang. UU nomor 20/2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan dan Menengah telah memuat
acuan mulai dari penciptaan iklim yang kundisif bagi pengembangan UMKM sampai
dengan upaya penjalinan kemitraan UMKM dengan usaha besar yang ada. Sebagai turunan
dari Undang-Undang tersbut bahkan telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 17
Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil, Dan Menengah. Peraturan Pemerintah ini memberikan acuan pembagian
peran antara menteri, Gubernur serta Bupati dan Walikota dalam hal penyelenggaraan
koordinasi dan pengendalian pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Pembagian
peran ini tercantum dalam Pasal 55, yakni:
Gubernur mempunyai tugas:
a. menyusun, menyiapkan, menetapkan, dan/atau melaksanakan kebijakan umum di
daerah provinsi tentang penumbuhan Iklim Usaha, pengembangan usaha, pembiayaan
dan penjaminan, dan kemitraan;
b. memaduserasikan perencanaan daerah, sebagai dasar penyusunan kebijakan dan
strategi
pemberdayaan yang dijabarkan dalam program daerah provinsi;
c. menyelesaikan masalah yang timbul dalam penyelenggaraan pemberdayaan di daerah
provinsi;
d. memaduserasikan penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di
daerah provinsi dengan Undang-Undang;
e. menyelenggarakan kebijakan dan program pengembangan usaha, Pembiayaan dan
penjaminan, dan Kemitraan pada daerah provinsi;
f. mengoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha
Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di daerah provinsi;
g. melakukan pemantauan pelaksanaan program:

15
1. pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang
diselenggarakan pemerintah provinsi, Dunia Usaha, dan masyarakat dalam bidang
produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi;
2. pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha
Kecil, dan Usaha Menengah;
3. pengembangan Kemitraan usaha.
h. melakukan evaluasi pelaksanaan program:
1. pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang
diselenggarakan pemerintah provinsi, Dunia Usaha, dan masyarakat dalam bidang
produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi;
2. pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha
Kecil, dan Usaha Menengah.
3. pengembangan Kemitraan usaha.
i. menginformasikan dan menyampaikan hasil pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil,
dan Usaha Menengah kepada Menteri.
Bupati/Walikota mempunyai tugas:
a. menyusun, menyiapkan, menetapkan, dan/atau melaksanakan kebijakan umum di
daerah kabupaten/kota tentang penumbuhan Iklim Usaha, pengembangan usaha,
Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan;
b. memaduserasikan perencanaan daerah, sebagai dasar penyusunan kebijakan dan
strategi pemberdayaan yang dijabarkan dalam program daerah kabupaten/kota;
c. merumuskan kebijakan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam
penyelenggaraan pemberdayaan di daerah kabupaten/kota;
d. memaduserasikan penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di
daerah kabupaten/kota dengan Undang-Undang;
e. menyelenggarakan kebijakan dan program pengembangan usaha, Pembiayaan dan
penjaminan, dan Kemitraan pada daerah kabupaten/kota;
f. mengoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha
Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di daerah kabupaten/kota;
g. melakukan pemantauan pelaksanaan program:
1. pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang
diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota, Dunia Usaha dan masyarakat dalam
bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan
teknologi;
16
2. pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha
Kecil, dan Usaha Menengah;
3. pengembangan Kemitraan usaha.
h. melakukan evaluasi pelaksanaan program:
1. pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang
diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota, Dunia Usaha dan masyarakat dalam
bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan
teknologi;
2. pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha
Kecil, dan Usaha Menengah;
3. pengembangan Kemitraan usaha.
i. menginformasikan dan menyampaikan secara berkala hasil pemberdayaan Usaha
Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah kepada Menteri dan Gubernur.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa PP 17/2013 belum memberikan batasan


terkait pembagian kewenangan berdasarkan skala usaha. Pembagian kewenangan lebih
ditujukan pada skala kebijakan tingkat administrasi pemerintahan yakni wilayah provinsi
ataupun Kabupaten/Kota. Hal ini tidak sejalan dengan pembagian kewenangan sebagaimana
tertuang dalam UU 23/2014.
Kebijakan lainya yang digulirkan pemerintah dalam rangka pemberdayaan dan
pengembann UMKM adalah Pembangunan Pusat Layanan Usaha Terpadu PLUT-
KUMKM) sebagai lembaga yang memberikan layanan jasa non finansial berbagai solusi
atas permasalahan KUMKM dalam rangka meningkatkan produktivitas, nilai tambah,
kualitas kerja dan daya saing KUMKM, melalui pendampingan di bidang kelembagaan,
sumberdaya manusia, produksi, pembiayaan, dan pemasaran (Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil dan menengah, 2017) . Kementerian Koperasi dan UKM dari tahun 2013
sampai dengan tahun 2016 sudah membangun 49 unit Gedung PLUT-KUMKM di lokasi
Prov/Kab/Kota, seperti matrik berikut :

Tabel 2.4. Sebaran dan Tahun Anggaran Pembangunan Pusat Layanan Usaha Terpadu
No LOKASI
PROVINSI
TA 2013 TA 2014 TA 2016
1. Aceh Kab. Aceh Besar Provinsi -
2. Sumatera Utara - Kab. Simalungun -
3. Riau Provinsi Kab. Pelalawan -
Kab. Kampar - -

17
No LOKASI
PROVINSI
TA 2013 TA 2014 TA 2016
4. Jambi Provinsi - -
5. Bangka Belitung - Provinsi Kab. Belitung
6. Bengkulu - - Provinsi
7. Lampung - - Provinsi
8. Banten - Provinsi -
9 Jawa Barat Kab. Sukabumi Kab. Subang -
Kab. Cianjur Tasikmalaya -
10. Jawa Tengah Provinsi Kab. Cilacap -
Kab.Kebumen Kab. Surakarta -
11. DI Yogyakarta Provinsi - -
12. Jawa Timur Kab. Pacitan - Kab. Malang
Kota Batu - Kab. Tulung Agung
13. Bali Provinsi Kab. Gianyar -
14. Kalimantan Barat Provinsi - -
15. Kalimantan Selatan Kota Banjar Baru Kotabaru - -
16. Kalimantan Tengah - Provinsi -
17. Kalimantan Timur Provinsi - -
18. Kalimantan Utara - Kab. Bulungan -
19. Sulawesi Barat - Provinsi -
20. Sulawesi Selatan Provinsi Kab. Bantaeng -
Kota Palopo - -
21. Sulawesi Tenggara Provinsi Kab. Wakatobi -
22. Sulawesi Tengah - - Provinsi
23. Sulawesi Utara - Provinsi -
24. Gorontalo - Provinsi -
25. Nusa Tenggara Barat Provinsi Kota Bima -
26. Nusa Tenggara Timur - Provinsi Kab.Sumba Barat Daya
27. Maluku Provinsi - -
28. Maluku Utara - Provinsi- -
29. Papua Barat Provinsi - -
Jumlah 21 21 7
Sumber: dan Usaha Kecil dan Menengah 2016

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa sampai dengan tahun 2016 PLUT tersebar
hampir di seluruh provinsi di Indonesia, hanya lima wilayah provinsi yang belum memiliki
PLUT. Untuk wilayah provinsi Banten PLUT didirikan di wilayah Serang dan mulai tahun
anggaran 2017 biaya operasionalnya dibebankan pada APBD provinsi Banten. Keberadaan
PLUT yang masih relatif baru memerlukan akselerasi kegiatan agar keberadaannya dapat
memberikan kontribusi bagi peningkatan daya saing UMKM di Provinsi Banten. Karena itu
dalam Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2016 tentang Pemberdayaan, Pengembangan Dan
Perlindungan Koperasi Dan Usaha Kecil, Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) merupakan
salah satu lembaga yang memiliki tanggung jawab untuk pemberdayaan, pengembangan dan
perlindungan usaha kecil. Meski demikian, berdasarkan Perda tersebut tanggung jawab
pemerintah provinsi hanya dibatasi dalam lingkup usaha kecil dan koperasi tidak menyentuh
lingkup usaha ekonomi skala mikro.

18
Dalam lingkup tata kelola pemerintah Kota Cilegon, belum ada regulasi setingkat
Peraturan daerah yang secara spesifik mengatur tentang pemberdayaan dan pengembangan
usaha mikro. Meski demikian, dalam Perda nomor 6 tahun 2015 tentang penanggulangan
Kemiskinan, pada Pasal lima belas disebutkan bahwa salah strategi penanggulangan
kemiskinan dilakukan dengan mengembangkan dan menjamin keberlanjutan usaha mikro
dan kecil. Dengan demikian, pengembangan usaha mikro dan kecil memiliki peran strategis
dalam penanggulangan kemiskinan dan merupakan bagian dari implementasi perda tersebut.

2.5. Keterlibatan Lembaga Non-Pemerintah dalam Pemberdayaan dan


Pengembangan Usaha Mikro
Pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro menjadi tugas dan tanggung jawab
pemerintah pemerintah daerah, dnuia usaha dan masyarakat. Dalam Undang-Undang nomor
20 tahun 2008 tentang Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah disebutkan bahwa
Sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan peran serta kelembagaan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah dalam perekonomian nasional, maka pemberdayaan tersebut perlu
dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat secara
menyeluruh, sinergis, dan berkesinambungan.
Peran Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat juga dapat
diwujudkan dalam memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang
saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Kemitraan antar-
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan
pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi. Penelitian
Hamid & Susilo (2011) meneyebutkan bahwa pengembangan UMKM di Yogyakarta tidak
hanya oleh UMKM saja, tetapi juga harus didukung semua stakeholder diantaranya asosiasi
bisnis, perguruan tinggi, dan instansi terkait di kabupaten/kota di DIY.
Keterlibatan peran perguruan tinggi dan swasta juga memiliki andil penting dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sudarno (2011) menyebutkan bahwa
peningkatan kualitas sumber daya manusia ketenagakerjaan di wilayah kota Depok dapat
diwujudkan dengan cara membangun sistem peningkatan kerjasama dengan lembaga-
lembaga pelatihan kerja swasta, perguruan tinggi. serta mendorong peranan masyarakat luas
di bidang Ketenagakerjaan meliputi pelatihan, penempatan dan produktivitas tenaga kerja.
Terdapat enam variabel utama yang membentuk daya saing UMKM yaitu ketersediaan
sumber daya dan kondisi lingkungan usaha, kemampuan usaha, kebijakan dan infrastruktur,
19
riset dan teknologi, dukungan finansial dan kemitraan, serta kinerja.(Bappenas, 2014) yang
tentu saja memerlukan kerja sama berbagai pihak mulai unsur pemerintah, pemerintah
daerah, dunia usaha dan pergutruan tinggi.
Peran perguruan tinggi dan dunia usaha dalam pengembangan UKM disajikan dalam
skema Triple Helix. Herliana (2015) menjelaskan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan
bisnis UKM skema triple helix masing-masing peran lembaga disajikan sebagai berikut:
1. Akademisi (Cendekiawan)
Intelektual di sini memiliki peran sebagai agen penyebarluasan dan penerapan
ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, serta agen yang membentuk nilai-nilai
konstruktif untuk pengembangan usaha di masyarakat. Kekayaan intelektual
sebagai bagian dari komunitas ilmiah di lembaga pendidikan tinggi dan lembaga
penelitian, memiliki peran besar dalam mengembangkan ukm.
2. Bisnis
Aktor bisnis adalah pengusaha, investor dan pencipta teknologi baru, serta
konsumen produk UKM. Aktor bisnis juga perlu mempertimbangkan dan
mendukung keberlangsungan usaha dalam setiap perannya Misalnya, melalui
penggunaan prioritas input yang digunanakanya.
3. Pemerintah
Keterlibatan pemerintah termasuk pemerintah daerah dalam pengembangan usaha
diperlukan, terutama melalui pengelolaan otonomi daerah yang lebih baik, demokrasi,
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan agenda utama reformasi. Jika
ketiganya berhasil dilaksanakan akan memberikan iklim yang kondusif bagi pengembangan
usaha di wilayah tersebut.
Peran lembaga non pemerintah lainnya dalam pengembangan dan pemeberdayaan
usaha mikro adalah dalam hal penyediaan akses permodalan atau pembiayaan. PP nomor 17
tahun 2013 menyebutkan bahwa Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga
keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah. Secara umum, lembaga keuangan mikro di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu formal dan informal. Lembaga keuangan mikro
formal terdiri dari bank seperti Bank Kredit Desa (BKD), Bank Perkreditan Rakyat (BPR),
BRI unit dan non bank seperti Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan (LDKP), Koperasi
Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi/KUD, dan Pegadaian. Adapun
lembaga keuangan mikro non formal antara lain berbagai kelompok dan Lembaga Swadaya
20
Masyarakat (KSM dan LSM), Baitul Maal wa Tanwil (BMT), Lembaga Ekonomi Produktif
Mandiri (LPEM), Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UESDP), dan berbagai bentuk
kelompok lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka banyak pihak yang terlibat dalam
pemberdayaan atau pun pengembangan usaha mikro.

21
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Kota Cilegon, Provinsi Banten pada Bulan Maret sampai
dengan Juni 2018. Jadwal pelaksanaan penelitian bisa dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3. 1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian


BULAN
URAIAN KEGIATAN JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI PELAKSANA
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
KAJIAN MENGENAI PENGEMBANGAN EKONOMI BERBASIS KAWASAN ( KELURAHAN ) POLA SWAKELOLA
1 rapat tim kelitbangan
2 Penyusunan ICP/TOR tim kelitbangan
3
pemaparan ICP/TOR dalam sidang TPM tim kelitbangan
Penyusunan Research Design (RD) DAN tim kelitbangan
4
INSTRUMEN SURVEY
5 Pemaparan RD dalam sidang TPM tim kelitbangan
6 pelatihan surveyor tim kelitbangan
7 pengumpulan data tim survey
8 pengolahan dan analisa data tim kelitbangan
9 forum diskusi tim kelitbangan
penyusunan draft laporan akhir
10
penelitian tim kelitbangan
tim kelitbangan dan
11
sidang TPM TPM
12 penyusunan laporan akhir penelitian tim kelitbangan
tim kelitbangan,
13
seminar dan diseminasi TPM, MP, OPD
14 penyusunan ringkasan eksekutif tim kelitbangan
dokumentasi s.d. inputing ke elitbang irfan
15

16 naskah jurnal ilmiah danang


17 penyusunan laporan hasil kegiatan andi
18 evaluasi hasil pekerjaan all tim

3.2. Pendekatan Penelitian


Penelitian dilakukan dengan pendekatan kombinasi antara kuantitatif dan kualitatif,
sehingga akan memberikan gambaran yang jelas terkait Indentifikasi Pola Pemberdayaan
dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil di Kota Cilegon. Di mana pendekatan kuantitatif
bersifat positivistik sehingga dilakukan untuk menyajikan data-data secara statistik.
Sedangkan dalam hal pendekatan kualitatif, pada penelitian ini juga dilakukan (depth
interview) kepada perencana program, pelaksana program, pelaku usaha mikro kecil yang
menjadi pemanfaat program dan stakeholder terkait dalam program tersebut.

22
Sugiyono (2011) dalam bukunya menjelaskan bahwa metode penelitian kombinasi
ini akan berguna bila metode kuantitatif atau metode kualitatif secara sendiri-sendiri tidak
cukup akurat digunakan untuk memahami permasalahan penelitian. Dalam hal ini, sebuah
pengukuran yang dilakukan terhadap keberhasilan atau kegagalan sebuah pragram harus
dapat dijelaskan secara kualitatif sebagaimana fenomena yang terjadi dalam lingkungan
program tersebut. Oleh karena itu, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran
yang komprehensif terkait Pola Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil di
Kota Cilegon yang telah dilaksanakan.

3.3. Metode Pengumpulan Data


Pada penelitian ini, menggunakan dua jenis sumber data. Data sekunder, diperoleh dari
dokumen-dokumen perencanaan, dokumen monitoring dan evaluasi, dan dokumen lainnya
yang terkait dengan kegiatan penelitian. Sementara data primer diperoleh secara langsung
kepada perencana program, pelaksana program, pelaku usaha mikro kecil yang menjadi
pemanfaat program dan stakeholder terkait dalam program tersebut.
Penggalian data dari sumber primer, dilakukan dengan cara interview, kuesioner,
pengamatan dan gabungan ketiganya. Interview dilakukan penulis untuk menggali informasi
secara mendalam dari responden. Adapun dalam proses interview yang dilakukan penulis
berpedoman pada pedoman wawancara yang isinya telah disesuaikan dengan variabel dan
indikator evaluasi program yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terkait dimensi
Process, Effort, Performance, Efficiency, Effectiveness. Adapun variabel dan indikator yang
berkaitan dengan pemanfaat dan pelaksana program dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3.1 Dimensi, Variabel, dan Indikator dalam Pedoman Wawancara
Dimensi Variabel Indikator Narasumber

Process - Perencanaan - Ketersediaan Dokumen Pemanfaat dan


Perencanaan Program Pelaksana
- Perencanaan Pembiayaan Program
- Ketersediaan Peraturan terkait
Pelaksanaan Program

Effort - Pelaksanaan - Anggaran Pemanfaat dan


- SDM Pelaksana
- Sarana dan Prasarana Program
- Kegiatan Sosialisasi

Performance - Cakupan - Jumlah Pemanfaat Program Pemanfaat dan


pelayanan - Tepat tidaknya sasaran yang Pelaksana
program dituju Program
- Berapa banyak kelompok
sasaran yang berhasil ditangani

23
Dimensi Variabel Indikator Narasumber

Efficiency - Efisiensi Perbandingan anggaran yang Pelaksana


digunakan terhadap Cakupan Program
pelayanan program

Effectiveness - Efektivitas Perbandingan Capaian Program Pelaksana


Program terhadap tujuan program Program

Sumber : Howlett dan Ramesh, telah diolah kembali


Di samping itu juga, narasumber pemanfaat program melakukan pengisian kuesioner
yang berkaitan dengan keterangan usaha mikro yang dijalaninya untuk mengidentifikasi
sejauhmana keberhasilan dalam proses pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro kecil
di Kota Cilegon. Pemilihan narasumber pada aspek perencana dan pelaksana dilakukan
secara purposive dengan pertimbangan peran narasumber dalam proses pemberdayaan dan
pengembangan usaha mikro kecil di Kota Cilegon.
Tabel 3.2 Daftar Narasumber
No. Narasumber Unsur Keterangan
1. Dinas Koperasi UKM Pemerintah Menggali informasi
2. Dinas Perindag Pemerintah tentang pelaksanaan dan
3. DP3AKB Pemerintah evaluasi program
4. DKPP Pemerintah pemberdayaan dan
5. Dinas Sosial Pemerintah pengembangan usaha
6. Dispora Pemerintah mikro kecil di Kota
7. Disnaker Pemerintah Cilegon
8. Bank Rakyat Indonesia Menggali informasi
9. PKBL PT Krakatau Steel sasaran program,
10 Pengelola Rumah Zakat Cilegon pelaksanaan, peran
Universitas Sultan Sgeng lembaga
Tirtayasa

Sementara itu, narasumber atau responden dari sisi pemanfaat program dipilih secara
random dengan kriteria utama memiliki usaha yang terdaftar dalam program lebih atau pun
pernah dilakukan pendampingan baik dalam bentuk rintisan usaha mikro kecil atau pun
pengembangan usaha dengan domisili di wilayah Kota Cilegon. Populasi yang dijadikan
dasar dalam pengambilan sampel dalam penelitian adalah data penerima manfaat yang
terdata pada perangkat daerah yang melaksanakan proses pemberdayaan dan pengembangan
usaha mikro kecil di Kota Cilegon. Adapun sebaran data tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 3.3. Jumlah Pemanfaat Program Yang Terdaftar

No. Perangkat Daerah Jumlah UMK/IKM Binaan

24
1. Dinas Koperasi UKM (data gabungan 10.692
Disperindagkop, BPMKP dan Kecamatan)
2. Dinas Perindag 901
3. DP3AKB 149
4. DKPP 10
5. Dinas Sosial 28
Jumlah 11.780
Penelitian ini mengalokasikan sekitar 100 UMK/IKM untuk dijadikan sebagai
narasumber dengan pertimbangan proporsional serta dipilih secara random. Sehingga
sebaran sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 3.4. Jumlah Pemanfaat Program Yang Terdaftar

No. Perangkat Daerah Jumlah Sampel


1. Dinas Koperasi UKM (data gabungan 88
Disperindagkop, BPMKP dan Kecamatan)
2. Dinas Perindag 8
3. DP3AKB 1
4. DKPP 1
5. Dinas Sosial 1
6. Dispora 1
Jumlah 100

3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data


Dalam penelitian ini secara umum teknik analisa data yang digunakan adalah
statistik dekriptif. Sugiyono (2011) mengatakan bahwa statistik deskriptif adalah statistik
yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya. Termasuk dalam statistika
deskriptif antara lain adalah penyajian data melalui tabel, grafik, diagram lingkaran,
pictogram, perhitungan modus, median, mean (pengukuran tendensi sentral), perhitungan
desil, persentil, perhitungan penyebaran data melalui perhitungan rata-rata dan standar
deviasi, dan perhitungan persentasi.
Untuk mengetahui bagaimana kinerja Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
di Kota Cilegon, penulis menggunakan pendekatan evaluasi program dari Howlett dan
Ramesh (2009) yang memiliki dimensi Process, Effort, Performance, Efficiency,
Effectivenes. Setelah informasi terkumpul melalui proses interview dengan pedoman

25
wawancara yang semi terstruktur, penulis melakukan proses data reduction, data display
dan conclusion drawing/verfication (Sugiyono; 246).
Data reduction terkait dengan proses mereduksi hasil catatan di lapangan yang
kompleks, rumit dan belum bermakna. Dengan reduksi maka penulis merangkum,
mengambil data yang pokok dan penting. Pada tahap Data Display penulis dapat melakukan
penyajian data dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan
sejenisnya. Miles dan huberman dalam Sugiyono (2011) menyarankan bahwa dalam
melakukan display data selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik,
network (jejaring kerja) dan chart.

Data
collection

Data display

Data
reduction

Conclusions:
drawing/verifying

Gambar 3.1 Komponen dalam analisis data (interactive model)


Sumber : Sugiyono (2011:247)

26
BAB 4
INSTRUMEN PENELITIAN

Kajian identifikasi pola pemberdayaan dan pengembangan UMK, menggunakan dua


intrumen penelitian, yaitu Kuesioner dan Pedoman Wawancara. Sasaran dari kuesioner
adalah UMK pemanfaat program yang terdaftar dalam daftar sampel sebanyak 100,
sedangkan Pedoman Wawancara digunakan terhadap pemanfaat program (UMK), pelaksana
program , akademisi dan sector swasta.

27
No :

KUESIONER PEMANFAAT PROGRAM


KETERANGAN BASELINE :
- Sumber Data :
- Jenis Usaha :
- Alamat :
- Informasi Lainnya :

I. IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Jenis Kelamin : 1. Laki-laki2. Perempuan
Usia :
Status Pernikahan : 1. Menikah2. Belum Menikah
Tingkat Pendidikan : 1. SD 2. SMP 3. SMA/SMK4. Pendidikan Tinggi 5.
Lainnya
Pengalaman Usaha : Tahun
Tahun Terdaftar di Dinas :
Pengalaman Usaha saat ini Mulai............ (jika ada perubahan usaha)
:
Latar Belakang Keluarga 1. Pengusaha 2. Bukan Pengusaha
:

II. PROFIL USAHA


A. Kondisi Usaha : 1. Masih Berjalan 2. Berhenti (Sejak Tahun.............) 3. Ganti Jenis
Usaha (Sejak tahun.............)
B. Merek Usaha (jika ada) :
C. Kegiatan Utama :

D. Produk utama (barang dan jasa) yang dihasilkan/dijual :

E. Apakah mempunyai Laporan/Catatan Keuangan (deskripsikan bentuknya)?


1. Ya
2. Tidak
F. Nilai Asset (harta) usaha yang dimiliki saat ini :
1. Sampai dengan 50 juta
2. > 50 Juta – 500 Juta
3. > 500 Juta – 10 Miliar
G. Omzet usaha (hasil penjualan) per bulan
1. Sampai dengan 25 Juta
2. > 25 juta – 208 juta

28
3. > 208 juta – 4 milyar

H. Status Badan Hukum :


1. Berbadan Hukum, Jenisnya? (PT/CV/Koperasi/Yayasan/dll)
2. Tidak Berbadan Hukum

I. Ijin yang dimiliki (boleh lebih dari satu) :


IUMK (KECAMATAN) SITU (DPMPTSP)
SKU/KETERANGAN DOMISILI IJIN USAHA INDUSTRI
(KEL/KEC) KECIL (DISPERINDAG)
PIRT (DINKES) HALAL (LPPOM MUI
PROVINSI)
SIUP (DPMPTSP) ..........

J. Sumber Pembiayaan/permodalan (boleh lebih dari satu)


Sendiri
Pinjaman Perbankan (Sebutkan)
Pinjaman dari pemerintah (sebutkan)
Hibah Uang Pemerintah (sebutkan)
Hibah Uang pihak lainnya (sebutkan)
Lainnya...........

III. PERKEMBANGAN USAHA


A. Perkiraan nilai Asset :
a. awal usaha : Rp.
b. saat ini : Rp.

B. Perkiraan nilai omzet :


a. awal usaha : Rp.
b. saat ini : Rp.

C. Jumlah Pekerja :................ Orang


a. awal usaha :.................Orang
b. saat ini :.................Orang

D. Pernahkan dana pinjaman digunakan selain untuk pengembangan usaha? Jelaskan jika ya?

IV. TANGGAPAN TERHADAP PEMANFAATAN PROGRAM


A. Saat ini ibu/bapak terdaftar pada dinas (lihat keterangan baseline) sebagai UMK/IKM
binaan. Bantuan/ program/kegiatan apa yang pernah ibu/bapak terima dari lembaga
pemerintah tersebut?? Jelaskan (tahun berapa, sumber informasi, serta kendala dalam
memperoleh bantuan/program/kegiatan?

29
B. Disamping Bantuan/ program/kegiatan dari lembaga pemerintah tersebut, ibu/bapak pernah
mendapatkan dari lembaga pemerintah lainnya? Jelaskan (tahun berapa, jenis bantuan,
sumber informasi, serta kendala dalam memperoleh bantuan/program/kegiatan?

C. Pernahkah bapak/ibu mendapatkan bantuan/pinjaman/pelatihan dari lembaga selain


pemerintah? Jelaskan (tahun berapa, jenis bantuan, sumber informasi) (misal piwku,
universitas, rumah zakat dkk)

D. Menurut Bapak/Ibu/Saudara, selain pemerintah daerah pihak mana yang mungkin


dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan usaha yang sedang dijalani (pilih
salah satu, atau ada pendapat lain)

1. Akademisi /lembaga penelitian untuk pengembangan, diversifikasi


produk/jasa Alasan.......

2. BUMN/BUMD/ Perusahaan Swasta untuk membantu permodalan,


penyerapan produk/jasa yang dihasilkan usaha mikro kecil
Alasan......

30
3. Lembaga Legislatif untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada pelaku
UMKM Alasan

E. Menurut Bapak/Ibu/Saudara Bagaimana kemudahan mendapatkan


bantuan/program/kegiatan/pelatihan dari pemerintah?

F. Menurut Bapak/Ibu/Saudara, bagaimana kemudahan mendapatkan layanan perizinan


usaha?

G. Menurut Bapak/Ibu/Saudara, apa kendala umum yang dihadapi dalam pengembangan


usaha? Jelaskan? (Permodalan, Bahan Baku, Perizinan, Pemasaran, Teknologi dan lain
lain)

31
PEDOMAN WAWANCARA TERHADAP PELAKSANA PROGRAM TINGKAT KOTA

Tanggal Wawancara :
Jam :
Pewawancara :

Identifikasi Responden
Nama :
Jabatan :
Instansi :

Dimensi Proses
1. Bagaimana Perencanaan kegiatan Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil di
sektor/urusan yang menjadi tugas Instansi Bapak/Ibu?
- Dasar Pelaksanaan kegiatan Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil di
sektor/urusan yang menjadi tugas Instansi Bapak/Ibu?
- Jenis intervensi yang dilakukan instansi bapak/ibu dalam Pemberdayaan dan Pengembangan
Usaha Mikro Kecil?
- Siapa yang menjadi sasaran program? Apa yang menjadi dasar penentuan sasaran? (apakah
terkait regulasi, kriteria prioritas, atau hal lainnya)
- Apakah ada database sasaran? Jika ada, Cakupan Informasi apa saja yang terdapat dalam
database tersebut?
- Apakah ada indikator yang jelas untuk menilai keberhasilan program? Jelaskan?
- Bila tidak ada indikator efektifitas keberhasilan program, apa yang mendasari keberhasilannya?
- Apakah Ada stakeholder lain yang mendukung pelaksanaan program? Apa dasarnya? bagaimana
koordinasinya?
2. Bagaimana Sistem dan Prosedur Pelaksanaan Program?
- Bagaimana cara untuk mendapatkan layanan program?
- Apakah dilakukan monitoring dalam pelaksanaan program? Siapa yang melakukan? Bagaimana
cara melakukan proses monitoring tersebut? Apa yang mendasari proses monitoring tersebut?
- Apakah ada pendampingan dalam implementasi program? Siapa yang dipilih menjadi
pendamping? Apakah ada pelatihannya? Bila tidak ada pendampingan, mengapa?
- Apakah juga dilakukan evaluasi terhadap program? Apakah evaluasi itu menjadi dasar untuk
perbaikan program?

Dimensi Effort
1. Apakah ada sosialisasi sebelum program berjalan? Bagaimana cara sosialisasinya? Media apa
saja?Apakah sudah dianggap efektif? jelaskan
2. Berapa Anggaran yang telah dikeluarkan untuk mendukung pelaksanaan program?
3. Berapa Sumber Daya Manusia yang mendukung Program?
4. Bagaimana dukungan sarana dan prasarana pendukung program?
5. Bagaimana hambatan dalam pengelolaan sumberdaya pendukung program?

Dimensi Performance
1. Berapa Jumlah Pemanfaat Program hingga saat ini?
2. Apakah Pemanfaat Program yang dicakup sesuai dengan penargetan?
3. Bagaimana hasil pelaksanaan program terhadap peningkatan usaha/asset/penghasilan dari pemanfaat?
4. Bagaimana hambatan dalam mencapai tujuan program?

Kebijakan/program apa menurut bapak/ibu yang tepat dilakukan untuk pemberdayaan dan pengembangan
usaha mikro di Kota Cilegon??

32
PEDOMAN WAWANCARA TERHADAP PELAKSANA PROGRAM TINGKAT
PELAKSANA LAPANGAN

Tanggal Wawancara :
Jam :
Pewawancara :

Identifikasi Responden
Nama :
Jabatan :
Instansi :

Dimensi Proses
1. Bagaimana Sistem dan Prosedur Pelaksanaan Program?
- Bagaimana cara untuk mendapatkan layanan program?
- Apakah dilakukan monitoring dalam pelaksanaan program? Siapa yang melakukan? Bagaimana
cara melakukan proses monitoring tersebut? Apa yang mendasari proses monitoring tersebut?
- Apakah ada pendampingan dalam implementasi program? Siapa yang dipilih menjadi
pendamping? Apakah ada pelatihannya? Bila tidak ada pendampingan, mengapa?
- Apakah juga dilakukan evaluasi terhadap program? Apakah evaluasi itu menjadi dasar untuk
perbaikan program?

Dimensi Effort
1. Apakah ada sosialisasi sebelum program berjalan? Bagaimana cara sosialisasinya? Media apa
saja?Apakah sudah dianggap efektif? jelaskan
2. Berapa Anggaran yang telah dikeluarkan untuk mendukung pelaksanaan program?
3. Berapa Sumber Daya Manusia yang mendukung Program?
4. Bagaimana dukungan sarana dan prasarana pendukung program?
5. Bagaimana hambatan dalam pengelolaan sumberdaya pendukung program?

Dimensi Performance
1. Berapa Jumlah Pemanfaat Program hingga saat ini?
2. Apakah Pemanfaat Program yang dicakup sesuai dengan penargetan?
3. Bagaimana hasil pelaksanaan program terhadap peningkatan usaha/asset/penghasilan dari pemanfaat?
4. Bagaimana hambatan dalam mencapai tujuan program?

Kebijakan/program apa menurut bapak/ibu yang tepat dilakukan untuk pemberdayaan dan pengembangan
usaha mikro di Kota Cilegon??

33
PEDOMAN WAWANCARA TERHADAP STAKEHOLDER LAIN

Tanggal Wawancara :
Jam :
Pewawancara :

Identifikasi Responden
Nama :
Jabatan :
Instansi :

Dimensi Proses
1. Bagaimana Perencanaan kegiatan Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil di
sektor/urusan yang menjadi tugas Instansi Bapak/Ibu?
- Dasar Pelaksanaan kegiatan Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil di
sektor/urusan yang menjadi tugas Instansi Bapak/Ibu?
- Jenis intervensi yang dilakukan instansi bapak/ibu dalam Pemberdayaan dan Pengembangan
Usaha Mikro Kecil?
- Siapa yang menjadi sasaran program?
- Apakah ada indikator yang jelas untuk menilai keberhasilan program? Jelaskan?
- Bila tidak ada indikator efektifitas keberhasilan program, apa yang mendasari keberhasilannya?
- Apakah Ada jalinan kerjasama dengan pemerintah daerah? Apa dasarnya? bagaimana
koordinasinya?
2. Bagaimana Sistem dan Prosedur Pelaksanaan Program?
- Bagaimana cara untuk mendapatkan layanan program?
- Apakah dilakukan monitoring dalam pelaksanaan program? Siapa yang melakukan? Bagaimana
cara melakukan proses monitoring tersebut? Apa yang mendasari proses monitoring tersebut?
- Apakah ada pendampingan dalam implementasi program? Siapa yang dipilih menjadi
pendamping? Apakah ada pelatihannya? Bila tidak ada pendampingan, mengapa?
- Apakah juga dilakukan evaluasi terhadap program? Apakah evaluasi itu menjadi dasar untuk
perbaikan program?

Dimensi Effort
1. Bagaimana cara penyampaian program kepada sasaran?Apakah sudah dianggap efektif? jelaskan
2. Berapa Sumber Daya Manusia yang mendukung Program?
3. Bagaimana dukungan sarana dan prasarana pendukung program?

Dimensi Performance
1. Berapa Jumlah Pemanfaat Program hingga saat ini?
2. Apakah Pemanfaat Program yang dicakup sesuai dengan penargetan?
3. Bagaimana hasil pelaksanaan program terhadap peningkatan usaha/asset/penghasilan dari pemanfaat?
4. Bagaimana hambatan dalam mencapai tujuan program?

Kebijakan/program apa menurut bapak/ibu yang tepat dilakukan oleh pemerintah untuk pemberdayaan dan
pengembangan usaha mikro di Kota Cilegon yang membangun sinergitas ??

34
DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia. (2015). Profil Bisnis Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM). Bank
Indonesia dan LPPI. Jakarta.
Bappenas. (2014). Analisis Daya Saing UMKM di Indonesia. Jakarta.
Gibson, T., & Vaart, H. J. Van De. (2008). Defining SMEs: A less imperfect way of defining
small and medium enterprises in developing countries. Brooking Global Economy And
Development, (September), 1–29.
Hafni, R., & Rozali, A. (20151). Analisis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia. Ekonomikawan, 15(2), 77–96.
Retrieved from https://media.neliti.com/media/publications/78163-ID-none.pdf
Hamid, E. S., & Susilo, Y. S. (2011). Strategi Pengembangan Usaha Mikro Kecil Dan
Menengah Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta *. Jurnal Ekonomi Pembangunan,
12(1), 45–55. https://doi.org/10.23917/jep.v12i1.204
Herliana, S. (2015). Regional Innovation Cluster for Small and Medium Enterprises (SME):
A Triple Helix Concept. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 169(August 2014),
151–160. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.01.297
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 2017. LAporan Kinerja
Kementerian Koperasi dan UKM TAhun 2016, Jakarta.
Lantu, C. D., Triady, S. M., Utami, F. A., & Ghazali, A. (2016). Pengembangan Model
Peningkatan Daya Saing UMKM di Indonesia: Validasi Kuantitatif Model. Jurnal
Manajemen Teknologi, 15(1), 77–93. https://doi.org/10.12695/jmt.2016.15.1.6
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pemberdayaan,
Pengembangan Dan Perlindungan Koperasi Dan Usaha Kecil
Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Penaggulangan Kemiskinan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah
Pritha Aprianoor dan Muhammad Muktiali. 2015. Kajian Ketimpangan Wilayah Di Provinsi
Jawa Barat. Jurnal Teknik PWK Volume 4 Nomor 4. hal :484-498
Sudarno. (2011). Kontribusi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah(UMKM) dalam
Penyerapan Tenanga Kerja di Depok. Ekonomi Dan Bisnis, 10(2), 139–146. Retrieved

35
from https://media.neliti.com/media/publications/13447-ID-kontribusi-usaha-mikro-
kecil-dan-menengahumkm-dalam-penyerapan-tenaga-kerja-di-d.pdf
Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah

36

Anda mungkin juga menyukai