Dra. Hj. RATU ATI MARLIATI, M.Si TENGKU HERRYSYAH PUTRA, SE, MM
(,..................................................) (,..................................................)
Anggota Anggota
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
usaha ekonomi mikro menjadi usaha ekonomi kecil atau pun menengah, serta penciptaan usaha
ekonomi mikro yang baru maka dibutuhkan intervensi kebijakan pemerintah melalui program
Pemberdayaan dan pengembangan UMKM sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah Kota
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa kewenangan pemerintah daerah
Kota dalam hal pemberdayaan usaha mikro meliputi pendataan, kemitraan, kemudahan
perijinan, penguatan kelembagaan dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan.
Kewenangan lainnya yang melekat pada pemerintah Kota adalah pengembangan usaha mikro
dengan orientasi peningkatan skala usaha menjadi usaha kecil (Undang-Undang 23 tahun 2014).
Untuk itu, selain perlunya penyusunan regulasi di tingkat daerah yang kondusif upaya
pengembangan sentra-sentra usaha mikro harus lebih digalakkan, sehingga dapat berkembang
menjadi usaha dengan dengan yang lebih besar
Tentu hal ini merupakan tantangan bagi Pemerintah Daerah. Untuk menjawab hal
tersebut, sebagaimana tercantum dalam RPJMD Kota Cilegon 2016-2021, Pemerintah
melakukanya melalui upaya pencapaian misi pertama pembangunan yakni meningkatkan
keberdayaan perekonomian daerah. Misi ini memiliki sasaran : (1) meningkatnya
kesempatan kerja masyarakat dan perlindungan ketenagakerjaan; (2) meningkatnya
keberdayaan koperasi dan usaha mikro kecil; (3) meningkatnya peran sektor industri,
perdagangan dan jasa sebagai penggerak perekonomian daerah.
Beberapa hasil penelitian menunjukan peran UMKM dalam menciptakan lapangan
pekerjaan atau pengurangan tingkat pengangguran. Sudarno (2011) menyebutkan bahwa
kemampuan UMKM di Kota Depok mampu menyerap keseluruhan angkatan kerja sebesar
534.500 orang atau sekitar 73 %. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki
potensi dalam meningkatkan pendapatan serta penyerapan tenaga kerja (Lantu, Triady,
Utami, & Ghazali, 2016). Penelitian lainnya menyebutkan bahwa salah satu sektor riil yang
dapat mengurangi tingkat pengangguran adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM), dimana alat yang digunakan sebagai motor penggeraknya adalah orang-orang
yang bekerja di perkotaan maupun pedesaan dalam ruang lingkup usaha kecil maupun
menengah (Hafni & Rozali, 2015). Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa sasaran 1 dan 2
pada misi pertama dalam RPJMD Kota Cilegon tahun 2016-2021 yakni meningkatkan
keberdayaan perekonomian daerah memiliki keterkaitan yang sangat erat. Karena itu, sangat
wajar ketika isu tingginya tingkat pengangguran di wilayah Kota Cilegon coba dijawab
melalui pemberdayaan dan pengembangan UMKM.
2
Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah
mendefinisikan pemberdayaan UMKM adalah “upaya yang dilakukan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat secara sinergis dalalm bentuk
penumbuhan iklim usaha dan pengembangan usaha terhadap UMKM sehingga menjadi
usaha tangguh dan mandiri. Meski memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi,
namun pemberdayaan maupun pengembangan UMKM bukan tanpa kendala. Permasalahan
yang paling banyak dihadapi oleh pengusaha UMKM adalah masalah permodalan, kurang
terampilnya sumber daya manusia, ketersediaan bahan baku, persaingan, lokasi,
perijinan,serta pemasaran (Sudarno, 2011).
Dalam RPJMD setidaknya terdapat tiga strategi utama yang dilakukan Pemerintah
daerah untuk memberdayakan usaha mikro kecil dan menengah : (1) Peningkatan
pembinaan, fasilitasi peningkatan kualitas SDM, kapasitas kelembagaan dan manajemen,
akses permodalan, pemasaran produk dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan.
bagi UMKM dan koperasi ; (2) Peningkatan keberdayaan masyarakat melalui aspek
pemanfaatan teknologi dan kelembagaan/ komunitas; (3) Peningkatan daya saing industri
kecil dan menengah.
Pada scope Pemerintah Daerah, intervensi yang terkait dengan pemberdayaan
ekonomi melibatkan berbagai Organisasi Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Meskipun terdapat dua urusan utama yang terkait hal ini yaitu urusan
koperasi usaha kecil dan menengah serta perindustrian, namun beberapa urusan lain juga
terkait pada sasaran Usaha kecil menengah, antara lain pada urusan ketenagakerjaan pada
kaitannya dengan usaha mandiri dan pemberdayaan perempuan pada kaitannya dengan
peningkatan ekonomi perempuan, urusan sosial pada kaitannya dengan pemberdayaan
sosial, serta urusan pemberdayaan masyarakat terkait dengan kelembagaan/komunitas.
APBD Kota Cilegon menunjukan bahwa rata-rata 8% APBD dialokasikan untuk
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro kecil melalui beberapa program yang dilakukan
oleh beberapa OPD. Keberhasilan upaya ini ditandai dengan peningkatan usaha mikro
menjadi kecil, yang mana RPJMD menargetkan terdapat peningkatan jumlah usaha kecil
sebanyak 5% setiap tahun hingga prosentase usaha kecil dari total usaha mikro kecil
mencapai 55% di tahun 2021.
UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM mendefisinikan usaha mikro sebagai “usaha
produktif milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memiliki asset maksimal
50 juta atau omzet maksimal 300 juta rupiah. Sedangkan usaha kecil adalah usaha yang
memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan) dan
3
industri kecil adalah kegiatan ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang memiliki
kekayaan bersih lebih dari 50 juta sampai dengan 500 juta tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha atau memiliki omzet lebih dari 300 juta sampai dengan 2,5 milyar.
Maka sasaran program pemberdayaan usaha mikro kecil mengarah kepada : (1) bagaimana
usaha-usaha mikro memiliki peningkatan asset atau omzet sehingga mencapai tingkatan
usaha kecil dengan meningkatkan produktifitas usaha mikro; (2) mencetak dan
meningkatkan daya saing industri-industri kecil. Maka upaya ini tidak hanya terkait dengan
kualitas produk, tetapi juga terkait manajemen (SDM), permodalan, pasar dan bahan baku.
Maka pemberdayaan Usaha Mikro Kecil tidak hanya mengintervensi dari sisi peningkatan
kualitas produk, tetapi juga intervensi dari sisi pemasaran, peningkatan kapasitas
SDM/pelaku usaha, kesinambungan bahan baku, dan lain sebagainya.
Jika intervensi ini dikaitkan dengan tupoksi OPD yang dalam hal ini memiliki
tupoksi spesifik dan berbeda dari yang lainnya, maka proses pemberdayaan usaha mikro
kecil ini tidak dapat dilakukan oleh satu OPD tetapi harus ‘dikeroyok’ oleh berbagai OPD
secara terkoordinasi. Dengan kata lain harus ada sinergitas antar OPD dalam pemberdayaan
usaha mikro kecil ini. Diperlukan perencanaan yang holistik, itegratif, tematik dan spasial
untuk mewujudkan usaha ekonomi skala mikro yang ada di wilayah Kota Cilegon memiliki
peran lebih dalam peningkatan ekonomi keluarga maupun daerah sehingga pada akhirnya
berkontribusi pada pengurangan tingkat pengangguran kesejahteraan masyarakat kota
cilegon. Berdasarkan latar belakang sebagaimana disampaikan sebelumnya maka, perlu
kajian tentang Peningkatan Peran Usaha Mikro Kecil Dalam Pembangunan Ekonomi di
Kota Cilegon untuk menghasilkan landasan ilmiah bagi perumusan kebijakan perwujudan
misi meningkatkan keberdayaan perekonomian daerah.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
6
Kebijakan yang berlaku di Indonesia, penggolongan UKM tidak berdasarkan jumlah
tenaga kerja melainkan berdasarkan jumlah aset yang dimiliki dan nilai penjualan yang
diperoleh dalam setahunnya. Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha
Mikro Kecil didefinisikan sebagai berikut:
1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha
Besar yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Berdasarkan Undang-Undang tersebut terlihat bahwa penggolongan jenis usaha di
Indonesia hanya didasarkan pada jumlah kekayaan yang dimiliki (tidak termasuk tanah dan
bangunan) serta jumlah hasil penjualan tahunan yang dihasilkan oleh usaha tersebut. Dengan
kata lain, penggolongan usaha ini sedikit berbeda dengan kebijakan negara lainnya yang
melihat jumlah tenaga kerja sebagai salah satu kriterianya.
Pengelompokan UKM berdasarkan nilai aset yang dimiliki serta nilai penjualan
selama satu tahun menemukan kendala ketika pencatatan jumlah aset serta jumlah penjualan
tidak dilakukan. Kondisi ini terutama ditemui pada usaha ekonomi skala mikro. UKM jarang
memiliki perkiraan yang tepat atas nilai aset tetap mereka dan umumnya meminimalkannya
ketika pajak atas aset dikenakanan (Gibson & Vaart, 2008). Karakteristik lainnya yang kerap
dijumpai dalam UKM adalah dominasi personal yang dominan untuk memulai atau
mengembangkan usahanya. Dalam memeulai dan mengembangkan usahanya, perusahaan
mikro bergantung pada jaringan pribadi sedangkan perusahaan kecil bergantung pada
jaringan profesional (warta UMKM, 2016). Dari segi perijinan, usaha mikro merupakan
usaha yang paling mudah untuk dikerjakan oleh sebagian besar masyarakat karena tidak
ada izin khusus bagi mereka untuk membuka usaha, lokasi bisa dimana saja baik di tempat
tetap, tidak tetap atau keliling (BPS Cilegon, 2016). Karena itu, jumlah usaha mikro di suatu
7
daerah akan jauh lebih banyak dan mendominasi dibandingkan dengan usaha kecil atau pun
usaha menengah.
Bank Indonesia (2015) menyebutkan bahwa karakteristik UMKM merupakan sifat
atau kondisi faktual yang melekat pada aktifitas usaha maupun perilaku pengusaha yang
bersangkutan dalam menjalankan bisnisnya. Karakteristik ini yang menjadi ciri pembeda
antar pelaku usaha sesuai dengan skala usahanya. Menurut Bank Dunia dalam Bank
Indonesia (2015), UMKM dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu: 1. Usaha Mikro
(jumlah karyawan 10 orang); 2. Usaha Kecil (jumlah karyawan 30 orang); dan 3. Usaha
Menengah (jumlah karyawan hingga 300 orang). Dalam perspektif usaha, UMKM
diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu:
1. UMKM sektor informal, contohnya pedagang kaki lima.
2. UMKM Mikro adalah para UMKM dengan kemampuan sifat pengrajin namun
kurang memiliki jiwa kewirausahaan untuk mengembangkan usahanya.
3. Usaha Kecil Dinamis adalah kelompok UMKM yang mampu berwirausaha
dengan menjalin kerjasama (menerima pekerjaan sub kontrak) dan ekspor.
4. Fast Moving Enterprise adalah UMKM yang mempunyai kewirausahaan yang
cakap dan telah siap bertransformasi menjadi usaha besar
Untuk tujuan membedakan skala usaha, karakteristik lainnya yang digunakan dalam
adalah indikator sifat komoditas yang dijadikan objek usaha, tempat usaha, pengelolaan
administrasi keuangan serta kondisi sumber daya manusia pengelola usaha tersebut (Bank
Indonesia, 2015). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
8
Ukuran Usaha Karakteristik
• Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan
legalitas lainnya termasuk NPWP.
Contoh: Usaha perdagangan seperti kaki lima serta
pedagang di pasar.
Usaha Kecil • Jenis barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah
tetap tidak gampang berubah.
• Lokasi/tempat usaha umumnya sudah menetap tidak
berpindah- pindah.
• Pada umumnya sudah melakukan administrasi keuangan
walau masih sederhana.
• Keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan
keuangan keluarg
• Sudah membuat neraca usaha.
• Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas
lainnya termasuk NPWP.
• Sumberdaya manusia (pengusaha) memiliki
pengalaman dalam berwira usaha.
• Sebagian sudah akses ke perbankan dalam keperluan
modal.
• Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha
dengan baik seperti business planning.
Contoh: Pedagang di pasar grosir (agen) dan pedagang
pengumpul lainnya.
Usaha Menengah • Memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik,
dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian
keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi.
• Telah melakukan manajemen keuangan dengan
menerapkan sistem akuntansi dengan teratur sehingga
memudahkan untuk auditing dan penilaian atau
pemeriksaan termasuk oleh perbankan.
• Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi
perburuhan.
• Sudah memiliki persyaratan legalitas antara lain izin
tetangga.
• Sudah memiliki akses kepada sumber-sumber
pendanaan perbankan.
• Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia
yang terlatih dan terdidik.
Contoh: Usaha pertambangan batu gunung untuk
kontruksi dan marmer buatan
Usaha Besar • Usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan
usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah,
yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta,
usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan
kegiatan ekonomi di Indonesia.
Sumber: (Bank Indonesia, 2015)
9
Dalam penelitian ini objek penelitian hanya difokuskan pada permasalahan jenis
usaha mikro dan usaha kecil, hal ini sesuai dengan kewenangan yang melekat pada
pemerintah Kota sebagaimana diamantkan dalan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
11
permodalan, kurang terampilnya sumber daya manusia, ketersediaan bahan baku,
persaingan, lokasi, perijinan,serta pemasaran (Sudarno, 2011). Bank Indonesia (2015)
menjelaskan lebih terperinci tentang permasalahan pengembangan usaha mikro bahwa
secara umum permasalahan internal maupun eksternal yang harus dihadapi para pelaku
usaha mikro antara lain:
1. Internal
a) Modal : Sekitar 60-70% UMKM belum mendapat akses atau pembiayaan
perbankan. Diantara penyebabnya, hambatan geografis. Belum banyak
perbankan mampu menjangkau hingga ke daerah pelosok dan terpencil.
Kemudian kendala administratif, manajemen bisnis UMKM masih dikelola
secara manual dan tradisional, terutama manajemen keuangan. Pengelola belum
dapat memisahkan antara uang untuk operasional rumah tangga dan usaha.
b) Sumber Daya Manusia (SDM) :
- Kurangnya pengetahuan mengenai teknologi produksi terbaru dan cara
menjalankan quality control terhadap produk.
- Kemampuan membaca kebutuhan pasar masih belum tajam, sehinggabelum
mampu menangkap dengan cermat kebutuhan yang diinginkan pasar.
- Pemasaran produk masih mengandalkan cara sederhana mouth to mouth
marketing (pemasaran dari mulut ke mulut). Belum menjadikan media sosial
atau jaringan internet sebagai alat pemasaran.
- Dari sisi kuantitas, belum dapat melibatkan lebih banyak tenaga kerja karena
keterbatasan kemampuan menggaji.
- Karena pemilik UMKM masih sering terlibat dalam persoalan teknis,
sehingga kurang memikirkan tujuan atau rencana strategis jangka panjang
usahanya.
c) Hukum : Pada umumnya pelaku usaha UMKM masih berbadan hukum
perorangan.
d) Akuntabilitas : Belum mempunyai sistem administrasi keuangan dan
manajemen yang baik.
2. Eksternal
a) Iklim usaha masih belum kondusif.
- Koordinasi antar stakeholder UMKM masih belum padu. Lembaga
pemerintah, institusi pendidikan, lembaga keuangan, dan asosiasi usaha lebih
sering berjalan masing-masing.
12
- Belum tuntasnya penanganan aspek legalitas badan usaha dan kelancaran
prosedur perizinan, penataan lokasi usaha, biaya transaksi/ usaha tinggi,
infrastruktur, kebijakan dalam aspek pendanaan untuk UMKM.
b) Infrastruktur
- Terbatasnya sarana dan prasarana usaha terutama berhubungan dengan alat-
alat teknologi.
- Kebanyakan UMKM menggunakan teknologi yang masih sederhana.
c) Akses
- Keterbatasan akses terhadap bahan baku, sehingga seringkali UMKM
mendapatkan bahan baku yang berkualitas rendah.
- Akses terhadap teknologi, terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/ grup
bisnis tertentu.
- Belum mampu mengimbangi selera konsumen yang cepat berubah, terutama
bagi UMKM yang sudah mampu menembus pasar ekspor, sehingga sering
terlibas dengan perusahaan yang bermodal lebih besa
Berdasarkan regulasi dan beberapa pendapat yang telah disampaikan sebelumnya
dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan dan pengembangan Usaha Mikro yang menjadi
kewenangan pemerintah Kota diwujudkan melalui kebijakan dalam bentuk program dan
kegiatan untuk penciptaan iklim bagi tumbuh kembangnya usaha mikro atau pun
peningkatan daya saing Usaha mikro yang sudah ada.
Tabel 2.3.
Pembagian Kewenagan Urusan Pemerintah Bidang Usaha Usaha Kecil dan Menengah
13
Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah Kab/ Kota
14
Permasalahan lainya yang berkaitan dengan kebijakan pembagian kewenangan
antara pemerintah Kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi adalah belum terciptanya
keselarasan dalam hal program pembinaan bagi UKM yang naik kelas. Sebagaimana
disebutkan dalam UU 23/2014, pengembangan usaha mikro menjadi usaha kecil akan
beralih kewenangan ketika usaha mikro tersebut berubah skala menjadi usaha menengah.
Sinkronisasi program dan kegiatan sangat diperlukan agar proses pembinaan dan
pendampingan dapat dilakukan secara simultan.
Pengembangan usaha mikro sebetulnya telah memiliki regulasi setingkat Undang-
Undang. UU nomor 20/2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan dan Menengah telah memuat
acuan mulai dari penciptaan iklim yang kundisif bagi pengembangan UMKM sampai
dengan upaya penjalinan kemitraan UMKM dengan usaha besar yang ada. Sebagai turunan
dari Undang-Undang tersbut bahkan telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 17
Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil, Dan Menengah. Peraturan Pemerintah ini memberikan acuan pembagian
peran antara menteri, Gubernur serta Bupati dan Walikota dalam hal penyelenggaraan
koordinasi dan pengendalian pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Pembagian
peran ini tercantum dalam Pasal 55, yakni:
Gubernur mempunyai tugas:
a. menyusun, menyiapkan, menetapkan, dan/atau melaksanakan kebijakan umum di
daerah provinsi tentang penumbuhan Iklim Usaha, pengembangan usaha, pembiayaan
dan penjaminan, dan kemitraan;
b. memaduserasikan perencanaan daerah, sebagai dasar penyusunan kebijakan dan
strategi
pemberdayaan yang dijabarkan dalam program daerah provinsi;
c. menyelesaikan masalah yang timbul dalam penyelenggaraan pemberdayaan di daerah
provinsi;
d. memaduserasikan penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di
daerah provinsi dengan Undang-Undang;
e. menyelenggarakan kebijakan dan program pengembangan usaha, Pembiayaan dan
penjaminan, dan Kemitraan pada daerah provinsi;
f. mengoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha
Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di daerah provinsi;
g. melakukan pemantauan pelaksanaan program:
15
1. pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang
diselenggarakan pemerintah provinsi, Dunia Usaha, dan masyarakat dalam bidang
produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi;
2. pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha
Kecil, dan Usaha Menengah;
3. pengembangan Kemitraan usaha.
h. melakukan evaluasi pelaksanaan program:
1. pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang
diselenggarakan pemerintah provinsi, Dunia Usaha, dan masyarakat dalam bidang
produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi;
2. pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha
Kecil, dan Usaha Menengah.
3. pengembangan Kemitraan usaha.
i. menginformasikan dan menyampaikan hasil pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil,
dan Usaha Menengah kepada Menteri.
Bupati/Walikota mempunyai tugas:
a. menyusun, menyiapkan, menetapkan, dan/atau melaksanakan kebijakan umum di
daerah kabupaten/kota tentang penumbuhan Iklim Usaha, pengembangan usaha,
Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan;
b. memaduserasikan perencanaan daerah, sebagai dasar penyusunan kebijakan dan
strategi pemberdayaan yang dijabarkan dalam program daerah kabupaten/kota;
c. merumuskan kebijakan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam
penyelenggaraan pemberdayaan di daerah kabupaten/kota;
d. memaduserasikan penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di
daerah kabupaten/kota dengan Undang-Undang;
e. menyelenggarakan kebijakan dan program pengembangan usaha, Pembiayaan dan
penjaminan, dan Kemitraan pada daerah kabupaten/kota;
f. mengoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha
Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di daerah kabupaten/kota;
g. melakukan pemantauan pelaksanaan program:
1. pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang
diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota, Dunia Usaha dan masyarakat dalam
bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan
teknologi;
16
2. pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha
Kecil, dan Usaha Menengah;
3. pengembangan Kemitraan usaha.
h. melakukan evaluasi pelaksanaan program:
1. pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang
diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota, Dunia Usaha dan masyarakat dalam
bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan
teknologi;
2. pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha
Kecil, dan Usaha Menengah;
3. pengembangan Kemitraan usaha.
i. menginformasikan dan menyampaikan secara berkala hasil pemberdayaan Usaha
Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah kepada Menteri dan Gubernur.
Tabel 2.4. Sebaran dan Tahun Anggaran Pembangunan Pusat Layanan Usaha Terpadu
No LOKASI
PROVINSI
TA 2013 TA 2014 TA 2016
1. Aceh Kab. Aceh Besar Provinsi -
2. Sumatera Utara - Kab. Simalungun -
3. Riau Provinsi Kab. Pelalawan -
Kab. Kampar - -
17
No LOKASI
PROVINSI
TA 2013 TA 2014 TA 2016
4. Jambi Provinsi - -
5. Bangka Belitung - Provinsi Kab. Belitung
6. Bengkulu - - Provinsi
7. Lampung - - Provinsi
8. Banten - Provinsi -
9 Jawa Barat Kab. Sukabumi Kab. Subang -
Kab. Cianjur Tasikmalaya -
10. Jawa Tengah Provinsi Kab. Cilacap -
Kab.Kebumen Kab. Surakarta -
11. DI Yogyakarta Provinsi - -
12. Jawa Timur Kab. Pacitan - Kab. Malang
Kota Batu - Kab. Tulung Agung
13. Bali Provinsi Kab. Gianyar -
14. Kalimantan Barat Provinsi - -
15. Kalimantan Selatan Kota Banjar Baru Kotabaru - -
16. Kalimantan Tengah - Provinsi -
17. Kalimantan Timur Provinsi - -
18. Kalimantan Utara - Kab. Bulungan -
19. Sulawesi Barat - Provinsi -
20. Sulawesi Selatan Provinsi Kab. Bantaeng -
Kota Palopo - -
21. Sulawesi Tenggara Provinsi Kab. Wakatobi -
22. Sulawesi Tengah - - Provinsi
23. Sulawesi Utara - Provinsi -
24. Gorontalo - Provinsi -
25. Nusa Tenggara Barat Provinsi Kota Bima -
26. Nusa Tenggara Timur - Provinsi Kab.Sumba Barat Daya
27. Maluku Provinsi - -
28. Maluku Utara - Provinsi- -
29. Papua Barat Provinsi - -
Jumlah 21 21 7
Sumber: dan Usaha Kecil dan Menengah 2016
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa sampai dengan tahun 2016 PLUT tersebar
hampir di seluruh provinsi di Indonesia, hanya lima wilayah provinsi yang belum memiliki
PLUT. Untuk wilayah provinsi Banten PLUT didirikan di wilayah Serang dan mulai tahun
anggaran 2017 biaya operasionalnya dibebankan pada APBD provinsi Banten. Keberadaan
PLUT yang masih relatif baru memerlukan akselerasi kegiatan agar keberadaannya dapat
memberikan kontribusi bagi peningkatan daya saing UMKM di Provinsi Banten. Karena itu
dalam Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2016 tentang Pemberdayaan, Pengembangan Dan
Perlindungan Koperasi Dan Usaha Kecil, Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) merupakan
salah satu lembaga yang memiliki tanggung jawab untuk pemberdayaan, pengembangan dan
perlindungan usaha kecil. Meski demikian, berdasarkan Perda tersebut tanggung jawab
pemerintah provinsi hanya dibatasi dalam lingkup usaha kecil dan koperasi tidak menyentuh
lingkup usaha ekonomi skala mikro.
18
Dalam lingkup tata kelola pemerintah Kota Cilegon, belum ada regulasi setingkat
Peraturan daerah yang secara spesifik mengatur tentang pemberdayaan dan pengembangan
usaha mikro. Meski demikian, dalam Perda nomor 6 tahun 2015 tentang penanggulangan
Kemiskinan, pada Pasal lima belas disebutkan bahwa salah strategi penanggulangan
kemiskinan dilakukan dengan mengembangkan dan menjamin keberlanjutan usaha mikro
dan kecil. Dengan demikian, pengembangan usaha mikro dan kecil memiliki peran strategis
dalam penanggulangan kemiskinan dan merupakan bagian dari implementasi perda tersebut.
21
BAB 3
METODE PENELITIAN
22
Sugiyono (2011) dalam bukunya menjelaskan bahwa metode penelitian kombinasi
ini akan berguna bila metode kuantitatif atau metode kualitatif secara sendiri-sendiri tidak
cukup akurat digunakan untuk memahami permasalahan penelitian. Dalam hal ini, sebuah
pengukuran yang dilakukan terhadap keberhasilan atau kegagalan sebuah pragram harus
dapat dijelaskan secara kualitatif sebagaimana fenomena yang terjadi dalam lingkungan
program tersebut. Oleh karena itu, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran
yang komprehensif terkait Pola Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil di
Kota Cilegon yang telah dilaksanakan.
23
Dimensi Variabel Indikator Narasumber
Sementara itu, narasumber atau responden dari sisi pemanfaat program dipilih secara
random dengan kriteria utama memiliki usaha yang terdaftar dalam program lebih atau pun
pernah dilakukan pendampingan baik dalam bentuk rintisan usaha mikro kecil atau pun
pengembangan usaha dengan domisili di wilayah Kota Cilegon. Populasi yang dijadikan
dasar dalam pengambilan sampel dalam penelitian adalah data penerima manfaat yang
terdata pada perangkat daerah yang melaksanakan proses pemberdayaan dan pengembangan
usaha mikro kecil di Kota Cilegon. Adapun sebaran data tersebut adalah sebagai berikut :
24
1. Dinas Koperasi UKM (data gabungan 10.692
Disperindagkop, BPMKP dan Kecamatan)
2. Dinas Perindag 901
3. DP3AKB 149
4. DKPP 10
5. Dinas Sosial 28
Jumlah 11.780
Penelitian ini mengalokasikan sekitar 100 UMK/IKM untuk dijadikan sebagai
narasumber dengan pertimbangan proporsional serta dipilih secara random. Sehingga
sebaran sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
25
wawancara yang semi terstruktur, penulis melakukan proses data reduction, data display
dan conclusion drawing/verfication (Sugiyono; 246).
Data reduction terkait dengan proses mereduksi hasil catatan di lapangan yang
kompleks, rumit dan belum bermakna. Dengan reduksi maka penulis merangkum,
mengambil data yang pokok dan penting. Pada tahap Data Display penulis dapat melakukan
penyajian data dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan
sejenisnya. Miles dan huberman dalam Sugiyono (2011) menyarankan bahwa dalam
melakukan display data selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik,
network (jejaring kerja) dan chart.
Data
collection
Data display
Data
reduction
Conclusions:
drawing/verifying
26
BAB 4
INSTRUMEN PENELITIAN
27
No :
I. IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Jenis Kelamin : 1. Laki-laki2. Perempuan
Usia :
Status Pernikahan : 1. Menikah2. Belum Menikah
Tingkat Pendidikan : 1. SD 2. SMP 3. SMA/SMK4. Pendidikan Tinggi 5.
Lainnya
Pengalaman Usaha : Tahun
Tahun Terdaftar di Dinas :
Pengalaman Usaha saat ini Mulai............ (jika ada perubahan usaha)
:
Latar Belakang Keluarga 1. Pengusaha 2. Bukan Pengusaha
:
28
3. > 208 juta – 4 milyar
D. Pernahkan dana pinjaman digunakan selain untuk pengembangan usaha? Jelaskan jika ya?
29
B. Disamping Bantuan/ program/kegiatan dari lembaga pemerintah tersebut, ibu/bapak pernah
mendapatkan dari lembaga pemerintah lainnya? Jelaskan (tahun berapa, jenis bantuan,
sumber informasi, serta kendala dalam memperoleh bantuan/program/kegiatan?
30
3. Lembaga Legislatif untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada pelaku
UMKM Alasan
31
PEDOMAN WAWANCARA TERHADAP PELAKSANA PROGRAM TINGKAT KOTA
Tanggal Wawancara :
Jam :
Pewawancara :
Identifikasi Responden
Nama :
Jabatan :
Instansi :
Dimensi Proses
1. Bagaimana Perencanaan kegiatan Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil di
sektor/urusan yang menjadi tugas Instansi Bapak/Ibu?
- Dasar Pelaksanaan kegiatan Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil di
sektor/urusan yang menjadi tugas Instansi Bapak/Ibu?
- Jenis intervensi yang dilakukan instansi bapak/ibu dalam Pemberdayaan dan Pengembangan
Usaha Mikro Kecil?
- Siapa yang menjadi sasaran program? Apa yang menjadi dasar penentuan sasaran? (apakah
terkait regulasi, kriteria prioritas, atau hal lainnya)
- Apakah ada database sasaran? Jika ada, Cakupan Informasi apa saja yang terdapat dalam
database tersebut?
- Apakah ada indikator yang jelas untuk menilai keberhasilan program? Jelaskan?
- Bila tidak ada indikator efektifitas keberhasilan program, apa yang mendasari keberhasilannya?
- Apakah Ada stakeholder lain yang mendukung pelaksanaan program? Apa dasarnya? bagaimana
koordinasinya?
2. Bagaimana Sistem dan Prosedur Pelaksanaan Program?
- Bagaimana cara untuk mendapatkan layanan program?
- Apakah dilakukan monitoring dalam pelaksanaan program? Siapa yang melakukan? Bagaimana
cara melakukan proses monitoring tersebut? Apa yang mendasari proses monitoring tersebut?
- Apakah ada pendampingan dalam implementasi program? Siapa yang dipilih menjadi
pendamping? Apakah ada pelatihannya? Bila tidak ada pendampingan, mengapa?
- Apakah juga dilakukan evaluasi terhadap program? Apakah evaluasi itu menjadi dasar untuk
perbaikan program?
Dimensi Effort
1. Apakah ada sosialisasi sebelum program berjalan? Bagaimana cara sosialisasinya? Media apa
saja?Apakah sudah dianggap efektif? jelaskan
2. Berapa Anggaran yang telah dikeluarkan untuk mendukung pelaksanaan program?
3. Berapa Sumber Daya Manusia yang mendukung Program?
4. Bagaimana dukungan sarana dan prasarana pendukung program?
5. Bagaimana hambatan dalam pengelolaan sumberdaya pendukung program?
Dimensi Performance
1. Berapa Jumlah Pemanfaat Program hingga saat ini?
2. Apakah Pemanfaat Program yang dicakup sesuai dengan penargetan?
3. Bagaimana hasil pelaksanaan program terhadap peningkatan usaha/asset/penghasilan dari pemanfaat?
4. Bagaimana hambatan dalam mencapai tujuan program?
Kebijakan/program apa menurut bapak/ibu yang tepat dilakukan untuk pemberdayaan dan pengembangan
usaha mikro di Kota Cilegon??
32
PEDOMAN WAWANCARA TERHADAP PELAKSANA PROGRAM TINGKAT
PELAKSANA LAPANGAN
Tanggal Wawancara :
Jam :
Pewawancara :
Identifikasi Responden
Nama :
Jabatan :
Instansi :
Dimensi Proses
1. Bagaimana Sistem dan Prosedur Pelaksanaan Program?
- Bagaimana cara untuk mendapatkan layanan program?
- Apakah dilakukan monitoring dalam pelaksanaan program? Siapa yang melakukan? Bagaimana
cara melakukan proses monitoring tersebut? Apa yang mendasari proses monitoring tersebut?
- Apakah ada pendampingan dalam implementasi program? Siapa yang dipilih menjadi
pendamping? Apakah ada pelatihannya? Bila tidak ada pendampingan, mengapa?
- Apakah juga dilakukan evaluasi terhadap program? Apakah evaluasi itu menjadi dasar untuk
perbaikan program?
Dimensi Effort
1. Apakah ada sosialisasi sebelum program berjalan? Bagaimana cara sosialisasinya? Media apa
saja?Apakah sudah dianggap efektif? jelaskan
2. Berapa Anggaran yang telah dikeluarkan untuk mendukung pelaksanaan program?
3. Berapa Sumber Daya Manusia yang mendukung Program?
4. Bagaimana dukungan sarana dan prasarana pendukung program?
5. Bagaimana hambatan dalam pengelolaan sumberdaya pendukung program?
Dimensi Performance
1. Berapa Jumlah Pemanfaat Program hingga saat ini?
2. Apakah Pemanfaat Program yang dicakup sesuai dengan penargetan?
3. Bagaimana hasil pelaksanaan program terhadap peningkatan usaha/asset/penghasilan dari pemanfaat?
4. Bagaimana hambatan dalam mencapai tujuan program?
Kebijakan/program apa menurut bapak/ibu yang tepat dilakukan untuk pemberdayaan dan pengembangan
usaha mikro di Kota Cilegon??
33
PEDOMAN WAWANCARA TERHADAP STAKEHOLDER LAIN
Tanggal Wawancara :
Jam :
Pewawancara :
Identifikasi Responden
Nama :
Jabatan :
Instansi :
Dimensi Proses
1. Bagaimana Perencanaan kegiatan Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil di
sektor/urusan yang menjadi tugas Instansi Bapak/Ibu?
- Dasar Pelaksanaan kegiatan Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil di
sektor/urusan yang menjadi tugas Instansi Bapak/Ibu?
- Jenis intervensi yang dilakukan instansi bapak/ibu dalam Pemberdayaan dan Pengembangan
Usaha Mikro Kecil?
- Siapa yang menjadi sasaran program?
- Apakah ada indikator yang jelas untuk menilai keberhasilan program? Jelaskan?
- Bila tidak ada indikator efektifitas keberhasilan program, apa yang mendasari keberhasilannya?
- Apakah Ada jalinan kerjasama dengan pemerintah daerah? Apa dasarnya? bagaimana
koordinasinya?
2. Bagaimana Sistem dan Prosedur Pelaksanaan Program?
- Bagaimana cara untuk mendapatkan layanan program?
- Apakah dilakukan monitoring dalam pelaksanaan program? Siapa yang melakukan? Bagaimana
cara melakukan proses monitoring tersebut? Apa yang mendasari proses monitoring tersebut?
- Apakah ada pendampingan dalam implementasi program? Siapa yang dipilih menjadi
pendamping? Apakah ada pelatihannya? Bila tidak ada pendampingan, mengapa?
- Apakah juga dilakukan evaluasi terhadap program? Apakah evaluasi itu menjadi dasar untuk
perbaikan program?
Dimensi Effort
1. Bagaimana cara penyampaian program kepada sasaran?Apakah sudah dianggap efektif? jelaskan
2. Berapa Sumber Daya Manusia yang mendukung Program?
3. Bagaimana dukungan sarana dan prasarana pendukung program?
Dimensi Performance
1. Berapa Jumlah Pemanfaat Program hingga saat ini?
2. Apakah Pemanfaat Program yang dicakup sesuai dengan penargetan?
3. Bagaimana hasil pelaksanaan program terhadap peningkatan usaha/asset/penghasilan dari pemanfaat?
4. Bagaimana hambatan dalam mencapai tujuan program?
Kebijakan/program apa menurut bapak/ibu yang tepat dilakukan oleh pemerintah untuk pemberdayaan dan
pengembangan usaha mikro di Kota Cilegon yang membangun sinergitas ??
34
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. (2015). Profil Bisnis Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM). Bank
Indonesia dan LPPI. Jakarta.
Bappenas. (2014). Analisis Daya Saing UMKM di Indonesia. Jakarta.
Gibson, T., & Vaart, H. J. Van De. (2008). Defining SMEs: A less imperfect way of defining
small and medium enterprises in developing countries. Brooking Global Economy And
Development, (September), 1–29.
Hafni, R., & Rozali, A. (20151). Analisis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia. Ekonomikawan, 15(2), 77–96.
Retrieved from https://media.neliti.com/media/publications/78163-ID-none.pdf
Hamid, E. S., & Susilo, Y. S. (2011). Strategi Pengembangan Usaha Mikro Kecil Dan
Menengah Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta *. Jurnal Ekonomi Pembangunan,
12(1), 45–55. https://doi.org/10.23917/jep.v12i1.204
Herliana, S. (2015). Regional Innovation Cluster for Small and Medium Enterprises (SME):
A Triple Helix Concept. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 169(August 2014),
151–160. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.01.297
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 2017. LAporan Kinerja
Kementerian Koperasi dan UKM TAhun 2016, Jakarta.
Lantu, C. D., Triady, S. M., Utami, F. A., & Ghazali, A. (2016). Pengembangan Model
Peningkatan Daya Saing UMKM di Indonesia: Validasi Kuantitatif Model. Jurnal
Manajemen Teknologi, 15(1), 77–93. https://doi.org/10.12695/jmt.2016.15.1.6
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pemberdayaan,
Pengembangan Dan Perlindungan Koperasi Dan Usaha Kecil
Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Penaggulangan Kemiskinan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah
Pritha Aprianoor dan Muhammad Muktiali. 2015. Kajian Ketimpangan Wilayah Di Provinsi
Jawa Barat. Jurnal Teknik PWK Volume 4 Nomor 4. hal :484-498
Sudarno. (2011). Kontribusi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah(UMKM) dalam
Penyerapan Tenanga Kerja di Depok. Ekonomi Dan Bisnis, 10(2), 139–146. Retrieved
35
from https://media.neliti.com/media/publications/13447-ID-kontribusi-usaha-mikro-
kecil-dan-menengahumkm-dalam-penyerapan-tenaga-kerja-di-d.pdf
Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah
36