Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara dengan tingkat kepadatan

penduduk tertinggi di dunia. Seiring dengan semakin bertambahnya jumlah

penduduk maka penggunaan energi bahan bakar minyak juga akan semakin

meningkat. Bahan bakar minyak merupakan sumber energi tak terbarukan yang

akan habis suatu saat nanti. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan energi

dunia yang selalu meningkat maka diperlukan energi alternatif untuk

menanggulangi krisis energi tersebut. Alkohol merupakan senyawa organik yang

akhir-akhir ini sering digunakan untuk berbagai keperluan. Penggunaan alkohol

diantaranya sebagai bahan bakar. Salah satu jenis alkohol yang umum digunakan

adalah etanol. Etanol merupakan jenis alkohol yang sudah dikenal dan digunakan

sejak zaman dahulu dan sering digunakan sebagai bahan pembentuk gasohol yaitu

campuran alkohol dan bensin.

Etanol yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari itu memiliki

perbedaan konsentrasi yang spesifik untuk tiap-tiap penggunaannya. Etanol yang

biasanya ditemukan dialam umumnya memiliki konsentrasi yang relatif rendah.

Etanol dengan konsentrasi yang seperti ini kurang efektif untuk diaplikasikan

sehingga diperlukan pemurnian atau peningkatan kadar etanol tersebut. Terdapat

beberapa metode dalam peningkatan atau pemurnian etanol. Salah satu metode

yang umum digunakan adalah dengan destilasi. Seperti penelitian yang dilakukan
2

Agustin et al. (2011) yang menerapkan metode destilasi berulang dari sampel Ciu

Bekonang (minuman keras tradisional asal daerah Bekonang) yang memiliki

kadar rata-rata alkohol kurang lebih 30% untuk kemudian ditingkatkan menjadi

96 %. Sementara itu Fransisca (2013) melakukan pemurnian sistem etanol-air

dengan metode filtrasi membran dalam hal ini digunakan metode osmosis balik

(RO, Reverse Osmosis), dengan membran jenis film tipis (TFC, Thin Film

Composite).Kemudian menurut Novitasari et al. (2012)kadar etanol dapat

ditingkatkan melalui dua metode yaitu metode adsorpsi dan destilasi adsorpsi

dengan menggunakan adsorben zeolit. Zeolit digunakan sebagai adsorben karena

zeolit memiliki pori-pori berukuran molekular sehingga mampu memisahkan atau

menyaring molekul dengan ukuran tertentu. Zeolit mempunyai beberapa sifat

antara lain : mudah melepas air akibat pemanasan, tetapi juga mudah mengikat

kembali molekul air dalam udara lembab. Oleh karena sifatnya tersebut maka

zeolit banyak digunakan sebagai bahan pengering (Winata, 2012). Selain itu,

terdapat bahan alami lain yang dapat berperan sebagai adsorben yaitu kalsium

oksida atau kapur tohor yang penggunaannya masih relatif kurang karena

dianggap kurang efektif dalam pemurnian alkohol.

Kalsium oksida (CaO), umumnya disebut quicklime adalah senyawa

kimia yang banyak digunakan. Kalsium oksida dapat juga mengikat air pada

etanol karena bersifat sebagai dehidrator. CaO digunakan selain harganya murah,

mudah didapat, dan tidak terlalu beracun. Kalsium oksida juga digunakan karena

untuk memanfaatkan batu kapur yang keberadaannya sangat melimpah dialam.

Ketidakefektifan kalsium oksida sebagai adsorben umumnya diakibatkan karena


3

proses aktivasi yang kurang maksimal. Untuk meningkatkan kapasitas dan

efisiensi adsorpsi dari adsorben, maka perlu dilakukan modifikasi yang dalam hal

ini disebut pengaktifan adsorben.

Menurut Rahayu (2010),aktivasi adalah perlakuan terhadap adsorben yang

bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan

hidrokarbon atau mengoksidasi molekul permukaan sehingga adsorben

mengalami perubahan sifat, baik fisika atau kimia. Aktivasi dibagi menjadi dua

yaitu aktivasi fisika dan kimia. Aktivasi fisika dapat didefinisikan sebagai proses

memperluas pori dari adsorben dengan bantuan panas, uap dan gas CO2.

Sedangkan aktivasi kimia merupakan aktivasi dengan pemakaian bahan kimia

yang dinamakan aktivator. Bahan kimia yang dapat digunakan untuk proses

aktivasi adsorben adalah larutan asam (H2SO4, HCl dan HNO3) dan larutan basa

(NaOH dan KOH) (Husaini, 1992). Berdasarkan penelitian Rini dan Lingga

(2010), aktivasi zeolit dengan penambahan basa NaOH meningkatkan daya

adsorpsi air pada zeolit alam. Sedangkan menurut penelitian Kurniasariet al.

(2011),aktivasi dengan NaOH 1N memberikan kemampuan adsorpsi terbesar

yaitu 0,171 g uap air/gram. Proses aktivasi akan mempengaruhi kemampuan

adsorpsi uap air oleh zeolit, dimana faktor yang berpengaruh pada aktivasi dengan

NaOH adalah konsentrasi dan suhu.

Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan peningkatan kadar etanol

dengan menggunakan metode adsorpsi menggunakan adsorben dari kalsium

oksida yang telah diaktivasi secara kimia dengan aktivator basa dengan larutan

NaOH dengan memvariasikan konsentrasi NaOH yang digunakan.


4

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini yaitu mengetahui berapakah

peningkatan kadar etanol setelah diadsorpsi menggunakan adsorben CaO yang

telah diaktivasi secara kimia dengan menggunakan aktivator NaOH ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kadar

etanol setelah diadsorpsi menggunakan adsorben CaO yang telah diaktivasi

secara kimia dengan menggunakan aktivator NaOH.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu:

1. Secara teori, dapat memberikan informasi mengenai sifat dan karakter dari

CaO yang telah diaktivasi sebagai salah satu adsorben untuk mengadsorpsi

air pada etanol.

2. Meanfaatkan kelimpahan batu kapur yang ada di Indonesia khususnya di

Sulawesi Tenggara.

3. Memperoleh alkohol dengan kadar yang dapat dimanfaatkan dalam

berbagai bidang.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kalsium Oksida (CaO)

Kalsium oksida (CaO) umumnya disebut quicklime adalah senyawa kimia

yang banyak digunakan sebagai dehidrator, pengering gas, dan pengikat karbon

dioksida pada cerobong asap. Kalsium oksida adalah kristal putih padat dengan

titik leleh 2,572 °C yang diproduksi oleh pemanasan kapur, karang, kerang laut,

atau kapur, yang terutama CaCO3, untuk menghilangkan karbon dioksida (CO2).

Kalsium karbonat pada suhu 500-600oC terurai menjadi kalsium oksida dan

karbon dioksida. Rekasinya adalah :


500–600°C

CaCO3(s) CaO(s) + CO2(g)

Pada saat produk menjadi dingin terjadi penyerapan karbon dioksida dari

udara, sehingga dikonversikan kembali menjadi kalsium karbonat. Reaksi ini

disebut juga reaksi kalsinasi (Sakhashiri, 2015).

Sebagaimana ditunjukkan diatas reaksi kalsinasi tersebut bersifat dapat

balik. Pada suhu dibawah 500oC tekanan keseimbangan CO2 hasil dekomposisi

cukup rendah. Akan tetapi antara 500 dan 600oC, tekanan dekomposisi itu cukup

meningkat (Austin dalam Sembiring, 2009).

CaO (massa relatif 56,08 g/mol) memilki sifat higroskopis, titik lelehnya

2600oC dan titik didihnya 2850oC, larut dalam HCl, struktur kristalnya oktahedral,

memiliki luas permukaannya 0,56 m2/g (West dalam Sembiring, 2009). CaO
6

biasanya digunakan sebagai mortar, industri pupuk, industri kertas, industri

semen, pemutih (bleaching) dan sebagai katalis (Austin dalam Sembiring, 2009).

CaO merupakan senyawa turunan dari kalsium hidroksida. Senyawa ini mampu

mengikat air pada etanol karena bersifat sebagai dehidrator sehingga cocok

digunakan sebagai adsorben pada proses pemurnian etanol (Retno et al., 2012).

Kalsium oksida juga biasa dikenal sebagai kapur yang telah dibakar dan

digunakan sebagai senyawa kimia. Sebagai produk komersial, kapur sering

mengandung oksida magnesium, silikon, dan sedikit oksida alumunium dan besi

(Rhaeny, 2002).

Menurut Mackenzie dan Sharp (1970), secara komersial CaO diproduksi

dengan memanaskan batu kapur pada suhu antar 900 oC hingga 1200 oC. Batu

kapur tohor atau CaO merupakan bahan yang bersifat reaktif dengan air dan akan

membentuk Ca(OH)2 merupakan reaksi eksoterm yang akan melepaskan kalor dan

menghasilkan bahan yang berbentuk bubuk putih (Chang dan Tikkanen, 1988).

Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

CaO(s) + H2O(l) Ca(OH)2

Pemanfaatan batu kapur tohor dalam skala besar adalah untuk

pembangunan gedung dan untuk pertanian. Sekarang pemanfaatan batu kapur

tohor telah semakin berkembang, khususnya untuk industri kimia. Batu kapur

tohor digunakan dalam pembuatan natrium karbonat, soda kaustik, peleburan baja,

kalsium karbida, pembuatan gelas, kertas dan pengolahan gula. Batu kapur tohor

juga dapat digunakan untuk penanganan air dan penanganan limbah untuk

pemulihan dan pemurnian (Mackenzie dan Sharp, 1970).


7

B. Adsorpsi

Adsorpsi adalah proses penyerapan hanya pada permukaan. Adsorpsi juga

merupakan suatu proses yang terjadi ketika fluida (cair maupun gas) terikat pada

suatu padatan dan membentuk suatu permukaan tipis pada padatan tersebut

(Saputra, 2008). Adsorpsi merupakan proses akumulasi substansi adsorbat pada

permukaan adsorben yang disebabkan oleh gaya tarik antar molekul atau interaksi

kimia atau suatu akibat dari medan gaya pada permukaan padatan adsorben yang

menarik molekul-molekul gas/uap atau cairan.

Adsorpsi merupakan metode pengolahan limbah yang unggul dibanding

dengan teknik lain. Keuntungan teknik adsorpsi yaitu biaya yang dikeluarkan

relatif sedikit, relatif tidak menimbulkan racun dan mampu menghilangkan bahan-

bahan organik lebih baik dibandingkan perlakuan biologi yang konvensional.

Adsorpsi merupakan fenomema yang terjadi pada permukaan, karena terdapat

gaya-gaya yang tidak setimbang pada batas antar permukaan, sehingga

menyebabkan perubahan jumlah molekul.

Pada umumnya adsorpsi diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu adsorpsi

fisika dan adsorpsi kimia. Dalam adsorpsi kimia, molekul adsorbat dan adsorben

membentuk sistem homogen, sedangkan dalam adsorpsi fisika, adsorbat dan

adsorben dapat dianggap sebagai dua sistem individu. Adsorpsi fisika dan

adsorpsi kimia dibedakan oleh besarnya energi adsorpsi, reversibilitas, dan

ketebalan lapisan adsorben.

Adsorpsi terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya

elektrostatis atau gaya tarik antar molekul pada permukaan zat padat. Adsorpsi zat
8

dari larutan, mirip dengan adsorpsi gas oleh zat padat. Adsorpsi bersifat selektif,

artinya yang dapat diadsorpsi hanya zat terlarut atau pelarut saja. Bila dalam

larutan ada dua zat atau lebih, zat yang satu akan diserap lebih kuat dari yang lain.

Molekul yang teradsorpsi dapat dianggap membentuk fasa dua dimensi dan

bergantung pada faktor-faktor seperti gaya interaksi antara molekul adsorbat

dengan permukaan, gaya interaksi antara molekul pelarut dengan permukaan

adsorben, dan gaya interaksi antara molekul dari komponen larutan dengan

lapisan permukaan adsorben dan pori-porinya. Kecepatan adsorpsi sangat di

pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi, luas permukaan, suhu,

ukuran partikel, pH dan waktu kontak (Oscik dalam Wibowo, 2009).

Proses adsorpsi fisika, molekul-molekul teradsorpsi pada permukaan

dengan ikatan molekul yang lemah. Adsorpsi ini bersifat reversibel sehingga

molekul-molekul yang sudah teradsorpsi mudah dilepaskan kembali dengan cara

menurunkan tekanan gas atau konsentrasi zat terlarut. Adsorpsi kimia melibatkan

ikatan koordinasi sebagai hasil penggunaan elektron secara bersama-sama oleh

adsorben dan adsorbat (Oscik, 1982). Dalam adsorpsi kimia terjadi pembentukan

dan pemutusan ikatan, sehingga panas adsorpsi yang dihasilkan mempunyai

kisaran yang sama dengan reaksi kimia. Oscik (1982), memperkirakan bahwa

harga energi adsorpsi kimia berkisar antara 80-650 kJ/mol. Ikatan antara adsorben

dengan adsorbat cukup kuat sehingga spesis aslinya tidak dapat ditemukan

kembali. Zat yang teradsorpsi membentuk lapisan tunggal dan relatif bersifat

irreversibel sehingga diperlukan energi yang besar untuk melepaskan kembali

adsorbat. Oleh karena itu, harga entalpi adsorpsi kimia lebih rendah daripada
9

adsorpsi fisika, dan perbandingan ini diperoleh dari angka absolut pada nilai

entalpi negatif. Hal ini diperkuat dengan studi spektroskopi bahwa terjadi transfer

elektron dan membentuk ikatan kimia antara adsorben dan adsorbat.

Adsorpsi dapat terjadi apabila adsorben dapat menarik molekul–molekul

gas atau cair yang bersinggungan dengannya secara fisika dan kimia. Pada proses

fisika gaya yang mengingkat adsorbat oleh adsorben adalah gaya van der Waals,

molekul terikat sangat lemah. Sedangkan pada proses adsorpsi secara kimia,

interaksi adsorbat dengan adsorben melalui pembentukan ikatan kimia yang

diawali dengan adsorpsi fisika, yaitu partikel-partikel adsorbat mendekat ke

permukaan adsorben melalui gaya van der Waals atau ikatan hidrogen, kemudian

diikuti oleh adsorpsi kimia dengan membentuk ikatan kimia (biasanya ikatan

kovalen) (Langenati, 2012).

Menurut Gaol dalam Apriliani (2010), banyaknya adsorbat yang terserap

pada permukaan adsorben dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Jenis adsrobat, dapat ditinjau dari :

a. Rongga tempat terjadinya adsorpsi dapat dicapai melalui ukuran yang

sesuai, sehingga molekul-molekul yang bisa diadsorpsi adalah

molekul-molekul yang berdiameter sama atau lebih kecil dari diameter

pori adsorben.

b. Polaritas molekul adsorbat, apabila diameter sama, molekul-molekul

polar lebih kuat diadsorpsi daripada molekul-molekul yang kurang

polar, sehingga molekul-molekul yang lebih polar bisa menggantikan

molekul-molekul yang kurang polar yang telah diserap.


10

2. Sifat adsorben, dapat ditinjau dari :

a. Kemurnian adsorben, adsorben yang lebih murni memiliki daya serap

yang lebih baik.

b. Luas permukaan, semakin luas permukaan adsorben maka jumlah

adsorbat yang terserap akan semakin banyak pula.

c. Temperatur, adsorpsi merupakan proses eksotermis sehingga jumlah

adsorbat akan bertambah dengan berkurangnya temperatur adsorbat.

Adsorpsi fisika yang substansial biasa terjadi pada temperatur di

bawah titik didih adsorbat, terutama di bawah 50oC. Sebaliknya pada

adsorpsi kimia jumlah yang diadsorpsi berkurang dengan naiknya

temperatur adsorbat.

d. Tekanan, untuk adsorpsi fisika kenaikan tekanan adsorbat

mengakibatkan kenaikan jumlah jumlah zat yang diadsorpsi.

C. Isoterm Adsorpsi

Isoterm adsorpsi merupakan fungsi konsentrasi zat terlarut yang terserap

pada padatan terhadap konsentrasi larutan. Persamaan yang dapat digunakan

untuk menjelaskan data percobaan isotherm dikaji oleh Freundich, Langmuir serta

Brunauer, Emmet dan Tellet (BET) (Atkins dalam Apriliani, 2010). Adsorben

yang baik memiliki kapasitas adsorpsi dan persentase penyerapan yang tinggi.

1. Isoterm Freundlich

Isoterm Freundlich merupakan isoterm yang paling umum digunakan dan

dapat mencirikan proses adsorpsi dengan lebih baik (Jason dalam Apriliani,

2010). Isoterm Freundlich menggambarkan hubungan antara sejumlah komponen


11

yang teradsorpsi per unit adsorben dan konsentrasi komponen tersebut pada

kesetimbangan. Freundlich memformulasikan isotermnya sebagai berikut :

Apabila dilogaritmakan, persamaan akan menjadi:

Keterangan :

x/m = jumlah adsorbat teradsorpsi per unit massa adsorben (mg/g)

C = konsentrasi kesetimbangan adsorbat dalam larutan setelah diadsorpsi

k,n = konstanta empiris

Isoterm Freundlich menganggap bahwa pada semua sisi permukaan

adsorben akan terjadi proses adsorpsi di bawah kondisi yang diberikan. Isoterm

Freundlich tidak mampu memperkirakan adanya sisi-sisi pada permukaan yang

mampu mencegah adsorpsi pada saat kesetimbangan tercapai dan hanya ada

beberapa sisi aktif saja yang mampu mengadsorpsi molekul terlarut (Jason dalam

Apriliani, 2010).

2. Isoterm Langmuir

Isoterm Langmuir merupakan proses adsorpsi yang berlangsung secara

kimisorpsi satu lapisan. Kimisorpsi adalah adsorpsi yang terjadi melalui ikatan

kimia yang sangat kuat antara sisi aktif permukaan dengan molekul adsorbat dan

dipengaruhi oleh densitas electron.Adsorpsi satu lapisan terjadi karena ikatan

kimia biasanya bersifat spesifik, sehingga permukaan adsorben mampu mengikat


12

adsorbat dengan ikatan kimia. Isoterm Langmuir diturunkan berdasarkan

persamaan :

Isoterm Langmuir dipelajari untuk menggambarkan pembatasan sisi

adsorpsi dengan asumsi bahwa sejumlah tertentu sisi sentuh adsorben ada pada

permukaannya dan semua memiliki energi yang sama, serta adsorpsi bersifat balik

(Atkins dalam Apriliani, 2010).

D. Adsorben

Adsorben adalah bahan-bahan yang sangat berpori, dan adsorpsi

berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau pada daerah tertentu di

dalam partikel itu. Adsorben adalah suatu zat yang melakukan penyerapan

terhadap zat lain baik cairan maupun gas pada proses adsorpsi. Jenis–jenis

adsorben yang digunakan untuk proses adsorpsi berbeda–beda, tergantung dari zat

apa yang ingin diserap (adsorbat). Kemampuan adsorpsi secara langsung

dipengaruhi oleh kualitas dari adsorbennya (Widjaja, 2013).

Macam-macam adsorben dalam pengeringanetanol antara lain:

1. Zeolit

Zeolit merupakan zat padat berpori yang dapat digunakan sebagai

adsorben karena mempunyai beberapa sifat antara lain: mudah melepas air akibat

pemanasan, tetapi juga mudah mengikat kembali molekul air dalam udara lembab.

Oleh sebab sifatnya tersebut maka zeolit banyak digunakan sebagai bahan

pengering.Disamping itu zeolit juga mudah melepas kation dan diganti dengan
13

kation lainnya, misal zeolit melepas natrium dan digantikan dengan mengikat

kalsium atau magnesium. Sifat ini pula menyebabkan zeolit dimanfaatkan untuk

melunakkan air. Zeolit adalah mineral yang memiliki pori-pori berukuran sangat

kecil.Sampai saat ini ada lebih dari 150 jenis zeolit sintetis. Di alam, zeolit

terbentuk dari abu lahar dan materi letusan gunung berapi. Zeolit juga bisa

terbentuk dari materi dasar laut yang terkumpul selama ribuan tahun (Novitasari,

2012).

2. Silika Gel

Silika gel adalah substansi-substansi yang digunakan untuk menyerap

kelembaban dan cairan partikel dari ruang yang berudara/bersuhu. Silika gel yang

siap untuk digunakan berwarna biru. Ketika silika gel telah menyerap banyak

kelembaban, ia akan berubah warnanya menjadi pink (merah muda). Ketika ia

berubah menjadi warna pink (merah muda), ia tidak bisa lagi menyerap

kelembaban. Ia harus meregenerasi. Hal ini dapat dilakukan dengan

menghangatkannya di dalam mesin oven. Panasnya mengeluarkan kelembaban,

lalu ia akan berubah warnanya menjadi biru dan kembali bisa digunakan.

3. Karbon Aktif

Karbon aktif merupakan senyawa karbon amorph, yang dapat dihasilkan

dari bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari karbon yang diperlakukan

dengan cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Luas

permukaan karbon aktif berkisar antara 300-500 m2/gram dan ini berhubungan

dengan struktur poriinternal yang menyebabkan karbon aktif mempunyai sifat

sebagai adsorben. Karbon aktif dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa


14

kimia tertentu atau sifat adsorpsinya selektif, tergantung pada besar atau volume

pori-pori dan luas permukaan. Daya serap karbon aktif sangat besar, yaitu 25%-

100% terhadap berat karbon aktif.

4. Kalsium Oksida (CaO)

Tabel 2.1 Sifat Fisika Kimia DariAdsorben Kalsium Oksida


Rumus molekul CaO
Berat molekul 56,0774 gr/mol
Penampilan Serbuk putih sampai kuning pucat/coklat
Bau Tidak berbau
Densitas 3,35 gr/cm3
Titik lebur 2613 °C, 2886 K, 4735 °F
Titik didih 2850 °C, 3123 K (100 hPa)
Kelarutan dalam air 1,19 g/L (25 °C); 0,57 g/L (100 °C); reaksi
eksoterm
Kelarutan dalam asam Larut (juga dalam gliserol, larutan gula)
Kelarutan dalam methanol Tidak larut (juga dalam dietil eter, n-oktanol)
Keasaman (pKa) 12,8

Kalsium oksida (CaO), umumnya disebut quicklime, adalah senyawa

kimia yang banyak digunakan. Kalsium oksida memiliki densitas sebesar 3,35

g/cm3. Kalsium oksida dapat juga mengikat air pada etanol karena bersifat

sebagai dehidrator (Retno et al, 2012).

E. Aktivasi Kimia

Menurut Kurikane (1999), aktivasi merupakan proses pengaktifan

adsorben yang dapat dicapai jika diberi beberapa perlakuan seperti panas atau

dengan penambahan bahan kimia tertentu. Adsorben yang telah diaktifkan akan

memiliki luas permukaan yang lebih besar. Pengaktifan dengan menggunakan zat-

zat kimia yang sering disebut pengaktifan kimia dilakukan dengan cara merendam

bahan baku kedalam larutan pengaktivasi seperti NaOH dan KOH untuk aktivasi
15

basa serta HCl, H2SO4 dan (NH4)2SO4 untuk aktivasi asam. Metode aktivasi kimia

ini bertujuan untuk mengurangi pembentukan pengotor dan produk samping

dengan cara merendam bahan dalam senyawa kimia.

Pada dasarnya adsorben CaO tanpa diaktivasi telah mampu mengadsorpsi

air, namun fungsi tersebut masih lebih rendah kemampuannya jika dibandingkan

dengan adsorben CaO yang telah diaktivasi. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur

pengotor yang masih terkandung pada CaO murni sehingga menutupi permukaan

pori-porinya. Aktivasi kimia adalah pengaktivasian dengan menggunakan bahan-

bahan kimia, baik berupa asam ataupun basa. Fungsi asam atau basa adalah untuk

mencuci kation-kation yang mengotori permukaan adsorben. Bahan kimia yang

dapat digunakan untuk proses aktivasi zeolit alam adalah larutan asam (H2SO4,

HCl dan HNO3) dan larutan basa (NaOH dan KOH) (Humam, 1996 dan Husaini,

1992).Tujuan aktivasi secara kimia adalah membersihkan permukaan pori,

melarutkan oksida-oksida pengotor serta mengatur kembali letak atom serta

melarutkan beberapa logam alkali dan alkali tanah (Hendri,2000).

F. Natrium Hidroksida

Natrium hidroksida (NaOH) juga dikenal sebagai soda kaustik merupakan

jenis basa logam kaustik. Natrium hidroksida membentuk larutan alkalin yang

kuat ketika dilarutkan dalam air. Natrium hidroksida digunakan di dalam berbagai

macam bidang industri. Kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses

industri bubur kayu, kertas, tekstil, air minum, sabun, dan deterjen. Selain itu

natrium hidroksida juga merupakan basa yang paling umum digunakan dalam

laboratorium kimia.Natrium hidroksida murni berbentuk putih padat dan tersedia


16

dalam bentuk pelet, serpihan dan butiran. NaOH juga sangat larut dalam air dan

akan melepaskan kalor ketika dilarutkan dalam air. Larutan NaOH meninggalkan

noda kuning pada kain dan kertas (Prasetya et al., 2014).

Natrium hidroksida mengandung unsur dari golongan alkali, yakni Natrium

(Na+). Ciri-ciri yang dimiliki golongan alkali seperti reduktor kuat dan mampu

mereduksi asam, mudah larut dalam air, merupakan penghantar arus listrik yang

baik dan panas. Pada umumnya NaOH digunakan sebagai pelarut, penggunaan

NaOH sebagai pelarut disebabkan kegunaan dan efektifitasnya seperti untuk

menetralka asam. NaOH terbentuk dari elektrolisis larutan NaCl dan merupakan

basa kuat (Linggih, 1988).

Adapun sifat-sifat kimia dan fisika NaOH adalah sebagai berikut :

1. Sifat kimia

a. Berwarna putih

b. Berbentuk pellet, serpihan atau batang

c. Sangat basa dan mudah terionisasi membentuk ion natrium dan hidroksida

d. Keras

e. Bila dibiarkan di udara akan cepat menyerap karbondioksida dan lembab

f. Mudah larut dalam air dan dalam etanol tetapi tidak larut dalam eter

g. NaOH membentuk basa kuat bila dilarutkan dalam air

2. Sifat Fisik

a. Massa molar 39,9971 g/mol

b. Densitas 2,1 g/cm³

c. Titik lebur 318 °C (591 K)


17

d. Titik didih 1390 °C (1663 K)

e. Kelarutan dalam air 111 g/100 mL (Andayani, 2015).

G. Etanol

Etanol atau etil alkohol (C2H5OH) merupakan bahan kimia organik yang

mengandung oksigen karena kombinasi sifat-sifat uniknya yang dapat digunakan

sebagai pelarut, germisida, minuman, bahan anti beku, bahan bakar, bahan

depressant dan khususnya karena kemampuannya sebagai bahan kimia

intermediet untuk menghasilkan bahan kimia yang lain (Kirk, 1951).

Sifat fisik dan kimia etanol tergantung pada gugus hidroksilnya. Kedua

sifat tersebut menyebabkan perbedaan sifat fisik alkohol dengan berat molekul

rendah dengan senyawa hidrokarbon yang mempunyai berat molekul ekuivalen.

Spektrografi infra merah menunjukkan bahwa dalam keadaan cair ikatan hidrogen

terbentuk karena tarik-menarik antara atom hidrogen pada gugus hidroksil

molekul satu dengan atom hidrogen pada gugus hidroksil molekul yang kedua.

Sifat tersebut dapat dianalogikan seperti sifat air, walaupun ikatan pada air lebih

kuat sehingga membentuk gugusan yang lebih dari dua molekul. Ikatan hidrogen

pada etanol terjadi pada fase cair, sedang pada fase gas senyawa ini bersifat

monomerik. Etanol yang umumnya terdapat dialam dalam konsentrasi yang

relative rendah namun dengan melakukan modifikasi maka konsentrasi etanol

dapat ditingkatkan agar dapat digunakan dan diaplikasikan sebagai bahan

pembentuk gasohol yaitu campuran antara etanol dan bensin. Secara detail, sifat-

sifat fisik etanol dapat dilihat dalam Tabel 2.2


18

Tabel 2.2. Sifat Fisik Etanol


Keterangan Nilai
Titik didih normal, oC, 1 atm +78,32
Suhu kritis, oC 243,1
Tekanan kritis, kPa 6383,48

Volume kritis, L/mol 0,167

Densitas, 420 g/ml 0,7893

Viskositas pada 20 oC, mPa.s 1,17


(=cP)

Kelarutan dalam air pada 20 oC Saling larut

Autoignition temperature, oC 793,0

Titik nyala, oC 14

(sumber: Kirk, 1951).

Selain sebagai bahan bakar, etanol banyak digunakan pada minuman,

kosmetik, kesehatanserta sebagai bahan baku industri (McKettaet al, 1983). Agar

etanol dapat digunakan dalam berbagai bidang kehidpan sehari-hari maka etanol

harus melalui proses pemurnian terlebih dahulu.

H. X-Ray Fluoresence (XRF)

Tehnik analisis X-Ray Fluoresence (XRF) merupakan tehnik analisis

suatu bahan dengan menggunakan peralatan spektrofotometer yang dipancarkan

oleh sampel dari penyinaran sinar-X. Sinar-X yang dianalis berupa sinar-X yang

memiliki karakteristik yang dihasilkan dari tabung sinar-X, sedangkan sampel

yang dianalisis dapat berupa sampel padat pejal atau serbuk. Dasar analisis alat

X-Ray Fluoresence (XRF) adalah pencacahan sinar-X yang dipancarkan oleh

suatu unsur akibat pengisian kembali kekosongan elektron pada orbital yang lebih
19

luar. Kekosongan elektron ini terjadi karena eksitasi elektron. Pengisian elektron

pada orbital K akan menghasilkan spektrum sinar-X deret K, pengisian elektron

pada orbital berikutnya menghasilkan spektrum sinar-X deret L, deret M, deret N

dan seterusnya (Sumantry, 2002).

Spektrum sinar-X yang dihasilkan selama proses diatas menunjukkan

puncak (peak) karakteristik yang merupakan landasan dari uji kualitatif untuk

unsur-unsur yang ada pada sampel. Sinar-X karakteristik diberi tanda sebagai

K,L,M,N dan seterusnya untuk menunjukkan dari kulit mana unsur itu berasal.

Penunjukkan alpha (α), beta (β) dan gamma (γ) dibuat untuk memberi tanda sinar-

X itu berasal dari transisi elektron dari kulit yang lebih tinggi.Oleh karena itu, K α

adalah sinar-X yang dihasilkan dari transisi elektron kulit L ke kulit K (Sumantry,

2002).

Masrukan et al., (2007) menyatakan bahwa unsur yang dapat dianalisis

adalah unsur yang mempunyai nomor atom rendah seperti unsur karbon (C)

sampai dengan unsur yang mempunyai nomor atom yang tinggi seperti uranium

(U). Atom C mempunyai sinar-X transisi ke kulit K sebesar 0,28 keV sedangkan

sinar-X karakteristik dari kulit L pada atom U sebesar 13,61 keV. Oleh karena

energi setiap atom terdiri dari energi pada kulit atom K,L,M dan seterusnya maka

energi yang diambil untuk analisis adalah energi sinar-X yang dihasilkan oleh

salah kulit atom tersebut. Pada pengoperasian alat X-Ray Fluoresence (XRF)

diperoleh bahwa rentang energi sinar-X pada peralatan adalah 5-50 keV. Oleh

karena itu, untuk menganalisis atom U harus diambil pada energi kulit L (13,61
20

keV) karena energi kulit K sangat besar (97,13 keV) dan berada diluar

kemampuan alat.

Analisis menggunakan alat X-Ray Fluoresence (XRF) akan menghasilkan

suatu spektrum yang menunjukkan kandungan unsur-unsur pada tingkat energi

tertentu sesuai dengan orbital yang mengalami kekosongan elektron dan

pengisisan elektron dari orbital selanjutnya seperti yang ditunjukkan pada gambar

di bawah (Masrukan dan Rosika, 2008).

Hasil analisis menggunakan alat X-Ray Fluoresence (XRF) dapat

dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif maupun metode

kuantitatif.Analisis secara kualitatif hanya memberikan informasi kandungan

unsur suatu bahan atau sampel.Semakin besar intensitas yang muncul maka

semakin banyak kandungan unsur tersebut dalam suatu bahan.

I. Proses Adsorpsi Etanol

Air dalam Etanol dapat teradsorpsi karena gaya tarik dari permukaan

membran zeolit lebih besar dari pada gaya tarik yang menahan air tersebut untuk

tetap larut dalam Etanol. Dengan memanfaatkan sifat fisik dan kimia zeolit

tersebut yaitu sifat hidrofilik dan ukuran pori< 0.44 nm sehingga air dalam

Ethanol dapat diserap secara sempurna dan pada akhirnya kemurniannya

meningkat. Adsorpsi tersebut merupakan fenomena permukaan yang terjadi pada

saat molekul adsorbate tertarik dan menempel pada permukaan dari adsorbent.

Gaya tarik tersebut disebabkan oleh gugus-gugus hidroksil yang berada di

permukaan pori dari membran zeolit (Arista, 2010).


21

J. Destilasi

Dasar pemurnian dengan destilasi adalah perbedaan titik didih dua cairan

atau lebih. Jika campuran dipanaskan maka komponen yang titik didihnya lebih

rendah akan menguap lebih dulu, dengan mengatur suhunya kita akan

menguapkan dan mengembunkan komponen demi komponen secara bertahap.

Contohnya memisahkan air dan alkohol. Titik didih air dan alkohol masing-

masing 100oC dan 78oC. Jika campuran dipanaskan (dalam labu destilasi) dan

suhu diatur sekitar 78oC, maka alkohol akan menguap sedikit demi sedikit. Uap

itu mengembun dalam pendingin dan akhirnya didapatkan cairan alkohol murni

(Syukri, 1999).

Pada destilasi sederhana, dasar pemisahannya adalah perbedaan titik didih

yang jauh atau dengan salah satu komponen bersifat volatil. Jika campuran

dipanaskan maka komponen yang titik didihnya lebih rendah akan menguap lebih

dulu. Selain perbedaan titik didih, juga perbedaan kevolatilan, yaitu

kecenderungan sebuah substansi untuk menjadi gas. Destilasi ini dilakukan pada

tekanan atmosfer. Aplikasi destilasi sederhana digunakan untuk memisahkan

campuran air dan alkohol (Petrucci, 1996).

Destilasi adalah metode pemisahan zat-zat cair dari campurannya

berdasarkan perbedaan titik didih. Pada proses destilasi sederhana, suatu

campuran dapat dipisahkan bila zat-zat penyusunnya mempunyai perbedaan titik

didih yang cukup tinggi. Pada pemisahan campuran dari dua cairan yang menguap

atau yang titik didihnya berdekatan lebih banyak persoalannya sehingga tidak

dapat dilakukan dengan destilasi biasa. Suatu cara yang sering digunakan untuk
22

memperoleh hasil yang lebih baik disebut destilasi bertingkat, yaitu proses dimana

komponen-komponennya secara bertingkat diuapkan dan diembunkan. Dalam

proses ini campuran dididihkan pada kisaran suhu tertentu pada tekanan uap yang

dilepaskan dari dalam cairan tidak murni yang berasal dari satu komponen tetapi

masih mengandung campuran kedua komponen dengan komposisi yang biasanya

berbeda dengan komposisi cairan yang mendidih. Bila sebagian cairan yang telah

dididihkan uapnya diembunkan, maka campuran akan terbagi menjadi dua bagian.

Bagian pertama terdiri dari uap yang terembun disebut destilat, dan mengandung

lebih banyak komponen yang nudah menguap dibanding cairan aslinya. Bagian

kedua adalah cairan yang tertinggal disebut residu, yang susunannya lebih banyak

komponen yang sukar menguap. Hal ini dapat diulangi lagi beberapa kali sampai

akhirnya diperoleh salah satu komponen murni yang mudah menguap (Andajani,

2003).

Pada pemisahan campuran yang membentuk larutan non ideal dapat

menunjukan prilaku yang lebih rumit. Campuran tersebut tidak dapat dipisahkan

secara menyeluruh kedalam komponen-komponennya, karena bila dididihkan

campuran akan mendidih dengan konstanta campuran semacam ini disebut

azeotrop, yaitu campuran yang mendidih pada suhu konstan dangan komposisi

yang konstan.

Azeotrop adalah campuran dari dua atau lebih komponen yang memiliki

titik didih yang konstan. Azeotrop dapat menjadi gangguan yang menyebabkan

hasil destilasi menjadi tidak maksimal. Komposisi dari azeotrop tetap konstan

dalam pemberian atau penambahan tekanan. Akan tetapi ketika tekanan total
23

berubah, kedua titik didih dan komposisi dari azeotrop berubah. Sebagai

akibatnya, azeotrop bukanlah komponen tetap, yang komposisinya harus selalu

konstan dalam interval suhu dan tekanan, tetapi lebih ke campuran yang

dihasilkan dari saling memengaruhi dalam kekuatan intramolekuler dalam larutan.

Azeotrop dapat didestilasi dengan menggunakan tambahan pelarut tertentu,

misalnya penambahan benzena atau toluena untuk memisahkan air. Air dan

pelarut akan ditangkap oleh penangkap Dean-Stark. Air akan tetap tinggal di dasar

penangkap dan pelarut akan kembali ke campuran dan memisahkan air lagi.

Campuran azeotrop merupakan penyimpangan dari hukum Raoult (Astawa,

2011).
24

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember

tahun 2015 diLaboratorium Pendidikan KimiaJurusan Pendidikan Kimia,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo, Sulawesi

Tenggara. Kemudian analisis sampel menggunakan instrument XRF dilakukan di

PT. Minertec Indonesia.

B. Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ayakan 200 mesh, alat

gelas, tanur, alkohol meter, pipet volume, filler, timbangan analitik, satu set alat

destilasi dan instrument XRF.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu serbuk CaO,

Natrium Alginat 2%, akuades, NaOH 0,75 M, 1 M dan 1,25 M dan etanol 70%

dan 96%.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini diawali dengan pengaktivasian serbuk kalsium oksida (CaO)

dengan aktivator basa dengan variasi konsentrasi 0,75 M, 1 M dan 1,25 M.

Kemudian CaO sebelum dan sesudah aktivasi dianalisis dengan instrumen XRF.

Setelah itu dilanjutkan pembuatan adsorben CaO. Selanjutnya dilakukan proses

adsorpsi dengan metode batch adsorption dan destilasi adsorpsi untuk menguji
25

kualitas adsorben CaO yang telah diaktivasi dengan mengadsorpsi etanol

menggunakan adsorben CaO yang telah diaktivasi dan yang tidak diaktivasi

digunakan sebagai pembanding.

D. Prosedur Penelitian

1. Aktivasi Kimia Serbuk Kalsium Oksida (CaO)

Berikut ini adalah langkah-langkah pengaktivasian serbuk CaO

dengan larutan NaOH, yaitu :

a. Membuat larutan NaOH dengan konsentrasi 0,75M, 1 M dan 1,25 M.

b. Menambahkan larutan NaOH pada serbuk CaO dengan perbandingan 1

: 3 (setiap 1 gram serbuk CaO diaktivasi dengan 3mL larutan NaOH).

c. Dipanaskan selama 2 jam pada suhu 70oC.

d. Menyaring untuk memisahkan antara serbuk CaO dengan larutan

NaOH.

e. Mencuci serbuk CaO dengan akuades beberapa kali (Winata, 2012).

f. Mengeringkan serbuk CaO di dalam oven pada temperatur 110 ºC

selama 3jam.

g. Serbuk CaO dianalisis menggunakan instrument XRF.

2. Pembuatan Adsorben CaO

Berikut ini adalah langkah-langkah pembuatanadsorben CaO, yaitu :

a. Membuat adsorben CaO dengan cara mencampur serbuk CaO dengan

Natrium Alginat 2 % dengan perbandingan 10:7 (CaO 10 gram

dalam 7 mL Natrium Alginat)(Retno et al., 2012).


26

b. Membentuk adonan adsorben CaO dengan menggunakan cetakan

dengan diameter lubang 1 cm kemudian dipotong-potong dengan

panjang 1 cm.

c. Adsorben yang terbentuk kemudian dioven pada suhu 110°C selama 1

jam.

d. Adsorben dikalsinasi selama 2 jam pada suhu 400oC (Retno et al.,

2012).

3. Proses Adsorpsi Etanol

3.1. Metode Batch Adsorption

Berikut ini adalah langkah-langkah pengadsorpsian etanol

menggunakan adsorben CaO yang telah diaktivasi menggunakan metode

perendaman (batch adsorption), yaitu :

a. Adsorben CaO dengan etanol 1:5 dimasukkan ke dalam gelas beker.

b. Direndam adsorben CaO menggunakan etanol yang dilakukan dengan

variasi perendaman selama1,2,4,6 dan 8 jam (Khaidir et al., 2012).

c. Setelah direndam dilakukan penyaringan dan pengukuran menggunakan

alkohol meter.

3.2. Metode Destilasi Adsorpsi

Berikut ini adalah langkah-langkah pengadsorpsian etanol

menggunakan adsorben CaO yang telah diaktivasi menggunakan metode

destilasi adsorpsi, yaitu :

a. Adsorben CaO dimasukan dalam labu alas bulat yang berisi etanol

b. Didestilasi pada suhu 78oC.


27

c. Diambil destilat dan diukur dengan alkohol meter.

Adapun rangkaian alat destilasi adsorpsi yang dilakukan dalam penelitian

ini yaitu :

2
4
7
6
1
5

Gambar 3.1. Rangkaian alat destilasi adsorpsi

Keterangan gambar :
1. Elektromantel
2. Labu alas bulat (wadah sampel etanol dan adsorben CaO)
3. Termometer
4. Kondensor
5. Destilat
6. Air masuk
7. Air keluar
28

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan serangkaian proses penelitian, pengamatan dan analisis hasil

penelitian diketahui bahwa penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan

kemurnian suatu etanol. Etanol yang digunakan sebagai umpan yaitu etanol

dengan kadar 96% dan 70%. Untuk meningkatkan kadar etanol maka pada

penelitian ini digunakan dua tahapan proses. Tahapan pertama adalah

pengaktivasian serbuk Kalsium Oksida (CaO) dengan menggunakan larutan

Natrium Hidorksida (NaOH). Tahapan selanjutnya yaitu penggunaan metode

adsorpsi untuk meningkatkan kadar etanol di mana metode yang digunakan yaitu

metode batch adsorption dan metode destilasi adsorpsi.

Sebelum diaktivasi, serbuk CaO diayak dengan ayakan 200 mesh. Proses

pengayakan bertujuan untuk memperoleh ukuran partikel serbuk CaO yang bisa

terukur ketika dianalisis menggunakan instrumen XRF. Menurut Tchobanoglous

dalam Nurhayati (2010), makin kecil ukuran partikel yang digunakan maka

semakin besar kecepatan adsorpsinya.Hal ini disebabkan karena semakin kecil

ukuran partikel, maka luas permukaannya semakin besar.

Pada penelitian ini digunakan aktivasi dengan larutan basa, karena jika

dilakukan aktivasi asam maka akan terbentuk natrium alginat yang hidrofobik,

sedangkan jika dilakukan aktivasi dengan senyawa basa akan membentuk natrium

alginat yang hidrofilik. Sampel yang telah diayak menggunakan ayakan dengan

ukuran 200 mesh diaktivasi dengan menggunakan NaOH dengan variasi

konsentrasi yaitu 0,75 M, 1 M dan 1,25 M.


29

NaOH digunakan karena sifatnya yang higroskopis sehingga diharapkan

dapat meningkatkan kemampuan Kalsium Oksida (CaO) untuk menyerap air.

Semakin besar nilai konsentrasi aktivator yang digunakan maka semakin luas

spesifik pori-pori adsorben. Akan tetapi apabila aktivator melebihi konsentrasi

nilai optimalnya dapat pula menyebabkan struktur adsorben mengalami perubahan

struktur pori yang mengakibatkan menurunnya daya adsorpsi terhadap air

(Hanifah, 2014). Penggunaan aktivator basa juga dilakukan untuk mencegah ikut

terlarutnya CaO. Menurut Faridahet al (2012), penggunaan aktivator asam seperti

HCl maupun HNO3 akan melarutkan CaO untuk membentuk ion Ca2+ yang

merupakan komponen utama dalam proses adsorpsi air dari etanol. Kemudian,

NaOH sebagai aktivator dapat melarutkan zat-zat pengotor dalam CaO seperti

Alumina (Al2O3) dan silika (SiO2) yang merupakan komponen pengotor dengan

jumlah terbesar dalam serbuk CaO (Faridahet al, 2012). Selain alumina dan

silikat, umumnya terdapat zat pengotor lain seperti Fe2O3 dan K2O dalam jumlah

yang sangat kecil. NaOH yang ditambahkan akan meresap ke dalam adsorben dan

melarutkan permukaan adsorben yang mula-mula tertutup oleh komponen

pengganggu atas zat pengotor sehingga luas permukaan dan pori adsorben yang

aktif bertambah besar (Ketaren, 2008).

Sampel diaktivasi dalam bentuk serbuk yang telah diayak hingga ukuran

200 mesh karena jika dalam bentuk pelet kemungkinan partikel CaO yang berada

pada bagian dalam tidak ikut teraktivasi karena tidak adanya kontak dengan

NaOH. Kemudian pengotor yang berada di bagian dalam, jika larut oleh NaOH

akan merusak struktur pelet adsorben sehingga mengakibatkan keretakan bahkan


30

adsorben yang telah dipelet mengalami kehancuran. Jika diaktivasi dalam bentuk

serbuk maka proses aktivasi akan lebih merata pada tiap-tiap partikel CaO.

Perbandingan CaO saat aktivasi yaitu 1 : 3 (1 gram serbuk CaO dalam 3 mL

larutan NaOH) karena pada perbandingan tersebut seluruh permukaan serbuk CaO

telah tertutupi. Pada proses aktivasi dilakukan pemanasan pada suhu 70oC dengan

waktu aktivasi selama 2 jam. Pemanasan pada suhu 70oC dilakukan untuk

mempercepat reaksi pengaktifan adsorben dengan menjaga struktur adsorben agar

tidak mengalami perubahan struktur pori yang bisa mengurangi daya adsorpsi

terhadap air dalam etanol.

Setelah diaktivasi, serbuk kemudian dicuci dengan akuades hingga bersih,

untuk menghilangkan sejumlah NaOH yang bercampur dengan adsorben setelah

dilakukannya aktivasi kimia, sebab keberadaan NaOH dalam adsorben akan

mengurangi daya adsorpsi CaO terhadap air.Setelah itu dilakukan pemanasan

dengan suhu 110oC selama 3 jam. Pemanasan dilakukan pada suhu 110oC

bertujuan untuk menghilangkan kadar air dan dilakukan selama 3 jam karena

setelah dilakukan selama 1 jam serbuk CaO masih basah dan ketika dilakukan

selama 2 jam serbuk adsorben terlihat kering akan tetapi setelah dilakukan

penimbangan berat adsorben lebih besar dari semula, hal tersebut menandakan

bahwa kadar air masih tinggi. Maka dari itu, dilakukan pemanasan selama 3

jam.Kemudian CaO sebelum dan sesudah aktivasi dianalisis menggunakan

instrumen XRF yang bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen pengotor

yang ada dalam serbuk CaO.Hasil analisa XRF serbuk CaO dapat dilihat pada

Tabel.4.1.
31

Tabel.4.1. Hasil Analisa Serbuk CaO Menggunakan Instrumen XRF


Variasi
Al2O3 CaO Fe2O3 K2O MgO MnO SiO2
Aktivasi
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
NaOH (M)
Tanpa
0.164 54.296 0.29 0.013 6.702 0.007 0.55
aktivasi
0,75 0.163 50.719 0.182 <0.001 5.157 0.004 0.273
1 0.161 54.501 0.185 <0.001 6.219 0.004 0.256
1,25 0.150 54.597 0.181 <0.001 6.264 0.003 0.190

Berdasarkan hasil analisa XRF terhadap serbuk CaO diketahui bahwa

serbuk CaO yang diaktivasi dengan larutan NaOH 1,25 M menunjukkan

penurunan kadar pengotor yang lebih tinggi dibandingkan 0,75 M dan 1 M. Hal

ini dikarenakan semakin banyaknya zat pengotor yang larut pada saat diaktivasi

dengan NaOH 1,25 M utamanya alumina (Al2O3) dan silika (SiO2) yang

mempunyai kelarutan yang lebih tinggi terhadap NaOH.

Alumina akan larut sebagai kompleks Al(OH)4- yang sangat larut ketika

basa NaOH ditambahkan. Semakin banyak basa NaOH yang ditambahkan, maka

akan semakin banyak alumina yang larut dalam adsorben CaO, hal yang sama

juga terjadi pada silika yang juga akan membentuk kompleks silika. Sedangkan

kadar Fe2O3 terlihat memiliki konsentrasi yang relatif tetap baik dengan aktivasi

NaOH 0,75 M, 1 M, dan 1,25 M. Hal ini disebabkan karena Fe2O3 akan tetap

mengendap dalam adsorben. Fe2O3 akan membentuk Fe(OH)3 padat ketika basa

NaOH ditambahkan dalam adsorben yang ingin dimurnikan atau diaktivasi.

Kandungan Magnesium oksida (MgO), karena memiliki sifat yang mirip

dengan CaO, maka pada penambahan Basa NaOH akan menyebabkan MgO

mengikuti kecenderungan CaO baik kelarutan dan pengendapannya, walaupun


32

pada aktivasi 1,25 M masih terdapat kadar MgO yang tinggi , namun karena MgO

memiliki sifat yang hampir sama dengan CaO yaitu bersifat higroskopis maka

akan membantu pada proses adsorpsi. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang

digunakan sebagai aktivator, semakin banyak pula zat pengotor yang akan larut,

tetapi konsentrasi NaOH tersebut tidak boleh terlalu tinggi sebab jika konsentrasi

NaOH melebih konsentrasi zat pengotor yang ada, maka NaOH akan turut

melarutkan CaO yang akan berperan sebagai adsorben.

Setelah proses aktivasi tahap selanjutnya dilakukan pembuatan adsorben

dengan perbandingan 10:7 (10 gram serbuk CaO dan 7 mL natrium alginat).

Natrium alginat digunakan karena alginat dapat menarik air dan juga tidak larut

dalam alkohol sehingga dapat membantu adsorben untuk menarik air. Kemudian

dicetak dengan diameter 1 cm dan tinggi 1 cm dan dipanaskan pada suhu 110oC

selama 1 jam kemudian dikalsinasi selama 2 jam dengan suhu 400oC untuk

menghilangkan sisa-sisa kandungan air dan memperkeras tekstur dari adsorben

yang telah berbentuk pelet serta membuka struktur pori-pori adsorben.

Pada penelitian ini digunakan dua metode adsorpsi yaitu metode batch

adsorption dan destilasi adsorpsi. Metode adsorpsi yang pertama yaitu metode

perendaman dimana konsentrasi etanol yang digunakan yaitu etanol 70%. Adapun

variabel yang diamati yaitu lamanya waktu perendaman.Perbandingan adsorben

yang digunakan pada saat perendaman yaitu 250 mL etanol dimasukan dalam

gelas kimia yang berisi 50 gram adsorben CaO. Kadar etanol yang diperoleh

dengan menngunakan metode Batch Adsorption (metode perendaman) dapat

dilihat pada tabel 4.2.


33

Tabel.4.2. Pengaruh Waktu Perendaman Terhadap Kenaikan Kadar Etanol.


Variasi Lama perendaman (Jam)
Konsentrasi
NaOH (M) 1 2 4 6 8

Tanpa Aktivasi 71 % 72 % 72 % 71% 71%


0,75 71 % 72 % 73 % 71 % 71%
1 72 % 72 % 71 % 71 % 71 %
1,25 70 % 72 % 72 % 71 % 71 %

Berdasarkan Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa kadar etanol yang paling

optimal yaitu 73 % dengan waktu perendaman selama 4 jam dengan konsentrasi

aktivator 0,75 M dengan waktu perendaman selama 4 jam. Hasil penelitian

menunjukan bahwa waktu optimum untuk mengadsorpsi etanol yaitu selama 4

jam. Hal ini menunjukan bahwa lama perendaman berperan dalam meningkatkan

kadar etanol, namun waktu perendaman yang terlalu lama (di atas 4 jam) akan

mengalami penurunan kadar etanol. Penggunaan adsorben CaO dengan metode

batch adsorption tidak efektif untuk proses pemurnian etanol. Fenomena ini

disebabkan karena adsorben CaO ikut menyerap etanol dalam larutan.Hal ini

diakibatkan karena baik molekul air maupun etanol dapat dengan mudah untuk

masuk ke dalam pori-pori CaO tanpa adanya selektifitas molekul-molekul yang

masuk.Peningkatan konsentrasi etanol tidak signifikan disebabkan sudah

jenuhnhya CaO dalam mengadsorpsi larutan etanol. Sementara itu, penurunan

kadar etanol yang terjadi setelah 4 jam menandakan bahwa ikatan molekul-

molekul air pada pori-pori CaO mulai tergeser oleh molekul-molekul etanol

dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Tidak adanya proses pengadukan mungkin

menyebabkan penyerapan adsorben tidak begitu sempurna sehingga diperoleh


34

hasil yang lebih sedikit atau penurunan konsentrasi setelah proses adsorpsi cuma

sedikit (Nur dan Danarto, 2007).

Metode adsorpsi yang kedua yaitu dengan cara destilasi adsorpsi. Destilasi

adsorpsi merupakan metode pemisahan dimana destilasi dan adsorpsi dilakukan

secara bersamaan. Umpan etanol yang digunakan adalah etanol dengan kadar 96%

dan 70% untuk melihat kecenderungan peningkatan kadar alkohol pada masing-

masing alkohol tersebut. Pada penelitian ini adsorben CaO dicampurkan langsung

ke dalam labu alas bulat yang berisi etanol. Hal ini dilakukan karena air akan

terserap ke dalam adsorben dan apabila adsorben menyerap etanol maka etanol

akan tetap menguap sehingga hanya air yang akan diserap oleh adsorben CaO. Di

bawah ini merupakan hasil dari penelitian yang akan disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil aktivasi menggunakan metode destilasi adsorpsi


Variasi Konsentrasi Kadar awal alkohol (%) Kadar akhir alkohol (%)
NaOH (M)
Kontrol 96 96
Tanpa Aktivasi 96 97
0,75 96 98,25
1 96 98,75
1,25 96 99
1,25 70 98

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa peningkatan kadar etanol tertinggi

diperoleh dari hasil aktivasi 1,25 M dengan konsentrasi etanol meningkat dari

96% menjadi 99%. Hal ini disebabkan karena dibandingkan dengan konsentrasi

aktivator yang lain yaitu 0,75 M dan 1 M kandungan pengotor yang berada dalam

adsorben CaO mengalami penurunan yang lebih besar. Adsorben yang diaktivasi

dengan NaOH 1,25 M merupakan variabel dengan tingkat kenaikan kadar etanol

yang lebih tinggi dibandingkan adsorben yang diaktivasi dengan NaOH 0,75 M
35

dan 1 M. Hal ini menunjukkan bahwa adsorben tersebut merupakan adsorben

yang telah kehilangan banyak zat pengotor sekaligus memiliki pori yang lebih

terbuka dibandingkan dengan dua variabel adsorben lainnya.


36

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan serangkaian penelitian serta hasil penelitian yang telah

dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kadar etanol mengalami peningkatan yang

maksimal yaitu dengan proses aktivasi kimia dengan konsentrasi aktivator NaOH

1,25 M dengan kadar awal etanol 96% meningkat menjadi 99%.

B. SARAN

Saran yang diajukan oleh peneliti mengenai keseluruhan proses penelitian

yang telah dilakukan yaitu:

1. Ada penelitian lanjutan yang masih berhubungan dengan penelitian yang

dilakukan oleh peneliti dengan mengambil variable-variabel lain baik itu

metode perlakuan terhadap serbuk CaO maupun metode pengadsorpsian

etanol.

2. Ada implementasi dan aplikasi yang dapat dilakukan dengan mengambil

rujukan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti sehingga penelitian ini

menjadi bermanfaat bagi masyarakat.


37

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, N., Wahyuningrum, L., dan Harjuno W.D. (2011). Rancang Bangun
Teknologi Destilasi Bioetanol untuk Bahan Bakar Terbarukan, Prosiding,
Surakarta, 2011.

Andayani, F. (2015). MSDS Natrium Hidroksida.[Online]. Tersedia:


http://chemfunyani.blogspot.co.id/2015/01/msds-naoh.html, [31 januari
2016]

Apriliani, Ade. (2010). Pemanfaatan Arang Ampas Tebu Sebagai Adsorben Ion
Logam Cd, Cr, Cu dan Pb Dalam Air Limbah.Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Arista, F. (2010). Pembuatan dan Karakterisasi Adsorben dari Lumpur Lapindo


untuk Pemurnian Ethanol.Jurnal Teknik Industri. 2(1) : 9-15.

Astawa, K, Made, S dan Putu, A. N. (2011).Analisa Performansi Destilasi Air


Laut Tenaga Surya Menggunakan Penyerap Radiasi Surya Tipe
Bergelombang Berbahan Dasar Beton.Jurnal Ilmiah Teknik Mesin. 5(1) :
7-13.

Atkins, P.W. (1999). Kimia Fisika 2. Jakarta : Erlangga.

Austin, T. George. (1984). Shreve’s Chemical Process Industries.Fifth Edition.


McGraw-Hill Book Company. New York.

Chang, R, dan Wayne, T. (1998). The Top Fifty Industrial Chemicals Random
House. New York, USA.
Faridah, A.M., Widiastuti, N dan Prasetyoko. (2012). Karakterisasi Abu Dasar
Pltu Paiton: Pengaruh Perlakuan Magnet, HCl, dan Fusi Dengan NaOH.
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012.9-11

Fransisca.(2013). Studi Pemurnian/Pemisahan Sistem Etanol-Air Dalam Sistem


Membrane Osmosis Balik Pada Tekanan Rendah (skripsi). Universitas
Indonesia: Jakarta.

Hanifah, U. (2014). Pemanfaatan Jerami Padi Sebagai Sorben Minyak Mentah


Dalam Aktivasi Kimia. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Jakarta.
38

Hendri, J. (2000). Gabungan Aktivasi Asam Sulfat dan Pemanasan Zeolit


Lampung Terhadap Daya Ion Amonium.Jurnal Sains Teknologi 6.1 Tahun
2000. Jurusan Kimia – FMIPA Universitas Lampung.

Humam.(1996). Kemampuan Adsorpsi Zeolit Lampung yang Diaktifkan dengan


Asam Sulfat dan Pemanasan Terhadap Ion Amonium, Skripsi Sarjana
Kimia P. FMIPA Unila. Bandar Lampung.

Husaini.(1992). Daya Pertukaran Ion Zeolit Polmas Terhadap Ion Logam


Berat.Jurnal PPTM.14.2.15-29.

Ketaren, S. (2008).Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan.Universitas


Indonesia. Jakarta.

Khaidir., Setyaningsih, D., dan Haerudin, H. (2012). Application Of Modified


Zeolites For Bioethanol Dehydration. Jurnal Teknologi Industri Pertanian.
22 (1):66-72.

Kirk, R. E., and R. F. Othmer. (1951). Encyclopedia of Chemical Technology.9,


John Wiley and Sons Ltd, Canada.

Kurikane.(1999). Production of Activate Carbon erived From Loy Yong


Coal.Departmen Of Indurial Chemitry, Chiba Insitute of Tecnologi, 718.1-
6

Kurniasari, L., Djaeni, M., Purbasari, A. (2011). Aktivasi Zeolit Alam


Sebagai Adsorben Pada Alat Pengering Bersuhu
Rendah.Reaktor,13.3.178-184

Langenati, R., Rachmad M. M., dan Deni, M. (2012).Pengaruh Jenis Adsorben


Dan Konsentrasi Uranium Terhadap Pemungutan Uranium Dari Larutan
Uranil Nitrat.Jurnal Teknologi Bahan Nuklir. 8(2) : 34-40.

Linggih, S. R dan Wibowo. (1988). Ringkasan Kimia.Ganeca Exact.Bandung.

Lovermore Lawrence. (2006). Radiation Safety Regulation, APPB Summary Of


Radiation Generating Devices.Radiation Safety Requiments. Purdue
Uneversity.

Mackenzie dan Sharp. 1970. A new Dictionary Of Chemistry Longman. London,


England.
Masrukan dan Rosika. (2008). Perbandingan Hasil Analisis Bahan bakar U-Zr
dengan Menggunakan Teknik XRF dan SSA, Urania [Online]. Tersedia:
http://www.batan.go.id/03_kajian_Masrukan.pdf, [12 April 2015]
39

Masrukan, Anggraini, Dian, dan Rosika. (2007). Studi Komparasi Hasil Analisis
Komposisi Paduan AlMgSil dengan Menggunakan Teknik X-Ray
Fluoresence (XRF) dan Emission Spectroscopy, Urania [Online].
Tersedia: http://www.batan.go.id/Study _Komparasi_XRF_dan_Emisi-
MRK.pdf, [12 April 2015]

McKetta, J. J, dan William, A. C. (1983). Encyclopedia of Chemical Processing


and Design.Marcel Dekker, Inc., New York and Bessel.

McKetta, John J. and William Aaron Cunningham.(1983). Encyclopedia of


Chemical Processing and Design.Marcel Dekker, Inc., New York and
Bessel.

Novitasari, D., Djati, K., dan Tutuk, D.K. (2012).Pemurnian Bioetanol


Menggunakan Proses Adsorpsi Dan Destilasi Adsorpsi Dengan Adsorbent
Zeolit.Jurnal Teknologi Kimia dan Industri,20.20.5

Nur, A dan Danarto.(2007). Adsorpsi Kadmium Dengan Biomassa Bekas


Fermentasi Pabrik Alkohol. Gema Teknik - Nomor 1/Tahun X Januari
2007.puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/gem/article/download/.../17511
[Diakses tanggal 1 Desember 2015]

Nurhayati, H. (2010). Pemanfaatan Bentonit dalam Pengolahan Limbah Cair


Tahu. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Oscik, J. (1982). Adsosption. Ellis Horwood Limited. England.

Petrucci, R. H. (1996). Kimia Dasar. Jilid 1.Erlangga. Surabaya.

Prasetya, A., Denny, W dan Sugiarto. (2014). PengaruhKonsentrasi NaOH


Terhadap Kandungan Gas CO2 Dalam Proses Purifikasi Biogas Sistem
Continue. Universitas Brawijaya. Malang

Rahayu, R.M. (2010). Pembuatan Karbon Aktif Dari Tempurung Kelapa Dengan
Aktivator Asam Fosfat(skripsi). Universitas Diponegoro. Semarang.

Retno, E., Agus., Rizki, B.S., dan Nurul, W. (2012). Pembuatan Ethanol Fuel
Grade Dengan Metode Adsorpsi Menggunakan Adsorbent Granulated
Natural Zeolite Dan CaO. Universitas Sebelas Maret, Simposium Nasional
RAPI XI FT UMS-2K012.45-49

Rhaeny.(2002). Karakteristik Batu Kapur.http://repository.unand.ac.id/2002


1/1/BAB%20I.pdf [Diakses tanggal 1 Desember 2015]

Rini DK, Lingga AF. (2010). Optimasi aktivasi zeolit alam untuk dehumidifikasi
(skripsi). Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
40

Rini, I. (2010). Recovery dan Karakterisasi Kalsium dari Limbah Demineralisasi


Kulit Udang Jerbung (Penaeus merguiensis deman) (skripsi).Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor. Bogor.

Sakhashiri. (2015). Lime: Calcium Oxide-CaO, [Online]. www.scifun.org [27


April 2015].

Saputra, Boby.(2008). Desain Sistem Adsorpsi.Universitas Indonesia. Jakarta.

Sembiring, R.A. (2009). Transesterifikasi Heterogen Minyak Sawit Mentah Dan


Metanol Menggunakan Katalis Padat Kalsium Oksida(skripsi).
Universitas Sumatra Utara. Medan.

Sumantry, Teddy. (2002). Aplikasi XRF Untuk Identifikasi Lempung Pada


Kegiatan Penyimpanan Lestari Limbah Radioaktif, Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VII, [Online]. Tersedia:
http://jurnalp2plr.go.id/Teddy-AplikasiXRF.pdf [12 April 2015]

Wibowo, B.S. (2009). Studi Isoterm Langmuir pada Adsorpsi Ion Logam Cu(II)
oleh zeolit Alam Aktif(skripsi). Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Widjaja, D. N., Aprilianus, Y., dan Yemima, M. S. (2013). Pembuatan Adsorben


Dari Zeolit Alam Malang Untuk Pemurnian Bioetanol Menjadi Fuel
Grade Ethanol (Fge).Universitas Katholik Widya Mandala Surabaya.
Surabaya.

Winata, Chandra. (2012). Pengaruh Penggunaan H2SO4 Dan HCl Pada Aktivasi
Kimia-Fisik Zeolit Clinoptilolite Terhadap Prestasi Mesin Diesel-4
Langkah (skripsi). Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Anda mungkin juga menyukai