Anda di halaman 1dari 4

Insiden Hotel Yamato adalah peristiwa perobekan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru)

menjadi bendera Indonesia (Merah-Putih) di Hotel YamatoSurabaya (sekarang Hotel Majapahit


Surabaya) pada tanggal 18 September 1945 yang didahului oleh gagalnya perundingan
antara Sudirman (residen Surabaya) dan Mr. W.V.Ch Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda.

Daftar isi

[sembunyikan]

 1 Kronologi peristiwa

o 1.1 Gerakan pengibaran bendera Indonesia

o 1.2 Kedatangan tentara Inggris dan Belanda dalam AFNEI

o 1.3 Pengibaran bendera Belanda

o 1.4 Gagalnya perundingan Sudirman dan Ploegman

o 1.5 Perobekan bendera Belanda

 2 Peran peristiwa dalam Perang Kemerdekaan Indonesia

 3 Lihat pula

 4 Pranala luar
Kronologi peristiwa[sunting | sunting sumber]
Gerakan pengibaran bendera Indonesia[sunting | sunting sumber]

Pengibaran bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di hotel Yamato

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan dikeluarkannya maklumat


pemerintahan Soekarno tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1
September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia,
gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya.
Di berbagai tempat strategis dan tempat-tempat lainnya bendera Indonesia dikibarkan. Antara lain di
teras atas Gedung Kantor Karesidenan (kantorSyucokan, gedung Gubernuran sekarang, Jalan
Pahlawan) yang terletak di muka gedung Kempeitai (sekarang Tugu Pahlawan), di atas Gedung
Internatio, disusul barisan pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera Indonesia
datang ke Tambaksari (lapangan Stadion Gelora 10 November) untuk menghadiri rapat raksasa yang
diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya.

Saat rapat tersebut lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera merah putih disertai pekik 'Merdeka'
yang diteriakkan massa. Pihak Kempeitai telah melarang diadakannya rapat tersebut tidak dapat
menghentikan dan membubarkan massa rakyat Surabaya tersebut. Klimaks gerakan pengibaran bendera
di Surabaya kemudian terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel
Yamato atau Oranje Hotel (sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.

Kedatangan tentara Inggris dan Belanda dalam AFNEI[sunting | sunting


sumber]
Awalnya Jepang dan Indo-Belanda yang sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite
Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori
oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan
kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka
duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir
Sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) bersama-sama dengan
rombongan Intercross dari Jakarta.

Rombongan Sekutu tersebut oleh administrasi Jepang di Surabaya ditempatkan di Hotel Yamato, Jl
Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross di Gedung Setan, Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa
seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan sejak itu Hotel Yamato dijadikan
markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees: Bantuan Rehabilitasi untuk
Tawanan Perang dan Interniran).

Pengibaran bendera Belanda[sunting | sunting sumber]


Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 19
September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa
persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah
utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka
menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali
di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di
Surabaya.

Kabar tersebut tersebar cepat di seluruh kota Surabaya, dan Jl. Tunjungan dalam tempo singkat dibanjiri
oleh massa yang marah. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung
yang berdampingan penuh massa yang diwarnai amarah. Di sisi agak belakang halaman hotel, beberapa
tentara Jepang berjaga-jaga untuk mengendalikan situasi tak stabil tersebut.

Gagalnya perundingan Sudirman dan Ploegman[sunting | sunting sumber]


Tak lama setelah mengumpulnya massa tersebut, Residen Sudirman, pejuang dan diplomat yang saat itu
menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon
Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan
massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding
dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari
gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda
dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman
mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh
Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol
Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato.

Perobekan bendera Belanda[sunting | sunting sumber]

Hotel Majapahit Surabaya yang kini dikelola oleh Mandarin Oriental.

Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui berantakannya perundingan tersebut langsung mendobrak
masuk ke Hotel Yamato dan terjadilah perkelahian di lobi hotel. Sebagian pemuda berebut naik ke atas
hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam
hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan
bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Peristiwa ini
disambut oleh massa di bawah hotel dengan pekik 'Merdeka' berulang kali.

Peran peristiwa dalam Perang Kemerdekaan Indonesia[sunting | sunting


sumber]

Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran
pertama antara Indonesia melawan tentara AFNEI. Serangan-serangan kecil itu ternyata dikemudian hari
berubah menjadi serangan umum yang memakan banyak korban baik di militer Indonesia dan Inggris
maupun sipil di pihak Indonesia. Akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan
Presiden Sukarno untuk meredakan situasi dan mengadakan gencatan senjata. Gencatan senjata
tersebut gagal dan ditambah dengan matinya Brigadir Jenderal Mallaby, berakibat pada
dikeluarkannya ultimatum 10 November oleh pihak Inggris dan terjadinya Pertempuran 10
November yang terbesar dan terberat dalam sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia dan ditetapkan
menjadi Hari Pahlawan.
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa
mulai 1 September 1945 bendera nasionalSang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah
Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya.
Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato
Hoteru / Hotel Yamato (bernamaOranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang
bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.

Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18
September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkanbendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa
persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah
utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka
menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali
di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di
Surabaya.

Pengibaran bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di hotel Yamato

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang
dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui
pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI,
datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai
perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera
Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk
menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan
berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang
perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri
ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang
bendera dan bersamaKoesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya,
dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.

Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran
pertama antara Indonesia melawan tentara AFNEI. Serangan-serangan kecil itu ternyata dikemudian hari
berubah menjadi serangan umum yang memakan banyak korban baik di militer Indonesia dan Inggris
maupun sipil di pihak Indonesia. Akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan
Presiden Sukarno untuk meredakan situasi dan mengadakan gencatan senjata. Gencatan senjata
tersebut gagal dan ditambah dengan matinya Brigadir Jenderal Mallaby, berakibat pada
dikeluarkannya ultimatum 10 November oleh pihak Inggris dan terjadinya Pertempuran 10
November yang terbesar dan terberat dalam sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia dan ditetapkan
menjadi Hari Pahlawan.

Anda mungkin juga menyukai