Anda di halaman 1dari 2

KISAH TELADAN NABI MUHAMMAD SAW

YANG MEMILIKI SIFAT AL-ADL

Rasulullah s.a.w. tidak pilih kasih dalam menerapkan keadilan dan


perlakuan adil.

Bangsa Arab sangat suka


mengagumi pribadi-pribadi tertentu
dan menerapkan berbagai patokan
kepada berbagai orang. Bahkan di
antara bangsa-bangsa yang disebut
beradab dewasa ini kita
menyaksikan adanya keengganan
mengadakan tuntutan terhadap
orang-orang terkemuka atau yang
mempunyai kedudukan atau
jabatan yang tinggi atas perbuatan mereka, walaupun hukum diberlakukan
secara ketat terhadap warga negara biasa. Tetapi, Rasulullah s.a.w. adalah
mandiri dalam menerapkan keadilan dan perlakuan adil. Sekali peristiwa,
suatu perkara dihadapkan kepada beliau tatkala seorang bangsawati terbukti
telah melakukan pencurian. Hal itu menggemparkan, karena jika hukuman
yang berlaku dikenakan terhadap wanita muda usia itu, martabat suatu
keluarga yang sangat terhormat akan jatuh dan terhina.

Banyak yang ingin mendesak Rasulullah s.a.w., demi kepentingan orang yang
berdosa itu, tetapi tidak mempunyai keberanian. Maka Usama diserahi tugas
melaksanakan itu. Usama menghadap Rasulullah s.a.w. tetapi seketika beliau
mengerti maksud tugasnya itu, beliau sangat marah dan bersabda, “Kamu
sebaiknya menolak. Bangsa-bangsa telah celaka karena mengistimewakan
orang-orang kelas tinggi tapi berlaku kejam terhadap rakyat jelata. Islam tidak
mengizinkan dan aku pun sekali-kali tidak akan mengizinkan. Sesungguhnya,
jika Fatimah, anakku sendiri, melakukan kejahatan, aku tidak akan. segan-
segan menjatuhkan hukuman yang adil” (Bukhari, Kitab al-Hudud).

Telah diriwayatkan bahwa ketika paman Rasulullah s.a.w., Abbas, menjadi


tawanan Perang Badar, ia diikat erat-erat seperti tawanan-tawanan lainnya
dengan tali untuk mencegah usaha melarikan diri. Tali itu begitu eratnya
sehingga ia mengerang-erang kesakitan sepanjang malam. Rasulullah s.a.w.
mendengar erangan itu dan karenanya beliau tidak dapat tidur. Para Sahabat
mengetahui hal itu dan melonggarkan ikatan Abbas. Ketika Rasulullah s.a.w.
mengetahuinya, beliau memerintahkan supaya semua tawanan diperlakukan
sama seperti paman beliau dengan mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk
menunjukkan keistimewaan kepada keluarga beliau sendiri. Beliau menuntut
mereka supaya melonggarkan ikatan semua tawanan atau kebalikannya
memperkuat lagi ikatan Abbas seperti tawanan-tawanan lain. Karena para
Sahabat tidak menghendaki beliau gundah hanya karena paman beliau,
mereka memutuskan untuk menjaga tawanan-tawanan itu lebih keras lagi
dan melonggarkan ikatan semua tawanan (Zurqani, Jilid 3, hlm. 279).
Bahkan dalam keadaan bahaya perang pun beliau sangat cermat dalam
melaksanakan peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan yang baku.
Sekali peristiwa beliau mengirim serombongan sahabat-sahabat pada sebuah
ekspedisi penyelidikan. Mereka bertemu dengan beberapa orang musuh pada
hari akhir bulan suci Rajab. Berpikir bahwa akan sangat berbahaya
melepaskan mereka itu sehingga akan membawa berita ke Mekkah tentang
rombongan penyelidik yang begitu dekat, musuh itu disergap oleh mereka dan
dalam perkelahian itu, seorang di antaranya terbunuh. Setelah rombongan
penyelidik itu kembali ke Medinah, kaum Mekkah mengajukan protes bahwa
penyelidik-penyelidik Muslim telah membunuh salah seorang dari orang-orang
mereka. Orang-orang Mekkah sendiri sering melanggar Bulan Suci dalam
menghadapi orang-orang Muslim, bila hal itu dipandang baik oleh mereka, dan
sebenarnya telah menjadi jawaban yang layak terhadap tuduhan mereka itu
untuk mengatakan bahwa karena kaum Mekkah sendiri telah melanggar
perjanjian tentang Bulan Suci, maka mereka itu tidak berhak menuntut
supaya dipatuhi oleh kaum Muslimin. Tetapi, Rasulullah s.a.w. tidak
memberikan jawaban demikian. Beliau sangat menyesali anggotaanggota
rombongan itu, menolak menerima harta rampasan perang, dan menurut
beberapa riwayat malah membayar uang darah untuk orang yang terbunuh
itu, sehingga ayat 2:218 menjernihkan seluruh keadaan (Tabari dan Halbiyya).

Orang-orang pada umumnya berhati-hati supaya jangan menyakiti perasaan


sahabat-sahabat mereka dan sanak-saudara mereka, tetapi Rasulullah s.a.w.
sangat memperhatikan asas itu, malah terhadap orang-orang yang memusuhi
beliau sekalipun. Sekali peristiwa seorang Yahudi datang kepada beliau dan
menerangkan bahwa Abu Bakar telah melukai perasaannya dengan
mengatakan bahwa Tuhan telah memberi kedudukan kepada Nabi
Muhammad s.a.w. lebih tinggi di atas Nabi Musa a.s.. Rasulullah s.a.w.
memanggil Abu Bakar dan menanyakan kepadanya, apa yang telah
dikatakannya. Abu Bakar menerangkan bahwa orang Yahudi itu mulai lebih
dahulu menyatakan bahwa ia bersumpah dengan nama Musa a.s. yang
menurut kata orang itu, Tuhan telah memuliakannya di atas seluruh umat
manusia dan bahwa Abu Bakar menyambutnya dengan bersumpah atas nama
Muhammad s.a.w., yang Tuhan telah mengangkatnya di atas Nabi Musa a.s..

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Anda seharusnya tidak mengatakan itu, karena


perasaan orang-orang lain harus diperhatikan juga. Siapa pun tidak boleh
mengangkatku di atas Nabi Musa a.s.” (Bukhari, Kitab al-Tauhid).

Hal itu tidak berarti bahwa Rasulullah s.a.w. menurut kenyataannya tidak
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Nabi Musa a.s., tetapi
menyatakan hal itu kepada orang Yahudi dapat dengan mudah menyakiti
perasaannya dan hal itu harus dihindarkan.

Anda mungkin juga menyukai