Anda di halaman 1dari 141

Perforasi

Perforasi membran timpani


Definisi
Perforasi atau hilangnya sebagian jaringan dari membran timpani yang menyebabkan hilangnya
sebagian atau seluruh fungsi dari membrane
membrane timpani. Membran timpani adalah organ pada telinga
telinga
yang berbentuk seperti diafragma, tembus pandang dan fleksibel sesuai dengan fungsinya yang
menghantarkan energy berupa suara dan dihantarkan melalui saraf pendengaran berupa getaran
dan impuls-impuls ke otak. Perforasi dapat disebabkan oleh berbagai kejadian, seperti infeksi,
trauma fisik atau pengobatan sebelumnya yang diberikan.

Gejala Klinis
Beberapa gejala klinis yang timbul pada perforasi membran timpani adalah

 Penurunan pendengaran
 Sensasi mendengar suara siulan saat meniup telinga atau bersin
 Cairan yang keluar dari telinga
telinga dapat terus menerus
menerus
 Tanda-tanda infeksi telinga tengah (demam, nyeri, telinga berdenging)
 Hilangnya fungsi pendengaran (test pendengaran), hal ini menentukan apakah penderita
membutuhkan alat bantuan pendengaran atau tidak.
 Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan biasanya adalah, Otoskopi, timpanometri, Test
pendengaran (swabach, webber, dan rinne)

Tatalaksana
Terapi pengobatan pada perforasi membrane timpani ditujukan untuk m engendalikan infeksi pada
telinga tengah. Mengingat juga penyebab dari perforasi yang disebabkan pengobatan sebelumnya.
Penggunaan anti bacterial sebaiknya digunakan jika hasil kultur dan resistensi sudah didapatkan.
Beberapa pengobatan invasive adalah, kauterisasi pada ujung membrane timpani. P enyumbatan
pada lubang baik dengan lemak
l emak atau bahan sintetis yang tidak menimbulkan reaksi tubuh penerima
(timpanoplasty). Pengobatan yang terakhir ini memiliki tingkat keberhasilan 80 hingga 90 %
tergantung dari besarnya perforasi maupun komplikasi yang timbul.

Epidemiologi
Insidensi di populasi belum diketahui, tetapi biasanya terdapat pada Negara-negara berkembang
atau Negara tertinggal, hal ini disebabkan oleh kurangnya faktor gizi, dan tingkat pelayanan
kesehatan dari Negara tersebut.

Etiologi
Penyebab tersering dari perforasi membrane timpani adalah i nfeksi sebelumnya. Infeksi akut pada
telinga tengah seringkali menyebabkan terjadinya kurangnya suplai darah ke membrane timpani
yang seringkali berjalan dengan peningkatan tekanan
tekanan pada telinga dalam, hal ini mengakibatkan
robeknya atau hilangnya jaringan membrane timpani, yang biasanya diikuti dengan rasa nyeri. Jika
robeknya membrane timpani tidak menyembuh maka akan terjadi hubungan antara telinga tengah
dan telinga luar, yang seringkali menyebabkan infeksi yang berulang dan resistensi terhadap
antibiotic yang digunakan berulang kali. Komplikasi yang paling ditakutkan adalah jika infekti telah
menyebar kedalam kepala sehingga
sehingga menimbulkan infeksi di kepala. Penyebab lain dari perforasi
adalah trauma fisik dari telinga, yang tersering adalah pukulan yang keras kearah telinga dalam,
tenaga yang timbul dapat memecahkan atau merobek membran timpani. Beberapa trauma yang lain
adalah, perubahan tekanan pada telinga yang berubah secara mendadak, pada contohnya sering
pada penyelam, yang didahului dengan gangguan pada saluran telinga dan mulut, peradangan
ataupun infeksi.

http://www.klikdokter.com/medisaz/read/2010/07/05/67/perforasi-membran-timfani

Perforasi Gendang Telinga

DEFINISI
Perforasi Gendang Telinga ( Eardrum Perforation)
Perforation) adalah suatu keadaan dimana ditemukan
lubang pada gendang telinga. Gendang telinga ( membran timpani)
timpani) merupakan pemisah antara
telinga luar dan telinga tengah. Jika gelombang suara menyentuhnya maka gendang telinga
akan bergetar dan hal ini merupakan awal dari proses perubahan gelombang suara menjadi
impuls saraf yang akan menuju ke otak.

Jika terjadi kerusakan pada gendang telinga maka proses pendengaranpun akan terganggu.
Gendang telinga juga bertindak sebagai penghalang masuknya bahan-bahan dari luar telinga
(misalnya bakteri). Jika terjadi perforasi gendang telinga, maka bakteri dengan mudah akan
masuk ke dalam telinga dan menyebabkan terjadinya infeksi.
menyebar kedalam kepala sehingga
sehingga menimbulkan infeksi di kepala. Penyebab lain dari perforasi
adalah trauma fisik dari telinga, yang tersering adalah pukulan yang keras kearah telinga dalam,
tenaga yang timbul dapat memecahkan atau merobek membran timpani. Beberapa trauma yang lain
adalah, perubahan tekanan pada telinga yang berubah secara mendadak, pada contohnya sering
pada penyelam, yang didahului dengan gangguan pada saluran telinga dan mulut, peradangan
ataupun infeksi.

http://www.klikdokter.com/medisaz/read/2010/07/05/67/perforasi-membran-timfani

Perforasi Gendang Telinga

DEFINISI
Perforasi Gendang Telinga ( Eardrum Perforation)
Perforation) adalah suatu keadaan dimana ditemukan
lubang pada gendang telinga. Gendang telinga ( membran timpani)
timpani) merupakan pemisah antara
telinga luar dan telinga tengah. Jika gelombang suara menyentuhnya maka gendang telinga
akan bergetar dan hal ini merupakan awal dari proses perubahan gelombang suara menjadi
impuls saraf yang akan menuju ke otak.

Jika terjadi kerusakan pada gendang telinga maka proses pendengaranpun akan terganggu.
Gendang telinga juga bertindak sebagai penghalang masuknya bahan-bahan dari luar telinga
(misalnya bakteri). Jika terjadi perforasi gendang telinga, maka bakteri dengan mudah akan
masuk ke dalam telinga dan menyebabkan terjadinya infeksi.
PENYEBAB
Lubang pada gendang telinga bisa terjadi jika suatu benda dimasukkan ke dalam telinga
(misalnya cotton-bud ) atau jika suatu benda secara tidak sengaja masuk ke dalam telinga
(misalnya ranting pohon yang terlalu rendah).
r endah). Terjadinya lubang pada gendang telinga juga
 bisa disebabkan oleh peningkatan tekanan yang
yang terjadi secara tiba-tiba (misalnya
(misaln ya akibat
ledakan, tamparan atau menyelam) atau oleh penurunan tekanan yang juga terjadi secar a tiba-
tiba.

Infeksi telinga juga bisa menyebabkan perforasi gendang telinga karena terjadi peningkatan
tekanan cairan di dalam
dal am telinga tengah sehingga mendorong gendang telinga dan akhirn ya
terbentuklah lubang pada gendang telinga.

GEJALA
Perforasi gendang telinga menyebabkan nyeri hebat yang timbul secara tiba-tiba, diikuti oleh
 perdarahan dari telinga, hilangnya pendengaran dan tinitus (telinga berdenging). Kehilangan
 pendengaran akan lebih buruk jika disertai
disertai oleh gangguan pdada rantai tulang pendengaran
atau cedera pada telinga bagian dalam. Cedera pa da telinga bagian dalam juga bisa
menyebabkan vertigo (perasaan berputar).

Dalam waktu 24-48 jam bisa keluar nanah dari telinga, terutama ji ka telinga kemasukan air.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Dengan menggunakan
otoskop,
otoskop, dokter bisa melihat adanya lubang pada gendang telinga.

PENGOBATAN
Untuk mencegah terjadinya infeksi, biasanya diberikan antibiotik  per-oral (melalui
 per-oral (melalui mulut).
Penderita harus menjaga agar telinganya tetap kering. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan obat
tetes telinga yang mengandung antibiotik. Biasanya tanpa pengobatan lebih lanjut, gendang
telinga akan membaik. Tetapi jika dalam waktu 2 bulan tidak terjadi perbaikan, maka per lu
dilakukan pembedahan untuk memperbaiki gendang telinga ( timpanoplasti).
timpanoplasti).
Jika hilangnya pendengaran bersifat menetap, diduga telah terjadi gangguan pada tulang
 pendengaran dan harus diperbaiki melalui pembedahan.

PENCEGAHAN
Berhati-hatilah ketika sedang membersihkan telinga dengan menggunakan cotton bud. Jika
telinga kemasukan sesuatu, mintalah bantuan dokter umum/dokter ahli untuk 
mengeluarkannya. Obatilah infeksi telinga secara tuntas.

http://sehat-enak.blogspot.com/2010/01/perforasi-gendang-telinga.html

Pendahuluan
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan
keseimbangan), anatominya juga sangat rumit . Indera pendengaran berperan penting pada
 partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk 
 perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.
Deteksi awal dan diagnosis akurat gangguan otologik sangat penting. Di antara mereka yang
dapat membantu diagnosis dan atau menangani kelainan otologik adalah ahli otolaringologi,
 pediatrisian, internis, perawat, ahli audiologi, ahli patologi wicara dan pendidik. Perawat
yang terlibat dalam spesialisasi otolaringologi, saat ini dapat memperoleh sertifikat di bidang
keperawatan otorinolaringologi leher dan kepala (CORLN= cerificate in otorhinolaringology-
head and neck nursing).
Perforasi membran timpani permanen adalah suatu lubang pada membran timpani yang tidak 
dapat menutup secara spontan dalam waktu 3 bulan setelah perforasi. Upaya penutupan
 perforasi membran timpani permanen secara konservatif masih diperlukan oleh karena terapi
secara operatif memerlukan peralatan yang tidak selalu tersedia di rumah sakit kabupaten
atau kota dan memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Ada 3 tipe perforasi membran timpani berdasarkan letaknya, yaitu : 1)Perforasi sentral (sub
total). Letak perforasi di sentral dan pars tensa membran timpani. Seluruh tepi perforasi
masih mengandung sisa membran timpani. 2)Perforasi marginal. Sebagian tepi perforasi
langsung berhubungan dengan anulus atau sulkus timpanikum. 3)Perforasi ati k. Letak 
 perforasi di pars flaksida membran timpani. Sekret yang keluar dari telinga tengah ke telinga
luar dapat berlangsung terus-menerus atau hilang timbul. Konsistensinya bisa encer atau
kental. Warnanya bisa kuning atau berupa nanah.
Gendang telinga/membran timpani/tympanic membrane/eardrum adalah suatu
membran/selaput yang terletak antara telinga luar dan telinga tengah. Fungsi membran ini
sangat vital dalam proses mendengar. Bila terjadi kerusakan pada membran ini dapat
dipastikan bahwa fungsi pendengaran seseorang ter ganggu. Robeknya membran ini
merupakan salah satu kerusakan yang sering dialami baik pada anak-anak maupun dewasa.
Penyebab robeknya membran ini antara lain disebabkan oleh infeksi telinga tengah(otitis),
trauma baik secara langsung maupun tidak langsung misalnya tertusuk alat pembersih
kuping, suara ledakan yang berada didekat sekali dengan telinga kita, menyelam dengan
kedalaman yang dianggap tidak aman, trauma kepala akibat kecelakaan kendaraan bermotor 
dsb. Umumnya tanda dan gejala robeknya gendang telinga antara lain nyeri telinga yang
hebat disertai keluar darah dari telinga (yang disebabkan trauma) sedangkan yang disebabkan
infeksi umumnya terdapat demam yang tak turun-turun, nyeri telinga (otalgia), gelisah dan
tiba-tiba keluar cairan/nanah dengan atau tanpa darah. Untuk memahami hal i ni lebih lanjut,
 penting rasanya untuk memahami anatomi dan fisiologi telinga terlebih dahulu secara umum.
Anatomi dan Fisiologi Telinga
Anatomi Telinga Luar 
Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis a uditorius eksternus,
dipisahkan dari telinga tengan oleh struktur seperti cakram yang dinamakan membrana
timpani (gendang telinga). Telinga terletak pada kedua sisi kepala kurang lebih setinggi mata.
Aurikulus melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago, kecuali
lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu pengumpulan
gelombang suara dan perjalanannya sepanjang kanalis auditorius eksternus. Tepat di depan
meatus auditorius eksternus adalah sendi temporal mandibular. Kaput mandibula dapat
dirasakan dengan meletakkan ujung jari di meatus auditorius eksternus ketika membuka dan
menutup mulut. Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga
lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terl ekat. Dua pertiga
medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis . Kanalis auditorius eksternus berakhir 
 pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula
seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen. Mekanisme
 pembersihan diri telinga mendorong sel kulit tua dan serumen ke bagian luar tetinga.
Serumen nampaknya mempunyai sifat antibakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit.
Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah tersusun atas membran timpani (gendang telinga) di sebela h lateral dan kapsul
otik di sebelah medial celah telinga tengah terletak di antara kedua Membrana timpani
terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus dan menandai batas lateral telinga, Membran
ini sekitar 1 cm dan selaput tipis normalnya berwarna kelabu mutiara dan translulen.Telinga
tengah merupakan rongga berisi udara merupakan rumah bagi osikuli (tulang telinga tengah)
dihubungkan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan dengan beberapa sel berisi
udara di bagian mastoid tulang temporal.
Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus, inkus stapes. Osikuli
dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan ligamen, yang membantu hantaran
suara. Ada dua jendela kecil (jendela oval dan dinding medial telinga tengah, yang
memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki menjejak pada jendela
oval, di mana suara dihantar telinga tengah. Jendela bulat memberikan jalan ke getaran suara.
Jendela bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki s tapes ditahan oleh yang
agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. anulus jendela bulat maupun jendela oval mudah
mengalami robekan. Bila ini terjadi, cairan dari da lam dapat mengalami kebocoran ke telinga
tengah kondisi ini dinamakan fistula perilimfe.
Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1mm panjangnya sekitar 35 mm, menghubngkan
telingah ke nasofaring. Normalnya, tuba eustachii tertutup, namun dapat terbuka akibat
kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver Valsalva atau menguap atau menelan.
Tuba berfungsi sebagai drainase untuk sekresi dan menyeimbangkan tekanan dalam telinga
tengah dengan tekanan atmosfer.
Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk pendengaran
(koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII (nervus fasialis)
dan VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari komplek anatomi.
Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun tulang labirint. Ketiga kanalis semisi
 posterior, superior dan lateral erletak membentuk sudut 90 derajat satu sama lain dan
mengandung organ yang berhubungan dengan keseimbangan. Organ ahir reseptor ini
distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan seseorang.
Koklea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua setengah
lingkaran spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan organ Corti. Di
dalam lulang labirin, namun tidak sem-purna mengisinya,Labirin membranosa terendam
dalam cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan langsung dengan cairan
serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus koklearis. Labirin membranosa tersusun atas
utrikulus, akulus, dan kanalis semisirkularis, duktus koklearis, dan organan Corti. Labirin
membranosa memegang cairan yang dina¬makan endolimfe. Terdapat keseimbangan yang
sangat tepat antara perilimfe dan endolimfe dalam telinga dalam; banyak kelainan telinga
dalam terjadi bila keseimbangan ini terganggu. Percepatan angular menyebabkan gerakan
dalam cairan telinga dalam di dalam kanalis dan merang-sang sel-sel rambut labirin
membranosa. Akibatnya terja¬di aktivitas elektris yang berjalan sepanjang cabang vesti-bular 
nervus kranialis VIII ke otak. Perubahan posisi kepala dan percepatan l inear merangsang sel-
sel rambut utrikulus. Ini juga mengakibatkan aktivitas elektris yang akan dihantarkan ke otak 
oleh nervus kranialis VIII. Di dalam kanalis auditorius internus, nervus koklearis (akus-dk),
yang muncul dari koklea, bergabung dengan nervus vestibularis, yang muncul dari kanalis
semisirkularis, utrikulus, dan sakulus, menjadi nervus koklearis (nervus kranialis VIII). Yang
 bergabung dengan nervus ini di dalam kanalis auditorius internus adalah nervus fasialis
(nervus kranialis VII). Kanalis auditorius internus mem -bawa nervus tersebut dan asupan
darah ke batang otak.
Membran timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan
 puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membrana timpani umumnya bulat. Penting untuk 
disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung
korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas membran timpani, dan bahwa ada
 bagian hipotimpanum yang meluas melampaui batas bawah membrana timpani. Membrana
timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, la pisan fibrosa di bagian tengah
dimana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa dibagian dalam. Lapisan fibrosa tidak 
terdapat di bagian atas prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membrana
timpani yang disebut membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid).
Gendang telinga atau membrana tympani adalah selaput atau membran tipis yang
memisahkan telinga luar dan telinga dalam. Ia berfungsi untuk menghantar getaran suara dari
udara menuju tulang pendengaran di dalam telinga tengah.
Gendang telinga secara anatomi dibagi 2 yaitu pars tensa (te gang) dan pars flaksida,
1. Pars tensa, sebagain besar gendang telinga merupakan pars tensa, t erdiri dari 3 lapis,
 bagian luar lanjutan kulit liang telinga, di tengah jaringan ikat, dan bagian dalam yang
mengarah ke telinga tengah, merupakan lanjutan mukosa telinga tengah.
2. Pars flaksida, bagian atas gendang telinga (daerah atiq), hanya terdiri dari dua lapis tanpa
 jaringa ikat di bagian tengah.
Kerusakan gendang telinga berupa bolong/pecah (perforasi) terutama disebabkan infeksi
telinga tengah (Otitis Media), namun dapat juga karean trauma. Kerusakan pada gendang
telinga dapat menyebabkan tuli yang konduktif. Tuli konduktif adalah hilangnya pendengaran
karena tidak dapat tersampaikannya getaran suara. J enis tuli lainnya yaitu tuli sensorik yang
disebabkan rusaknya sistem saraf pendengaran.
Gendang telinga / membran timpani /tympanic membrane / eardrum adalah suatu
membran/selaput yang terletak antara telinga luar dan telinga tengah. Fungsi membran ini
sangat vital dalam proses mendengar. Bila terjadi kerusakan pada membran ini dapat
dipastikan bahwa fungsi pendengaran seseorang ter ganggu. Robeknya membran ini
merupakan salah satu kerusakan yang sering dialami baik pada anak-anak maupun dewasa.
Penyebab robeknya membran ini antara lain disebabkan oleh infeksi telinga tengah(otitis),
trauma baik secara langsung maupun tidak langsung misalnya tertusuk alat pembersih
kuping, suara ledakan yang berada didekat sekali dengan telinga kita, menyelam dengan
kedalaman yang dianggap tidak aman, trauma kepala akibat kecelakaan kendaraan bermotor 
dsb. Umumnya tanda dan gejala robeknya gendang telinga antara lain nyeri telinga yang
hebat disertai keluar darah dari telinga (yang disebabkan trauma) sedangkan yang disebabkan
infeksi umumnya terdapat demam yang tak turun-turun, nyeri telinga (otalgia), gelisah dan
tiba-tiba keluar cairan/nanah dengan atau tanpa darah.
Umumnya dokter THT akan menangani keadaan akut ini dahulu dengan meredakan gejala
dan sumber penyebabnya sambil dievaluasi kondisi membran/gendang telinganya. Bila gejala
dan sumber penyebabnya telah tertangani dan dalam penilaian selama 1 bulan gendang
telinga ini tidak menutup spontan, biasanya akan disarankan penutupan gendang telinga ini
melalui prosedur pembedahan/operasi (tentu setelah dievaluasi manfaat penutupan membran
ini diharapkan dapat mengembalikan fungsi pendengaran, mencegah baha ya infeksi berulang
 pada telinga tengah)
Epidemiologi

Membran timpani lebih sering mengalami trauma dibandingkan dengan telinga tengah atau
telinga dalam. Tetapi biasanya dalam derajat keseriusan yang rendah. Insidensi pertahun dari
 perforasi traumatik bervariasi antara 1,4-8,6 per 100,0000. Hal ini timbul pada semua
kelopok umur dengan predisposisi pada anak yang lebih s ering dibandingkan dengan
kebiasaan memasukkan benda asing ke dalam kanalis aurikula eksternal. Laki-laki dewasa
muda lebih sering mengalami cedera perforasi. Hal ini dikarenakan meningkatnya kekerasan
domestik, wanita yang secara meningkat menjadi korban dari tamparan tangan terbuka
dengan perforasi TM setelahnya.
Ketergantungan terhadap trasportasi telah secara besar meningkatkan resiko dari cedera
kepala. Telah dijumlahkan sekitar 30-75% dari cedera kepala tumpul dikaitkan dengan lesi
tulang temporal. Luka tembak berada dalam sumber yang meningkat dari trauma tulang
temporal. Peningkatan mortalitas lebih sering terlihat dalam kelompok ini dikarenakan
tingginya keterkaitan dengan trauma intrakranial. Peraturan pemerintah yang baru dalam
 penggunaan keamanan dan tempat duduk anak-anak untuk MVAs dan proteksi kepala untuk 
kendaraan sangat menguntungkan sebagai bentuk dari pencegahan sekunder. Ketergantungan
 pada transportasi kendaraan bermotor telah menambah peningkatan resiko akan terjadinya
cedera kepala.
Etiology

Perforasi TM timbul oleh mekanisme yang bervariasi dan sumber energi, dan untuk itu dapat
menjadi berbagai bentuk dan ukuran. Mereka dijelaskan dalam kaitannya dengan empat
kuadran TM yang dibedakan dari tangan malleus. Ukuran secara normal dijelaskan sebag ai
 persentase perforasi (40% perforasi) atau secara langsung untuk perforasi yang kecil (contoh,
2, 3, atau 4 mm perforasi). Klasifikasi lebih jauh dari perforasi marginal versus sentral adalah
 penting untuk management selanjutnya.
Cedera Kompressi:
Perubahan mendadak dalam tekanan udara sebagaimana dengan perubahan gradual
(barotrauma) dapat menimbulkan kerusakan TM yang signifikan. Cedera akibat ledakan lebih
 berat ketika refleksi sedikit atau kerusakan dari gelombang energi ledakan pada rute TM.
Kecelakaan ski air seringkali terlihat selama musim panas. Perubahan pada tekanan air 
selama penyelaman dapat menimbulkan cedera tipe tekanan.
Cedera Tembus:
Penyebab sering kedua dari perforasi TM termasuk Q-tips, bobby pins, kunci, dan klip kertas
yang seringkali digunakan untuk membersihkan saluran telinga l uar 
Cedera Suhu:
Pada komunitas industri, In industrial communities such as ours, hot welding slag is
occasionally encountered as the culprit for TM injuries. Dikarenakan kerusakan jaringan dan
dikaitkan dengan resiko infeksi, hal ini dirasakan untuk menjadi kurang setuju jika hanya
mendapatkan terapi observasi
Cedera listrik:
Konduksi elektrik yang instan dari sengatan listrik diduga dapat menyebabkan kerusakan
 pada TM baik berupa penekanan atau perubahan tekanan rarefaksi. Cedera ini juga kurang
untuk bisa sembuh dengan sempurna.
Traumatic Perforasi

TM yang dapat terluka dalam berbagai cara. Skenario seringkali melibatkan orang yang
membersihkan telinga dengan alat, yang akan dijelaskan pada bab akhir nanti, adalah cara
 pertama yang langsung, cedera penetrasi. Sering kali, orang kedua kurang hati-hati
menyikutkan sikunya ke telinga hingga menyebabkan cedera. Penyebab lai n adalah ledakan
membran karena tamparan atau kepalan tangan ke telinga. Jenis perforasi ini biasanya di
anterior dan inferior. anggota keluarga yang Kasar mungkin terlibat, dan kadang-kadang, dgn
menyedihkan, korban akan mencoba untuk menyembunyikan setiap detail kejadian s aat
datang ke kantor. Kecelakaan menyelam dan ski air mungkin juga dapat meledakkan drum.
Jarang, sebuah ledakan kuat di dekat telinga juga dapat meledak pada drum, akustik biasanya
menyebabkan kerusakan pada labirin juga. Akhirnya, particle panas dapat menembus TM,
mengkauterisasi ujung-ujungnya seperti berjalan melalui ke dalam telinga. Dalam hal ini,
 penyembuhan yang spontan sangat jarang dan infeksi berulang dan drainase dapat terjadi.

Perforasi trauma berbeda dalam ukuran dan lokasi. Beberapa mungkin akan sulit untuk 
dilihat pada pemeriksaan. Mereka mungkin kecil dan tersembunyi di balik exudates atau
sumbatan darah atau juga akan dikaburkan dengan tulang punuk dari kanal anterior dinding.
Jika pemeriksa dapat melihat bagian dari drum, yang pneumatic otoscope, dengan udara yang
cukup di kanal, merupakan kunci untuk diagnosa. TM yg tak bergerak akan terlihat dengan
 perforasi. ( sangat berbakat TM atau lem tglue ear juga dapat menampilkan imobilitas).
Sebaliknya, jika drum adalah mobile, tidak ada perforasi.

Perforasi Membran Timpani biasanya hadir pada pars tensa. Perforasi P ars flaccida umumnya
terkait dengan epitympanic cholesteatoma. Jika perforasi membrane timpani tidak sembuh
secara spontan, lapisan epithelial dan mucosal merayap dan bertemu di sepanjang batas-batas
yang perforasi. komunikasi patologi ini terletak di tengah dan telinga luar dan dapat dianggap
sebagai “hiliran udara yang benar.” Dengan adanya perforasi membrane timpani, pasien akan
terganggu berulang karena infeksi telinga dan keluar air dari telinganya.

Kapanpun membran timpani yang didiagnosis perforasi, tiga hal berikut harus menjadi
 pertimbangan dipenuhi: 1) Pada tingkat yang perforasi situs, ukuran, dan sisanya dari
keadaan di sekitar membran timpani perforasi harus ditentukan. 2) Pada tingkat tengah
telinga, keadaan mucosa, kondisi yang ossicular rantai (jika mungkin), dan keberadaan atau
ketiadaan epithelialization harus dievaluasi. 3) pemeriksaan otoscopic harus dilengkapi
dengan audiometry nada murni untuk memiliki pemahaman yang lebih baik dari ossicular 
rantai (kemungkinan erosi yang incus, ketetapan dari rantai).

Perforasi Pars tensa dapat berupa sentral atau marjinal. Perforasi Marginal terletak di
 pinggiran dari membran timpani dengan ketidakhadiran dari annulus fibrosus. Perforasi
Marginal dianggap “tidak aman” karena kulit yang berhubungan dgn kanal eksternal, karena
ketiadaan dari annulus, dapat dengan mudah maju ke arah telinga, sehingga menimbulkan
cholesteatoma.

Pemeriksaan Otoscopic sering dapat menentukan persambungan antara kulit dan mucosa
 pada batas-batas perforasi membran timpani. Pada persambungan ini squamous epithelium
memiliki “seperti beludru” penampilannya. Adanya cincin merah de-epithelialized sepanjang
 perforasi rim menunjukkan evagination dari mucosa ke arah luar permukaan membran
timpani residu. Namun, invagination dari kulit terhadap sisa permukaan membran timpani
lebih sulit untuk didiagnosa. Migrasi kulit ini disukai dengan atrophi mucosa yang terjadi
sebagai akibat dari perforasi. Pada saat myringoplasty, perforasi tidak hanya meninggalkan
kulit yang terperangkap pada permukaan drum, tetapi juga sangat mengurangi risiko yang
dapat mengakibatkan iatrogenic cholesteatoma.

Kehilangan pendengaran konduktif yang disebabkan oleh perforasi membran ti mpani


mempunyai dua penyebab utama: 1) Pengurangan permukaan daerah membran timpani
dimana tekanan akustik melebihi tindakannya. 2) Pengurangan dari gerakan vibrasi cairan
cochlear karena suara mencapai kedua jendela hampir di waktu yang sama tanpa pemendekan
dan tahap perubahan -efek dari membran timpani yang utuh

Tempat perforasi tidak dapat dikaitkan dengan pola audiomerik tertentu. Namun, secara
umum diamati bahwa kehilangan pendengaran terjadi di frekuensi yang lebih rendah dan
 perforasi untuk ukuran yang sama, kehilangan pendengaran lebih sering terjadi lagi di
 perforasi posterior dibandingkan di anterior .

Mayoritas posttraumatic dan postotitic perforasi sembuh spontan. Ketika bagian besar dari
membran timpani yang hilang atau bila infeksi kronis atau berulang terjadi, perforasi dapat
menjadi permanen. Dalam kasus ini, membran timpani harus diperbaiki (myringoplasty)
untuk mengembalikan fisiologi normal telinga.

Pada semua perforasi trauma, kerusakan telinga tulang kecil bagian tengah, dengan oval atau
 jendela sepanjang perpecahan, mungkin terjadi. Lihat untuk kehilangan pendengaran dengan
inordinate yang besar (> 35 dB HL) atau keberadaan vertigo sebagai petunjuk. Tes Weber 
dan tes Rinne bermanfaat di sini. Kebanyakan trauma perforasi (mungkin 90%) dapat sembuh
spontan. Hindari diri dari air dan observasi awal a dalah satu-satunya perawatan yang
diperlukan. obat tetes telinga antibiotik Topical mungkin ditunjukkan jika drainase dan
infeksi ada. Trauma perforasi yang sangat besar s edikit sekali untuk sembuh. Hal Ini akan
memerlukan pembedahan jika mereka tidak menunjukkan tanda-tanda penutupan setelah
 pengamatan selama beberapa bulan.
Perforasi dari Infeksi Akut

Trauma yang paling sering terjadi adalah perforasi, untungnya , yang paling shortlive. Hal Ini
adalah salah satu yang dihasilkan dari otitis media akut. Disini, TM jadi merah, basah, dan
 pembukaan kecil tersebut tidak selalu terlihat. Hampir semua ini dapat sembuh dalam
 beberapa hari, dengan asumsi yang diberikan antibiotic. Sebuah pengceualian timbul dengan
langka, agresif, necrotizing otitis media akut.

Hal Ini biasanya disebabkan oleh streptococcus beta dalam kait annya dengan keparahan
seperti infeksi virus campak. Di negara-negara lain, demam berdarah masih menjadi
 penyebabnya. Dalam kasus ini, sebagian besar perforasi tetap dibuat. Nekrosis dari TM
sentral secara typikal besar meninggalkan bentuk ladam-lubang yang besar di drum
disekeliling manubrium. Pada era pra-antibiotik hal ini merupakan salah sa tu penyebab kronis
 perforasi.
Chronic Perforasi

Perforasi yang Lama dapat dilihat pada pasien yang mengalami masaalah tuba Eusta chio
 bercampur dengan masalah infeksi bertahun-tahun. Ventilasi tuba mungkin telah dimasukkan
 berulang kali. sekitar TM seringkali menebal dan berparut. Individu yang terkena mempunyai
kehilangan pendengaran konduktif dan mungkin timbul dengan drainase berulang melal ui
 perforasi.

Episode dari drainase ini (otorrhea) sering dilakukan oleh air di dalam telinga atau infeksi
 pernafasan atas. exudates biasanya mempunya organism yang sama seperti yang terlihat pada
otitis eksterna, yaitu Pseudomonas, Staphylococcus, Proteus, dan Enterobacter. Secara
insidentil, otorrhea dari infeksi telinga tengah dapat menyebabkan otitis eksternal, sebagai
 pengecualian terhadap pernyataan kami bahwa kebanyakan masalah telinga hanya melibatkan
satu “komponen”.

Otorrhea Persisten atau berulang melalui perforasi dikenal sebagai otitis media kronis
suppurative. Topical antibiotik / steroid obat tetes telinga dapat membersihkan drainase.
Tympanoplasty, bedah rekonstruksi TM (dan eroded ossicles , jika diperlukan), dapat
dilakukan jika dan ketika tidak ada infeksi. Sering ada mastoiditis kronis di rongga
 berdekatan, dan mastoidectomy dapat menyertai prosedur ini.

Dengan munculnya AIDS di dekade belakangan ini, oti tis media tuberculosis menyebutkan
hal ini. Hal Ini sangat jarang yang biasanya dimulai dengan tidak adan ya rasa sakit dari
 penipisan TM diikuti oleh beberapa perforasi, dengan jelas keluarnya. Kehilangan
 pendengaran ini besar secara inordinate dikarenakan keterlibatan telinga dalam dengan basil.
Temuan ini harus curiga dan waspada, dan kultur yang positif untuk pewarnaan organisme
asam akan mengkonfirmasikan diagnosis.
Summary

Sesuai menurut perforasi secara umum, penyebab, dapat dipastikan dari riwayat pasien,
 pengobatan dan penentuan prognosis. Yang otitis media akut, jika bukan jenis streptococcal
necrotizing, akan sembuh, terutama jika infeksi akan dibersihkan dengan antibiotic oral. Pada
kenyataannya, antibiotics awal membantu necrotisasi. Jangan lupa untuk mengevaluasi
 pendengaran. Kehilangan pendengaran sebesar (> 35 dB HL) dapat menunjukkan kerusakan
trauma ossicular; ini juga perlu perhatian pembedahan. Akhirnya, beberapa perforasi
menunjukkan tuberkulosis, terutama di hadapan AIDS.

Keberadaan sebuah lubang membran timpani yang tidak sembuh secara spontan kronis
seperti otitis
media merupakan cacat anatomis dan fungsional yang memerlukan koreksi bedah dalam
mayoritas kasus. Myringoplasty ditunjukkan dalam kasus dengan dan tanpa otorrhea, dengan
kecil atau besar udara-tulang, dan tanpa batas usia . Hal ini dikontraindikasikan ketika
 perforasi membran timpani hadir hanya dalam liang telinga.

Myringoplasty secara umum dilakukan dengan menggunakan insisi postauricular di bawah


anestesi lokal-kecuali untuk anak-anak di mana anestesi umum digunakan. Membran timpani
diperbaiki dengan graft autologous temporalis. Kami lebih mengutamakan teknik dasar dalam
mayoritas kasus, karena memberikan hasil yang lebih baik secara anatomis dan fungsional.
teknik Overlay yang digunakan di beberapa kasus bila sisa anterior dari me mbran timpani
adalah pathologic atau tidak ada. Ketika dilakukan dengan benar, maka teknik Overlay
memberikan hasil yang optimal dalam kasus ini.

Canalplasty dilakukan kapanpun tulang punuk dari saluran luar hadir yang membatasi kontrol
dari batas perforasi. Jika reperforation terjadi setelah myringoplasty (sekitar 5% dari kasus),
revisi operasi yang diindikasikan setelah beberapa bulan. Hasil operasi pertama dan kedua
dari segi graft
yang diambil dan reperforasi biasanya secara umum sebanding.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kelompok studi otologi PERHATI – KL. Panduan Penatalaksanaan Baku Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) di Indonesia. Jakarta, Mei, 2002.
2. Browning G.G. Aetiopathology of Inflammatory Conditions of the External and Middle
Ear. In: Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th edition. Vol. 3. Butterworth-Heinemann, 1997;
3/3/15.
3. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Dalam: Helmi. Otiti s Media Supuratif Kronis. Balai
Penerbit FK-UI, Jakarta, 2005; 55 – 7.
4. World Health Organization. Chronic suppurative otitis media: Burden of Illness and
Management Options. Geneva, Switzerland, 2004.
5. Murakami Y. Surgical anatomy and pathology for reconstructive middle ear surgery. In:
Suzuki JI et al. Reconstructive Surgery of the Middle Ear. Elsevier , Amsterdam, 1999, 116 – 
8.
6. Healy G.B., Rosbe K.W. Otitis Media and Middle Ear Effusions. In: Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, Sixteenth edition, BC. Decker, Hamilt on,
Ontario, p. 249-50.
7. Adenan A. Kumpulan Kuliah Telinga. Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
8. Ovesen T., Borglum J.D. New Aspects of Secretory Otitis Media, Eustachian Tube
Function and Middle Ear Gas. Ear, Nose and Throat Journal; Sep 1998; 77, 9; 770-6.
9. Ryan A.F., Juhn S.K., Andalibi A., et al. Biochemistry. In: Lim DJ, ed. Recent Advances
in Otitis Media Report of The Eighth Research Conference, The Annals of Otology,
Rhinology and Laryngology; Jan 2005; 114, 1; 50-4.
10. Sato K., Nonomura N., Kawana M., Nakano Y. Course of IL-1ß, IL-6, IL- 8, and TNF- α
in the Middle Ear Fluid of the Guinea Pig Otitis Media Model Induced by Nonviable
Haemophilus Influenzae. The Annals of Otology, Rhinology & Lar yngology; Jun 1999; 108,
6; 559-63.

http://satriaperwira.wordpress.com/2010/07/06/perforasi-membran-timpani/

ASKEP PERFORASI MEMBRAN TIMPANI

07.13 Alamsyah Aris


Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook

A. Pengertian

Perforasi membrana timpani biasanya disebabkan oleh trauma atau infeksi. Sumber trauma

meliputi fraktur tulang tengkorak, cedera ledakan, atau hantaman keras pada telinga. Perforasi

lebih jarang, disebabkan oleh benda asing ( mis lidi kapas, peniti, kunci ) yang didorong terlalu dalam

kedalam kanalis auditorius eksternus. Selain perforasi membrana timpani, cedera terhadap osikulus

dan bahkan telinga dalam dapat terjadi akibat tindakan ini, jadi,usaha pasien untuk membersihkan

kanalis auditorius esternus sebaiknya dilarang. Selama infeksi, membrana timpani dapat mengalami

ruptur bila tekanan dalam telinga tengah lebih besar dari tekanan atmosfer dalam kanalis auditorius

eksternus.

B. Anatomi Fisiologi

Telinga tengah tersusun atas membrana timpani ( gendang telinga ) disebelah lateral dan kapsul

otik disebelah medial, celah telinga tengah terletak diantaranya. Membrana timpani terletak pada

akhiran kanalis auditorius esternus dan menandai batas lateral telinga tengah. Membran ini, yang

diameternya sekitar 1 cm dan sangat tipis, normalnya berwarna kelabu mutiara dan translusen.

Telinga tengah merupakan rongga berisi udara yang merupakan rumah bagi osikuli ( tulang

telinga tengah ) dan dihubungkan dengan tuba eustachii ke nasofaring. Juga berhubungan dengan

beberapa sel berisi udara dibagian mastoid tulang temporal. Telingah tengah mengandung tiga

tulang terkecil ( osikuli ) ditubuh : maleus, inkus dan stapes. Osikuli dipertahankan pada tempatnya

oleh persediaan, otot, dan likamin, membantu hantaran suara. Ada dua jendela kecil( jendela oval)
didinding media telinga tengah, yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian

dataran kaki stapes menjejak pada jendela oval, dimana suara dihantarkan ketelinga tengah. Jendela

bulat memberikan jalan keluar getaran suara. Jendela bulat ditutupi oleh membrana yang sangat

tipis, dan dataran kaki stapes ditahan oleh anulusyang sangat tipis, dan dataran kaki stapes ditahan

olehanulus yamg agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. Baik anulus jendela bulat maupun

 jendela oval sangat mudah mengalami robekkan. Bila ini terjadi, cairan dari telingah dalam dapat

mengalami kebocoran ketelinga tengah, kondisi ini dinamakan fistura ferilinfe.

Tuba eustachii, yang lebarnya sekitar satu mellimeter dan panjangnya sekitar tiga lima

melimeter, menghubungkan telinga tengah kenasofaring. Normalnya, eustacii selalu tertutup,

namun dapat terbuka akibat kontraksi otot palatum ketika melakukan manufer falsalfa atau dengan

menguap atau menelan. Tuba bertindak sebagai saluran drainase untuk sekresi abnormal telinga

tengah dan menyeimbangkan tekanan dalam telinga tengah dengan tekanan atmosfer.

C. Patofisiologi

Kuman masuk kebagian eksterna melalui lobang telinga atau melalui tuba eustaci kemudian

menimbulkan infeksi. Infeksi labrinth (telinga interna) merupakan perluasan telinga media, pengaruh

yang paling utama ialah mengenai keseimbangan.

Infeksi dari telinga dari telinga luar, otitis eksterna seringkali oleh bakteri (stavilokokus, gram

negatif organisme atau fungus). Sejenis dermatitis seborrhcic dapat disebabkan karena pemakaian

earkone yang lama. Infeksi terjadi pada selaput rongga telinga, membengkak dan getah radang

dapat mengisi saluran. Furunkel dapat juga tumbuh pada saluran. Rasa sakit terjadi karena tekanan

pada kulit yang sangat sensitif, menghebat sakitnya karena tidak ada ruang untuk menggelembung

dalam saluran yang bertulang. Kegiatan berenang terutama pada air yang terkontaminasi sangat

mungkin bisa menimbulkan infeksi telinga luar. Infeksi telinga tengah, otitis media merupakan

gangguan yang paling sering terjadi. Infeksi bisa serous, purulen, akut dan kronik, otitis media yang

serous dapat terjadi karena terkumpulnya serum yang steril didalam telinga tengah bila tuba eustacii

tersumbat oleh infeksi yang terdahulu atau alergi. Otitis media urolenta terjadi karena infeksi bakteri

bisa akut atau kronis. Yang kronis bisa menjalar mastoid, menimbulkan mastoiditis kronis

menyebabkan nekrose kepada gendang telinga, atau radang tulang t elinga, timbul tuli.

Mastoiditis akut jarang terjadi karena pengobatan otitis media akut dengan antibiotik. Persaman

dengan mastoititis kronik dapat tumbuh cholestheatoma (tumor jinak) yang merupakan kantong

berisi kotoran yang infeksi. Tumor ini bisa timbul kembali bila diangkat.
D. Manifestasi Klinik

Gejala otitis media dapat berfariasi beratnya infeksi dan bisa sangat ringan dan sementara atau

sangat berat. Keadaan ini biasanya unilateral pada orang dewasa, dan mungkin terdapat otalgia.

Spontan membrana timpani atau setelah miringotomi (insisi membrana timpani). Gejala lain dapat

berupa keluarnya cairan dari telinga, demam, kehilangan pendengaran, dan tinitus. Pada

pemeriksaan otoskopis, karena auditorius asternus sering tampak normal, dan tak terjadi nyeri bila

aurikula digerakkan. Membrana timpani tampak merah dan sering menggelembung.

Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran, rasa penuh dalam telinga atau perasaan

bendungan, dan bahkan suara letup atau berdering, yang terjadi ketika tuba eustacii berusaha

membuka. Membrana timpani tampak kusam pada ostokopi, dan dapat terlehit gelembung udarta

dalam telinga tengah. Audiogram biasanya menunjukkan adanya kehilangan pendengaran konduktif.

Gejala dapat minimal, dengan berbagai derajat kehilangan pendengasran dan terdapat otorea

interniten atau persisten yang berbau busuk biasanya tidak ada nyeri kecuali pada kasus mastoiditis

akut, dimana daerah post-aurikuler menjadi nyeri tekan dan bahkan merah dan edema.

Kolesteatoma, sendiri, biasanya tidak menyebabkan nyeri. Evaluasi otoskopik membran timpani

memperlihatkan adanya porforasi, dan kolesteatoma dapat terlihat sebagai masa putih dibelakang

membran timpani atau keluar kekanalis eksternus luang perforasi. Kolesteatoma dapat juga tidak

terlihat pada pemeriksaan oleh ahli otoskopi. Hasil audiometri pada kasus kolesteatoma sering

memperlihatkan kehilangan pendengaran konduktif atau campuran.

E. Diagnosis Penunjang

Kebanyakkan perforasi membrana timpani dapat sembuh spontan dalam beberapa minggu

setelah ruptur, meskipun ada beberapa yang baru sembuh setelah berbulan-bulan. Selama proses

penyembuhan telinga harus dilindungi dari air. Ada perforasi yang menetap karena terjadi

pertumbuhan jaringan parut pada tepi perforasi, sehingga menghambat penyebaran sel epitel

melintasi batas dan akhir penyembuhan. Perforasi yang tak dapat sembuh dengan sendirinya

memerlukan pembedahan. Bila terjadi cedera kepala atau patah tulang temporal, pasien harus

diobservasi bila ada cairan serebrospinal otorea atau rinorea-cairan jernih cair dari telinga atau

hidung.

Pasien harus dilindungi dari air ketika terjadi perforasi membrana timpani. Keputusan

melakukan timpanoplasti ( perbaikan membrana timpani ) biasanya didasarkan pada perlunya

mencegah potensial infeksi dari air yang memasuki telinga atau keinginan memperbaiki

pendengaran pasien. Terdapazt berbagai pembedahan semua pada dasarnya dengan meletakkan
pada lubang porforasi untuk memungkinkan penyembuhan. Pembedahan biasanya berhasil

menutup porforasi secara permanen dan memperbaiki pendengaran, biasanya dilakukan pada

pasien rawat jalan.

Hasil penatalaksanaan otitis media bergantung efektifitas terapi (mis dosis antibiotik oral yang

diresepkan dan durasi terapi), virulensi bakteri dan status fisik pasien. Dengan terapi antibiotika

spektrum luas yang tepat dan awal, otitis media dapat hilang tanpa gejala sisa yang serius. Bila

terjadi pengeluaran cairan, biasanya perlu diresepkan preparat otik antibiotika. Kondisi bisa

berkembang menjadi subakut ( mis berlangsung tiga minggu sampai tiga bulan ), dengan

pengeluaran cairan purulen menetap dari telinga. Jarang sekali terjadi kehilangan pendengaran

permanen. Komplikasi sekunder mengenai mastoit dan komplikasi intrakranier serius, seperti

meninitis atau abses otak, dapat terjadi meskipun jarang.

Otitis media serosa tidak perlu ditangani secara medis kecuali terjadi infeksi (otitis media akut).

Bila kehilangan pendengaran yang berhubungan dengan efusi telinga tengah menimbulkan masalah

bagi pasien maka bisa dilakukan miringotomi dan dipasang tabung untuk menjaga telinga tengah

tetap terventilasi. Kortikosteroid, dosis rendah, kadang dapat mengurangi edema tuba eustacii pada

kasus barotrauma.

Penanganan meliputi pembersihan hati-hati telinga mengunakan mikroskop dan alat pengisap.

Pemberian tetes antibiotika atau pemberian bubuk antibiotik sering membantu bila ada cairan

purulen. Antibiotik sistemik biasanya tidak diresepkan kecuali pada kasus infeksi akut.

F. Klasifikasi

1. Otitis media akut adalah infeksi akut telinga tengah. Penyebab utama otitis media akut adalah

masuknya bakteri patogenik kedalam telinga yang normalnya steril. Paling sering terjadi bila terjadi

disfungsi tuba eustacii seperti obtruksi yang diakibatkan oleh infeksi saluran pernapasan atas,

inflamasi jaringan disekitarnya (mis sinusitis, hipertropi adenoit), atau reaksi alergi (mis rinitis

alergika). Bakteri yang umum ditemuakn sebagai organisme penyebab adalah streptokokus

pneumoniae, hemophylus influensae, dan maroksella catarhaelis. Cara masuk bakteri pada

kebanyakkan pasien kemungkinan melalui tuba eustacii akibat kontaminasi sekresi dalam nasofaring.

Bakteri juga dapat masuk telinga tengah bila ada porforasi membran timpani. Eksudat purulen

biasanya ada dalam telinga tengah dan mengakibatkan pendengaran konduktif.

2. Otitis media serosa (efusi telinga tengah) mengeluarkan cairan, tanpa adanya infeksi aktif, dalam

telinga tengah. Secara teori, cairan ini sebagai akibat tekanan negatif dalam telinga tengah

disebabkan obstruksi tuba eustacii. Kondisi ini ditemukan terutama pada anak-anak, perlu dicatat
bahwa, bila terjadi pada orang dewasa, penyebab lain yang mengdasari terjadinya disfungsi tuba

eustancii harus dicari. Efusi telinga tengah sering terlihat pada pasien setelah menjalani radioterapi

dan barotrauma (mis penyelam) dan pada pasien dengan disfungsi tuba eustacii akibat infeksi atau

alergi saluran napas atas yang terjadi. Barotrauma terjadi bila terjadi perubahan tekanan mendadak

dalam telinga tengah akibat perubahan tekanan barometrik, seperti pada penyelam atau saat

pesawat udara turun, dan cairan terperangkap didalam telinga tengah. Karnisoma yang menyumbat

tuba eustacii harus disingkirkan pada orang dewasa yang menderita otitis media serosa unilateral

menetap.

3. Otitis media kronik adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi jaringan ireversibel dan

biasanya disebabkan karena episode berulang otitis media akut. Sering berhubungan dengan

perforasi menetap membrana timpani. Infeksi kronik telinga tengah tak hanya mengakibatkan

kerusakan membrana timpani. Infeksi kronik telinga tengah tak hanya mengakibatkankerusakkan

membrana timpani tetapi juga dapat menghancurkan osikulus dan hampir selalu melibatkan

mastoid. Sebelum penemuan antibiotika, infeksi mastoid merupakan infeksi yang mengancam jiwa.

Sekarang, penggunaan antibiotika yang bijaksana pada otitis media akut telah menyebabkan

mastoiditis koaleses akut menjadi jarang. Kebanyakan kasus mastoiditis akut sekarang ditemukan

pada pasien yang tidak mendapatkan perawatan telinga yang memadai dan mengalami infeksi

telinga yang tidak ditangani. Mastoiditis kronik lebih sering, dan beberapa ahli infeksi kronik ini

dapat mengakibatkan pembentukkan koleosteatoma, yang merupakan pertumbuhan kulit kedalam

(epitel skuamosa) dari lapisan luar membran timpani ketelinga tengah. Kulit dari membran timpani

literal membentuk kantong luar, yang berisi kulit yang telah rusak dan bahan sebaseus. Kantong

dapat melekat pada struktur telinga tengah dan mastoid. Bila tidak ditangani olesteatoma dapat

tumbuh terus dan menyebabkan paralisis nerfuspasealis, kehilangan pendengaran sensorik neural

dan atau gangguan keseimmbangan (akibat erosi telinga dalam), dan abses otak.

G. Penatalaksanaan

1. Medis

 Mencari vokal infeksi dihidung, dan dinasofaring dan sekaligus mengobatinya.

 Secara sistemik diberikan antibiotik, analgetik dan antiinflamasi. Untuk stadium tiga sampai stadium

lima diberi antibiotik dosis tinggi.

 Secara lokal: pada stadium hiperemi diberikan antibiotik tetes, kecuali pada bayi harus segera

dilakukan parasintesis bila terdapat bulging lakukan parasintesisuntuk melancarkan reinase, yaitu

dengan membuat insisi kecil pada kuadran bawah.


 Konsevatif 

a. Pembersihan sekret diliang telinga (toilet lokal drainage) merupakan hal

yang penting untuk pengobatan otitis kronik.

Ada beberapa membersihkan sekret tersebut :

 Dengan menggunakan kapas lidi. Tindakan ini dianjurkan sesering seringnya bila ada otore. Dapat

dianjurkan pada penderita atau orang tua penderita yang mempunyai intelegensia yang cukup.

 Displaseme metode dapat dengan menggunakan larutan hidrogen peroksid (H2O2) 3%, karena

adanya gas yang ditimbulkan.

 Bila mungkin sekret dihisap secara hati-hati dengan menggunakan jarum kecil, plastik, misalnya

 jarum BWG no 16 dan 18 yang ujungnya diberi karet kateter nelatom yang kecil atau karet pentil.

Semua tindakan pembersihan tersebut sebaiknya diberikan sambil dilihat dan hati-hati untuk

menghindarkan trauma yang tidak diinginkan.

b. Pengobatan lokal diberikan antibiotik tetes telinga. Pemberian antibiotik tetes telinga hampir tidak

gunanya apabila masih ada otore yang produktif. Karena itu memberikan antibiotik lokal dianjurkan

setelah dilakukan tekhnik lokal. Harus diterangkan dulu cara pemakain H2O2 3 % kedalam telinga

yang sakit kemudian dibersihkan dengan kapas lidi baru setelah itu masukkan antibiotik tetes

telinga dengan cara kepala dimiringkan dan ragus titekan supaya obat tetes masuk kedalam.

c. Antibiotik yang adekuat oral atau parenteral. Ini diberikan apabila ada eksaserbasi akut yang

didahului oleh infeksi hidung atau farings.

2.  Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

Observasi adanya bukti-bukti OMA :

 Setelah ISPA

 Otalgia (sakit telinga)

 Otorea purulen dapat terjadi

 Demam

 Keluaran pululen dapat ada, dapat juga tidak


 Menangis

 Rewel, gelisah, peka rangsang

Kecenderungan menggaruk, memegang, atau menarik telinga yang sakit

Menggeleng-gelengkan kepala dari samping kesamping

Kehilangan nafsu makan

Letargi

Pemeriksaan otoskopik pada OMA menunjukkan membran utuh yang tampak merah terang dan

menonjol, tanpa garis tulang yang dapat dilihat atau refleks sinar; pada OME dapat ditemukan

lubang kecil, membran abu-abu dangkal, garis samar-samar, dan tingkat cairan yang dapat dilihat

atau meniskus dibelakang gendang telinga bila terdapat udara diatas cairan.

Observasi adanya bukti-bukti otitis media kronis :

 Kehilangan pendengaran

 Kesulitan berkomunikasi

 Perasaan penuh, tinitus, vertigo mungkin ada

b. Diagnosa Keperawatan

1) Nyeri berhubungan dengan tekanan yang disebabkan oleh proses inflamasi

Sasaran pasien 1 : pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri/ketidaknyamanan sampai tingkat yang

dapat diterima

Intervensi keperawatan/ rasional 

a) Beri analgesik/antipiretik untuk mengurangi nyeri dan demam.

b) Posisikan untuk kenyamanan sesuai kebutuhan individu

c) Pilih tindakan kenyamanan lokal berdasarkan tingkat kerjasama dan ketentuan-ketentuan untuk

mengurangi nyeri yang maksimum


d) Beri kompres panas eksternal (dengan bantalanpanas pada suhu panas yang rendah, bungkus

dengan handuk) diatas telinga dengan berbaring pada sisi yang sakit untuk meningkatkan rasa

nyaman.

e) Beri kantong es diatas telinga yang sakit untuk mengurangi edema atau tekanan

f) Hindari mengunah dengan memberikan cairan atau mak anan lunak

g) Posisikan dengan telinga yang sakit berada pada posisi dependen

Hasil yang diharapkan

Tidur dan istirahat dengan tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda kenyamanan

2) Risiko tinggi infeksi/cedera berhubungan dengan ketidakadekuatan tindakan/adanya organisme

infeksius

Intervensi keperawatan/rasional 

a) Tekankan pentingnya mengikuti instruksi, khususnya mengenai pemberian antibiotik

b) Pertahankan keteraturan pemberian

c) Selesaikan program terapi

d) Jelaskan bahwa meskipun gejala biasanya kurang dalam 24-48 jam, infeksi tidak akan hilang

seluruhnya sampai semua antibiotik yang ditentukn dihabiskan

e) Tekankan pentingnya perawatan tindak lanjut

f) Gunakan praktik pencegahan

g) Dudukkan dengan tegak untuk pemberian makan

h) Anjurkan untuk meniup hidung denganperlahan selama infeksi pernapasan atas bukan meniup

hidung dengan keras karena resiko pemindahan dari tuba eustachius ketelingah tengah

i) Gunakan perminan meniup atau mengunyah permen karet untuk meningkatkan aerasi telinga tengah

selama dilakukan UPI

 j) Hilangkan asap tembakau dan alergen yang diketahui atau yang potensial dari lingkungan

Hasil yang diharapkan


 Pasien etap bebas dari infeksi

 Keluarga mematuhi petunjuk

Sasaran pasien 2 : pasien tidak mengalami komplikasi penyakit atau modalitas tindakan

Intervensi keperawatan/rasional 

Melihat sasaran sebelumnya

a) Bersihkan kanalis eksternal dari drainase dengan usapan kapas steril atau lidi kapas yang dimasukkan

kedalam larutan salin normal atau hidrogen peroksida.

b) Jika drainase-nya banyak, bersihkan eksudat dari telinga dan kulit sekitarnya serta berikan barier

pelembab seperti jeli petrolium untuk mencegah ekskoriasi.

c) Jika sumbu atau gulungan kasa kecil telah dimasukkan kedalam telinga setelah pembedahan :

 Jaga agar kasa atau sumbu tersebut cukup longgar untuk memungkinkan keluarnya drainase dari

telinga karena infeksi dapat berpindah keprosesus mastoideus

 Jaga agar sumbu tersebut tidak basa ketika mandi atau berkeramas.

d) Jelaskan penggunaan penyumbat telinga jika dianjurkan oleh dokter, jika sedang memakai selang

kontaminasi ketelinga tengah ketika berenang atau mandi.

e) Memberi tahu praktisi bila grommet ( biasanya kecil, putih, selang plastik berbentuk kumparan )

 jatuh keluar dari kanal telinga.

f) Jelaskan bahwa hal ini normal dan tidak memberikan intervensi yang segera.

g) Jelaskan pada keluarga tentang komplikasi OM yang potensial yang dapat terjadi karena pengobatan

yang tidak adekuat :

 Kehilangan pendengaran konduktif 

 Perforasi, jaringan parut gendeng telnga

 Mastoiditis ( inflamasi sistem sel udara mastoideus )

 Kolesteatoma ( lesi seperti kista yang dapat masuk dan merusak struktur auditorius sekitarnya )

 Infeksi intrakranial, seperti meningitis


h) Jelaskan tentang pencegahan ketidaknyamanan telinga selama perjalanan dengan pesawat :

 Spray pengerut mukosa nasal atau dekongestan oral dapat diberikan bila anak mengalami ISPA

 Ketika turun dari pesawat dan makan, berikan air, atau permen karet.

Hasil yang diharapkan

Pasien sembuh dari infeksi dan atau pembedahan tanpa komplikasi.

Pasien tetap nyaman selama perjalanan dengan pesawat

3) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan penyakit dan hospitalisasi pasien, kehilangan

pendengaran sementara

Sasaran pasien ( keluarga ) 1 : pasien ( keluarga ) mendapatkan dukungan yang adekuat

Intervensi keperawatan / rasional 

Bila tepat, siapkan keluarga untuk prosedur pembedahan (miringotomi).

Hasil yang diharapkan

Keluarga mendemonstrasikan pemahaman tentang prosedur.

Sasaran pasien ( keluarga ) 2 : keluarga menjukkan perilaku koping yang positif terhadap pasien

Intervensi keperawatan / rasional 

a) Jelaskan bahwa kehilangan pendengaran sementara adalah hal yang umum pada OM karena

keluarga mungkin tidak menyadari hal ini.

b) Beri tahu keluarga tentang kemungkinan perubahan perilaku pada saat kehilangan pendengaran,

termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap bunyi di lingkungan.

c) Beri tahu keluarga bahwa pasien tidak mengabaikan mereka tau salah berperilaku, pasien mungkin

tidak menyadari ketika sedang diajak bicara.

d) Bicara lebih keras, pada jarak lebih dekat, dan menghadap ke pasien.

Gunakan kesabaran ketika berkomunikasi dengan pasien.

e) Dorong evaluasi lebih lanjut bila kehilangan pendengaran bersifat menetap melewati tahap akut dari

penyakit tersebut.
Hasil yang diharapkan

Keluarga menunjukkan perilaku koping yang posiif terhadap pasien.

Keluarga mencari perawatan kesehatan yang tepat untuk pasien.

http://alam414m.blogspot.com/2012/04/askep-perforasi-membran-timpani.html

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)

Oleh : Muhammad al-Fatih II


Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah otitis media yang berlangsung lebih 2 bulan
karena infeksi bakteri piogenik dan ditandai oleh perforasi membran timpani dan pengeluaran
sekret. Dulu kita kenal sebagai otitis media perforata (OMP). Orang awam biasa
menyebutnya congek.

Ada 3 tipe perforasi membran timpani berdasarkan letaknya, yaitu :

Perforasi sentral (sub total). Letak perforasi di sentral dan pars tensa membran timpani.
Seluruh tepi perforasi masih mengandung sisa membran timpani.
Perforasi marginal. Sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau sulkus
timpanikum.
Perforasi atik. Letak perforasi di pars flaksida membran timpani.
Sekret yang keluar dari telinga tengah ke telinga luar dapat berlangsung terus-menerus atau
hilang timbul. Konsistensinya bisa encer atau kental. Warnanya bisa kuning atau berupa
nanah.

Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan kelanjutan dari otitis media supuratif sub
akut dan otitis media supuratif akut (OMA). Hal ini disebabkan oleh :

Terapi. Terapi lambat diberikan atau terapi tidak adekuat.


Kuman. Virulensi kuman tinggi.
Pertahanan. Daya tahan tubuh rendah akibat gizi kurang.
Higiene. Higienitas yang buruk.
Jenis otitis media supuratif kronik (OMSK), yaitu :

Otitis media supuratif kronik (OMSK) benigna / mukosa / aman.


Otitis media supuratif kronik (OMSK) maligna / tulang / bahaya.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) aktif. Sekret keluar dari kavum timpani.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) tenang. Kavum timpani basah atau kering.
Tabel Perbedaan Antara Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Benigna & Maligna
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Benigna Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
Maligna
Proses peradangan terbatas pada mukosa. Proses peradangan tidak terbatas pada mukosa.
Proses peradangan tidak mengenai tulang. Proses peradangan mengenai tulang.
Perforasi membran timpani tipe sentral. Perforasi membran timpani paling sering tipe
marginal & atik. Kadang-kadang tipe sub total (sentral) dengan kolesteatoma.
Jarang terjadi komplikasi yang berbahaya. Sering terjadi komplikasi yang berbahaya.
Kolesteatoma tidak ada. Kolesteatoma ada.

Terapi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)

Terapi otitis media supuratif kronik (OMSK) memiliki beberapa kesulitan. Diantaranya
membutuhkan waktu yang lama, gejala sering berulang, sekret yang keluar tidak cepat kering
dan sekret yang selalu kambuh. Masalah ini dapat disebabkan :

Perforasi membran timpani. Perforasi membran timpani yang permanen menyebabkan telinga
tengah terpapar langsung & terus-menerus oleh dunia luar.
Sumber infeksi. Sumber infeksi yang masih ada dapat terjadi pada nasofaring, faring, hidung
dan sinus paranasalis.
Jaringan patologik. Jaringan patologik yang ireversibel telah terbentuk dalam rongga mastoid.
Gizi & higiene. Status gizi dan higiene pasien yang kurang.
Terapi otitis media supuratif kronik (OMSK) tergantung dari jenisnya. Prinsip terapi otitis
media supuratif kronik (OMSK) benigna dengan cara konservatif (medikamentosa)
sedangkan otitis media supuratif kronik (OMSK) maligna dengan cara pembedahan.

Ada 3 cara terapi konservatif (medikamentosa) otitis media supuratif kronik (OMSK)
 benigna, yaitu :

Obat pencuci telinga. Bahannya H2O2 3%. Berikan selama 3-5 hari. Pengobatan ini kita
 berikan bila sekret telinga keluar terus-menerus.
Obat tetes telinga. Lanjutkan memberikan obat tetes t elinga yang mengandung antibiotik &
kortikosteroid setelah sekret yang keluar telah berkurang. Jangan berikan selama l ebih 1-2
minggu secara berturut-turut. Juga hindari pemberiannya pada otitis media supuratif kronik 
(OMSK) tenang. Hal ini disebabkan semua antibiotik tetes telinga bersif at ototoksik.
Obat antibiotik. Berikan antibiotik oral golongan ampisilin atau eritromisin sebelum hasil t es
resistensi obat kita terima. Berikan eritromisin jika pasien alergi terhadap golongan penisilin.
Berikan ampisilin asam klavulanat bila terjadi resistensi ampisilin.
Selain terapi konservatif (medikamentosa), tindakan pembedahan dapat pula kita lakukan
 pada otitis media supuratif kronik (OMSK) benigna. Tindakan ini disebut miringoplasti atau
timpanoplasti. Tujuannya antara lain :

Menghentikan infeksi permanen.


Mencegah komplikasi dan kerusakan pendengaran yang lebih berat.
Memperbaiki perforasi membran timpani dan fungsi pendengaran.
Miringoplasti dan timpanoplasti kita lakukan jika sekret telah k ering namun perforasi
membran timpani masih ada. Juga setelah kita melakukan observasi selama 2 bulan.

Tanda yang menunjukkan adanya sumber infeksi, yaitu :


Sekret masih ada.
Infeksi berulang.
Cara mengatasi sumber infeksi, yaitu :

Pengobatan.
Pembedahan : adenoidektomi & tonsilektomi.
Tindakan pembedahan pada otitis media supuratif kronik (OMSK) maligna yang sering
dilakukan yaitu mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Adapun terapi konservatif 
(medikamentosa) hanya bersifat sementara dan kita beri kan sebelum melakukan tindakan
 pembedahan. Jika abses subperiosteal retroaurikuler ada, lakukan insisi abses diwaktu yang
 berlainan, sebelum melakukan operasi mastoidektomi.

Daftar Pustaka

Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kese hatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT &
Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.

http://thtkedokteran.blogspot.com/2010/06/otitis-media-supuratif-kronik-omsk.html
OTITIS MEDIA
Emirza Nur Wicaksono Maret 27, 2013

[6] comments

Definisi

Otitis adalah radang telinga, yang ditandai dengan nyeri, demam, hilangnya pendengaran,
tinitus dan vertigo. Otitis berarti peradangan dari telinga, dan media berarti tengah. Jadi otitis
media berarti peradangan dari telinga tengah. Otiti s media adalah peradangan sebagian atau
seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustacheus, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.

a. Otitis Media Akut

Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah
dan terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu Otiitis media akut adalah proses infeksi yang
ditentukan oleh adanya cairan di telinga atau gangguan dengar, serta gejal a penyerta lainnay
tergantung berat ringannya penyakit, antara lain : demam, iritabilitas, letargi, anoreksia,
vomiting, bulging hingga perforasi membrana tympani yang dapat diikuti dengan drainase
 purulen. Otitis media akut bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering ditemukan pada
anak-anak terutama 3 bulan-3 tahun. Otitis media akut adalah inf eksi yang disebabkan oleh
 bakteri pada ruang udara pada tulang temporal. Otitis media akut adalah dari yang timbulnya
cepat dan berdurasi pendek, otitis media akut biasanya berhubungan dengan akumulasi cairan
di telinga tengah bersama dengan tanda-tanda atau gejala-gejala dari infeksi telinga, gendang
telinga, yang menonjol biasanya disertai nyeri, atau gendang telinga yang berlubang,
seringkali dengan aliran dengan materi yang bernanah. Demam dapat hadir.

 b. Otitis Media Kronis

Otitis media kronis adalah infeksi menahun pada telinga tengah. Kondisi yang berhubungan
dengan patologi jaringan irreversible dan biasanya disebabkan oleh episode berulang otitis
media akut yang tak tertangani. Otitis media adala h Proses peradangan di telinga tengah dan
mastoid yang menetap > 12 minggu. Otitis media kronik adalah perforasi pada gendang
telinga

Otitis media kronis adalah peradangan teliga tengah yang gigih, secara khas untuk sedikitnya
satu bulan.Orang awam biasanya menyebut congek 

OMK dibagi dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu:

1. Tipe tubotimpani (tipe benigna/ tipe aman/ tipe mukosa)

Tipe ini ditandai adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi
dari luas dan keparahan penyakit. Proses peradangan pada OMK posisi ini terbatas pada
mukosa saja, biasanya tidak mengenai tulang, umumnya jarang menimbulkan komplikasi
yang berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi
keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, kegagalan pertahanan
mukosa terhadap infeksi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah, campuran
 bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa serta migrasi sekunder dari
epitel squamosa. Sekret mukoid berhubungan dengan hiperplasi sel goblet, metaplasi dari
mukosa telinga tengah

OMK tipe benigna berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal 2 jenis,yaitu

 OMK aktif ialah OMK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif 
 OMK tenang apabila keadaan kavum timpani terlihat basah atau kering.

2. Tipe Atikoantral (tipe malignan/ tipe bahaya)

Tipe ini ditandai dengan perforasi tipe marginal atau ti pe atik, disertai dengan kolesteatom
dan sebagian besar komplikasi yang berbahaya dan fatal timbul pada OMK tipe ini.

Kolesteatom adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi
terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatom bertambah besar. Banyak teori
mengenai patogenesis terbentuknya kolesteatom diantaranya adalah teori invaginasi, teori
migrasi, teori metaplasi, dan teori implantasi. Kolesteatom merupakan media yang baik untuk 
 pertumbuhan kuman (infeksi), terutama Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Infeksi akan
memicu proses peradangan lokal dan pelepasan mediator inflamasi yang dapat menstimulasi
sel-sel keratinosit matriks kolesteatom bersifat hiperproliferatif, destruksi, dan mampu
 berangiogenesis. Massa kolesteatom ini dapat menekan dan mendesak organ disekitarnya
sehingga dapat terjadi destruksi tulang yang diperhebat oleh pembentukan asam dari proses
 pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti
labirinitis, meningitis dan abses otak.

Kolesteatom dapat diklasifikasikan atas dua jenis:

a. Kolesteatom kongenital.

Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital menurut Derlaki dan Clemis (1965)
adalah :

1. Berkembang dibelakang membran timpani yang masih utuh.

2. Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.

3. Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel undiferential
yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan.

Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang temporal,
umumnya pada apeks petrosa. Kolesteatom ini dapat menyebabkan parese nervus fasialis, tuli
saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.1,2

 b. Kolesteatom akuisital atau didapat

 Primary acquired cholesteatoma.

Kolesteatom yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran timpani. Kolesteatom
timbul akibat proses invaginasi dari membran timpani pars flaksida akibat adanya tekanan
negatif pada telinga tengah karena adanya gangguan tuba (teori invaginasi). Kolesteatom
yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida1,2

 Secondary acquired cholesteatoma.

Terbentuk setelah perforasi membran timpani. Kolesteatom terjadi akibat masuknya epitel
kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (teori
migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang
 berkangsung lama (teori metaplasi).

Bentuk perforasi membran timpani adalah :

1. Perforasi sentral

Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-superior, kadang-
kadang sub total. Pada seluruh tepi perforasi masih ada terdapat sisa membran timpani.

2. Perforasi marginal

Terdapat pada pinggir membran timpani dan adanya erosi dari anulus fibrosus. Perforasi
marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total . Perforasi pada pinggir 
 postero-superior berhubungan dengan kolesteatom.
3. Perforasi atik 

Terjadi pada pars flaksida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma.

Etiologi

a. Otitis Media Akut

Biasanya penyakit ini merupakan komplikasi dari infeksi saluran pernafasan ata s (common
cold). Penyebab otitis media akut (OMA) dapat berupa virus maupun bakteri.

Virus atau bakteri dari tenggorokan bisa sampai ke telinga tengah melalui tuba eustakius atau
kadang juga melalui aliran darah. Otitis media akut juga bisa terjadi karena adanya
 penyumbatan pada sinus atau tuba eustakius akibat alergi atau pembengkakan amandel.

Penyebab utama otitis media akut adalah masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga
tengah yang normalnya adalah steril. Paling sering terjadi bila t erdapat disfungsi tuba
eustachii seperti obstruksi yang disebabkan oleh infeksi saluran p ernafasan atas, inflamasi
 jaringan disekitarnya (sinusitis, hipertrofi adenoid) atau reaksi alergik ( rhinitis alergika).
Bakteri yang umum ditemukan sebagai organisme penyebab adalah Streptococcus
 peneumoniae, Hemophylus influenzae, Streptococcus pyogenes, dan Moraxella catarrhalis.

b. Otitis Media Kronis

Otitis media kronis terjadi akibat adanya lubang pada gendang telinga (perforasi). Perforasi
gendang telinga bisa disebabkan oleh: otitis media akut penyumbatan tuba eustakius cedera
akibat masuknya suatu benda ke dalam telinga atau akibat perubahan tekanan udara yang
terjadi secara tiba-tiba luka bakar karena panas atau zat kimia. Bisa juga disebabkan karena
 bakteri, antara lain:

 Streptococcus.
 Stapilococcus.
 Diplococcus pneumonie.
 Hemopilus influens.
 Gram Positif : S. Pyogenes, S. Albus.
 Gram Negatif : Proteus spp, Psedomonas spp, E. Coli.
 Kuman anaerob : Alergi, diabetes melitus, TBC paru.

Penyebab OMK antara lain:

1. Lingkungan

Hubungan penderita OMK dan faktor sosioekonomi belum jelas, tetapi kelompok 
sosioekonomi rendah memiliki insiden OMK yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir 
dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, dan tempat tinggal yang
 padat.

2. Genetik 
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMK 
 berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-
sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini
 primer atau sekunder.

3. Riwayat otitis media sebelumnya

Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut dan/
atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak
t idak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu
telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan kronis

4. Infeksi

Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak bervariasi pada
otitis media kronik yang aktif. Keadaan ini menunjukkan bahwa metode kultur yang
digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah bakteri Gram ( -), flora
tipe usus, dan beberapa organisme lainnya.

5. Infeksi saluran nafas atas

Banyak penderita mengeluh keluarnya sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas
atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan
men yebabkan menurunnya
daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga ten gah,
sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.

6. Autoimun

Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap OMK.

7. Alergi

Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang
 bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya
dijumpainya sebagian penderita yang alergi terhadap
antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti
kemungkinannya.

8. Gangguan fungsi tuba eustachius

Pada otitis media kronis aktif tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal
ini merupakan fenomena primer atau sekunder masih belum diketahui. Pada telinga yang
inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan
umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi
normal.

Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani yang menetap pada
OMK adalah:

 Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi sekret
telinga purulen berlanjut.
 Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada perf orasi.
 Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme migrasi
epitel.
 Pada pinggir perforasi dari
dar i epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat
diatas sisi medial dari membran timpani. P roses ini juga mencegah penutupan spontan dari
perforasi.

Patofisiologi

a. Otitis Media Akut

Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga kesterilan
telinga tengah. Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat
 bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut
sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran menyebabkan
transudasi, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan
membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah
nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang
telinga.

Jika lendir dan nanah bertambah


ber tambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang
telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di
telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya
sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan
gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga
 juga akan terasa nyeri.Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya
dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.
te kanannya.

 b. Otitis Media Kronis

Patofisiologi OMK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini merupakan stadium
kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan
keluarnya sekret yang terus menerus. Terjadinya OMK hampir selalu dimulai dengan otitis
media berulang. OMK disebabkan oleh multifaktor antara lain infeksi virus atau bakteri,
gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan, dan social ekonomi.

Fokus infeksi biasanya terjadi pada nasofaring (adenoiditis, tonsillitis, rhinitis, sinusitis),
mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Kadang-kadang infeksi berasal dari telinga
luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran
me mbran timpani, maka terjadi inflamasi. Bila
terbentuk pus akan terperangkap di dalam kantung mukosa di telinga tengah. Dengan
 pengobatan yang cepat dan adekuat
adekuat serta perbaikan fungsi telinga tengah, biasanya proses
 patologis akan berhenti dan kelainan mukosa
mukosa akan kembali normal. Walaupun kadang-
kadang terbentuk jaringan granulasi atau polip ataupun terbentuk kantong abses di dalam
lipatan mukosa yang masing-masing harus dibuang, tetapi dengan penatalaksanaan yang baik 
 perubahan menetap pada mukosa telinga tengah jarang terjadi. Mukosa
Mukosa telinga tengah
mempunyai kemampuan besar untuk kembali normal. Bila terjadi perforasi membrane
timpani yang permanen, mukosa telinga tengah akan terpapar ke telinga luar sehingga
memungkinkan terjadinya infeksi berulang. Hanya pada beberapa kasus keadaan telinga
tengah tetap kering dan pasien tidak sadar akan penyakitnya. Berenang, kemasukan benda
yang tidak steril ke dalam liang telinga atau karena adanya focus infeksi pada saluran napas
 bagian atas akan menyebabkan infeksi eksaserbasi akut yang ditandai dengan
dengan secret yang
mukoid atau mukopurulen.

Manifestasi
Manifestasi Klinis

a. Otitis Media Akut

Gejala klinis otitis media akut (OMA) tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien.
Stadium otitis media akut (OMA) berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah :

1. Stadium oklusi tuba Eustachius

Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah.
Kadang berwarna normal atau keruh pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar dibedakan
dengan otitis media serosa akibat virus atau alergi.

2. Stadium hiperemis (presupurasi)


(presupurasi)

Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani
tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat
serosa sehingga sukar terlihat.

3. Stadium supurasi

Membrana timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema yang hebat pada mukosa
telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di
kavum timpani.Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga
 bertambah hebat.Apabila tekanan tidak berkurang,
berkurang, akan terjadi iskemia, tromboflebitis dan
nekrosis mukosa serta submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan
kekuningan pada membran timpani. Di tempat ini akan terjadi ruptur.

4. Stadium perforasi

Karena pemberian antibiotik yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat terjadi
ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Pasi en
yang semula gelisah menjadi tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.

5. Stadium resolusi

Bila membran timpani tetap utuh maka perlahan-lahan akan normal kembali. Bila terjadi
 perforasi maka sekret akan berkurang dan mengering. BilaBila daya tahan tubuh baik dan
virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan. Otitis media akut
(OMA) berubah menjadi otitis media supuratif subakut bila perforasi menetap dengan sekret
yang keluar terus-menerus atau hilang timbul lebih dari 3 minggu. Disebut otitis media
supuratif kronik (OMSK) bila berlangsung lebih 1,5 atau 2 bulan. Dapat meninggalkan gejala
sisa berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa perforasi.Pada
anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga dan suhu tubuh yang tinggi. Biasanya
terdapat riwayat batuk pilek
pil ek sebelumnya.Pada orang dewasa, didapatkan juga gangguan
 pendengaran berupa rasa penuh atau kurang
kurang dengar.Pada bayi dan anak kecil gejala khas
otitis media anak adalah suhu tubuh yang tinggi (> 39,5 derajat celsius), gelisah, sulit tidur,
tiba-tiba menjerit saat tidur, diare, kejang, dan kadang-kadang memegang telinga yang sakit.
Setelah terjadi ruptur membran tinmpani, suhu tubuh akan turun dan anak tertidur.

b. Otitis Media Kronis

Gejala berdasarkan tipe Otitis Media Kronis:

1. OMK tipe benigna:

Gejalanya berupa discharge mukoid yang tidak terlalu berbau busuk , ketika pertama kali
ditemukan bau busuk mungkin ada tetapi dengan pembersihan dan penggunaan
antibiotiklokal biasanya cepat menghilang, discharge mukoid dapat konstan atau intermitten.

Gangguan pendengaran konduktif selalu didapat pada pasien dengan derajat ketulian
tergantung beratnya kerusakan tulang-tulang pendengaran dan koklea selama infeksi nekrotik 
akut pada awal penyakit.

Perforasi membrane timpani sentral sering berbentuk seperti ginjal tapi selalu meninggalkan
sisa pada bagian tepinya . Proses peradangan pada daerah timpani te rbatas pada mukosa
sehingga membrane mukosa menjadi berbentuk garis dan tergantung derajat infeksi
membrane mukosa dapt tipis dan pucat atau merah dan tebal, kadang suatu polip didapat tapi
mukoperiosteum yang tebal dan mengarah pada meatus menghalangi pandangan membrane
timpani dan telinga tengah sampai polip tersebut diangkat . Discharge terlihat berasal dari
rongga timpani dan orifisium tuba eustachius yang mukoid da setelah satu atau dua kali
 pengobatan local abu busuk berkurang. Cairan mukus yang tidak terlalu bau datang dari
 perforasi besar tipe sentral dengan membrane mukosa yang berbentuk garis pada rongga
timpani merupakan diagnosa khas pada omsk tipe benigna.

1. OMK tipe maligna dengan kolesteatoma:

Sekret pada infeksi dengan kolesteatom beraroma khas, sekret yang sangat bau dan berwarna
kuning abu-abu, kotor purulen dapat juga terlihat keeping-keping kecil, berwarna putih
mengkilat.

Gangguan pendengaran tipe konduktif timbul akibat terbentuknya kolesteatom bersamaan


 juga karena hilangnya alat penghantar udara pada otitis media nekrotikans akut. Selain tipe
konduktif dapat pula tipe campuran karena kerusakan pada koklea yaitu karena erosi pada
tulang-tulang kanal semisirkularis akibat osteolitik kolesteatom.

Gejalanya bervariasi, berdasarkan pada lokasi perforasi gendang telinga:

1. Perforasi sentral (lubang terdapat di tengah-tengah gendang telinga). Otitis media


kronis bisa kambuh setelah infeksi tenggorokan dan hidung (misalnya pilek) atau karena
telinga kemasukan air ketika mandi atau berenang. Penyebabnya biasanya adalah bakteri.
Dari telinga keluar nanah berbau busuk tanpa disertai rasa nyeri. Bila terus menerus kambuh,
akan terbentuk pertumbuhan menonjol yang disebut polip, yang berasal dari telinga tengah
dan melalui lubang pada gendang telinga akan menonjol ke dalam saluran telinga luar.
Infeksi yang menetap juga bisa menyebabkan kerusakan pada tulang-tulang pendengaran
(tulang-tulang kecil di telinga tengah yang mengantarkan suara dari telinga luar ke telinga
dalam) sehingga terjadi tuli konduktif.

2. Perforasi marginal (lubang terdapat di pinggiran gendang telinga). Bisa terjadi tuli
konduktif dan keluarnya nanah dari telinga.

Pemeriksaan Diagnostik 

a. Otitis Media Akut

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan telinga dengan


otoskop. Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran timpani. Untuk 
menentukan organisme penyebabnya dilakukan pembiakan terhadap nanah atau cairan
lainnya dari telinga.

b. Otitis Media Kronis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan telinga


dengan otoskop. Untuk mengetahui organisme penyebabnya, dilakukan pembiakan terhadap
cairan yang keluar dari telinga. Rontgen mastoid atau CT scan kepala dil akukan untuk 
mengetahui adanya penyebaran infeksi ke struktur di sekeliling telinga. Tes Audiometri
dilakukan untuk mengetahui pendengaran menurun. X ray terhadap kolesteatoma dan
kekaburan mastoid.

Penatalaksanaan

a. Otitis Media Akut

Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk 
mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau
sistemik, dan antipiretik.

1. Stadium Oklusi

Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga
tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,25 % untuk anak < 12 tahun atau
HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologis untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa. Sumber 
infeksi lokal harus diobati. Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman.

2. Stadium Presupurasi

Diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Bila membran timpani sudah terlihat
hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan pemberian antibiotik 
golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan
asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar 
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung,
gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal
selama 7 hari.

3. Stadium Supurasi

Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani
masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.

4. Stadium Perforasi

Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O2
3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan
hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.

5. Stadium Resolusi

Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup.
Bila tidak, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila tetap, mungkin telah terjadi
mastoiditis.

a. Pemberian Antibiotik 

1. OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya.


2. Sekitar 80% OMA sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak
mengurangi komplikasi yang dapat terjadi, termasuk berkurangnya pendengaran.
3. Observasi dapat dilakukan pada sebagian besar kasus. Jika gejala tidak membaik dalam 48-
72 jam atau ada perburukan gejala, antibiotik diberikan.

American Academy of Pediatrics (AAP) mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan
yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut:

Usia Diagnosis pasti Diagnosis meragukan

< 6 bln Antibiotik Antibiotik

6 bln – 2 th Antibiotik Antibiotik jika gejala berat,


observasi jika gejala ringan

2 thn Antibiotik jika gejala berat, Observasi


observasi jika gejala ringan

Yang dimaksud dengan gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam <39°C dalam
24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang – berat atau demam
39°C.

Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan  – dua
tahun dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis mera gukan pada anak di atas dua
tahun. Untuk dapat memilih observasi, follow-up harus dipastikan dapat terlaksana.
Analgesia tetap diberikan pada masa observasi.

British Medical Journal memberikan kriteria yang sedikit berbeda untuk menerapkan
observasi ini.10 Menurut BMJ, pilihan observasi dapat dilakukan terutama pada anak tanpa
gejala umum seperti demam dan muntah.

Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk sebagian besar anak 
adalah amoxicillin.

 Sumber seperti AAFP (American Academy of Family Physician) menganjurkan pemberian 40


mg/kg berat badan/hari pada anak dengan risiko rendah dan 80 mg/kg berat badan/hari
untuk anak dengan risiko tinggi.
 Risiko tinggi yang dimaksud antara lain adalah usia kurang dari dua tahun, dirawat sehari-
hari di daycare, dan ada riwayat pemberian antibiotik dalam tiga bulan terakhir.
 WHO menganjurkan 15 mg/kg berat badan/pemberian dengan maksimumnya 500 mg.
 AAP menganjurkan dosis 80-90 mg/kg berat badan/hari.6 Dosis ini terkait dengan
meningkatnya persentase bakteri yang tidak dapat diatasi dengan dosis standar di Amerika
Serikat. Sampai saat ini di Indonesia tidak ada data yang mengemukakan hal serupa,
sehingga pilihan yang bijak adalah menggunakan dosis 40 mg/kg/hari. Dokumentasi adanya
bakteri yang resisten terhadap dosis standar harus di dasari hasil kultur dan tes resistensi
terhadap antibiotik.
 Antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-72 jam.
 Dalam 24 jam pertama terjadi stabilisasi, sedang dalam 24 jam kedua mulai terjadi
perbaikan. Jika pasien tidak membaik dalam 48-72 jam, kemungkinan ada penyakit lain atau
pengobatan yang diberikan tidak memadai. Dalam kasus seperti ini dipertimbangkan
pemberian antibiotik lini kedua. Misalnya:
 Pada pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan Haemophilus
influenzae dan Moraxella catarrhalis, antibiotik yang kemudian dipilih adalah amoxicillin-
clavulanate.6 Sumber lain menyatakan pemberian amoxicillin-clavulanate dilakukan jika
gejala tidak membaik dalam tujuh hari atau kembali muncul dalam 14 hari.

- Jika pasien alergi ringan terhadap amoxicillin, dapat diberikan cephalosporin seperti
cefdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime.

- Pada alergi berat terhadap amoxicillin, yang diberikan adalah azithromycin atau
clarithromycin

- Pilihan lainnya adalah erythromycin-sulfisoxazole atau sulfamethoxazole-trimethoprim.

- Namun kedua kombinasi ini bukan pilihan pada OMA yang tidak membaik dengan
amoxicillin.

- Jika pemberian amoxicillin-clavulanate juga tidak memberikan hasil, pilihan yang diambil
adalah ceftriaxone selama tiga hari.

- Perlu diperhatikan bahwa cephalosporin yang digunakan pada OMA umumnya merupakan
generasi kedua atau generasi ketiga dengan spektrum luas. Demikian juga az ythromycin atau
clarythromycin. Antibiotik dengan spektrum luas, walaupun dapat membunuh lebih banyak 
 jenis bakteri, memiliki risiko yang lebih besar. Bakteri normal di tubuh akan dapat terbunuh
sehingga keseimbangan flora di tubuh terganggu. Selain itu risiko terbentuknya bakteri yang
resisten terhadap antibiotik akan lebih besar. Karenanya, pilihan ini hanya digunakan pada
kasus-kasus dengan indikasi jelas penggunaan antibiotik lini kedua.

- Pemberian antibiotik pada otitis media dilakukan selama sepuluh hari pada anak berusia di
 bawah dua tahun atau anak dengan gejala berat.

- Pada usia enam tahun ke atas, pemberian antibiotik cukup 5-7 hari. Di Inggris, anjuran
 pemberian antibiotik adalah 3-7 hari atau lima hari.

- Tidak adanya perbedaan bermakna antara pemberian antibiotik dalam jangka waktu
kurang dari tujuh hari dibandingkan dengan pemberian lebih dari tujuh hari. Dan karena itu
 pemberian antibiotik selama lima hari dianggap cukup pada otitis media. Pemberian
antibiotik dalam waktu yang lebih lama meningkatkan risiko efek samping dan resistensi
 bakteri.

b. Pemberian Analgesia/pereda nyeri

 Penanganan OMA selayaknya disertai penghilang nyeri (a nalgesia).


 Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia sederhana seperti paracetamol atau
ibuprofen.
 Namun perlu diperhatikan bahwa pada penggunaan ibuprofen, harus dipastikan bahwa anak
tidak mengalami gangguan pencernaan seperti muntah atau diare karena ibuprofen dapat
memperparah iritasi saluran cerna.

c. Obat lain

 Pemberian obat-obatan lain seperti antihistamin (antialergi) atau dekongestan tidak


memberikan manfaat bagi anak.
 Pemberian kortikosteroid juga tidak dianjurkan.
 Myringotomy (myringotomy: melubangi gendang telinga untuk mengeluarkan cairan yang
menumpuk di belakangnya) juga hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus di mana terjadi
gejala yang sangat berat atau ada komplikasi.
 Cairan yang keluar harus dikultur.
 Pemberian antibiotik sebagai profilaksis untuk mencegah berulangnya OMA tidak memiliki
bukti yang cukup.

b. Otitis Media Kronis

Penyebab penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor 
 penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian pada waktu pengobatan
haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-
 perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses
infeksi yang terdapat ditelinga. Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan
operasi, tetapi obat -obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.

Menurut Nursiah, prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi,
dimana pengobatan dapat dibagi atas : Konservatif dan Operasi.

1. OMK BENIGNA
a. OMSK BENIGNA TENANG

Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan mengorek telinga,
air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila
menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan
operasi rekonstruksi (miringoplasti,timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta
gangguan pendengaran.

 b. OMSK BENIGNA AKTIF

Prinsip pengobatan OMSK adalah :

1. Pembersihan liang telinga dan kavum timpan ( toilet telinga)

Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk perkembangan
mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik bagi perkembangan
mikroorganisme

Cara pembersihan liang telinga ( toilet telinga) :

• Toilet telinga secara kering ( dry mopping).

Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di beri antibiotik 
 berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan diklinik atau dapat juga dilakukan oleh
anggota keluarga. Pembersihan liang telinga dapat dilakukan setiap hari sampai telinga
kering.

• Toilet telinga secara basah ( syringing).

Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah, kemudian dengan kapas
lidi steril dan diberi serbuk antibiotik. Meskipun cara ini sangat efektif untuk membersihkan
telinga tengah, tetapi dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan kemastoid.
Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan reaksi sensitifitas
 pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk antiseptik, misalnya asam boric dengan
Iodine.

• Toilet telinga dengan pengisapan (suction toilet)

Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan bantuan mikroskopis operasi adalah metode
yang paling populer saat ini. Kemudian dilakukan pengangkatan mukosa yang berproliferasi
dan polipoid sehingga sumber infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi drainase yang baik 
dan resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang koperatif cara ini dilakukan tanpa anast esi
tetapi pada anakanak diperlukan anastesi. Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan mencapai
sasarannya bila dilakukan dengan “ displacement methode” seperti yang dianjurkan oleh
Mawson dan Ludmann.

2. Pemberian antibiotik topikal

Terdapat perbedaan pendapat mengenai manfaat penggunaan antibiotik topikal untuk OMSK.
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan se kret yang banyak tanpa dibersihkan
dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif la gi diberikan obat tetes yang
mengandung antibiotik dan kortikosteroid.

Rif menganjurkan irigasi dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam dan merupakan
media yang buruk untuk tumbuhnya kuman. Selain itu dikatakannya, bahwa tempat infeksi
 pada OMSK sulit dicapai oleh antibiotika topikal. Djaafar dan Gitowirjono menggunakan
antibiotik topikal sesudah irigasi sekret profus dengan hasil cukup memuaskan, kecuali kasus
dengan jaringan patologis yang menetap pada te linga tengah dan kavum mastoid. Mengingat
 pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak 
dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1
minggu.Cara pemilihan antibiotik yang paling baik dengan berdasarkan kult ur kuman
 penyebab dan uji resistesni.

Obat-obatan topikal dapat berupa bubuk atau tetes telinga yang biasanya dipakai setelah
telinga dibersihkan dahulu.

Bubuk telinga yang digunakan seperti :

a. Acidum boricum dengan atau tanpa iodine

 b. Terramycin.

c. Asidum borikum 2,5 gram dicampur dengan khloromicetin 250 mg

Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk OMK aktif yang
dikombinasi dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun dewasa. Neomisin dapat
melawan kuman Proteus dan Stafilokokus aureus tetapi tidak aktif melawan gram negatif 
anaerob dan mempunyai kerja yang terbatas melawan Pseudomonas karena meningkatnya
resistensi. Polimiksin efektif melawan Pseudomonas aeruginosa dan beberapa gram negatif 
tetapi tidak efektif melawan organisme gram positif (Fairbanks, 1984). Seperti
aminoglokosida yang lain, Gentamisin dan Framisetin sulfat aktif melawan basil gram negatif 
dan gentamisin kerjanya “sedang” dalam melawan Streptokokus. Tidak ada satu pun
aminoglikosida yang efektif melawan kuman anaerob.

Biasanya tetes telinga mengandung kombinasi neomisin, polimiksin dan hidrokortison, bila
sensitif dengan obat ini dapat digunakan sulfanilaid-steroid tetes mata.

Kloramfenikol tetes telinga tersedia dalam acid carrier dan telinga akan sakit bila diteteskan.
Kloramfenikol aktif melawan basil gram positif dan gram negative kecuali Pseudomonas
aeruginosa, tetapi juga efektif melawan kuman anaerob, khususnya B. fragilis Pemakaian
 jangka panjang lama obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosida akan merusak 
foramen rotundum, yang akan menyebabkan ototoksik.

Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada ot itis media kronik adalah :

1. Polimiksin B atau polimiksin E

Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas, E. Koli Klebeilla,
Enterobakter, tetapi resisten terhadap gram positif , Proteus, B. fragilis Toksik terhadap ginjal
dan susunan saraf.
2. Neomisin

Obat bakterisid pada kuma gram positif dan negatif, misalnya : Stafilokokus aureus, Proteus
sp. Resisten pada semua anaerob dan Pseudomonas. Toksik terhadap ginjal dan telinga.

3. Kloramfenikol

Obat ini bersifat bakterisid terhadap :

Stafilokokus, koagulase positif, 99%

Stafilokokus, koagulase positif, 95%

Stafilokokus group A, 100%

E. Koli, 96%

Proteus sp, 60%

Proteus mirabilis, 90%

Klebsiella, 92%

Enterobakter, 93%

Pseudomonas, 5%

Dari penelitian terhadap 50 penderita OMSK yang diberi obat tetes telinga dengan ofloksasin
dimana didapat 88,96% sembuh, membaik 8,69% dan tidak ada perbaikan 4,53%

3. Pemberian antibiotik sistemik 

Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan kultur kuman
 penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan
sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan , perlu diperhatikan faktor penyebab
kegagalan yang ada pada penderita tersebut.

Dalam pengunaan antimikroba, sedikitnya perlu diketahui da ya bunuhnya terhadap masing-


masing jenis kuman penyebab, kadar hambat minimal terhadap masing-masing kuman
 penyebab, daya penetrasi antimikroba di masing jaringan tubuh, toksisitas obat terhadap
kondisi tubuhnya . dengan melihat konsentrasi obat dan daya bunuhnya terhadap mikroba,
antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama daya bunuhnya tergantung
kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak kuman terbunuh, misalnya golongan
aminoglikosida dengan kuinolon. Golongan kedua adalah antimikroba yang pada konsentrasi
tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian dosis t idak menambah daya bunuh
antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta laktam.

Terapi antibiotik sistemik yang dianjurkan pada Otitis media kronik adalah

 Kuman aerob Antibiotik sistemik


 Pseudomonas Aminoglikosida atau karbenisilin
 P. Mirabilis Ampisilin atau sefalosforin
 P. Morganii Aminoglikosida atau Karbenisilin
 P. Vulgaris
 Klebsiella Sefalosforin atau aminoglikosida
 E. Koli Ampisilin atau sefalosforin
 S. Aureus Anti-stafilikokus penisilin, Sefalosforin,
 eritromosin, aminoglikosida
 Streptokokus Penisilin, sefalosforin, eritromisin
 Aminoglikosida
 B. fragilis Klindamisin

Antibiotika golongan kuinolon ( siprofloksasin, dan ofloksasin) yaitu dapat derivat asam
nalidiksat yang mempunyai aktifitas anti pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi
tidak dianjurkan untuk anak dengan umur dibawah 16 t ahun. Golongan sefalosforin generasi
III ( sefotaksim, seftazidinm dan seftriakson) juga aktif terhadap pseudomonas, tetapi harus
diberikan secara parenteral. Terapi ini sangat baik untuk OMA sedangkan untuk OMK belum
 pasti cukup, meskipun dapat mengatasi OMK.

Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaer ob. Menurut Browsing dkk 
metronidazol dapat diberikan dengan dan tanpa antibiotik ( sefaleksin dan kotrimoksasol)
 pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-
4 minggu1.

2. OMK MALIGNA

Pengobatan yang tepat untuk OMK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif dengan
medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila
terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum
kemudian dilakukan mastoidektomi.

Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMK dengan
mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain (Soepardi, 2001):

• Mastoidektomi sederhana

Dilakukan pada OMK tipe benigna yang tidak sembuh dengan pengobatan konservatif. Pada
tindakan ini dilakukan pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologik, dengan tujuan
agar infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi.

• Mastoidektomi radikal

Dilakukan pada OMK maligna dengan infeksi atau kolesteatom yang sudah meluas.Pada
operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan patologik.
Dinding batas antara liang telinga luar dan telin ga tengah dengan rongga mastoid
diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan. Tujuan operasi
ini adalah untuk membuang semua jaringan patologik dan mencegah komplikasi ke
intrakranial.

• Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (Operasi Bondy)


Dilakukan pada OMK dengan kolesteatom di daerah attic, tetapi belum merusak kavum
timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding posterior l iang telinga direndahkan.
Tujuan operasi adalah untuk membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid dan
mempertahankan pendengaran yang masih ada.

• Miringoplasti

Dilakukan pada OMK tipe benigna yang sudah tenang dengan ketulian ringan yang hanya
disebabkan oleh perforasi membran timpani. Operasi ini merupakan jenis timpanoplasti yang
 paling ringan, dikenal juga dengan nama timpanoplasti tipe 1. Rekonstruksi hanya dilakukan
 pada membran timpani. Tujuan operasi adalah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga
tengah ada OMSK tipe benigna dengan perforasi yang menetap.

• Timpanoplasti

Dikerjakan pada OMK tipe benigna dengan kerusakan yang lebih berat atau OMSK tipe
 benigna yang tidak bisa diatasi dengan pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi adalah
menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran. Pada operasi ini selain
rekonstruksi membran timpani seringkali harus dilakukan juga rekonstruksi tulang
 pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi tulang yang dilakukan maka dikenal istilah
timpanoplasti tipe II, III, IV dan V.

• Timpanoplasti dengan pendekatan ganda (Combined Approach Tympanoplasty)

Dikerjakan pada kasus OMK tipe maligna atau OMK tipe benigna dengan jaringan granulasi
yang luas. Tujuan operasi untuk menyembuhkan penyakit serta memper baiki pendengaran
tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior liang
telinga). Yang dimaksud dengan combined approach di si ni adalah membersihkan
kolesteatom dan jaringan granulasi di kavum timpani melalui dua jalan, yaitu li ang telinga
dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior. Namun t eknik operasi ini pada
OMK tipe maligna belum disepakati oleh para ahli karena sering timbul kembali
kolesteatoma.

Komplikasi

a. Otitis Media Akut

Komplikasi yang serius adalah:

· Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis)

·  Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler )

 Kelumpuhan pada wajah


 Tuli
 Peradangan pada selaput otak (meningitis)
 ·Abses Otak
Tanda-tanda terjadinya komplikasi:

- Sakit kepala

- Tuli yang terjadi secara mendadak 

- Vertigo (perasaan berputar)

- Demam dan menggigil.

b. Otitis Media Kronis

OMK tipe benigna :

Omk tipe benigna tidak menyerang tulang sehingga jarang menimbulkan komplikasi, tetapi
 jika tidak mencegah invasi (peristiwa masuknya bakteri ke dalam tubuh) organisme baru dari
nasofaring dapat menjadi superimpose otitis media supuratif akut eksaserbsi akut dapat
menimbulkan komplikasi dengan terjadinya tromboplebitis vaskuler 

OMK tipe maligna :

Komplikasi dimana terbentuknya kolesteatom berupa :

1. erosi canalis semisirkularis

2. erosi canalis tulang

3. erosi tegmen timpani dan abses ekstradural

4. erosi pada permukaan lateral mastoid dengan timbulnya abses subperiosteal

5. erosi pada sinus sigmoid

Menurut Shanbough (2003) komplikasi OMK terbagi atas:

a. Komplikasi Intratemporal

- Perforasi membrane timpani.

- Mastoiditis akut.

- Parese nervus fasialis.

- Labirinitis.

- Petrositis.
 b. Komplikasi Ekstratemporal.

- Abses subperiosteal.

c. Komplikasi Intrakranial.

- Abses otak.

- Tromboflebitis.

- Hidrocephalus otikus.

- Empiema subdural/ ekstradural

Prognosis

a. Otitis Media Akut

Prognosis pada Otitis Media Akut baik apabila diberikan terapi yang adekuat (antibiotik yang
tepat dan dosis yang cukup ).

b. Otitis Media Kronik 

OMK tipe benigna

Prognosis dengan pengobatan local, otorea dapat mongering. Tetapi sisa perforasi sentral
yang berkepanjangan memudahkan infeski dari nasofaring atau bakteri dari meatus eksterna
khususnya terbawa oleh air, sehingga penutupan membrane timpani disarankan.

OMK tipe maligna

Prognosis kolesteatom yang tidak diobati akan berkembang menjadi meningitis, abes otak,
 prasis fasialis atau labirintis supuratif yang semuanya fatal. Sehingga OMSK type maligna
harus diobati secara aktif sampai proses erosi tulang berhenti.

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) OMA DAN OMK 


BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Otitis media juga merupakan salah satu penyakit langganan anak. Prevalensi t erjadinya otitis
media di seluruh dunia untuk usia 10 tahun sekitar 62 % sedangkan anak-anak berusia 3
tahun sekitar 83 %. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75 % anak mengalami minimal 1
episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya 3
kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25 % anak mengalami minimal 1 episode sebelum usia
10 tahun ( Abidin, 2009. Di negara tersebut otitis media paling sering terjadi pada usia 3-6
tahun

Mengingat masih tingginya angka otitis media pada anak-anak, maka diagnosis dini yang
tepat dan pengobatan secara tuntas mutlak diperlukan guna mengurangi angka kejadian
komplikasi dan perkembangan penyakit menjadi otitis media kronis.

1.2 Rumusan Masalah

1) Apa yang dimaksud dengan OMA dan OMK?

2) Bagaimana Etiologi pada OMA dan OMK ?

3) Bagaimana patofisiologi pada OMA dan OMK ?

4) Bagaimana manifestasi klinis pada OMA dan OMK ?

5) Bagaimana pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan pada OMA dan OMK ?

6) Bagaimana komplikasi dan prognosis pada OMA dan OMK ?

7) Bagaimana asuhan keperawatan pada OMA dan OMK ?

1.1.Tujuan

Tujuan Umum : Menjelaskan asuhan keperawatan dengan klien OMA dan OMK 

Tujuan khusus : Menjelaskan Konsep dasar dari penyakit OMA dan OMK 

1. Menjelaskan definisi dari penyakit OMA dan OMK 


2. Menjelaskan etiologi dari penyakit OMA dan OMK 
3. Menjelaskan patofisiologi OMA dan OMK 
4. Menjelaskan manifestasi klinis OMA dan OMK 
5. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan pada OMA dan OMK 
6. Menjelaskan komplikasi dan prognosis pada OMA dan OMK 

1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil sebagai berikut :

1. Mengetahui Penatalaksaan pada klien Otitis Media Akut dan Otitis Media Kronis

2. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien Otitis Media Akut dan Otitis Media Kronis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Otitis adalah radang telinga, yang ditandai dengan nyeri, demam, hilangnya pendengaran,
tinitus dan vertigo.

Otitis berarti peradangan dari telinga, dan media berarti tengah. Jadi otitis media berarti
 peradangan dari telinga tengah.

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustacheus, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid/( soepardi, iskandar ,1990)

Otitis media adalah infeksi atau inflamasi pada telinga tengah (mediastore,2009 )

2.1.1 Otitis Media Akut

Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah
dan terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu (Kapita selekta kedokteran, 1999).

Otiitis media akut adalah proses infeksi yang ditentukan oleh adanya cairan di telinga atau
gangguan dengar, serta gejala penyerta lainnay tergantung berat ringannya penyakit, antara
lain : demam, iritabilitas, letargi, anoreksia, vomiting, bulging hingga perforasi membrana
tympani yang dapat diikuti dengan drainase purulen.

Otitis media akut bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering ditemukan pada anak-anak 
terutama 3 bulan-3 tahun.

Otitis media akut adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri pada ruang udara pada tulang
temporal (CMDT, edisi 3 , 2004 )

Otitis media akut adalah dari yang timbulnya cepat dan berdurasi pendek, otiti s media akut
 biasanya berhubungan dengan akumulasi cairan di telinga tengah bersama dengan tanda-
tanda atau gejala-gejala dari infeksi telinga, gendang telinga, yang menonjol biasanya disertai
nyeri, atau gendang telinga yang berlubang, seringkali dengan aliran dengan materi yang
 bernanah. Demam dapat hadir.

2.1.2 Otitis Media Kronis


Otitis media kronis adalah infeksi menahun pada telinga tengah. Kondisi yang berhubungan
dengan patologi jaringan irreversible dan biasanya disebabkan oleh episode berulang otitis
media akut yang tak tertangani. Otitis media adala h Proses peradangan di telinga tengah dan
mastoid yang menetap > 12 minggu.

Otitis media kronik adalah perforasi pada gendang telinga ( warmas if, 2009)

Otitis media kronis adalah peradangan teliga tengah yang gigih, secara khas untuk sedikitnya
satu bulan.Orang awam biasanya menyebut congek (Alfati h, 2007)

OMK dibagi dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu:

1. Tipe tubotimpani (tipe benigna/ tipe aman/ tipe mukosa)

Tipe ini ditandai adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi
dari luas dan keparahan penyakit. Proses peradangan pada OMK posisi ini terbatas pada
mukosa saja, biasanya tidak mengenai tulang, umumnya jarang menimbulkan komplikasi
yang berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi
keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, kegagalan pertahanan
mukosa terhadap infeksi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah, campuran
 bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa serta migrasi sekunder dari
epitel squamosa. Sekret mukoid berhubungan dengan hiperplasi sel goblet, metaplasi dari
mukosa telinga tengah

OMK tipe benigna berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal 2 jenis,yaitu

 OMK aktif ialah OMK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif 
 OMK tenang apabila keadaan kavum timpani terlihat basah atau kering.

2. Tipe Atikoantral (tipe malignan/ tipe bahaya)

Tipe ini ditandai dengan perforasi tipe marginal atau ti pe atik, disertai dengan kolesteatom
dan sebagian besar komplikasi yang berbahaya dan fatal timbul pada OMK tipe ini.

Kolesteatom adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi
terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatom bertambah besar. Banyak teori
mengenai patogenesis terbentuknya kolesteatom diantaranya adalah teori invaginasi, teori
migrasi, teori metaplasi, dan teori implantasi. Kolesteatom merupakan media yang baik untuk 
 pertumbuhan kuman (infeksi), terutama Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Infeksi akan
memicu proses peradangan lokal dan pelepasan mediator inflamasi yang dapat menstimulasi
sel-sel keratinosit matriks kolesteatom bersifat hiperproliferatif, destruksi, dan mampu
 berangiogenesis. Massa kolesteatom ini dapat menekan dan mendesak organ disekitarnya
sehingga dapat terjadi destruksi tulang yang diperhebat oleh pembentukan asam dari proses
 pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti
labirinitis, meningitis dan abses otak.

Kolesteatom dapat diklasifikasikan atas dua jenis:

a. Kolesteatom kongenital.
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital menurut Derlaki dan Clemis (1965)
adalah :

1. Berkembang dibelakang membran timpani yang masih utuh.

2. Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.

3. Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel undiferential
yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan.

Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang temporal,
umumnya pada apeks petrosa. Kolesteatom ini dapat menyebabkan parese nervus fasialis, tuli
saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.1,2

 b. Kolesteatom akuisital atau didapat

 Primary acquired cholesteatoma.

Kolesteatom yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran timpani. Kolesteatom
timbul akibat proses invaginasi dari membran timpani pars flaksida akibat adanya tekanan
negatif pada telinga tengah karena adanya gangguan tuba (teori invaginasi). Kolesteatom
yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida1,2

 Secondary acquired cholesteatoma.

Terbentuk setelah perforasi membran timpani. Kolesteatom terjadi akibat masuknya epitel
kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (teori
migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang
 berkangsung lama (teori metaplasi).

Bentuk perforasi membran timpani adalah :

1. Perforasi sentral

Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-superior, kadang-
kadang sub total. Pada seluruh tepi perforasi masih ada terdapat sisa membran timpani.

2. Perforasi marginal

Terdapat pada pinggir membran timpani dan adanya erosi dari anulus fibrosus. Perforasi
marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total . Perforasi pada pinggir 
 postero-superior berhubungan dengan kolesteatom.

3. Perforasi atik 

Terjadi pada pars flaksida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma.

2.2 Etiologi

2.2.1 Otitis Media Akut


Biasanya penyakit ini merupakan komplikasi dari infeksi saluran pernafasan atas
(common cold). Penyebab otitis media akut (OMA) dapat berupa virus maupun bakteri.

Virus atau bakteri dari tenggorokan bisa sampai ke telinga tengah melalui tuba eustakius atau
kadang juga melalui aliran darah. Otitis media akut juga bisa terjadi karena adanya
 penyumbatan pada sinus atau tuba eustakius akibat alergi atau pembengkakan amandel.

Penyebab utama otitis media akut adalah masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga
tengah yang normalnya adalah steril. Paling sering terjadi bila t erdapat disfungsi tuba
eustachii seperti obstruksi yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, inflamasi
 jaringan disekitarnya (sinusitis, hipertrofi adenoid) atau reaksi alergik ( rhinitis alergika).
Bakteri yang umum ditemukan sebagai organisme penyebab adalah Streptococcus
 peneumoniae, Hemophylus influenzae, Streptococcus pyogenes, dan Moraxella catarrhalis.

2.2.2 Otitis Media Kronis

Otitis media kronis terjadi akibat adanya lubang pada gendang telinga (perforasi)
(Mediastore,2009). Perforasi gendang telinga bisa disebabkan oleh: otitis media akut
 penyumbatan tuba eustakius cedera akibat masuknya suatu benda ke dalam telinga atau
akibat perubahan tekanan udara yang terjadi secara tiba-tiba luka bakar karena panas atau zat
kimia. Bisa juga disebabkan karena bakteri, antara lain:

 Streptococcus.
 Stapilococcus.
 Diplococcus pneumonie.
 Hemopilus influens.
 Gram Positif : S. Pyogenes, S. Albus.
 Gram Negatif : Proteus spp, Psedomonas spp, E. Coli.
 Kuman anaerob : Alergi, diabetes melitus, TBC paru.

Penyebab OMK antara lain:

1. Lingkungan

Hubungan penderita OMK dan faktor sosioekonomi belum jel as, tetapi kelompok 
sosioekonomi rendah memiliki insiden OMK yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir 
dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, dan tempat tinggal yang
 padat.

2. Genetik 

Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMK 
 berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-
sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini
 primer atau sekunder.

3. Riwayat otitis media sebelumnya


Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut dan/
atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu
telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan kronis

4. Infeksi

Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak bervariasi pada
otitis media kronik yang aktif. Keadaan ini menunjukkan bahwa metode kultur yang
digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah bakteri Gram ( -), flora
tipe usus, dan beberapa organisme lainnya.

5. Infeksi saluran nafas atas

Banyak penderita mengeluh keluarnya sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas
atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya
daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga ten gah,
sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.

6. Autoimun

Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap OMK.

7. Alergi

Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang
 bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi terhadap
antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti
kemungkinannya.

8. Gangguan fungsi tuba eustachius

Pada otitis media kronis aktif tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal
ini merupakan fenomena primer atau sekunder masih belum diketahui. Pada telinga yang
inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan
umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi
normal.

Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani yang menetap pada
OMK adalah:

 Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi
sekret telinga purulen berlanjut.
 Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada
 perforasi.
 Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme
migrasi epitel.
 Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat
diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan spontan
dari perforasi.
2.3 Patofisiologi

2.3.1 Otitis Media Akut

Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga kesterilan
telinga tengah. Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat
 bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut
sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran menyebabkan
transudasi, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan
membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah
nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang
telinga.

Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang
telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di
telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya
sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan
gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga
 juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya
dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.

2.3.2 Otitis Media Kronis

Patofisiologi OMK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini merupakan
stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti
dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Terjadinya OMK hampir selalu dimulai dengan
otitis media berulang. OMK disebabkan oleh multifaktor antara lain infeks i virus atau bakteri,
gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan, dan social ekonomi.

Fokus infeksi biasanya terjadi pada nasofaring (adenoiditis, tonsillitis, rhinitis,


sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Kadang-kadang infeksi berasal
dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani, maka terjadi
inflamasi. Bila terbentuk pus akan terperangkap di dalam kantung mukosa di telinga tengah.
Dengan pengobatan yang cepat dan adekuat serta perbaikan fungsi telinga tengah, biasanya
 proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Walaupun kadang-
kadang terbentuk jaringan granulasi atau polip ataupun terbentuk kantong abses di dalam
lipatan mukosa yang masing-masing harus dibuang, tetapi dengan penatalaksanaan yang baik 
 perubahan menetap pada mukosa telinga tengah jarang terjadi. Mukosa telinga tengah
mempunyai kemampuan besar untuk kembali normal. Bila terjadi perforasi membrane
timpani yang permanen, mukosa telinga tengah akan terpapar ke telinga luar sehingga
memungkinkan terjadinya infeksi berulang. Hanya pada beberapa kasus keadaan telinga
tengah tetap kering dan pasien tidak sadar akan penyakitnya. Berenang, kemasukan benda
yang tidak steril ke dalam liang telinga atau karena adanya focus infeksi pada saluran napas
 bagian atas akan menyebabkan infeksi eksaserbasi akut yang ditandai dengan secret yang
mukoid atau mukopurulen.
2.4 Manifestasi Klinis

2.4.1 Otitis Media Akut

Gejala klinis otitis media akut (OMA) tergantung pada stadium penyakit dan umur 
 pasien. Stadium otitis media akut (OMA) berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah :

1. 1. Stadium oklusi tuba Eustachius

Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga
tengah. Kadang berwarna normal atau keruh pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar 
dibedakan dengan otitis media serosa akibat virus atau al ergi.

1. 2. Stadium hiperemis (presupurasi)

Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani
tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat
serosa sehingga sukar terlihat.

1. 3. Stadium supurasi

Membrana timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema yang hebat pada mukosa
telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di
kavum timpani.Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga
 bertambah hebat.Apabila tekanan tidak berkurang, akan terjadi iskemia, tromboflebitis dan
nekrosis mukosa serta submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan
kekuningan pada membran timpani. Di tempat ini akan terjadi ruptur.

1. 4. Stadium perforasi

Karena pemberian antibiotik yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat terjadi
ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Pasi en
yang semula gelisah menjadi tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.

1. 5. Stadium resolusi

Bila membran timpani tetap utuh maka perlahan-lahan akan normal kembali. Bila terjadi
 perforasi maka sekret akan berkurang dan mengering. Bila daya tahan tubuh baik dan
virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan. Otitis media akut
(OMA) berubah menjadi otitis media supuratif subakut bila perforasi menetap dengan sekret
yang keluar terus-menerus atau hilang timbul lebih dari 3 minggu. Disebut otitis media
supuratif kronik (OMSK) bila berlangsung lebih 1,5 atau 2 bulan. Dapat meninggalkan gejala
sisa berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa perforasi.Pada
anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam tel inga dan suhu tubuh yang tinggi. Biasanya
terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.Pada orang dewasa, didapatkan juga gangguan
 pendengaran berupa rasa penuh atau kurang dengar.Pada bayi dan anak kecil gejala khas
otitis media anak adalah suhu tubuh yang tinggi (> 39,5 derajat celsius), gelis ah, sulit tidur,
tiba-tiba menjerit saat tidur, diare, kejang, dan kadang-kadang memegang telinga yang sakit.
Setelah terjadi ruptur membran tinmpani, suhu tubuh akan turun dan anak tertidur.

2.4.2 Otitis Media Kronis

Gejala berdasarkan tipe Otitis Media Kronis:

1. OMK tipe benigna:

Gejalanya berupa discharge mukoid yang tidak terlalu berbau busuk , ketika pertama kali
ditemukan bau busuk mungkin ada tetapi dengan pembersihan dan penggunaan
antibiotiklokal biasanya cepat menghilang, discharge mukoid dapat konstan atau intermitten.

Gangguan pendengaran konduktif selalu didapat pada pasien dengan derajat ketulian
tergantung beratnya kerusakan tulang-tulang pendengaran dan koklea selama infeksi nekrotik 
akut pada awal penyakit.

Perforasi membrane timpani sentral sering berbentuk seperti ginjal tapi selalu meninggalkan
sisa pada bagian tepinya . Proses peradangan pada daerah timpani te rbatas pada mukosa
sehingga membrane mukosa menjadi berbentuk garis dan tergantung derajat infeksi
membrane mukosa dapt tipis dan pucat atau merah dan tebal, kadang suatu polip didapat tapi
mukoperiosteum yang tebal dan mengarah pada meatus menghalangi pandangan membrane
timpani dan telinga tengah sampai polip tersebut diangkat . Discharge terlihat berasal dari
rongga timpani dan orifisium tuba eustachius yang mukoid da setelah satu atau dua kali
 pengobatan local abu busuk berkurang. Cairan mukus yang tidak terlalu bau datang dari
 perforasi besar tipe sentral dengan membrane mukosa yang berbentuk garis pada rongga
timpani merupakan diagnosa khas pada omsk tipe benigna.

1. OMK tipe maligna dengan kolesteatoma:

Sekret pada infeksi dengan kolesteatom beraroma khas, sekret yang sangat bau dan berwarna
kuning abu-abu, kotor purulen dapat juga terlihat keeping-keping kecil, berwarna putih
mengkilat.

Gangguan pendengaran tipe konduktif timbul akibat terbentuknya kolesteat om bersamaan


 juga karena hilangnya alat penghantar udara pada otitis media nekrotikans akut. Selain tipe
konduktif dapat pula tipe campuran karena kerusakan pada koklea yaitu karena erosi pada
tulang-tulang kanal semisirkularis akibat osteolitik kolesteatom.

Gejalanya bervariasi, berdasarkan pada lokasi perforasi gendang telinga:

1. Perforasi sentral (lubang terdapat di tengah-tengah gendang telinga). Otitis media


kronis bisa kambuh setelah infeksi tenggorokan dan hidung (misalnya pilek) atau karena
telinga kemasukan air ketika mandi atau berenang. Penyebabnya biasanya adalah bakteri.
Dari telinga keluar nanah berbau busuk tanpa disertai rasa nyeri. Bila terus menerus kambuh,
akan terbentuk pertumbuhan menonjol yang disebut polip, yang berasal dari telinga tengah
dan melalui lubang pada gendang telinga akan menonjol ke dalam saluran telinga luar.
Infeksi yang menetap juga bisa menyebabkan kerusakan pada tulang-tulang pendengaran
(tulang-tulang kecil di telinga tengah yang mengantarkan suara dari telinga luar ke telinga
dalam) sehingga terjadi tuli konduktif.

Perforasi marginal (lubang terdapat di pinggiran gendang telinga). Bisa terjadi tuli
2. Perforasi
konduktif dan keluarnya nanah dari telinga.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik 

2.5.1 Otitis Media Akut

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan telinga dengan


otoskop. Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran timpani. Untuk 
menentukan organisme penyebabnya dilakukan pembiakan terhadap nanah atau cairan
lainnya dari telinga.

2.5.2 Otitis Media Kronis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan telinga dengan


otoskop.
otoskop. Untuk mengetahui organisme penyebabnya, dilakukan pembiakan terhadap cair an
yang keluar dari telinga. Rontgen mastoid atau CT scan kepala dilakukan untuk mengetahui
adanya penyebaran infeksi ke struktur di sekeliling telinga. Tes Audiometri dilakukan untuk 
mengetahui pendengaran menurun. X ray terhadap koleste atoma dan kekaburan mastoid.

2.6 Penatalaksanaan

2.6.1 Otitis Media Akut

Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan
untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau
sistemik, dan antipiretik.

1. 1. Stadium Oklusi

Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di
telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,25 % untuk anak < 12 tahun
atau HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologis untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa.
Sumber infeksi lokal harus diobati. Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman.

1. 2. Stadium Presupurasi

Diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Bila membran timpani sudah terlihat
hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan pemberian antibiotik 
golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan
asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar 
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung,
gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal
selama 7 hari.

1. 3. Stadium Supurasi

Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk mel akukan miringotomi bila membran
timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.

1. 4. Stadium Perforasi

Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O2
3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan
hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.

1. 5. Stadium Resolusi

Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup.
Bila tidak, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila tetap, mungkin telah terjadi
mastoiditis.

a. Pemberian Antibiotik 

1. OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya.


2. Sekitar 80% OMA sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak 
mengurangi komplikasi yang dapat terjadi, termasuk
termas uk berkurangnya pendengaran.
3. Observasi dapat dilakukan pada sebagian besar kasus. Jika gejala tidak membaik 
dalam 48-72 jam atau ada perburukan gejala, antibiotik diberikan.

American Academy of Pediatrics (AAP) mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan
yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut:

Usia Diagnosis pasti Diagnosis meragukan


< 6 bln Antibiotik Antibiotik 
6 bln – 
bln – 22 th Antibiotik Antibiotik jika gejala berat,
observasi jika gejala ringan
2 thn Antibiotik jika gejala berat, Observasi
observasi jika gejala ringan

Yang dimaksud
dimaksud dengan gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam <39°C dalam
24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang – 
sedang  – berat
berat atau demam
39°C.

Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia e nam bulan – 
bulan – dua
dua
tahun dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis mera gukan pada anak di atas dua
tahun. Untuk dapat memilih observasi, follow-up harus dipastikan dapat terlaksana.
Analgesia tetap diberikan pada masa observasi.

British Medical Journal memberikan kriteria yang sedikit berbeda untuk menerapkan
observasi ini.10 Menurut BMJ, pilihan observasi dapat dilakukan terutama pada anak tanpa
gejala umum seperti demam dan muntah.

Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk sebagian besar anak 
adalah amoxicillin.

 Sumber seperti AAFP (American Academy of Family Physician) menganjurkan


 pemberian 40 mg/kg berat badan/hari
badan/hari pada anak dengan risiko rendah dan 80 mg/kg
 berat badan/hari untuk anak dengan
dengan risiko tinggi.
 Risiko tinggi yang dimaksud antara lain adalah usia kurang dari dua tahun, dirawat
sehari-hari di daycare, dan ada riwayat pemberian antibiotik dalam tiga bulan terakhir.
 WHO menganjurkan 15 mg/kg berat badan/pemberian dengan maksimumnya 500 mg.
 AAP menganjurkan dosis 80-90 mg/kg berat badan/hari.6 Dosis ini terkait dengan
meningkatnya persentase bakteri yang tidak dapat diatasi dengan dosis standar di
Amerika Serikat. Sampai saat ini di Indonesia tidak ada data yang mengemukakan hal
serupa, sehingga pilihan yang bijak adalah menggunakan dosis 40 mg/kg/hari.
Dokumentasi adanya bakteri yang resisten terhadap dosis standar harus didasari hasil
kultur dan tes resistensi terhadap antibiotik.
 Antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-72 jam.
 Dalam 24 jam pertama terjadi stabilisasi, sedang dalam 24 jam kedua mulai terjadi
 perbaikan. Jika pasien tidak membaik dalam 48-72 jam, kemungkinan
kemungkinan ada penyakit
penyakit
lain atau pengobatan yang diberikan tidak memadai. Dalam kasus seperti ini
dipertimbangkan pemberian antibiotik lini kedua. Mis alnya:
 Pada pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, antibiotik yang kemudian dipilih
adalah amoxicillin-clavulanate.6 Sumber lain menyatakan pemberian amoxicillin-
clavulanate dilakukan jika gejala tidak membaik dalam tujuh hari atau kembali
muncul dalam 14 hari.

ü Jika pasien alergi ringan terhadap amoxicillin,


amoxicillin, dapat diberikan cephalosporin
cephalosporin seperti
cefdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime.

ü Pada alergi berat terhadap amoxicillin, yang diberikan adalah azithromycin atau
clarithromycin

ü Pilihan lainnya adalah erythromycin-sulfisoxazole atau sulfamethoxazole-trimethoprim.

ü Namun kedua
kedua kombinasi ini bukan pilihan pada OMA yang
yang tidak membaik dengan
amoxicillin.

ü Jika pemberian amoxicillin-clavulanate juga tidak memberikan hasil, pilihan yang diambil
adalah ceftriaxone selama tiga hari.

ü Perlu diperhatikan bahwa cephalosporin


cephalosporin yang digunakan pada OMA umumnya merupakan
generasi kedua atau generasi ketiga dengan spektrum luas. Demikian juga az ythromycin atau
clarythromycin. Antibiotik dengan spektrum luas, walaupun dapat membunuh lebih banyak 
 jenis bakteri, memiliki risiko yang lebih besar. Bakteri normal di tubuh akan dapat terbunuh
sehingga keseimbangan flora di tubuh terganggu. Selain itu risiko terbentuknya bakteri yang
resisten terhadap antibiotik akan lebih besar. Karenanya, pilihan ini hanya digunakan pada
kasus-kasus dengan indikasi jelas penggunaan antibiotik lini kedua.

ü Pemberian antibiotik pada otitis media dilakukan selama sepuluh hari pada anak berusia di
 bawah dua tahun atau anak dengan gejala berat.

ü Pada usia enam tahun ke atas, pemberian antibiotik cukup 5-7 hari. Di Inggris, anjuran
 pemberian antibiotik adalah 3-7 hari atau lima hari.

ü Tidak adanya perbedaan bermakna antara pemberian antibiotik dalam jangka waktu
kurang dari tujuh hari dibandingkan dengan pemberian lebih dari tujuh hari. Dan karena itu
 pemberian antibiotik selama lima hari dianggap cukup pada otitis media. Pemberian
antibiotik dalam waktu yang lebih lama meningkatkan risiko efek samping dan resistensi
 bakteri.

b. Pemberian Analgesia/pereda nyeri

 Penanganan OMA selayaknya disertai penghilang nyeri (analgesia).


 Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia sederhana seperti paracetamol
atau ibuprofen.
  Namun perlu diperhatikan bahwa pada penggunaan ibuprofen, harus dipastikan bahwa
anak tidak mengalami gangguan pencernaan seperti muntah atau diare karena
ibuprofen dapat memperparah iritasi saluran cerna.

c. Obat lain

 Pemberian obat-obatan lain seperti antihistamin (antialergi) atau dekongestan tidak 


memberikan manfaat bagi anak.
 Pemberian kortikosteroid juga tidak dianjurkan.
 Myringotomy (myringotomy: melubangi gendang telinga untuk mengeluarkan cairan
yang menumpuk di belakangnya) juga hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus di
mana terjadi gejala yang sangat berat atau ada komplikasi.
 Cairan yang keluar harus dikultur.
 Pemberian antibiotik sebagai profilaksis untuk mencegah berulangnya OMA tidak 
memiliki bukti yang cukup.

2.6.2 Otitis Media Kronis

Penyebab penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor 
 penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian pada waktu pengobatan
haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-
 perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses
infeksi yang terdapat ditelinga. Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan
operasi, tetapi obat -obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.

Menurut Nursiah, prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi,
dimana pengobatan dapat dibagi atas : Konservatif dan Operasi.
1. OMK BENIGNA

a. OMSK BENIGNA TENANG

Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan mengorek telinga,
air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila
menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan
operasi rekonstruksi (miringoplasti,timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta
gangguan pendengaran.

 b. OMSK BENIGNA AKTIF

Prinsip pengobatan OMSK adalah :

1. Pembersihan liang telinga dan kavum timpan ( toilet telinga)

Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk perkembangan
mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik bagi perkembangan
mikroorganisme ( Fairbank, 1981).

Cara pembersihan liang telinga ( toilet telinga) :

• Toilet telinga secara kering ( dry mopping).

Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di beri antibiotik 
 berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan diklinik atau dapat juga dilakukan oleh
anggota keluarga. Pembersihan liang telinga dapat dilakukan setiap hari sampai telinga
kering.

• Toilet telinga secara basah ( syringing).

Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah, kemudian dengan
kapas lidi steril dan diberi serbuk antibiotik. Meskipun cara ini sangat efektif untuk 
membersihkan telinga tengah, tetapi dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain
dan kemastoid ( Beasles, 1979). Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat
menimbulkan reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk 
antiseptik, misalnya asam boric dengan Iodine.

• Toilet telinga dengan pengisapan (suction toilet)

Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan bantuan mikroskopis operasi a dalah
metode yang paling populer saat ini. Kemudian dilakukan pengangkatan mukosa yang
 berproliferasi dan polipoid sehingga sumber infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi
drainase yang baik dan resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang koperatif cara ini dilakukan
tanpa anastesi tetapi pada anakanak diperlukan anastesi. Pencucian telinga dengan H2O2 3%
akan mencapai sasarannya bila dilakukan dengan “ displacement methode” seperti yang
dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann.

2. Pemberian antibiotik topikal


Terdapat perbedaan pendapat mengenai manfaat penggunaan antibiotik topikal untuk 
OMSK. Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa
dibersihkan dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan
obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid.

Rif menganjurkan irigasi dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam dan merupakan
media yang buruk untuk tumbuhnya kuman. Selain itu dikatakannya, bahwa tempat infeksi
 pada OMSK sulit dicapai oleh antibiotika topikal. Djaafar dan Gitowirjono menggunakan
antibiotik topikal sesudah irigasi sekret profus dengan hasil cukup memuaskan, kecuali kasus
dengan jaringan patologis yang menetap pada te linga tengah dan kavum mastoid. Mengingat
 pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak 
dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1
minggu.Cara pemilihan antibiotik yang paling baik dengan berdasarkan kult ur kuman
 penyebab dan uji resistesni.

Obat-obatan topikal dapat berupa bubuk atau tetes telinga yang biasanya dipakai setelah
telinga dibersihkan dahulu.

Bubuk telinga yang digunakan seperti :

a. Acidum boricum dengan atau tanpa iodine

 b. Terramycin.

c. Asidum borikum 2,5 gram dicampur dengan khloromicetin 250 mg

Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk OMK aktif yang
dikombinasi dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun dewasa. Neomisin dapat
melawan kuman Proteus dan Stafilokokus aureus tetapi tidak aktif melawan gram negatif 
anaerob dan mempunyai kerja yang terbatas melawan Pseudomonas karena meningkatnya
resistensi. Polimiksin efektif melawan Pseudomonas aeruginosa dan beberapa gram negatif 
tetapi tidak efektif melawan organisme gram positif (Fairbanks, 1984). Seperti
aminoglokosida yang lain, Gentamisin dan Framisetin sulfat aktif melawan basil gram negatif 
dan gentamisin kerjanya “sedang” dalam melawan Streptokokus. Tidak ada satu pun
aminoglikosida yang efektif melawan kuman anaerob.

Biasanya tetes telinga mengandung kombinasi neomisin, polimiksin dan hidrokortison, bila
sensitif dengan obat ini dapat digunakan sulfanilaid-steroid tetes mata.

Kloramfenikol tetes telinga tersedia dalam acid carrier dan telinga akan sakit bila diteteskan.
Kloramfenikol aktif melawan basil gram positif dan gram negative k ecuali Pseudomonas
aeruginosa, tetapi juga efektif melawan kuman anaerob, khususnya B. fragilis ( Fairbanks,
1984). Pemakaian jangka panjang lama obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosida
akan merusak foramen rotundum, yang akan menyebabkan ototoksik.

Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada ot itis media kronik adalah :

1. Polimiksin B atau polimiksin E


Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas, E. Koli Klebeilla,
Enterobakter, tetapi resisten terhadap gram positif , Proteus, B. fragilis Toksik terhadap ginjal
dan susunan saraf.

2. Neomisin

Obat bakterisid pada kuma gram positif dan negatif, misalnya : Stafilokokus aureus, Proteus
sp. Resisten pada semua anaerob dan Pseudomonas. Toksik terhadap ginjal dan telinga.

3. Kloramfenikol

Obat ini bersifat bakterisid terhadap :

Stafilokokus, koagulase positif, 99%

Stafilokokus, koagulase positif, 95%

Stafilokokus group A, 100%

E. Koli, 96%

Proteus sp, 60%

Proteus mirabilis, 90%

Klebsiella, 92%

Enterobakter, 93%

Pseudomonas, 5%

Dari penelitian terhadap 50 penderita OMSK yang diberi obat tetes telinga dengan ofloksasin
dimana didapat 88,96% sembuh, membaik 8,69% dan tidak ada perbaikan 4,53%

3. Pemberian antibiotik sistemik 

Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan kultur kuman
 penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan
sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan , perlu diperhatikan faktor penyebab
kegagalan yang ada pada penderita tersebut.

Dalam pengunaan antimikroba, sedikitnya perlu diketahui da ya bunuhnya terhadap masing-


masing jenis kuman penyebab, kadar hambat minimal terhadap masing-masing kuman
 penyebab, daya penetrasi antimikroba di masing jaringan tubuh, toksisitas obat terhadap
kondisi tubuhnya . dengan melihat konsentrasi obat dan daya bunuhnya terhadap mikroba,
antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama daya bunuhnya tergantung
kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak kuman terbunuh, misalnya golongan
aminoglikosida dengan kuinolon. Golongan kedua adalah antimikroba yang pada konsentrasi
tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian dosis t idak menambah daya bunuh
antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta laktam.
Terapi antibiotik sistemik yang dianjurkan pada Otitis media kronik adalah

Kuman aerob Antibiotik sistemik 

Pseudomonas Aminoglikosida atau karbenisilin

P. Mirabilis Ampisilin atau sefalosforin

P. Morganii Aminoglikosida atau Karbenisilin

P. Vulgaris

Klebsiella Sefalosforin atau aminoglikosida

E. Koli Ampisilin atau sefalosforin

S. Aureus Anti-stafilikokus penisilin, Sefalosforin,

eritromosin, aminoglikosida

Streptokokus Penisilin, sefalosforin, eritromisin

Aminoglikosida

B. fragilis Klindamisin

Antibiotika golongan kuinolon ( siprofloksasin, dan ofloksasin) yaitu dapat derivat asam
nalidiksat yang mempunyai aktifitas anti pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi
tidak dianjurkan untuk anak dengan umur dibawah 16 t ahun. Golongan sefalosforin generasi
III ( sefotaksim, seftazidinm dan seftriakson) juga aktif terhadap pseudomonas, tetapi harus
diberikan secara parenteral. Terapi ini sangat baik untuk OMA sedangkan untuk OMK belum
 pasti cukup, meskipun dapat mengatasi OMK.

Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaer ob. Menurut Browsing dkk 
metronidazol dapat diberikan dengan dan tanpa antibiotik ( sefaleksin dan kotrimoksasol)
 pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-
4 minggu1.

2. OMK MALIGNA

Pengobatan yang tepat untuk OMK maligna adala h operasi. Pengobatan konservatif 
dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan
 pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan
tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi.

Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMK 
dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain (Soepardi, 2001):

• Mastoidektomi sederhana
Dilakukan pada OMK tipe benigna yang tidak sembuh dengan pengobatan konservatif. Pada
tindakan ini dilakukan pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologik, dengan tujuan
agar infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi.

• Mastoidektomi radikal

Dilakukan pada OMK maligna dengan infeksi atau kolesteatom yang sudah meluas.Pada
operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan patologik.
Dinding batas antara liang telinga luar dan telin ga tengah dengan rongga mastoid
diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan. Tujuan operasi
ini adalah untuk membuang semua jaringan patologik dan mencegah komplikasi ke
intrakranial.

• Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (Operasi Bondy)

Dilakukan pada OMK dengan kolesteatom di daerah attic, tetapi belum merusak kavum
timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding posterior l iang telinga direndahkan.
Tujuan operasi adalah untuk membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid dan
mempertahankan pendengaran yang masih ada.

• Miringoplasti

Dilakukan pada OMK tipe benigna yang sudah tenang dengan ketulian ringan yang hanya
disebabkan oleh perforasi membran timpani. Operasi ini merupakan jenis timpanoplasti yang
 paling ringan, dikenal juga dengan nama timpanoplasti tipe 1. Rekonstruksi hanya dilakukan
 pada membran timpani. Tujuan operasi adalah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga
tengah ada OMSK tipe benigna dengan perforasi yang menetap.

• Timpanoplasti

Dikerjakan pada OMK tipe benigna dengan kerusakan yang lebih berat atau OMSK tipe
 benigna yang tidak bisa diatasi dengan pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi adalah
menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran. Pada operasi ini selain
rekonstruksi membran timpani seringkali harus dilakukan juga rekonstruksi tulang
 pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi tulang yang dilakukan maka dikenal istilah
timpanoplasti tipe II, III, IV dan V.

• Timpanoplasti dengan pendekatan ganda (Combined Approach Tympanoplasty)

Dikerjakan pada kasus OMK tipe maligna atau OMK tipe benigna dengan jaringan granulasi
yang luas. Tujuan operasi untuk menyembuhkan penyakit serta memper baiki pendengaran
tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior liang
telinga). Yang dimaksud dengan combined approach di si ni adalah membersihkan
kolesteatom dan jaringan granulasi di kavum timpani melalui dua jalan, yaitu li ang telinga
dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior. Namun t eknik operasi ini pada
OMK tipe maligna belum disepakati oleh para ahli karena sering timbul kembali
kolesteatoma.
2.7 Komplikasi

2.7.1 Otitis Media Akut

Komplikasi yang serius adalah:

· Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis)

·  Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler )

 Kelumpuhan pada wajah


 Tuli
 Peradangan pada selaput otak (meningitis)
 ·Abses Otak 

Tanda-tanda terjadinya komplikasi:

v Sakit kepala

v Tuli yang terjadi secara mendadak 

v Vertigo (perasaan berputar)

v Demam dan menggigil.

2.7.2 Otitis Media Kronis

OMK tipe benigna :

Omk tipe benigna tidak menyerang tulang sehingga j arang menimbulkan


komplikasi, tetapi jika tidak mencegah invasi (peristiwa masuknya bakteri ke dalam tubuh)
organisme baru dari nasofaring dapat menjadi superimpose otitis media supuratif akut
eksaserbsi akut dapat menimbulkan komplikasi dengan terjadinya tromboplebitis vaskuler 

OMK tipe maligna :

Komplikasi dimana terbentuknya kolesteatom berupa :

1. erosi canalis semisirkularis

2. erosi canalis tulang

3. erosi tegmen timpani dan abses ekstradural

4. erosi pada permukaan lateral mastoid dengan timbulnya abses subperiosteal

5. erosi pada sinus sigmoid


Menurut Shanbough (2003) komplikasi OMK terbagi atas:

a. Komplikasi Intratemporal

- Perforasi membrane timpani.

- Mastoiditis akut.

- Parese nervus fasialis.

- Labirinitis.

- Petrositis.

 b. Komplikasi Ekstratemporal.

- Abses subperiosteal.

c. Komplikasi Intrakranial.

- Abses otak.

- Tromboflebitis.

- Hidrocephalus otikus.
- Empiema subdural/ ekstradural

2.8 Prognosis

2.8.1 Otitis Media Akut

Prognosis pada Otitis Media Akut baik apabila diberikan terapi yang adekuat (antibiotik 
yang tepat dan dosis yang cukup ).

2.8.2 Otitis Media Kronik 

OMK tipe benigna

Prognosis dengan pengobatan local, otorea dapat mongering. Tetapi sisa perforasi sentral
yang berkepanjangan memudahkan infeski dari nasofaring atau bakteri dari meatus eksterna
khususnya terbawa oleh air, sehingga penutupan membrane timpani disarankan.

OMK tipe maligna

Prognosis kolesteatom yang tidak diobati akan berkembang menjadi meningitis,


abes otak, prasis fasialis atau labirintis supuratif yang semuanya fatal. Sehingga OMSK type
maligna harus diobati secara aktif sampai proses erosi tulang berhenti.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Asuhan Keperawatan pada Otitis Media Kronis

3.1 Pengkajian

1. Pengumpulan Data

 Identitas Pasien : Nama pasien, umur, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,


alamat
 Riwayat Penyakit Sekarang : Riwayat adanya kelainan nyeri pada telinga,
 penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
 Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat infeksi saluran atas yang berulang, riwayat alergi,
riwayat OMA berkurang, riwayat penggunaan obat( sterptomisin, salisilat, kuirin,
gentamisin ), riwayat operasi
 Riwayat penyakit keluarga : Apakah keluarga klien pernah mengalami penyakit
telinga, sebab dimungkinkan OMK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang
dikaitkan sebagai faktor genetik 

2. Pengkajian Persistem

Tanda-tanda vital : Suhu meningkat, keluarnya otore

B2 ( Blood ) : Nadi meningkat

B3 (Brain) : Nyeri telinga, perasaan penuh dan pendengaran menurun, vertigo, pusing,
refleks kejut

B5 (Bowel) : Nausea vomiting

B6 (Bone) : Malaise, alergi

3. Pengkajian Psikososial

1.  Nyeri otore berpengaruh pada interaksi


2. Aktivitas terbatas
3. Takut menghadapi tindakan pembedahan

4. Pemeriksaan diagnostik 

a. Tes audiometri : pendengaran menurun

 b. Xray : terhadap kondisi patologi, misal kolestetoma, kekaburan mastoid

5. Pemeriksaan pendengaran

- Tes suara bisikan, tes garputala

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan

2. Gangguan komunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran

3. Perubahan persepsi / sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau
kerusakan di syaraf pendengaran

4. Cemas berhubungan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, ane stesi, nyeri,
hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.

5. Isolasi sosial berhubungan dengan nyeri , otore berbau busuk 

6. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan

3.3 Intervensi dan Rasional


1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan

Tujuan : Nyeri yang dirasakan klien berkurang rasa

Kriteria hasil : Klien mengungkapkan bahwa nyeri berkurang, klien mampu melakukan
metode pengalihan suasana

Intervensi Keperawatan:

ü Ajarkan klien untuk mengalihkan suasana dengan melakukan metode relaksasi saat nyeri
yang teramat sangat muncul, relaksasi seperti menarik napas panjang

Rasional : Metode pengalihan suasana dengan melakukan relaksasi bisa mengurangi


nyeri yang diderita klien

ü Kompres dingin di sekitar area telinga

Rasional : Kompres dingin bertujuan mengurangi nyeri karena rasa nyeri


teralihkan oleh rasa dingin di sekitar area telinga

ü Atur posisi klien

Rasional : Posisi yang sesuai akan membuat klien merasa nyaman

ü Untuk kolaborasi, beri aspirin/analgesik sesuai instruksi, beri sedatif sesuai indikasi

Rasional : Analgesik merupakan pereda nyeri yang efektif pada pasien untuk 
mengurangi sensasi nyeri dari dalam

2. Gangguan komunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran

Tujuan : Gangguan komunikasi berkurang / hilang

Kriteria hasil : Klien memakai alat bantu dengar ( jika sesuai ), menerima pesan melalui
metode pilihan ( misal: komunikasi lisan, bahasa lambang, berbicara dengan jelas pada
telinga yang baik 

Intervensi keperawatan:

ü Dapatkan apa metode komunikasi yang diinginkan dan catat pada rencana perawatan
metode yang digunakan oleh staf dan klien, seperti : tulisan, berbicara, bahasa is yarat.

Rasional: Dengan mengetahui metode komunikasi yang diinginkan oleh klien maka
metode yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan
klien

ü Pantau kemampuan klien untuk menerima pesan secara verbal.

a. Jika ia dapat mendengar pada satu telinga, berbicara dengan perlahan dan jelas langsung ke
telinga yang baik 
- Tempatkan klien dengan telinga yang baik berhadapan dengan pintu

- Dekati klien dari sisi telinga yang baik 

 b. Jika klien dapat membaca ucapan:

- Lihat langsung pada klien dan bicaralah lambat dan jelas

- Hindari berdiri di depan cahaya karena dapat menyebabkan klien tidak dapat membaca bibir 
anda

c. Perkecil distraksi yang dapat menghambat konsentrasi klien

- Minimalkan percakapan jika klien kelelahan atau gunakan komunikasi tertulis

- Tegaskan komunikasi penting dengan menuliskannya

d. Jika ia hanya mampu berbahasa isyarat, sediakan penerjemah. Alamatkan semua


komunikasi pada klien, tidak kepada penerjemah. Jadi seolah-olah perawat sendiri yang
langsung berbicara pada klien dengan mengabaikan keberadaan penerjemah

Rasional : Pesan yang ingin disampaikan oleh perawat kepada klien dapat diterima
dengan baik oleh klien.

ü Gunakan faktor-faktor yang meningkatkan pendengaran dan pemahaman

a. Bicara dengan jelas menghadap individu

 b. Ulangi jika kilen tidak memahami seluruh isi pembicaraan

c. Gunakan rabaan dan isyarat untuk meningkatkan komunikasi

d. Validasi pemahaman individu dengan mengajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban


lebih dair ya dan tidak 

Rasional : Memungkinkan komunikasi dua arah antara perawat dengan klien dapat
berjalan dengan baik dan klien dapat menerima pesan perawat secara tepat.

3. Perubahan persepsi / sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau
kerusakan di syaraf pendengaran

Tujuan : Persepsi / sensoris baik 

Kriteria hasil : Klien akan mengalami peningkatan persepsi / sensoris pendengaran sampai
 pada tingkat fungsional

Intervensi keperawatan :

ü Ajarkan klien menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat


Rasional : Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan / ketulian,
pemakaian serta perawatannya yang tepat.

ü Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman sehingga dapat mencegah
terjadinya ketulian lebih jauh

Rasional : Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran yang
tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga harus dilindungi

ü Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut

Rasional : Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap masalah-masalah


pendengaran rusak secara permanen

ü Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik ( baik itu antibiotik 
sistemik maupun lokal )

Rasional : Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan


organisme sisa berkembang biak sehingga infeksi akan berlanjut

4. Cemas berhubungan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri,


hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.

Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang / hilang

Kriteria hasil : Klien mampu mengungakpkan ketakutan / kekhawatirannya

Intervensi keperawatan :

ü Mengatakan hal sejujurnya kepada klien ketika mendiskusikan mengenai kemungkinan


kemajuan dari fungsi pendengarannya untuk mempertahankan harapan klie n dalam
 berkomunikasi

Rasional : Harapan-harapan yang tidak realistik tidak dapat mengurangi kecemasan,


 justru malah menimbulkan ketidakkepercayaan klien terhadap perawat. Menunjukkan
kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat
khusus sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya

ü Berikan informasi tentang kelompok yang juga pernah mengalami gangguan seperti yang
dialami klien untuk memberikan dukungan kepada klien

Rasional : Dukungan dari beberapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan
sangat membantu klien

ü Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-alat yang tersedia yang dapat
membantu klien

Rasional : Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada di sekitarnya yang
dapat mendukung dia untuk berkomunikasi
5. Isolasi sosial berhubungan dengan nyeri , otore berbau busuk 

Tujuan : Tetap mengembangkan hubungan dengan orang lain

Kriteria Hasil : Klien tetap mengembangkan hubungan dengan orang lain

Intervensi keperawatan :

ü Bina hubungan saling percaya

Rasionalisasi : hubungan saling percaya dapat menjadi dasar terjadinya hubungan


sosial.

ü Yakinkan klien bahwa setelah dilakukan pengobatan / pembedahan cairan akan keluar dan
 bau busuk akan hilang

Rasional : Klien akan kooperatif / berpartisipasi dalam persiapan pembedahan (


tympanoplasti ) dan akan mulai mengajak bicara dengan perawat dan keluarga

6. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan

Tujuan : Klien akan mempunyai pemahaman yang baik tentang pengobatan dan cara
 pencegahan kekambuhan.

Kriteria hasil : Klien paham mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan

Intervensi keperawatan :

ü Ajarkan klien mengganti balutan dan menggunakan antibiotik secara kontinyu sesuai
aturan.

Rasional : pendidikan kesehatan tenyang cara mengganti balutan dapat meningkatkan


pemahaman klien sehingga dapat berpartisipasi dalam pencegahan kekambuhan.

ü Beritahu komplikasi yang mungkin timbul dan bagaimana cara melaporkannya

Rasional : pemahaman tentang komplikasi yang dapat terjadi pada klien dapat
membantu klien dan keluarga untuk melaporkan ke tenaga kesehatan sehingga dapat
dengan cepat ditangani.

ü Tekankan hal-hal yang penting yang perlu ditindak lanjuti / evaluasi pendengaran.

Rasional : follow up sangat penting dilakukan oleh anak karena dapat mengetahui
perkembangan penyakit dan mencegah terjadinya kekambuhan.

BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Dalam kasus ini , pada awalnya pasien mengalami infeksi saluran pernapasan atas
(ISPA) dan tonsilitis. Akan tetapi, karena adanya perluasan infeksi di daerah auries media,
maka pasien akan mengalami otitis meda akut. Otitis media akut yang tidak diobati secara
tuntas dapat berlanjut menjadi Otitis media Kronik yang ditandai denagn adanya perforasi
 pada membran tympani.

4.2 Saran

Hendaknya dilakukan uji kultur pada pasien untuk mengetahui j enis bakteri yang
menginfeksi dan untuk pemberian antibiotik yang te pat.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,Lynda Juall.2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Edisi 10.EGC:Jakarta

George L, Adams.1997. Buku Ajar Penyakit THT .Edisi 6.EGC:Jakarta

Abidin, Taufik.2009.Otitis Media Akut .http:/library.usu.ac.id (10 September 2009)

Rothrock, C.J.(2000). Perencanaan Asuha


Kolesteatoma adalah deskumulasi non neoplasma sel epitel kulit pada cavum timpani,
mastoid2 atau apex petrosus. Meskipun kolesteatoma bukan lesi neoplasma tetapi dapat
 berbahaya pada penderita1.

Istilah kolesteatoma diperkenalkan pertama kali oleh Johanes Muller pada tahun 1838 untuk 
menjelaskan kolesteatoma sebagai dikira sebagai neoplasma lemak di antara sel-sel
 polihedral1.
Kolesteatoma telah dikenal sebagai lesi bersifat desktruksif pada kranium yang dapat
mengerosi dan menghancurkan struktur penting pada tulang t emporal. Sehingga berpotensi
menyebabkan komplikasi pada sistem syaraf pusat3.
Insidensi kolesteatoma tidak diketahui dengan pasti, tetapi keadaan ini merupakan alasan
untuk dilakukan bedah telinga. Kematian karena komplikasi intrakranial kini tidak umum
terjadi disebabkan deteksi dini, intervensi pembedahan dan terapi suportif antibiotik.
Kolestatoma masih penyebab umum tuli konduksi sedang dan permanen pada anak-anak dan
dewasa3.
A. Definisi
Kolesteatom adalah suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel (keratin)4. Deskuamasi
tersebut dapat berasal dari kanalis auditoris externus atau membrana timpani. Apabila
terbentuk terus dapat menumpuk sehingga menyebabkan kolesteatom ber tambah besar4.
Kolesteatoma dapat terjadi di kavum timpani dan atau mastoid5.

B. Etiologi
Kolesteatoma biasanya terjadi karena tuba eustachian yang tidak berfungsi dengan baik 
karena terdapatnya infeksi pada telinga tengah. Tuba eustachian membawa udara dari
nasofaring ke telinga tengah untuk menyamakan tekanan telinga tengah dengan udara luar6.
 Normalnya tuba ini kolaps pada keadaan istirahat, ketika menelan atau menguap, otot yang
mengelilingi tuba tersebut kontraksi sehingga menyebabkan tuba tersebut membuka dan
udara masuk ke telinga tengah7. Saat tuba eustachian tidak berfungsi dengan baik udara pada
telinga tengah diserap oleh tubuh dan menyebabkan di telinga tengah sebagian terjadi hampa
udara 6. Keadaan ini menyebabkan pars plasida di atas colum maleus membentuk kantong
retraksi, migrasi epitel membran timpani melalui kantong yang mengalami retraksi ini
sehingga terjadi akumulasi keratin8. Kantong tersebut menjadi kolesteatoma. Kolestoma
kongenital dapat terjadi ditelinga tengan dan tempat lain misal pada tulang tengkorak yang
 berdekatan dengan kolesteatomanya 6.
Perforasi telinga tengah yang disebabkan oleh infeksi kronik atau trauma langsung dapat
menjadi kolesteatoma. Kulit pada permukaan membran timpani dapat tumbuh melalui
 perforasi tersebut dan masuk ke dalam telinga tengah7.
Beberapa pasien dilahirkan dengan sisa kulit yang terperangkap di telinga tengah
(kolesteatoma kongenital) atau apex petrosis7.

C. Patogenesis
Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma, antara lain
adalah: teori invaginasi, teori imigrasi, teori metaplasi dan teori implantasi. Teori tersebut
akan lebih mudah dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma menurut Gray (1964)
yang mengatakan; kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah atau
menurut pemahaman Djaafar (2001) kolesteatoma dapat terjadi karena adanya epitel kulit
yang terperangkap. Sebagaimana diketahui bahwa seluruh epitel kulit (keratinizing stratified
squamosus epithelium) pada tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka/ terpapar ke dunia
luar. Epitel kulit di liang telinga merupakan suatu daerah Cul-de-sa c sehingga apabila
terdapat serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama maka dari epitel kulit yang
 berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma
4.

1. Teori invaginasi
Kolesteatoma timbul akibat terjadi proses invaginasi dari membrana timpani pars plasida
karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba 4.
2. Teori imigrasi
Kolesteatoma terbentuk akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir 
 perforasi membrana timpani ke telinga tengah4. Migrasi ini berperan penting dalam
akumulasi debris keratin dan sel skuamosa dalam retraksi kantong dan perluasan kulit ke
dalam telinga tengah melalui perforasi membran timpani.
3. Teori metaplasi
Terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung
lama4 .
4. Teori implantasi
Pada teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatom terjadi akibat adanya implantasi epitel
kulit secara iatrogenik ke dalam telinga tengah waktu operasi, setelah blust injury,
 pemasangan ventilasi tube atau setelah miringotomi 4
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk t umbuhnya kuman, yang paling sering
adalah Pseudomonas aerogenusa. Pembesaran kolesteatom menjadi lebih cepat apabila sudah
disertai infeksi, kolesteatom ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta
menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang
diperhebat dengan adanya pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses
nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirinitis, meningitis dan
abses otak 4 .
D. Klasifikasi
Kolesteatoma dapat dibagi menjadi dua jenis:
1.Kolesteatom kongenital, yang terbentuk pada masa embrionik dan ditemukan pada telinga
dengan membrana timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi. Lokasi kolesteatoma biasanya di
kavum timpani, daerah petrosus mastoid atau di cerebellopontin angle 4 .
2.Kolesteatoma akuisital yang terbentuk setelah anak lahir 
a. Kolestetoma akuisital primer 
kolestetoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membrana timpani. kolestetoma
timbul akibat terjadi proses invaginasi dari membrana timpani pars plasida karena adanya
tekanan negatif ditelinga tengah akibat gangguan tuba (teori invaginasi) 4 .
 b. Kolestetoma akuisital sekunder 
kolestetoma terbentuk setelah adanya perforasi membrana timpani. kolestetoma terbentuk 
akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membrana
timpani ke telinga tengah (teori immigrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum
timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama (teori metaplasia) 4 .

E. Gejala Klinis
1. Nyeri
Pasien mengeluh nyeri tumpul dan otore intermitten akibat erosi tulang dan infeksi sekuder9.
Perasaan sakit dibelakang atau didalam telinga dapat dirasakan terutama pada malam hari
sehingga dapat menyebabkan tidak nyaman pada pasien6.
2. Pendengaran berkurang
Kolesteatoma dapat tetap asimtomatik dan mencapai ukuran yang cukup besar sebelum
terinfeksi atau menimbulkan gangguan pendengaran, dengan akibatnya hilangnya tulang
mastoid, osikula, dan pembungkus tulang saraf fasialis10.
3. Perasaan penuh
Kantong kolesteatoma dapat membesar sehingga dapat menyebabkan perasaan penuh atau
tekanan dalam telinga, bersamaan dengan kehilangan pendengaran 6.
4. Pusing
Perasaan pusing atau kelemahan otot dapat terjadi di salah satu sisi wajah (sisi telinga yang
terinfeksi) 6.

F. Histologis
Kolesteatoma secara histologis adalah kista sel-sel keratinisasi skuamosa benigna yang
disusun atas tiga komponen, yaitu kistik, matriks dan perimatrik. Kistik ters usun atas sel
skuamosa keratinisasi anukleat berdiferesiansi penuh. Matriks terdiri atas epitel skuamosa
keratinisasi seperti susunan kista. Perimatrik atau lamina propria merupakan bagian
kolesteatoma yang terdiri atas sel-sel granulasi yang mengandung kristal kolesterol. Lapisan
 perimatriks merupakan lapisan yang bersentuhan dengan tulang. Jaringan granulasi
memproduksi enzim proteolitik yang dapat menyebabkan desktruksi terhad ap tulang.1.

G. Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat keluhan pada telinga sebelumnya harus di selidiki untuk memperoleh gejala awal
kolesteatoma. Gejala yang sering dikeluhkan adalah otore, otalgia, obstruksi nasal, tinitus dan
vertigo. Riwayat penyakit dahulu menderita penyakit pada telinga tengah seperti otitis media
dan atau perforasi membrana timpani harus ditanyakan, kehilangan pendengaran unilateral
 progresif dengan otore yang berbau busuk1, riwayat operasi sebelumnya8.
2. Pemeriksaan fisik 
Pemeriksaan fisik terdiri atas pemeriksaan kepala dan leher, dengan perhatian terutama pada
 pemeriksaan telinga. Penilaian umum untuk menghindari terlewatnya penilaian demam,
 perubahan status mental dan penilaian lainnya yang dapat memberikan petunjuk kearah
komplikasi5.
Otomikroskopi merupakan alat pada pemeriksaan fisik untuk mengetahui dengan pasti
kolesteatoma. Diperlukan aural toiletisasi untuk menghilangkan otore, debris atau lapisan
kulit sehingga visualisasi dapat lebih jelas. Membran timpani harus diperiksa dengan teliti.
Retraksi sering terdapat pada attic atau membran timpani kuadran posterosuperior5.
Akumulasi debris skuamosa dapat dijumpai pada kantongnya. Terdapat juga perforasi
membrana timpani, pemeriksaan mukosa telinga tengah untuk menilai ada atau tidaknya
udema, dan jaringan granulasi5.
Tes Rinne dan Weber dengan menggunakan garputala 512 Hz didapatkan hasil t uli konduksi,
sebaiknya dibandingkan dengan pemeriksaan audiometri5.
3.Audiometri
Audiometri nada murni dengan konduksi udara dan tulang, amba ng penerimaan pembicaraan
dan pengenalan kata umumnya dipakai untuk menetapkan tuli konduksi pada telinga yang
sakit. Derajat tuli konduksi bervariasi tergantung beratnya penyakit5. Tuli konduksi sedang >
40dB menyatakan terjadinya diskontinuitas ossikula, biasanya karena erosi posesus longus
incus atau capitulum stapes8.
4.Timpanometri, dapat menurun pada penderita dengan perforasi membran timpani8.
5.Radiologi
Pemeriksaan radiologi preoperasi dengan CT scan tulang temporal tanpa kontras dalam
 potongan axial dan koronal8 dapat memperlihatkan anatomi, keluasan penyakit dan skrening
komplikasi asimptomatik8. CT scan tidak essensial untuk penilaian preoperasi, dikerjakan
 pada kasus revisi pembedahan sebelumnya, otitis media supuratif kronik, kecurigaan
abnormalitas kongenital atau kasus kolesteatoma dengan tuli sensorunerual, gejala vesti bular 
atau komplikasi lainnya1.
Kolesteatoma kongenital di diagnosa pada anak usia pre sekolah, dapat timbul pada telinga
tengah atau dalam membrana timpani. Kolesteatoma kongenital yang melibatkan telinga
tengah diidentifikasi sebagai massa putih atau seperti mutiara yang letaknya medial terhadap
kuadran anteo superior dari membran timpani intak.5, pars placida dan pars tensanya normal,
tidak ada riwayat otore atau perforasi sebelumnya, tidak ada riwayat prosedur otologi8.
Kolesteatoma akuisital umumnya didiagnosa pada anak dengan usia lebih tua dan dewasa
dengan riwayat adanya penyakit telinga tengah. Kolesteatoma sering ditemukan pada
membrana timpani kuadran postero superior dengan membran timpaninya retraksi dan atau
 perforasi. Pengurangan pendengaran terjadi seiring meluasnya penyakit5.

H. Penatalaksanaan
1. Terapi awal
Terapi awal terdiri atas pembersihan telinga, antibiotika dan tetes telinga. Terapi bertujuan
untuk menghentikan drainase pada telinga dengan mengendalikan infeksi 6. Pada kantong
dengan retraksi yang awal dapat dipasang timpanostomi8.
2. Terapi pembedahan
Kolestoma merupakan penyakit bedah. Tujuan utama pembedahan adalah menghilangkan
kolesteatoma secara total. Tujuan kedua adanya mengembalikan atau memelihara fungsi
 pendengaran. Tujuan ketiga adalah memeliharan sebisa mungkin penampilan anatomi
normal. Prosedur pembedahan diterapkan pada individu dengan tanda-tanda patologis.
Keluasan penyakit akan menentukan keluasan pendekatan pembedahan1.
Kolesteatoma besar atau yang mengalami komplikasi memerlukan terapi pembedahan untuk 
mencegah komplikasi yang lebih serius. Tes pendengaran dan keseimbangan, rontgen
mastoid dan CT scan mastoid diperlukan. Tes tersebut dilakukan dengan maksud untuk 
menentukan tingkat pendengaran dan keluasan desktruksi yang disebabkan oleh
kolesteatomanya sendiri 6.
Sebagaimana prosedur pembedahan lainnya, konseling preoperatif dianjurkan. Konseling
meliputi penjelasan tujuan pembedahan, resiko pembedahan (paralisis fasial, verti go, tinnitus,
kehilangan pendengaran), memerlukan follow up lebih lanjut dan aural toilet 1.
Prosedur pembedahan meliputi:
a. Canal Wall Down Procedure (CWD)
 b. Canal Wall Up Procedure (CWU)
c. Trancanal Anterior Atticotomi
d. Bondy Modified Radical Procedure
Berbagai macam faktor turut menentukan operasi yang terbaik untuk pasien. Canal-wall-
down prosedur memiliki probabilitas yang tinggi membersihkan perm anen kolesteatomanya.
Canal-wall-up procedure memiliki keuntungan yaitu mempertahankan penampilan normal,
tetapi resiko tinggi terjadinya rekurensi dan persisten kolestatoma. Resiko rekurensi cukup
tinggi sehingga ahli bedah disarankan melakukan tympanomastoidectomi setelah 6 bulan
sampai 1 tahun setelah operasi pertama3.
3. Follow up
Tiap pasien dimonitor selama beberapa tahun. Rekurensi dapat terjadi setelah pembedahan
awal. Follow up meliputi evaluasi setengah tahunan atau tahunan, bahkan pada pasien yang
asimptomatik3.
Pasien yang telah menjalani canal-wall-down prosedure memerlukan follow up tiap 3 bulan
untuk pembersihan saluran telinga. Pasien yang menjalani canal- wall-up prosedur umumnya
memerlukan operasi tahap kedua selelah 6-9 bulan dari operasi perta ma. Follow up dilakukan
6 bulan sampai dengan 1 tahun untuk mencegah terjadinya kolesteatoma persisten atau
rekurensi3.

I. Komplikasi
1. Tuli konduksi
Tuli konduksi merupakan komplikasi yang sering terjadi karena terjadi erosi rangkaian tulang
 pendengaran. Erosi prosesus lentikular dan atau super struktur stapes dapat menyebabkan tuli
konduksi sampai dengan 50dB. Kehilangan pendengaran bervariasi sesuai dengan
 perkembangan myringostapediopexy atau transmisi suara melalui kantong kolesteatoma ke
stapes atau footplate. Rangkaian tulang-tulang pendengaran selalu intak1.
2. Tuli sensorineural
Terdapatnya tuli sensorineural menandakan terdapatnya keterlibatan labyrinth1.
3. Kehilangan pendengaran total
Setelah operasi sebanyak 3% telinga yang dioperasi mengalami kerusakan permanen karena
 penyakitnya sendiri aau komplikasi proses penyembuhan. Pasien harus diberikan penjelasan
tentang kemungkinan kehilangan pendengaran total 1.
4. Paralisis fasialis
Paralisis fasialis disebabkan karena hancurnya tulang diatas nervus fasialis 7. Paralisis dapat
 berkembang secara akut mengikuti infeksinya atau lambat dari penyebaran kronik 
kolesteatomanya. Pemeriksaan CT tulang temporal diperlukan untuk membantu
keterlibatannya. Tempat umum yang terjadi adalah gangglin genikulatum pada
epitimpanicum anterior1.
5. Fistula labyrinthin
Fistula labyrinthin terjadi pada 10% pasien dengan infeksi kronik dengan kolesteatoma.
Fistula dicurigai pada pasien dengan gangguan tuli sensorineural yang sudah berjalan lama
dan atau vertigo yang diinduksi dengan suara atau perubahan tekanan pada telinga tengah1.
6. Intrakranial
Komplikasi intrakranial seperti abses periosteal, trombosis sinus lateral dan abses intrakranial
terjadi pada 1% penderita kolesteatoma. Komplikasi intra kranial ditandai dengan gejala otore
maladorous supuratif, biasanaya dengan nyeri kepala kronik, nyeri dan atau demam1.

DAFTAR PUSTAKA

1.Underbrink, M., 2002, Cholesteatoma, UTMB, Dept. of Otolaryngology,


http://www.rcsullivan.com/www/ears.htm.
2.Ajalloueyan, M., 2006, Surgery in Cholesteatoma: Ten years Follow-up, IJMS Vol 31, No
1, March 2006.
3.Roland, P. S., 2006, Middle Ear, Cholesteatoma, http://www.emedicine.com
4.Djaafar, Z. A., 2001, Kelainan Telinga Tengah dal am buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
5.Kennedy, K., 1999, Cholesteatoma: Pathogenesis and Surgical Management,
http://www.otohns.net/default.asp?id=14160.
6.Anonim, 2006, Cholesteatoma, American Academy of Otolaryngology,
http://www.entnet.org/index2.cfm.
7.Anonim, 2002, Cholesteatoma, http://www.earsite.com/tumors/procedure_one.html.
8.Hauptman, G., Makishma, T, 2006, Cholesteatoma, Department of Otolaringology,
University of Texas Medical Branch.
9.Boies, L. R., 1997, Penyakit Telinga Luar dalam buku Boies Buku Ajar Penyakit THT,
EGC, Jakarta.
10.Paparella, M. M., Adams, G. L., Levine, S., 1997, Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid
alam buku Boies Buku Ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta.

KOLESTEATOMA EKSTERNA

Diposkan oleh Taufik Abidin

oleh: Taufik Abidin

Kolesteatoma adalah suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun 1838 karena
disangka tumor yang ternyata bukan. Seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous
epithelium) pada tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka/ terpapar ke dunia luar. Epitel
kulit di liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen
padat di liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari
serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.
Kolesteatoma diawali dengan penumpukan deskuamasi epidermis di liang telinga,
sehingga membentuk gumpalan dan menimbulkan rasa penuh serta kurang dengar. Bila
tidak ditanggulangi dengan baik akan terjadi erosi kulit dan bagian tulang liang telinga. Hal
yang terakhir ini disebut sebagai kolesteatoma eksterna. Kolesteatoma eksterna disusun
atas epitel gepeng & debris tumpukan pengelupasan keratin, sehingga akan lembab karena
menyerap air sehingga mengundang infeksi. Kolesteatoma mengerosi tulang yang terkena
baik akibat efek penekanan oleh penumpukan debris keratin maupun akibat aktifitas mediasi
enzim osteoklas. Etiologinya belum diketahui, sering terjadi pada pasien dengan kelainan
paru kronik, seperti bronkiektasis, juga pada pasien sinusitis. Namun kejadian kolesteatoma
sangat jarang terjadi.

Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat tumbuhnya kuman, yang
paling sering adalah Pseudomonas aeruginosa. Pembesaran kolesteatom menjadi lebih
cepat apabila sudah disertai infeksi, kolesteatom ini akan menekan dan mendesak organ
disekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis
diperhebat oleh karena adanya pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri.

Kolesteatoma pada liang telinga biasanya unilateral. Pasien mengeluhkan nyeri


tumpul sampai nyeri hebat akibat peradangan setempat dan otorea intermitten akibat erosi
tulang dan infeksi sekunder. Kolesteatoma diduga sebagai akibat migrasi epitel yang salah
& periostitis sirkumskripta. Erosi bagian tulang liang telinga dapat sangat progresif 
memasuki rongga mastoid dan kavum timpani.
Penyakit ini dapat dikontrol dengan melakukan pembersihan liang telinga secara
periodic misalnya tiap tiga bulan. Pemberian obat tetes telinga dari campuran alcohol atau
gliserin dalam perioksida 3%, tiga kali seminggu sering kali dapat menolong. Pada pasien
yang telah mengalami erosi tulang liang telinga, seringkali diperlukan tindakan bedah
dengan melakukan tandur jaringan ke bawah kulit untuk menghilangkan gaung di dinding
liang telinga. Yang penting ialah membuat agar liang telinga berbentuk seperti corong,
sehingga pembersihan liang telinga secara spontan lebih terjamin.

DAFTAR PUSTAKA

Sosialisman. Herman., 2006. Keratosis Obliterans Dan Kolesteatoma Eksterna. Dalam:


Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT edisi kelima hal. 47-48. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.

Djaafar, ZA. 2006. Kolesteatoma. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT edisi kelima
hal.55-56. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

http://www.marshfieldclinic.org/proxy/MC-cattails_2006_sepoct_cyst.1.jpg .

Kolesteatoma
Kolesteatoma adalah suatu kista epithelial yang berisi deskuamasi
epitel/keratin. Patofisiologi / Patogenesis Kolesteatoma. Sel epitel debris mengumpul dalam
telinga bagian tengah, membentuk kista yang merusak struktur telinga dan mengurangi
pendengaran, seperti pada mastoiditis. Deteksi dan pengobatan secara dini pada otitis media
dengan memberikan antibiotika akan menurunkan kolesteatoma. Kolesteatoma sangat
 berbahaya dan merusak jaringan sekitarnya yang dapat mengakibatkan hilangnya
pendengaran.

Etiologi / Penyebab Kolesteatoma

Komplikasi dari Otitis Media Kronis

Penatalaksanaan / Penanganan / Pengobatan / Terapi Kolesteatoma

Mastoidektomy dapat menghilangkan kolesteatoma


Komplikasi Kolesteatoma

Komplikasi terjadi apabila sudah terjadi proses nekrosis tulang yakni :

- Labirinitis

- Meningitis

- Abses otak 

MASSA TELINGA TENGAH

a. jenis-jenis Massa Telinga Tengah

1. Glomus jugulare adalah tumor yang timbul dari bulbus jugularis (Brunner & Suddath:
1999;2056)

2. Neuroma nervus fasialis adalah tumor nervus VII, nervus fasialis (Brunner & Suddath:
1999;2056)

3. Granuloma kolesterin adalah reaksi system imun terhadap produk samping darah
(Kristal kolesterol) di dalam telinga tengah (Brunner & Suddath: 1999;2056)

4. Timpanosklerosis adalah timbunan kolagen dan kalsium di dalam telinga tengah yang
dapat mengeras di seputar osikulus sebagai akibta infeksi berulang

 b. Penatalaksanaan

Pada dasarnya semua jenis massa dilakukan pengangkatan massa melalui pembedahan, dan
 jika tidak memungkinkan pembedahan digunakan erapi radiasi.

Kesimpulan

Telinga adalah salah satu organ pancaindra yang memiliki fungsi yang sangat vital bagi
kehidupan manusia. Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna/aurikula), meatus autikus
eksternus, kanalis auditorius eksternus dan membran timpani. Sedangkan Telinga tengah
 berbentuk kubus yang terdiri dari membrane timpani, bila dilihat dari arah liang telinga
 berbentuk bundar dan lekung dan gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk 
kerucut dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial.

KOLESTEATOMA

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
kolesteatom adalah kista epitelial berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi tersebut
dapat berasal dari kanalis auditoris externus atau membrana timpani. Apabila terbentuk terus
menerus dapat menyebabkan terjadinya penumpukan sehingga menyebabkan kolesteatom
 bertambah besar.bersifat desktruksif pada kranium yang dapat mengerosi dan menghancurkan
struktur penting pada tulang temporal.
B. ETIOLOGI
Kolesteatoma biasanya terjadi karena tuba eustachian yang tidak berfungsi dengan
 baik karena terdapatnya infeksi pada telinga tengah. Tuba eustachian membawa udara
dari nasofaring ke telinga tengah untuk menyamakan tekanan telinga tengah dengan udara
luar. Normalnya tuba ini kolaps pada keadaan istirahat, ketika menelan atau menguap, otot
yang mengelilingi tuba tersebut kontraksi sehingga menyebabkan tuba tersebut membuka
dan udara masuk ke telinga tengah. Saat tuba eustachian tidak berfungsi dengan baik udara
 pada telinga tengah diserap oleh tubuh dan menyebabkan di telinga tengah sebagian terjadi
hampa udara. Keadaan ini menyebabkan pars plasida di atas colum maleus membentuk 
kantong retraksi, migrasi epitel membran timpani melalui kantong yang mengalami retraksi
ini sehingga terjadi akumulasi keratin.

C. PATOFISIOLOGI
Terdiri dari :
 Deskuamasi epitel skuamosa (keratin)
Jaringan granulasi yang mensekresi enzim proteolitik 
 Dapat memperluas diri dengan mengorbankan struktur dise kelilingnya

 Erosi tulang terjadi oleh dua mekanisme utama :


Efek tekanan  remodelling tulang
Aktivitas enzim  meningkatkan proses osteoklastik pada tulang  meningkatkan resorpsi
tulang.
 Merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman  infeksi

 Infeksi pelepasan sitokin yang menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma


menjadi hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis.
 Desakan massa + reaksi asam oleh pembusukan bakteri  nekrosis tulang  komplikasi
D. PATOGENESIS
1. Teori Invaginasi.
timbul akibat terjadi proses invaginasi dari membrana timpani pars flacida karena adanya
tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba.
2. Teori Imigrasi.
terbentuk akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi
membrana timpani ke telinga tengah. Migrasi ini berperan penting dalam akumulasi debris
keratin dan sel skuamosa dalam retraksi kantong dan perluasan kulit ke dalam telinga tengah
melalui perforasi membran timpani.
3. Teori Metaplasi.
akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama.

4. Teori Implantasi.
akibat adanya implantasi epitel kulit secara iatrogenik ke dalam telinga tengah waktu operasi,
setelah blust injury, pemasangan ventilasi tube atau set elah miringotomi.
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kuman, yang paling sering
adalah Pseudomonas aerogenusa. Pembesaran kolesteatom menjadi lebih cepat apabila sudah
disertai infeksi, kolesteatom ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta
menimbulkan nekrosis terhadap tulang.
Erosi tulang melalui dua mekanisme.
1. desakan atau tekanan yang mengakibatkan remodeling tulang atau nekrosis tulang.
2. aktivitas enzimatik tepi kolesteatom yang bersifat osteoklastik yang menyebabkan resorpsi
tulang.

E. KLASIFIKASI
a. Kolesteatom Kongenital.
membrana timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi. ditemukan pada daerah petrosus mastoid,
cerebellopontin angle, anterior mesotimpanum atau pada daerah tepi tuba austachii, dan
seringkali teridentifikasi pada usia 6 bulan hingga 5 tahun.
 b. Kolesteatoma Akuisital
1. Primer 
terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membrane timpani, akan tetapi telah terjadi retraksi
membran timpani.
2. Kolestetoma Akuisital Sekunder 
terbentuk setelah perforasi membran timpani. Terbentuk akibat dari masuknya epitel kulit
dari liang telinga /dari pinggir perforasi membrana timpani.
F. GEJALA KLINIS
Perforasi sentral (lubang terdapat di tengah-tengah gendang telinga) keluar nanah berbau
 busuk dari telinga tanpa disertai rasa nyeri. Bila terus menerus kambuh, akan terbentuk 
 pertumbuhan menonjol (polip), yang berasal dari telinga tengah dan melalui lubang pada
gendang telinga akan menonjol ke dalam saluran telinga luar.
- Pendengaran berkurang
- Perasaan cemas
- Pusing
Perasaan pusing atau kelemahan otot dapat terjadi di salah 1 sisi wajah atau sisi telinga yang
terinfeksi.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 
Rontgen konvensional posisi Waters dan Stenvers
CT scan
MRI
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas
 Gangguan keseimbangan tubuh

 Mudah lelah

2. Sirkulasi
 Hipotensi, hipertensi, pucat ( menendakan adanya stres )

3.  Nutrisi
 Adanya mual

4. System pendengaran
 Adanya suara abnormal (dengung)

5. Pola istirahat
 Gangguan tidur/kesulitan tidur 

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Gangguan istirahat dan tidur berhubungan dengan nyeri.
2. Gangguan rasa nyaman dan nyeri berhubungan dengan infeksi pada gendang teli nga.
3. Resiko kerusakan interaksi sosial berhubungan denagan hambaatan komunikasi.
4. Cemas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakitnya.

C. PERENCANAAN
1. Gangguan istirahat dan tidur berhubungan dengan nyeri.
Tujuan : 

Setelah dilakukannya tindakan keperawatan 1X24 jam diharapkan klien dapat istirahat dan
tidur.
Kr iteri a hasil : 

 Ganguan nyeri teradaptasi

 Dapat tidur dengan tenang

I ntervensi : 

 Kaji nyeri yang dirasakan

 Monitor tanda-tanda vital


 Anjurkan klien untuk beradaptasi dengan gangguan yang dirasakan

 Kolaborasi dalam pemberian obat penenang/obat tidur 

2. Gangguan rasa nyaman dan nyeri berhubungan dengan infeksi pada gendang telinga.
Tujuan : 

Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien di harapkan mampu menunjukan adanya


 penurunan rasa nyeri.
Kr iteri a hasil : 

  Nyeri dapat teradaptasi

 Dapat istirahat dengan nyaman

I ntervensi : 

 Monitor dan kaji karakteristik nyeri

 Monitor tanda-tanda vital

 Ciptaka lingkungan yang tenang dan nyaman

3. Resiko kerusakan interaksi sosial berhubungan denagan hambaatan komunikasi.


Tujuan : 

Setelah dilakukan tindkan keperawatan diharapkan meminimalakan kerusakan interaksi


social.
Kr iteri a hasil : 

 Resiko kerusakan interaksi sosialdapat diminimalkan.

I ntervensi : 

 Kaji kesulitan mendengar 

 Kaji seberapa parah gangguan pendengaran yang dialami

 Anjurkan menggunakan alat bantu dengar setiap diperlukan

 Bila mungkin ajarkan komunikasi nonverbal

4. Cemas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakitnya.


Tujuan : 

Setelah dilakauakan tindakan keperawatan klien dan keluarga klien tidak cemas.
Kr iteri a hasil : 

Tidak terjadi kecemasan, pengetahuan klien terhadap penyakitnya meningkat.


I ntervensi : 

 Kaji tingkat kecemasan

 Berikan penyuluhan tentang kolesteatoma

 Yakinkan klien bahwa penyakitnya dapat disembuhkan


 Anjurkan klien untuk rileks, dan menghindari stress.

Definisi

Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi jaringan epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar. 1
Seringkali kolesteatoma dihubungkan dengan kehilangan pendengaran dan infeksi pada
telinga yang menghasilkan cairan pada telinga. Tetapi dapat juga tanpa gejala. 2

Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johannes Muller pada tahun 1838 karena
disangka kolesteatoma merupakan suatu tumor, ternyata bukan. Beberapa istilah lain yang
diperkenalkan oleh para ahli antara lain adalah: keratoma (Schucknecht), squamous
epiteliosis (Birrel, 1958), kolesteatosis (Birrel. 1958), epidermoid kolesteatoma (Friedman,
1959), kista dermoid (Fertillo, 1970), epidermosis (Sumarkin, 1988). 1 Seluruh epitel kulit
(keratinizing stratified squamous epithelium) pada tubuh kita berada pada lokasi yang
terbuka/terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-
 sac sehingga apabila terdapat serumen yang pada ( serumen plug) di liang telinga dalam
waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan
terperagkap sehingga membentuk kolesteatom. Kolesteatom ini merupakan media yang baik 
untuk pertumbuhan kuman, yang paling sering adalah  Pseudomonas aeruginosa.
Kolesteatom cepat membesar bila sudah disertai dengan infeksi. Kolesteatom ini akan
menekan dan mendesak organ sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang.
Terjadinya proses nekrosis diperhebat olh karena adanya pembentukan reaksi asam oleh
 pembusukan bakteri.

Walaupun kolesteatom sudah dikenal sejak pertengahan abad ke 19, namun sampai sekarang
 patogenesis penyakit ini masih belum jelas. Banyak teori telah dikemukakan oleh para ahli
tentang pathogenesis kolesteatom, antara lain: teori invaginasi, teori imigrasi, teori metaplasi
dan teori implantasi.

Klasifikasi dan Patogenesis

Berdasarkan etiologi kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu


kongenital dan didapat (akuisita).

1) Kolesteatom Kongenital

Kolesteatoma kongenital terjadi karena perkembangan dari proses inklusi pada embrional
atau dari sel-sel epitel embrional. Karena itu kolesteatoma ditemui di belakang dari membran
tympani yang intak, tanpa berlanjut ke saluran telinga luar dengan tidak adanya faktor-faktor 
yang lain seperti perforasi dari membran t ympani, atau adanya riwayat infeksi pada telinga.

Berdasarkan teori klasik oleh Derlacki dan Clemis (1965), kolesteatoma kongenital terjadi
 pada di belakang membran tympani yang intak, tanpa riwayat infeksi sebelumnya.4 Namun
definisi ini telah berubah setelah diketajui bahwa hampir 70% anak akan mengalami
sekurang-kurangnya satu kali episode otitis media. 4 Oleh karena itu Levenson, dkk (1989)
membuat modifikasi definisi kolesteatoma kongenita (Tabel 1)

3
Tabel 1. Kriteria Kolesteatoma Kongenital Telinga Tengah

1. Terdapatnya masa putih pada membran tympani yang normal


2. Pars tensa dan flaccida yang normal
3. Tidak adanya riwayat otorrhea ataupun perforasi sebelumnya
4. Tidak ada riwayat prosedut otologi sebelumnya
5. Riwayat otitis media sebelumnya bukan merupakan kriteria eksklusi

Tipikal kolesteatom kongenital ditemukan pada bagian anterior mesotympanum atau pada
area sekitar tuba eustachius, dan sering terjadi pada awal kanak-kanak (6 bulan sampai 5
tahun).5 Penelitian Levenson menunjukkan bahwa rata-rata usia terjadinya kolesteatoma
kongenital adalah 4,5 tahun dengan perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan 3:1.
Dua pertiga kasus terjadi pada kuadran anteroposterior membran t ympani.3

Etiologi dan patogenesis kolesteatoma belum diketahui dengan jelas. Dua teori yang sering
digunakan adalah kegagalan involusi penebalan epitel ektodermal yang terjadi pada masa
 perkembangan fetus pada bagian proksimal ganglion genikulatum, serta teori terjadinya
metaplasi mukosa telinga tengah.

1) Kolesteatom Aquisita

Kolesteatoma aquisita dibagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Faktor terpenting dari
kolesteatoma aquisita, baik primer maupun sekunder, adalah epitel skuamous keratinisasi
tumbuh melewati batas normal.3 Kolesteatoma aquisita primer merupakan manifestasi dari
 perkembangan membran tympani yang retraksi. Kolesteatoma aquisita sekunder sebagai
konsekuensi langsung dari trauma pada membrane tympani.
Jika terjadi disfungsi tuba Eustachius, maka terjadilah keadaan vakum pada telinga tengah.
Sehingga pars flaccida membrana tympani tertarik dari terbentuklah kantong ( retraction
 pocket ). Jika kantong retraksi ini terbentuk maka terjadi perubahan abnormal pola migrasi
epitel tympani, menyebabkan akumulasi keratin pada kantong tersebut. Akumulasi ini
semakin lama semakin banyak dan kantong retraksi bertambah besar ke arah medial.
Destruksi tulang-tulang pendengaran sering terjadi pada kasus ini. Pembesaran dapat
 berjalan semakin ke posterior mencapai aditus ad antrum menyebar ke tulang mastoid, erosi
tegmen mastoid ke durameter dan atau ke lateral kanalis semisirkularis yang dapat
menyebabkan ketulian dan vertigo. 3,4,5

Patogenesis kolesteatoma aquisita sekunder diterangkan dengan beberapa teori, yaitu: teori
implantasi, teori metaplasi, dan teori invasi epitelial. Menurut teori implantasi, epitel
skuamous terimplantasi ke telinga tengah sebagai akibat pembedahan, adanya benda asing,
atau trauma.

Berasarkan teori metaplasia, epitel terdeskuamasi diubah menjadi epitel skuamosa stratified
keratinisasi akibat terjadinya otitis media akut berulang ataupun kronis. Sedangkan
mekanisme menurut teori invasi epitel adalah bahwa kapanpun terjadi perforasi pada
mambran tympani, epitel squamous akan bermigrasi melewati tepi perforasi dan bejalan ke
medial sejajar dengan permukaan bawah gendang telinga merusak epitel kolumnar yang ada.

Telah diyakini bahwa proses ini disebabkan infeksi kronik yang terus berlangsung dalam
cavum tympani. Pertumbuhan papiler ke dalam yang menyebabkan perkembangan
kolesteoma bermula pada pars flaccida. Reaksi peradangan pada ruang Prussack ( Prussack’s
 space), yang biasanya disebabkan ventilasi yang buruk pada daerah ini dapa menyebabkan
 perusakan membran basal menyebabkan pertumbuhan dan proliferasi tangkai sel epitel ke
dalam.3

Sekali kantong atau kista epitel skuamosa terbentuk dalam rongga telinga tengah, terbentuk 
lapisan-lapisan deskuamasi epitel dengan kristal kolestrin mengisi kantong. Matriks epitel
yang mengelilinginya meluas ke ruang-ruang yang ada di ruang atik, telinga tengah dan
mastoid. Perluasan proses ini diikuti kerusakkan tulang dinding atik, rantai osikular, dan
septa mastoid untuk memberi tempat bagi kolesteatom yang bertambah besar.

Dulu dianggap bahwa tekanan yang terjadi karena kolesteatom yang membesar menyebabkan
destruksi tulang. Kini terbukti bahwa erosi tulang disebabkan karena adanya enzim osteolitik 
atau kolagenase yang disekresi oleh jaringan ikat subepitel. Proses osteogenesis ini disertai
osteogenesis dalam mastoid dengan adanya sklerosis. Infeksi pada kolesteatoma bukan
hanya menyebabkan sklerosis mastoid yang cepat tetapi juga peningkatan proses osteolitik.

Daftar Pustaka

1. Djaffar Zainul A. Kelainan Telinga Tengah. In: Soepardi EA, Iskandar N; editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, ed. 5. Jakarta; Fakultas Kedokteran Ilmu
Indonesia; 2001.p. 49-62
2. The National Deaf Children`s Society. Cholesteatoma. Avaiable at: http://www.ndcs.org.uk
th
(last access: January 24 , 2006)
3. Underbrink M, Gadre A. Cholesteatoma. In: Quinn FB, Ryan MW; editor. Grand Round
Presentation, UTMB, Dept. Of Otolaryngology. Avaiable at:
http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Cholesteatoma-020918/Cholesteatoma.pdf  (last
th
access: January 24 , 2006)

Pemeriksaan Garpu Tala

Pemeriksaan telinga dengan garpu tala ada 3 cara pemeriksaan diantaranya ;

1.Test Weber; Prinsip pemeriksaan ini adalah membadingkan hantaran tulang telinga kiri dan
kanan pada telinga normal hantaran antara telinga kiri dan kanan akan sama.

Cara pemeriksaannya ;
Garpu tala 512 Hz. yang telah digetarkan diletakan ujungnya pada vertex, atau dahi .
Penderita ditanyakan apakah masih mendengar suara garpu tala atau tidak ? Bila tidak dapat
membedakan ke arah telinga mana yang lebih keras atau dijawab sama kerasnya antara kanan
dan kiri artinya tidak terdapat lateralisasi. Apabila terdapat penjalaran ke salah satu telinga
maka artinya terdapat lateralisasi.

2.Test Rinne ; Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara
 pada satu telinga. Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang daripada hantaran tulang.
Juga pada tuli sensorineural hantaran udara lebih panjang daripada hantaran tulang. Di lain
 pihak pada tuli konduktif hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara.

Cara pemeriksaannya :
Garpu tala 512 Hz yang telah digetarkan diletakan pada proc. mastoideus dari telinga yang
akan diperiksa. Kepada pasien ditanyakan apakah mendengar sekaligus diinstruksikan supaya
mengangkat tangan apabila sudah tidak mendengar lagi. Bila penderita sudah mengangkat
tangan garpu tala dipindahkan hingg ujung yang bergetar berada kira-kira 3 cm di depan
meatus akustikus eksternus dari telinga yang diperiksa. Bila penderita masih mendengar 
dikatakan Rinne positif bila sudah tidak mendengar dikatakan Rinne negatif.

3.Test Schwabach; Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang pada penderita
dengan hantaran tulang pemeriksa dengan catatan telinga pemeriksa harus normal.

Cara pemeriksaannya ;
Garpu tala 512 Hz yang sudah digetarkan diletakan pada proc. Mastoideus pasien kemudian
kepada pasien ditanyakan apakah masih mendengar suara dari garpu tala, sesudah itu
diinstruksikan juga supaya mengangkat tangannya apabila sudah tidak mendengar suara
hantaran dari garpu tala. Bila pasien mengangkat tangan garpu tala segera dipindahkan ke
 proc.Mastoideus pemeriksa. Ada 2 kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan
schwabach memendek atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi suara hantaran pada garpu
tala. Bila pemeriksa sudah tidak mendengar lagi suara hantaran harus dilakukan cross yaitu
garpu tala mula-mula diletakan pada proc. Mastoideus pemeriksa kemudian bila sudah tidak 
mendengar lagi garpu tala segera dipindahkan ke proc.Mastoideus pasien dan ditanyakan lagi
apakah pasien mendengar suara hantaran dari garpu tala?. Bila penderita tidak mendengar 
lagi dikatakan Schwabach normal dan bila pasien masih mendengar suara hantaran pada
garpu tala maka dikatakan Schwabach memanjang.

RINNE WEBER SCHWABACH HASIL


POSITIF TIDAK ADA SAMA DENGAN  NORMAL
LATERALISASI PEMERIKSA
 NEGATIF LATERALISASI KE MEMANJANG TULI KONDUKTIF
ARAH TELINGA
YANG SAKIT
POSITIF LATERALISASI KE MEMENDEK TULI SENSORINEURAL
TELINGA YANG
SEHAT

Catatan : Pada tuli Konduktf < 30dB , Rinne bisa masih positif 

Pemeriksaan Audiometri, Rinne, Weber test dan Scwabach test

LATAR BELAKANG

Suara adalah sensasi yang timbul apabila getaran longitudinal molekul di


lingkungan eksternal, yaitu masa pemadatan dan pelonggaran molekul yang terjadi
 berselang seling mengenai memberan timpani. Plot gerakan-gerakan ini sebagai
 perubahan tekanan di memberan timpani persatuan waktu adalah satuan gelombang, dan
gerakan semacam itu dalam lingukangan secara umum disebut gelombang suara.

Secara umum kekerasan suara berkaitan dengan amplitudo gelombang suara dan
nada berkaitan dengan prekuensi (jumlah gelombang persatuan waktu). Semakin besar 
suara semakin besar amplitudo, semakin tinggi frekuensi dan semakin tinggi nada.
 Namun nada juga ditentukan oleh factor - faktor lain yang belum sepenuhnya dipahami
selain frekuensi dan frekuensi mempengaruhi kekerasan, karena ambang pendengaran
lebih rendah pada frekuensi dibandingkan dengan frekuensi lain. Gelombang suara
memiliki pola berulang, walaupun masing - masing gelombang bersifat kompleks,
didengar sebagai suara musik, getaran apriodik yang tidak berulang menyebabakan
sensasi bising. Sebagian dari suara musik bersala dari gelombang dan frekuensi primer 
yang menentukan suara ditambah sejumla getaran harmonik yang menyebabkan suara
memiliki timbre yang khas. Variasi timbre mempengaruhi mengetahhi suara berbagai alat
musik walaupun alat tersebut memberikan nada yang sama. (William F.Gannong, 1998)

Telah diketahui bahwa adanya suatu suara akan menurunkan kemampuan seseorang
mendengar suara lain. Fenomena ini dikenal sebagai masking (penyamaran). Fenomena
ini diperkirakan disebabkan oleh refrakter relative atau absolute pada reseptor dan urat
saraf pada saraf audiotik yang sebelumnya teransang oleh ransangan lain. Tingkat suatu
suara menutupi suara lain berkaitan dengan nadanya. Kecuali pada lingkungan yang
sangat kedap suara, Efek penyamaran suara lata akan meningkatan ambang pendengaran
dengan besar yang tertentu dan dapat diukir.

Penyaluran suara prosesnya adalah telinga mengubah gelombang suara di

lingkungan eksternal menjadi potensi aksi di saraf pendengaran । Gelombang diubah oleh

gendang telinga dan tulang-tulang pendengaran menjadi gerakan-gerakan lempeng kaki


stapes. Gerakan ini menimbulkan gelombang dalam cairan telinga dalam. Efek 
gelombang pada organ Corti menimbulkan potensial aksidi serat-serat saraf. (William
F.Gannom,1998)

A. Anatomi system pendengaran (Telinga)

Merupakan organ pendengaran dan keseimbangan.Terdiri dari telinga luar, tengah dan
dalam. Telinga manusia menerima dan mentransmisikan gelombang bunyi ke otak dimana bunyi
tersebut akan di analisa dan di intrepretasikan. Cara paling mudah untuk menggambarkan fungsi
dari telinga adalah dengan menggambarkan cara bunyi dibawa dari permulaan sampai akhir dari
setiap bagian-bagian telinga yang berbeda.

Telinga mempunyai resptor bagi 2 modalitas reseptor sensorik :

1. Pendengaran (N. Coclearis)

Telinga dibagi menjadi 3 bagian :


Telinga luar 

 Auricula

Mengumpulkan suara yang diterima

 Meatus Acusticus Eksternus

Menyalurkan atau meneruskan suara ke kanalis auditorius eksterna

 Canalis Auditorius Eksternus

Meneruskan suara ke memberan timpani

 Membran timpani

Sebagai resonator mengubah gelombang udara menjadi gelombang mekanik ।

Telinga tengah

Telinga tengah adalah ruang berisi udara yang menghubungkan rongga hidung dan
tenggorokan dihubungkan melalui tuba eustachius, yang fungsinya menyamakan tekanan
udara pada kedua sisi gendang telinga. Tuba eustachius lazimnya dalam keadaan tertutup
akan tetapi dapat terbuka secara alami ketika anda menelan dan menguap. Setelah sampai
 pada gendang telinga, gelombang suara akan menyebabkan bergetarnya gendang telinga,
lalu dengan perlahan disalurkan pada rangkaian tulang-tulang pendengaran. Tulang-
tulang yang saling berhubungan ini - sering disebut " martil, landasan, dan sanggurdi"-
secara mekanik menghubungkan gendang telinga dengan "tingkap lonjong" di telinga
dalam. Pergerakan dari oval window (tingkap lonjong) menyalurkan tekanan gelombang
dari bunyi kedalam telinga dalam.

Telinga tengah terdiri dari :

Tuba auditorius (eustachius)




Penghubung faring dan cavum naso faringuntuk :

Proteksi: melindungi ndari kuman


Drainase: mengeluarkan cairan.

Aerufungsi: menyamakan tekanan luar dan dalam.

Tuba pendengaran (maleus, inkus, dan stapes)




Memperkuat gerakan mekanik dan memberan timpani untuk diteruskan ke


foramen ovale pada koklea sehingga perlimife pada skala vestibule akan
 berkembang.

Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari :

 Koklea

Skala vestibule: mengandung perlimfe

Skala media: mengandung endolimfe

Skala timani: mengandung perlimfe

 Organo corti

Memngandung sel-sel rambut yang merupakan resseptor pendengaran di


memberan basilaris.

Telinga dalam dipenuhi oleh cairan dan terdiri dari "cochlea" berbentuk spiral
yang disebut rumah siput. Sepanjang jalur rumah siput terdiri dari 20.000 sel-sel rambut
yang mengubah getaran suara menjadi getaran-getaran saraf yang akan dikirim ke otak.
Di otak getaran tersebut akan di intrepertasi sebagai makna suatu bunyi. Hampir 90%
kasus gangguan pendengaran disebabkan oleh rusak atau lemahnya sel-sel rambut telinga
dalam secara perlahan. Hal ini dikarenakan pertambahan usia atau terpapar bising yang
keras secara terus menerus. Gangguan pendengaran yang diseperti ini biasa disebut
dengan sensorineural atau perseptif. Hal ini dikarenakan otak tidak dapat menerima
semua suara dan frekuensi yang diperlukan untuk - sebagai contoh mengerti percakapan.
Efeknya hampir selalu sama, menjadi lebih sulit membedakan atau memilah pembicaraan
 pada kondisi bising. Suara-suara nada tinggi tertentu seperti kicauan burung menghilang
 bersamaan, orang-orang terlihat hanya seperti berguman dan anda sering meminta mereka
untuk mengulangi apa yang mereka katakan. Hal ini dikarenakan otak tidak dapat
menerima semua suara dan frekuensi yang diperlukan untuk sebagai contoh mengerti
 percakapan. Contoh kecil seperti menghilangkan semua nada tinggi pada piano dan
meminta seseorang untuk memainkan sebuah melodi yang terkenal. Dengan hanya 6 atau
7 nada yang salah, melodi akan sulit untuk dikenali dan suaranya tidak benar secara
keseluruhan. Sekali sel-sel rambut telinga dalam mengalami kerusakan, tidak ada cara
apapun yang dapat memperbaikinya. Sebuah alat bantu dengar akan dapat membantu
menambah kemampuan mendengar anda. Andapun dapat membantu untuk menjaga agar 
selanjutnya tidak menjadi lebih buruk dari keadaan saat ini dengan menghindari sering
terpapar oleh bising yang keras.

Keseimbangan (N. Vestibularis)

a. Canalis Semisirkularis

Canalis semisirkularis mendeteksi akselerasi atau deselarisasi anguler atau


rotasional kepala, misalnya ketika memulai atau berhenti berputar, berjungkir 
 balik, atau memutar kepala. Tiap – tiap telinga memiliki tiga kanalis semesirkularis
yang tegak lurus satu sama lain.

 b. Utrikulus

Utrikulus adalah struktur seperti kantung yang terletak di dalam rongga tulang di
antara kanalis semisirkularis dan koklea. Rambut – rambut pada sel rambut asertif di
organ ini menonjol ke dalam suatu lembar gelatinosa di atasnya, yang gerakannya
menyebabkan perubahan posisi rambut serta menimbulkan perubahan potensial di
sel rambut.

Sel-sel rambut utrikulus mendeteksi akselerasi atau deselerasi linear horizontal,


tetapi tidak memberikan informasi mengenai gerakan lurus yang berjalan konstan.

c. Sacculus

Sacculus adalah struktur seperti kantung yang terletak di dalam rongga tulang di
antara kanalis semisirkularis dan koklea. Sacculus memiliki fungsi serupa dengan
utrikulus, kecuali dia berespons secara selektif terhadap kemiringan kepala
menjauhi posisi horizontal (misalnya bangun dari tempat tidur) dan terhadap
akselerasi atau deselerasi loner vertical (misalnya melompat atau berada dalam
elevator).

Fisiologi Pendengaran

Getaran suara ditangkap ol;eh telinga yang dialirkan ke telinga dan mengenai
memberan timpani, sehingga memberan timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke
tulang-tulang pendengaran yang berhhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes
menggerakkan perilimfe dalam skala vestibui kemudian getaran diteruskan melalui
Rissener yang mendorong endolimfe dan memberan basal ke arah bawah, perilimfe dalam
skala timpani akan bergerak sehingga tingkap bundar (foramen rotundum) terdorong
kearah luar.

Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion kalium dan ion Na
menjadi aliran listrik yang diteruskan ke cabang N.VIII yang kemudian neneruskan
ransangan ke pusat sensori pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus
temporalis.

Kelainan /Ganggaun Fisiologi Telinga

1. Tuli konduktif 

Karena kelainan ditelinga luaaar atau di telinga tengah

a. Kelainan telingna luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah astresia liang
telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumsripta, osteoma liang teling.

 b. Kelainan telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif adalah tubakar/sumbatan
tuba eustachius, dan dislokasi tulang pensdengaaran.

2. Tuli perseptif 

Disebabkan oleh kerusakan koklea (N. audiotorius) atau kerusakan pada sirkuit system
saraf pusat dari telinga. Orang tersebut mengalamipenurunan atau kehilangan kemampuan
total untuk mendengar suara dan akan terjadi kelainan pada :

a. Organo corti
 b. Saraf : N.coclearis dan N.vestibularais

c. Pusat pendengaran otak 

3. Tuli campuran

Terjadi karena tuli konduksi yang pada pengobatannya tidak sempurna sehingga infeksi
skunder (tuli persepsi juga).

Kekurangan Pendengaran

Yang dimaksud dengan kekurangan pendengaran adalah keadaan dimana seorang


kurang dpat mendengar dan mengerti suara atau percakpan yang didengar untuk 
mendiagnosis kurang pendengaran. Sebagi dokter umum cukuplah memperhatikan
keempat aspek penting berikuta ini :

Penentuan pada penderita apakah ada kurang pendengaran atau tidak.




Jenis kurang pendengaran




Derajat kurang pendengaran




Menentukan penyebab kurang pendengaran




1. Penentuan pada penderita apakah ada KP atau tidak 

Dalam penentuan apakah ada KP atau tidak pada penderita hal penting yang harus
diperhatiakan adalah umur prnderita. Respon manusia terhadap suara atau
 percakapan yang didengranya tergantung pada umur pertumbuhannya. Usia 6
tahun diambil sebagai batas, kurang dari 6 tahun respon anak terhadap suara atau
 percakapan berbeda-beda tergantung umurnya, sedangkan lebih dari 6 tahun
respon anak terhadap suara atau percakapan yang didengar sama dengan orang
dewasa karena luasnya aspek diagnostik KP. Pad kedua golongan umur tersbut,
maka dalam makalah ini yang diuraikan hanya diagnosis KP pada anak -anak umur 
6 tahun keatas dan dewasa.

2. Jenis KP
Jenis KP berdasarkan lokalisasi lesi :

a. KP jenis hantaran

Lokalisasi gangguan atau lesi terletak pada telinga luar dan atau telinga
tengah.

 b. KP jenis sensorineural

Lokalisasi gangguan atau lesi terletak pada telinga dalam (pada koklea dan
 N.VIII)

c. KP jenis campuran

Lokalisasi gangguan atau lesi terletak pada telinga t engah dan telinga dalam.

d. KP jenis sentral

Lokalisasi gangguan atau lesi terletak pada nucleus auditorius dibatang otak 
sampai dengan korteks otak.

e. KP jenis fungsional

Pada KP jenis ini tidak dijumpai adanya gangguan atau lesi organic pada
system pendengaran baik perifer maupun sentral, melainkan berdadasarkan
adanya masalah psikologis atau omosional.

Untuk KP jenis sentral dan fungsional mengingat masih terbatasnya


 pengetahuan proses pendengara diwilayah trsebut, disamping masih belum
 banyak dikenal teknik uji pendengaran yang dapat dimanfaatkan untuk bahan
diagnostik, maka pada makalah ini akan dibatasi pada diagnosis KP jenis
hantaran sensorineural dan campuran saja.

3. Menentukan penyebab KP

Menetukan penyebab KP merupakan hal yang paling sukar diantara kempat


 batasan atau aspek tersebut diatas, untuk itu diperlukan :
a. Anamnesis yang luas dan cermat tentang riwayat t erjadinya KP tersebut

 b. Pemeriksaan umum dan khusus (telinga, hidung dan tenggorokan ) yang teliti.

c. Pemeriksaan penunjang (bila diperlukan seperti foto laboratorium)

Ada 4 cara yang dapat kita lakukan untuk mengetes fungsi pendengaran
 penderita, yaitu :

a. Tes bisik 

 b. Tes bisik modifikasi

c. Tes garputala

d. Pemeriksaan audiometri

Tes Fungsi Pendengaran

Pemeriksaan audiometri

Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri. Alat ini menghasilkan
nada-nada murni dengan frekuensi melalui aerphon. Pada sestiap frekuensi ditentukan
intensitas ambang dan diplotkan pada sebuah grafik sebagai prsentasi dari pendengaran
normal. Hal ini menghasilkan pengukuran obyektif derajat ketulian dan gambaran mengenai
rentang nada yang paling terpengaruh.

a. Definisi

Audiometri berasal dari kata audir  dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur 
ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan
lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran.

Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level


 pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan
audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang da[at dinilai. Tes
audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan
 pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada suatu bidang yang memerlukan
ketajaman pendngaran.

Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara, audiologis


dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang dilakukan adalah :

1) Audiometri nada murni

Suatu sisitem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik yang


dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-500,
1000-2000, 4000-8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi
yang dihasilkan disalurkan melalui telepon kepala dan vibrator tulang ketelinga
orang yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing untuk menukur 
ketajaman pendengaran melalui hntaran udara dan hantran tulang pada tingkat
intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkankurva hantaran tulang dan
hantaran udara. Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengtahui jenis dan
derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah
orang yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29 tahun merupakan
nilai ambang baku pendengaran untuk nada muri.

Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran


frekwuensi 20-20.000 Hz. Frekwensi dari 500-2000 Hz yang paling penting
untuk memahami percakapan sehari-hari.

Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan pendengaran

Kehilangan dalam Klasifikasi


Desibel

0-15 Pendengaran normal


>15-25 Kehilangan pendengaran kecil
>25-40 Kehilangan pendengaran ringan
>40-55 Kehilangan pendengaran sedang
>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang sampai berat
>70-90 Kehilangan pendengaran berat
>90 Kehilangan pendengaran berat sekali
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran psien
 pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang
 berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada
diatas. Grafiknya terdiri dari skala decibel, suara dipresentasikan dengan
aerphon (air kondution) dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi
air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang
 pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.

2) Audiometri tutur 

Audiometri tutur adalah system uji pendengaran yang menggunakan


kata-kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah
dikaliberasi, untuk mrngukur beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip
audiometri tutur hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya disni
sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar kata terpuilih yang dituturkan
 pada penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa
melalui mikropon yang dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian
disalurkan melalui telepon kepala ke telinga yang diperiksa pendengarannya,
atau kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan hitam atau pita rekaman,
kemudian baru diputar kembali dan disalurkan melalui audiometer tutur.
Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setip kata yang didengar, dan
apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya makin
dilemahkan, pendengar diminta untuk mnebaknya. Pemeriksa mencatata
 presentase kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap
intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya
adalah intensitas suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah
 presentasi kata-kata yanag diturunkan dengan benar. Dari audiogram tutur 
dapat diketahui dua dimensi kemampuan pendengaran yaitu :

a) Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-kata


yang dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang
lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT, dan dinyatakan dengan satuan
de-sibel (dB).
 b) Kemamuan maksimal perndengaran untuk mendiskriminasikan tiap satuan
 bunyi (fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan dengan
nilai diskriminasi tutur atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu adalah
 persentasi maksimal kata-kata yang ditirukan dengan benar, sedangkan
intensitas suara barapa saja. Dengan demikian, berbeda dengan audiometri
nada murni pada audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak 
saja pada tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh diatasn ya.

Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh mendengar kata-


kata yang jelas artinya pada intensitas mana mulai terjadi gangguan sampai
50% tidak dapat menirukan kata-kata dengan tepat.

Kriteria orang tuli :

Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20-40 dB

Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40-60 dB

Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60-80 dB

Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas >80 dB

Pada dasarnya tuli mengakibatkan gangguan komunikasi, apabila


seseorang masih memiliki sisa pendengaran diharapkan dengan bantuan
alat bantu dengar (ABD/hearing AID) suara yang ada diamplifikasi,
dikeraskan oleh ABD sehingga bisa terdengar. Prinsipnya semua tes
 pendengaran agar akurat hasilnya, tetap harus pada ruang kedap suara
minimal sunyi. Karena kita memberikan tes paa frekuensi tertetu dengan
intensitas lemah, kalau ada gangguan suara pasti akan mengganggu
 penilaian. Pada audiometri tutur, memng kata-kata tertentu dengan vocal
dan konsonan tertentu yang dipaparkan kependrita. Intensitas pad
 pemerriksaan audiomatri bisa dimulai dari 20 dB bila tidak mendengar 40
dB dan seterusnya, bila mendengar intensitas bisa diturunkan 0 dB, berarti
 pendengaran baik. Tes sebelum dilakukan audiometri tentu saja perlu
 pemeriksaan telinga : apakah congok atau tidak (ada cairan dalam telinga),
apakah ada kotoran telinga (serumen), apakah ada lubang gendang telinga,
untuk menentukan penyabab kurang pendengaran.

 b. Manfaat audiometri

1) Untuk kedokteran klinik, khususnya penyakit telinga

2) Untuk kedokteran klinik Kehakiman,tuntutan ganti rugi

3) Untuk kedokteran klinik Pencegahan, deteksi ktulian pada anak-anak 

c. Tujuan

Ada empat tujuan (Davis, 1978) :

1) Mediagnostik penyakit telinga

2) Mengukur kemampuan pendengaran dalam menagkap percakpan sehari-hari,


atau dengan kata lain validitas sosial pendengaran : untuk tugas dan pekerjaan,
apakah butuh alat pembantu mendengar atau pndidikan khusus, ganti rugi
(misalnya dalam bidang kedokteran kehkiman dan asuransi).

3) Skrinig anak balita dan SD

4) Memonitor untuk pekerja-pekerja dinetpat bising.

1. Test Rinne

Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang dengan
hantaran udara pada satu telinga pasien.

Ada 2 macam tes rinne , yaitu :

a. Garputal 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak 
lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah
 pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan didepan
meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat
mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya
 b. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya secara
tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan
meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi
garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang
meatus skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika pasien
mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne
negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus lebih lemah
atau lebih keras dibelakang.

Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :

1) Normal : tes rinne positif 

2) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui tulang lebih
lama)

3) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :

a) Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran garpu tala.

 b) Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne: +/-)

c) Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi pada posisi
I yang mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga mula-mula
timbul.

Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun
 pasien. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala tidak tegak lurus, tangkai
garputala mengenai rambut pasien dan kaki garputala mengenai aurikulum pasien. Juga bisa
karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal.

Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak 
mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di planum mastoid pasien.
Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat kita memindahkan garputala
kedepan meatus akustukus eksternus.

2. Test Weber 
Tujuan kita melakukan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara
kedua telinga pasien. Cara kita melakukan tes weber yaitu: membunyikan garputala 512 Hz
lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana
yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar atau mendengar 
lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-
sama tidak mendengar atau sam-sama mendengaar maka berarti tidak ada lateralisasi.

Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak, sehingga akan
terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis pada MAE atau cavum timpani
missal:otitis media purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan atau pus di dalam cavum
timpani ini akan bergetar, biala ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah kanan.

Interpretasi:

a. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut lateralisai
ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya.

 b. Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:

1) Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah kanan.

2) Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan ebih
hebat.

3) Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di
dengar sebelah kanan.

4) Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah kiri lebih hebaaaat dari pada
sebelah kanan.

5) Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kana jarang terdapat.

3. Test Swabach

Tujuan :
Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal) dengan
 probandus.

Dasar :

Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan oleh :

Getaran yang datang melalui udara. Getaran yang datang melalui tengkorak,
khususnya osteo temporale

Cara Kerja :

Penguji meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan pada puncak kepala
 probandus. Probandus akan mendengar suara garputala itu makin lama makin melemah dan
akhirnya tidak mendengar suara garputala lagi. Pada saat garputala tidak mendengar suara
garputala, maka penguji akan segera memindahkan garputala itu, ke puncak kepala orang
yang diketahui normal ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi pembanding dua
kemungkinan dapat terjadi : akan mendengar suara, atau tidak mendengar suara.

Diposkan oleh neeya_koizora di 01.05 4 komentar:

Beranda

Langganan: Entri (Atom)

Untuk melihat ada tidaknya gangguan fungsi pendengaran pada pekerja dengan menggunakan garpu
tala untuk pemeriksaan gangguan fungsi pendengaran o leh peneliti. Test garpu tala untuk
pengukuran kualitatif, idealnya menggunakan garpu tala dengan frekuensi 512, 1024, dan 2048 Hz.
Bila tidak mungkin cukup dipakai garpu tala dengan frekuensi 512 Hz karena tidak penggunaan garpu
tala ini tidak terlalu dipengaruhi oleh suara bising disekitar lingkungan pemeriksaan.

•Tes Rinne

Tujuan : membandingkan hantaran melalui udara dan tulang pada telinga yang diperiksa. Cara :
garpu tala digetarkan dan tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus. Setelah tidak terdengar
garpu tala dipegang di depan telingan kira-kira 2,5 cm. Bila masih terdengar disebut Rinne Positif,
bila tidak terdengar disebut Rinne Negatif. Dalam keadaan normal hantaran melalui udara lebih
panjang daripada hantaran tulang.
•Tes Weber

Tujuan : membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan. Cara : garpu tala digetarkan dan
tangkai garpu tala diletakkan di garis tengah dahi atau kepala. Bila bunyi terdengar lebih keras pada
salah satu telinga disebut literalisasi ke telinga tersebut. Bila terdengar sama atau tidak terdengar
disebut tidak ada literalisasi. Bila pada telinga yang sakit (literalisasi pada telinga yang sakit) berarti
terdapat tuli konduktif pada telinga tersebut,bila sebaliknya (literalisasi pada telinga yang sehat)
berarti pada telinga yang sakit terdapat tuli saraf.

•Tes Schwabach

Tujuan : membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa normal. Cara :
garpu tala digetarkan dan tangkai garpu tala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak
terdengar bunyi kemudian dipindahkan ke prosesus mastoideus pemeriksa yang pendengarannya
dianggap normal. Bila masih dapat mendengar disebut memendek atau tuli saraf, bila pemeriksa
tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya. Bila pasien masih mendengar,
disebut memanjang atau terdapat tuli konduktif. Jika kira-kira sama mendengarnya disebut sama
dengan pemeriksa.

THT TES GARPUTALA

Ada 4 jenis tes garpu tala yang sering dilakukan :

1. Tes batas atas dan batas bawah


2. Tes Rinne
3. Tes Weber 
4. Tes Schwabach

Tes-tes ini memiliki tujuan khusus yang berbeda dan saling melengkapi.

1. Tes Batas Atas Batas Bawah


Tujuan : menentukan frekwensi garpu tala yang dapat di dengar penderita melewati
hantaran udara bila dibunyikan pada intensitas ambang normal.
Cara :
Semua garpu tala (dapat dimlai dari frekwensi ter endah berurutan sampai frekwensi
tertinggi / sebaliknya) dibunyikan satu persatu, dengan cara dipegang tangkainya
kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan dengan lunak (dipetik dengan ujung
 jari/kuku, didengarkan terlebih dulu o/ pemeriksa sampai bunyi hampir hilang untuk 
mencapai intensitas bunyi yang terendah bagi orang normal/ nilai ambang normal),
kemudian diperdengarkan pada penderita dengan meletakkan garpu tala di dekat
MAE pada jarak 1-2 cm dalam posisi tegak dan 2 kaki pada garis yang
menghubungkan MAE kanan dan kiri.
Interpretasi :
* Normal : mendengar garpu tala pada semua frekwensi.
* Tuli konduksi : batas bawah naik (frekwensi rendah tak terdengar)
* Tuli sensori neural : batas atas turun (frekwnsi tinggi tak terdengar)
Kesalahan :
Garpu tala dibunyikan terlalu keras shg tidak dapat mendeteksi pada frekwensi mana
 penderita tak mendengar.

2. Tes Rinne
Tujuan : membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang pada satu telinga
 penderita.
Cara :
- Bunyikan garpu tala frekwensi 512 Hz, letakkan tangkainya tegak lurus pada
 planum mastoid penderita (posterior dari MAE) sampai penderita tak mendengar,
kemudian cepat pindahkan ke depan MAE penderita. Apabila penderita masih
mendengar garpu tala di depan MAE desebut Rinne positif , bila tidak mendengar 
disebut Rinne negatif .
- Bunyikan garpu tala frekwensi 512 Hz, kemudian dipancangkan pada planum
mastoid, kemudian segera dipindah di depan MAE, penderita ditanya mana yang lebih
keras. Bila lebih keras di depan disebut Rinne positif , bila lebih keras di belakang
Rinne negatif .
Interpretasi :
* Normal : Rinne positif (mendengar)
* Tuli konduksi : Rinne negatif ( tidak mendengar)
* Tuli sensori neural : Rinne posotof (dengar)

Kadang-kadang terjadi false Rinne (pseudo positif atau pseudo negatif) terjadi bila
stimulus bunyi ditangkap oleh telinga yang tidak di tes, hal ini dapat terjadi bila
telinga yang tidak dites pendengarannya jauh lebih baik daripada yang di tes.

Kesalahan :
- Garpu tala tidak diletakkan dengan baik pada mastoid atau miring, terkena rambut,
 jaringan lemak tebal shg penderita tidak mendengar atau getaran terhenti karena kaki
garpu tala tersentuh aurikulum.
- Penderita terlambat memberi isyarat waktu garpu tala sudah tak terdengar lagi, shg
waktu dipindahkan di depan MAE getaran garpu tal a sudah berhenti.
3. Tes Weber
Tujuan : membandingkan hantaran tulang antara kedua teli nga penderita.
Cara :
- Garpu tala frekwensi 512 Hz dibunyikan, kemudian tangkainya diletakkan tegak lurus di
garis median, biasanya di dahi (dapat pula pada vertex, dagu atau pada gigi insisivus) dengan
kedua kaki pada garis horizontal. Penderita diminta untuk menunjukkan telinga mana yang
mendengar atau mendengar lebih keras. Bila mendengar pada satu telinga disebut
lateralisasi ke sisi telinga tersebut . Bila kedua telinga tak mendengar atau sama-sama
mendengar bararti tak ada lateralisasi.
Interpretasi :
* Normal : tidak ada lateralisasi
* Tuli konduksi : mendengar lebih keras di telinga yang sakit.
* Tuli sensori neural : mendengar lebih keras pada telinga yang sehat.

Karena menilai kedua telinga sekaligus maka kemungkinannya dapat lebih dari satu.

Contoh : lateralisasi ke kanan, dapat di interpretasikan :


a. Tuli konduksi kanan, telinga kiri normal
b. Tuli konduksi kanan dan kiri, tetapi kanan lebih berat.
c. Tuli sensori neural kiri, telinga kanan normal.
d. Tuli sensori neural kanan dan kiri, tetapi kiri lebih berat
e. Tuli konduksi kanan dan sensori neural kiri.

4. Tes Schwabach
Tujuan : membandingkan hantaran lewat tulang antara penderita dgn pemeriksa .
Cara :
- Garpu tala frekwensi 512 Hz dibunyikan kemudian tangkainya diletakkan tegak lurus pada
mastoid pemeriksa, bila pemeriksa sudah tidak mendengar, secepatnya garpu tala
dipindahkan ke mastoid penderita. Bila penderita masih mendengar maka Schwabach
memanjang, tetapi bila penderita tidak mendengar, terdapat 2 kemungkinan yaitu
Schwabach memendek atau normal.

Untuk membedakan kedua kemungkinan ini maka tes dibalik, yaitu tes pada penderita dulu
baru ke pemeriksa.

Garpu tala 512 Hz dibunyikan kemudian diletakkan tegak lurus pada mastoid penderita, bila
penderita sudah tidak mendengar maka secepatnya garpu tala dipindahkan pada mastoid
pemeriksa, bila pemeriksa tidak mendengar berarti sama-sama normal, bila pemeriksa masih
mendengar berarti Schwabach penderita memendek.

Interpretasi :
* Normal : Schwabach normal
* Pada tuli konduksi : Schwabach memanjang.
* Pada tuli sensori neural : Schwabach memendek

Kesalahan Uji/ Test bisa dikarenakan :


* Garpu tala tidak tegak dengan baik, kaki garpu tala tersentuh sehingga bunyi menghilang.
* Isyarat menghilangnya bunyi tidak segera diberitahukan oleh pasien.

Weber , Rinne dan Schwabach test

PEMERIKSAAN PENDENGARAN
Pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan :
1. Garputala
2. Uji berbisik 
3. Audiometrik 
Garputala terdiri dari satu set, lima buah, dengan frekuensi 128 Hz, 256 hz, 512 Hz, 1024 Hz
dan 2048 Hz. Untuk tes dengan garputala biasanya dipakai garpu tala 512 Hz, dan diperiksa
di ruang periksa, tidak perlu di ruang kedap suara, asalkan tidak terlalu riuh. Ada 3 macam
 pemeriksaan:
a. Uji Rinne
Membandingkan hantaran melalui udara dan melalui tulang.
Caranya ialah garputala digetarkan, lalu diletakkan pada tulang di belakang teli nga dengan
demikian getaran melalui tulang akan sampai ke telinga dalam. Apabila pasien tidak 
mendengar bunyi dari garputala yang digetrakan itu, maka garputala dipindahkan ke depan
liang telinga, kira-kira 2,5 cm jaraknya dari liang tel inga. Hantaran disini ialah hantaran
melalui udara. Pada pasien yang pendengarannya masih baik, maka hantaran melalui udara
lebih baik dari hantaran melalui tulang. Jadi garputala yang tadi diletakkan di tulang telinga
 belakang telinga tidak terdengar lagi, ketika dipegang di dekat liang telinga akan terdengar 
lagi, disebut uji rinne positif 
 b. Uji Weber 
Membandingkan hantaran tulang telinga kanan dengan teli ng akiri.
Caranya garputala digetarkan kemudian diletakkan pada garis tengah seperti di ubun-ubun,
dahi, atau pertengahan gigi seri. Pasien dengan gangguan pendengaran akan mengatakan
 bahwa salah satu telinga lebih jelas mendengar bunyi garputala itu. Pada orang normal akan
mengatakan bahwa tidak mendengar perbedaan bunti kiri dan kanan. Bila lebih keras ke
kanan disebut lateralisasi ke kanan.
c. Uji Schwabach
Membandingkan hantaran tulang pasien dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.
Caranya ialah, garputala digetarkan , lalu dasarn ya ditempelkan pada tulang di belakang
telinga passion. Setelah pasien mengatakan tidak mendnegar lagi, maka dasar garputala
diletakkan ke tulang belakang telinga pemeriksa. Apabila pemeriksa masih dapat mendengar 
 bunyi, maka dikatakan bahwa telinga pasien uji schwabachnya memendek.
Uji berbisik 
Uji berbisik dilakukan di ruang yang cukup tenang, dengan panjang 6 meter. Pemeriksa
duduk ke samping, telinga yang akan diperiksa ke ruang yang 6 meter itu, sedangkan telinga
yang sebelah lagi ditutup dengan jarinya.Pemeriksa mengucapkan kata yang terdiri dari 2
suku kata, diucapkan secara berbisik pada akhir ekspirasi. Pasi en harus mengulangi apa yang
disebut pemeriksa. Dimulai sejak jarak 6 meter, makin lama pemeriksa makin mendekat,
sampai pasien dapat menyebut kata dengan benar. Hasil uji berbisik orang normal ialah 5/6 – 
6/6
Uji Audiometrik 
Pemeriksaan dilakukan didalam ruang kedap suara. Pasien diberi tahu, supaya apabila
mendengar bunyi segera memencet tombol, dan apabila bunyi tidak terdengar lagi pencetan
 pada tombol dihentikan.
Mula-mula diperiksa hantaran melalui udara (AC) dengan memakaikan headphone pada
 pasien. Pemeriksaan dimulai dengan frekuensi 250 hz, kemudian intensitas dinaikkan mulai
dari 0 desibel, sampai pasien mendengar bunyi. Pemeriksaan dilanjutkan dengan frekuensi
500 Hz, 1000 Hz, 1500 Hz, sampai 8000 Hz. Pada telinga kanan, kemudian telinga kiri.
Setelah itu headphone diganti dengan konduktor tulang yang dilekatkan pa da ujung tulang
mastoid di belakang telinga untuk memeriksa hantaran tulang (BC) dan dilakukan
 pemeriksaan seperti pada pemeriksaan AC.
Dari pemeriksaan ini dapat diketahui apakah pasien mempunyai pendengaran normal, tuli
hantar (konduktif), tuli saraf (sensorineural) atau tuli campur. Juga dapat terlihat apakah
kurang dengarnya ringan, sedang atau berat.

Test rinne, weber, dan swabach

Test Rinne

Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan antara hantaran tulang
dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.

Ada 2 macam tes rinne , yaitu :

Garputal 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus
pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah pasien
tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan didepan meatus akustikus
eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya
tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya

Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya secara
tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan meatus
akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi garputala didepan
meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus skustikus
eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika pasien mendengar didepan maetus
akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien mendengar
didepan meatus akustikus eksternus lebih lemah atau lebih keras dibelakang.

Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :

Normal : tes rinne positif 

Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui tulang lebih lama)

Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :

Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran garpu tala.

Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne: +/-)
Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi pada posisi I yang
mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga mula-mula timbul.

Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa
maupun pasien. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala tidak tegak 
lurus, tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki garputala mengenai
aurikulum pasien. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal.

Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah
tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di planum mastoid
pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat kita memindahkan
garputala kedepan meatus akustukus eksternus.

Test Weber

Tujuan kita melakukan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara
kedua telinga pasien. Cara kita melakukan tes weber yaitu: membunyikan garputala 512
Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien,
telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien
mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga
tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama mendengaar
maka berarti tidak ada lateralisasi.

Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak, sehingga akan
terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis pada MAE atau cavum
timpani missal:otitis media purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan atau pus
di dalam cavum timpani ini akan bergetar, biala ada bunyi segala getaran akan
didengarkan di sebelah kanan.

Interpretasi:

Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut lateralisai ke
kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya.
Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:

Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah kanan.

Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan ebih hebat.

Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di dengar
sebelah kanan.

Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah kiri lebih hebaaaat dari pada sebelah
kanan.

Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kana jarang terdapat.

Test Swabach

Tujuan :

Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal)


dengan probandus.

Dasar :

Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan oleh :

Getaran yang datang melalui udara. Getaran yang datang melalui tengkorak, khususnya
osteo temporale

Cara Kerja :

Penguji meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan pada puncak kepala
probandus. Probandus akan mendengar suara garputala itu makin lama makin
melemah dan akhirnya tidak mendengar suara garputala lagi. Pada saat garputala tidak 
mendengar suara garputala, maka penguji akan segera memindahkan garputala itu, ke
puncak kepala orang yang diketahui normal ketajaman pendengarannya (pembanding).
Bagi pembanding dua kemungkinan dapat terjadi : akan mendengar suara, atau tidak 
mendengar suara.

Keimpulan test Rinne, Weber dan Swabach

Test Weber.

Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan.
Telinga normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama.

a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh diletakkan
pangkalnya pada dahi atau vertex. Penderita ditanyakan apakah mendengar atau tidak.
Bila mendengar langsung ditanyakan di telinga mana didengar lebih keras. Bila
terdengar lebih keras di kanan disebut lateralisasi ke kanan.

b. Evaluasi Tets Weber. Bila terjadi lateralisasi ke kanan maka ada beberapa
kemungkinan

1. Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal

2. Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensory neural

3. Telinga kanan normal, kiri tuli sensory neural

4. Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat 

5. Kedua telinga tuli sensory neural, kiri lebih berat 

Dengan kata lain test weber tidak dapat berdiri sendiri oleh karena tidak dapat 
menegakkan diagnosa secara pasti.

Test Rinne.

Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada
satu telinga. Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang.
Juga pada tuli sensorneural hantaran udara lebih panjang daripada hantaran tulang.
Dilain pihak pada tuli konduktif hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara.

a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara lunak pada tangan
dan pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum dari telinga yang akan diperiksa.
Kepada penderita ditanyakan apakah mendengar dan sekaligus di instruksikan agar
mengangkat tangan bila sudah tidak mendengar. Bila penderita mengangkat tangan
garpu tala dipindahkan hingga ujung bergetar berada kira-kira 3 cm di depan meatus
akustikus eksternus dari telinga yang diperiksa. Bila penderita masih mendengar
dikatakan Rinne (+). Bila tidak mendengar dikatakan Rinne (-)

b. Evaluasi test rinne.

Rinne positif berarti normal atau tuli sensorineural.

Rinne negatif berarti tuli konduktif.

c. Rinne Negatif Palsu.

Dalam melakukan test rinne harus selalu hati-hati dengan apa yang dikatakan Rinne
negatif palsu. Hal ini terjadi pada tuli sensorineural yang unilateral dan berat.

Pada waktu meletakkan garpu tala di Planum mastoideum getarannya di tangkap oleh
telinga yang baik dan tidak di test (cross hearing). Kemudian setelah garpu tala
diletakkan di depan meatus acusticus externus getaran tidak terdengar lagi sehingga
dikatakan Rinne negative

Test Schwabach.

Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari penderita dengan hantaran
tulang pemeriksa dengan catatan bahwa telinga pemeriksa harus normal.

a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh secara lunak 
diletakkan pangkalnya pada planum mastoiedum penderita. Kemudian kepada
penderita ditanyakan apakah mendengar, sesudah itu sekaligus diinstruksikan agar
mengangkat tangannya bila sudah tidak mendengar dengungan. Bila penderita
mengangkat tangan garpu tala segera dipindahkan ke planum mastoideum pemeriksa.

Ada 2 kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan schwabach memendek atau


pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila pemeriksa tidak mendengar harus
dilakukan cross yaitu garpu tala mula-mula diletakkan pada planum mastoideum
pemeriksa kemudian bila sudah tidak mendengar lagi garpu tala segera dipindahkan ke
planum mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita mendengar
dengungan.

Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach normal dan bila masih
mendengar dikatakan schwabach memanjang.

b. Evaluasi test schwabach

1. Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar dengungan dan keadaan


ini ditemukan pada tuli sensory neural

2. Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar dengungan dan keadaan


ini ditemukan pada tuli konduktif 

3. Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidak mendengar


dengungan. Karena telinga pemeriksa normal berarti telinga penderita normal juga.
Hasil Gangguan
Sama normal
Memanjang Tuli konduktif 
Memendek Tulisensorineural

Tes Pendengaran
29 Dec
Tes Pendengaran
Oleh : Muhammad al-Fatih II
Ada 4 cara yang dapat kita lakukan untuk mengetes fungsi pendengaran penderita, yaitu :

Tes bisik.
Tes bisik modifikasi.
Tes garpu tala.
Pemeriksaan audiometri.
Tes Bisik 

Ada 3 syarat utama bila kita melakukan tes bisik, yaitu :

Syarat tempat.
Syarat penderita.
Syarat pemeriksa.
Ada 3 syarat tempat kita melakukan tes bisik, yaitu :

Ruangannya sunyi.
Tidak terjadi echo / gema. Caranya dinding tidak rata, terbuat dari soft board, atau tertutup
kain korden.
Jarak minimal 6 meter.
Ada 4 syarat bagi penderita saat kita melakukan tes bisik, yaitu :

Kedua mata penderita kita tutup agar ia tidak melihat gerakan bibir pemeriksa.
Telinga pasien yang diperiksa, kita hadapkan ke arah pemeriksa.
Telinga pasien yang tidak diperiksa, kita tutup (masking). Caranya tragus telinga tersebut kita
tekan ke arah meatus akustikus eksterna atau kita menyumbatnya dengan kapas yang telah
kita basahi dengan gliserin.
Penderita mengulangi dengan keras dan jelas setiap kata yang kita ucapkan.
Ada 2 syarat bagi pemeriksa saat melakukan tes bisik, yaitu :

Pemeriksa membisikkan kata menggunakan cadangan udara paru-paru setelah fase ekspirasi.
Pemeriksa membisikkan 1 atau 2 suku kata yang telah dikenal penderita. Biasanya kita
menyebutkan nama benda-benda yang ada disekitar kita.
Teknik pemeriksaan pada tes bisik, yaitu :

Penderita dan pemeriksa sama-sama berdiri. Hanya pemeriksa yang boleh berpindah tempat.
Pertama-tama pemeriksa membisikkan kata pada jarak 1 meter dari penderita. Pemeriksa lalu
mundur pada jarak 2 meter dari penderita bilamana penderita mampu mendengar semua kata
yang kita bisikkan. Demikian seterusnya sampai penderita hanya mendengar 80% dari semua
kata yang kita bisikkan kepadanya. Jumlah kata yang kita bisikkan biasanya 5 atau 10. Jadi
tajam pendengaran penderita kita ukur dari jarak antara pemer iksa dengan penderita dimana
 penderita masih mampu mendengar 80% dari semua kata yang kita ucapkan (4 dari 5 kata).
Kita dapat lebih memastikan tajam pendengaran penderita dengan cara mengulangi
 pemeriksaan. Misalnya tajam pendengaran penderita 4 meter. Kita maju pada jarak 3 meter 
dari pasien lalu membisikkan 5 kata dan penderita mampu mendengar semuanya. Kita
kemudian mundur pada jarak 4 meter dari penderita lalu membisikkan 5 kata dan penderita
masih mampu mendengar 4 kata (80%).
Ada 2 jenis penilaian pada tes pendengaran, yaitu :
Penilaian kuantitatif seperti pemeriksaan tajam pendengaran pada tes bisik maupun tes bisik 
modifikasi.
Penilaian kualitatif seperti pemeriksaan jenis ketulian pada tes garpu tala dan audiometri.
Ada 3 jenis ketulian, yaitu :

Tuli sensorineural / sensorineural hearing loss (SNHL).


Tuli konduktif / conductive hearing loss (CHL).
Tuli sensorineural & konduktif / mix hearing loss (MHL).
Tuli sensorineural / sensorineural hearing loss (SNHL) adalah jenis ketulian yang tidak dapat
mendengar suara berfrekuensi tinggi. Misalnya tidak dapat mendengar huruf S dari kata susu
sehingga penderita mendengarnya uu.

Tuli konduktif / conductive hearing loss (CHL) adalah jenis ketulian yang tidak dapat
mendengar suara berfrekuensi rendah. Misalnya tidak dapat mendengar huruf U dari kata
susu sehingga penderita mendengarnya ss.

Ada 3 jenis frekuensi, yaitu :

Frekuensi rendah. Meliputi 16 Hz, 32 Hz, 64 Hz, dan 128 Hz.


Frekuensi normal. Frekuensi yang dapat didengar oleh manusia berpendengaran normal.
Meliputi 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz.
Frekuensi tinggi. Meliputi 4096 Hz dan 8192 Hz.
Tes Bisik Modifikasi

Tes bisik modifikasi merupakan hasil perubahan tertentu dari tes bisik. Tes bisik modifikasi
kita gunakan sebagai skrining pendengaran dari kelompok orang berpendengaran normal
dengan kelompok orang berpendengaran abnormal dari sejumlah besar populasi. Misalnya tes
kesehatan pada penerimaan CPNS.

Cara kita melakukan tes bisik modifikasi, yaitu :

Kita melakukannya dalam ruangan kedap suara.


Kita membisikkan 10 kata dengan intensitas suara lebih kecil dari tes bisik konvensional
karena jaraknya juga lebih dekat dari jarak pada tes bisik konvensional.
Cara kita memperlebar jarak dengan penderita yaitu dengan menolehkan kepala kita atau kita
 berada dibelakang penderita sambil melakukan masking (menutup telinga penderita yang
tidak kita periksa dengan menekan tragus penderita ke arah meatus akustikus eksternus).
Pendengaran penderita normal bilamana penderita masih bisa mendengar 80% dari semua
kata yang kita bisikkan.
Tes Garpu Tala

Ada 4 jenis tes garpu tala yang bisa kita lakukan, yaitu :

Tes batas atas & batas bawah.


Tes Rinne.
Tes Weber.
Tes Schwabach.
Tes Batas Atas & Batas Bawah
Tujuan kita melakukan tes batas atas & batas bawah yaitu agar kita dapat menentukan
frekuensi garpu tala yang dapat didengar pasien dengan hantaran udara pada intensitas
ambang normal.

Cara kita melakukan tes batas atas & batas bawah, yaitu :

Semua garpu tala kita bunyikan satu per satu. Kita bisa memulainya dari garpu tala
 berfrekuensi paling rendah sampai garpu tala berfrekuensi paling tinggi atau sebaliknya.
Cara kita membunyikan garpu tala yaitu dengan memegang tangkai garpu tala lalu memetik 
secara lunak kedua kaki garpu tala dengan ujung jari atau kuku kita.
Bunyi garpu tala terlebih dahulu didengar oleh pemeriksa sampai bunyinya hampir hilang.
Hal ini untuk mendapatkan bunyi berintensitas paling rendah bagi orang normal / nilai
normal ambang.
Secepatnya garpu tala kita pindahkan di depan meatus akustikus eksternus pasien pada ja rak 
1-2 cm secara tegak dan kedua kaki garpu tala ber ada pada garis hayal yang menghubungkan
antara meatus akustikus eksternus kanan dan kiri.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes batas atas & batas bawah yang kita lakukan, yaitu :

 Normal. Jika pasien dapat mendengar garpu tala pada semua frekuensi.
Tuli konduktif. Batas bawah naik dimana pasien tidak dapat mendengar bunyi berfrekuensi
rendah.
Tuli sensorineural. Batas atas turun dimana pasien tidak dapat mendengar bunyi berfrekuensi
tinggi.
Kesalahan interpretasi dapat terjadi jika kita membunyikan garpu tala terlalu keras sehingga
kita tidak dapat mendeteksi pada frekuensi berapa pasien tidak mampu lagi mendengar bunyi.

Tes Rinne

Tujuan kita melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan antara hantaran tulang
dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.

Ada 2 cara kita melakukan tes Rinne, yaitu :

Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus pada
 planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah pasien tidak 
mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan di depan meatus akustikus eksternus
 pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes Rinne
negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya.
Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tankainya secara tegak lurus
 pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garpu tala di depan meatus akustikus
eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi garpu tala di depan meatus
akustikus eksterna lebih keras daripada di belakang meatus akustikus eksterna (planum
mastoid). Tes Rinne positif jika pasien mendengarnya lebih keras. Sebaliknya tes Rinne
negatif jika pasien mendengarnya lebih lemah.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes Rinne yang kita lakukan, yaitu :

 Normal. Jika tes Rinne positif.


Tuli konduktif. Jika tes Rinne negatif.
Tuli sensorineural. Jika tes Rinne positif.
Interpretasi tes Rinne dapat false Rinne baik pseudo positif dan pseudo negatif. Hal ini dapat
terjadi manakala telinga pasien yang tidak kita tes menangkap bunyi garpu tala karena telinga
tersebut pendengarannya jauh lebih baik daripada telinga pasien yang kita periksa.

Kesalahan pemeriksaan pada tes Rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun
 pasien. Kesalahan dari pemeriksa misalnya meletakkan garpu tala tidak tegak lurus, tangkai
garpu tala mengenai rambut pasien dan kaki garpu tala mengenai aurikulum pasien. Juga bisa
karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal.

Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak 
mendengar bunyi garpu tala saat kita menempatkan garpu tala di planum mastoid pasien.
Akibatnya getaran kedua kaki garpu tala sudah berhenti saat kita memindahkan garpu tala di
depan meatus akustikus eksterna.

Tes Weber 

Tujuan kita melakukan tes Weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua
telinga pasien.

Cara kita melakukan tes Weber yaitu membunyikan garpu tala 512 Hz lalu ta ngkainya kita
letakkan tegak lurus pada garis median (dahi, verteks, dagu, atau gigi insisivus) dengan kedua
kakinya berada pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau
mendengar lebih keras.

Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras pada 1 telinga maka terjadi
lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua telinga pasien sama-sama tidak mendengar atau
sama-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi.

Ada 3 interpretasi dari hasil tes Weber yang kita lakukan, yaitu :

 Normal. Jika tidak ada lateralisasi.


Tuli konduktif. Jika pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sakit.
Tuli sensorineural. Jika pasien mendengar lebih keras pada t elinga yang sehat.
Misalnya terjadi lateralisasi ke kanan maka ada 5 kemungkinan yang bisa terjadi pada telinga
 pasien, yaitu :

Telinga kanan mengalami tuli konduktif sedangkan telinga kiri normal.


Telinga kanan dan telinga kiri mengalami tuli konduktif tetapi telinga kanan lebih parah.
Telinga kiri mengalami tuli sensorineural sedangkan telinga kanan normal.
Telinga kiri dan telinga kanan mengalami tuli sensorineural tetapi telinga kiri lebih parah.
Telinga kanan mengalami tuli konduktif sedangkan telinga kiri mengalami tuli sensorineural.
Tes Schwabach

Tujuan kita melakukan tes Schwabach adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara
 pemeriksa dengan pasien.

Cara kita melakukan tes Schwabach yaitu membunyikan garpu tala 512 Hz lalu
meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid pemeriksa. Setelah bunyinya tidak terdengar 
oleh pemeriksa, segera garpu tala tersebut kita pindahkan dan letakkan tegak lurus pada
 planum mastoid pasien. Apabila pasien masih bisa mendengar bunyinya berarti Scwabach
memanjang. Sebaliknya jika pasien juga sudah tidak bisa mendengar bunyinya berarti
Schwabach memendek atau normal.

Cara kita memilih apakah Schwabach memendek atau normal yaitu mengulangi tes
Schwabach secara terbalik. Pertama-tama kita membunyikan garpu tala 512 Hz lalu
meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid pasien. Setelah pasien tidak mendengarnya,
segera garpu tala kita pindahkan tegak lurus pada planum mastoid pemeriksa. J ika pemeriksa
 juga sudah tidak bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach normal. Sebaliknya jika
 pemeriksa masih bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach memendek.

Ada 3 interpretasi dari hasil tes Schwabach yang kita lakukan, yaitu :

 Normal. Schwabch normal.


Tuli konduktif. Schwabach memanjang.
Tuli sensorineural. Schwabach memendek.
Kesalahan pemeriksaan pada tes Schwabach dapat saj a terjadi. Misalnya tangkai garpu tala
tidak berdiri dengan baik, kaki garpu tala tersentuh, atau pasien lambat memberikan isyarat
tentang hilangnya bunyi.

Tuli Konduksi Tes Pendengaran Tuli Sensori Neural


Tidak dengar huruf lunak 
Dengar huruf desis Tes Bisik Dengar huruf lunak 
Tidak dengar huruf desis
 Normal Batas Atas Menurun
 Naik Batas Bawah Normal
 Negatif Tes Rinne Positif, false positif / false negatif 
Lateralisasi ke sisi sakit Tes Weber Lateralisasi ke sisi sehat
Memanjang Tes Schwabach Memendek 

Daftar Pustaka

Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri Herawati,
Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok.
Jakarta : EGC. 2000.

Technorati Tags: audiometri, garpu tala, rinne, weber , schwabach

Weber , Rinne dan Schwabach test

PEMERIKSAAN PENDENGARAN
Pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan :
1. Garputala
2. Uji berbisik 
3. Audiometrik 
Garputala terdiri dari satu set, lima buah, dengan frekuensi 128 Hz, 256 hz, 512 Hz, 1024 Hz
dan 2048 Hz. Untuk tes dengan garputala biasanya dipakai garpu tala 512 Hz, dan diperiksa
di ruang periksa, tidak perlu di ruang kedap suara, asalkan tidak terlalu riuh. Ada 3 macam
 pemeriksaan:
a. Uji Rinne
Membandingkan hantaran melalui udara dan melalui tulang.
Caranya ialah garputala digetarkan, lalu diletakkan pada tulang di belakang teli nga dengan
demikian getaran melalui tulang akan sampai ke telinga dalam. Apabila pasien tidak 
mendengar bunyi dari garputala yang digetrakan itu, maka garputala dipindahkan ke depan
liang telinga, kira-kira 2,5 cm jaraknya dari liang tel inga. Hantaran disini ialah hantaran
melalui udara. Pada pasien yang pendengarannya masih baik, maka hantaran melalui udara
lebih baik dari hantaran melalui tulang. Jadi garputala yang tadi diletakkan di tulang telinga
 belakang telinga tidak terdengar lagi, ketika dipegang di dekat liang telinga akan terdengar 
lagi, disebut uji rinne positif 
 b. Uji Weber 
Membandingkan hantaran tulang telinga kanan dengan teling akiri .
Caranya garputala digetarkan kemudian diletakkan pada garis tengah seperti di ubun-ubun,
dahi, atau pertengahan gigi seri. Pasien dengan gangguan pendengaran akan mengatakan
 bahwa salah satu telinga lebih jelas mendengar bunyi garputala itu. Pada orang normal akan
mengatakan bahwa tidak mendengar perbedaan bunti kiri dan kanan. Bila lebih keras ke
kanan disebut lateralisasi ke kanan.
c. Uji Schwabach
Membandingkan hantaran tulang pasien dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.
Caranya ialah, garputala digetarkan , lalu dasarn ya ditempelkan pada tulang di belakang
telinga passion. Setelah pasien mengatakan tidak mendnegar lagi, maka dasar garputala
diletakkan ke tulang belakang telinga pemeriksa. Apabila pemeriksa masih dapat mendengar 
 bunyi, maka dikatakan bahwa telinga pasien uji schwabachnya memendek.
Uji berbisik 
Uji berbisik dilakukan di ruang yang cukup tenang, dengan panjang 6 meter. Pemeriksa
duduk ke samping, telinga yang akan diperiksa ke ruang yang 6 meter itu, sedangkan telinga
yang sebelah lagi ditutup dengan jarinya.Pemeriksa mengucapkan kata yang terdiri dari 2
suku kata, diucapkan secara berbisik pada akhir ekspirasi. Pasi en harus mengulangi apa yang
disebut pemeriksa. Dimulai sejak jarak 6 meter, makin lama pemeriksa makin mendekat,
sampai pasien dapat menyebut kata dengan benar. Hasil uji berbisik orang normal ialah 5/6 – 
6/6
Uji Audiometrik 
Pemeriksaan dilakukan didalam ruang kedap suara. Pasien diberi tahu, supaya apabila
mendengar bunyi segera memencet tombol, dan apabila bunyi tidak terdengar lagi pencetan
 pada tombol dihentikan.
Mula-mula diperiksa hantaran melalui udara (AC) dengan memakaikan headphone pada
 pasien. Pemeriksaan dimulai dengan frekuensi 250 hz, kemudian intensitas dinaikkan mulai
dari 0 desibel, sampai pasien mendengar bunyi. Pemeriksaan dilanjutkan dengan frekuensi
500 Hz, 1000 Hz, 1500 Hz, sampai 8000 Hz. Pada telinga kanan, kemudian telinga kiri.
Setelah itu headphone diganti dengan konduktor tulang yang dilekatkan pada ujung tulang
mastoid di belakang telinga untuk memeriksa hantaran tulang (BC) dan dilakukan
 pemeriksaan seperti pada pemeriksaan AC.
Dari pemeriksaan ini dapat diketahui apakah pasien mempunyai pendengaran normal, tuli
hantar (konduktif), tuli saraf (sensorineural) atau tuli campur. Juga dapat terlihat apakah
kurang dengarnya ringan, sedang atau berat.
Definisi:Tes Weber

Tes Weber adalah menempatkan sebuah garpu tala bergetar di tengah dahi pasien. Jika pasien
melaporkan bahwa suara berasal dari garis tengah dahi, tidak ada penurunan konduksi udara.
Bila suara disebut berasal dari sisi yang terlibat atau rusak, tes Weber adalah positif. Ketika
ada penyakit koklea atau tuli saraf, suara terlateralisasi ke sisi berlawanan, tes ini dikatakan
negatif.

Diagnosa Fisik (Physic Diagnostic)

PENDAHULUAN

Pemeriksaan fisik berasal dari kata physical examination berarti memeriksa tubuh dengan
atau tanpa alat untuk mendapatkan informasi yang menggambarkan kondisi pasien
 pemeriksaan fisik merupakan salah satu bagian dari rangkaian pengkajian.

Kemampuan dokter melakukan pemeriksaan fisik secara komprehensip sangat diperlukan


karena data yang diperolah dari pemeriksaan fisik ini akan menjadi dasar dalam penentuan
masalah. Untuk dapat memahami pemeriksaan fisik yang baik dan benar dibutuhkan
 pemahaman terhadap konsep anatomi, fisiologi tubuh manusia dan patofisiologi serta
didukung oleh ketrampilan melalui latihan – latihan sehingga menjadi terbiasa. Dalam
 pemeriksaan fisik juga diperlukan integrasi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dari
 pemeriksa sampai pada meng-interprestasikan dan meng-integrasikan data temuan satu
dengan data temuan yang lainnya.

Dalam pelaksanaannya pemeriksaan fisik bersamaan dengan metode pengumpulan data


lainnya seperti wawancara (anamnesa), dan observasi, untuk itu dokter juga harus menguasai
tehnik anamnesa yang benar dan pengamatan yang akurat sesuai dengan kondisi pasien.

PEMERIKSAAN FISIK 

TEHNIK PEMERIKSAAN FISIK 


Dilakukan dengan 4 cara : Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
1. Inspeksi
Adalah memeriksa dengan melihat dan mengingat .
Langkah kerja :
• Atur pencahayaan yang cukup
• Atur suhu dan suasana ruangan nyaman
• Posisi pemeriksa sebelah kanan pasien
• Buka bagian yang diperiksa
• Perhatikan kesan pertama pasien : perilaku, ekspresi, penampilan umum, postur tubuh.
• Lakukan inspeksi secara sistematis, bila perlu bandingkan bagian sisi tubuh pasien.
2. Palpasi
Adalah pemeriksaan dengan perabaan, menggunakan rasa propioseptif ujung jari dan tangan.
Cara kerja :
• Daerah yang diperiksa bebas dari gangguan yang menutupi
• Cuci tangan
• Beritahu pasien tentang prosedur dan tujuannnya
• Yakinkan tangan hangat tidak dingin
• Lakukan perabaan secara sistematis , untuk menentukan ukuran, bentuk, konsistensi dan
 permukaan :
• Jari telunjuk dan ibu jari --> menentukan besar/ukuran
• Jari 2,3,4 bersama --> menentukan konsistensi dan kualitas benda
• Jari dan telapak tangan --> merasakan getaran
• Sedikit tekanan --> menentukan rasa sakit

3. Perkusi
Adalah pemeriksaan dengan cara mengetuk permukaan badan dengan cara perantara jari
tangan, untuk mengetahui keadaan organ-organ didalam tubuh.
Cara Kerja :
• Lepas Pakaian sesuai dengan keperluan
• Luruskan jari tengah kiri , dengan ujung jari tekan pada permukaan yang akan diperkusi.
• Lakukan ketukan dengan ujung jari tengah kanan diatas jari kiri, dengan lentur dan cepat,
dengan menggunakan pergerakan pergelangan tangan.
• Lakukan perkusi secara sistematis sesuai dengan keperluan.

4. Auskultasi
Adalah pemeriksaan mendengarkan suara dalam tubuh dengan menggunakan alat
STETOSKOP.

STETOSKOPBagian-bagian stetoskop :
• Ear Pieces --> dihubungkan dengan telinga
• Sisi Bell ( Cup ) --> pemeriksaan thorak atau bunyi dengan nada rendah
• Sisi diafragma ( membran ) --> Pemeriksaan abdomen atau bunyi dengan nada tinggi.

Cara Kerja :
• Ciptakan suasana tenang dan aman
• Pasang Ear piece pada telinga
• Pastikan posisi stetoskop tepat dan dapat didengar 
• Pada bagian sisi membran dapat digosok biar hangat
• Lakukan pemeriksaan dengan sistematis sesuai dengan kebutuhan.

PEMERIKSAAN KEPALA DAN LEHER 


KEPALA
Cara Kerja :
1. Atur posisi pasien duduk, atau berdiri
2. Bila pakai kaca mata dilepas
3. Lakukan inpeksi rambut dan rasakan keadaan rambut, serta kulit dan tulang kepala
4. Inspeksi keadaan muka pasien secara sistematis.
MATAA. Bola mata
Cara Kerja :
1. Inspeksi keadaan bola mata, catat adanya
adanya kelainan
kelainan : endo/eksoptalmus, strabismus.
2. Anjurkan pasien memandang lurus kedepan, catat adanya
adanya kelainan nistagmus.
3. Bedakan antara bola mata kanan dan kiri
4. Luruskan jari dan dekatkan dengan jarak 15-30 cm
5. Beritahu pasien untuk mengikuti
mengikuti gerakan jari, dan gerakan jari pada 8 arah untuk 
untuk 
mengetahui fungsi otot gerak mata.

B. Kelopak Mata
1. Amati kelopak
kelopak mata, catat adanya kelainan : ptosis, entro/ekstropion,
entro/ekstropion, alismata rontok,
lesi, xantelasma.
2. Dengan palpasi, catat adanya
adanya nyeri tekan dan keadaan benjolan kelopak mata

C. Konjungtiva, sclera dan kornea


1. Beritahu pasien melihat lurus ke depan
2. Tekan di bawah kelopak mata mata ke bawah, amati konjungtiva dan catat adanya kelainan
kelainan :
anemia / pucat. ( normal : tidak
t idak anemis )
3. Kemudian amati sclera, catat adanya
adanya kelainan : icterus, vaskularisasi, lesi / benjolan
(normal : putih )
4. Kemudian amati sklera, catat adanya kelainan : kekeruhan ( normal : hitam transparan
dan jernih )

D. Pemeriksaan pupil
1. Beritahu pasien pandangan lurus ke depan
2. Dengan menggunakan pen light, senter mata dari arah lateral ke medial
3. Catat dan
dan amati perubahan
perubahan pupil : lebar pupil, reflek pupil menurun, bandingkan kanan
dan kiri
 Normal : reflek pupil baik, isokor, diameter 3 mm
Abnormal : reflek pupil menurun/-, Anisokor, medriasis/meiosis

E. Pemeriksaan tekanan bola mata


Tampa alat :
Beritahu pasien untuk memejamkan mata, dengan 2 jari tekan bola mata, catat adanya
ketegangan dan bandingkan kanan dan kiri.
Dengan alat :
Dengan alat Tonometri ( perlu ketrampilan khusus )

F. Pemeriksaan tajam penglihatan


1. Siapkan alat : snelen cart dan letakkan dengan jarak 6 meter dari pasien.
2. Atur posisi pasien duduk/atau berdiri, berutahu pasien
pasien untuk
untuk menebak hurup yang
ditunjuk perawat.
3. Perawat berdiri di sebelah kanan alat, pasien diminta menutup salah satu mata ( atau
dengan alat penutup ).
4. Kemudian minta pasien
pasien untuk menebak hurup mulai dari atas sampai bawah.
bawah.
5. tentukan tajam penglihatan pasien
G. Pemeriksaan lapang pandang
1. perawat berdiri di depan pasien
2. bagian yang tidak diperiksa ditutup
3. Beritahu pasien untuk melihat lurus kedepan ( melihat jari )
4. Gerakkan jari kesamping kiri dan kanan
5. jelaskan kepada pasien, agar memberi tahu saat tidak melihat jari

TELINGA
• Pemeriksaan daun telinga, lubang telinga dan membran tympani
1. Atur posisi pasien duduk 
2. Perawat berdiri di sebelah sisi pasien, amati daun telinga dan catat : bentuk, adanya
adanya lesi
atau bejolan.
3. tarik daun telinga ke belakang atas, amati lubang telinga luar , catat adanya : lesi,
serumen, dan cairan yang keluar.
4. Gerakkan daun
daun telinga, tekan tragus dan catat adanya nyeri telinga. Catat adanya nyeri
telinga.
5. Masukkan spikulum telinga,
telinga, dengan lampu kepala
kepala / othoskop amati lubang telinga dan
catat adanya : cerumen atau cairan, adanya benjolan dan tanda radang.
6. Kemudian perhatikan membrane
membrane tympani,
tympani, catat : warna, bentuk, dan keutuhannya.
(normal : warna putih mengkilat/transparan kebiruan, datar dan utuh )
7. Lakukan prosedur 1-6 pada sisi telinga
telinga yang lain.

• Pemeriksaan fungsi pendengaran


Tujuan :
menentukan adanya penurunan pendengaran dan menentukan jenis tuli persepsi atau
konduksi.
Tehnik pemeriksaan :
1. Voice Test ( tes bisik )
Test ini amat penting bagi dokter umum terutama yang bertugas di puskesmas-puskesmas,
dimana peralatan masih sangat terbatas untuk keperluan testpendengaran. Persyaratan yang
 perlu diingat dalam melakukan test ini ialah :
a. Ruangan Test
Salah satu sisi atau sudut menyudut ruangan harus ada jaraksebesar 6 meter. Ruangan harus
 bebas dari kebisingan. Untuk menghindarigema
menghindarigema diruangan dapat ditaruh kayu
kayu di dalamnya.b.
 b. Pemeriksa
Sebagai sumber bunyi harus mengucapkan kata-kata denganmenggunakan ucapan kata-kata
sesudah expirasi normal.Kata-kata yang dibisikkan terdiri dari 2 suku kata (bisyllabic) yang
terdiridari kata-kata sehari-hari. Setiap suku kata diucapkan dengan tekanan yang sama dan
antara dua suku kata bisyllabic “Gajah Mada P.B.List” karena telahditera keseimbangan
 phonemnya untuk bahasa Indonesia.
c. Penderita
Telinga yang akan di test dihadapkan kepada pemeriksa dantelinga yang tidak sedang ditest
harus ditutup dengan kapas atau oleh tangansi penderita sendiri. Penderita tidak boleh melihat
gerakan mulut pemeriksa.
Cara pemeriksaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan penderita harus diberi instruksi yang jelasmis alnya anda
akan dibisiki kata-kata dan setiap kata yang didengar harusdiulangi dengan suara keras.
Kemudian dilakukan test sebagai berikut :
a. Mula-mula penderita pada
pada jarak 6 meter dibisiki beberapa
beberapa kata
kata bisyllabic.Bila
bisyllabic.Bila tidak 
menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari penderita) d an testini dimulai lagi. Bila
masih belum menyahut pemeriksa maju 1 meter, dandemikian seterusnya sampai penderita
dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10kata-kata yang dibisikkan. Jarak dimana penderita dapat
menyahut 8 dari 10kata diucapkan di sebut
s ebut jarak pendengaran.b.

 b. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang


yang lain sampaiditemukan satu
 jarak pendengaran.

Evaluasi test.
6 meter - normalb.
5 meter - dalam batas normalc.
4 meter - tuli ringand.
3 – 2
 – 2 meter - tuli sedange.
1 meter atau kurang - tuli berat.
Dengan test suara bisik ini dapat dipergunakan untuk memeriksa secara kasarderajat ketulian
(kuantitas). Bila sudah berpengalaman test suara bisik dapatpula secara kasar memeriksa type
ketulian misalnya :
a. Tuli konduktif
konduktif sukar
sukar mendengar
mendengar huruf lunak seperti n, m, w (meja dikatakanbecak, gajah
dikatakan kaca dan lain-lain).
 b. Tuli sensori neural sukar mendengar huruf tajam yang umumnyaberfrekwensi
umumnyaberfrekwensi tinggi
seperti s, sy, c dan lain-lain
lain-la in (cicak dikatakan tidak, kacadikatakan gajah dan lain-la in)
2. Test garputala
• Rinne test
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udarapada satu
telinga. Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang darihantaran tulang. Juga pada tuli
sensorneural hantaran udara lebih panjangdaripada hantaran tulang. Dilain pihak pada tuli
konduktif hantaran tulang lebihpanjang daripada hantaran udara.
Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara lunakpada tangan dan
 pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum daritelinga yang akan diperiksa. Kepada
 penderita ditanyakan apakahmendengar dan sekaligus
sekaligus di instruksikan agar mengangkat
tangan bila sudah tidak mendengar. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala
dipindahkanhingga ujung bergetar berada kira-kira 3 cm di depan meatus akustikuseksternus
dari telinga yang diperiksa. Bila penderita masih mendengardikatakan Rinne (+). Bila ti dak 
mendengar dikatakan Rinne (-). Evaluasi test rinne. Rinne positif berarti normal atau tuli
sensorineural. Rinnenegatif berarti tuli konduktif. Rinne Negatif Palsu. Dalam melakukan test
rinne harus selalu hati-hatidengan apa yang dikatakan Rinne negatif palsu. Hal ini terjadi
 pada tulisensorineural yang unilateral dan berat.Pada waktu meletakkan garpu tala di PlanumPlanum
mastoideum getarannya ditangkap oleh telinga yang baik dan tidak di test (cross hear ing).
Kemudiansetelah garpu tala diletakkan di depan meatus acusticus externus getarantidak 
terdengar lagi sehingga dikatakan Rinne negative.

 Normalnya : pasien masih mendengar saat ujung garputala didekatkan


didekatkan pada lubang telinga.

• Weber test
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan.Telinga normal
hantaran tulang kiri dan kanan akan sama.
Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuhdiletakkan pangkalnya
 pada dahi atau vertex. Penderita ditanyakan apakahmendengar atau tidak. Bila mendengar 
langsung ditanyakan di telinga manadidengar lebih keras. Bila terdengar lebih keras di kanan
disebut lateralisasike kanan.

Evaluasi Tets Weber. Bila terjadi lateralisasi ke kanan maka ada beberapakemungkinan
1. Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal
2. Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensory neural
3. Telinga kanan normal, kiri tuli sensory neural
4. Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih bera
5. Kedua telinga tuli sensory neural, kiri lebih berat
Dengan kata lain test weber tidak dapat berdiri sendiri oleh karena tidak dapatmenegakkan
diagnosa secara pasti.

• Scwabach Test
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari penderita denganhantaran tulang
 pemeriksa dengan catatan bahwa telinga pemeriksa harus normal. Cara pemeriksaan. Garpu
tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh secaralunak diletakkan pangkalnya pada planum
mastoiedum penderita.Kemudian kepada penderita ditanyakan apakah mendengar, s esudah
itusekaligus diinstruksikan agar mengangkat tangannya bila sudah tidakmendengar 
dengungan. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala segeradipindahkan ke planum
mastoideum pemeriksa.Ada 2 kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan
schwabachmemendek atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila pemeriksa
tidakmendengar harus dilakukan cross yaitu garpu tala mula-mula diletakkan pada planum
mastoideum pemeriksa kemudian bila sudah tidak mendengarlagi garpu tala segera
dipindahkan ke planum mastoideum penderita danditanyakan apakah penderita mendengar 
dengungan.Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach normal dan bilamasih
mendengar dikatakan schwabach memanjang. Evaluasi test schwabach
6. Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar dengungandan keadaan ini
ditemukan pada tuli sensory neural
7. Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar dengungandan keadaan ini
ditemukan pada tuli konduktif 
8. Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidakmendengar 
dengungan. Karena telinga pemeriksa normal berarti telingapenderita normal juga.

Test Audiometri
Pemeriksaan audiometri
Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri. Alat ini menghasilkan nada-
nada murni dengan frekuensi melalui aerphon. Pada sestiap frekuensi ditentukan intensitas
ambang dan diplotkan pada sebuah grafik sebagai prsentasi dari pendengaran normal. Hal ini
menghasilkan pengukuran obyektif derajat ketulian dan gambaran mengenai rentang nada
yang paling terpengaruh.

Definisi
Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti mendengar dan mengukur (uji
 pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran,
tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang
menimbulkan gangguan pendengaran.
Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level pendengaran
seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometri, maka derajat
ketajaman pendengaran seseorang da[at dinilai. Tes audiometri diperlukan bagi seseorang
yang merasa memiliki gangguan pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada suatu
 bidang yang memerlukan ketajaman pendngaran.
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara, audiologis dan pasien
yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang dilakukan adalah :

1. Audiometri nada murni


Suatu sisitem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan
 bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-500, 1000-2000, 4000-8000 dan dapat
diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui telepon
kepala dan vibrator tulang ketelinga orang yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing
untuk menukur ketajaman pendengaran melalui hntaran udara dan hantran tulang pada
tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkankurva hantaran tulang dan hantaran
udara. Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengtahui jenis dan derajat kurang
 pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang yang berpendengaran
normal dan berusia sekitar 20-29 tahun merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk 
nada muri. Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran frekwuensi 20-
20.000 Hz. Frekwensi dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk memahami percakapan
sehari-hari.

Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan pendengaran


Kehilangan dalam Desibel Klasifikasi
0-15 Pendengaran normal
>15-25 Kehilangan pendengaran kecil
>25-40 Kehilangan pendengaran ringan
>40-55 Kehilangan pendengaran sedang
>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang sampai berat
>70-90 Kehilangan pendengaran berat
>90 Kehilangan pendengaran berat sekali

Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran psien pada stimulus nada
murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa
 pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala decibel, suara
dipresentasikan dengan aerphon (air kondution) dan skala skull vibrator (bone conduction).
Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang
 pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.

2. Audiometri tutur 
Audiometri tutur adalah system uji pendengaran yang menggunakan kata-kata terpilih yang
telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah dikaliberasi, untuk mrngukur 
 beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama dengan
audiometri nada murni, hanya disni sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar kata
terpuilih yang dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh
 pemeriksa melalui mikropon yang dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian
disalurkan melalui telepon kepala ke telinga yang diperiksa pendengarannya, atau kata-kata
rekam lebih dahulu pada piringan hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali
dan disalurkan melalui audiometer tutur. Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas
setip kata yang didengar, dan apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas karena
intensitasnya makin dilemahkan, pendengar diminta untuk mnebaknya. Pemeriksa mencatata
 presentase kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil
ini dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah intensitas s uara kata-kata
yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata -kata yanag diturunkan dengan
 benar. Dari audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi kemampuan pendengaran yaitu :
a. Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-kata yang
dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang lazimnya disebut persepsi tutur 
atau NPT, dan dinyatakan dengan satuan de-sibel (dB).
 b. Kemamuan maksimal perndengaran untuk mendiskriminasikan tiap satuan bunyi
(fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan dengan nilai diskriminasi tutur 
atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu adalah persentasi maksimal kata-kata yang ditirukan
dengan benar, sedangkan intensitas suara barapa saja. Dengan demikian, berbeda dengan
audiometri nada murni pada audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja
 pada tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh diatasnya.
Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh mendengar kata-kata yang jelas artinya pada
intensitas mana mulai terjadi gangguan sampai 50% tidak dapat menirukan kata-kata dengan
tepat.
Kriteria orang tuli :
1. Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20-40 dB
2. Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40-60 dB
3. Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60-80 dB
4. Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas >80 dB
Pada dasarnya tuli mengakibatkan gangguan komunikasi, apabila seseorang masih memiliki
sisa pendengaran diharapkan dengan bantuan alat bantu dengar (ABD/hearing AID) suara
yang ada diamplifikasi, dikeraskan oleh ABD sehingga bisa terdengar. Prinsipnya semua tes
 pendengaran agar akurat hasilnya, tetap harus pada ruang kedap suara minimal sunyi. Karena
kita memberikan tes paa frekuensi tertetu dengan intensitas lemah, kalau ada gangguan suara
 pasti akan mengganggu penilaian. Pada audiometri tutur, memng kata-kata tertentu dengan
vocal dan konsonan tertentu yang dipaparkan kependrita. Intensitas pad pemerriksaan
audiomatri bisa dimulai dari 20 dB bila tidak mendengar 40 dB dan seterusnya, bila
mendengar intensitas bisa diturunkan 0 dB, berarti pendengaran baik. Tes sebelum dilakukan
audiometri tentu saja perlu pemeriksaan telinga : apakah congok atau tidak (ada cairan dalam
telinga), apakah ada kotoran telinga (serumen), apakah ada lubang gendang telinga, untuk 
menentukan penyabab kurang pendengaran.

Manfaat audiometri
1. Untuk kedokteran klinik, khususnya penyakit telinga
2. Untuk kedokteran klinik Kehakiman,tuntutan ganti rugi
3. Untuk kedokteran klinik Pencegahan, deteksi ktulian pada anak-anak 

Tujuan
Ada empat tujuan (Davis, 1978) :
1. Mediagnostik penyakit telinga
2. Mengukur kemampuan pendengaran dalam menagkap percakpan sehari-hari, atau
dengan kata lain validitas sosial pendengaran : untuk tugas dan pekerjaan, apakah butuh alat
 pembantu mendengar atau pndidikan khusus, ganti rugi (misalnya dalam bidang kedokteran
kehkiman dan asuransi).
3. Skrinig anak balita dan SD
4. Memonitor untuk pekerja-pekerja dinetpat bising.
Pemeriksaan Fungsi Keseimbangan
a. Test Romberg
 b. Test Fistula
c. Test Kalori

MULUT DAN TONSIL


1. Pasien duduk berhadapan dengan pemeriksa
2. Amati bibir, catat : merah, cyanosis, lesi, kering, massa/benjolan, sumbing
3. Buka mulut pasien, catat : kebersihan dan bau mulut, lesi mukosa
4. Amati gigi, catat : kebersihan gisi, karies gigi, gigi berlubang, gigi palsu.
5. Minta pasien menjuliurkan lidah, catat : kesimetrisan, warna, lesi.
6. Tekan lidah dengan sudip lidah, minta pasien membunyikan huruh “ A “, amati uvula,
catat : kesimetrisan dan tanda radang.
7. Amati tonsil tampa dan dengan alat cermin, catat : pembesaran dan tanda radang tonsil.

LEHER 

• Kelenjar Tyroid
Inspeksi :
Pasien tengadah sedikit, telan ludah, catat : bentuk dan kesimetrisan

Palpasi :
Pasien duduk dan pemeriksa di belakang, jari tengah dan telunjuk ke dua tangan ditempatkan
 pada ke dua istmus, raba disepanjang trachea muali dari tulang krokoid dan kesamping, catat
: adanya benjolan ; konsidstensi, bentuk, ukuran.

Auskultasi :
Tempatkan sisi bell pada kelenjar tyroid, catat : adanya bising ( normal : tidak terdapat)
• Trakhea
Inspeksi :
Pemeriksa disamping kanan pasien, tempelkan jari tengah pada bagian bawah trachea, raba
ke atas dan ke samping, catat : letak trachea, kesimetrisan, tanda oliver ( pada saat denyut
 jantung, trachea tertarik ke bawah ),
 Normalnya : simetris ditengah.
• JVP ( tekanan vena jugularis )
Posisi penderita berbaring setengah duduk, tentukan batas atas denyut vena jugularis,
 beritahu pasien merubah posisi ke duduk dan amati pulsasi denyut vena. Normalnya : saat
duduk setinggi manubrium sternum.
Atau
Posisi penderita berbaring setengah duduk, tentukan titik nol ( titik setinggi manubrium s. )
dan letakkan penggaris diatasnya, tentukan batas atas denyut vena, ukur tinggi denyut vena
dengan penggaris.
 Normalnya : tidak lebih dari 4 cm.
• Bising Arteri Karotis
Tentukan letak denyut nadi karotis ( dari tengah leher geser ke samping ), Letakkan sisi bell
stetoskop di daerah arteri karotis, catat adanya bising. Normalnya : tidak ada bising.

PEMERIKSAAN THORAX DAN PARU


Tujuan Pemeriksaan :
• Mengidentifikasi kelaian bentuk dada
• Mengevaluasi fungsi paru

A. INSPEKSI
 Cara Kerja :
1. Posisi pasien dapat duduk dan atau berbaring
2. Dari arah atas tentukan kesimetrisan dada, Normalnya : simetris,
3. Dari arah samping dan belakang tentukan bentuk dada.
4. Dari arah depan, catat : gerakan napas dan tanda-tanda sesak napas
 Normalnya : Gerak napas simetris 16 – 24 X, abdominal / thorakoabdominal, tidak ada
 penggunaan otot napas dan retraksi interkostae.
 Abnormal :
• Tarchipneu  napas cepat ( > 24 X ) , misal ; pada demam, gagal jantung
• Bradipneu  napas lambat ( < 16 X ), misal ;pada uremia, koma DM, stroke
• Cheyne Stokes  napas dalam, kemudian dangkal dan diserta apneu berulang-ulang. Misal
: pada Srtoke, penyakit jantung, ginjal.
• Biot  Dalam dan dangkal disertai apneu yang tidak teratur, misal : meningitis
• Kusmoul  Pernapasan lambat dan dalam, misal ; koma DM, Acidosis metabolic
• Hyperpneu  napas dalam, dengan kecepatan normal
• Apneustik  ispirasi megap-megap, ekspirasi sangat pendek, misal pada l esi pusat
 pernapasan.
• Dangkal  emfisema, tumor paru, pleura Efusi.
• Asimetris  pneumonie, TBC paru, efusi pericard/pleura, tumor paru.
5. Dari arah depan tentukan adanya pelebaran vena dada, normalnya : tidak ada.

B. PALPASI
Cara Kerja :
1. Atur posisi pasien duduk atau berbaring
2. lakukan palpasi daerah thorax, catat ; adanya nyeri, adanya benjolan ( tentukan
konsistensi, besar, mobilitas … )
3. Dengan posisi berbaring / semi fowler, letakkan kedua tangan ke dada, sehingga ke dua
ibu jara berada diatas Procecus Xypoideus, pasien diminta napas biasa, catat : gerak napas
simetris atau tidak dan tentukan daya kembang paru ( normalnya 3-5 cm ).
Atau
Dengan posisi duduk merunduk, letakkan ke dua tangan pada punggung di bawah scapula,
tentukan : kesimetrisan gerak dada, dan daya kembang paru
4. Letakkan kedua tangan seperti pada no 2/3, dengan posisi tangan agak ke atas, minta
 pasien untuk bersuara ( 77 ), tentukan getaran suara dan bedakan kanan dan kiri.
Menurun : konsolidasi paru, pneumonie, TBC, tumor paru, ada masa paru
Meningkat : Pleura efusi, emfisema, paru fibrotik, covenrne paru.

C. PERKUSI
Cara Kerja :
1. Atur posisi pasien berbaring / setengah duduk 
2. Gunakan tehnik perkusi, dan tentukan batas – batas paru
Batas paru normal :
• Atas : Fossa supraklavikularis kanan-kiri
• Bawah : iga 6 MCL, iga 8 MAL, iga 10 garis skapularis, paru kiri lebih tinggi
Abnormal :
• Meningkat  anak, fibrosis, konsolidasi, efusi, ascites
• Menurun  orang tua, emfisema, pneumothorax
3. lakuka perkusi secara merata pada daerah paru, catat adanya perubahan suara perkusi
 Normalnya : sonor/resonan ( dug )
Abnormal :
• Hyperresonan  menggendang ( dang ) : thorax berisi udara, kavitas
• Kurang resonan  “deg” : fibrosis, infiltrate, pleura menebal
• Redup  “bleg” : fibrosis berat, edema paru
• Pekak  seperti bunyi pada paha : tumor paru, fibrosis

D. AUSKULTASI
Cara kerja :
1. Atur posisi pasien duduk / berbaring
2. Dengan stetoskop, auskultasi paru secara sistematis pada trachea, bronkus dan paru, catat
: suara napas dan adanya suara tambahan.
Suara napas
 Normal :
• Trachea brobkhial  suara di daerah trachea, seperti meniup besi, inpirasi lebih keras dan
 pendek dari ekspirasi.
• Bronkhovesikuler  suara di daerah bronchus ( coste 3-4 di atas sternum ), inpirasi spt
vesikuler, ekspirasi seperti trac-bronkhial.
• Vesikuler  suara di daerah paru, nada rendah inspirasi dan ekspirasi tidak terputus.
Abnormal :
• Suara trac-bronkhial terdengar di daerah bronchus dan paru ( missal ; pneumonie, fibrosis
)
• Suara bronkhovesikuler terdengar di daerah paru
• Suara vesikuler tidak terdengar. Missal : fibrosis, effuse pleura, emfisema
Suara tambahan
 Normal : bersih, tidak ada suara tambahan
Abnormal :
• Ronkhi  suara tambahan pada bronchus akibat timbunan lender atau secret pada
 bronchus.
• Krepitasi / rales  berasal daru bronchus, alveoli, kavitas paru yang berisi cairan ( seperti
gesekan rambut / meniup dalam air )
• Whezing  suara seperti bunyi peluid, karena penyempitan bronchus dan alveoli.
3. Kemudian, beritahu pasien untuk mengucapkan satu, dua, …, catat bunyi resonan Vokal
:
• Bronkhofoni  meningkat, suara belum jelas ( misal : pnemonie lobaris, cavitas paru )
• Pectoriloguy  meningkat sekali, suara jelas
• Egovoni  sengau dan mengeras ( pada efusi pleura + konsolidasi paru )
• Menurun / tidak terdengar  Efusi pleura, emfisema, pneumothorax
PEMERIKSAAN JANTUNG
A. INPEKSI
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
1. Bentuk perkordial
2. Denyut pada apeks kordis
3. Denyut nadi pada daerah lain
1. Denyut vena
Cara Kerja :
1. buka pakaian dan atur posisi pasien terlentang, kepala ditinggikan 15-30
2. Pemeriksa berdiri sebelah kanan pasien setinggi bahu pasien
3. Motivasi pasien tenang dan bernapas biasa
4. Amati dan catat bentuk precordial jantung
 Normal  datar dan simetris pada kedua sisi,
Abnormal  Cekung, Cembung ( bulging precordial )
5. Amati dan catat pulsasi apeks cordis
 Normal  nampak pada ICS 5 MCL selebar 1-2 cm ( selebar ibu jari ).
Sulit dilihat payudara besar, dinding toraks yang tebal, emfisema, dan efusi perikard.
Abnormal --> bergeser kearah lateroinferior , lebar > 2 cm, nampak meningkat dan
 bergetar ( Thrill ).
6. Amati dan catat pulsasi daerah aorta, pulmonal, trikuspidalis, dan ephygastrik 
 NormaL  Hanya pada daerah ictus
7. Amati dan cata pulsasi denyut vena jugularis
 Normal tidak ada denyut vena pada prekordial. Denyut vena hanya dapat dilihat pada vena
 jugularis interna dan eksterna.

B. AUSKULTASI
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
1. Irama dan frekwensi jantung
 Normal : reguler ( ritmis ) dengan frekwensi 60 – 100 X/mnt
2. Intensitas bunyi jantung
 Normal :
• Di daerah mitral dan trikuspidalis intensitas BJ1 akan lebih tinggi dari BJ 2
• Di daerah pulmonal dan aorta intensitas BJ1 akan lebih rendah dari BJ 2
3. Sifat bunyi jantung
 Normal :
- bersifat tunggal.
- Terbelah/terpisah dikondisikan ( Normal Splitting )
 Splitting BJ 1 fisiologik 
 Normal Splitting BJ1 yang terdengar saat “ Ekspirasi maksimal, kemudian napas ditahan
sebentar” .
 Splitting BJ 2 fisiologik 
 normal Spliting BJ2, terdengar  “ sesaat setelah inspirasi dalam “
Abnormal :
• Splitting BJ 1 patologik   ganngguan sistem konduksi ( misal RBBB )
• Splitting BJ 2 Patologik : karena melambatnya penutupan katub pulmonal pada RBBB,
ASD, PS.
4. Fase Systolik dan Dyastolik 
 Normal : Fase systolik normal lebih pendek dari fase dyastolik ( 2 : 3 )
Abnormal : - Fase systolic memanjang / fase dyastolik memendek 
- Tedengar bunyi “ fruction Rub”  gesekan perikard dg ephicard.

5. Adanya Bising ( Murmur ) jantung


 adalah bunyi jantung ( bergemuruh ) yang dibangkitkan oleh aliran turbulensi ( pusaran
abnormal ) dari aliran darah dalam jantung dan pembuluh darah.
 Normal : tidak terdapat murmur 
Abnormal : terdapat murmur  kelainan katub , shunt/pirau
6. Irama Gallop ( gallop ritme )
 Adalah irama diamana terdengar bunyi S3 atau S4 secara j elas pada fase Dyastolik, yang
disebabkan karena darah mengalir ke ventrikel yang lebih lebar dari normal, s ehingga terjadi
 pengisian yang cepat pada ventrikel

 Normal : tidak terdapat gallop ritme


Abnormal :
• Gallop ventrikuler ( gallop S3 )
• Gallop atrium / gallop presystolik ( gallop S4 )
• Gallop dapat terjadi S3 dan S4 ( Horse gallop )

Cara Kerja :
1. Periksa stetoskop dan gosok sisi membran dengan tangan
2. Tempelkan stetoskop pada sisi membran pada daerah pulmonal, kemudian ke daerah
aorta, simak Bunyi jantung terutama BJ2, catat : sif at, kwalitas di banding dg BJ1, splitting
BJ2, dan murmur Bj2.
3. Tempelkan stetoskop pada sisi membran pada daerah Tricus, kemudian ke daerah mitral,
simak Bunyi jantung terutama BJ1, catat : sifat, k walitas di banding dg BJ2, splitting BJ1,
murmur Bj1, frekwensi DJ, irama gallop.
4. Bila ada murmur ulangi lagi keempat daerah, catat mana yang paling jelas.
5. Geser ke daerah ephigastrik, catat adanya bising aorta.

C. PALPASI
Cara Kerja :
1. Dengan menggunakan 3 jari tangan dan dengan tekanan ringan, palpasi daerah aorta,
 pulmo dan trikuspidalis. catat : adanya pulsasi.
 Normal  tidak ada pulsasi
2. Geser pada daerah mitral, catat : pulsasi, tentukan letak, lebar, adanya thrill, lift/heave.
 Normal  terba di ICS V MCL selebar 1-2cm ( 1 jari )
Abnormal  ictus bergeser kea rah latero-inferior, ada thriil / lift
3. Geser pada daerah ephigastrik, tentukan besar denyutan.
 Normal : teraba, sulit diraba
Abnormal : mudah / meningkat

D. PERKUSI
Cara Kerja :
1. Lakukan perkusi mulai intercota 2 kiri dari lateral ( Ant. axial line ) menuju medial, catat
 perubahan perkusi redup
2. Geser jari ke ICS 3 kiri kemudian sampai ICS 6 , lakukan perkusi dan catat perubahan
suara perkusi redup.
3. Tentukan batas-batas jantung
PEMERIKSAAN PAYUDARA DAN KETIAK 
Inspeksi
1. posisi pasien duduk, pakaian atas dibuka, kedua tangan rileks disisi tubuh.
2. Mulai inspeksi bentuk, ukuran dan kesimetrisan payudara
 Normal : bulat agak simetris, kecil/sedang/besar 
3. Inspeksi, dan catat adanya : benjolan, tanda radang dan lesi
4. Inspeksi areola mama, catat : warna, datar/menonjol/masuk kedalam, tanda radang dan
lesi.
 Normal : gelap, menonjol
5. Buka lengan pasien, amati ketiak, Catat : lesi, benjolan dan tanda radang.

PALPASI
Cara Kerja :
• Lakukan palpasi pada areola, catat : adanya keluaran, jumlah, warna, bau, konsistensi dan
nyeri.
• Palpasi daerah ketiak terutama daerah limfe nodi, catat : adanya benjolan, nyeri tekan.
• Lakukan palpasi payudara dengan 3 jari tangan memutar searah jarum jam kea rah areola.
Catat : nyeri dan adanya benjolan
• Bila ada benjolan tentukan konsistensi, besar, mobilisasinya.

PEMERIKSAAN ABDOMEN
Abdomen dibagi menjadi 9 regio :

INSPEKSI
Cara Kerja :
1. Kandung kencing dalam keadaan kosong
2. Posisi berbaring, bantal dikepala dan lutut sedikit fleksi
3. Kedua lengan, disamping atau didada
4. Mintalah penderita untuk menunjukkan daerah sakit untuk dilakukan pemeriksaan
terakhir 
5. Lakukan inspeksi, dan perhatikan Kedaan kulit dan permukaan perut
 Normalnya : datar, tidak tegang, Strie livide/gravidarum, tidak ada lesi
Abnormal :
• Strie berwarna ungu  syndrome chusing
• Pelebaran vena abdomen  Chirrosis
• Dinding perut tebal  odema
• Berbintil atau ada lesi  neurofibroma
• Ada masa / benjolan abnormal  tumor 
6. Perhatikan bentuk perut
 Normal : simetris
Abnormal :
• Membesar dan melebar  ascites
• Membesar dan tegang  berisi udara ( ilius )
• Membesar dan tegang daerah suprapubik  retensi urine
• Membesar asimetris  tumor, pembesaran organ dalam perut
7. Perhatikan Gerakan dinding perut
 Normal : mengempis saat ekspirasi dan menggembung saat inspirasi, gerakan peristaltic pada
orang kurus.
AbnormaL:
• Terjadi sebaliknya  kelumpuhan otot diafragma
• Tegang tidak bergerak  peritonitis
• Gerakan setempat  peristaltic pada illius
• Perhatikan denyutan pada didnding perut
• Normal : dapat terlihat pada ephigastrika pada orang kurus
8. Perhatikan umbilicus, catat adanya tanda radang dan hernia

AUSKULTASI
Cara Kerja :
1. Gunakan stetoskop sisi membrane dan hangatkan dulu
2. Lakukan auskultasi pada satu tempat saja ( kuadran kanan bawah ), cata bising dan
 peristaltic usus.
 Normal : Bunyi “ Klikc Grugles “, 5-35X/mnt
Abnormal :
• Bising dan peristaltic menurun / hilang  illeus paralitik, post operasi
• Bising meningkat “ metalik sound “  illius obstruktif 
• Peristaltik meningkat dan memanjang ( borboritmi ) diare, kelaparan
3. Dengan merubah posisi/menggerakkan abdomen, catat gerakan air ( tanda ascites ).
 Normalnya : tidak ada
3. Letakkan stetoskop pada daerah ephigastrik, catat bising aorta,
 Normal : tidak ada.

PERKUSI
Cara Kerja :
1. lakukan perkusi dari kwadran kanan atas memutar searah jarum jam, catat adanya
 perubahan suara perkusi :
 Normalnya : tynpani, redup bila ada organ dibawahnya ( misal hati )
Abnormal :
• Hypertympani  terdapat udara
• Pekak  terdapat Cairan
2. lakukan perkusi di daerah hepar untuk menentukan batas dan tanda pembesaran hepar.
Cara :
• Lakukan perkusi pada MCL kanan bawah umbilicus ke atas sampai terdengar bunyi
redup, untuk menentukan batas bawah hepar.
• Lakukan perkusi daerah paru ke bawah, untuk menentukan batas atas
• Lakukan perkusi di sekitar daerah 1 dan 2 untuk menentukan batas-batas hepar yang lain.

PALPASI
Cara Kerja :
1. Beritahu pasien untuk bernapas dengan mulut, lutut sedikit fleksi.
2. Lakukan palpasi perlahan dengan tekanan ringan, pada seluruh daerah perut
3. Tentukan ketegangan, adanya nyeri tekan, dan adanya masa superficial atau masa feces
yang mengeras.
4. Lanjutkan dengan pemeriksaan organ.
Hati
• Letakkan tangan kiri menyangga belakang penderita pada coste 11 dan 12
• Tempatkan ujung jari kanan ( atas - obliq ) di daerah t empat redup hepar bawah / di
 bawah kostae.
• Mulailah dengan tekanan ringan untuk menentukan pembesaran hepar, tentukan besar,
konsistensi dan bentuk permukaan.
• Minta pasien napas dalam, tekan segera dengan jari kanan secara perlahan, saat pasien
melepas napas, rasakan adanya masa hepar, pembesaran, konsistensi dan b entuk 
 permukaannya.
 Normal : tidak teraba / teraba kenyal, ujung tajam.
Abnormal :
• Teraba nyata ( membesar ), lunak dan ujung tumpul  hepatomegali
• Teraba nyata ( membesar ), keras tidak merata, ujung ireguler   hepatoma

Lien
• Letakkan tangan kiri menyangga punggung kanan penderita pada coste 11 dan 12
• Tempatkan ujung jari kanan ( atas - obliq ) di bawah kostae kanan.
• Mulailah dengan tekanan ringan untuk menentukan pembesaran limfa
• Minta pasien napas dalam, tekan segera dengan jari kanan secara perlahan, saat pasien
melepas napas, rasakan adanya masa hepar, pembesaran, konsistensi dan bentuk 
 permukaannya.
 Normal : Sulit di raba, teraba bila ada pembesaran

PEMERIKSAAN SISTEM MUSKULOSKELETAL


OTOT
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
• Bentuk, ukuran dan kesimetrisan otot
• Adanya atropi, kontraksi dan tremor, tonus dan spasme otot
• Kekuatan otot

UJi Kekuatan Otot


Cara kerja :
• Tentukan otot/ektrimitas yang akan di uji
• Beritahu pasien untuk mengikuti perintah, dan pegang otot dan lakukan penilaian.
Penilaian :
0 ( Plegia ) : Tidak ada kontraksi otot
1 ( parese ) : Ada kontraksi, tidak timbul gerakan
2 ( parese ) : Timbul gerakan tidak mampu melawan gravitasi
3 ( parese ) : Mampu melawan gravitasi
4 ( good ) : mampu menahan dengan tahanan ringan
5 ( Normal ): mampu menahan dengan tahanan maksimal
TULANG
Hal-hal yang perlu diperhatikan :
• Adanya kelainan bentuk / deformitas
• Masa abnormal : besar, konsistensi, mobilitas
• Tanda radang dan fraktur 
Cara kerja :
• Ispkesi tulang, catat adanya deformitas, tanda radang, benjolan abnormal.
• Palpasi tulang, tentukan kwalitas benjolan, nyeri tekan, krepitasi.
PERSENDIAN
Hal-hal Yang perlu diperhatikan :
• Tanda-tanda radang sendi
• Bunyi gerak sendi ( krepitasi )
• Stiffnes dan pembatasan gerak sendi ( ROM )
Cara Kerja :
• Ispeksi sendi terhadap tanda radang, dan palpasi adanya nyeri tekan
• Palpasi dan gerakan sendi, catat : krepitasi, adanya kekakua sendi dan nyeri gerak 
• Tentukan ROM sendi : Rotasi, fleksi, ekstensi, pronasi/supinasi, protaksi, inverse/eversi,

PEMERIKSAAN KHUSUS
1. Angkat Tungkai Lurus
• Angkat tungkai pasien, luruskan sampai timbul nyeri, dorsofleksikan tungkai kaki
• Abnormal : nyeri tajan ke rah belakang tungkai  ketegangan / kompresi syaraf 
2. Uji CTS ( Carpal Tunnel Syndrome )
Uji PHALEN’S
• Fleksikan pergelangan tangan ke dua tangan dengan sudut maksimal, tahan selama 60
detik.
• Abnormal : Baal / kesemutan pada jari-jari dan tangan.
Uji TINEL’S
• Lakukan perkusi ringan di atas syaraf median pergelangan tangan
• Abnormal : ada kesemutan atau kesetrum

3. Tanda BALON
Tekan kantung suprapatela dengan jari tangan, jari yang lain meraba adanya cairan.

PEMERIKSAAN SISTEM INTEGUMEN KULIT Inspeksi


1. Warna kulit
 Normal : nampak lembab, Kemerahan
Abnormal : cyanosis / pucat
2. Tekstur kulit
 Normal : tegang dan elastis ( dewasa ), lembek dan kurang elastis ( orang tua )
Abnormal : menurun  dehidrasi, nampak tegang  odema, peradangan
3. Kelainan / lesi kulit
 Normal : tidak terdapat
Abnormal : Terdapat lesi kulit, tentukan :
1. bentuk Lesi
• Lesi Primer : bulla, macula, papula, plaque, nodula, pigmentasi, hypopigmentasi, pustula
• Lesi Sekunder : Tumor, crusta, fissura, erosi, vesikel, eskoriasi, lichenifikasi, scar,
ulceratif.
2. distribusi dan konfigurasinya.
General, Unilateral, Soliter, Bergerombol

Palpasi
1. Tekstur dan konsistensi
 Normal : halus dan elastis
Abnormal : kasar, elastisitas menurun, elastisitas meningkat ( tegang )
2. Suhu
 Normal : hangat
Abnormal : dingin ( kekurangan oksigen/sirkulasi ), suhu meningkat ( infeksi )
3. Turgor kulit
 Normal : baik 
Abnormal : menurun / jelek   orang tua, dehidrasi
4. Adanya hyponestesia/anestesia
5. Adanya nyeri

Pemeriksaan Khusus
AKRAL
• Ispeksi dan palpasi jari-jari tangan, catat warna dan suhu .
 Normal : tidak pucat, hangat
Abnormal : pucat, dingin  kekurangan oksigen

CR ( capilari Refiil )
• Tekan Ujung jari berarapa detik, kemudian lepas, catat perubahan warna
 Normal : warna berubah merah lagi < 3 detik 
Abnormal : > 3 detik   gangguan sirkulasi.

ODEM
• Tekan beberapa saat kulit tungkai, perut, dahi amati adanya lekukan ( pitting )
 Normal : tidak ada pitting
Abnormal : terdapat pitting ( non pitting pada beri-beri )

KUKU
• Observasi warna kuku, bentuk kuku, elastisitas kuku, lesi, tanda radang
Abnormal :
• Jari tabuh ( clumbing Finger )  penykait jantung kronik 
• Puti tebal  jamur 

RAMBUT TUBUH
• Ispeksi distribusi, warna dan pertumbuhan rambut

PEMERIKSAAN FISIK GENITALIAUntuk mengetahui apakah pasien mempunyai


masalah dengan genetalia (alat vital) baik intern/ekstern.
Tujuan Pemeriksaan Genetalia:
• Melihat dan mengetahui organ organ yang termasuk dalam genetalia
• Mengetahui adanya abnormalitas pada genetalia, misalnya varises, edema. Tumor, atau
 benjolan, infeksi, luka, atau iritasi, pengeluaran cairan atau darah dan sebagainya.
• Melakukan perawatan genetalia
• Mengetahui kemajuan proses persalinan pada ibu hamil atau persalinan
Metode yang Digunakan pada pria:
• Inspeksi
• Palpasi
Metode yang digunakan pada wanita:
• Pengkajian alat kelamin wanita bagian luar dan bagian dalam.
Persiapan sebelum pemeriksaan:
1) Menyiapakan alat yang digunakan:
a) Lampu yang dapat diatur pencahayaanya
 b) Handscone atau sarung tangan
c) Meja pemeriksaan dengan sanggurdi, baskom, spatula plastic.
2) Menyiapkan tempat yang nyaman sehingga dapat menjaga privasi pasien.
3) Hal yang harus diperhatikan:
a) Pengkajian dilakukan sesuai kebutuhan dengan tetap menjga kesopanan dan harga diri
 pasien dan perawat.
 b) Perawat meminta pasien untuk berkemih sebelum pemeriksaan.
c) Bantu pasien melakukan posisi litotomi di tempat tidur atau meja periksa untuk 
 pengkajian genital eksternal.
d) Meminta ijin pada pasien jika melakukan pengkajian.
e) Perawat harus dapt memeberi penjelasan kepada pasien tentang tujuan pengkajian
sehingga pasien dapat diajak bekerja sama dan tidak meras a malu.
f) Menjaga privasi pasien.

Langkah pemeriksaan fisik genitalia


Pada Pria :
1) Inspeksi
a) Pertama tama inspeksi rambut pubis, perhatikan penyebaran dan pola pertumbuhan
rambut pubis. Catat bila rambut pubis tumbuh sedikit atau tidak sama sekali.
 b) Inspeksi kulit, ukuran, dan adanya kelainan lain yang tampak pada penis.
c) Pada pria yang tidak dikhitan, pegang penis dan buka kulup penis, amati lubang uretra
dan kepala penis untuk mengetahui adanya ulkus, jaringan parut, benjolan, peradangan, dan
rabas ( bila pasien malu,penis dapat dibuka oleh pasien sendiri ). Lubang uretra normalnya
terletak di tengah kepala penis. Pada beberapa kelainan l ubang uretra ada yang terletak di
 bawah batang penis ( hipospadia ) dan ada yang terletak di atas batang penis ( epispadia )
d) Inspeksi skotrum dan perhatikan bila ada tanda kemerahan, bengkak, ulkus, eksoriasi,
atau nodular. Angkat skrotrum dan amati area di belakang skrotrum.
2) Palpasi
a) Lakukan palpasi penis untuk mengetahui adanya nyeri tekan, benjolan , dan
kemungkinan adanya cairan kental yang keluar.
 b) Palpasi stroktum dan testis dengan menggunakan jempol dan tiga jari pertama. Palpasi
tiap testis dan perhatikan ukuran, konstitensi, bentuk, dan kelicinannya. Testis normalnya
teraba elastis, licin, tidak ada benjolan atau massa, dan berukuran sekitar 2-4 cm.
c) Papasi epidemis yang memanjang dari puncak testis ke belakang. Normalnya epididimis
teraba lunak.
d) Palpasi saluran sperma dengan jempol dan jari telunjuk. Saluran sperma biasanya
ditemukan pada puncak bagian lateral skrotum dan teraba lebih keras daripada epidedimis.

Pada Wanita:
1. Pengkajian alat kelamin wanita bagian luar:
a) Beri kesempatan kepada pasien untuk mengosongkan kandung kemih sebelum
 pengkajian dimulai. Bila diperlukan urine untuk specimen laboratorium.
 b) Anjurkan pasien membuka celana, Bantu mengatur posisi litotomi, dan selimuti bagian
yang tidak diamati.
c) Mulai dengan mengamati rambut pubis, perhatikan distribusi dan jumlahnya, dan
 bandingkan sesuai usia perkembangan pasien.
d) Amati kulit dan area pubi, perhatikan adana lesi, eritema, fisura, leukoplakia, dan
ekskorasi.
e) Buka labuia minora, klitoris, dan amati bagian dalam labia mayora, labia minora,klitoris,
dan meatus uretra. Perhatikan setiap ada pembengkakan, ulkus, rabas atau nodular.
2. Pengkajian alat kelamin bagian dalam
a) Atur posisi pasien secara tepat dan pakai sarung tangan steril.
 b) Lumasi jari telunjuk Anda dengan air steril, masukkan ke dalam vagina, dan identifikasi
kelunakan serta permukaan serviks. Tindakan ini bermanfaat untuk mempergunakan dan
memilih speculum yang tepat. Keluarkan jari bila sudah selesai.
c) Siapkan speculum dengan ukuran dan bentuk ang sesuai dan lumasi dengan air hangat
terutama bila akan mengambil specimen.
d) Letakkan dua jari pada pintu vagina dan tekankan ke bawah kea rah perianal.
e) Yakinkan bahwa tidak ada rambut pubis pada pintu vagina dan masukkan speculum
dengan sudut 45° dan hati-hati dengan menggunakan tangan yang satunya sehingga tida
menjepit rambut pubis atau labia.
f) Bila spekulum sudah berada di vagina, keluarkan dua jari Anda, dan putar speculum
kea rah posisi horizontal dan pertahankan penekanan pada sisi bawah / posterior.
g) Buka bilah speculum, letakkan pada serviks dan kunci bilah sehingga tetap membuka.
h) Bila serviks sudah terlihat, atur lampu untuk memperjelas penglihatan dan amati ukuran,
laserisasi, erosi, nodular, massa, rabas, dan warna serviks . Normalnya bentuk serviks
melingkar atau oval pada nulipara, sedangkan pada para membentuk celah.
i) Bila diperlukan specimen sitologi, ambil dengan cara usapan menggunakan aplikator 
dari kapas.
 j) Bila sudah selesai, kendurkan sekrup speculum, tutup speculum, dan tarik keluar 
secara perlahan-lahan.
k) Lakuakan palpasi secara bimanual bila diperlukan dengan cara memakai sarung tangan
steril, melumasi jari telunjuk dan jari tengah, kemudian memasukkan jari tersebut ke lobang
vagina dengan penekanan ke arah posterior, dan meraba dinding vagina untuk mengetahui
adanya nyeri tekan dan nodular.
l) Palpasi serviks dengan dua jari anda dan perhatikan posisi, ukuran, konsistensi,
regularitas, mobilitas, dan neri tekan. Normalnya serviks dapat di gerakkan tanpa terasa nteri.
m) Palpasi uterus dengan cara jari-jari tangan yang ada dalam vagina menghadap ke atas.
Tangan yang ada diluar letakkan di abdomen dan tekankan ke bawah. Palpasi uterus untuk 
mengetahui ukuran, bentuk, konsistensi, dan mobilitasnya.
n) Palpasi ovarium dengan cara menggeser dua jari yang ada dalam vagina ke formiks
lateral kanan. Tangan yang ada di abdomen tekankan ke bawah kea rah kuadran kanan
 bawah. Palpasi ovarium kanan untuk mengetahui ukuran, mobilitas, bentuk, konsistensi, dan
nyeri tekan ( normalnya tidak teraba) ulangi untuk ovarium sebelahnya.

PEMERIKSAAN FISIK EKSTREMITAS


Ekstremitas atas

• Inspeksi : bagaimana pergerakan tangan,dan kekuatan otot


• Palpasi : apakah ada nyeri tekan, massa/benjolan
• Motorik : untuk mengamati besar dan bentuk otot,melakukan pemeriksaan
tonus kekuatan otot,dan tes keseimbangan.
• Reflex : memulai reflex fisiologi seperti biceps dan triceps
• Sensorik : apakah pasien dapat membedakan nyeri, sentuhan, temperature, rasa,
gerak dan tekanan.
Ekstremitas bawah

• Inspeksi : bagaimana pergerakan kaki,dan kekuatan otot


• Palpasi : apakah ada nyeri tekan,massa/benjolan
• Motorik : untuk mengamati besar dan bentuk otot,melakukan pemeriksaan
tonus kekuatan otot,dan tes keseimbangan.
• Reflex : memulai reflex fisiologi seperti biceps dan triceps
• Sensorik : apakah pasien dapat membedakan nyeri, sentuhan, temperature, rasa,
gerak dan tekanan.

Pemeriksaan Refleks
Repleks biasanya tidak terlalu singkat terjadinya pada pasien yang lebih dewasa. Respon
repleks pada ekstremitas bawah berkurang sebelum ekstremitas-ekstremitas atas terpengaruh
(Seidel et al., 1991).
Menimbulkan reaksi repleks memungkinkan perawat untuk mengkaji integritas jalur-jalur 
sensori dan gerak dari lengkung repleks dan segmen batang spinal spesifik. Pengujian refleks
tidak berarti menentukan pungsi saraf pusat.
Saat otot dan tendon di regangkan selama pengujian refleks, implus-implus saraf merambat
sepanjang jalur saraf aferen ke bagian dorsal segmen batang spinal. Implus-implus bergerak 
ke saraf motor eferen dalam batang spinal. Kemudian sebuah saraf motor mengirim implus
kembali ke otot dan menyebabkan respon refleks terjadi.

Pemeriksaan Refleks Otot Biseps


1) Posisi pasien tidur terlentang dan siku kanan yang akan diperiksa, diletakan diatas perut
dalam posisi fleksi 60 derajat dan rileks.
2) Pemeriksa berdiri dan menghadap pada sisi kanan pasien.
3) Carilah tendon biseps dengan meraba fossa kubiti, maka akan teraba keras bila siku
difleksikan.
4) Letakan jari telunjuk kiri pemeriksa diatas tendon otot biseps.
5) Ayunkan hammer reflek sebatas kekuatan ayunan pergelangan tangan, diatas jari
telunjuk kiri pemeriksa.
6) Terlihat gerakan fleksi pada siku akibat kontraksi otot biseps dan terasa tarikan tendon
otot biseps dibawah telunjuk pemeriksa.

Pemeriksaan Refleks Otot Triseps


1) Posisi pasien tidur terlentang.
2) Bila siku tangan kanan yang akan diperiksa, maka diletakan diatas perut dalam posisi
fleksi 90 derajat dan rileks.
3) Pemeriksa berdiri pada sisi kanan pasien.
4) Carilah tendon triseps 5 cm diatas siku ( proksimal ujung olecranon ).
5) Letakan jari telunjuk kiri pemeriksa diatas tendon otot triseps.
6) Ayunkan hammer reflek sebatas kekuatan ayunan pergelangan tangan diatas jari telunjuk 
kiri pemeriksa.
7) Terlihat gerakan ektensi pada siku akibat kontraksi otot triseps dan terasa tarikan tendon
otot triseps dibawah telunjuk pemeriksa.

Pemeriksaan Refleks Tendon Patela


1) Posisi pasien tidur terlentang atau duduk.
2) Pemeriksa berdiri pada sisi kanan pasien.

Anda mungkin juga menyukai