Anda di halaman 1dari 22

ASKEP PERIOPERATIF CARDIOVASCULER

Diajukan untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Perioperatif

oleh:

Afidha Kumala Putri NIM P.17420110033

Afif Jamaluddin NIM P.17420110033

Agida De Argarinta NIM P.17420110033

Agus Winarno NIM P.17420110033

Arwindi Putri Pratiwi NIM P.17420110033

Barzam Fathan NIM P.17420110033

Damanti Novianda NIM P.17420110033

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEMARANG

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

2011/2012
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bedah jantung dilakukan untuk menangani berbagai masalah jantung. Prosedur
yang sering mencakup angioplasti koroner perkutan, revaskularisasi arteri koroner dan
perbaikan penggantian katup jantung yang rusak.

Di masa kini, pasien dengan penyakit jantung dan komplikasi yang menyertainya
dapat dibantu untuk mencapai kualitas hidup yang lebih besar dan yang diperkirakan
sepuluh tahun sham. Dengan prosedur diagnostik yang canggih yang memungkinkan
diagnostik dimulai lebih awal dan lebih akurat, menyebabkan penanganan dapat
dilakukan jauh sebelum terjadi kelemahan yang berarti.

Penanganan dengan teknologi dan farmakoterapi yang baru terus dikembangkan


dengan cepat dan dengan keamanan yang semakin meningkat. Mungkin tak ada
intervensi terapi yang begitu berarti seperti pembedahan jantung yang dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien dengan penyakit jantung.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah pengertian bedah jantung?


1.2.2 Apa saja macam-macam bedah jantung?
1.2.3 Apasajakah alat bantu mekanis dan jantung buatan total?
1.2.4 Apakah patofisiologi bedah jantung?
1.2.5 Bagaimanakah asuhan keperawatan perioperatif?

1.3 Tujuan

1.3.1 Memahami pengertian bedah jantung


1.3.2 Mengetahui macam-macam bedah jantung
1.3.3 Mengetahui alat bantu mekanis dan jantung buatan total
1.3.4 Mengetahui patofisiologi bedah jantung
1.3.5 Memahami asuhan keperawatan perioperatif
BAB II

ASKEP BEDAH JANTUNG

2.1 BEDAH JANTUNG


Bedah jantung dilakukan untuk menangani berbagai masalah jantung.
Prosedur yang sering mencakup angioplasti koroner perkutan, revaskularisasi arteri
koroner dan perbaikan penggantian katup jantung yang rusak
Di masa kini, pasien dengan penyakit jantung dan komplikasi yang menyertainya
dapat dibantu untuk mencapai kualitas hidup yang lebih besar dan yang diperkirakan
sepuluh tahun sham. Dengan prosedur diagnostik yang canggih yang memungkinkan
diagnostik dimulai lebih awal dan lebih akurat, menyebabkan penanganan dapat
dilakukan jauh sebelum terjadi kelemahan yang berarti. Penanganan dengan teknologi
dan farmakoterapi yang baru terus dikembangkan dengan cepat dan dengan keamanan
yang semakin meningkat. Mungkin tak ada intervensi terapi yang begitu berarti
seperti pembedahan jantung yang dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dengan
penyakit jantung.
Pembedahan jantung pertama yang berhasil, penutupan luka tusuk ventrikel
kanan, telah dilakukan di tahun 1895 oleh ahli bedah halls de Vechi. Di Amerika
Serikat pembedahan serupa yang sukses, jugs penutupan luka tusuk, dilakukan di
tahun 1902. Diikuti oleh pembedahan katup di tahun 1923 dan 1925, penutupan
duktus paten di tahun 1937 dan 1938, dan reseksi koarktasi aorta pada tahun 1944.
Era baru tandur pintasan arteri koroner bermula di tahun 1954.
Perkembangan yang paling revolusioner dalam perkembangan pembedahan jantung
adalah teknik pintasan jantung-paru. Pertama kali digunakan dengan berhasil pada
manusia di tahun 1951. Di masa kini lebih dari 250.000 prosedur yang dilakukan
dengan menggunakan pintasan jantung paru. Terbanyak (lebih dari 200.000)
dilakukan di Amerika Utara. Kebanyakan prosedur adalah graft pintasan arteri
koroner (CABG = coronary artery bypass graft) dan perbaikan atau penggantian
katup.
Kemajuan dalam diagnostik, penatalaksanaan medis, teknik bedah dan
anestesia, dan pintasan jantung paru, dan juga perawatan yang diberikan di unit
perawatan kritis serta program rehabilitasi telah banyak membantu pembedahan
menjadi pilihan penanganan yang aman untuk pasien dengan penyakit jantung.

2.2 MACAM-MACAM BEDAH JANTUNG


A. PINTASAN JANTUNG PARU
Banyak prosedur bedah jantung bisa dijalankan karena adanya pintasan
jantung-paru (sirkulasi ekstrakorponeal). Prosedur ini merupakan alat mekanis untuk
sirkulasi dan oksigenasi darah untuk seluruh tubuh pada saat “memintas” jantung dan
paru. Mesin jantung-panu memungkinkan dicapainya medan openasi yang bebas
darah Sementara perfusi tetap dapat dipertahankan untuk jaringan dan organ lain di
tubuh.
Pintasan jantung-paru dilakukan dengan memasang kanula di atrium kanan,
vena kava, atau vena femoralis untuk mengeringkan darah dari tubuh. Kanula
kemudian dihubungkan ke tabung yang berisi larutan kristaloid isotonik (biasanya
dekstrosa 5% dalam larutan Ringer laktat). Darah vena yang terambil dari tubuh dan
kanula tadi disaring, dioksigenasi, didinginkan atau dihangatkan. dan kemudian
dikembalikan ke tubuh. Kanula yang diper gunakan uniuk mengembalikan darah
teroksigenasi biasanya dimasukkan ke aorta asendens, tapi bisa jugs dimasukkan ke
arteri femoralis.
Meskipun pintasan jantung-paru merupakan teknik yang biasa pada
pembedahan jantung, namun sebenarna sangat kompleks. Pasien memerlukan
antikoagulan dengan hatiin untuk rnencegah pembentukan trombus dan kemungkinan
embolisasi yang dapat terjadi ketika danah berhubungan dengan permukaan asing
sirkuit pintasan jantung-paru dan dipompakan ke tubuh dengan pompa mekanis
(bukan pembuluh darah dan jantung normal) Setelah dibebaskan dari mesin pintasan,
pasien diberikan protamin sullal untiuk menangkal efek heparin.
Selama dilakukannya prosedur ini, tubuh dijaga agar selalu dalam keadaan
hipotermia, biasanya 28°C sampai 32°C(82,4°F sampai 89,6°F). Darah didinginkan
selama pintasan jantung paru dan dikembalikan ke tubuh. Darah yang didinginkan
tersebut akan menurunkan kecepatan metabolisme basal, sehingga kebutuhan akan
oksigen juga berkurang. Darah yang dingin biasanya mempunyai kekentalan yang
tinggi, namun larutan kristaloid yang digunakan untuk mengisi tabung akan
mengencerkan darah tadi Ketika prosedur pembedahan telah selesai, darah
dihangatkan kembali di dalam sirkuit pintasan jantung-paru.
Haluaran urin, tekanan darah, gas darah arteri, elektrolit, uji pembekuan darah, dan
elektrokardiograrn (EKG) semuanya dipakai untuk memantau status pasien selama
pintasan jantung-paru.
Masih banyak hal yang harus dipelajari mengenai pintasan jantung paru. Ada
berbagai sirkuit pintasan dan mekanisme pensompaan yang digunakan pada masa
kini. Sampai saat ini masih terus diusahakan agan pasien bisa lebih lama berada dalam
mesin pintasan jantung-paru dengan lebih aman. Penelitian terus dilakukan untuk
memperbaiki mesin pintasan jantung paru untuk mencegah atau meminimalkan
masalah-masalah berikut: hemolisis, peningkatan permeabilitas memhran kapiler dan
kehilangan elektrolit, hipoksia dan anoksia jaringan, pembentukan trombus atau
emboli. diseksi jantung dan pembuluh danah, meningkatnya ketekolamin dan hormon
antidiuretik (ADH), dan respons inflamasi sistemik yang merupakan komplikasi
prosedur itu.

B. JANTUNG BUATAN
Pemasangan jantung buatan telah menarik perhatian dunia sejak akhir tahun
1950-an. Semenjak itu banyak terjadi kemajuan sehingga jantung buatan secara klinis
dapat dipakai manusia. Cooley menggunakan jantung buatan di Texas pada tahun
1969 untuk menunjang sirkulasi sebelum transpiantasi. Implantasi permanen jantung
buatan total dilakukan pertama kali pada tahun 1982 untuk drg. Barney Clark di
University of Utah.. Perkembangan jantung buatan terus berlanjut untuk memperbaiki
daya tahan hidup dan mengurangi morbiditas. Institut Jantung, Paru, dan Darah
Nasional (National Heart, Lung, and Blood Institute, NHLBI) dan Institut Kesehatan
Nasional (National Institutes of Health, NIH) telah menyediakan pendanaan untuk
jantungbuatan elektromekanik permanen tanpa kabel. Institut jantung Texas dan 3-M
dan Penn Statet Abiomed turut berpartisipasi dalam eksperimen fase II. Tujuan
keseluruhan pemasangan mi adalah untuk memberi kualitas hidup yang tinggi bagi
pasien yaitu bebas dan pemasangan jalur perkutaneus. Alat mi dijalankan
menggunakan sistem transmisi energi listrik transkutaneus (transcutaneous electrical
energy transmission systems, TEETS) dengan baterai portabel.

C. TRANSPLANTASI JANTUNG
Transplantasi dari manusia ke manusia, pertama kali dilakukan di tahun 1967.
sejak itu prosedur, peralatan dan pengobatan transplantasi terus dikembangkan. Di
tahun 1983, sikosporin sudah tersedia untuk penggunaan umum. Siklosporin adalah
imunosupresan yang menekan dengan kuat kemampuan tubuh menolak protein asing
seperti, organ yang ditransplansikan. Sayangnya siklosporin juga menurunkan
kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, sehingga harus diperoleh keseimbangan
yang sangat baik antara penekanan penolakan dan pencegahan infeksi. Sejak
tersedianya siklosporin di tahun 1983, transplantasi jantung telah menjadi terapi
pilihan bagi pasien dengan penyakit jantung tahap akhir.
Indikasi transplantasi yang paling sering adalah kardiomiopati, penyakit
jantung iskemik, penyakit jantung kongenital, penyakit katup dan penolakan
transplantasi jantung sebelumnya. Pasien biasanya memiliki gejala sangat berat yang
tidak dapat dikontrol dengan pengobatan, tidak ada pilihan pembedahan lain dan
prognosis hidupnya kurang dari 12 bulan. Pasien diseleksi oleh suatu tim
multidisipliner sebelum dinyatakan sebagai kandidat transplantasi jantung. Umur
pasien, status paru, kondisi kesehatan kronis lain, infeksi, riwayat transplantasi,
penyesuaian dan status kesehatan terakhir digunakan untuk mengevaluasi pasien
untuk transplantasi.
Transplantasi jantung dianggap sebagai uaha terakhir untuk mengatasi untuk
mengatasi penyakit jantung tahap akhir yang refrakter terhadap
pengobatankonvensional dan pembedahan. Gagal jantung kelas III dan IV memiliki
harapan hidup kurang dan satu tahun. Dua penyebab tersering memburuknya
miokardium adalah kardiomiopati kongestif dan penyakit koroner lanjut. Penyakit-
penyakit ini merupakan 80%-90% alasan dilakukarmya transplàntasi jantung.
Kardiomiopati adalah penyakit otot jantung yang tidak diketahui penyebabnya. Kunci
yang membedakan kardiomiopati dan kelainan jantung lain adalah adanya penyakit
mendasari yang hanya menyerang miokardium ventrikel namun tidak menyerang
struktur miokardium lain seperti katup atau arteria koronaria. Kardiomiopati
dikelompokkan menurut tiga jenis kelainan struktur dan fungsi:
(1) kongestif (dilatasi), (2) restriktif atau obliteratif, atau (3) hipertrofi.
Kardiomiopati kongestif ditandai dengan dilatasi nyata dan ventrikel yang
hipodinamik. Dapat teijadi hipertrofi miokardium yang lebih ringan. Ventrikel yang
hipodinamik berkontraksi secara buruk, menyebabkan gagal ke depan dan ke
belakang seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Perlu dicatat bahwa keempat
ruang jantung mengalami dilatasi sekunder akibat bertambahnya volume dan tekanan.
Seringkali terbentuk trombus dalam ruang-ruang ini akibat darah yang mengumpul
dan stasis; sehingga terancam terjadi emboli. Biasanya awitan penyakit tidak jelas;
tetapi dapat berkembang menjadi gagal jantung tahap akhir yang refrakter. Prognosis
gagal jantung refrakter sangat buruk dan dapat menyebabkan dipertimbangkarmya
transplantasi jantung. Penyebab pasti kardiomiopati kongestif masih belum diketahui;
namun diperkirakan disebabkan faktorautoimun dan virus. Penyebab multifaktorial
mungkin merupakan penjelasan yang lebih memuaskan.
Kardiomiopati hipertrofik, berlawanan dengari kardiomiopati kongestif,
ditandai oleh jantung yang hipertrofi dan hiperdinamik. Bertambahnya massa otot
tidak disertai dilatasi miokardium bermakna. Diduga terdapat dasar genetika.
Kardiomiopati restriktif mencerminkan gangguan pengisian ventrikel akibat
berkurangnya daya regang ventrikel. Fibrosis endokardium atau miokardium dapat
mengakibatkan restriksi pengisian. Restriksi mengurangi ukuran rongga;
berkembangnya kardiomiopati ke bentuk restriksi rongga yang lebih berat dikenal
sebagai kardiomiopati obliteratif Meskipun kardiomiopati hipertrofik dan restriktif
dapat mengakibatkan gagal jantung, kardiomiopati kongestif merupakan penyebab
tersering dilakukannya transpiantasi jantung.
Kriteria Seleksi
Resipien transplantasi jantung yang memenuhi kriteria seleksi menjalani
pemeriksaan klinis dan psikologis yang terperinci. Dengan semakin luasnya
penerapan prosedur ini, keputusan untuk menentukan siapa yang berhak menjalani
ttansplantasi jantung menjadi semakin kontroversial. Tersedianya donor tetap
merupakan faktor pembatas. Akibatnya, begitu diputuskan untuk melakukan
transpiantasi, maka timbul masalah dalam menentukan prioritas antara satu dengan
yang lain. Penentuan yang lebih sulit lagi adalah untuk menentukan prioritas di antara
pasien pengguna VADs dan jantung buatan sebagai jembatan untuk dilakukannya
transplantasi.
Umumnya, faktor-faktor yang dapat menimbulkan komplikasi setelah operasi
atau memengaruhi kelangsungan hidup jangka panjang harus disingkirkan. Faktor-
faktor ini mencakup penyakit atau infeksi sistemik aktif, hipertensi pulmonalis dengan
resistensi vaskular paru yang menetap (lebih dan 4 satuan Wood), emboli atau infark
paru, ulkus peptikum yang aktif, diabetes melitus bergantung insulin dengan penyakit
sekunder pada organ lain, gagal ginjal atau hati yang ireversibel, peminum alkohol
atau pecandu obat-obatan. Hal-hal yang tidak nyata, seperti motivasi untuk melakukan
rehabilitasi, dukungan keluarga, dan keadaan psikologis, juga harus dipertimbangkan.
Dengan makin luasnya penggantian oleh asuransi, masalah keuangan pribadi menjadi
semakin kurang berarti untuk proses seleksi. Apabila diidentifikasi tidak terdapat
kontraindikasi, maka dapat dimulai proses pencarian donor.
Donor potensial biasanya adalah korban kecelakaan usia muda yang tidak
mengalami kerusakan jantung atau penyakit jantung yang jelas dan tidak ada infeksi
sistemik. Pencocokan jaringan donor terhadap resipien meliputi pencocokan sistem
ABO. Pencocokan berat tubuh yang sesuai juga penting untuk dilakukan; 20%
perbedaan berat tubuh dianggap masth dapat diterima.
Prosedur
Teknik pembedahan untuk transpiantasi jantung relatif mudah dimengerti, seperti
yang digambarkan pada Gbr. 33—17. Bagian dan kedua atrium dibiarkan pada
tempatnya untuk beranastomosis pada jantung donor. Bagian atrium kanan dekat vena
kava superior dibiarkan utuh untuk mempertahankan fungsi nodus sinus. Jantung
donor kemudian dijahit pada kedua atrium resipien dan pada aorta dan arteria
pulmonalis. Prosedur mi (yaitu saat transplan menggantikan jantung resipien) dikenal
sebagai transpiantasi ortotopik, berbeda dengan transpiantasi heterotopik atau
“piggyback”, yang dilakukan oleh beberapa pusat kesehatan jika resistensi vaskular
paru-paru sangat tinggi dan bila beban akhir yang tinggi pada arteria pulmonalis
mungkin menyebabkan gagal ventrikel kanan refrakter pada jantung transplan.
Alasannya adalah bahwa ventrikel kanan yang asli telah beradaptasi dengan beban
akhir yang tinggi sehingga harus dibiarkan pada tempatnya. Sebagai alternatif,
beberapa pusat kesehatan melakukan transplantasi kardiopulmonar pada hipertensi
pulmonalis primer atau penyakit vaskular paru-paru akibat penyakit jantung
kongenital.
Penolakan dan Infeksi
Tantangan terbesar dalam transplantasi adalah penanganan reaksi penolakan.
Usaha tubuh untuk menolak jaringan asing merupakan proses biologis yang mendasar.
Penemuan sikiosporin dan antibodi monoklonal telah banyak memperbaiki
kelangsungan hidup setelah transpiantasi. Terapi imunosupresif dengan sikiosporin
dapat dimulai sebelum operasi. Terapi imunosupresif tiga obat dengan azatioprin,
siklosporin, dan steroid diberikan terus menerus setelah operasi. Pemantauan
imunologis akan tandatanda penolakan dilakukan dengan ketat.
Biopsi endomiokardium tramsvenosa adalah penentu pasti (standar emas)
untuk deteksi dan diagnosis penolakan. Biopsi dilakukan dalam selang waktu tertentu
dan sesuai indikasi. (Metode non-invasif untuk mendeteksi reaksi penolakan, seperti
MRI dan ekokardiografi, masih diteliti) Teknik biopsi endomiokardium meliputi
pemasangan kateter biopsi (atau bioptome) melalui vena jugularis dekstra atau vena
subklavia ke dalam ventrikel kanan untuk mengambil beberapa bagian endokardium
untuk analisis. Selanjutnya terapi imunosupresif dapat disesuaikan berdasarkan hasil
biopsi. Antitimosit globulin (ATG), antilimfosit globulin (ALG), atau antibodi-
antibodi monoklonal OKT3 dapat ditambahkan untuk menangani reaksi penolakan.
Selain reaksi penolakan, juga merupakan masalah serius akibat terapi imunosupresif.
Infeksi merupakan penyebab utama kematian dalam tahun pertama setelah
transplantasi. Untuk itu dilakukan pencegahan dan tindakan terapeutik yang tepat.
Perjalanan Pascaoperasi. Pasien transplantasi jantung harus tetap dijaga dalam
keseimbangan antara risiko penolakan dan risiko infeksi. Mereka harus mcmaluhi
aturan kompleks tentang diit, obat-obatan, aktivitas, pemeriksaan laboratorium. biopsi
(untuk mendiagnosa penolakan) dan kunjungan ke klinik. Pasien sering diberi
siklosporin dan kortikosteroid untuk meminirnalkan penolakan. Selain penolakan dan
infeksi, komplikasi dapat mencakup percepatan terjadinya arteriosklerosis arteri
koroner; hipertensi dan hipotensi; gangguan sistern saraf pusat, pernapasan, dan
gastrointestinal (UI); gagal ginjal; dan respons terhadap stres psikososial akibat
transplantasi organ.Pasien transplantasi jantung dengan angka bertahan hidup 1 tahun
sekitar 80% sampai 90% dan angka bertahan hidup 5 tahun sekitar 60% sarnpai 70%.

E. EKSISI TUMOR

Tumor jantung cukup jarang. Tumor primer terjadi kurang dan 1% pada
populasi; tumor metastatik dilaporkan terjadi 1,5% sampai 35% pada pasien onkologi.
Tumor bisa menjadi tempat pembentukan trombus sehingga menciptakan risiko
emboli. Disritmia dapat terjadi bila mengenai miokardium atau sistem hantaran.
Kebanyakan tumor jantung adalah jinak.
Eksisi bedah dilakukan hanya untuk mencegah obstruksi ruang jantung atau
katup. Pintasan jantung-paru digunakan. kecuali pada tumor epikardial, yang dapat
dieksisi tanpa memasuki jantung dan tanpa menghentikan denyutan jantung. Akibat
lokasinya, eksisi tumor mungkin perlu diikuti penggantian katup. penambalan
jantung, atau implantasi pacu jantung. Asuhan keperawatan sama dengan yang
diberikan pada pembedahan jantung lain.

F. PERBAIKAN PADA TRAUMA

Pasien yang memerlukan pembedahan akibat trauma antung bisa akibat


pukulan tumpul, luka tembak, atau luka tusuk. Perbaikannya tentu saja pada katup dan
septum bila penyebabnya trauma tumpul, dan pada dinding atrium atau ventrikel bila
penyebabnya luka tembus. Dilakukan debridemen luka dan ditutup secara bedah bila
mungkin, namun perbaikan katup dan penggantlan atau tambalan tandur pada septum
dan dinding atrium aau ventrikel mungkin diperlukan. Pembedahan di sini biasanya
merupakan prosedur darurat, sehingga risiko komplikasi akibat cedera ataupun
pembedahan sangat tinggi.

2.3 ALAT BANTU MEKANIS DAN JANTUNG BUATAN TOTAL

Penggunaan pintasan jantung-paru pada pembedahan jantung dan


kemungkinan dilakukan transplantasi jantung pada penyakit jantung stadium akhir
telah rneningkatkan kebutuhan akan alat bantu jantung. Pasien yang tak mampu
dilepas dan pintasan jantung paru atau pasien yang sedang berada dalarn syok
kardiogenik dapat memperoleh keuntungan dari periode bantuan jantung mekanis.
Alat yang paling sering digunakan adalah pompa balon ultra aorta (IABP - intra-aortic
baloon pump). IABP nsengurangi kerja jantung selama kontraksi, namun tidak
menyerupai kinerja jantung yang sebenarnya.
Alat dengan kinerja yang menyerupai sebagian atau scmua fungsi pemompaan
untuk jantung juga sedang dikembangkan. Alat bantu ventrikel yang lebih canggih ini
dapat mensirkulasi darah tiap menit seperti yang dilakukan jantung. Tiap alat bantu
ventrikel digunakan untuk masing-mnasilig ventrikel. Saat ini yang paling sering
digunakan adalah pompa sentrifugal. Banyak alat dorong pneumatis yang digunakan,
dan basil klinisnya cukup menianjikan. Beberapa alat bantu ventrikel dapat
dikombinasikan dengan oxvgenalor-ex!racorporeal membrane oxygenation (ECMO).
Alat bantu kombinasi ventrikuler-oksigenator digunakan pada pasien yang jantungnya
tak dapat memompa darah secara adekuat ke paru atau tubuhnya.
Jantung buatan total dirancang untuk mengganti kedua ventrikel. Jantung
pasien harus diangkat untuk nmemasang jantung buatan total tadi. Semua alat-alat tadi
masih dalam taraf ekspenimental. Janvik-7 telah mengalami keberhasilan jangka
pendek, tetapi hasil jangka panjangnya cukup mengecewakan. Kebanyakan peneliti
jantung buatan total berharap dapat mengembangkan alat yang dapat dipasang secara
permanen dan yang akan dapat menggantikan kebutuhan transplantasi jantung donor
manusia untuk penanganan penyakit jantung stadium akhir.
Alat bantu ventrikel dari jantung buatan total sekarang sedang digunakan
sebagai penanganan temporer. sementara pasien menunggu jantungnya sendiri
sembuh atau sampai tersedia jantung donor yang sesuai untuk ditransplantasi.
Kelainan pembekuan darah, perdarahan, trombus, emboli, hemolisis, infeksi, dan
kegagalan mekanis adalah beberapa komplikasi jantung buatan total dan alat bantu
ventrikel. Asuhan keperawatan untuk pasien ini ditujukan tidak hanya pada
pengkajian dan meminimalkan komplikasi tersebut. tetapi juga melibatkan dukungan
emosi dan penyuluhan mengenai alat bantu mekanis itu sendiri.

2.4 PATOFISIOLOGI BEDAH JANTUNG


Aterosklerosis
,Spasme aa.
Coronaria

Hipoksia
Jaringan Perubahan
iskemic metabolisme
Fungsi Ventrike
Gangguan gerakan menurun Kontraksi
jantung Miokardium
menurun
Perubahan
hemodinamik

Curah jantung
menurun

Tekanan darah
meningkat,
denyut jantung
menurun

2.5 PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF

1. PENATALAKSANAAN PRA OPERATIF


Pengkajian
Pengkajian Kesehatan. Riwayat praoperatif dan pengkajian kesehatan harus
lengkap dan didokumentasikan dengan balk karena merupakan landasan sebagai
pembanding pascaoperatif. Pengkajian sistematis mengenai semua sistem harus
dilakukan, dengan penekanan pada fungsi kardiovaskuler.
Status fungsional sistem kardiovaskuler ditentukan dengan mengamati
simptomatologi pasien. termasuk pengalaman sekarang maupun masa lampau
tentang adanya nyeri dada, hipertensi. berdebar-debar. sianosis, susah bernapas
(dispnu). nyeri tungkai yang terjadi setelah berjalan, ortopnu. dispnu nokturnal
paroksismal, edema perifer dan klaudikasio intermiten. Karena perubahan curah
jantung dapat mempengaruhi fungsi ginjal, pernapasan. gastrointestinal, kulit,
hematologi dan saraf. maka sistem-sistem tersebut harus dikaji dengan lengkap.
Riwayat penyakit utama, pembedahan sebelumnya, terapi obat-obatan, dan
penggunaan obat, alkohol dan tembakau juga harus dieksplorasi.
Dilakukan pemeriksaan fisik lengkap, dengan penekanan khusus pada parameter
berikut:
a. Keadaan umum dan tingkah laku
b. Tanda-tanda vital
c. Status nutrisi dan cairan, berat dan tinggi badan
d. Inspeksi dan palpasi jantung, menentukan titik impuls maksima! (PMI = point
of maximal impulse), pulsasi abnomsal, thrill
e. Auskukasi jantung, mencatat frekuensi nadi, mama dan kualitasnya. S, S4, snap,
klik, murmur, friction rub
f. Tekanan vena jugularis
g. Denyut nadi perifer
h. Edema perifer
Pengkajian Psikososial.
Pengkajian psikososial dan pengkajian kebutuhan belajar-mengajar pasien dan
keluarganya sama pentingnya dengan pemeriksaan tisik. Persiapan pembedahan
jantung merupakan sumber stres yang berat bagi pasien dan keluarganya. Mereka
akan menjadi cemas dan ketakutan dan kadang mempunyai banyak pertanyaan
yang tidak terjawab. Kecemasan mereka biasanya bertambah saat pasien dirawat
di rumah sakit dan segera dilakukan operasi. Pengkajian beratnya kecemasan
sangat penting. Bila ringan, mungkin merupakan penolakan. Bila berat, perlu
diajarkan pemakaian mekanisme koping secara .efektif melalui penyuluhan
praoperatif. Pertanyaan perlu diajukan untuk memperoleh informasi berikut
mengenai pasien maupun keluarganya:
- Arti pembedahan bagi pasien dan keluarganya
- Mekanisme koping yang digunakan
- Cara yang digunakan pada masa lampau untuk mengatasi stres
- Perubahan gaya hidup yang diantisipasi
- Sistem pendukung yang efektif
- Ketakutan mengenai masa kini dan masa mendatang
- Pengetahuan dan pemahaman prosedur pembedahan, perjalanan pascaoperasi,
dan rehabilitasi jangka panjang

Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan bagi pasien yang menjalani pembedahan jantung sangat
bervariasi antara pasien satu dengan pasien lain, tergantung penyakit jantung
mereka dan simptomatologinya - Kebanyakari pasien mernpunyai diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung. Selain itu, diagnosa kepenawatan
praoperatif bagi kebanyakan pasien mencakup yang berikut:
a. Takut sehubungan dengan prosedur pembedahan. hasil pembedahan yang belum
jelas, dan takut akan kehilangan keadaan sehat
b. Kurangnya pengetahuan mengenai prosedur pcmbedahan dan penjalanan
pascaoperatif

Masalah Kolaborasi / Komplikasi Potensial


Stres karena pembedahan yang akan dilakukan dapat mencetuskan komplikasi
yang memerlukan penatalaksanaan secara kolaboratif dcngan doktcr. Berdasarkan
data pengkajian, komplikasi potensial yang mungkin terjadi meliputi:
a. Angina (atau yang sesuai dengan angina)
b. Kecemasan berat yang mcmerlukan obat antiolitik (pengurang-kecemasan)
c. Henti jantung
Intervensi Keperawatan
a. Mengurangi Ketakutan. Pasien dan keluarganya harus diberi kesempatan yang
cukup dan untuk mengekspresikan ketakutan mereka. Bila ada ketakutan yang
tidak diketahui, pengalaman operasi lain yang pernah dijalani pasien dapat
dihandingkan dengan pembedahan yang akan dilakukan. Terkadang sangat
membantu menjelaskan kepacla pasien perasaan yang akan timbul (Anderson dan
Masur 1989). Bila pasien pernah menjalani kateterisasi jantung, maka persamaan
dan perbedaan prosedur ini dengan pembedahan yang akan dijalankan dapat
dibandingkan. Pasien juga didorong untuk menyatakan mengenai setiap
keprihatinan yang berhubungan dengan pengalaman sebelumnya.
b. Penyuluhan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah. Pendidikan pasien
dan keluarganya didasarkan pada kebutuhan belajar yang telah dikaji. Penyuluhan
biasanya meliputi informasi mengenai perawatan di rumah sakit, mengenai
pembedahan (asuhan praoperatif dan pascaoperatif, latnanya pembedahan, nyeri
dan ketidaknyamanan yang mungkin terjadi, jam berkunjung, dan prosedur di unit
kritis), dan informasi mengenai fase pemulihan (lamanya perawatan di rumah
sakit, kapan aktivitas normal seperti pekerjaan rumah tangga, helanja dan bekerja
dapat dimulai kembali). Setiap perubahan yang dilakukan pads terapi obat-obatan
dan persiapan praoperatif harus dijelaskan dan ditekankan.
c. Pemantauan dan Penatalaksanaan Komplikasi Potensial. Pasien yang
mengalami angina biasanya berespons dengan terapi angina yang biasa, yang
tersering adalah nitrogliserin yang diletakkan di bawah lidah Beberapa pasien
memerlukan oksigen dan drip nitrogliserin intravena.

Evaluasi
Hasil yang Diharapkan
a. Memperlihatkan berkurangnya kecetnasan
- Mengidentifikasi rasa takut
- Mendiskusikan rasa takut dengan keluarga
- Menggunakan pengalaman dahulu sebagai fokus perbandingan
- Mengekspresikan pandangan positif mengenai hasil pembedahan
- Mengeksprcsikan rasa percaya diri mengenai cara yang digunakan untuk
mengurangi rasa sakit
b. Menerima pcngetahuan mengenai prosedur pembedahan dan perjalanan
pascaoperatif
- Mengidentifikasi maksud prosedur persiapan praoperatif
- Meninjau unit perawatan intensif bila diinginkan
- Mengidentitikasi keterbatasan hasil setelah pembedahan
- Mendiskusikan lingkungan pascaoperatif dengan segera, mis, pipa. mesin.
pemeriksaan perawat.
- Memperagakan aktivitas yang seharusnya dilakukan setelah pembedahan (mis.,
menarik napas dalam, batuk efektif, latihan kaki)

2. PENATALAKSANAAN INTRA OPERATIF


Kebanyakan prosedur pembedahan jantung dilakukan melalui insisi sternotomi
median. Pasien dipersiapkan untuk pemantauan bcrkcsinambungan: elektroda,
kateter indwelling, dan probe dipasang sebelum prosedur untuk rnemudahkan
pengkajian status pasien dan penubahan terapi bila diperlukan. Pipa intravena
harus dipasang bila diperlukan pemberian cairan, obat, dan komponen darah.
Selain itu pasien akan diintubasi dan dihubungkan dengan ventilasi mekanis.
Sebelum insisi dada ditutup, dipasang tabung dada untuk pengeluaran udara dan
drainase dan mediastinum dan toraks. Elektroda pacu jantung epikardial
diimplantasikan pada permukaan atrium kanan dan ventrikel kanan. Elektroda
epikardial ini dapat dipakai pascaoperatif untuk memacu jantung atau untuk
memantau jantung apabila ada disritmia melalui lead atrium.
Selain membantu prosedur pembedahan, perawat bedah juga bertanggung jawab
terhadap kenyamanan dan keamanan pasien. Ruang lingkup intervensinya
meliputi mengatur posisi, perawatan kulit, serta dukungan emosional terhadap
pasien dan keluarganya.
Komplikasi intraoperatif yang mungkin terjadi meliputi disritmia, pendarahan,
infark miokardium, cedera pembuluh darah otak, emboli, dan gagal organ akibat
syok, embolus atau reaksi obat. Pengkajian pasien imraoperatif yang cermat
sangat penting dalam mencegah komplikasi tersebut selain dapat mendeteksi
gejala dan memulai tindakan segera.

3. PENATALAKSANAAN POST OPERATIF


Pengkajian
Parameter yang dikaji adalah sebagai berikut;
a. Status neurologis—tingkat responsivitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap
cahaya, refleks, gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan.
b. Status Jantung—frekuensi dan irama jantung, suara jantung, tekanan darah
arteri, tekanan vena sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan baji arteri paru
(PAWP = pulmonary artery wedge pressure). tekanan atrium kiri (LAP),
bentuk gelombang dan pipa tekanan darah invasif, curah jantung atau indeks.
tahanan pembuluh darah sistemik dan paru, saturasi oksigen arteri paru (SVO,)
bila ada, drainase rongga dada, dan status serta fungsi pacemaker.
c. Status respirasi—gerakan dada, suana napas, penentuan ventilator (fnekuensi,
volume tidal, konsentrasi oksigen, mode [mis, SIMV], tekanan positif akhir
ekspirasi [PEEPfl, kecepatan napas, tekanan ventilator, saturasi oksigen anteri
(SaO,), CO2 akhir tidal, pipa drainase rongga dada, gas darah arteri.
d. Status pembuluh darah perifer—denyut nadi perifer, warna kulit, dasar kuku,
mukosa. bibir dan cuping telinga, suhu kulit, edema, kondisi balutan dan pipa
invasif.
e. Fungsi ginjal—haluaran urin, berat jenis urin, dan osmolaritas
f. Status cairan dan elektrolit—asupan; haluaran dan semua pipa drainase. serta
parameter curah jantung, dan indikasi ketidakseinibangan elektrolit berikut:
Hipokalemia: intoksikasi digitalis, disritmia (gelombang U, AV blok,
gelombang T yang datar atau terbalik)
Hiperkalemia.- konfusi mental, tidak tenang, mual, kelemahan, parestesia
eksremitas, disrirmia (tinggi, gelombang T puncak, meningkatnya amplitudo,
pelebaran kompleks QRS; perpanjangan interval QT)
Hiponatremia: kelemahan, kelelahan, kebingungan, kejang, koma
Hipokalsemia parestesia, spasme tangan dan kaki, kram otot, tetani
Hiperkalsemia intoksikasi digitalis, asistole
g. Nyeri—sifat, jenis, lokasi, durasi, (nyeri karena irisan harus dibedakan dengan
nyeri angina): aprehensi, respons terhadap analgetika.
h. Catatan: Beberapa pasien yang telah menjalani CABG dengan arteri mamaria
interns akan mengalaini parestesis nervus ulnanis pada sisi yang sama dengan
graft yang diambil. Parestesia tersebut bisa sementara atau permanen. Pasien
yang menjalani CABG dengan arieni gasiroepiploika juga akan mengalami
ileus selama beberapa waktu pascaoperatif dan akan mengalami nyeri
abdomen pada tempat insisi selain nyeri dada.
Pengkajian juga mencakup observasi segala peralatan dan pipa untuk
menentukan apakah fungsinya baik: pipa endotrakheal, ventilator, monitor
CO2 akhir tidal, monitor Sa02, kateter arteri paru, monitor SO2, pipa arteri
dan vena, slat infus intravena dan selang, monitor jantung, pacemaker, pipa
dada, dan sistem drainase urin.
Begitu pasien sadar dan mengalami kemajuan selama periode pascaoperatif,
perawat harus mengembangkan pengkajian dengan memasukkan parameter
yang menunjukkan status psikologis dan emosional. Pasien dapat
irternperlihatkan iingkah laku yang mencerminkan penolakan dan depresi atau
dapat pula mengalami psikosis pasca kardiotomi. Tanda khas psikosis meliputi
(1) ilusi persepsi sementara, (2) halusinasi dengar dan penglihatan (3)
disorientasi dan waham paranoid.

Pengkajian Komplikasi
Pasien terus-menerus dikaji mengenai adanya indikasi ancaman komplikasi.
Perawat dan dokter bekerja secara kolaboratif unruk mengetahui tanda dan
gejala awal komplikasi dan memberikan tindakan untuk mencegah
perkemhangannya.
Penurunan Curah Jantung. Penurunan curah jantung selalu merupakan
ancaman bagi pasien yang baru saja menjalani pembedahan jantung. Hal ini
dapat terjadi karena berbagai penyebab:
a. Gangguan preload—terlalu sedikit atau terlalu banyak volume darah yang
kembali ke jantung akibat hipovolemia. perdarahan yang berlanjut. tamponade
jantung, atau cairan yang berlebihan.
b. Gangguan afterload—arteri dan kapiler yang terlalu konstriksi atau terlalu
dilatasi karena perubahan suhu tubuh atau hipertensi.
c. Gangguan frekuensi jantung—terlalu cepat, terlalu lambat. atau disritmia
d. Gangguan kontraktilitas—gagal jantung. infark miokardium.
ketidakseiinbangan elektrolit, hipoksia
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi setelah
pembedahan jantung. Pengkajian keperawatan untuk komplikasi ini meliputi
pemantauan asupan dan haluaran, berat PAWP, hasil pengukuran tekanan
atrium kiri dan CVP, tingkat hematokrit, distensi vena leher, edema, ukuran
hati, suara napas (misalnya krekels halus, wheezing) dan kadar elektrolit.
Perubahan elektrolit serum harus dilaporkan segera sehingga penanganan
dapat segera diberikan. Yang penting kadar kalium, natrium dan kalsium tinggi
atau rendah.

Gangguan pertukaran gas.


Gangguan pertukaran gas adalah komplikasi lain yang mungkin terjadi pasca
bedah jantung. Semua jaringan tubuh memerlukan suplai oksigen dan nutrisi
yang adekuat untuk bertahan hidup. Untuk mencapai hal tersebut pada pasca
pembedahan, maka perlu dipasang pipa endotrakeal dengan bantuan ventilator
selama 4 sampai 48 jam atau lebih. Bantuan ventilasi dilanjutkan sampai nilai
gas darah pasien normal dan pasien menunjukkan kemampuan bernapas
sendiri. Pasien yang stabil setelah pembedahan dapat diekstubasi segera
setelah 4 jam pasca pembedahan, sehingga mengurangi kecemasannya
sehubungan dengan keterbatasan kemampuan berkomunikasi.
Pasien dikaji terus menerus untuk adanya indikasi gangguan pertukaran gas;
gelisah, cemas, sianosis pada selaput lendir dan jaringan perifer, takikardia dan
berusaha melepas ventilator. Suara napas dikaji sesering mungkin untuk
mendeteksi adanya cairan dalam paru dan untuk memantau pengembangan
paru Gas darah arteri selalu dipantau.

Gangguan Peredaran Darah Otak.


Fungsi otak sangat tergantung pada suplai oksigen darah yang
berkesinambungan. Otak tidak memiliki kapasitas untuk menyimpan oksigen
dan sangat bergantung pada perfusi berkesinambungan yang adekuat dan
jantung. Jadi sangat penting mengobservasi pasien mengenai adanya gejala
hipoksia: gelisah, sakit kepala, konfusi. dispnu, hipotensi. dan sianosis. Gas
darah arteri, SaO, SO dan CO akhir tidal harus dikaji bila ada penurunan
oksigen dan peningkatan karbondioksida. Pengkajian status neurologis pasien
meliputi tingkat kesadaran. respons terhadap perintah verbal dan stimulus
nyeri, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya. gerakan ekstremitas. kekuatan
menggenggarn tangan. adanya denyut nadi poplitea dan kaki, begitu juga suhu
dan warna ekstremitas. Setiap tanda yang menunjukkan adanya perubahan
status harus dicatat dan setiap temuan yang abnormal harus dilaporkan ke ahli
bedah segera karena bisa merupakan tanda awal komplikasi pada periode
pascaoperatif. Hipoperfusi dan mikroemboli dapat rnenyebahkan kerusakan
sistem saraf pusat setelah pembedahan jantung.

Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pada data pengkajian dan jenis prosedur bedah yang dilakukan.
diagnosis utama keperawatan mencakup yang berikut:
a. Menurunnya curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah dan
fungsi jantung yang terganggu.
b. Risiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan trauma akibat
pembedahan dada ekstensif
c. Risiko kekurangan volume cairan dan keseirnbangan elektrolit berhubungan
dengan berkurangan volume darah yang beredar
d. Risiko gangguan persepsi-penginderaan berhubungan dengan penginderaan
yang berlebihan (suasana ruangan asuhan kritis, pengalaman pembedahan)
e. Nyeri berhubungan dengan trauma operasi dan iritasi akibat selang dada
f. Risiko perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan stasis vena,
embolisasi. penyakit aterosklerosis yang mendasarinya. efek vasopresor, atau
rnasalah pembekuan darah.
g. Risiko perubahan perfusi ginjal berhubungan dengan penurunan curah
jantung, hemolisis, atau terapi obat vasopresor
h. Risiko hipertermia berhubungan dengan infeksi atau sindrorn pasca
perikardiotomi
i. Kurang pengetahuan mengenai aktivitas perawatan diri

Masalah Kolaboratif / Komplikasi Potensial


Berdasarkan pada data pengkajian, komplikasi potensial yang dapat terjadi
mencakup:
a. Komplikasi jantung: gagal jantung kongestif, infark miokardium, henti
jantung. disritmia.
b. Komplikasi paru: edema paru, emboli paru. efusi pleura, pneumo atau
hematotoraks, gagal napas. sindrom distres napas dewasa
c. Perdarahan
d. Komplikasi neurologis: cedera serebrovaskuler, emboli udara
e. Nyeri
f. Gagal ginjal, akut atau kronis
g. Ketidakseimbangan elektrolit
h. Gagal hati
i. Koagulopati
j. Infeksi, sepsis

Perencanaan dan Implementasi


Tujuan. Tujuan utama meliputi restorasi curali jantung, pertukaran gas yang
adekuat, pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit. berkurangnya
gejala penginderaan yang berlebihan. penghilangan nyeri, usaha untuk
beristirahat, pemeliharaan perfusi jaringan yang memadai, pemeliharaan
perfusi ginjal yang memadai, pemeliharaan suhu tubuh normal, mempelajari
aktivitas perawatan diri. dan tidak adanya komplikasi.

Intervensi Keperawatan
Menjaga Curah Jantung.
Penatalaksanaan keperawatan mencakup observasi terus-menerus status
jantung pasien dan segera memberitahu ahli bedah setiap perubahan yang
menunjukkan penurunan curah jantung. Perawat dan ahli bedah kemudian
bekerja sarna secara kolaboratif untuk memperbaiki masalah yang terjadi.
Disritmia, yang dapat terjadi ketika perfusi jantung berkurang, juga
merupakan indikator penting mengenai fungsi jantung. Disritmia yang paling
sening terjadi selama peniode pascaoperasi adalah bradikardi, takikardi dan
denyutan ektopik. Observasi terus-menerus pantauan jantung untuk adanya
berbagai disritmia merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan dan
perawatan pasien.
Setiap petunjuk adanya penurunan curah jantung harus segera dilaporkan ke
dokter. Data dan hasil pengkajian uji tersebut kemudian akan digunakan
dokter untuk menentukan penyebab masalahnya. Begitu diagnosa telah
ditegakkan, dokter bersama perawat bekerja secara kolaboratif untuk menjaga
curah jantung dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Bila perlu, dokter dapat
membenikan komponen darah, cairan, digitalis, diuretik, vasodilator, atau
vasopresor. Bila perlu dilakukan pembedahan lagi, maka pasien dan
keluanganya harus dibenitahu mengenai prosedur tersebut.

Promosi Pertukaran Gas yang Memadai.


Untuk meyakinkan adanya pertukaran gas yang memadai, perawat harus
mengkaji dan menjaga patensi selang endotrakheal. selang harus dihisap bila
ada wheezing atau krekel (ronkhi). Pengisapan dapat dilakukan melalui kateter
yang sudah ada; perawat dan ahli terapi napas harus menaikkan fraksi oksigen
inspirasi ventilator (Fi02) selama tiga tarikan napas atau lebih, sebelurn mulai
menghisap. Bisa juga, oksigen 100% diherikan kepada pasien dengan
resusitator manual (Ambu) sebelum dan sesudah penghisapan untuk mencegah
hipoksia yang dapat terjadi akibat prosedur penghisapan. Pengukuran gas
darah arteri harus dibandingkan dengan data awal dan setiap ada perubahan
harus dilaporkan kepada dokter segera.

Menjaga Keseimbangan Cairan dan Elektrolit.


Untuk promosi keseimbangan cairan dan elektrolit, peravat harus mengkaji
dengan cermat setiap pemasukan dan pengeluaran. Pergunakan lembar khusus
untuk mencatat keseimbangan cairan positif atau negatif. Semua masukan
cairan harus dicatat, termasuk cairan intravena, larutan pembilas yang
digunakan untuk membilas kateter arteri dan vena dan pipa nasogastrik, dan
cairan peroral. Begitu pula, semua keluaran juga harus dicatat, meliputi urin,
drainase nasogastrik, dan drainase dada.
Parameter hemodinamika (tekanan darah, tekanan baji pulmonal dan atrium
kiri, dan CVP) harus sesuai dengan asupan, haluaran dan berat badan untuk
menentukan kecukupan hidrasi dan curah jantung. Elektrolit serum harus
dipantau dan pasien harus diobservasi mengenai adanya tanda
ketidakseimbangan kalium, natrium dan kalsium (hipokalemia, hiperkalemia,
hiponatremia dan hipokalsemia).
Menurunkan Gejala Penginderaan yang Berlebihan.
Penginderaan yang berlebihan mempakan efek yang biasa terjadi, yang
berhubungan dengan pengalaman pembedahan dan faktor lingkungan di unit
perawatan kritis. Psikosis pasca kardiotomi dapat terjadi setelah pembedahari
jantung. Istilah mi mengacu pada sekelompok tingkah laku abnormal yang
terjadi dalam intensitas dan durasi yang beragam pada kebanyakan pasien.
Pada tahun-tahun awal pembedahn jantung, fenomena ini lebih sering terjadi
dibanding sekarang. Pada saat itu disebabkan karena kurangnya perfusi otak
selama pembedahan, mikroemboli, dan lamanya pasien berada dalam mesin
pintasan jantung paru. Kemajuan dalam teknik pembedahan telah menurunkan
secara bermakna faktor-faktor tadi. Sekarang, apabila terjadi, mungkin
disebabkan oleh kecemasan, kurang tidur, masukan indrawi yang berlebihan,
dan disorientasi terhadap malam dan siang saat pasien kehilangan perjalanan
waktu. Ada temuan penting yang menunjukkan bahwa pasien yang tak mampu
mengekspresikan kecemasannya sebelum pembedahan akan lebih rentan
mengalami psikosis pada periode pasca operasi.

Pengurangan Nyeri.
Nyeri dalam kemungkinan tidak dapat dirasakan tepat di atas daerah cedera
tetapi ke tempat yang lebih luas dan merata. Pasien yang baru saja menjalani
pembedahan jantung akan mengalami nyeri akibat terpotongnya syaraf
interkostal sepanjang irisan dan iritasi pleura oleh kateter dada. (Begitu pula,
pasien dengan CABG arteria mamaria interna dapat mengalami parestesia
saraf ulna pada sisi yang sama dengan sisi grafnya.)
Observasi dan mendengarkan adanya Tanda nyeri yang diucapkan ataupun
tidak diucapkan oleh pasien perlu diperhatikan. Perawat harus mencatat secara
akurat sifat, jenis, lokasi, dan durasi nyeri. (Nyeri irisan harus dibedakan
dengan nyeri angina.) Pasien harus dianjurkan minum obat sesuai resep untuk
mengurangi nyeri. Kemudian pasien harus dapat berpartisipasi dalam benlatih
menarik napas dalam dan batuk. dan secara progresif memngkatkan perawatan
diri.
Nyeri menyebabkan ketegangan. yang akan menstimulasi sistem saraf pusat
untuk mengeluarkan adrenalin, yang mengakibatkan konstriksi arteri. Hal ini
akan mengakibatkan peningkatan afrerload dan penurunan curah jantung.
Morfin sulfat dapat mcngurangi nyeri dan kecemasan serta merangsang tidur,
yang pada gilirannya menurunkan kecepatan metabolik dan keburuhan
oksigen. Setelah pemberian opioid (narkotika), setiap tanda-tanda adanya
penurunan aprehensi dan nyeri harus dicatat dalam status pasien. Pasien juga
harus dipantau akan adanya tanda efek depresi pernapasan akibat analgetika.
Bila terjadi depresi pernapasan. harus diberikan antagonis opioid (mis.,
naloxone [Narcan]) untuk melawan efek rersebut.

Meningkatkan Istirahat.
Upaya dasar untuk memberikan rasa nyaman pada pasien bersama dengan
pembehan analgetika akan memperkuat efek analgesia dan meningkatkan
istirahat. Pasien harus dibantu merubah posisi setiap 1 sampai 2 jam dan
diposisikan sedemikian rupa sehingga dapat menghindari ketegangan pada
daerah luka operasi dan selang dada. Penekanan pada daerah irisan selama
batuk dan nenarik napas clalam dapat mengurangi nyeri. Aktivita keperawatan
dijadwalkan sebanyak mungkin uniuk mengurangi gangguan saat istirahat.
Bila kondisi sudah mulai stabil dan prosedur terapi serta pemantauan sudah
mulai berkurang, maka pasien dapat beristirahat lebih lama lagi.

Menjaga Perfusi Jaringan yang Adekuat.


Denyut nadi perifer (pedis, poplitea. tibialis, femoralis, radialis, brakhialis)
dipalpasi secara rutin untuk mengkaji adanya obstruksi arteri. Bila tidak teraba
denyutan pada satu ekstremitas, penyebabnya mungkin akibat kateterisasi
sebelurnnya pada ekstremitas tersebut. Bila ada denyut yang baru saja
menghilang harus segera dilaporkan kepada dokter.
Setelah pembedahan harus diupayakan mencegah stasis vena yang dapat
mengakibatkan pembentukan trombus dan selanjutnya emboli: (1) memakai
stoking elastik atau halutan elastik, (2 menghindari menyilang kaki. (3)
menghindari pengunaan peninggi lutut pada tempat tidur, (4) mengambil
semua bantal pada rongga popliteal. dan (5) memberikan latihan pasif diikuti
dengan latihan aktif umuk meningkaikan sirkulasi dan mencegah hilangnya
tonus otot.
Gejala embolisasi, yang berbeda menurut tempatnya, bisa ditandai dengan (1)
nyeri abdomen atau punggung tengah (2) nyeri, hilangnya denyutan, pucat,
rasa baal, atau dingin pada ekstremitas (3) nyeri dada atau distres pernapasan
pada emboli paru dan infark miokardium: dan (4) kelemahan satu sisi dan
perubahan pupil, seperti yang terjadi pada cedera pembuluh darah otak. Semua
gejala yang timbul harus segera dilaporkan.

Menjaga Kecukupan Perfusi Ginjal.


Perfusi ginjal yang tidak mencukupi dapat tenjadi sebagai akibat pembedahan
janrung terbuka. Salah satu penyebab yang mungkin adalah rendahnva curah
jantung. Selain itu trauma terhadap sel darah selama pintasan jantung paru
menyebabkan hernolisis sel darah merah. Kejadian ini mengakibatkan
terbentuknya senyawa racun karena glomerulus tersumbat oleh debris sel
darah merah yang rusak tadi. Penggunaan bahan vasopresor untuk
meningkatkan tekanan darah juga dapat menyebabkan penurunan alinan darah
ke ginjal.

Penatalaksanaan keperawatan meliputi pengukuran haluaran urin yang akurat.


Haluaran urin kurang dari 20 ml jam menunjukkan adanya hipovolemia. Berat
jenis juga harus diukur untuk mengetahui kemampuan ginjal
mengkonsentrasilcan urin dalam tubulus renalis. Diuretik kerja cepat atau obat
inotropika (digitalis, isopnoterenol) dapat diberikan untuk meningkatkan
cunah jantung dan aliran darah ginjal. Perawat harus memperhatikan nitrogen
urea darah (BUN) dan kadar kreatinin serum serta kadar elektrolit serum. Bila
ditemukan ketidaknormalan segera laporkan kepada dokter karena mungkin
diperlukan pembatasan cairan dan pembatasan pemakaian ohat-obat yang
biasanya diekskresi melalui ginjal.

Menjaga Suhu Tubuh Tetap Normal.


Pasien biasanva hipotermik saat dimasukkan ke unit perawatan intensif dan
prosedur pembedahan jantung. Pasien harus dihangatkan secara bertahap
sampai ke suhu normal, yang sebagian dapat diperoleh dari proses
metabolisme basal pasien itu sendiri dan ditambah bantuan udara ventilator
yang dihangatkan, selimut hangat, atau lampu pemanas. Selain pasien masih
hipotermik, proses pembekuan menjadi kurang efisien. jantung rentan
terhadap disritmia, dan oksigen tidak segera siap dipindahkan dan hemoglobin
ke jaringan. Karena anestesi menekan metabolisme basal. suplai oksigen yang
ada biasanya sudah mencukupi kebutuhan sel.
Setelah pembedahan jantung, pasien berisiko mengalami kenaikan suhu tubuh
akibat infeksi atan sindrorn pascaperikardiotomi. Peningkatan kecepatan
metabolisme yang terjadi akan meningkatkan kebutuhan oksigen jaringan
sehingga meningkatkan beban kerja jantung. Upaya harus dilakukan untuk
mencegah terjadinya urutan kejadian tersebut atau menghentikannya begitu
diketahui.

Evaluasi
Hasil yang Diharapkan
a. Tercapainya curah jantung yang adekuat
b. Terpeliharanya pertukaran gas yang adekuat
c. Terpeliharanva keseimbangan cairan dan elekirolit
d. Hilangnya gejala penginderaan yang berlebihan, kembali terorientasi
terhadap orang. tempat dan waktu
e. Hilangnya nyeri
f. Terpeliharanya perfusi jaringan yang adekuat
g. Tercapainya istirahat yang adekuat
h. Terpeliharanya perfusi ginjal yang adekuat
i. Terpeliharanya suhu tubuh normal
j. Mampu melakukan aktivitas perawatan diri

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bedah jantung dilakukan untuk menangani berbagai masalah jantung.
Prosedur yang sering mencakup angioplasti koroner perkutan, revaskularisasi
arteri koroner dan perbaikan penggantian katup jantung yang rusak
Di masa kini, pasien dengan penyakit jantung dan komplikasi yang
menyertainya dapat dibantu untuk mencapai kualitas hidup yang lebih besar
dan yang diperkirakan sepuluh tahun silam.
Perkembangan yang paling revolusioner dalam perkembangan
pembedahan jantung adalah teknik pintasan jantung-paru. Pertama kali
digunakan dengan berhasil pada manusia di tahun 1951. Di masa kini lebih
dari 250.000 prosedur yang dilakukan dengan menggunakan pintasan jantung
paru. Terbanyak (lebih dari 200.000) dilakukan di Amerika Utara. Kebanyakan
prosedur adalah graft pintasan arteri koroner (CABG = coronary artery bypass
graft) dan perbaikan atau penggantian katup.
Kemajuan dalam diagnostik, penatalaksanaan medis, teknik bedah dan
anestesia, dan pintasan jantung paru, dan juga perawatan yang diberikan di
unit perawatan kritis serta program rehabilitasi telah banyak membantu
pembedahan menjadi pilihan penanganan yang aman untuk pasien dengan
penyakit jantung.
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Sylvia A. Price et. Al (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, Edisi 4 Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Smeltzer S.C dan Bare Brenda G (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth(Ed. 8 Vol 2), EGC, Jakarta.
Carpenito Lynda Juall (1999). Rencana Asuhan Keperawatan dan
Dokumentasi Keperawatan (Ed. 2), Jakarta : Penerbit buku kedokteran. EGC.
Barbara C Long, (1996). Perawatan Medikal Bedah, Edisi II, Yayasan ikatan
alumni pendidikan keperawatan padjajaran Bandung: Bandung.
Engram (1999). Rencanan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2,
Terjemahan dari Medical Surgical Nursing Planning, (1993), Alih bahasa
Suharyati, EGC: Jakarta.
Doenges E Marlynn (1999) Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (Edisi 3) Penerbit buku
kedokteran. EGC

Anda mungkin juga menyukai