Anda di halaman 1dari 46

Pembabakan Prasejarah Indonesia

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS TERSTRUKTUR SATU SEBAGAI SYARAT


MENGIKUTI UTS 19 OKTOBER 2017

Prasejarah Indonesia

yang dibina oleh Bapak Blassius Suprapta

Dera Trisna Fintari

170731637593

07

Universitas Negeri Malang

Fakultas Ilmu Sosial

Jurusan Sejarah

Program Studi Pendidikan Sejarah

September 2017

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karuniaNya sehingga makalah ini dapat disusun selesai sesuai waktunya.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Prasejarah Indonesia yang
membahas mengenai Pembabakan Prasejarah Indonesia.

Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun
penulis menyadari bahwa kelancaran dalam pembuatan makalah ini tidak terlepas dari
dorongan dan bantuan berbagai pihak sehingga makalah dapat terselesaikan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Blasius selaku dosen mata kuliah Prasejarah Indonesia


2. Rekan-rekan satu offering yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
meminta masukan demi perbaikan pembuatan makalah untuk yang akan datang. Penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Malang, 20 Oktober 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL….…………………………………………………………i

KATA PENGANTAR …...………………………………………………………...ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….....iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………….…………………………………………..1

1.2 Teori Konsepsi Lama ……………….……………………………………….2

1.3 Teori Konsepsi Baru.........................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pembabagan Prasejarah Konsepsi lama.............................................................8

A. Jaman Batu .......................................................................................................9

A.1 Paleolitik................................................................................................9

A.2 Mesolitik................................................................................................12

A.3 Neolitik..................................................................................................15

B. Jaman Logam.......................................................................................................16

C. Megalitik..............................................................................................................18

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Pembabagan Prasejarah Konsepsi Baru.............................................................20

A. Masa berburu dan meramu tingkat sederhana.........................................20

B. Masa berburu dan meramu tingkat lanjut................................................26

C. Masa bercocok tanam..............................................................................32

iii
D. Masa perundagian...................................................................................36

BAB III PENUTUP

4.1 Kesimpulan …………………………………………………………....40

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perkembangan prasejarah pada umunya terdapatlah tiga faktor yang saling
bersangkutan yaitu alam, manusia, dan kebudayaan. Dari sejak studi arkeologi pada
umumnya dan ilmu prasejarah pada khusunya menginjak sistematisasi, maka perhatian
terhadaop faktor-faktor tersebut mengalami perbedaan-perbedaan di dalam cara
memeberikan titik beratnya pada masing-masing faktornya atau pada hubungan anatara
faktor satu dengan faktor lainnya. Tujuannya ialah tidak lain daripada berusaha untuk
menggambarkan kembali suatu masa penghidupan manusia melalui bekas-bekas materi
yang dahulu pernah memainkan peranan dalam penghidupannya. Materi peninggalan
manusia ini merupakan satu-satunya sumber guna menyusun suatu sejarah
penghidupan manusia prasejarah yang multi kompleks.

Sesuai dengan kemajuan dalam pemikiran dan dalam cara penerapan penelitian
terhadap materi peninggalan, yang diperoleh melalui pengalaman- pengalaman yang
lama, maka konsepsi tentang bentuk dan pola penghidupan prasejarah mengalami
perubahan-perubahan yang diantaranya disebabkan pula oleh pengaruh hasil pemikiran
bidang-bidang ilmu pengetahuan lain yang berhubungan erat yakni geologi, biologi,
dan anthropologi. Di samping itu penjurusan perhatian terhadap aspek penghidupan
manusia mengalami pergeseran-pergesran karena terasa kurang lengkapnya hasil-hasil
rekonstruksi dan banyak nya perhatian terhadap penelitian arkeologis ini
mengakibatkan munculnya pemikiran-pemikiran baru dalam mencapai hasil optimum
dalam rekonstruksi penghidupan prasejarah.

Tingkatan dalam pemikiran tentang rekonstruksi prasejarah di Eropa Barat, yaitu


tempat kelahiran arkeologi yang dapat diikuti dengan jelas namun memberikan
pengaruh dan perkembangannya sangat terbatas di Indonesia. Dengan demikian
terjadilah kurang keserasian dalam penerapan arkeologi dan ilmu prasejarah di
Indonesia dan timbul kekosongan yang menyolok dalam mewujudkan konsepsi-
konsepsi tentang rekonstruksi prasejarah yang sulit diisi kembali. Melalui tahap

1
dilettansisme pada akhir abad ke-15, antiquarisme pada abad ke16- 18, tibalah suatu
masa yang membawa perubahan dalam cara memandang benda arkeologis sebagai
unsur yang emaminkan peranan penting dalam sejarah kehidupan manusia. Perhatian
terhadap benda arkeologis melahirkna suatu cabang ilmu pengetahuan, yaitu arkeologi
yang memusatkanperhatian kepada benda peninggalan sebagai hasil perbuatan manusia
serta menerapkan berbagai cara penelitian, analisa dan interpretasi terhadap benda-
benda itu. Sejak pertengahan abad ke-19 kegiatan konsepsi-konsepsi tentang posisi
historis, segi teknologis dan fungsi serta arti sosial dari benda-benda arkeologis mulai
dikembangkan.Perhatian banyak dipusatkan terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal
serta hubungan historisnya, dan kebudayaan- kebudayaan diterapkan melalui totalitas
sifat-sifat tertentu yag dimilikinya.

1.2 Teori Konsepsi Lama

Pada konsep ini perkembangan prasejarah Indonesia diusahakan sejak tahun 1924.
yang dijadikan landasannya adalah model-teknologis. Untuk di Indonesia dasar
kronologi prasejarah yang diterapkan pada konsepsi lama ini menggunakan konsepsi
perkembangan teknologis yang dikembangkan oleh P.V. van Stein Callenfels, R. von
Heine Galdern, A.N.J. Th. A Th. Van der Hoop, dan H.R. van Heekeren. Disinipun
berlangsung pemaparan prasejarah dimana tingkat-tingkat teknologis yang
mengutamakan perkembangan kebudayaan material. Selain itu juga terdapat penjelasan
konotasi yang mencakup maksud-maksud kultural, kronologis, rasial, fungsional, difusi,
sosial, ekonomis, dan sebagainya. Tingkat-tingkat prasejarah Indonesia dibagi dan
diletakkan atas penggambarannya sebagai corak kebudayaan yang memiliki sifat-sifat
tertentu.
Di Dalam konsepsi teknologis ini menggunakan Sistem Tiga Jaman (Three Age
Sistem) yang terbagi atas beberapa teori menurut para ahli, antara lain:
1. C.J. Thomsen
Pada tahun 1836, C.J. Thomsen mengemukakan pendapatnya tentang
pembabagan prasejarah menggunakan sistem tiga jaman ini yang lebih dikenal
dengan Sistem Thomsen. Sistem ini merupakan suatu hipotesa dari Thomsen untuk
membentuk sebuah kerangka prasejarah. Selain itu, sistem ini juga dianggap
sebagai “model teknologis” karena lebih memperhatikan pada perkembangan

2
teknik pembuatan alat-alat kerja manusia. Dalam sistem ini, pembabagan
prasejarah dibagi menjadi tiga jaman, yaitu:
1. Jaman Batu
2. Jaman Perunggu
3. Jaman Besi
2. John Lubbock
Pada tahun 1965, John Lubbock mengembangkan sitstem tiga jaman yang
dikemukakan oleh Thomsen menjadi sistem empat jaman, antara lain :
1. Jaman Paleolitik
2. Jaman Neolitik
3. Jaman Perunggu
4. Jaman Besi
3. J.A. Brown
Sebenarnya sistem empat jaman yang dikembangkan oleh John Lubbock
tersebut sudah mulai dikembangkan oleh sarjana-sarjana Perancis yang
membedakan dua tingkat perkembangan yang masing-masing antara lain “Jaman
batu dipangkas” (periode de la pierre teilé) dan “Jaman batu diupam” (periode de la
pierre polie). Akhirnya pada tahun 1892, oleh John Lubbock jaman tersebut
dikembangkan menjadi sistem lima jaman antara lain:
1. Jaman Paleolitik
2. Jaman Mesolitik
3. Jaman Neolitik
4. Jaman Perunggu
5. Jaman Besi
Di Indonesia sendiri dalam pembabagan prasejarahnya digunakanlah konsepsi
lima jaman yang terbagi, antara lain:
1. Jaman Paleolithik
2. Jaman Mesolithik
3. Jaman Neolithik
4. Jaman Logam
5. Jaman Megalithikum

3
1.3 Teori Konsepsi Baru
Pada konsep ini terdapatlah sebuah model rekonstruksi yang sudah lazim digunakan
sekarang ini dan landasan yang digunakan ialah konsepsi unit kebudayaan, model sosial-
ekonomis atau model pencaharian hidup, dan pendekatan ekologis. Pada konsepsi baru ini,
penggunaan sistem teknologi kurang begitu digunakan dikarenakan pada sistem teknologi
dalam periodisasi prasejarah Indonesia kurang sesuai, dikarenakan dalam penjelasannya itu
bersifat tidak humanis dan kurangnya konsep akan budaya, yaitu dimana dalam
pembahasannya hanya membahas tentang alat-alatnya saja, tidak mencakup kehidupan
manusia pada saat itu. Selain itu juga dalam system teknologi tersebut, penjelasan
menganai jaman yang berkembang pada saat itu hanya berhenti pada satu waktu saja,
padahal kebudayaan yang berkembang itu masih terus berlanjut. Bentuk perkerangkaan ini
telah disesuaikan dengan kondisi yang ditemukan di Indonesia dalam jangkauan seluas
mungkin. Di bawah ini penjabaran mengenai teori-teori dalam konsepsi-konsepsi baru
tersebut.

1. Konsepsi Unit kebudayaan


Sebenarnya kebudayaan itu sendiri mempunyai arti arkeologis yang
menunjuk ke sekelompok artefakta yang merupakan penjelmaan material suatu
bentuk tertentu dari warisan budaya, sedangkan menurut arti anthropologis
merupakan suatu kebudayaan yang menunjuk ke jumlah keseluruhan hal yang
diwarisi, baik jasmaniah (material) maupun rohaniah (mental, moral, spiritual).
Sehingga kelompok-kelompok artefakta tersebut yang dikelompokkan menjadi
unit-unit kompleks kebudayaan di daerah tertentu yang menunjukkan persamaaan-
persamaan dalam cara hidup dan perasaan terikat bersama atas sosial-politis.
Sedangkan unit kebudayaan sendiri sudah dijelaskan oleh V. Gordon Childe dalam
bukunya “The Down odf European Civilization” yang pada intinya perkembangan
kebudayaan prasejarah berkembang lebih mengarah ke kompleksitas hubungan
sejarah dan proses perkembangan kebudayaan dalam arti yang sewajarnya.
Kebudayaan senantiasa dalam proses perkembangan, karena pengaruh eksternal
akibat pergerakan dari kebudayaan-kebudayaan lain.

4
2. Model Sosial-Ekonomis
Dalam konsep model ini sebenarnya lebih menekankan kea rah cara manusia
memenuhi kehidupan atau konsep mata pencaharian hidup manusia. Dalam model
ini, terdapat berbagai teori-teori antara lain:
a) Teori pada masa Yunani-Romawi
Pada masa Yunani-Romawi sebenarnya sudah ada pemikiran tentang
perkembangan hidup sosial-ekonomis manusia. Pada teori ini menjelaskan bahwa
pada manusia pada masa prasejarah sudah mempunyai cara hidup sebagai gembala,
yang mana pada cara hidup gembala ini dianggap mendahului hidup sebagai petani
yang dikemukakan oleh Aristoteles. Kemudian kehidupan manusia berkembang
dengan adanya pengetahuan untuk bertani yang dikemukakan oleh Pausanias.
Sehingga pada intinya menurut teori ini manusia prasejarah mempunyai tahap-
tahap kehidupan berupa:
1. Gembala
2. Bertani
3. Pengetahuan
b) Sven Nilsson
Pada tahun 1834, Sven Nilsson mulai menerapkan metode perbandingan
etnografis untuk membuat periodisasi prasejarah. Metode ini lebih menitikberatkan
pada ciri mata pencaharian hidup. Dengan metode ini, ia membagi tahap prasejarah
menjadi empat tingkat kehidupan, antara lain:
1. Tingkat liar (berburu, meramu, dan mengail ikan)
2. Tingkat nomad (menggembala)
3. Tingkat agrikultural
4. Tingkat peradaban
c) V. Gordon Childe
Salah satu ilmuan yang menggunakan sistem sosial dan structural sosial
melalui data-data arkeologis dalam menjelaskan kehidupan manusia prasejarah
yaitu V. Gordon Childe. Pada tahun 1958 dalam bukunya yaitu “The Prehistory of
European Society” yang pada intinya menjelaskan tentang kemajuan-kemajuan
teknologis dan sosial yang dicapai oleh masyarakat prasejarah di Eropah.
Kemajuan-kemajuan sosial ini ditandai sebagai revolusi-revolusi, khususnya

5
“revolusi neolitik” yang mengubah cara hidup manusia dari hidup berburu ke cara
hidup menetap yang mengusahakan pertanian dan “revolusi perkotaan” yang
membawa masyarakat kea rah kehidupan yang kompleks dengan timbulnya sistem
kota, teknik pembuatan benda-benda logam, perdagangan, kelompok-kelompok
sosial dengan status-status khusus, dan sebagainya.
d) J.G.D. Clark
Salah satu ilmuan yang melaukuan pendekatan yang khusus meperhatikan dari
segi kehidupan sosial-ekonomis yaitu J.G.D. Clark dalam bukunya yaitu
“Prehistoric Europe; the economics basis” pada tahun 1952. Pendekatan yang ia
lakukan ini lebih dikenal dengan “model pencaharian hidup” (subsistence model).
Menurut model ini penggolongan kehidupan manusia terbagi atas bebrapa
tingkatan-tingkatan, antara lain:
1. Tingkat hidup berburu dan mengumpulkan makanan
2. Tingkat hidup bercocok tanam
e) Gordon R. Willey
Menurut pandangan structural mengenai kegiatan sosial dan ekonomi yang
dikemukakan oleh Gordon R. Willey dalam bukunya yaitu “Prehistoric settlement
pettern in the New World” pada tahun 1956. Pada buku tersebut pada intinya lebih
memperhatikan pada “pola cara menetap” (settlement patterns) dimana
ditampakkan hubungan timbale balik yang erat antara alam lingkungan hidup
manusia, teknologi, dan sistem-sistem sosial. Dengan sistem ini pula, dapat
memberikan gambaran secara langsung mengenai kegiatan-kegiatan sosial dan
ekonomi manusia. Kemudian teori ini dilanjutkan oleh K.C. Chang dalam bukunya
yaitu “Settelment Archaeology” pada tahun 1968 yang pada intinya teori ini
menganggap bahwa penggunaan cara pendekatan dengan teori ini sangat
menentukan untuk rekonstruksi atau sintese penghidupan prasejarah.
3. Pendekatan Ekologis
Dalam konsep pendekatan ekologis sebanrnya sudah dijelaskan menurut
Karl W. Butzer, P.J. Ucko dan G.W. Dimbleby yang pada intinya hubungan antara
manusia dan lingkungan sudah berlangsung sejak awal permulaan kehidupan
manusia. Lingkungan telah memberikan pengaruh yang besar baik dalam
perkembangan hidup manusia, proses pembentukan masyarakat, serta menentukan

6
kebudayaan-kebudayaan arkeologis yang merupakan cerminan dari kehidupan
manusia.
Di dalam pembabagan prasejarah Indonesia juga menggunakan dan menerapkan
konsepsi baru ini. Dimana untuk kehidupan prasejarah di Indonesia, pembabagan
prasejarahnya terbagi atas
1. Masa berburu dan mengumpul makanan tingkat sederhana
2. Masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut
3. Masa bercocok tanam
4. Masa perundagian

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembabagan Prasejarah Konsepsi Lama

Pembabagan prasejarah di dalam jaman prasejarah dibagi menjadi diluvium dan


alluvium. Dalam jaman alluvium yang berlangsung kira-kira 200.000 tahun yang lalu.
Selain pembagian zaman prasejarah berdasarkan dilluvium dan alluvium terdapat pula
pembagian prasejarah menurut arkeologi (ilmu yang mempelajari hasil-hasil kebendaan
dari kebudayaan yang sudah silam), yaitu yang didasarkan atas bahan-bahan berupa
peninggalan dari kebudayaan manusianya sendiri. Maka atas benda-benda peninggalan itu
prasejarah dibagi menjadi :

A. Jaman batu, waktu logam belum dikenal dan alat-alat terutama sekali dibuat dari
batu. Jaman itu dibagi lagi atas:
1. Paleolithikum.
2. Mesolithikum.
3. Neolitikum.
B. Zaman Logam, waktu orang-orang sudah dapat membuat alat-alat dari logam, yang
ternyata lebih kuat dan lebih mudah dikerjakan daripada batu. Zaman logam ini
diabagi atas:
1. Zaman Tembaga.
2. Zaman Perunggu.
3. Zaman Besi.
Zaman Hasil-hasil kebudayaan Jenis
Manusia/Bangsa
M Barang-barang Menhir.
Logam E
perhiasan, Dolmen,
G
A Manik-manik, Keranda,
L
Bejana, Kubur
I
T Candrasa, Batu,
H
Nekara, Kapak Punden Austronesia
I
K Corong. Berundak- (Indonesia)
U
Barang-barang undak,
M

8
Neolitikum perhiasan, Arca-arca.
Tembikar, Manik-
Kapak Persegi. manik
Kapak Lonjong Papua-Melanesoide
Lukisan-lukisan pada dinding
gua, Flakes, Alat dari tulang,
Mesholithikum
Kapak Pendek, Kapak Papua-Melanesoide
Sumatra (Pebble)
Alat-alat tulang dan tanduk Homo Wajakensis,
Paleolithikum
rusa, Flakes, Choppers Homo Soloensis,
Pithecantrophus

A. JAMAN BATU
1. Jaman Paleolitik
Dari lapisan bumi plestosen yang kita ketahui terdapat sia-sisa jenis manusia
tertua, yang dalam beberapa hal agak berbeda dari jenis-jenis manusia sekarang.
Dengan ilmu palaeoanthropologi ditelitilah perkembangan manusia ini dan
dapat dipastikan bahwa manusia tertua itu- meskipun ia belum belum dapat
digolongkan ke dalam homo sapiens karena masih rendah tingkat
kecerdasannnya- sudah lebih unggul daripada jenis binatang yang setinggi-
tingginya tingkatannya. Dengan akalnya ia mempertahankan, memelihara dan
mempermudah kehidupan serta hidupnya, dengan membuat alat-alat
penyambung dan pelengkap. Tentu saja yang dipergunakan sebagai alat
pertamanya ialah segala apa yang dijumpai manusia sebagai pemberian alam
dan yang dapat mememnuhi keperluannya. Lama-kelamaan dengan pengalaman
bahwa batu adalagh bahan yang sangat utama untuk pembuatan alatnya. Tetapi
tidak sembarang batu yang digunakan, harus dicari dahulu batu yang keras dan
kuat. Jaman plestosen itu berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Selama
jaman inilah berlangsungnya jaman paleolitik atau jaman kebudayaan batu.

9
Jenis-Jenis Manusia Pertama
Bekas-bekas manusia yang ditemukan dari lapisan bumi plestosen terdapat
di berbagai dunia. Di indonesia sendiri sampai kini ditemukannya baru dan
banyak di pulau Jawa.Temuan pertama di Indonesaia yang menjadi pangkal
penyelidikan-penyeledikan selanjutnya dalah temuan Pithecanthropus Erectus
dalam tahun 1980 oleh E. Dubois di dekat Trinil. Mula-mula yang ditemukan
hanya sebagian dari tulang rahang. Dalam tahun berikutnya kira-kira 40 km dari
tempat penemuan pertama tadi sebuah geraham dan bagian atas tengkorak.
Beberapa dari situ ditemukan dalam tahun 1892 sebuah geraham lagi dan lima
belas meter lagi sebuah tulang paha kiri. Umum volume isi tengkorak manusia
ini dikirakirakan 900 cc. Manusia biasa otaknya dselalu lebih dari 1000 cc,
sedangkan jenis kera yang tertinggi hanya 600cc. Jadi makhluk dari trinil itu
tempatnay adi antara manusia dan kera.
Adapun tulang keningnya sangat menonjol ke muka, dan di atas bagian
hidung bergandeng dengan satu. Di atas tulang kening itu tulang dahinya ke
belakang, sehingga dahinya dapat dikatakan tidak ada. Tulang pahanya lebih
mempunyai sifat kemanusiaan, sehingga nyata bahwa manusia itu brjalan tegak
dan dari ukuran tulang itu dapat diketahui bahwa makhluknya kira-kira 1.65 m
tingginya. Gerahamnya lebih besar dari geraham terbesar dari manusia. Oleh
karena bagian-bagian iotu ditemukan berjauhan, maka banyak ahli yang mula-
mula membimbangkan pendapat Dubois bahwa kesemuannya itu harus berasal
dari satu makhluk. Dubois sendiri memenpatkannya di anatar manusi dan kera,
sedaang berjalannya sudah tegak (erectus) maka dinmakan olehnya makhluk itu
Pithecanthropus Erectus.
Hasil-hasil kebudayaan yang tertua di Indonesia ialah ditemukan di sekitar
daerah Pacitan dan Ngandong. Maka menurut nama kedua tempat penemuan itu
kebudayaan paleolitikhum dibagi atas :
1.a Kebudayaan Pacitan
Dalam tahun 1935 di dekat pacitan oleh Von Koenigswald ditemukan
sejumlah alat-alat yang terbuat dari batu. Alat-alat yang ditemukan itu biasa
dimakan kapak genggam, yaitu alat serupa kapak tetapi tidak bertangkai.
Dipergunaknnya ialah dengan digenggam dalam tangan. Alat-alat Pacitan ini

10
dalam ilmu prasejarah biasa disebut dengan Chopper atau aalat penetak.
Penyelidikan yang diteliti dari alat ini ialah menunujukkan bahwa asalnya dari
lapisan Trinil, jadi plestosen tengah. Dari lapisan ini berasal pula
Pithecanthropus Erectus. Di tempat lain di luar Indonesia terdapat sedikit
petunjuk. Di dekat peking (Tiongkok) ditemukan dalam fgua-guia di
choukouitien sejumlah fosil manusia yang serupa dengan Pithecanthropus
Erectus yang diberi nama Sinanthropus Pakinensis. Bersama-sama dengan
bekas-bekas hominide itu dityemukan banyak alat-allat batu. Hal ini
menunjukkan bahwa alat-alat tersebut memang berasal dari Sinanthropus
Pakinensis, maka kesimpulan kita ialah bahwa kebudayaan pacitan itu ialah
kebudayaan Pithecanthropus.
1.b Kebudayaan Ngandhong
Ditemukan banyak alat-alat dari tulang di samping kapak-kapak
genggam dari batu di sekitar daerah Ngandong dan Sidorejo (dekat Ngawi,
Madiun). Ada di antaranya yang dibuat dari tulang binatang menjadi semacam
alat penusuk (belati), ada yang dari tanduk rusa. Rupanya dikirakan alat-alat itu
dipergunakan untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Ada juga alat-
alat seperti ujung tombak dengan gigi-gigi pada sisinya, yang mungkin
dipergunakan untuk menangkap ikan. Alat-alat kecil yang dinamakan Flakes
dan sebagian dibuat dari batu indah, seperti chalcedon yang ditemukan di dekat
Sangiran juga termasuk salah satu kebudayaan Ngandong. Dari penyelidikan
alat-alat itu dipastikan berasal dari plestosen atas. Maka mungkinlah alat-alat
itu merupakan hasil kebudayaan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis.
Alat-alat itu menunjukkan bahwa dipergunakannya ialah untuk berburu,
menangkap ikan, dan mengumpulkan keladi, ubi buah-buahan dan lain-lainnya.
Maka kesimpulannya ialah bahwa penghidupan manusia paleolitikum itu
merupakan pengembaraan dari satu tempat ke tempat lain. Mereka tidak
bertempat tinggal tempat, melainkan berpindah-pindah tergantung kepada
binatang-binatang buruannya dan hasil tanah di sekitarnya. Cara penghidupan
mengumpul bahan-bahan makanan sebagaimana terdapat dari alam yang
dinamakan foodgatthering.

11
2.Jaman Mesolitik

Dalam kurun waktu kira-kira 20.000 tahun yang lalu, setelah


plestosen berganti dengan holocen, kebudayaan paleotikihum tidak begitu saja
lenyap melainkan masih terus berlangsung dan berkembang. Di Indonesia
kebudayan paleolitikum mendapat pengaruh-pengaruh baru dengan
mengalirnya arus kebudayaan baru dari daratan Asia yang membawa coraknya
sendiri.Kebudayaan baru yang timbul itu dinamakan Mesolitikhum. Alat-alat
dari tulang dan juga flakes, yang didapatkan dalam jaman paleoliyikhum,
mengambil bagian penting dalam jaman mesolitikhum. Kebudayaan
mesolitikhum itu di Indonesia ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan baru-baru ini di Flores. Dari peninggalan-
peninggalan itu dapat diketahui bahwa manusia jaman itu terutama masih hidup
dari berburu dan menangkap ikan (foodgathering). Tetapi sebagian sudah
mempunyai tempat tinggal tetap, sehingga sudah mulai mengenal bercocok
tanam secara kecil-kecilan dan sangat sederhana. Bekas-bekas tempat tinggal
mereka ditemukan di pinggir pantai (kyokenmodingger) dan di dalam gua-gua
(abris sous roche).
Kjokenmodingger
Kjokenmodingger(dalam bahasa Denmark) adalah suatu corak
istimewa dari mesolitikhum yaitu adanya peninggalan-peninggalan.
Didapatkannya di sepanjang pantai Sumatra Timur Laut, di antara Langsa di
Aceh dan Medan. Bekas-bekas itu menunjukkan telah adanya penduduk pantai
yang ditinggal dalam rumah-rumah bertonggak. Hidupnya dari siput dan
kerang, kulit-kulit kerang dan siput yang dibuang dan sudah dimakan dibuang
di satu tempat sampai bertahun-tahun dan menjadi bukit. Bukit-bukit itu
pertama kali ditemukan para ahli geologi dengan mengira bahwa itu adalah
suatu lapisan bumi yang sangat istimewa.Bukit-bukit itu terdiri dari kerang
semata-mata tidak bercampur dengan pasir ataupun tanah. Kerang-kerangnya
sebagian telah menjadi fosil dan merekat bersatu dan merupakan satu kelompok
yang padat.

12
Tahun 1925 Dr. P.V. van Stein Callenfels yang sebagai pelopor dan
pembuka jalan dalam ilmu prasejarah di Indonesia yang biasa dinamakan bapak
prasejarah Indonesia melalukan penyelidikan akan kepentingan dan tempatnya
dalam prasejarah. Dari dalam bukit-bukit kerang didapatkan banayk kapak-
kapak genggam yang ternyata berbeda dari chopper (kapak genggam
paleolitikhum). Kapak genggam mesolitikhum itu dinamakan pebble atau juga
menurut tempapenemuannya Kapak Sumatra. Satu macam kapak lagi yang
ditemukan yang sangat aneh dan hanya terdapat dari jaman mesolitikhum, ialah
yang dinamakan hache courte(kapak pendek). Bentuknya kira-kira setengah
lingkaran, dan seperti kapak genggam juga dibuatnya dengan memukuli dan
memecahkan batu, dan tidak diasah, Tajamnya terdapat pada sisi yang
lengkung.
Dari bukit kerang juga ditemukan pula berbagai pipsan atau batu-batu
penggiling beserta landasannya. Pipisan ini rupanya tidak hanya untuk
menggiling makanan tetapi juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah
yang mungkin sekali pemakaiannya ada berhubungan dengan keagamaan.
Kecuali hasil-hasil kebudayaan, dari kjokenmodingger itu ditemukan juga
bekas-bekas manusianya, seperti tulang belulang dan pecahan-pecahan
tengkorak dan gigi. Dari hasil penelitian itu memberikan kesimpulan bahwa
manusia mesolitikhum itu termasuk dalam golongan bangsa Papua-
Melanesoide.
Abris Sous Roche.

Tempat penemuan kedua dari kebudayaan mesolitikhum adalah


abris sous roche, ialah gua yang dipakai sebagai tempat tinggal. Gua-gua itu
sebenarnya menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang yang cukup untuk
memberi perlindungan terhadap hujan dan panas. Penyelidikan pertama
terhadap abris sous roche dilakukan oleh van Stein Callenfels di Gua Lawa
dekat Sampung ( Ponorogo, Madiun), dari tahun 1928 sampai 1931. Alat-alat
yang ditemukan banayk sekali macamnya: alat-alat batu (ujung panha dan
flakes), batu-batu penggilingan, kapak rusa, dan juga alat-alat perunggu dan
besi.Bagian terbesar dari alat-alat yang ditemukan itu terdiri dari alat-alat

13
tulang, sehingga timbul istilah Sampung bone culture. Di beberapa gua di
daerah Besuki (Jawa Timur), yang penyelidikannya dilakukan oleh van
Heekeren, ada juga terdapat pebbles (Kapak Sumatra dan kapak pendek). Di
Bojonegoro ada beberapa abriis sous roche yang terutama sekali menghasilkan
alat-alat dari kerang dan tulang. Di Sulawesi Selatan dari penyelidikan lebih
lanjut oleh van Stein Callenfels (1933-1934) dan van Heekeren(1937) dapatlah
dipastikan, bahwa terdapat kebudayaan Toala yang termasuk kebudayaan
Mesolitikum. Hasilnya terutama sekali adalah flakes dan alat-alat dari tulang.
Kebudayaan Bacson-Hoabinh
Di daerah Tonkin di Indo-China ditemukan pusat kebudayaan
prasejarah, ialah di pegunungan Bacson dan di daerah Hoabinh yang letaknya
berdekatan. Alat-alata yang ditemukan menunjukkan adanya suatu kebudayaan
yang sudah kita kenal sebagi mesolitikhum. Oleh ahli prasejarah Mme
Madeleine Colani, kebudayaan dinamakan kebudyaan Bacson-Hoabinh
dikarenakan menurut kedua tempat penemuan itu. Disana banyak pula
ditemukan tulang-belulang yang ternyata di Tonkin dulu didiami oleh dua
golongan bangsa yaitu jenis Papua-Melanesoide dan jenis Europaeide. Dan
terdapat pula jenis Mongoloide dan jenis Australoide. Kebudayaan
mesolitikhum di Indonesia asalnya dari daerah Bacson-Hoabinh.
Hasil-hasil Kebudayaan
Di Indonesia tanda-tanda akan adanya kesenian baru ditemukan dalam
jaman mesolitikhum. Di antara alat-alat batu yang ditemukan di
kjokenmodingger ada dua buah kapak yang diberi hiasan: yang satu digambar
dngan garis-garis sejajar, dan yang lain dengan semacam gambar mata.
Kesenian mesolitikhum tingkat tinggi juga ditemukan bekas-bekasnya, ialah di
gua leang-leang di Sulawesi Selatan berupa gambar berwarna dari seekor babi
hutan yang sedang lari, dan di beberapa gua lainnya gambar-gambar (cap)
tangan yang bewarna merah.

14
3.Jaman Neolitik

Neolitikhum adalah kebudayaan yang pertama boleh dikata tersebar di


seluruh kepulauan Indonesia. Ada dikatakan bahwa neolithikum adalah revolusi
yang sangat besar dalam peradaban manusia. Maka tak salah jika dikatakan
bahwa kebudayaan inilah yang menjadi dasar sesungguhnya dari kebudayaan
Indonesia sekarang. Penghidupan foodgathering menjadi foodproducing, inilah
yang dimaksud dengan perubahan revolusi dari jaman mesolitikhum.
Penghidupan mengembara telah lampau, orang telah mengenal bercocok tanam
dan beternak. Orang sudah bertempat tinggal tetap dengan kepandaian membuat
rumah. Hidup berkumpul berarti pembentukan suatu masyarakat yang
memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan
perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerja
sama itu. Kerajinan tangan, seperti menenun dan membuat pertiuk belanga,
sangat mendapat kemajuan. Corak yang menjadi corak istimewa dari
neolitikhum ialah kepandaian mengasahnya. Menurut alat-alat yang ditemukan
dan yang menjadi corak khusus, neolitikhum Indonesia dibagi dalam dua
golongan besar, yaitu kebudayaan kapak persegi dan kebudayaan kapak
lonjong.
Kapak Persegi
Nama kapak persegi berasal dari von Heine Geldern, berdasarkan kepada
penampang-alang dari alat-alatnya, yang berupa persegi panjang atau juga
berbentuk trapezium. Kapak-kapak persegi ini di Indonesia terutama sekali
didapatkan di Sumatra, Jawa dan Bali. Di bagian timur ialah Nusa Tenggara,
Maluku, Sulawesi dan juga di Kalimantan. Di antara alat-alat neolitikhum yang
ditemukan di Jawa, terutama di bagian barat, banyak terdapat perkakas yang
indah seperti Chalcedon yang dianggap sebagai tanda kebesaran atau sebagai
alat upacara.
Kapak Lonjong
Nama kapak lonjong didasrkan atas penampang-alasnya yang berbentuk
lonjong. Bentuk kapaknya sendiri bundar telor. Ujungnya agak lancip
ditempatkan di tangkai dan ujung lainnya yang bulat diasah sehingga tajam.

15
Kebudayaan kapak lonjong ini sering dinamakan Neolitikhum Papua, karena
terutama sekali ditemukannya di Irian. Di antara kapak-kapak lonjong itu ada
pula yang rupanya hanya di pergunakan untuk upacara saja. Di antara dua
kebudayaan tersebut masih banyak lagi benda-benda lain yang dihasilkan.
Benda-benda lainnya:
Perhiasan
Ditemukan terutama di Jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam
jumlah besar yang digunakan untuk kecantikan.
Pakaian
Di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya di
temukan alat pemukul kulit kayu, yang berarti bahwa alat-alat pemukul kulit
kayu itu menunjukkan bahwa orang-orang neolitikhum sudah berpakaian.
Tembikar
Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang
tembikar(periuk belanga) terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di
Sumatra. Di Melolo (Sumba) banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata
berisi tulang-belulang manusia yang diduga dalam hal ini mengenal soal
penguburan.
B. Zaman Logam
waktu orang sudah membuat alat-alat dari logam. Jaman logam hanyalah untuk
menyatakan bahwa logam telah dikenal dan dipergunakan orang untuk bahan membuat
alat-alat yang diperlukan. Teknik pembuatan benda-benda dari logam itu dinamakan a
cire perdue. Jaman jaman logam itu dapat dibagi lagi atas: tembaga, perunggu dan besi.
Namun di Indonesia yang dipergunakan ialah bahwa jaman logam adalah jaman
perunggu atau Paleometalik

Perunggu atau Paleometalik

Hasil kebudayaannya adalah:

1. Kapak Corong
Kapak ini biasa dinamaakn kapak sepatu maksudnya ialah kapak
yang bagian atasnya berbentuk corong yang sembirnya belah,
sedangkan ke dalam corong itulah dimasukkan tangkai kayunya yang
menyiku kepada bidang kapak. Kapak corong ini terutama ditemukan

16
di Sumatra Selatan, Jawa Bali Sulawesi Tengah dan Selatan, pulau
Selayar dan di Irian. Adapun cara pembuatannya ialah menunjukkan
tekhnik a cire perdue.
2. Nekara
Nekara adalah semacam berumbung dari perunggu yang
berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup, jadi
dapatlah kira-kira disamakan dengan dandang ditelungkupkan. Di
dapatkannya anatara lain di Sumatra, Jawa, Bali, pulau Sangean dekat
Sumbawa, Roti, Leti, Selayar dan di kepulauan Kei. Di Alor nekara
yang ditemukan disebut moko. Di bali terdapat nekara besar sekali –
sampai kini terbesar- yang masih utuh. Tingginya 1,86 meter dan garis
tengahnya 1,60 meter. Nekara itu dianggap sangat suci dan dipuja
penduduk. Nekara hanya dipergunakan waktu upacara-upacara saja,
sebagaimana dapat nyata dari hiasan-hiasan yang tertera pada
dindingnya.
3. Benda-benda lainnya
Selain kapak corong dan nekara banyak pula benda-benda
lainnya dari jaman perunggu yang didapatkan, sebagaian besar berupa
barang-barang perhiasan: gelang, binggel/gelang kaki, anting-anting,
kalung dan cincin. Seni menuang patung juga sudah maju ,
sebagaimana nyata dari beberapa buah patung, diantaranya arca-araca
orang yang sikapnya aneh dan satu arca lagi berupa kerbau. Dari
daerah tepi danau Kerinci dan dari pulau Madura ditemukan bejana
perunggu yang bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng.
Juga terdapat manik-manik kaca yang rupanya manik itu sebagaimana
nekara kecil dan mata uang, yang dibawakan kepada orang yang telah
meninggal sebagai bekal ke akhirat.
4. Kebudayaan Dongson
Kebudayaaan perunggu Asia Tenggara biasa dinamakan
kebudayaan Dongson menurut nama tempat penyelidikan pertama di
daerah Tonkin. Penyelidikan menunjukkan nahwa disanalah pusatnya
kebudayaan perunggu Asia Tenggara itu. Di san ditemukan alat-alat

17
perunggu dan nekara, alat-alat dari besi dan kuburan-kuburan jaman
itu.
C. Megalitik atau Jaman Megalitik

Megalitikhum ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan


bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Megalitikhum atau kebudayaan
batu besar itu bukanlah membawa arti timbulnya kembali jaman batu
sesudah jaman logam. Memang megalitikhum itu akarnya terdapat dalam
jaman neolitikhum, tetapi baru berkembang betul-betul dalam jaman
neolitikhum. Hal ini dapat nyata oleh karena di tempat-tempat penemuan
hasil megalitikhum banyak sekali didapatkan manik-manik dan alat-alat
dari perunggu, bahkan ada kalanya pula alat-alat dari besi. Maka dari itu
megalitikhum Indonesia biasa dimasukkan kebudayaan Dongson sebagai
salah satu dari cabangnya.
Adapun hasil dari kebudayaan megalitikhum adalah:
a. Menhir
Rupanya seperti tiang atau tugu, yang didirikan sebagai tanda
peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang, sehingga
menjadi benda pujaan.
b. Dolmen
Rupanya seperti meja batu berkakikan menhir. Ada doolmen
yang menjadi tempat saji dan pemujaan kepada nenek moyang, ada
pula yang dibawahnya terdapat kuburan.
c. Sarchopagus atau keranda
Bentunya seperti palung atau lesung, tetapi mempunyai tutup.
d. Kubur batu
Sebetulnya tak berbeda dengan peti mayat dari batu. Keempat
sisinya berdindingkan papan-papan batu begitu pula alas dan bidang
atasnya dari papan batu.
e. Punden berundak-undak
Bangunan pemujaan yang tersusun bertingkat-tingkat.

18
f. Arca-arca
Melambangkan nenek moyang dan menjadi puja.
Di Sumatra peninggalan yang terpenting terdapat di dataran
tinggi Pasemah ( di pegunungan antara wilayah Palembang dan Bengkulu).
Di sana ada sekumpulan besar arca-araca, menhir, dolmen dan hasil-hasil
kebudayaan megalitikhum yang lainnya. Penyelidikan itu dilakukan oleh
Dr. Van der Hoop dan von Heine Geldern.di Jawa tempat kebudayaan
megalitikhum prasejarah terutama didapat di ujung timur, di daerah Besuki.
Peninggalan-peninggalan itu berupa kuburan yang oleh penduduk disebut
Padhusa yang sebenarnya dolmen berisi kubur batu di bawahnya. Di Bali
terdapat berbagai sarchopagus besar yang agak menyerupai peti-peti dari
Besuki, dan isinya: tulang-belulang yang sebagian besar rusak, barang-
barang perunggu serta besi dan manik-manik. Dapat disimpulkan, hasil hasil
kebudayaan megalitikhum itu hubungannya ialah dengan keagamaan yang
berkisar pemujaan roh nenek moyang.

19
BAB III
PEMBABAGAN PRASEJARAH KONSEPSI BARU

2.2 Konsepsi Baru

Dalam pembabagan prasejarah di Indonesia di dalam mengkaji pembabagan tiap-tiap


jaman prasejarah yang menggunakan konsepsi baru yang dijadikan landasannya ialah
model sosial-ekonomis. Model ini pada intinya lebih menitik beratkan pada problema-
problema sosial-ekonomis manusia. Selain itu pada konsepsi baru ini, penggunaan sistem
teknologi kurang begitu digunakan dikarenakan pada sistem teknologi dalam periodisasi
prasejarah Indonesia kurang sesuai serta menimbulkan kesulitan dalam mengklarifikasikan
jenis-jenis artefakta dan pandangan teknologis ini seharusnya dipandang sebagai makna
“tradisi” yang berevolusi, tanpa menghilangkan bentuk lama meskipun nanti dibuat yang
baru kemudian oleh manusia. Dalam kerangka dasar pembabagan prasejarah di Indonesia,
ini tingkat-tingkat kehidupan manusia yang menggunakan konsepsi baru , terdiri atas :
a. Masa berburu dan mengumpul makanan tingkat sederhana
b. Masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut
c. Masa bercocok tanam
d. Masa perundagian
Masa Hasil Kebudayaan Jenis Manusia/ Kehidupan Sosial-
Bangsa ekonomis

Flakes, Chooper, Alat dari


Berburu dan Meganthropus
Nomaden,
tulang, Kapak perimbas
mengumpul makanan Paleojavanicus,
berkelompok, budaya
(kebudayaan
tingkat sederhana Pithecanthropus
masyarakat berburu
pacitan=Pacitanian), Alat
Erectus,
serpih
Pithecanthropus
Mojokertensis,
Pithecanthropus
Robustus

20
Berburu dan Serpih bilah, Alat-alat Bertempat tinggal di
mengumpul makanan tulang( kebudayaan gua-gua, ceruk,dan
tingkat lanjut sampung=Sampungnian), sebagian sudah
Kapak genggam Sumatra, menetap dan
Lukisan dinding gua mengenal bercocok
tanam, Penemuan dan
penggunaan api,
Mengenal
Manusia dari ras kepercayaan
Austromelanesid
Bercocok Tanam Beliung persegi, Kapak yaitu Homo sapiens, Sudah menetap,
lonjong, alat-alat dan Manusia dari ras Bercocok tanam
obsidian, alat pemukul Mongoloid sederhana dan
kulit kayu, Perhiasan, penjinakkan hewan
Mata panah tertentu, mengeenal
barter, Gotong
royong, Mengenal
kepercayan dan
pemujaan nenek
moyang
Kehidupan teratur
Perundagian Benda-benda perunggu, dan terpimpin,
Kapak perunggu, Bejana kemajuan bidang
Perunggu, Senjata dan teknologi,
benda-benda perunggu kepercayaan dan
lainnya, Benda-benda pemujaan nenek
besi, gerabah, manik- moyang lebih
manik. berkembang`

21
A. Masa hidup berburu dan mengumpul makanan Tingkat Sederhana
Kehidupan Bumi pada kala plestosen
Zaman paleolitik (Zaman Batu Tua) adalah zaman prasejarah yang
bermuala kira-kira 50.000 hingga 100.000 tahun yang lalu. Pada zaman ini,
manusia hidup secara nomaden atau berpindah-pindah dalam kumpulan kecil untuk
mencari makanan. Mereka mencari biji-bijian, umbi, serta dedauanan sebagai
makanan. Mereka tidak bercocok tanam. Mereka menggunakan batu, kayu dan
tulang binatag untuk membuat peralatan sehari-hari. Alat- alat ini juga digunakan
untuk mempertahankan diri dari musuh. Peninggalan yang ditemukan antara lain
berupa peralatan batu dari flakes( alat penyerpih berfungsi untuk mengupas,
menguliti), chopper (kapak genggam alat penetak), selain itu terdpat pula peralatan
dari tulang. Spesies manusia purba yang telah ada pada masa itu adalah
Meganthropus Paleojavanicus, Pithecanthropus Erectus)Pithecanthropus
Mojokertensis, Pithecanthropus Robustus)

Kemampuan membuat alat

Sisa-sisa kehidupan Plestosen menunjukkan kemampuan manusia yang terbatas


dalam memanfaatkan bahan-bahan yang disediakan oleh alam sekitarnya. Alat-alat
keperluan hidup dibuat dari kayu, batu, dan tulang dengan pembuatan yang sederhana,
sekedar memenuhi tujuan penggunaannya. Alat-alat tadi terutama digunakan untuk
pencarian dan pengolahan bahan makanan yang berupa daging binatang dan umbi-
umbian. Usaha pokok manusia ialah dengan cara-cara apakah dan bagaimana ia dapat
mempertahankan hidupnya, dan daya upaya manusia khususnya dikembangkan dalam
segi kehidupan ekonominya.

Teknologi pada tingkat permulaan mengutamakan segi praktis, sesuai dengan


tujuan penggunaan saja, yang makin lama makin meningkat ke arah penyempurnaan
bentuk perkakas-perkakas keperluan hidup. Pada taraf peningkatan ini, yang bukti-
buktinya terutama ditemukan di eropa, tampak kecenderungan ke arah pengutaraan
rasa keindahan dan rasa keterikatan pada peristiwa-peristiwa alam. Kondisi ini
menjadi landasan dari beberapa segi kehidupan rohani manusia, yaitu seni dan

22
kepercayaan yang pada akhir kala Plestosen telah berbentuk nyata dan tampak antara
lain sebagai seni lukis di dinding-dinding gua dan tata cara penguburan.

Corak kehidupan Plestosen tidak dapat diikuti kembali seluruhnya di berbagai


tempat, kecuali beberapa aspeknya saja. Terutama segi teknologi masa-masa hidup
berburu tingkat sederhana (Teknologi Paleolitik) dapat dijangkau kembali melalui
hasil-hasil karya manusia yang tersisa. Khususnya benda-benda peninggalan yang
dibuat dari batu dalam berbagai bentuk, dapat dipelajari dari sejak pembuatannya yang
mula-mula sekali sampai ke perkembangan teknik pembuatannya dapat diikuti dengen
seksama. Pada tradisi pembuatan alat-alat pada tingkat ini, di Indonesia dikenal dua
macam bentuk pokok, yaitu teknik perkakas batu yang disebut tradisi kapak perimbas
dan tradisi serpih, yang dikembangkan sejak kala Plestosen Tengah. Pada tingkat
Plestosen Akhir ditemukan tanda-tanda pembuatan alat-alat dari tulang dan tanduk.
Bukti-bukti dari benda tidak dapat ditemukan, mengingat bahannya yang sangat
mudah lapuk.

1. Kapak Perimbas
Tradisi kapak perimbas di Indonesia ternyata mempunyai persebaran yang
luas dan khusus berkembang du tempat-tempat yang banyak mengandung
batuan yang sesuai untuk pembuatan perkakas-perkakas batu. Penelitian
terhadap tradisi paleolitik di Indonesia dimulai pada tahun 1935, Ketika
Koenigswald menemukan alat-alat batu di daerah Punung (Kabupaten Pacitan),
di dasar Kali Baksoko. Alat-alat tersebut bercorak kasar dan sederhana teknik
pembuatannya. Tradisi kapak perimbas yang ditemukan di Punung ini
kemudian terkenal dengan nama Budaya Pacitan dan dipandang sebagai tingkat
perkembangan budaya batu yang terawal di Indonesia.

Perhatian terhadap kapak-kapak batu paleolitik di Indonesia mulai meluas


sesudah Perang Dunia II, dan penemuan-penemuan baru terjadi di Sumatera
Selatan (Lahat), Lampung (Kalianda), Kalimantan Selatan (Awabangkal),
Sulawesi Selatan (Cabbenge), Bali (Sembiran, Trunyan), Sumbawa (Batutring),
Flores (Wangka, Maumere, Ruteng), dan Timor (Atambua, Kefanmanu,
Noelbaki). Daerah Punung terkaya akan kapak-kapak perimbas dan hingga
sekarang merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia.

23
Pada tahun 1935 Koenigswald dan M.W.F. Tweedie telah menemukan alat-
alat paleolitik untuk pertama kalinya di Jawa. Alat-alat batu yang dikumpulkan
oleh Koenigswald hampir semuanya dipungut dari dasar Kali Baksoko yang
pada saat itu sedang kering. Hanya beberapa buah alat yang didapatkan dari
lapisan kerakal yang berada kira-kira 3-4 m di atas dasar sungai. Lebih dari
2000 alat batu telah dikumpulkan, yang sesuai dengan ciri-cirinya sebagai unsur
kompleks kapak perimbas dengan nama Budaya Pacitan. Jenis-jenis kapak batu
pada umumnya berbentuk besar, masif dan kasar buatannya.

2. Alat serpih
Alat serpih pertama kali di temukan Koenigswald pada tahun 1934 Alat-alat
dikumpulkan dari permukaan tanah barat laut Desa Ngebung. Koenigswald
menyatakan bahwa alat-alat itu dari Kabuh-Atas yang mengandung beberapa
fosil hewan tipe fauna Trinil. Unsur Plestosen Tengah yang diberikan kepada
alat serpih Sangiran ini telah disangkal oleh Teilhard de Chardin, Terra, dan
Movius sesudah mereka melakukan peninjauan ke daerah Sangiran pada tahun
1938. Dalam peninjauan itu sarjana-sarjana tadi menemukan alat-alat serpih di
endapan kerikil Notopuro yang terletak di atas endapan-endapan Kabuh secara
tidak selaras. Lapisan Notopuro tebalnya kira-kira 20m, dan tersusun dari
endapan-endapan kolongmerat yang tertutup oleh lapisan kerikil dan pasir. Di
dalam lapisan Kabuh sendiri ditemukan alat serpih Atas dasar hasil peninjauan
ini, selanjutnya perkembangan alat serpih Sangiran diletakkan pada tingkat
Plestosen Atas. Pembuktian terakhir ini telah dijadikan landasan pertanggalan
tradisi alat serpih yang tertua di Indonesia. Penelitian-penelitian di Sangiran
dilanjutkan secara bertahap sejak tahun 1952 hingga sekarang.

Tempat penemuan alat serpih di Ngandong berada di sekitar daerah


penemuan Pithecanthropus soloensis di undak-undak Bengawan Solo pada
ketinggian lebih kurang 20m di atas permukaan sungai. Di Ngawi sungai ini
membelok ke utara dan memotong Gunung Kendeng yang terbentuk pada masa
Tersier. Pemotongan lapisan-lapisan Gunung Kendeng berlangsung terus
hingga tercapai keseimbangan permukaan dengan laut. Di pinggir undak-undak
tingkat dua ditemukan fosil-fosil manusia dan binatang selama ekskavasi yang

24
dilakukan oleh Dienst van den Mijnbouw di sekitar Ngandong pada tahun-
tahun 1932 dan 1933. Di undak-undak (setinggi 20 m) telah ditemukan pula
perkakas manusia yang dibuat dari tulang, tanduk, dan serpih-serpih batu.
Penemuan alat serpih khususnya terjadi di Ngandong, Kuwung, Negeri, Watu-
gundel, Menden, dan Ngrawo.

Penemuan pertama alat serpih di daerah Cabbenge dilakukan oleh Heekeren


pada tahun 1947. Penelitian-penelitian selanjutnya dilakukan pada tahun 1950,
1968 dan 1970. Alat-alat serpih ditemukan bersama-sama dengan sisa-sisa
fosil hewan di undak-undak ketiga dan keempat sebelah timur Sungai
Wallanae. Pemusatan alat-alat serpih adalah di sekitar desa dalam radius rata-
rata sati kilometer dan di sekitar Desa Marale. Bahan batuan alat-alatnya terdiri
atas batuan berwarna kekuningan, jaspis merah, dan batuan kersikan lain.
Bahan berupa kerakal-kerakal serta alat-alat ditemukan di lapisan kerikil dan
pasir yang di beberapa tempat mencapai tebal kira-kira satu meter atau lebih.
Sejumlah alat masif, terutama daru jenis kapak penetak, ditemukan pula di
Marale, tetapi jumlahnya tidak menonjol. Pada tahun 1978 di Paroto, kira-kira
7 km barat laut beru, ditemukan alat-alat serpih bersama alat masif di suatu
areal yang luas.

Alat-alat serpih –bilah yang berasal dari kala Plestosen ditemukan oleh
Verhoeven di Flores dalam masa penelitian 1957-1958 di daerah Wangka, Soa,
dan Maumere. Jumlah alat serpih-bilah yang ditemukan bersama alat-alat masif
di tempat-tempat tersebut cukup menonjol. Alat-alat serpih beebentuk
membulat, meruncing,atau berisi cekung, danberguna sebagai serut, penusuk,
dan gurdi. Alat-alat bilah berbentuk kecil dan sebagian berujung konveks.
Sebagian alat-alat serpih yang berukuran kecik ditemukan di Matumenge
dalam lapisan pasir dan abu yang mengandung pula fosil tulang-tulang hewan.

3. Alat tulang

Pembuatan alat-alat tulang pada tingkat plestosen sementara ini hanya


diketahui di Ngandong sebagai unsur yang ditemukan dalam konteks

25
Pithecanthropus soloensis dan alat lain yang dibuat dari tanduk, serpih, dan
batu-batu bundar.

Alat-alat tulang, yang berupa sudip dan mata tombak yang bergerigi pada
kedua belah sisinya, berukuran panjang 9,5 cm. Kedudukan alat terakhir ini
ditemukan dalam satu hubungan dengan Pithecanthropus soloensis. Alat-alat
dari tanduk menjangan memperlihatkan bagian yang diruncingkan. Duri ikan
pari ditemukan pula dan benda ini mungkin digunakan sebagai mata tombak.
Keginaan batu-batu bulat dalam kelompok penemuan Ngandong diduga
sebagai batu pelempar yang diikatkan pada tali untuk menjerat hewan buruan.

Tradisi alat tulang dan tanduk tampak dilanjutkan pada kala pasca-Plestosen
dalam kehidupan di gua-gua. Di Gua Sampung ditemukan sejumlah besar
sudip tulang, dan alat-alat tanduk yang diupam. Perkakas tanduk digunakan
sebagai pencukil atau belati.

Kehidupan sosial

1. Kehidupan berkelompok

Manusia plestosen di Indonesia dari sejak Pithecathropus sampai dengan


Homosapiens dari Wajak snagat menggantungkan diri pada kondisi alam.
Daerah-daerah yang diduduki manusia itu harus dapat memberikan cukup
persediaan untuk memungkinkan kelangsungan hidup. Oleh karena itu, tempat-
tempat yang menarik untuk didiami waktu itu adalah yang cukup mengandung
bahan-bahan makanan dari air, terutama di sekitar tempat-tempat yang sering
dikunjungi atau dilalui oleh binatang.

Manusia hidup dalam kelompok-kelompok dan membekali diri menghadapi


lingkungan sekelilingnya. Selain binatang-binatang liar yang diburunya, yang
dapat membawa bahaya dan maut bagi diri sendiri, mereka masih menghadapi
pula berbagai bencana yang ditimbulkan oleh alam, terutama letusan gunung
api.

Kelompok berburu tersusun dari keluarga kecil yang laki-laki melakukan


pemburuan dan yang perempuan mengumpulkan makanan, yang tidak

26
mengeluarkan tenaga terlalu besar. Di samping itu, perempuan juga berperan
dalam mengurus anak-anak.

2. Perkembangan budaya masyarakat berburu

Dua hal yang sangat menentukan dalam sistem hidup berburu dan meramu
ini adalah alat-alat dari api. Guna membantu kegiatan-kegiatan pokok itu
diperlukan alalt-alat yang ampuh. Pembuatan alat-alat dari batu, kayu, tulang
dan tanduk merupakan kegiatan tersendiri yang semakin lama semakin menuju
ke arah penyempurnaan bentuk dan fungsi alat-alat itu.

Penguburan mayat mungkin sekali belum dilakukan oleh Pithecanthropus.


Pada kebanyakan tengkorak yang ditemukan tidak ditemukan dasar tengkorak
yang utuh. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa Pithecanthropus memakan
otak dan daging sesamanya, baik karena kepercayaan maupun hanya untuk
mencukupi kebutuhan dan makanan.

Bahasa sebagai alat komunikasi manusia sudah mulai terbentuk pada tingkat
hidup berburu. Untuk kegiatan-kegiatan berburu yang dilakukan bersama dan
dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan kelompok telah diciptakan
sejenis alat komunikasi melalui kata-kata, selain dengan tanda-tanda melalui
gerakan badan. Kemungkinan berkomunikasi dengan bahasa sederhana dapat
dibuktikan melalui penelitian endokranial pada Pithecanthropus. Pada tingkat
Homo sapiens telah tercipta bahasa yang menjadi alat komunikasi utama dalam
kehidupan sosial manusia.

B. Masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut

Kebudayan mesolitikum di Indonesia terutama sekali didapatkan bekas-


bekasnya di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan baru-baru ini di
Flores.dari peninggalan-peninggalan itu dapat diketahui bahwa manusia jaman
itu terutama masih hidup dari berburu dan menangkap ikan (food gathering),
seperti juga dalam jaman paleolitikum. Tatapi sebagian sudah mempunyai
tempat tinggal tetap, sehingga tidak mustahil bahwa bercocok tanam secara
kecil-kecilan dab sabgat sederhana sudah dikenal pula.

27
Keadaan bumi pada kala plestosen

Pada masa berlangsungnya hidup berburu tingkat lanjut di kala plestosen, corak
hidup yang berasal dari masa sebelumnyamasi berpengaruh. Keadaan lingkungan
hidup pada masa pasca plestosen tidak banyak berbeda dengan keadaan sekarang
ini. Hidup berburu dan mengumpul bahan-bahan makanan yang terdapat di alam
sekitarnya dilanjutkan. Ini terbukti dari bentuk alat-alatnya yang di buat dati batu,
tulang dan kulit kerang.

Masa glasial Wurm diperkirakan berakhir 20.000 tahun yang lalu. Pada kala
plestosen, kegiatan gunung api, gerakan pengangkata, dan pelipatan masih
berlangsung terus. Sekalipun pengandapan sungai-sungai dan letusan-letusan
gunung apimasih terus membentuk endapan-endapan aluvial,bentuk topografi
Kepulauuan Indonesia tidak banyak berbeda dengan topografi sekarang.
Perubahan-perubahan penting yang terjadi pada awal kala plestosen adalah
perubahannya iklim. Berakhirnya masa glasial menyebabkan berakhirnya musim
dingin dan iklim menjadi panas, dengan akibat semua daratan yang semula
terbentuk karena turunnya muka air laut, kemudian tertutup kembali, termasuk
Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Pengaruh fenomena itu terhadap kehidupan
diantaranya terputusnya hubungan antara Kepulauan Indonasia dan Daratan asia
Tenggara. Bagi hewan-hewan yang kemudian hidup terpencil disuatu pulau
misalnya di Timor, Flores, dan Samba terjadilah proses pengataian sebagai akibat
isolasi geografi maupun genetika.

Pengembangan kemampuan pembuatan artefak

Pada masa plestosen, bekembang tiga tradisi pokok penbuatan alat-alat di


Indonesia yaitu tradisi serpih bilah, tradisi alat tulang, dan tradisi kapak genggam
Sumatra. Alat-alat yang di buat pula dari kulit kerang, tetapi bentuk dan jumlahnya
tidak menonjol. Ketiga tradisi alat-alat itu ditemukan tidak berdiri sendiri, tetepi
alat yang lebih meonjol dari pada yang lainya. Persebaran meliputi Sumatra, Jawa,
Sulawesi, Bali, KepulauAN Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Maluku, dan Irian
atau Papua.

1. Serpih – bilah
28
Tradisi serpih bilah berkembang di beberapa daerah di Asia
Tenggara. Terutama di Indonesia, tradisi ini menonjol pada kala pasca
plstosen. Teknik pembuatan alat-alatnya melanjutkan teknik pada masa
sebelumnya tetapi bentuk alat-alatnya tampak lebih maju dalam berbagi
corak untuk bermacam kegunaan. Bahan yang di gunakan untuk mambuat
alat ini antara lain kalsedon, batu gamping, dan andesit.

2. Alat Tulang ( Kebudayaan Sampung )

Alat-alat tulang di temukan juga di gua-gua di daerah Hoabinh, yang


jumlah labih sedikit dibandingkan dengan jumlah kapak genggam Sumatra.
Selain itu, alat-alatnya tulang terdapat juga di bukit kerang di Da But,
Vietnam Utara, yang banyak manunjukkan persamaan dengan alat-alat
tulang dari Gua Sampung, dan merupakan jenis-jenis yang tidak di temukan
di Vietnam. Di Sampung, dan merupakan jenis-jenis yang tidak di temukan
di Vietnam. Di sinipun alat-alat tulang ditemukan dengan kapak genggam
Sumatra. Berdasarkan temuan-temuan di atas, Stein Callenfels berpendapat
bahwa tradisi alat-alat tulang berasal dari Vietnam Selatan dan Annam, yang
secara perlahan-lahan mendesak pemakaian alat-alat dari batu. Akhirnya,
tradisi alat-alat tulang itu mencapai daerah Jawa Timur dan di sini
berkembang labih lanjut di gua. Adapun temuan alat yang terkenal di
Jawa ialah di gua Lava, dekat Sampung,yang mula-mula mendapat
perhatian dari L.J.C. van Es, seorang ahli geologi, yang tertarik pada
pemenuan tulang-tulang binatang di tempat. Es telah menemukan pula
tradisi alat tulang yang serupa di Gua Lawa, di daerah Gunung Kendeng
dekat Bojonegoro. Di dua buah, yaitu Gua Kramat dan Gua Lawang dekat
Bander, di temukan lapisan budaya yang tidak begitu tebal yang
mengandung dua bentuk sudip tulang tipe Sampung dan sejumlah mata
panah bersayap yang di pangkas secara bifasial seperti di Sampung.
Ekskavasi di Gua Sodong di sebelah timur desa Puger, dilakukan oleh
Herkeren pada tahun 1931, dan dilanjutkan pada tahun 1935. Ekskavasi di
lakukan di tiga sektor, yaitu satu sector terletak di bagian bawah, sector ke

29
dua terletak 2cm lebih tinggi di atasntya, dan sector yang ke tiga di sebuah
ceruk di bagian belakng tembok gua.

3. Kapak Genggam Sumatra

Di Indonesia kapak genggam Sumatra di temukan terbesar di pantai


timur Sumatra Utara, yaitu di Lhok Seumawe dan Binjai (Tamiang). Baru-
baru ini menyusul lagi laporan-laporan mengenai temuan baru bukit-bukit
kerang di Aceh, yaitu di Sungai Yu, di Kejuruan Muda, dan di Jambur,
Labu, Langsa, yang sampai sekarang belum diselidiki dengan seksama.
Penemuan yang terpenting di bukit-bukit kerang itu adalah kapsk genggam
Sumatra. Mula-mula J.H. Neuman melaporkan pada tahun 1924 tentang
sesuatu penemuan kapak genggam Sumatra di Batu Kenong. Alat yang
dibuat dari batu andesit ini di kerjakan pada dua sisinya sehingga tajamnya
kelihatan bergelombang. Kemudian pada tahu 1927 L.C. Heyting
melaporkan pula tentang koleksi alat-alat serupa itu yang di temukan di
daerah Serdang Hilir.alat-alat ini dikerjakan pada satu sisinya saja. Laporan
tantang panemuan bukit kerang di daerah muara Sungai Tamiang dekat
seruwai, Bulu China, dan Tandes hilir di sebelah timur kota laut kota Medan
telah ada sejak 1970.

Masyarakat

1. Kehidupan Sosial Ekonomi

Dalam hidup yang bergantung sepenuhnya kepada alam lingkungan,


mereka telah menunjukkan pula keinginan untuk bertempat tinggal di dalam
gua-gua alam (caves) atau di gua-gua paying atau ceruk (rock shelters)
walaupun secar tidak menetap. Mereka memilih gua-gua yang tidak jauh
dari sumber air, atau di dekat sungai yang mengandung sumber-sumber
makan seperti ikan, kerang dan siput. Di gua-gua ini mereka melangsungkan
hidupnya, selama di lingkungan sekitarnya ini masih terdapat sumber-
sumber hidup yang mencukupi kebutuhannya. Situs ini aka di
tinggakkannya dan mereka akan berpindah tempat yang lain apabila di situs

30
yang pertama tadi tidak mungkin lagi untuk melamjutkan kehidupannya
akibat bahan-bahan makanan sudah berkurang. Demikian puladengan cara
hidup di situs-situs terdapat di pedalaman dan tepi pantai, mencari kerang,
binatang-binatang darat dan binatang-binatang laut menjadi kegiatan utama,
di samping berburu dan meramu.

Penemuan api dan perkembgan teknologi pertanian merupakan


proses pembaruan yang mrmbentuk dasar kebudayaan. Penggunaan api oleh
manusia tidak hanya menandai awal kehidupan social, tetapi juga akhirnya
melahirkan serentenan teknologi yang saling berhubungan. Hasil langsung
dari api yang penting adalah perntangan persediaan panga, karena sejumlah
pangan tidak dapat di makan (inedible), tidak enak rasanya (unpalatable),
atau tidak sehat (unhealthy) kalau tidak di masak terlebih dahulu. Bercocok
tanam dikerjakannya amat sangat sederhana dan dilakuka masih berpindah-
pindah menurut keadaan kesuburan tanahnya. Hutan yang akan di jadikan
tanah pertanian dirambah dahulu dengan sistem tebas-bakar. Di sini meraka
menanam umbi umbian seperti keladi sebab mereka belum mengenal cara
menanam biji-bijian. Mereka sudah menanam satu jenis padi yang di
dapatkan di hutan, dan kemidian mengetan dengan menggunakan pisau-
pisau batu yang tajam. Setelah musim panen selasai, lahan pertanian yang
sederhana itu akan ditinggalkannya. Mereka akan pindah ketempat yang
baru, dan sini mereka hidup seperti di tempat yang lama. Pada suatu mareka
akan mengambil lagi tempat yang pernah di tingglinya . suatu bentuk
pertanian yang sangat sederhana, yang dilakukan dengan pindah-pindah,
telah di temukan di kawasan Asia Tenggara.

2. Keadaan Spiritual

Lukisan-lukisan yang terdapat di dinding-dinding gua atau di


dinding-dinding karang menggambarka kehidupan social ekomoni dan
keprcayaan masyarakat pada kala itu. Sikap hidup manusia tergambar di
dalam lukisan-lukisan tadi, dan termasuk pula di dalamnya nilai-nilai
estetika dan magis yang berlainan dengan totem dan upacara-upacara yang

31
tidak diketahui dengan jelas. Cap tangan dengan latar belakang cat merah
mungkin mengandung arti kekuatan atau lambangkrkuatan pelindung untuk
mencgah roh jahat, dan cap-cap tangan yang jari-jarinya tidak lengkap
dianggap sebagai tanda dating berkabung.

Menurut Roder da Galis yang menyelidiki lukisan-lukisan di Irian


Jaya atau Papua, lukisan-lukisan itu bertalian dengan upacara-upacara
penghormatan nenek moyang, upacara penguburan, inisiasi, dan mungkin
juga untuk keperluan ilmu dukun, untuk meminta hujan dan kesuburan, atau
memperingati suatu kejadian yang penting. Selain lukisan-lukisan di dinding
gua atau di dinding-dinding karang, alam kepercayaan masyarakat pada
waktu itu terlihat juga dalam peristiwa atau upacara-upacara penguburan.
Bukti-bukti penguburab di temukan di Gua Lawa, Sampung dan di Gua
Sodong (Jawa Timur), serta di bukit kerang di Sumatra Utara. Dia antara
mayat-mayat itu ada yang ada di taburi dengan butur-butir oker merah.
Diduga bahwa bahan cat merah yang di taburkan ini berhubungan dengan
suatu upacara penguburan, dengan maksud memberikan kehidupan baru di
dalam baka. Cara hidup berburutingkat lanjut masih di ikuti oleh kelompok-
kelompok di beberapa tempat di masa-masa berikutnya. Sebagai contoh,
unsur-unsur dari masa-masa berukutnya (mata panah, gerabah polos atau
berhias, benda-benda perunggu, dan lain sebagainya) di temukan bercampur
dengan sejumlah artefak milik masyarakat berburu atau di temukan di
lapisan-lapisan teratas dalam kegiatan ekskavasi.

3. Lukisan Dinding Gua

Penemuan lukisan dinding gua pertama kali di daerah Sulawesi


Selatan untuk pertama kalinya dilakukan oleh C.H.M. Heeten-Palm pada
tahun 1950 di Leang PattaE. Di gua ini di temukan cap-cap tangan dengaa
latar belakang cat merah. Barang kali in adalah cap-cap tangan kiri
perempuan. Adapun cap-cap tangan tangan ini di buat dengan cara
merentangkan tangan jari-jari tanga itu di dinding gua kemudian di taburi
dengan cat merah. Dalam penyalidikan di Gua Burung oleh Heekeren juga

32
menemukan pula cap-cap tangan yang letaknya kira-kira 8m di atas
permukaan tanah. Inipun semuanya cap-cap tangan kiri. Di dinding-dinding
yang lain terdapat pula cap-cap tangan, tetapi agak pudar warnanya dan
tidak mungkin diteliti dari dekat sehingga tidak dapat di pastikan jumlahnya.

Selanjutnya oleh C.J.H. Franseen menemukan cap-cap tangan di


sebuah gua dekat Sarippa, yang kemudian di beri nama Gua JariE.
Berdasarkan laporan ini Heekeren melakikansuatu penyelidikan di gua
tersubut bersama Freseen, dan ditemukan cap-cap tangan sebanyak 29 buah,
yang terdiri dari empat kelompok. Kelompok pertama ada dua buah,
masing-masing terdiri dari 7 dan 5 buah cap tangan dengan latar belakang
warna merah. Kelompok ke dua terdiri dari empat buah cap tangan, satu
diantaranya mempunyai 4 jari, dan yang lain ada yang hanya mempunyau 3
jari. Kelompok ketiga masing-masing terdiri dari 4 dan 5 buah, di antaranya
ada yang tidak beribu jari. Kelompok keempat adalah 4 buah cap tangan. Di
dinding luar gua itu terdapat pula lukisan lengan bawah, tetapi agak kurang
jelas. Penemuan lainnya adalah di Leang Lambattorang,sekitar Maros, yang
telah ditinjau oleh Soejono dan Mulvaney. Di sini ditemukan juga lukisan
babi rusa dan tiga buah cap tangan. Di bagian lain dari dinding gua ini di
temukan cap-cap tangan sebanyak 40 buah. Di sekitar situs itu, Leang
PattaE Kere, ditemukan pula gambar-gambar babi rusa disini ada yang
panjangnya kira-kira 1meter.

Seni cedas yang paling manarik terdapat di Gua Tamrin dan Gua
Ham karena begitu banyak gambar di dalamnya. Gua Tamrin yang terletak
di dekat sungai Marang, kira-kira 50 meter di atas permukaanya, memiliki
sejumlah lukisan penari bertopeng yang mempunyai seluruh bagian
kepalanya. Lukisan tersebut mirip dengan tarian adat yang masih
berlangsung pada beberapa suku Irian. Sementara itu, di Gua Ham
ditemukan pola lainnya seperti penari, tapir, rusa, dan tumbuh-tumbuhan.
Chazine berpendapat bahwa pola cap tangan yang dijumpai dalam sebuah
gua tersebut merupakan yang paling banyak di dunia.

33
C. Masa bercocok tanam
A. Manusia
1. Ciri-ciri
Tidak diketahui secara pasti ciri-ciri manusia yang berdiam di
indonesoa pada masa ini. Oleh sebab itu, kekosongan dalam pengetahuan
tentang manusia periode ini kita coba isi dengan memperhatikan sisa-sisa
manusia dari masa tersebut dari negeri tetangga seperti Thailand, Vietnam
dan Malaysia. Yang kita selidiki adalah perubahan-perubahan dari manusia
di masa berburu tingkat lanjut ke manusia di masa perundagian dan sedikit
rangka yang fragmentaris dari masa Megalitik.
Di Thailand pada masa itu populasi sudah memperlihatkan ciri-ciri
Mongoloid yaitu bentuk kepala bundar, muka lebar dan gigi seri
menembilang. Di Indonesia bagian barat penduduk pada masa bercocok
tanam ialah Mongoloid sedangkan yang di Indonesia bagian timur
pendudunya lebih dipengaruhi oleh unsur-unsur Austramelanesid.

2.Populasi
Di masa bercocok tanam kelompok manusia sudah lebih besar karena
pertanian dan peternakan dapat memberi makan penduduk dalam jumlah
yang lebih besar. Kepadatan penduduk lambat laun meningkat menjadi 2 per
km2. Makanan yang dihasilkan lebih banyak dan teratur. Dengan bertani,
kira-kira 3% dari tenaga yang dikeluarkan setiap hari sudah cukup untuk
menghasilkan makanan. Anak dalam jumlah yang banyak menguntungkan
masyarakat pertanian karena dapat membantu dalam berbagai kegiatan
Anak bukanlah beban karena pada umur yang muda sudah produktif. Tidak
heran pada masa bercocok tanam jumlah anak dalam tiap keluarga lebih
banyak dari masa sebelumnya.
B. Peningkatan Kemampuan Membuat Alat
1. Beliung Persegi
2. Kapak Lonjong
3. Alat-alat Obsidian
4. Mata Panah

34
5. Gerabah
6. Alat Pemukul Kulit Kayu
7. Perhiasan
C. Masyarakat Bertani
1. Kehidupan Sosial-Ekonomi
Dari bukti alat-alat yang ditemukan, tampak jelas bahwa cara hidup
berburu dan mengumpul makanan berangsur-angsur ditinggalkan
masyarakat mulai menunjukkan tanda-tanda menetap di suatu tempat serta
mengembangkan penghidupan baru berupa kegiatan bercocok tanam
sederhana dan penjinakkan hewan tertentu. Perubahan tata kehidupan yang
ditandai oleh perubahan cara memenuhi kebutuhan hidup berlangsung
secara perlahan-lahan, demikian pula pada bentuk tempat-tempat tinggal.
Ada kemungkinan bahwa pada masa itu telah berbentuk desa-desa kecil
semacam pendukuhan. Pada tiap dukuh terdapat beberapa tempat tinggal
yang dibangun secara tidak beraturan.

Sesuai dengan gelombang persebaran tradisi neolitikum di Indonesia


pada tingkat permulaan kegiatan bercocok tanam telah dapat menghasilkan
keladi, ubi, sukun, pisang, manggis, rambutan, duku, salak dan mungkin
kelapa. Jenis hewan pun semakin banyak dikenal, misalnya ayam dan
kerbau yang pada umumnya digunakan sebagai hewan kurban.
Pada masa bercocok tanam, diperkirakan telah muncul bentuk
perdagangan yang bersifat barter. Barang-barang yang ditukarkan itu
diangkut dalam jarak yang jauh, melalui sungai, laut dan darat. Perahu dan
rakit-rakit bambu memegang peran yang sangat penting sebagai sarana lalu
lintas perdagangan dan sekaligus alat penyebar budaya
2. Kehidupan Sosial-Budaya

Gotong royong merupakan kewajiban yang sama-sama dirasakan


keperluannya oleh setiap anggota masyarakat. Menebang hutan, membakar
semak belukar, menabur benih, memetik hasil, membuat gerabah kegiatan
tukar menukar, berburu dan menangkap ikan dilakukan secara gotong
royong. Meskipun demikian, pembagian kerja antara kaum perempuan dan
kaum leaki-laki sudah tampak Menangkap ikan di daerah yang dekat dengan
tempat tinggal (sungai, rawa) dilakukan oleh perempuan dan anak-anak

35
sedangkan menangkap ikan dilaut lepas dikerjakan oleh laki-laki. Para
perempuan juga membuat gerabah. Laki-laki membuka lahan untuk
bercocok tanam, para perempuan menyiapkan lubang-lubang untuk
ditanami benih dan jika sudah masa panen para perempuan bergotong
royong untuk memanen. Kaum laki-laki membangun rumah tempat tinggal
dan perempuan merawat rumah itu serta memberi dekorasi yang menarik.
Memelihara bayi dan anak-anak dibawah umur dilakukan oleh kaum
perempuan.

D. Pemujaan Nenek Moyang


1. Konsepsi Kepercayaan
Upacara yang paling mencolok adalah upacara pada waktu
penguburan, terutama bagi merekayang dianggap terkemuka oleh
masyarakat. Pelaksanaan penguburan dilakukan dengan cara langsung dan
tidak langsung, ditempat yang sering dihubungkan denagn asal-usul anggota
masyarakat atau tempat-tempat yang sudah dianggap sebagai tempat tinggal
nenek moyang. Gagasan hidup diakhirat berisi: keistimewaan yang belum
atau sudah didapatkan di dunia fana, hanya akan dapat dicapai di dunia
akhirat berdasarkan perbuatan-perbuatan amal yang pernah dilakukan
selama hidup manusia, ditambah dengan besarnya upacara kematian yang
pernah diselenggarakan.

2. Tradisi Megalitik
Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan
kepercayaan akan adanya hubungan antara hidup dan yang mati, terutama
kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap
kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Jasa dari seorang kerabat
yang telah mati diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar.
Bangunan ini kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah,
dan sekaligus menjadi lambang si mati.

36
3. Pengaruh terhadap Perkembangan Masyarakat

Konsepsi pemujaan nenek moyang melahirkan tata cara menjaga


tingkah laku masyarakat di dunia fana supaya sesuai dengan tuntunan hidup
di akhirat selain menambah kesejahteraan di dunia fana. Pengetahuan
teknologi yang berguna dan nilai-nilai hidup terus berkembang, antara lain,
pembiakan ternak, pemilihan benih-benih tanaman, dan penemuan alat-alat
baru yang lebih cocok untuk keperluan sehari-hari semakin bertambah.
Batas antara segi profan dan sakral tidak begitu jelas.

4. Bangunan Megalitik

Bangunan megalitik dapat ditemuan di seluruh Kepulauan Indonesia.


Maksud pendirian bangunan tersebut tidak luput dari latar belakang
pemujaan roh nenek moyang serta pengharapan akan kesejahteraan dan
kesempurnaan pada orang yang sudah mati.

D. Masa Perundagian
Penduduk

1. Sisa-sisa Manusia
Di masa ini manusia yang mendiami Indonesia dapat kita ketahui melalui
berbagai penemuan-penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat. Yang
terpenting diantaranya ialah temuan di Anyer Lor (Jawa Barat), Puger (Jawa
Timur), Gilimanuk (Bali), oleh karena bagian-bagian rangka yang relatif
utuh banyak jumlahnya atau sisa budayanya ditemukan bersama rangka.
2. Populasi Lokal
Di masa perundagian ini perkampungan sudah lebih besar, dengan
bersatunya beberapa kampung, atau terjadinya desa-desa besar, tempat
orang-orang dari daerah pertanian di sekitarnya melakukan perdagangan.
Denagn demikian, kelompok penduduk makin bertambah besar. Di
Gilimanuk misalnya, pada suatu saat diperhitungkan ada sekitar 300
penduduk. Jumlah orang yang mencapai usia tua semakin meningkat dan
kebanyakan adalah laki-laki.

37
A. Kemahiran Membuat Alat
1. Benda-benda Perunggu
2. Kapak Perunggu
3. Bejana Perunggu
4. Patung Perunggu
5. Perhiasan Perunggu
6. Senjata dan Benda-benda Perunggu Lainnya
7. Benda-benda Besi
8. Gerabah
9. Manik-manik
B. Masyarakat
1. Kehidupan Sosial-Ekonomi
Pada masa perundagian manusia Indonesia di desa-desa di daerah
pegunungan, dataran rendah, dan tepi pantai dalam tata kehidupan yang
makin teratur dan terpimpin. Kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam
bidang teknologi bertujuan meningkatkan kesejahteraan kehidupan serta
terdapatnya surplus dalam memenuhi kebutuhan hidup, megakibatkan
meningkatnya jumlah penduduk. Perdagangan sudah dilakukan antar pulau
di Indonesia dan dengan Asia Tenggara. Perahu bercadik memainkan peran
yang sangat besar dalam proses perdagangan. Perdagangan dilakukan
dengan cara menukar barang yang dibutuhkan tiap-tiap pihak. Benda-benda
tukar yang digemari ialah benda-benda yang mengandung arti magis dan
bersifat khas. Sedangkan di wilayah Asia Tenggara barang yng
diperdagangkan kebnyakan adalah jenis rempah.
2. Kehidupan Sosial-Budaya
Yang menonjol pada masa perundagian ini adalah kepercayaan kepada
pengaruh nenek moyang terhadap perjalanan hidup manusia dan
masyarakatntnya. Karena itu arwah nenek moyang harus selalu diperhatikan
dan dipuaskan melalui upacara-upacara adat. Demikian pula dengan orang
yang sudah meninggal diberikan penghormatan dan persajian selengkap
mungkin dengan maksud mengantar arwah denagn sebaik-baiknya ketempat

38
tujuan yaitu ke dunia arwah. Penguburan orang yang meninggal
dilaksanakan secara langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder).

Sisa-Sisa Kehidupan Prasejarah


A. Penduduk
Arus gen Mongoloid kelihatan terus bertambah, terutama di daerah barat
dan utara, dan unsur rasial Austromelanesid terutama dihimpun di daerah
timur dan selatan. Arus gen Kaukasoid yang tidak terlalu mencolok berasal
dari Arab, India, Portugis, Inggris, dan Belanda. Populasi bertambah dengan
begitu pesat dengan pemusatan di daerah-daerah yang subur, tempat
terdapatnya pusat-pusat pertanian yang mampu menampung populasi yang
lebih besar. Tetapi masih ada populasi kecil yang tersebar di pulau-pulau di
indonesia yang menyebabkan arus gen dan hibridasi tidak merata. Jumlah
anak rata-rata tidak banyak berbeda dengan di masa sebelumnya, meskipun
angka anak-anak menurun sedikit demi sedikit. Akil baligh datang pada
umur 12,5-14,5 tahun pada perempuan dn 15 tahun pada anak laki-laki.
Umur harapan meningkat ke sekitar 40-50 tahun.
B. Tradisi Hidup Bercocok Tanam
Di beberapa tempat di Indonesia masih terdapat cara-cara membuat
gerabah yang meningkatkan kita kepada teknik yang dikenal pada masa
bercocok tanam.
Bukti lain tentang sisa-sisa kehidupan prasejarah masa kini ialah pakaian
yang dibuat dari kulit kayu yang masih dapat kita saksikan di Sulawesi
Tengah . Kruyt telah mengumpulkan beberapa data penting tentang hal ini.
Rumah-rumah tempat tinggal pada masa bercocok tanam dibangun diatas
tiang dengan ukuran besar serta berbentuk persegi panjang. Corak rumah-
rumah tersebut masih dapat kita temui di Kalimantan bagian utara yang
didiami oleh orang-orang Dayak Ot-Siang dan Murung.
Kegiatan perladangan masih dilakukan orang-orng Dayak di Maanyam,
Ngaju, dav Ot-Danum yang mengingatkn kita kembali pada cara berladang
di zaman dahulu.
C. Tradisi Megalitik

39
Tradisi megalitik yang muncul pada masa bercocok tanam mulai meluas,
tidak ketinggalan terus menerus menghayati setiap corak budaya yang
amsuk di Indonesia. Bentuk-bentuk menhir, batu lumpang, batu dakon, serta
susunan batu berundak masih banyak diperlihatkan di kuburan-kuburan
Islam maupun Kristen, Seperti yang terdapat di Sulawesi Selatan, Flores,
dan Timor. Sebuah nisan dari kuburan Islam yang menyerupai bentuk
menhir setinggi 0,5 m atau lebih seperti terdapat di Pulau Barang Lompo
dan Soppeng.
D. Tradisi Penguburan
Penguburan masih dilakukan secara langsung maupun tidak langsung
menggunakan wadah atau tanpa wadah. Wadah yang digunakan dapat
terbuat dari bahan kayu atau kayu utuh yang dilubangi: batu tempayan,
kubur silindris, batu besar yang dilubangi, dolmen, peti kubur dan
sebagainya; disimpan dalam ceruk, gua, batu besar yang dibuat ceruk, dan
sebagainya.

Penguburan langsung dilakukan denagn meletakkan yang meninggal


dalam posisi membujur atau terlipat seperti yang terdapat di Sabu, Ngada,
Timor, Seram dan lain-lain.

E. Perkampungan Lama
Perkampungan lama atau adat pada umumnya ditandai oleh:
1. sebuah rumah (sering juga bergabung dengan rumah kepala adat/suku)
2. halaman yang luas di depan rumah adat
3. mempunayi tempat untuk mesbah (pemujaan atau upacara)
4. mempunyai sumber air (minum dan keperluan lain)
5. mempunyai tempat pencaharian (ladang, kebun, hutan, laut, sungai, dan
danau)
Di beberapa desa lama di Nusa Tenggara Timur di tengah halaman dibuat
lingkaran yang disusun dari batu tempat mereka melakukan upacara kurban
(binatang).

40
BAB IV

PENUTUP

Di dalam prasejarah terdapat periodisasi (perkerangkaan prasejarah).


Tujuan dari perkerangkaan ini adalah untuk memahami masa lampau dalam
kerangka dimensi waktu. Memahami perkerangkaan dari konsepsi lama dan
konsepsi baru. Mengingat sifat sejarah yang diakronis artinya mengalami
pemanjangan dalam waktu. Maka dibentuklah perkerangkaan zaman
prasejaraholeh para sejarahwan tersebut. Konsepsi Lama atau yang biasa
disebut dengan konsep teknologi yang dibuat, namun dipergunakan
sementara karena sesuai perkembangan waktu itu dianggap tidak sesuai
melainkan dengan adanya Konsepsi baru atau biasa disebut Konsepsi
Sosial-Ekonomis dianggap lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia saat ini.
Masa prasejarah Indonesia menghasilkan berbagai macam tradisi,
mengingat masih banyak juga tradisi yang berlanjut sampai saat ini
contohnya saja penggunaan batu untuk alat memasak yaitu cobek juga
masih digunakan sampai saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi-tradisi
prasejarah tidak berhenti pada saat pergantian masa melainkan masih
berlanjut dan masa yang akan datang.

41
DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro Marwati Djoened & Notosusanto Nugroho, 2008. Sejarah Nasional


Indonesia I. _____: Balai Pustaka.

Soejono. R.P.2000.Tinjauan Tentang Perkerangkaan Prasejarah Indonesia.


_____:Departemen Pendidikan Nasional Pusat Arkeologi.

Soekmono. R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit


Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai