Anda di halaman 1dari 29

BAB 2 MIKROSKOP POLARISASI

Macam mikroskop ini berbeda dengan mikroskop binokular yaitu yang dipakai pada bidang biologi,
kedokteran, atau bidang lain, yang bersifat hanya memperbesar benda yang diamati. Mikroskop polarisasi
memakai cahaya yang terbias dan bukan terpantul : mikroskop polarisasi pantulan yang dipakai untuk
mengamati mineral tak tembus cahaya tidak dibahas dalam tulisan ini. Perbedaannya mikroskop polarisasi
dilengkapi bagian-bagian yang tak dimiliki oleh mikroskop binokular biasa, antara lain :

a) Lensa Amici-Bertrand yang terletak pada tubus mikroskop


b) Analisator terletak diatas lensa obyektif
c) Polarisator yang berbeda dibawah meja obyek berfungsi untuk membuat cahaya yang terpola
risir/terkutup
d) Skala laterial dengan pembagian 0 sampai 360 derajat yang berada pada pinggir meja obyek, dimana
meja obyek dapat diputar pada sumbu vertical. Perputaran meja obyek dapat dibaca pada skala
tersebut dan diberikan pembacaan teliti pada noniusnya.
e) Lobang kompensator, dimana sebagai peralatan tambahan dilengkapi dengan keping gips, keping mika
atau baji kwarsa sesuai dengan jenis pengamatan yang ingin dilakukan.
f) Lensa kondensor yang terletak dibawah meja obyek pada “substage unit”.

2:1 BAGIAN-BAGIAN DAN FUNGSINYA DARI MIKROSKOP POLARISASI

Bagian-bagian dari mikroskop polarisasi akan dibahas satu demi satu, mulai dari bagian paling bawah
sampai yang paling atas. Pada gambar 2:1 dan 2:2 di perlihatkan dua tipe mikroskop yang berbeda. Mikroskop-
mikroskop yang dipakai di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada termasuk dua
tipe Bausch & Lomb Incorporated, Rochester, NY, USA (model LM 5927 dipergunakan untuk penelitiandan
yang lain untuk mahasiswa), dua tipe Reichert (No. 342 484 untuk penelitian dan model lain untuk mahasiswa)
dan satu tipe olimpus PM-10-A yang mirip dengan tipe 2 pada tipe 2:2.

Tipe Bausch & Lomb yang dipakai untuk penelitian adalah mirip dengan tipe 1 (gambar 2:1) dengan
perbedaan bahwa sekrup pengatur ketinggian “substage unit”-D1 terdapat pada sebelah kiri mikroskop dan
sekrup untuk memasang kondensor terdapat pada sebelah kanan “substage unit”.

Tipe Bausch & Lomb yang dipakai oleh mahasiswa merupakan mikroskop polarisasi yang paling
sederhana: “substage unit” terdiri dari polarisator yang terletak diatas diafragma iris dan keduanya tidak dapat
dinaik-turunkan; lensa Amici-Bertrand tidak ada dan arak lensa obyektif dan peraga diatur dengan tubus
mikroskop dinaik-turunkan memakai sekrup pengatur fokus yang kasar yang terletak pada bagian atas lengan
mikroskop dan sekrup pengatur fokus yang halus dengan skalanya yang terletak pada baian bawah lengan
mikroskop : obyektif dipasang pada kepala putaran.

Tipe mikroskop Reichert (No.342 484) adalah mirip dengan tipe mikroskop yang ditunjukkan pada
gambar 2:2, dengan perbedaan bahwa sekrup pengatur fokus yang halus tidak ada; untuk merubah ketinggian
meja obyek secara halus, sekrup pengatur fokus yang kasar digerakkan ke belakang-muka pada jalan yang
horizontal. Juga untuk memasang kondensor dipakai suatu lengan yang digerakkan ke belakang-muka. Lensa
Amici-Bertrand dipasang dengan suatu lengan yang ditarik-dorong.

Mikroskop Reichert yang dipakai oleh mahasiswa adalah mirip dengan tipe pada gambar 2:1, dengan
perbedaan bahwa obyektif-obyektif dipasang pada kepala putaran, sekrup pengatur ketinggian “substage
unit” terdapat pada sebelah kiri mikroskop, dan lensa kondensor tidak dapat diayunkan keluar dari jalan
cahaya.

Pada semua mikroskop yang dipakai di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, terkecuali
Bausch & Lomb (LM5927) dan Olympus PM-10-A yang harus dipusatkan adalahmeja obyek bukan obyektif
masing-masing.

Bagian-bagian mikroskop polarisasi dan fungsinya (huruf-huruf terdapat pada gambar 2:1 dan 2:2)
adalah sebagai berikut:

A. Kaki mikroskop (“microscope base”)


Sebagai tempat tumpuan dari seluruh bagian-bagian; bentuknya ada yang bulat atau seperti tapal
kuda.
B. Tangan mikroskop (“microscope arm”)
Ada yang terbentuk melengkung atau miring. Lengan ini untuk memegang tubus mikroskop dengan
perlengkapannya; juga untuk dipegang secara kuat oleh orang yang ingin memindahkan mikroskop
dari satu tempat ke tempat yang lain. Pada mikroskop tipe 1 (gambar 2:1) diantara kaki dan lengan
dipasang sebuah klem sendi –B1 ; bila dikendorkan lengan mikroskop dapat diatur miring atau tegak
sesuai dengan keinginan pemakai. Bila kedudukan sudah sesuai, baru klem sendi
dikeraskan/dikencangkan. Pada beberapa tipe mikroskop, kemiringan lengan diatur pada sendi
dengan cara memaksa saja: klem yang harus dikendorkan kemudian dikeraskan tidak ada.

Pada mikroskop tipe 1 dibagian atas dari lengan terdapat sekrup pengatur fokus yang kasar (“coarse
focus adjustment”) dan sekrup pengatur fokus yang halus (“ fine focus adjustment”) –B2 dan B3 secara
terpisah. Sekrup pengatur fokus ini dipakai untuk menaik-turunkan tubus mikroskop dan dengan demikian
mengatur jarak lensa obyektif dengan peraga. Pada mikroskop tipe 2 (gambar 2:2) kedua sekrup pengatur
fokus dihimpun menjadi satu tempat pada bagian bawah dari lengan mikroskop. Sekrup pengatur fokus tipe
ini berfungsi untuk menaik-turunkan meja obyek. Sekrup pengatur fokus yang halus saling memilik pembagian
skala, gunanya untuk mengukur selisih ketinggian kedudukan obyektif.
Gambar 2:1 mikroskop polarisasi tipe 1 dengan bagian-bagiannya: A: kaki; B:lengan; B1: klem sendi; B2:
sekrup pengatur fokus yang kasar; B3: sekrup pengatur fokus yang halus; C: cermin; D: “substage unit”;
D1: sekrup pengatur ketinggian “substage unit”; E: polarisator; F: diafragma iris; G1: sekrup pengatur
untuk memasang atau mengeluarkan kondensor; G2: sekrup pemusat kondensor; H: meja obyek; H1:
nonius; H2: sekrup; J: lengan pengatur obyektif; K: obyektif; K1: pensator; M: analisator; N: lensa Amici-
Bertrand; O: okuler (diambil dari Phillips, 1971 dengan perubahan).
Gambar 2:2 mikroskop polarisasi tipe 2 dengan bagiab-bagiannya: A: kaki; B: lengan; C1: sumber cahaya; D:
“substage unit”; D1: sekrup pengatur ketinggian “substage unit”; E: polarisator; E1: lengan untuk memutar
polarisator; F: diafragma iris; G: lensa kondensator; G1: sekrup pengatur untuk memasang atau
mengeluarkan kondensor; G2: sekrup pemusat kondensor; H: meja obyek; H1: nonius; H2: sekrup untuk
mengunci meja obyek; H3: sekrup pengatur fokus yang halus; H4: sekrup pengatur fokus yang kasar; I:
tubus mikroskop; J1: kepala putaran; K: lensa obyektif: K2: dua gelang untuk memusatkan obyektif; L:
lobang untuk kompensator; M: analisator; N: lensa Amici-Bertrand; O: okuler (diambil dari Phillips, 1971
dengan perubahan).
C. Cermin (“mirror”) yang biasanya terdiri dari crmin datar dan cermin cekung untuk menangkap dan
meneruskan sinar yang mula-mula datang dari cahaya lampu atau datang langsung dari luar yang
kemudian dipantulkan menuju ke dalam sistim optic mikroskop. Cermin cekung dapat menerima sinar
lebih banyak yang datang dari sumber sinar yang baur (“diffuse”) yang kemudian dipantulkan sebagai
suatu kerucut iluminasi yang tidak simetris (“asymmetrical cone of illumination”). Cermin datar
memantulkan sinar sesuai dengan yang diterima, tidak menghasilkan konsentrasi atau dispersisinar
datang. Pada mikroskop tipe 2 (gambar 2:2) ermin terletak di dalam kaki mikroskop, tidak kelihatan;
sumber cahaya ditunjukkan oleh C1.
D. Di atas cermin terdapat suatu pasangan yang terdiri dari polarisator, diafragma iris dan kondensor
yang disebut “substage unit”. Bagian “substage” ini dapat di-naik-turun-kan dengan sekrup pengatur
yang terletak disamping kanan bagian itu –D1. Dalam pengamatan konokospik “substage” dinaikkan
maximum, sedang dengan ortoskop ketinggiannya tergantung kepada perbesaran obyektif yang
dipakai disamping sifat apa yang akan diperhatikan. Bila dipakai lensa obyektif yang perbesarannya
minimum, maka “substage” diturunkan. Tetapi bila dipakai lensa obyektif yang perbesarannya
maximum, “substage unit” dinaikkan serta diafragma iris sebagian ditutup, sehingga kemampuannya
akan bertambah. Pada gambar 2:5 ditunjukkan “substage unit” dari mikroskop carl zeiss. Dalam
mikroskop Bausch & Lomb yang dipakai oleh mahasiswa :substage unit” ini hanya terdiri dari
polarisator dan diafragma iris; juga tidak dapat diatur naik-turun.
E. Polarisator (“lower nicol or polarizer”) yang terdiri dari suatu lembaran polaroid yang telah dibuat oleh
pabrik, fungsinya menyerap cahaya secara memilih dan kuat (“selective absorption”), sehingga hanya
cahaya yang bergetar pada satu arah bidang datar saja dapat diteruskan. Didalam mikroskop lembaran
polaroid ini diletakkan sehingga arah getaran sinarnya sejajar dengan salah satua arah benang silang:
N-S atau E-W pada mikroskop yang dipakai di Jurusan teknik Geolog, Fakultas Teknik, Universitas
Gadjah Mada, polarisator diatur sehingga arah getarannya terletak E-W (lihat BAB 2:2b) seperti
ditunjukkan pada gambar 2:5 polarisator pada beberapa tipe mikroskop dapat diputar secara
horizontal memakai suatu lengan-E1; juga dapat dikeluarkan dari jalan cahaya dengan memakai –E2.

Kadang-kadang yang dipergunakan sebagai polarisator atau analisator (lihat M) adalah prisma
nikol (“nicol prism”) seperti diperlihatkan pada gambar 2:3.
Gambar 2:3 menunjukkan kejadian pada cahaya ekawarna sambil merambat melalui suatu prisma
nikol yang dibuat dari sebuah romb kalsit yang terbelah secara diagonal dilekat kembali memakai
semen balsam kanada (n=1,537). Maksud dengan sinar biasa dan sinar luar biasa diterangkan dengan
bab 4:4 (diambil dari Kerr, 1959 dengan perubahan).
F. Diafragma iris (“iris diaphragm”) terdapat diatas polarisator pada “substage unit”. Alat ini dipakai
untuk mengatur banyak sedikitnya cahaya yang diteruskan, yang merupkan factor penting dalam
menentukan intensitas cahaya yang diterima oleh mata si pengamat, dengan cara mengurangi atau
menambah besarnya aperture diafragma iris, maka jumlah cahaya yang diterima oleh biji mata akan
dirubah. Karena kemampuan mata dalam memecahkan problema optil sebagian tergantung pada
panjangnya garis tengah biji mata pengamat. Maka penting intensitas cahaya diatur sesuai dengan
kemampuan yang maksimal.
G. Kondensor (“condenser”) terletak pada bagian paling atas dari “substage unit”. Kondensor terdiri dari
lensa cembung untuk memberikan cahaya memusat yang datang dari cermin di bawahnya (lihat
gambar 2:4). Pada mikroskop tipe 1 dan 2 bagian ini dapat diayunkan kea rah keluar atau masuk,
sehingga dapat diatur hilang atau berpengaruhnya terhadap cahaya yang masuk. Pada gambar 2:1
lensa kondensor tidak kelihatan karena pengamatannya terhalang oleh adanya meja obyek; yang
kelihatan hanya sekrup pengatur dari kondensor lebih jelas pada gambar 2:5. Disamping lensa
kondensor yang dapat diayunkan keluar dari jalan cahaya, juga terdapat lensa kondensor yang tepat
pada tempatnya –G3. Pada mikroskop Reichert yang dipakai oleh mahasiswa kondensor hanya terdiri
dari lensa yang tepat pada tempatnya.

“Substage unit” yang memegang kondensor dapat dinaik-turunkan memakai sekrup pengatur
–D1. Seperti dijelaskan pada D, ketinggian lensa kondensor harus disesuaikan dengan pemakaiannya:
untuk pengamatan konoskopik atau ortoskopik memakai obyektif perbesaran maximum, maka
kondensor harus diletakkan pada ketinggiannya paling atas; juga hasil terbaik dicapai bila harga
aperture numeric (“numerical aperture”= n sinus 𝜇 , dimana n adalah harga index bias untuk udara
dan 𝜇 adalah setengah sudut dari kerucut cahaya yang diatas lensa kondensor; lihat gambar 2:4) pada
lensa kondensor sama atau hampir sama dengan aperture numeric pada lensa obyektif yang dipakai.
Jika dipergunakan lensa obyektif dengan perbesaran yang sedang atau minimum, maka kondensor
diturunkan atau dikeluarkan dari jalan cahaya memakai G1.

Pada gelang untuk memegang kondensor =G4 terdpat dua sekrup pemusat kondensor =G2.
Fungsi kondensor dibahas leboh lanjut pada bab 7:1.
Gambar 2:4 Lensa kondensor. Cahaya yang terpolarisir sampai pada batas lensa kondensor, kemudian
dibiaskan; terbentuk kerucut cahaya diatas lensa kon= n (index bias udara) sinus 𝜇.
Gambar 2:5 “Substage unit” dari mikroskop Carl Zeiss: terdiri dari polarisator (E), lengan untuk
memutar polarisator (E1), lengan untuk mengeluarkan polarisator (E2), gelang untuk memegang
kondensor (G4), sekrup untuk memusatkan kondensor (G2), diafragma iris (F), lensa kondensor yang
tepat pada tempatnya (G3), lensa kondensor yang dapat diayunkan (G) dan sekrup pengatur untuk
memasang lensa kondensor (G1) (diambil dari Phillips, 1971 dengan perubahan).

H. Meja obyek, betuknya sebagai piring yang tengahnya berlubang untuk jalan cahaya masuk. Piringan ini
dapat berputar pada sumbunya yang vertical. Pada tepi meja obyek diberi pembaian skala derajad
daro 0° − 360° dan dilengkapi pula dengan nonius-H1. perputaran meja obyek melalui sudut yang dapat
dibaca pada tepinya sejak awal sampai akhir pemutaran. Pembacaan teliti dipergunakan nonius. Agar
meja tidak bergerak berputar dipergunakan sekrup yang terletak di dekat nonius –H2.

Pada meja obyek terdapat beberapa lubang yaitu untuk menempatkan penjepit peraga (“stage
clips”) dua buah dan lubang lain tempat “mechanical stage” (gambar 2:6) suatu alat untuk
menggerakkan peraga pada dua arah yang saling tegak lurus. Selai itu pada mikroskop penelitian
diumpai lubang untuk mendudukkan “universal stage”, suatu alat yang dapat memutar peraga sesuka
peneliti (berputar dalam ruang).

Penjepit peraga perlu dipergunakan terutama bila dipakai lensa obyektif dengan perbesaran
maximum, karena gerakan yang sedikit saja sasaran yang akan diamati mudah hilang dari medan
pandangan.

Pada kedua tipe mikroskop Reichert serta tipe Bauch & Lomb yang dipakai oleh mahasiswa
pada tepi meja terdapat dua sekrup pemusat, gunanya untuk mengatur agar sumbu putaran meja
terletak tepat benar pada perpotongan benang silang pada lensa okuler. Kondisi ini harus diatur
sebelum mikroskop ini dipergunakan. Pada mikroskop tipe lain sekrup pemusat merupakan bagian
dari obyektif. Jadi pengaturannya sedikit berbeda karena letak sekrup pemusat tersebut.
Gambar 2:6 Meja mekanis (“mechanical stage”) yang dipasang pada meja obyek untuk memperlancar
perhitungan butir-butir atau titik-titik pada peraga yang dipegang oleh alat penjepit (menurut Phillips,
1971).

Pada mikroskop tipe 2 (gambar 2:2) ketinggian meja obyek ( dengan demikian jarak antara
lensa obyektif dan peraga) diatur dengan sekrup pengatur fokus yang terletak pada bagian bawah
lengan mikroskop. Sekrup pengatur fokus yang halus dengan skalanya –H3 menjadi satu tempat
dengan sekrup pengatur fokus yang kasar –H4.

I. Tubus mikroskop (“microscope tube”) terletak diatas meja obyek sebagai teropong. Bagian ini terdiri
dari tempat memegang obyektif, lobang kompensator (“compensator or accessory plate”), analisator,
lensa Amici-Bertrand dan tempat lensa okuler. Pada mikroskop tipe 1 tubus ini dapat dinaik-turunkan
dengan pertolongan sekrup pengatur fokus (B2 dan B3). Sekrup ini untuk mengatur jarak obyektif
dengan peraga hingga sasarannya dapat dilihat paling jelas. Tedapat dua sekrup pengatur yaitu yang
kasar dan yang halus. Jika dipergunakan lensa obyektif yang perbesarannya kecil/minimum atau
sedang, maka dipakai sekrup pengatur kasar. Tetapi bila dipakai lensa obyektif yang perbesarannya
maximum, untuk memfokuskan peraga dipergunakan sekrup pengatur yang halus. Hal ini perlu
diperhatikan karena bila salah pakai peraga dapat pecah, atau lensa obyektifnya yang akan rusak.

J & K. Tempat memegang obyektif dan lensa-lensa obyektif (“objective holder and objectives”).
Pada mikroskop tipe 1 (gambbar 2:1) lensa obyektif dipasang satu demi satu pada bagian bawah dari
tubus mikroskop. Lengan pengatur obyektif (“objective clutch arm”) –J dijepit keras dengan tangan untuk
membuka jalan agar bagian atas dari lensa obyektif yang ingin dipakai dapat masuk setelah lensa obyektif
mendudukkan tempatnya , lengan pengatur obyektif dilepas dari jepitan tangan.

Pada mikroskop tipe 2 (gambar 2:2) terdapat kepala putaran (“revolving head”) –J1 yang
dipasang pada bagian bawah tubus mikroskop. Kepala putaran ini biasanya mempunyai empat lobang
dimana empat lensa obyektif dengan perbesaran yang berbeda-beda dapat dimasukkan; bagian atas
dari masing-masing obyektif tipe ini mempunyai gerigi baut (“thread”).

Pada mikroskop Reichert tersedia tiga atau empat buah lensa obyektif dengan perbesaran : 10
x, 30 x, dan 60 x. Sedangkan pada mikroskop Bausch & Lomb yang tipe sederhana hanya terdapat dua
lensa obyektif yang perbesarannya 6 x dan 21 x. mula-mula dipergunakanlensa obyektif yang
perbesarannya kecil yaitu 6 x atau 10 x kemudian difokuskan memakai B2 atau H4. Selanjutnya kepala
putaran diputar hingga lensa obyektif yang dikehendaki berada tepat pada tempatnya. Ini penting
karena sumbu-sumbu utama susunan lensa harus berimpit mengingat jalannya cahaya dari cermin
yang melewati peraga harus masuk kedalam sistem optik pada tubus mikroskop sehingga jelas dilihat
oleh mata pengamat.

Pada mikroskop tipe 1 masing-masing obyektif harus dipusatkan dengan kedua sekrup
pemusat –K1 yang terdapat pada bagian atas dari obyektif. Sedang pada mikroskop tipe 2 masing-
masing obyektif dipusatkan dengan cara memutar kedua gelang-K2 yang terdapat pada bagian bawah
obyektif. Seperti sudah dijelaskan pada keterangan tentang meja obyek untuk tipe mikroskop yang
lain lagi pemusatan dilakukan pada meja obyek dan bukan pada masing-masing obyektif.

Hal yang penting diperhatika dalam pemakaian lensa obyektif ialah: perbesaran (“ initial
magnification”), aperture numerik – NA (“numerical aperture”), jarak kerja (“working distance”) dan
jarak fokus (“depth of focus”). Perbesaran adalah sama dengan panjang tubus optik dibagi panjang
fokus (“focal length”). Perbesaran total adalah sama dengan perkalian perbesaran obyektif dengan
perbesaran didalam tubus mikroskop sendiri dan dengan perbesaran okuler. Biasanya pada setiap
obyektif panjang tubus, perbearan dan NA dituliskan (lihat gambar 2:7). Apertur numeric
menunjukkan ukuran atau kualitas dari suatu lensa obyektif; makin besar harganya makin baik kualitas
obyektif. Rumusan untuk harga NA adalah sama dengan rumusan untuk NA pada lensa kondensor,
yaitu NA= n sinus 𝜇 (lihat gambar 2:4).

Gambar 2:7 Lensa obyektif tipe untuk dipasang pada kepala putaran. Tulisan menunjukkan bahwa
perbesaran- 40 x; apertur numerik = 0,65; panjang tubus mikroskop yang cocok untuk lensa obyektif
ini – 160 mm; ketebalan kaca penutup peraga yang akan memberi gambaran yang palaing jelas = 0,17
mm. Pol menunjukkan bahwa lensa obyektif ini adalah bebas regangan dan oleh karena itu boleh
dipergunakan dengan cahaya yang terpolarisir (menurut Phillips, 1971).
Jarak kerja adalan ukuran jarak vertical antara ujung bawah lensa obyektif dengan bagian atas
dari kaca penutup peraga pada saat lensa obyektif terfokus; besar jarak kerja ditentukan oleh
perbesaran dan NA dari masing-masing obyektif; makin besar kedua harga ini makin pendek jarak
kerja obyektif tersebut (lihat gambar 2:8). Jarak fokus adalah jarak vertical sepanjang mana gambaran
pada peraga tetap kelihatan jelas. Harga jarak fokus berkurang sesuai dengan tambahan baik NA
maupun perbesaran obyektif.

Gambar 2:8 Perbandingan besar jarak kerja (BJK) dengan apertur numerik NA dan perbesaran obyektif
untuk 3 obyektif; SKC: sudut kerucut cahaya= 2 μ (diambil dari R. Koesmono, 1970 dengan
perubahan).
L. Lobang untuk kompensator (“compensator or accessory plate”) adalah suatu lobang pada tubus
mikroskop yang berbentuk gepeng dimana kompensator (missal baji kwarsa, keeping gips dan keeping
mika) dapat diselipkan. Pada mikroskop tipe 1 dan 2 lobang kompensator ini terarah NW-SE, tetapi
pada mikroskop Reichert yang diakai oleh mahasiswa pada Jurusan Teknik Geologi lobang
kompensator ini terarah E-W; oleh karena itu kompensator yang dipakai harus disesuaikan. Pada
setiap kompensator arah getaran sinar lambat dan sinar cepat harus ditunjukkan secara jelas;
biasanya dipakai huruf gama (𝛾) untuk mnunjukkan sinar lambat dan huruf (𝛼) untuk menunjukkan
sinar cepat.

Maksud dan gunanya dari masing-masing kompensator dijelaskan sebagai berikut (lihat
gambar 2:9) : Baji kwarsa ialah suatu sayatan kwarsa yang dipotong sehingga sumbu c-nya searah
dengan arah memanjangnya baji (dengan demikian harga dwi biasanya adalah 0,009; lihat gambar
6:12); bentuknya sebagai baji yang ketebalannya mulai dari 0 sampai dengan 0,1 atau 0,25 mm. guna
baji kwarsa untuk melihat pengaruh ketebalan sayatan terhadap retardasinya (∆) :

∆ = t ( n2 – n1 )

Dimana t – ketebalan sayatan tipis serta n2 dan n1 = harga index bias nω dan n𝜀a pada kwarsa.
Pengaruh tersebut diamati dari warna interferensi yang Nampak pada setiap bagian baji kwarsa. Bila
ketebalan kwarsa itu diambil t = 0,1 mm, maka harga retardasinya adalah :

∆ = 0,1 x 0,009 = 0, 0009 mm = 900 m𝜇 , yaitu warna interferensi kuning orde II. Bila
ketebalan kwarsa adalah 0,05 mm, maka

∆ = 0,05 x 0,009 = 0,000450 mm = 450 𝜇 = 450 m𝜇 , yaitu warna interferensi jingga orde II
dalam table warna interferensi (gambar 6:14).

Juga baji kwarsa boleh dipakaiuntuk menentukan terjadinya penambahan atau pengurangan warna
interferensi pada suatu Kristal ; tetapi lebih sering dipakai keeping gips.

Keping gips adalah suatu sayatan gypsum yang mempunyai ketebalan sedemikian sehingga
menghasilkan harga = 550 m . Bila keeping gips dipasang tanpa peraga ikut dipasang tetapi nikol
bersilang, maka akan memberikan kenampakan warna interferensi merah orde I (rot I ). Keping gips
diselipkan pada lobang kompesor, sedemikian hingga arah bidang getaran sinar lambatnya terletak
pada posisi NE – SW dengan demekian arah bidang getaran sinar cepat terletak pada posisi NW – SE.

Keeping mika dibuat dari muscovite yang pipih sedemikian rupa sehingga ∆ = 150 m𝜇 , yaitu
seperempat panjang gelombang cahaya natrium; bila dipasang tanpa peraga ikut dipasang, warna
interferensi yang nampak adalah abu-abu orde 1. Pemakaian keeping mika sama dengan pemakaian
keeping gips; kedua kompensator ini dipakai untuk membedakan arah bidang getaran sinar lambat
dan arah getaran sinar cepat pada suatu Kristal yang diamati diatas meja obyek. Hal ini diterapkan
dalam penentuan banyak sifat optik : misal tanda rentang, besarnya sudut gelapan dan tanda optok.
Bedanya hanya keeping gips dipergunakan untuk penelitian kristal yang memiliki dwi bias atau warna
interferensi yang rendah. Sedangkan keeping mika dipakai untuk kristal yang mempunyai warna
interferensi yang tinggi atau ekstrim.

Gambar 2:9 Tiga jenis kompensator untuk dipasang pada lobang kompensator pada mikroskop
polarisasi L1: baji kwarsa; L2: keeping mika; L3: keeping gips (menurut Phillips, 1971)

M. Analisator (“upper nicol or analizer”). Suatu bagian yang vital terbuat dari lembaran polaroid atau
prisma nikol seperti polarisator (lihat gambar 2:3). Hanya saja arah getaran sinar diatur persis saling
tegak lurus, yaitu sejajar dengan benang silang pada arah yang berbeda. Namun kedudukan analisator
dapat diatur atau diputar. Dikatakan kedudukan nikol bersilang (“crossed nikols”) bila arah getarannya
tepat saling tegak lurus. Analisator ini mudah di keluar-masukkan sesuai dengan macam/metode
penelitiannya. Bagian ini dipasang untuk penelitian dengan ortoskop nikol bersilang dan untuk
penelitian konoskopik.
N. Lensa Amici-Bertrand (“Amici-Bertrand lens”). Lensa ini terletak dibagian agak atas dari tubus, dapat
dipasang atau dimasukkan dengan memutar atau menggerakkan arah horizontal dengan bantuan
sekrup disamping kanan tubus mikroskop. Lensa ini dipakai untuk penelitian konoskopik saja. Guana
lensa ini untuk memperbesar gambar interferensi yang terbentuk pada bidang titik api balik (“back
vocal plane”) dari lensa obyektif, dan memfokuskannya pada bidang lensa okuler sehingga dapat
damati oleh si peneliti dengan jelas. Gambar interferensi juga dapat diperiksa secara langsung dengan
lensa Amici-Bertrand serta lensa okuler dikeluarkan dari tempatnya; hal ini sering lebih jelas diamati
walaupun gambar interferensi lebih kecil. Dengan kedua cara ini kondensor harus dinaikkan pada
ketinggian yang maksimum. Pada mikroskop penelitian disertakan sekrup pemusat, pemfokus atau
memperjelas gambar dan diafragma iris untuk mengatur aperturnya.
O. Lensa okuler (“ocular”) diletakkan pada bagain paling ujung atas tubus mikroskop dari sini dapat
melihat medan pandangan. Okuler bersama tubus mikroskop dan lensa obyektif memperbesar
gambaran. Jika lensa okuler berperan mengurangi kesalahan aberasi (“aberation”) yang disebabkan
oleh obyektif. Untuk mengukur jarak tersedia okuler yang berskala yang harus ditera untuk setiap
lensa obyektif dengan memakai mikrometer obyek (lihat bab 5:4) biasanya tersedia lebih dari satu
okuler yang mempunyai perbesaran berbeda-beda.
Benang silang (“cross hairs”) dletakkan didalam okuler pada bidang fokalnya. Biasanya tersedia sebuah
sekrup pada tepi okuler yang dipergunakan untuk menetapkan kedudukan benang silang persis pada
arah N-S dan E-W.

2:2 PENGATURAN MIKROSKOP POLARISASI

Sebelum mikroskop polarisasi dipergunakan untuk penelitian sayatan tipis, harus diatur dulu hingga
siap dipakai. Ada tiga tahap yang perlu dilakukan:

a) Memusatkan perputaran peraga terhadap medan pandangan.

Bila peraga telah jelas terlihat dari atas okuler, kemudian meja obyek diputar. Dipilih salah satu titik,
misalnya suatu mineral kecil, atau suatu ujung dari mineral tertentu akan mengitari pusat medan pandangan
atau tidak. Jika keadaan ini sudah tepat memutari dengan jarak tetap terhadap titik potong benang silang,
maka dikatakan mikroskop dalam keadaan sentris. Tetapi bila tidak demikian maka dapat dijumpai titik pusat 0
yang terletak di luar titik silang dari kedua benang silang itu.

Cara mengaturnya dipergunakan sekrup pemusat yang terletak di pinggir meja obyek atau pada obyektif.
Titik pusat 0 tadi sedikit demi sedikit dibawa ke titik silang dengan memutar kedua sekrup itu. Demikian
hingga tepat 0 berimpit dengan titik silang. Hal ini terjadi bila meja diputar maka suatu mineral akan mengitari
titik silang secara konsentrik.
Gambar 2:10 Menunukkan keadaan medan pandangan belum terpusat (sebelah kiri) dan keadaan
medan pandangan sudah dipusatkan (sebelah kanan) ; diambil dari Kerr, 1959 dengan perubahan.

b) Membuat arah getaran polarisator sejajar dengan salah satu benang silang.

Pertama-tama okuler diputar sampai tepat pada kedudukannya, yaitu pada posisi dimana kedua benang
silang terletak N-S dan E-W; dengan demikian sekrup kecil pada tepi okuler duduk di dalam lobang pada ujung
atas tubus mikroskop. Kemudian diambil sayatan tipis yang mengandung Kristal biotit yang dipotong sejajar
dengan sumbu c-nya; dengan demikian kelihatan secara jelas belahannya pada satu arah. Memakai ortoskop
tanpa nikol, meja obyek diputar sampai biotit itu menjadi paling gelap (serapan maximum), lihat gambar 2:11
A. pada posisi paling gelap tersebuta arah getaran polaristor terletak sejajar dengan garis-garis belahan biotit.
Bila arah tersebut belum sama persis dengan arah salah satu benang silang maka polarisator harus diputar
sampai keduanya persis sejajar. Pada mikroskop tipe 1 polarisator saja, sedang pada mikroskop tipe 2
polarisator diputar dengan lengan pemutar –E1. Pada semua mikroskop yang dipakai di Jurusan Teknik Geologi
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, arah getaran polarisator diatur persis sejajar dengan benang silang
yang E-W.

Untuk menetapkan kedudukan polarisator juga boleh memakai sayatan tipis yang mengandung Kristal
turmalin yang memanjang. Turmalin menunjukkan warna yang paling gelap (serapan maximum) pada
kedudukan arah memanjangnya kristal tegak lurus terhadap arah getaran polarisator.

A B
Gambar 2:11 Cara penetapan kedudukan polarisator sejajar dengan benang silang yang E-W. Ortoskop
tanpa nikol. A: Kristal biotit yang dipotong sejajar dengan sumbu c diletakkan pada kedudukannya paling
gelap; kedudukan polarisator diputar sedemikian rupa sehingga kedudukan paling gelap dari Kristal biotit
terletak sejajar dengan benang silang E-W. B: Kristal biotit yang sama pada kedudukannya paling terang
yaitu serapan minimum (menurut Phillips, 1971).

c) Membuat polarisator dan analisator saling tegak lurus

Bila kedudukan polarisator sudah betul, maka arah getaran analisator harus diatur sedemikian rupa
sehingga terletak persis tegak lurus terhadap arah getaran polarisator. Untuk itu polarisator dan analisator
dipasang (ortoskop nikol bersilang) tanpa peraga. Jika ternyata masih memberikan keadaan yang terang atau
agak terang berarti bahwa bidang arah getaran dari kedua polarid itu membuat sudut lebih kecil dari 90
derajad; tetapi bila Nampak gelap, amaka diketahui bahwa kedua bidang getaran saling tegak lurus. Namun
bila belum gelap, maka analisator diputar sambil mengamati medan pandangan, hingga kedudukannya
memberikan gelap yang maximum. Dengan beberapa tipe mikroskop posisi yang diinginkan harus diusahakan
dengan bantuan jarum kecil untuk menggerakkan analisator sedikit demi sedikit.

BAB 3 SISTEM KRISTAL

Seperti sudah diketahui, bahwa Kristal ialah suatu zat padat yang terjadi karena alamiah tersusun dari
zat anorganik, dan dibatasi oleh bidang-bidang datar tertentu. Kristal itu memiliki struktur internal yang sudah
tertentu yang dapat digambarkan secara geometris. Bidang-bidang batas dari Kristal tersebut oleh suatu garis
atau arah dapat ditentukan posisinya. Garis atau arah itu dinamakan sumbu Kristal. Dikenal ada enam system
dalam pengelompokan Kristal sesuai dengan sumbu-sumbu yang dimiliki (gambar 3:1). Pada masing-masing
system Kristal terdapat berbagai macam wujud (“form”) seperti ditunjukkan pada gambar 3:2.

3:1 Sistem isometrik mempunyai tiga sumbu Kristal, masing-masing panjangnya sama dan tegak lurus
satu sama lain. Biasanya diberi symbol a1, a2, a3. Contoh mineral yang bersistem isometric: garnet, analsim,
magnetit, fluorit, leusit, spinel, sfalerit, kromit, sodalit, dan sebagainya. Wujud {111} dari system isometric
mempunyai delapan bidang yang membentuk suatu oktahedron.

3:2 Sistem tetragonal dicirikan oleh adanya 3 sumbu yang semuanya saling tegak lurus. Dua sumbu
mendatar sama panjangnya diberi symbol a1, a2, dan satu sumbu yang vertical lebih pendek atau lebih panjang
dengan diberi symbol sumbu c. Contoh : zircon, skeelit, kasiterit, rutil, idokras/vesuvianit, dan sebagainya.

3:3 Sistem heksagonal memiliki empat buah sumbu. Tiga buah sama panjang terletak horizontal
dengan membuat sudut sama besar yaitu 600 diberi symbol a1,a2, a3, dan sebuah sumbu vertical yang tidak
sama panjangnya dengan sumbu horizontal, sebagai sumbu c. Sistem heksagonal dapat dibagi menjadi system
trigonal dan system heksagonal. Perbedaannya adalah bahwa pada Kristal-kristal yang bersistem trigonal
sumbu c merupakan sumbu simetri bernilai tiga (“3-fold symmetry”), sedangkan pada Kristal-kristal yang
bersistem heksagonal sumbu c merupakan sumbu simetri bernilai enam (“6-fold symmetry”). Pada system
trigonal wujud yang paling sering dijumpai adalah wujud {h0ħl}, {h2hl} dan {hkil}, masing-masing wujud ini
membentuk rombohedron yang terdiri dari tiga bidang saling memotong pada ujung positif dari sumbu c dan
tiga bidang lain saling memotong pada ujung negative dari sumbu c. contoh mineral yang bersistem
heksagonal adalah: kwarsa, apatit, beril, nefelin, turmalin, dsb. Contoh mineral yang bersistem trigonal adalah:
kalsit, dolomit, korundum, brusit dan sebagainya.

3:4 Sistem ortorombik dicirikan oleh 3 buah sumbu yang saling tagak lurus sesamanya, tetapi tidak ada
yang sama panjang. Dua buah sumbu yang horizontal diberi kode sumbu a dan b, dan sebuah yang vertical
dengan kode sumbu c. Contoh: topaz, selestin, staurolit, anhidrit, barit, aragonite, brukit, enstatit, lawsonit,
olivin, silimanit, dan sebagainya.

3:5 Sistem monoklinik memiliki tiga buah sumbu yang tidak sama panjang. Sumbu vertikalnya c yang
tegak lurus dengan salah satu sumbu yaitu b. Sumbu b ini dengan sumbu lain a terletak tegak lurus, tetapi a
dengan c tidak tegak lurus, membuat suatu sudut tumpul. Sumbu a dan b ini disebut sumbu klino dan sumbu
orto. Contoh: ortoklas, augit, gypsum, klorit, diopsida, epidot, monazite, muskovit, sfen, talk, tremolit, dan
sebagainya.

3:6 Sistem trinklinik. Sistem ini dicirikan oleh tiga buah sumbu yang tidak sama panjang dan tidak pula
saling tegak lurus. Jadi di sini tidak dijumpai sudut 900. Ketiga sumbu itu diberi tanda sumbu a, b, c. Contoh:
plagioklas, kianit, rodonit, mikroklin, wolastonit, dan sebagainya.

Dalam pengamatan secara optik, maka masing-masing system ini mempunyai ciri khas sendiri-sendiri
yang satu sama lain belum tentu sama. Juga arah dan letak sumbu c terhadap bidang sayatan akan
mempengaruhi dalam kenampakan, missal kenampakan, dari sayatan yang miring, tegak lurus dan sejajar
dengan sumbu c akan memberi gambaran bentuk, belahan, gambar interferensi dan sebagainya yang berbeda.
Gambar 3:1 Keenam system Kristal dengan sumbu-sumbunya (diambil dari Wahlstrom, 1969 dengan
perubahan).
Gambar 3:2 Enam system Kristal dengan beberapa contoh mineral yang mempunyai wujud (“form”)
yang berbeda-beda (diambil dari Katili, 1963 dengan perubahan). Dengan demikian untuk mengambil mineral
secara optik harus diketahui dulu system Kristal dan hubungan sumbu-sumbunya dengan sayatannya.
BAB 4 KONSEP DASAR DAN SIFAT-SIFAT CAHAYA

4:1:1 SIFAT CAHAYA

Dalam uraian ini diterangkan bahwa cahaya adalah perwujudan dari tenaga pancaran (“radiant
energy”) yang bias mempengaruhi mata manusia. Sampai sekarang sifat yang pasti dari cahaya belum
dipahami secara sempurna. Walaupun demikian antara teori-teori yang sudah dikemukakan, ada satu teori
yaitu teori Maxwell yang sangat menolong dalam usaha untuk menerangkan bagaimana terjadinya sifat-sifat
optic pada Kristal. Teori tersebut telah direvisi oleh beberapa ahli lain dan sekarang dikenal sebagai teori
cahaya elektromagnetik (“electro-magnetic theory of light”). Menurut teori ini tenaga cahaya (“light energy”)
berjalan melalui ruang sebagai gelombang-gelombang melintang (“transversal”) yang terus-menerus. Secara
diagramatik suatu gelombang elektro magnitik dengan kedua vektornya dapat dilihat pada gambar 4:1. Vektor
elektriknya bergetar didalam bidang yang tegak lurus terhadap bidang getaran vector magnetiknya; pada
setiap saat kedua vector ini bergetar di dalam bidang yang tegak lurus terhadap arah rambatan cahaya;
perbesaran dari kedua vector tersebut bervariasi sedemikian rupa: sehingga mencapai perbesaran maximum
dan perbesaran minimum pada saat yang sama. Gelombang yang sedemikian ini disebut gelombang yang
terpolarisasi/terkutub berupa
Gambar 4:1 Gelombang elektro magnetic yang terpolarisir/ terkutub berupa bidang (terpolarisir
berupa garis) ditunjukkan secara diagramatik. Vector magnetiknya bergetar di dalam bidang yang
tegak lurus terhadap bidang getaran vector elektriknya (diambil dri Wahlstrom, 1969 dengan
perubahan).

garis (“linearly polarized”) atau gelombang yang terkutub berupa bidang (“plane polarized”) gambar 4:2 A.
Dari percobaan-percobaan dengan menggunakan permukaan-permukaan yang memantul (“reflecting
surfaces”) dapat disimpulkan bahwa vector yang berperan paling penting dalam gejala (“phenomena”) optic
ialah vector elektrik. Oleh karena itu seterusnya dalam pembahasan tentang gelombang-gelombang cahaya
yang akan diperhatikan adalah vector elektriknya saja.

Cahaya yang mempunyai hubungan dengan pengetahuan kristalografi optic ialah cahaya yang
kasatmata (“visible light”) yang dicirikan oleh panjang gelombang antara 390 mµ sampai 770 mµ (milimikron)
dengan frekuensinya kurang lebih 1015 “siklus” per detik. Menurut rumus : f = v/λ , dimana v = kecepatan
rambatan gelombang pada ruang hampa udara (≈ 3,0 x 1010 cm/detik = 186000 mil/detik) dan λ adalah
panjang gelombang. Cahaya kasad mata atau cahaya putih sebenarnya dihasilkan oleh gabungan dari setiap
komponen cahaya yang mempunyai panjang gelombang antara 390 mµ sampau 770 mµ. hal ini ternyata bila
seberkas cahaya putih diteruskan melewati suatu prisma kaca yang bening. Cahaya tersebut dipisahkan/
diuraikan menjadi suatu rangkaian warna-warna (gambar 4:3) ; rangkaian tersebut terdiri dari warna merah
pada satu ujung (lamda = 770 – 650 mµ), berurutan melalui warna jingga (lamda 650 – 590 mµ), warna kuning
(590 – 570 mµ), warna hijau (lamda 570 – 500 mµ) warna biru (lamda 500 – 460 mµ), warna nila ( lamda = 460
– 430 mµ) terakhir warna ungu (lamda = 430 – 390 mµ) ; lihat table 4:1. Spektrum warna ini dikenal sebagai
spektrum warna Newton.
Gambar 4:2 Tiga jenis gelombang yang terpolarisir. A: gelombang cahaya yang terpolarisir berupa
garis/ bidang. B: gelombang cahaya yang terpolarisir berupa lingkaran. C: gelombang cahaya yang
terpolarisir berupa elipsoida (menurut Wahlstrom), 1969).

Gambar 4:3 Pembentukan spectrum warna oleh seberkas cahaya putih yang diteruskan melewati
suatu prisma kaca yang bening. Besarnya sudut bias (b) adalah berbeda untuk setiap warna cahaya
(diambil dari Kerr, 1959 dengan perubahan).

Warna Variasi Rata-rata

Ungu 390-430 410


Nila 430-460 445
Biru 460-500 480
Hijau 500-570 535
Kuning 570-590 580
Jingga 590-650 620
Merah 650-770 710

Tabel 4:1 Panjang gelombang cahaya pada spektrum cahaya kasatmata di dlam hampa udara (dalam
milikron) (diambil dari wahlstrom, 1969 dengan perubahan).
Cahaya yang mempunyai panjang gelombang dengan frekuensi tertentu menunjukkan warna yang
sesuai dengan komponen cahaya tertentu itu dan karenanya disebut cahaya ekawarna (“monochromatic”).
Perlu diperhatikan bahwa beberapa sifat optic pada suatu Kristal akan berbeda-beda untuk panjang
gelombang cahaya yang berlain-lainan. Missal harga index bias suatu Kristal akan berbeda-beda bila diamati
dengan cahaya ekawarna yang warnanya berbeda-beda pula. Biasanya di dalam penelitian mineral optic kalau
suatu sifat optic akan ditentukan secara absolut/persis, maka harus menggunakan cahaya yang warnanya
kuning (λ = 590-570mµ)*.

4:1:2 SINAR-SINAR

Bila gelombang cahaya berjalan dari suatu titik ke titik yang lain di dalam suatu media, maka jalan
yang dilalui oleh cahaya tersebut dinamakan sinar cahaya. Berarti sinar bukanlah tenaga cahaya yang berjalan
melewati suatu lintasan melainkan lintasannya itu sendiri. Pada media yang bersifat homogeny atau pada
hampa udara, sinar-sinar tersebut selalu merupakan garis lurus. Tetapi bila sinar-sinar itu sampai pada batas
media yang satu dan selanjutnya masuk kedalam media yang lain yang bersinggungan dengan media pertama,
maka sinar tersebut akan dibiaskan, berarti membelok.

*Catatan : 1 mµ = 10 Å = 10–3 mikron = 10 –7 cm = 10–9 meter.

4:1:3 ZAT ISOTROPIK DAN ZAT ANISOTROPIK

Menurut sifat optiknya semua zat dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu zat yang bersifat Isotropik
dan yang bersifat anisotropik. Semua Kristal yang bersistem isotropik dan juga gelas yang belum mengalami
tegangan (“stress”) tergolong sebagai zat isotropik. Pada zat yang isotropik tersebut gelombang-gelombang
cahaya berjalan ke setiap arah dengan kecepatan yang sama. Sebaliknya semua yang Kristal yang bersistem
tetragonal, heksagonal, ortorombik, monolinik, trinklinik dan semua Kristal yang bersistem isometrik yang
telah mengalami tegangan serta zat yang tak kristalin tergolong sebagai zat anisotropik. Pada zat yang
anisotropik gelombang-gelombang cahaya berjalan kea rah yang berbeda-beda dengan kecepatan yang
berbeda-beda pula.

4:1:4 PERMUKAAN KECEPATAN SINAR (“ray velocity surface”)

Kalau suatu titik dianggap sebagai sumber cahaya pada suatu media yang tertentu, maka sinar-sinar
cahaya akan memancar ke setiap arah dari sumber tersebut. Pada jangka waktu tertentu maka dapat
digambarkan suatu permukaan kecepatan sinar, yang menunjukkan titik yang dicapai oleh masing-masing
sinar pada saat tertentu itu. Pada zat yang isometrik, karena kecepatan sinar kesetiap arah sama, permukaan
kecepatan sinar selalu merupakan suatu bola. Sebaliknya pada zat yang anisometrik permukaan kecepatan
sinar merupakan suatu elipsoida.
4:2 PEMANTULAN CAHAYA

Bila seberkas cahaya sampai pada permukaan batas antara dua zat yang berbeda (g-g1 pada gambar
4:4), maka sebagian atau seluruhcahaya tersebut akan dipantulkan. Hukum dasar pemantulan menyatakan
bahwa besarnya sudut datang harus sama dengan besarnya sudut pantul dan juga bahwa sebelum dan
sesudah pemantulan. Besarnya sudut datang dan sudut pantul selalu diukur dari garis yang tegak lurus
permukaan pantulan yaitu f-f1 pada gambar 4:4.

4:3 PEMBIASAN CAHAYA PADA ZAT ISOTROPIK

Peristiwa pembiasan cahaya sangat menentukan dalam pengertian kristalografi optik. Misal dua jenis
zat yang isotropik terletak secara bersinggungan, masing-masing dicirikan oleh kecepatan cahaya yang
tertentu. Karena perbedaan kecepatan cahaya antara kedua zat tersebut maka sinar yang keluar dari zat yang
pertama (pada zat 1 kecepatan sinar = C1) kemudian masuk ke dalam zat yang kedua (pada zat kedua
kecepatan sinar = Ċ2) akan dibiaskan. Ada dua kejadian yang berlawanan pada peristiwa tersebut yaitu:

1. Apabila cahaya jatuh pada permukaan batas antara kedua zat dengan sudut datang yang besarannya
sama dengan 900 maka cahaya tidak dibiaskan; arah rambatan sinar tetap lurus.
2. Apabila semua cahaya dipantulkan pada permukaan batas kedua zat (“total reflection”).

Gambar 4:4 Pemantulan cahaya pada permukaan g-g1 digambarkan secara sederhana (g-g1 adalah
permukaan batas antara dua zat yang berbeda). Sudut datang (d) sama besarnya dengan sudut pantul
(p). bidang pantulan adalah bidang halaman.
Gambar 4:5 Pembiasan cahaya pada permukaan batas (g-g1) antara dua zat yang dicirikan oleh
kecepatan cahaya yang berbeda C1 dan C2. Sudut datang (d) dan sudut bias (b) diukur dari garis f-f1 yang tegak
lurus terhadap g-g1. Cahaya yang dipantulkan tidak digambarkan. Maka cahaya tersebut tidak ada yang
dibiaskan.

Pada gambar 4:5 digambarkan secara sederhana pembiasan cahaya dengan terjadi pada permukaan
batas g-g1 antara zat yang dicirikan oleh C1 dan C2. Sinar sampai pada permukaan batas g-g1 dengan sudut
datang d (diukur dari garis yang tegak lurus terhadap garis normal yaitu garis f-f1). Sebagian dari cahaya yang
melintasi zat pertama dengan kecepatan C1 dipantulkan pada permukaan g-g1. Selain dari itu bagian cahaya
yang masuk kedalam zat yang kedua, karena diteruskan dengan kecepatan C2, maka terjadi pembiasan
dengan sudut bias b (juga diukur dari garis yang tegak lurus terhadap g-g1).

Bila zat pertama adalah hampa udara, maka harga C1/C2 adalah harga index bias (n) untuk media
kedua. Pada zat yang isotropik harga C1/C2 tidak lain ialah harga perbandingan antara sinus sudut datang
dengan sinus sudut bias. Hubungan ini disebut hokum SNELL:

𝐶1 𝑆𝑖𝑛𝑢𝑠 𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔


𝐶2
= 𝑆𝑖𝑛𝑢𝑠 𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 𝑏𝑖𝑎𝑠
= n (zat2)

Dimana C1 sama dengan kecepatan sinar


pada hampa udara.
Karena kecepatan cahaya pada zat yang isometrik adalah sama untuk semua arah, maka zat isotropik
hanya mempuyai satu harga index bias. Setiap jenis zat yang isotropik dicirikan oleh kecepatan cahaya yang
tertentu dank has; dengan demikian juga mempunyai harga index bias yang tertentu/khusus bagi zat tersebut.
Misalnya mineral magtetit yang bersistem isometrik memiliki satu harga n saja, yaitu n = 2,42. Sebaliknya
mineral analsim (juga bersistem isometrik) juga mempunyai satu harga n saja, yaitu n = 1,487.

Pembiasan cahaya pada suatu zat dapat digambarkan dengan suatu indikatriks optik. Sumbu-sumbu
dari indikatriks optik digambarkan sedemikian rupa sehingga panjangnya masing-masing sumbu mewakili
harga index bias untuk sinar yang bergetar searah dengan sumbu tertentu itu. Oleh karena zat yang isotropik
hanya mempunyai satu harga index saja, maka indikatriks optik zat yang isotropik selalu berbentuk bola
(gambar 4:6).

Gambar 4:6 Indikatriks optik untuk zat yang isotropik yang selalu berbentuk bola. Pada gambar ini
indikatriks optik terletak di dalam suatu octahedron yang mempunyai tiga sumbu kristalografik dengan
panjangnya sama. Panjangnya jari-jari pada indikatriks optik digambarkan sedemikian rupa sehingga
sebanding dengan harga index bias (n) untuk gelombang cahaya yangarah getarannya adalah sejajar dengan
garis jari-jari masing-masing. Sumber cahaya terletak pada pusat bola (menurut Wahlstrom, 1968).

4:4 PEMBIASAN CAHAYA PADA ZAT ANISTROPIK

Sesuai dengan definisi bahwa gelombang-gelombang cahaya pada zat anisotropik berjalan kea rah
yang berlain-lainan dengan kecepatan yang berbeda-beda maka pada zat anisotropic akan terjadi bias ganda
(“double refraction”).

Misal pada mineral kalsit yang bersistem trigonal, struktur atom pada arah sejajar dengan sumbu c
berbeda dengan struktur atom pada arah yang tegak lurus terhadap sumbu c. Sedang struktur atom pada arah
yang sejajar dengan sumbu a1, sumbu a2 dan yang sejajar dengan sumbu a3 adalah sama. Oleh karena itu sinar
yang berjalan sejajar dengan sumbu c memiliki kecepatan yang berbeda dengan kecepatan sinaar yang
berjalan tegak lurus sumbu c. Karena mineral kalsit memiliki dua harga kecepatan cahaya, bila cahaya yang
terkutub jatuh pada permukaan batas sebuah Kristal kalsit maka cahaya yang masuk kedalam Kristal
(maksudnya cahaya yang tidak dipantulkan) akan terpisah menjadi dua sinar. Kedua sinar tersebut masing-
masing diteruskan melalui Kristal dengan kecepatan yang berlain-lainan dan masing-masing terkutub dengan
bidang getarannya saling tegak lurus. Kedua sinar ini disebut sinar biasa-sinar B (“ordinary ray”-0 ray) dan sinar
luar biasa-sinar L (“extraordinary ray”-E ray), lihat gambar 4:7.

Sinar B (sinar biasa) berjalan melalui keistal kalsit dengan cara menurut hokum SNELL, yaitu : n= sinus
sudut datang dibagi sinus sudut bias. Dengan demikian sinar B berjalan melalui Kristal kalsit ke semua arah
dengan kecepatan yang sama maka permukaan kecepatan sinar ini berbentuk bola (lihat gambar 4:8). Pada
gambar tersebut arah getaran sinar B adalah tegal lurus terhadap bidang pandangan (kertas). Index bias sinar
B dikenal dengan huruf omega (𝜔).

Anda mungkin juga menyukai