Epilepsi Pada Perempuan Koass Sania
Epilepsi Pada Perempuan Koass Sania
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data WHO
menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia. Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja
tanpa batasan ras dan sosial ekonomi. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara 33-198 tiap
100.000 penduduk tiap tahunnya. Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti
"serangan" atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Menurut PERDOSSI 2012, epilepsi
merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari
24 jam yang timbul tanpa provokasi. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan
penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial
dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari,
epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita
epilepsi.1
Sebagai salah satu penyakit otak yang sering terjadi, ada beberapa penyebab dari
epilepsi itu sendiri, salah satunya adalah pengaruh hormon pada perempuan. Angka kejadian
epilepsi pada perempuan menurut data dari rochester study, minnesota amerika didapatkan
tahun 2011 ada 41 kasus dari 100.000 perempuan per tahunnya. 8 Kebanyakan perempuan
yang menderita epilepsi akan mengalami serangan kejang saat terjadi perubahan hormonal
pada dirinya, misalnya saat pubertas, saat fase ovulasi dalam siklus menstruasi, saat
kehamilan dan menopause. Dalam hal ini faktor hormonal dilaporkan berperan penting.
Estrogen mempunyai efek epileptogenik ringan, sedangkan progesteron merupakan anti-
epileptogenik lemah. Ini menyebabkan epilepsi pada perempuan dianggap spesial. Oleh
karena itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang epilepsi saat pubertas,
epilepsi pada mestruasi, epilepsi pada kehamilan dan persalinan, epilepsi saat menyusui,
epilepsi saat menopause dan epilepsi yang berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi
ataupun terapi sulih hormon.4
TINJAUAN PUSTAKA
1
2.1 EPILEPSI PADA PEREMPUAN
2
2.1.3 Mekanisme molekular steroid hormon pada ovarium
Estrogen memiliki pengaruh secara genom dan membran, dapat memicu pengeluaran
dan menurunkan efek hambatan. Ketika estrogen menduduki GABA A reseptor, klorida
akan menurun yang menyebabkan efek inhibisi GABA tidak bekerja. Estrogen juga
berfungsi sebagai agonis reseptor N-methyl- D- aspartat ( NMDA ) untuk memediasi
pengeluaran CA-1 di hipokampus. Efek terhadap genom, estrogen mengubah mRNA
sebagai kode untuk GABA amino decarboxylase ( GAD ), enzim yang mengatur kadar
sintesis dari neurochemical GABA. Estrogen juga menurunkan kadar sintesis reseptor
GABAA. Secara keseluruhan estrogen mengatur kadar jumlah GABAA, reseptor GABAA
sekaligus menurunkan jumlah konsentrasi GABA A. Progesteron memiliki efek yang
berkebalikan dengan estrogen, meningkatkan efek GABA sebagai neurontransmitter
inhibitor dan menurunkan pengeluaran glutamat di lobus temporal. Secara genom,
progesteron meningkatkan sintesis GABA dan jumlah reseptor GABAA. Pada beberapa
wanita dengan epilepsi, estrogen akan meningkatkan aktivitas epileptiform pada EEG.
Penurunan jumlah progesteron akan meningkatkan ambang kejang. 4
Faktor lainnya yang mungkin berhubungan antara pengaruh hormon dengan epilepsi
adalah perbedaan yang signifikan pada distribusi anatomi dari reseptor steroid di otak saat
postpubertal ( mature ) dan saat prepubertal. Reseptor progesteron disebarkan sepanjang
neurokorteks. Pada infant atau pada otak prepubertal, estrogen juga disebar sepanjang
neurokorteks. Seiring dengan bertambahnya usia, jumlah resptor estrogen pada
neurokorteks berkurang, dan berpusat di korteks limbik ( amygdala dan hipokampus ).
Yang penting secara klinis akibat perubahan distribusi ini kemunculan dari neuroactive
steroid sangat bervariasi. Sebagai contoh, pengaruh hormon terhadap epilepsi akan
berbeda saat premenopause dibandingkan saat postmenopause.
3
GAMBAR 1 : RESEPTOR GABAA
2.1.4 GANGGUAN REPRODUKSI PADA PEREMPUAN DENGAN EPILEPSI
Wanita dengan epilepsi mengalami masa anovulasi lebih lama dibanding wanita pada
umumnya, ini akibat wanita dengan epilepsi mengalami gangguan di daerah lobus
temporal. Wanita dengan epilepsi juga mengalami gangguan perkembangan endokrin,
termasuk gangguan produksi LH. Kondisi ini menunjukkan terjadinya sindroma polisiklik
ovarium, yaitu abnormal dari morfologi ovarium dan hiperandrogenisme, yang salah satu
penyebabnya adalah akibat pemberian asam valproat.7
2.1.5 GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN PADA PEREMPUAN DENGAN EPILEPSI
Wanita dengan epilepsi mengalami abnormalitas pada korteks serebri yang
menyebabkan perubahan input terhadap hipotalamus sebagai penghasil hormon pituitari,
yakni FSH dan LH. FSH berperan saat awal siklus menstruasi dimulai dan LH yang
merangsang terjadinya ovulasi. Wanita dengan epilepsi yang memiliki gangguan pada
lobus temporal memiliki risiko terjadinya abnormal sistem endokrin. Ini terjadi akibat
struktur lobus temporal, termasuk amygdala, memiliki koneksi dengan hipotalamus yang
akan menyebabkan perubahan pengeluaran hormon hipotalamus. Wanita dengan epilepsi
mengalami gangguan produksi LH, kadarnya bisa menurun atau meningkat tergantung
lokasi dari epileptogenik yang mendominasi terhadap rangsangan atau hambatan terhadap
4
aktivitas hipotalamus. Kadar steroid dalam plasma dapat berubah tergantung stimulasi dari
lobus temporal.
Wanita dengan epilepsi mengalami gangguan hormon steroid akibat obat anti
epileptik yang digunakan. Estrogen, progesteron, testosteron di metabolisme oleh sistem
enzim sitokrom P450. Obat anti epileptik yang menginduksi sistem enzim seperti
barbiturat, karbamazepin, oxcarbazepine, fenitoin dan topiramat meningkatkan
metabolisme kedua kelenjar gonad dan kelenjar adrenal sehingga kadar hormon steroid
dalam plasma menurun. Obat ini juga menyebabkan ikatan steroid sebagai protein yang
beredar dalam sirkulasi. Asam valproat sebagai penghambat C450 memiliki efek yang
berbeda yakni menyebabkan penurunan metabolisme hormon steroid sehingga kadarnya
dalam sirkulasi akan meningkat. Wanita yang mengkonsumsi obat anti epileptik yang tidak
memiliki efek terhadap enzim tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan kadar hormon
steroid antara wanita yang mengkonsumsi obat anti epilepsi dengan wanita biasa.
5
2.2 EPILEPSI PADA PUBERTAS
6
Selama menstruasi kadar estrogen relatif tinggi terus-menerus, berkebalikan dengan kadar
progesteron yang semakin menurun. Epilepsi katamenial itu sendiri merupakan epilpsi yang
terjadi akibat pengaruh perubahan hormonal saat siklus menstruasi tersebut, dan terjadi pada
sepertiga sampai setengah dari jumlah wanita yang mengalami epilepsi. Kejang bisa terjadi
saat perimenstrual atau saat fase ovulasi.
Penelitian membuktikan adanya hubungan yang kuat antara fase dalam siklus
menstruasi dengan bangkitan epilepsi. Kebanyakan bangkitan terjadi selama periode
perimenstrual ( sekitar 3 hari sebelum menstruasi ) dan saat fase ovulasi. Bentuk kejang ini
tidak ditemukan saat fase anovulasi, dimana saat fase anovulasi perbandingan jumlah antara
estrogen dan progesteron relatif konstan.
Epilepsi katamenial bisa terjadi akibat penurunan konsentrasi AED ( Anti Epileptic
Drug ) dalam plasma. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa epilepsi katamenial terjadi
akibat perubahan siklus yang berhubungan dengan neuroaktif steroid. Peningkatan estrogen
saat ovulasi, penurunan kadar progesteron dan peningkatan perbandingan kadar estrogen
dengan progesteron saat fase anovulasi menjadi mekanisme hormonal yang utama.
Hormon yang dihasilkan ovarium memiliki beberapa pengaruh terhadap epilepsi.
Hormon ovarium menyebabkan penurunan ambang kejang yang terjadi akibat estrogen
sebagai GABA inhibitor. Pengaruh hormon terhadap epilepsi juga disebabkan adanya variasi
kadar AED ( Anti Epileptic Drug ), kadar AED dapat menurun sebelum menstruasi atau
meningkat metabolismenya dengan penurunan kadar hormon. Mekanisme fisiologis lainnya
yang disebabkan perubahan hormon dan berhubungan dengan epilepsi adalah terjadinya
retensi air dan perubahan elektrolit.
7
> 5 mg/ml
Untuk memilih terapi yang tepat, maka harus dipastikan secara klinis apakah
bangkitan yang terjadi memiliki hubungan dengan siklus menstruasi. Untuk memastikaanya
dilakukan dengan memperhatikan tipe kejang, frekuensi, waktu timbul kejang, obat
antiepileptik yang digunakan dan dosisnya. Wanita dengan epilepsi harus memahami betul
tipe epilepsi yang terjadi saat siklus menstruasi, tanggal menstruasi, melakukan pengukuran
suhu basal tubuh, obat-obat yang digunakan dan terapi hormonal ( termasuk kontrasepsi dan
terapi sulih hormon.
Pengobatan pada kejang akibat sensitif terhadap hormon sebenarnya masih
mengalami kekurangan data penelitian. Fenitoin dan karbamazepin sering digunakan sebagai
lini pertama untuk terapi kejang parsial. Karbamazepin dan fenitoin memiliki efek smaping
yaitu menurunkan efektivitas dari penggunaan hormonal kontrasepsi. Valproate memiliki efek
samping peningkatan massa tubuh, hiperandrogenisme dan polikistik ovarium. Fenitoin,
karbamazepin dan valproat juga merupakan obat anti epilepsi yang teratogenik.
Terapi yang dipilih bertujuan untuk mengontrol bangkitan yang terjadi yang
berhubungan dengan fluktuasi hormonal. Tidak ada pengobatan yang spesifik yang terbukti
paling efektif. Beberapa pilihan terapi pada epilepsi katamenial :
1. Pengobatan AED yang optimal
Menggunakan AED yang bekerja cepat seperti klobazam. Dosis klobazam 20-30
mg/hari dalam 2-4 hari sebelum, selama dan setelah menstruasi
2. Manipulasi hormonal
- low-estrogen atau high progesterone oral kontrasepsi
- progesteron suplementasi ( oral, suppositoria, parenteral )
- estrogen antagonis
- GRH analog
3. Benzodiazepine
4. Acetazolamide
Acetazolamide diberikan 5-10 hari sebelum, selama dan sesudah haid. Ada 2 dosis
yang dianjurkan : 1) dosis 250 mg 1-2 kali 2) dosis 5 mg /kg BB / hari selama 3 hari
sebelum, selama dan setelah menstruasi
8
2.4 EPILEPSI PADA KEHAMILAN
Epilepsi merupakan kelainan neurologik, dimana pada ibu hamil membutuhkan tata
laksana yang adekuat dan tanpa berisiko baik terhadap ibu atau bayi. Risiko pada wanita
epilepsi yang hamil lebih besar dari pada wanita normal yang hamil. Angka kematian
neonatus pada pasien epilepsi yang hamil adalah tiga kali dibandingkan populasi normal.5
Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi bervariasi. Kira-kira seperempat kasus
frekuensi bangkitan akan meningkat terutama pada trimester terakhir. Seperempatnya lagi
menurun dan separuhnya tidak mengalami perubahan selama kehamilan
Pengobatan wanita epilepsi yang hamil pada umumnya dilakukan menurut prinsip
yang sama seperti pada pasien tidak hamil. Resiko yang dialami janin karena bangkitan yang
dialami ibu mungkin sama besar dengan yang disebabkan obat anti epilepsi. Malformasi yang
disebabkan terapi obat anti epilepsi akan terjadi pada 4-8 minggu pertama dalam
pertumbuhan janin.
Epilepsi pada kehamilan dibagi dalam 2 kelompok:
1. Yang sebelumnya sudah menderita epilepsi
2. Berkembang menjadi epilepsi selama hamil
Wanita-wanita yang mendapat bangkitan selama masa reproduksi, dapat terjadi secara
insidentil pada kehamilan. Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan pada ibu epilepsi
yang hamil adalah estrogen dan progesteron. Pada seorang wanita yang hamil kadar estrogen
dalam darah akan menurun,sehingga merangsang aktifitas enzim asam glutamat
dekarboksilase dan karena itu sintesa gamma amino butiric acid (GABA) akan menurun
dalam otak. Dengan menurunnya konsentrasi GABA di otak akan merangsang bangkitan
epilepsi.
Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi glomerulus berkurang
sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya kadar obat dalam plasma akan
menurun. Retensi cairan yang terjadi menyebabkan hiponatremi. Keadaan ini akan
menimbulkan gangguan parsial dari “sodium pump” yang mengakibatkan peninggian
eksitabilitas neuron dan mempresitasi bangkitan.
9
Pada pasien wanita epilepsi yang hamil sangat sulit untuk menduga terjadinya
bangkitan, karena fenomena ini tidak berhubungan dengan tipe bangkitan selama
menderita epilepsi. Terjadinya suatu bangkitan sangat berbahaya baik untuk ibu maupun
fetus akibat trauma yang timbul. Supresi detak jantung janin selama proses persalinan akibat
bangkitan yang timbul. Pada wanita hamil volume plasma meningkat kira-kira sepertiga pada
trisemester ketiga, hal ini disebabkan oleh efek dilusi. Penentuan dan angka penurunan dari
konsentrasi obat anti epilepsi berbeda ubtuk setiap jenis obat. Penurunan kadar obat dalam
darah untuk fenitoin kira-kira 80% terjadi pada trimester pertama, juga serupa dengan
fenobarbital. Untuk karbamazepin terbesar penurunannya pada trisemester ketiga.
Pada wanita hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti epilepsi maka
pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu:
1. pemeriksaan kadar obat dalam darah
2. EEG
3. CT Scan, bila ada kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadium kehamilan.
Perubahan-perubahan konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus dimonitor setiap
bulan.
Komplikasi Kehamilan
Wanita epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik dalam masa kehamilan
dari pada wanita penduduk rata-rata. Pengaruh epilepsi terhadap kehamilan yaitu:
1. Melahirkan bayi prematur
2. Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr
3. Mikrosefali
4. Apgar skor yang rendah
Komplikasi persalinan
Neonatus wanita epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak resiko karena kesukaran yang
akan dialami ketika partus berjalan. Partus prematur lebih sering terjadi pada wanita epilepsi.
Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksi uterus yang melemah, ruptur
10
membran yang terlalu dini. Penggunaan forceps atau vakum sering dilakukan dan juga seksio
saesar.
Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah:
- Frekuensi bangkitan meningkat 33%
- Perdarahan post partum meningkat 10%
- Bayi mempunyai resiko 3% berkembang menjadi epilepsi
- Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat
resiko 1)% terjadi perdarahan perinatal pada bayi
11
Sebelum hamil : strong evidence ( class 1 )
- Terapi diberikan optimal sebelum konsepsi
- Bila memungkinkan ganti ke OAE yang kurang teratogenik, dan dosis efektif
harus tercapai sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi
- Diberikan asam folat ( > 0,4 mg/hari ) selama masa reproduksi dianjurkan selama
kehamilan
Saat hamil : strong evidence ( classs I )
- Jenis OAE jangan diganti bila tujuannya hanya untuk mengurangi risiko
teratogenik.
- Penggunaan polifarmasi atau asam valproat perlu dilakukan :
1. Pemeriksaan kadar alfa fetoprotein serum ( minggu 14- 16 kehamilan )
2. Pemeriksaan ultrasonografi level II ( struktural ) ( minggu 16-20 kehamilan )
3. Amniosentesis untuk pemeriksaan kadar alfa-fetoproteindan
asetilkolinesterase dalam cairan amnion
Weaker evidence ( class III )
Penyandang epilepsi dengan bangkitan terkontrol, kadar OAE diperiksa sebelum
konsepsi, awal tiap trimester dan pada bulan terakhir kehamilan. Juga dapat dipantau
bila ada indikasi ( misalnya bila terjadi bangkitan atau ragu dengan ketaatan minum
obat )
Setelah persalinan
Strong evidence ( class I )
- ASI tetap diberikan
- Diperhatikan apakah ada kesulitan minum dan efek sedasi pada bayi
Teratogenisitas OAE
Tidak ada OAE yang dianggap pasti aman pada kehamilan. asam valproat sering
menyebabkan defek neural tube terutama mielomeningokel dan anensefali yang
terjadi akibat gangguan metabolisme asam folaat yang berhubungan dengan level
12
homosistein yang tinggi. Pemberian suplemen asam folat 1-4 mg/ hari, B6 dan B12
perikonsepsi serta penggunaan formula extended- release seperti pada karbamazepin
dan asam valproat dikatakan dapat menurunkan risiko terjadinya malformasi,
terutama defek neural tube.1
Konsentrasi obat anti epilepsi dalam plasma wanita hamil yang akan melahirkan bayi
malformasi selalu lebih tinggi dari pada kadar obat anti epilepsi pada wanita epilepsi
hamil yang melahirkan tanpa malformasi. Para wanita epilepsi yang hamil dengan
menggunakan berbagai jenis obat anti epilepsi lebih mudah melahirkan bayi dengan
malformasi dari pada wanita epilepsi wanita epilepsi yang hamil memakai obat epilepsi
tunggal. Penggunaan multipel dan penggunaan dosis tinggi berhubungan dengan jenis
epilepsi yang tidak mudah terkontrol.
13
Obat-obat tersebut adalah:
1. Trimetadion
Dapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik disebut sindrom trimetadion
fetus.
2. Fenitoin
Obat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti epilepsi pada kehamilan dan
mempunyai efek teratogenik. Sindrom ini terdiri dari abnormalitas
kraniofasial,kelainan anggota gerak, defisiensi pertumbuhan, retardasi mental baik
ringan atau sedang
3. Sodium Valproat
Obat ini relatif baru dan sedikit data yang berefek pada uterus. Penggunaan obat ini
dapat mengakibatkan kelainan pada janin berupa sindrom valproat fetus. Obat ini
dapat menyebabkan kelainan “neural tube defect”.
4. Karbamazepin
Obat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi dapat menyebabkan retardasi
pertumbuhan kepala janin.
5. Fenobarbital
Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studi awal
mengatakan bahwa sebagian besar wanita epilepsi mendapat kombinasi antara
fenotoin dan fenobarbital.
14
3. Oxcarbazepine, tersedia dalam kemasan tablet dan suspensi oral, dosis antara 600-
2400 mg/ hari. Oxcarbazepin diberikan mulai dosis rendah dan dititrasi bertahap tiap
minggu sampai tercapai dosis yang diinginkan.
4. Topiramat, obat dengan spektrum luas pada epilepsi fokal dan umum sekunder,
tersedia dalam bentuk tablet dengan dosis harian 75-400 mg/ hari. Dapat melewati
plasenta dengan plasma level pada tali pusat sama dengan level plasma pada ibu.
15
2.5 PENGGUNAAN KONTRASEPSI HORMONAL PADA PEREMPUAN DENGAN
EPILEPSI
Lebih dari 65 juta wanita di seluruh dunia menggunakan kontrasepsi oral hormonal,
karena dianggap sebgai salah satu metode kontrasepsi yang mudah dan efektif. Kegagalan
dari oral kontrasepsi bisa akibat lupa minum obat atau akibat interaksi dengan obat lain yang
mempengaruhi kadar hormon. Bentuk kontrasepsi oral yang paling banyak digunakan adalah
kombinasi estrogen sintetik ( biasanya estinil estradiol ) dengan progestin. Jenis oral
kontrasepsi lainnya adalah jenis mini-pill yang hanya mengandung progesteron, walaupun
tingkat efektivitasnya lebih kurang dibanding pil kombinasi. Selain sediaan per oral, juga ada
bentuk sediaan lainnya yaitu injeksi ( IM ) atau dikenal depo povera yang diberikan setiap 3
bulan sekali dan bentuk alat kontrasepsi dalam kulit seperti Noorplant, yang mampu bertahan
sampai bertahun-tahun.
Oral kontrasepsi dapat bekerja sebagai sebagai kontrasepsi melaluibeberapa
mekanisme:
1. Estrogen menekan gonadotropin releasing faktor di hipotalamus
2. Menghambat folikel menghasilkan hormon folikel dan ovulasi
3. Progestin menghambat LH dan merangsang mukus serviks yang kental, sehingga
mampu melumpuhkan sperma dan merubah endometrium menjadi tempat yang tidak
baik untuk nidasi.
16
Untuk meningkatkan kualitas hidup wanita dengan epilepsi, maka harus dipilih jenis
oral kontrasepsi yang digunakan. Setiap wanita dengan epilepsi yang menggunakan oral
kontrasepsi perlu diberikan penjelasan tentang penurunan aktivitas kerja kontrasepsi tersebut
akibat interaksi dengan obat anti epileptik. Sehingga kemungkinan buruk yang bisa terjadi
diantaranya kehamilan yang tidak diketahui dan tidak direncanakan.
Obat anti epilepsi yang menginduksi enzim mikrosomal ( karbamazepin, fenitoin,
fenobarbital ) dapat menurunkan efek kontrasepsi oral. Obat antiepileptik tersebut
meningkatkan jumlah enzim yang menurunkan kadar hormon, sehingga hormon yang
terkandung dalam kontrasepsi lebih cepat menurun kadarnya dalam tubuh dan tidak efektif
sebagai alat kontrasepsi. Penggunaan suntikan ( depo provera ) dilaporkan dapat mengurangi
bangkitan, terutama pada perempuan bangkitan katamenial. Pemberian suntikan ini
dianjurkan untuk diulangi setiap 10 minggu dari yang biasanya 12 minggu oleh karena secara
teoritis diduga induksi enzim ini dapat mengurangi keefektivan depoprovera. Obat anti
epileptik yang tidak menginduksi enzim seperti Benzodiaepin, lamotrigin dan gabapentin bisa
menjadi pilihan obat antiepileptik pada wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal. 7
17
umumnya masih digunakan pada perempuan menopause. OAE jenis ini dapat mempengaruhi
metabolisme kalsium dan menekan produksi bentuk vitamin D aktif yang akan meningkatkan
risiko gangguan pada tulang seperti osteoporosis, osteopeni, osteomalasia dan fraktur.
Dianjurkan menggunakan OAE non induksi enzim yang dilaporkan lebih baik untuk
perempuan. Valproat juga meningkatkan risiko terjadinya kelainan tulang walaupun
mekanismenya belum diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
18
9. Women’s issue epilepsi in women. 2013. http//www.emedicine.com. diakses 4 februari
2013
19