Pawongan
Pawongan
ARSITEKTUR PAWONGAN
1. Pengertian
Pawongan adalah hubungan manusia dengan manusia. Manusia yang bersifat individu maupun
social sehingga memerlukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Sedangkan untuk arsitektur pawongan merupakan arsitektur yang memiliki fungsinmewadahi
aktivitas manusia dengan manusia (social)
c. Umah
Umah merupakan tempat tinggal wangsa weisa dan sudra dimana weisa dan sudra merupakan
orang-orang yang bergerak di bidang ekonomi.
1. Wantilan
Jika dirunut ke muasalnya, wantilan merupakan suatu bangunan dengan dimensi yang
cukup luas bila dibandingkan dengan bangunan arsitektur tradisional Bali lainnya, dapat
menampung anggota masyarakat yang melakukan kegiatan di sana dalam jumlah sekitar 500
orang. Keberadaan wantilan diawali oleh adanya keinginan untuk mengatapi tempat kegiatan
atau pun upacara yang dilaksanakan di lapangan terbuka atau pun natah agar terlindung dari terik
matahari.
Dilihat dari arti kata, wantilan terkait dengan kata wanti atau mawanti-wanti yang
mempunyai arti "terus-menerus". Kata wanti atau mawanti-wanti dalam hal ini bermakna adanya
pengulangan. Pengulangan pada atap terlihat jelas dengan wantilan yang memiliki atap berulang,
baik itu berulang sekali (satu anda) atau pun berulang dua kali (dua anda). Pengulangan pada
lantai juga dapat disaksikan pada beberapa wantilan yang mempunyai ketinggian lantai pada
daerah saka utama yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada daerah sekitar saka jajar.
Selain pengulangan pada bentuk, pada wantilan juga terjadi pengulangan fungsi.
Wantilan difungsikan berulang bergantian, suatu saat sebagai tempat tempat sangkep
(pertemuan), sekali waktu sebagai tempat tabuh rah, sekali waktu sebagai tempat balih-balihan.
Wantilan merupakan bangunan terbuka ke segala arah. Hal ini mencerminkan bahwa bangunan
ini sama sekali tidak dipersiapkan untuk kegiatan yang bersifat pribadi. Wantilan dengan atapnya
yang maanda mampu mengatasi sirkulasi udara saat sedang dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Ini suatu cerminan makna wantilan sebagai fasilitas publik. Wantilan dengan daya tampung yang
besar dapat ditemukan di banjar, jaba pura, dan bencingah puri.
KELOMPOK II | ARSITEKTUR PAWONGAN 2
ARSITEKTUR DAN BUDAYA
Wantilan juga dapat ditemukan di dalam lingkungan pura kahyangan tiga dan pura banjar. Pada
pura besar yang tidak termasuk pura kahyangan tiga juga dapat ditemukan adanya wantilan.
Salah satu contohnya dapat ditemukan di Pura Petilan yang sering disebut Pura Dalem Petilan
Kesiman, Denpasar. Wantilan juga ditemukan di bencingah puri (halaman di luar tembok
penyengker puri).
Denah wantilan pada awalnya berbentuk bujur sangkar. Hal ini tidak lepas dari
perkembangan fungsi awalnya. Sangkep yang berasal dari kata jangkep atau nyangkepang
memiliki arti "mengawinkan". Dalam hal ini dapat diartikan sebagai mengawinkan atau
menyatukan pendapat masyarakat banjar dari empat penjuru mata angin. Bentuk segi empat juga
tidak terlepas dari makna adanya empat pihak yang akan melakukan pertemuan -- ada pemuka
masyarakat, ada pengabih kanan dan pengabih kiri, dan masyarakat. Di tengah ruang yang
terbentuk dari empat sisi ini ada pemucuk (pemimpin). Saat dilaksanakan tabuh rah, dibuatlah
suatu kalangan yang mempunyai batas-batas. Kalangan ini berbentuk bujur sangkar.
2. Bale Banjar
Bale banjar pada dasarnya merupakan suatu wadah kegiatan musyarakat yang berkaitan
dengan pakraman, agama dan bentuk-bentuk sosial lainnya, dengan melibatkan sebagian atau
seluruh anggota banjar. Sejalan dengan pertumbuhan teknologi, komunikasi, informasi dan
ekonomi di era global ini.
Bale (bahasa Bali), juga berarti "balai" (dalam bahasa Indonesia) yang artinya gedung,
rumah (umum), atau bangunan terbuka. Kata banjar, selain berarti jajar atau berderet ke samping,
juga memiliki arti kelompok. Misalnya, mabanjar berarti masuk kelompok suatu unit sosial yang
di Bali disebut banjar. Kata banjar juga memiliki arti yang sama dengan banjah yang artinya
"membentang". Sehingga, bale banjar mengandung arti "suatu balai atau tempat membentangkan
suatu masalah yang dihadapi oleh krama banjar" atau "suatu bangunan terbuka yang digunakan
untuk kepentingan bersama warganya."
Umumnya, lokasi bale banjar terletak di sudut perempatan, pertigaan jalan, atau di sudut
pertemuan antara jalan dengan gang yang mudah dicapai oleh krama banjar. Dalam bentuknya
yang tradisional, pekarangan bale banjar tidak memiliki tembok panyengker. Pada dasarnya, pola
penataan massa bangunan bale banjar menyerupai tatanan umah. Sebelah timur laut (kaja
kangin) berupa tempat suci, biasanya terdiri dari padmasana, tugu, gedong dan tajuk. Di
dekatnya (sebelah barat) dibangun bale gede atau bale sumanggen bertiang 12, atau bisa pula
bale lantang bertiang enam. Di sebelah selatan/tenggara terletak lumbung dan paon (dapur
banjar), dilengkapi bale paebatan serta bale kulkul di pojok barat dayanya.
Di tengah-tengah pekarangan merupakan natah atau ruang terbuka yang dipasang tetaring
(kerangka bambu) ditutupi atap dari daun kelapa, tempat rapat (sangkep) banjar atau kegiatan
lain yang menampung kapasitas warga banjar dalam jumlah besar. Ruang pertemuan bentuk
tetaring inilah kemudian berkembang bentuknya jadi wantilan, sebagai ruang serba guna, dalam
kondisi yang lebih permanen. Wantilan dibangun dengan konstruksi utama empat tiang induk,
dikitari 12 tiang jajar pada sisi-sisinya. Selain itu, atap wantilan umumnya bertumpuk dan
bercelah. Bentuk dasar wantilan, awalnya, segi empat bujur sangkar dan berorientasi ke dalam
(memusat). Umumnya lantai di bagian tengahnya lebih rendah. Lambat laun bentuk dasarnya
berkembang jadi segi empat panjang, ditambah panggung pentas atau ruang pertunjukan di salah
satu sisi denahnya.
Awalnya, bale banjar yang tradisional, gugus massa bangunannya berkonstruksi rangka
kayu berusuk bambu, dengan penutup atap alang-alang. "Bahasa" arsitektural bale banjar tempo
dulu menyuarakan artikulasi kesederhanaan, baik bentuk maupun penataan ruangnya. Wujud
bangunan sebagian besar terbuka, tanpa dinding. Kemudian berubah dan berkembang,
berkonstruksi rangka beton bertulang, dan berbentang ruang lebih lebar. Bangunan bentuk masif
terdapat pada -- bagian dasar -- bale kulkul, dan unit-unit bangunan suci (palinggih) di bale
banjar, menggunakan material bangunan lokal seperti bata pripihan, batu paras, alang-alang, ijuk,
bedeg, kerikil, dll.
Seiring dengan kian terbatasnya lahan, disertai pertumbuhan peruntukan dan jumlah
massa-massa bangunan di bale banjar tampak (beberapa di antaranya) semakin berkurang,
tereliminasi oleh perkembangan tuntutan (multifungsi) masing-masing ruang. Dari fungsi semula
yang lebih menekankan sebagai tempat bermusyawarah, dan pembelajaran nonformal, ada yang
berkembang menjadi tempat usaha atau sebagai ruang yang disewakan. Tak sedikit pula bale
kulkul-nya dibangun di lantai dua atau tiga, lalu pada lantai dasarnya diperuntukkan sebagai
warung/tempat berdagang. Pemekaran fungsi yang dialami, membuat terjadi transformasi bentuk
bale banjar.
Perkembangan arsitektur bale banjar terkait unsur kearsitekturan seperti organisasi ruang,
sirkulasi, proporsi, skala, dimensi, konstruksi dan bahan bangunannya. Tatanan ruangnya
ditunjukkan oleh adanya tempat-tempat kegiatan musyawarah, pertemuan antarwarga atau
dengan sekelompok orang dalam suatu komunitas. Tersedianya tempat melakukan kegiatan ritual
bersama (adanya pura banjar atau tempat suci), serta bale kulkul sebagai sarana komunikasi.
Kiblat dari bale banjar merupakan pertemuan diagonal antara sumbu mata angin dengan sumbu
kosmologis -- kaja-kelod atau ke arah gunung dan laut.
Perkembangan fungsi maupun bentuk bale banjar dipengaruhi beberapa faktor, seperti
teknologi, pertumbuhan ekonomi, tuntutan kebutuhan ruang, tata nilai, dan pola hidup anggota
banjar. Adanya perkembangan teknologi dewasa ini sangat mempengaruhi teknologi
pembangunan bale banjar, terutama di perkotaan. Misalnya, perkembangan teknologi konstruksi
bangunan yang menyangkut keawetan dan kekuatannya. Lantas, pertumbuhan ekonomi yang
menyangkut peningkatan pendapatan banjar. Tuntutan akan kebutuhan ruang tertentu yang bisa
dimanfaatkan dan berlangsung setiap hari. Selain itu, tata nilai yang menjaga tradisi, berperan