WRAP UP sk1 Endokrin
WRAP UP sk1 Endokrin
SKENARIO 1
PENGLIHATAN TERGANGGU
BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME
Kelompok A-4
Ketua : Fitriano Haniwieko (1102011108)
Sekretaris : Fatima Zahra (1102011101)
Anggota : Alifah Diendhia Putri (1102011021)
Citra Nurul Aviandari (1102011067)
Debby Astasya Annisa (1102011071)
Fadhillah Syafitri Suhatril (1102011091)
Fazelia Berlianthi S (1102011103)
Indah Ariyanti (1102011124)
Lusy Cristi (1102011143)
Maltari (1102011152)
Hubungan
Ke anterior : Dari kanan ke kiri: colon transversum dan perlekatan mesocolon transversum, bursa
omentalis, dan gaster.
Ke posterior : Dari kanan ke kiri: ductus choledochus, vena portae hepatis dan vena lienalis, vena
cava inferior, aorta, pangkal arteria mesenterica superior, musculus psoas major sinistra,
glandula suprarenalis sinistra, ren sinister, dan hilum lienale.
Vaskularisasi
Arteriae
a. pancreaticoduodenalis superior (cabang a. gastroduodenalis )
a. pancreaticoduodenalis inferior (cabang a. mesenterica cranialis)
a. pancreatica magna, a.pancretica caudalis dan inferior (cabang a. lienalis)
Venae
Venae yang sesuai dengan arteriaenya mengalirkan darah ke sistem porta.
Aliran Limfatik
Kelenjar limfe terletak di sepanjang arteria yang mendarahi kelenjar. Pembuluh eferen akhirnya
mengalirkan cairan limf ke nodi limf coeliaci dan mesenterica superiores.
Persyarafan
Berasal dari serabut-serabut saraf simpatis (ganglion seliaca) dan parasimpatis (vagus).
Sel α
20% populasi sel
Mensekresi glukagon
Bentuk besar, mencolok, terutama di perifer
Sel β
75% dari polulasi, sel paling kecil, menempati bagian tengah
Mensekresi insulin
Granula lebih kecil (200 μm)
Sel δ
Sel paling besar, 5% dari populasi
Granula mirip sel α, tapi kurang padat
Menghasilkan hormon Somatostatin yang di pankreas bekerja mengatur pelepasan hormon
pulau Langerhans yang lain (parakrin)
Sel C/sel PP
Ditemukan hanya pada spesies tertentu, mis. Guinea pig, jumlah terbatas, ukuran sama
dengan sel β, dengan sedikit atau tanpa granula.
Mensekresi polipeptida pankreas
Sekresi Insulin
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel
beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi
insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang
berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi
glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat
beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut,
menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme
glukosa yang fisiologis.
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera
setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1
(AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk
mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan.
Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal karena
pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial.
Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk mempertahankan
berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal,
bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa
darah postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk
hiperinsulinemia kompensatif.
Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase, latent
phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu
relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya
diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama,
seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa
darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi fase 1 tidak
adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2.
Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh
agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif
perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga normal di
jaringan (tanpa resistensi insulin), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal. Dengan
demikian tidak dibutuhkan tambahan (ekstra) sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas
normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang
memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat memberikan dampak
glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai dampak negatifnya.
Intravenous Second
Insuli glucose
IGT
n
First-Phase
Secret
ion
Basa
0 5 10 15 20 25 30 ( minute )
Gb.2 Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravena pada keadaan normal
dan keadaan disfungsi sel beta ( Ward, 84)
Aksi Insulin
Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh terutama
metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses utilisasi glukosa oleh
hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor
(insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan antara insulin
dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau
metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang
sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam
meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong
penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja
memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolism. Untuk
mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika
sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya
sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor
etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme glukosa di
jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan
pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut
berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa,
lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses
glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini berlangsung secara
normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin. Manakala jaringan ( hepar )
resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi
glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi
insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.
L.O 3.3 Memahami dan menjelaskan etiologi dan faktor resiko diabetes mellitus tipe 2
Diabetes melitus dicirikan dengan peningkatan sirkulasi konsentrasi glukosa akibat metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak yang abnormal dan berbagai komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler. Semua keadaan diabetes merupakan akibat suplai insulin atau respon jaringan
terhadap insulin yang tidak adekuat (Inzucchi, 2005), ada bukti yang menunjukkan bahwa
etiologi diabetes melitus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dan jenis yang berbeda
akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang
peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus. Manifestasi klinis diabetes melitus
terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta telah rusak. Pada diabetes melitus yang lebih berat, sel-sel
beta telah rusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang
berkaitan dengan defisiensi insulin (Anonim, 1999).
Penyebab-penyebab tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes melitus tipe II
menurut Guyton & Hall (2002), yaitu:
1. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun)
2. Obesitas
3. Riwayat keluarga
Beberapa faktor resiko dari diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
1. Keturunan
Sekitar 50 % pasien diabetes tipe 2 mempunyai orangtua yang menderita diabetes, dan lebih
sepertiga pasien diabetes mempunyai saudara yang mengidap diabetes. Sedangkan untuk
diabetes tipe 1, sekitar 20 % terjadi pada penderita dengan riwayat keluarga terkena diabetes dan
80 % terjadi pada penderita yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan diabetes. (WHO,
2002).
2. Ras atau Etnis
Beberapa ras tertentu, seperti suku indian di Amerika, Hispanik, dan orang Amerika di Afrika,
mempunyai resiko lebih besar terkena diabetes tipe 2.Sedangkan diabetes tipe 1 sering terjadi
pada orang Finlandia dengan presentase mencapai 40 %.
3. Usia
Pada diabetes tipe 1, usia muda merupakan awal terjadinya penyakit tersebut, sedangkan pada
diabetes tipe 2 umur puncak berada pada usia diatas 45 tahun.
4. Obesitas
Lebih dari 8 diantara 10 penderita diabetes tipe 2 adalah mereka yang mengalami kegemukan.
Makin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot akan makin resisten terhadap kerja
insulin, terutama bila lemak tubuh atau kelebihan berat badan terkumpul didaerah sentral atau
perut. Lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam
sel dan menumpuk dalam peredaran darah.
5. Sindroma Metabolik
Menurut WHO dan National Cholesterol Education Program : Adult Treatment Panel III, orang
yang menderita sindroma metabolic adalah mereka yang punya kelainan seperti : tekanan darah
tinggi lebig dari 160/90mmHg, trigliseridaa darah lebih dari 150mg/dl, kolesterol HDL <40
mg/dl, obesitas sentral dengan BMI lebih dari 30, lingkar pinggang melebihi 102 cm pada pria
atau melebihi 88 cm pada wanita, atau sudah terdapat mikroalbuminuria.
6. Kurang Gerak Badan
Olahraga atau aktivitas fisik membantu untuk mengontrol berat badan. Glukosa darah dibakar
menjadi energi, sel-sel tubuh menjadi lebih sensitive terhadap insulin.peredaran darah lebih baik
dan resiko terjadinya diabetes tipe 2 akan turun sampai 50%.
7. Faktor Kehamilan
Diabetes pada ibu hamil dapat terjadi pada 2-5 % kehamilan. Biasanya diabetes akan hilang
setelah anak lahir. Ibu hamil dengan diabetes dapat melahirkan bayi besar dengan berat badan
lebih dari 4 kg. Apabila ini terjadi, sangat besar kemungkinan si ibu akan mengidap diabetes tipe
2 kelak.
8. Infeksi
Infeksi virus dapat juga dijadikan penyebab timbulnya diabetes mellitus.Adapun virus-virus
tersebut adalah virus cytomegalovirus, virus rubella dan virus coxsackie.
L.O 3.4 Memahami dan menjelaskan klasifikasi diabetes mellitus tipe 2
Klasifikasi diabetes melitus menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008 dan
Departement of Health and Human Service USA (2007) terbagi dalam 3 bagian yaitu Diabetes
tipe 1, Diabetes tipe 2, dan Diabetes Gestational. Namun, menurut American Diabetes
Association (2009), klasifikasi DM terbagi 4 bagian dengan tambahan Pra‐Diabetes.
a. Diabetes tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 merupakan bentuk diabetes melitus parah yang sangat lazim terjadi
padaanak remaja tetapi kadang‐kandang juga terjadi pada orang dewasa, khususnya yang non‐
obesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika hiperglikemia tampak pertama kali. Keadaan
tersebut merupakan suatu gangguan katabolisme yangdisebabkan hampir tidak terdapat insulin
dalam sirkulasi darah, glukagon plasma meningkat dan sel‐sel ß pankreas gagal merespons
semua stimulus insulinogenik. Oleh karena itu diperlukan pemberian insulin eksogen untuk
memperbaiki katabolisme, menurunkan hiperglukagonemia dan peningkatan kadar glukosa darah
(Karam, 2002).
Gejala penderita diabetes melitus tipe 1 termasuk peningkatan ekskresi urin (poliuria), rasa haus
(polidipsia), lapar, berat badan turun, pandangan terganggu, lelah, dan gejala ini dapat terjadi
sewaktu‐waktu (tiba‐tiba) (WHO, 2008).
b. Diabetes tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan bentuk diabetes melitus yang lebih ringan, terutama terjadi
pada orang dewasa. Sirkulasi insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari normal atau
secara relatif tidak mencukupi. Obesitas pada umumnya penyebab gangguan kerja insulin,
merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes melitus tipe ini dan sebagian besar
pasien dengan diabetes melitus tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadinya penurunan kepekaan
jaringan terhadap insulin, juga terjadi defisiensi respons sel ß pankreas terhadap glukosa (Karam,
2002). Gejala diabetes melitus tipe 2 mirip dengan tipe 1, hanya dengan gejala yang samar.
Gejala bisa diketahui setelah beberapa tahun, kadang‐kadang komplikasi dapat terjadi. Tipe
diabetes melitus ini umumnya terjadi pada orang dewasa dan anak‐anak yang obesitas.
c. Diabetes Gestational
Diabetes melitus ini terjadi akibat kenaikan kadar gula darah pada kehamilan (WHO, 2008).
Wanita hamil yang belum pernah mengalami diabetes melitus sebelumnya namun memiliki
kadar gula yang tinggi ketika hamil dikatakan menderita diabetes melitus gestational. Diabetes
mellitus gestational biasanya terdeteksi pertama kali pada usia kehamilan trimester II atau III
(setelah usia kehamilan 3 atau 6 bulan) dan umumnya hilang dengan sendirinya setelah
melahirkan. Diabetes gestational terjadi pada 3‐5% wanita hamil (Anonim, 2009).
Mekanisme diabetes melitus gestational belum diketahui secara pasti. Namun, besar
kemungkinan terjadi akibat hambatan kerja insulin oleh hormon plasenta sehingga terjadi
resistensi insulin. Resistensi insulin ini membuat tubuh bekerja keras untuk menghasilkan insulin
sebanyak 3 kali dari normal. Diabetes melitus gestational terjadi ketika tubuh tidak dapat
membuat dan menggunakan seluruh insulin yang digunakan selama kehamilan. Tanpa insulin,
glukosa tidak dihantarkan ke jaringan untuk dirubah menjadi energi, sehingga glukosa meningkat
dalam darah yang disebut dengan hiperglikemia (Anonim, 2009).
d. Pra‐Diabetes
Pra‐diabetes merupakan diabetes melitus yang terjadi sebelum berkembang menjadi DM tipe 2.
Penyakit ini ditandai dengan naiknya kadar gula darah melebihi normal tetapi belum cukup
tinggi untuk dikatakan diabetes melitus. Di Amerika Serikat ±57 juta orang menderita pra‐
diabetes. Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa beberapa kerusakan jangka panjang
khususnya pada jantung dan sistem sirkulasi, kemungkinan sudah terjadi pada pra‐diabetes,
untuk mencegahnya dapat dilakukan dengan diet nutrisi dan latihan fisik (Anonim, 2009).
L.O 3.5 Memahami dan menjelaskan patofisiologi diabetes mellitus tipe 2
Defisiensi insulin
Glukagon meningkat penurunan pemakaian glukosa
oleh sel
glukoneogenesis
hiperglikemia
lemak protein
glikosuria
ketogenesis BUN me>>
diuresis osmotik
ketouria nitrogenuria me >>
dehidrasi
PH me <<
Hemokonsentrasi
asidosis
trombosis
koma , kematian
aterosklerosis
makrovaskuler mikrovaskuler
Kelainan kulit
Kelaianan kulit berupa gatal – gatal, biasanya terjadi didaerah ginjal. Lipatan kulit seperti di
ketiak dan dibawah payudara. Biasanya akibat tumbuhnya jamur.
Kelaianan ginekologis
Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama candida.
Kelemahan tubuh
Kelemahan tubuh terjadi akibat penurunan produksi energi metabolik yang dilakukan oleh
sel melalui proses glikolisis tidak dapat berlangsung secar optimal.
Mata kabur
Disebabkan oleh katarak/ gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa oleh hiperglikemia,
mungkin juga disebabkan kelainan pada korpus vitreum.
Keluhan tidak khas diabetes melitus : lemah, kesemutan, gatal, penglihatan kabur, disfungsi
ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita
Faktor risiko DM tipe 2 :
Usia >45 tahun
Berat badan lebih : > 110% berat badan idaman atau indeks massa tubuh (IMT) wanita >25
kg/m² atau <18 kg/m² sedangkan pria >27 kg/m² atau <20 kg/m²
Hipertensi ( TD > 160/95 mmHg)
Riwayat Dm dalam garis keturunan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi > 4.000 gram
Pemerikasaan fisik :
Tinggi badan dan berat badan (tidak sesuai dengan IMT), tekanan darah (hipertensi), lingkar
pinggang (cewek >80, cowok >90)
Tanda neuropati
Mata ( visus, lensa mata dan retina )
Keadaan kaki ( termasuk rabaan nadi kaki ), kulit dan kuku. Contoh : a. Dorsalis pedis
Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal 1 kali saja cukup
untuk menegakan diagnosis
Apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan 2 kali pemeriksaan glukosa darah
abnormal
*TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)
Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa), atau 1,75 g/Kg BB (anak-anak), dilarutkan dalam
250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok TGT (Toleransi GlukosaTerganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu) dari hasil yang diperoleh
- TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembebanan antara 140 – 199 mg/dl
- GDPT : glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dl.
Pemeriksaan Penunjang
Darah
1. Kadar glukosa darah : puasa, sewaktu, 2 jam post prandial.
2. Tes toleransi glukosa oral (TTGO)
3. Kurva Harian glukosa
4. Kadar keton darah
5. Kadar Hb A1c
6. Kadar fruktosamin
7. Kadar insulin
8. Kadar C-peptide
9. Pemeriksaan lain: tes fungsi ginjal, analaisa gas darah, kadar lipid, imunoserologis
Urin :
1. Reduksi/glukosa urin
2. Protein, mikroalbumin
3. Benda Keton
4. Sedimen Urin
DARAH
Glukosa darah puasa (GDP): puasa 10-14 jam sebelum pengambilan darah.
Glukosa darah sewaktu (GDS): pengambilan darah tanpa melihat kapan terakhir makan.
Glukosa darah 2 jam post prandial : pengambilan darah 2 jam setelah makan atau setelah
konsumsi 75 gr glukosa. Selama menunggu 2, pasien duduk istirahat, tidak makan/minum
lagi dan tidak merokok.
BAHAN PEMERIKSAAN
Untuk pemeriksaan kadar glukosa darah digunakan serum/ plasma vena, kapiler (“whole blood”
= darah utuh). Kandungan glukosa darah kapiler lebih tinggi 7-10% dari glukosa dalam vena
(keadaan puasa 2-3 mg/dL, sehabis makan 20-30 mg/dL).
METODE PEMERIKSAAN
Untuk pemeriksaan kadar glukosa darah saat ini banyak dipakai metode enzimatik metode
glocose oxidase atau Hexokinase karena hasil pemeriksaan mempunyai spesifitas tinggi. Untuk
diagnostik DM, dianjurkan pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan plasma
vena.
Urin
Pemeriksaan Urin rutin
Untuk mencari adanya kelainan / komplikasi pada saluran kemih, misalnya infeksi atau
insufisiensi ginjal.
Glukosa urin dan keton urin
Pemeriksaan glukosa urin secara tidak langsung menggambarkan kadar glukosa darah > 180
mg/dL (batas ambang ginjal untuk glukosa), maka pemeriksaan glukosa urin akan positif.
Namun urin yang dikeluarkan tidak selalu berkorelasi dengan glukosa darah, sehingga
pemeriksaan glukosa urin tidak dianjurkan untuk memastikan diagnosis DM. Pemeriksaan
glukosa urin dapat dipakai untuk pemantauan hasil pengobatan. Pemeriksaan keton urin
dilakukan bila didapatkan tanda-tanda ketoasidosis. Namun pemeriksaan keton urin
mempunyai kelemahan karen menggambarkan kadar glukosa darah beberapa jam sebelum
tes dan saat ini baru bisa mendeteksi aseton dan asetoasetat, bukan 3 HB.
Mikroalbuminuria
Penting untuk deteksi dini komplikasi ginjal. Terdeteksinya albumin dalam jumlah kecil (<
30 mg/dL) dalam urin menunjukan adanya komplikasi ginjal.
BAHAN PEMERIKSAAN
Untuk pemeriksaan urin rutin, protein, glukosa, keton dan sedimen urin dipakai urin porsi
tengah, segar. Spesimen untuk tes mikroalbuminuria dipakai urin 24 jam.
Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring dapat dilihat
pada tabel 3.
L.O 3.8 Memahami dan menjelaskan diagnosis banding diabtes mellitus tipe 2
Diagnosis Banding :
a. Cystic fibrosis
b. Diabetes mellitus type l
c. Diabetic ketoacidosis
d. Drug-induced glucose intolerance
e. Gestational diabetes
f. Glucose intolerance
g. Pancreatitis
L.O 3.9 Memahami dan menjelaskan tatalaksana diabetes mellitus tipe 2
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes.
Tujuan penatalaksanaan :
Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
mencapai target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dna
neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas.
Edukasi
DM umumnya terjadi saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Timkes
mendampingi pasien untuk menuju perubahan perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan
glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien.
Latihan jasmani
Farmakoterapi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
Terapi Insulin
Sediaan :
Termasuk obat utama DM 1 dan beberapa tipe 2. Suntikan insulin dilakukan dengan IV, IM, SK
(jangka panjang). Pada SK insulin akan berdifusi ke sirkulasi perifer yang seharusnya langsung
masuk ke sirkulasi portal, karena efek langsung hormone ini pada hepar menjadi kurang.
Indikasi dan tujuan :
Insulin SK diberikan pada DM 1, DM 2 yang tidak dapat diatasi dengan diet/ antidiabetik oral,
dll. Tujuan pemberian insulin adalah selain untuk menormalkan kadar insulin juga untuk
memperbaiki semua aspek metabolism.
Dosis :
Kebutuhan insulin pada DM antara 5-150 U sehari tergantung dari keadaan pasien.
Dosis awal DM muda 0,7-1,5 U/kgBB
Untuk DM dewasa kurus 8-10 U insulin kerja sedang diberikan 20-30mnt sblm makan pagi,
dan 4-5 U sebelum makan malam.
DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sebelum makan malam.
ES :
Hipoglikemi, alergi dan resisten, lipoatrofi dan lipohipertrofi, edem, kembung,dll.
Interaksi :
Antagonis (adrenalin, glukokortikoid, kortikotropin, progestin, GH, Tiroid, estrogen, glucagon,
dll)
Obat Antidiabetik Oral
a. Sulfonylurea ( insulin secretagogues )
Pemberian : 15-30 mnt sebelum makan
Mek. Kerja : Berinteraksi dengan ATP sensitive K channel pada membrane sel beta depolarisasi
membrane dan keadaan ini membuka kanal Ca. sehingga Ca masuk sel beta, merangsang sekresi
insulin.
Farmakokinetik : masa paruh dan metabolism sulfonylurea generasi 1 sangat bervariasi. Semua
sulfonylurea dimetabolisme di hepar dan dieksresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh
diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat.
ES : hipoglikemi bahkan sampai koma, mual, muntah, diare, hematologic (leukopenia,
agranulositosis), susunan saraf pusat (vertigo, bingung, ataksia), mata dsbg.
Indikasi : untuk pasien DM yang diabetesnya di peroleh pada usia diatas 40 tahun. Kegagalan
disebabkan perubahan farmakogenetik obat, misalnya penghancuran yang terlalu cepat.
Peringatan : Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien DM juvenile, pasien yang
kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan keadaan gawat.
Interaksi :
meningkatkan hipoglikemia (insulin, alcohol, sulfonamide, probenezid, kloramfenikol)
b. Meglitinid
Pemberian : sesaat sebelum makan
Mek. Kerja : Sama dengan sulfonylurea, tetapi struktur kimianya berbeda. Merangsang insulin
dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel beta pankreas. Pemberian oral
absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa paruh 1 jam, sehingga
harus diberikan beberapa kali sehari sebelum makan.
Farmakokinetik : Metabolisme utama di hepar, 10% di ginjal.
ES : Hipoglikemi, gangguan saluran cerna, dan alergi.
c. Biguanid
Pemberian : sebelum/saat/sesudah makan
Terdiri : fenformin (ditarik dari peredaran karena sebabin asidosis laktat), buformin, metformin.
Mek. Kerja : Merupakan antihiperglikemik, metformin dapat menurunkan produksi glukosa
dihepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini terjadi
karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP activated protein kinase). Pada DM yang gemuk,
biguanid dapat menurunkan BB.
Farmakokinetik : Metformin oral di absorpsi di intestine, dalam darah tidak terikat protein
plasma, eksresi dalam urin utuh, masa paruh sekitar 2 jam.
Dosis : Awal 2x500 mg, maintenance dose 3x500 mg, max 2,5 gr. Diminum saat makan.
Indikasi : Pasien DM yang tidak memberikan respon dengan sulfonylurea dapat diatasi dengan
metformin, atau kombinasi dengan insulin atau sulfonylurea.
ES : Mual, muntah, diare, metallic taste, ketosis (pada pasien yang mutlak dengan insulin
eksogen), gangguan keseimbangan elektrolit cairan tubuh.
KI : Kehamilan, penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremi dan penyakit jantung
kongestif dan penyakit paru, dengan hipoksia kronik, pemberian zat kontras intravena atau yang
akan di operasi harus dihentikan dan sesudah 48 jam boleh.
d. Tiazolidinedion
Pemberian : tidak bergantung pada jadwal makan
Mek. Kerja :Berikatan pada peroxisome proliferators activated receptor ɣ (PPAR ɣ) suatu resptor
inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
ES:
Peningkatan BB, edem, menambah volum plasma dan memperburuk gagal jantung kongestif,
hipoglikemi.
KI : Gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Perlu pemantauan faal hati secara berkala.
Interaksi : dengan insulin dapat menyebabkan edem.
f. DPP-4 Inhibitor
Pemberian : diberikan bersama makan dan atau sebelum makan
Mek. Kerja : Glucagon like peptide 1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang
dihasilkan oleh sel L dimukosa usus. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon. Namun, sekresi GLP-1 menurun pada DM-
2.
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka
mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada
HHNK tidak terdapat ketosis.
Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemia
bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari hipoglikemia
sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang.
Tanda-tanda Hipoglikemia
1. Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitug sederhana.
3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung dan bibir, tangan, berdebar-
debar.
4. Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang.
Keempat stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oral ataupun suntikan.
Ada beberapa catatan perbedaan antara keduanya:
Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.
Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin bisa diperkirakan
pada puncak kerjanya, misalnya:
Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan
Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan
P.Z.I : 18 jam setelah suntikan
Obat oral sedikit memberikan gejala saraf otonom (parasimpatik dan simpatik), sedangkan
akibat insulin sangat menonjol.
Makrovaskular
- Kelainan pada kaki → ulserasi, atropati
DIET
Diet adalah penatalaksanaan yang penting dari kedua tipe DM. makanan yang masuk harus
dibagi merata sepanjang hari. Ini harus konsisten dari hari kehari. Adalah sangat penting bagi
pasien yang menerima insulin dikordinasikan antara makanan yang masuk dengan aktivitas
insulin lebih jauh orang dengan DM tipe II, cenderung kegemukan dimana ini berhubungan
dengan resistensi insulin dan hiperglikemia. Toleransi glukosa sering membaik dengan
penurunan berat badan. (Hendrawan,2002).
Modifikasi dari faktor-faktor resiko
Menjaga berat badan
Tekanan darah
Kadar kolesterol
Berhenti merokok
Membiasakan diri untuk hidup sehat
Biasakan diri berolahraga secara teratur. Olahraga adalah aktivitas fisik yang terencana
dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang berulang untuk mencapai
kebugaran.
Hindari menonton televisi atau menggunakan komputer terlalu lama, karena hali ini yang
menyebabkan aktivitas fisik berkurang atau minim.
Jangan mengonsumsi permen, coklat, atau snack dengan kandungan. garam yang tinggi.
Hindari makanan siap saji dengan kandungan kadar karbohidrat dan lemak tinggi.
Konsumsi sayuran dan buah-buahan.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien
dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-
325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai
penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien
dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal . Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan
holistik dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi
yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah
vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatrist, dll.) sangat diperlukan dalam menunjang
keberhasilan pencegahan tersier (Konsensus,2006).
Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan bentuk
berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior.
Mikroaneurisma terletak pada lapisan nuclear dalam dan merupakan lesi awal yang dapat
dideteksi secara klinis. Mikroaneurisma berupa titik merah yang bulat dan kecil, awalnya
tampak pada temporal dari fovea. Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak
yang biasanyaterletak dekat mikroaneurisma dipolus posterior
Perubahan pembuluh darah berupa dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan
berkelok-kelok seperti sausage-like.
Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannyakhusus yaitu
iregular,kekuning-kuningan. Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung.
Eksudat inidapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Soft exudate yang sering disebutcotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada
pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna
putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia
retina.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula (macula
edema)sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan. Edema retina awalnya terjadi antara
lapisan pleksiform luar dan lapisan nucleus dalam.
Gb. OCT pada Mata normal Gb. OCT pada Retinopati diabetik
OCT memberikan gambaran penampang aksial untuk menemukan kelainan yang sulit terdeteksi
oleh pemeriksaan lain dan menilai edema makula serta responsnya terhadap terapi. Ocular
ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi retina bila visualisasinya terhalang oleh perdarahan
vitreous atau kekeruhan media refraksi.
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan
bagi pasien ddiabetes, Terapi gizi medis ini pada pronsipnya adalah melakukan pengaturan pola
makan yang didasarkan pada stasus gizi medis diabetesi dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: Menurunkan berat
badan, Menurunkan tekanan sistolik dan diastolik, Menurunkan kadar glukosa darah,
Memperbaiki profil lipid, Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, Memperbaiki sistem
koagulsi darah.
Tujuan Terapi Gizi Medis
Tujuan terapi gizi medis ini adlah untuk mencapai dan mempertahankan:
Kadar glukosa darah mendekati normal
Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl.
Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl.
Kadar A1c <7%.
Tekanan darah <130/80 mmHg.
Profil Lipid
Kolesterol LDL<100 mg/dl
Kolesterol HDL >40 mg/dl.
Trigliserida < 150 mg/dl.
Beran badan senormal mungkin.
Jenis Bahan Makanan
KARBOHIDRAT
Sebagai sumber energi, karbohirat yang diberikan diabetisi tidak boleh lebih dar 55-65% dari
total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan
pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA: monounsaturated fatty acids). Pada
setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4kilokalori.
Rekomendasi karbohidrat :
Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung KH, lebih ditentukan oleh
jumlahnya dibandungkan dengan jenis KH itu sendiri.
Dari total kebutuhan kalori perhari, 60-70% diantaranya berasal dari sumber KH.
Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah KH maksimal 70% dari total
kebutuhan kalori perhari.
Julah serat 25-50 gram per hari.
Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai lebih dari
total kebutuhan kalori perhari.
Sebagai pemanis dapat digunakan pmanis non kalori seperti sakarin, aspartame, acesulfame,
dan sukralosa.
Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dar10 gram/hari.
Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari.
Makanan yang mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
PROTEIN
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori perhari. Pada
penderita kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram/hari,
maka perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar
2 kilokalori/gram.
Rekomendasi pemberian protein:
Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
Pada keadaan kadar glukosa yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi
konsentrasi glukosa darah.
Pada keadaan glukosa tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari.
Pada gangguan fungsi ginjal, asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/KgBB/hari dan
tidak kurang dari 40gram.
Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan
dibanding protein hewani.
LEMAK
Lemak memiliki kandungan energi sebesar 9 kilokalori/gram. Bahan makanan ini sangat penting
untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitami A, D, E, K. Berdasarkan rantai
karbonnya , lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak
jenuh dan kolestrol sangat disarankan pada diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil
lipid tidak normal bagi pasien diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated
fatty acid : MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki glukosa darah
dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi, dapat menurunkan kadar trigliserida,
kolestrol total, kolestrol VLDL, dan meningkatkan kadar kolestrol HDL. Sedangkan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid= PUFA) dapat melindungi jantung,
menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak
omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan eningkatkan aktivitas enzyme
lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jarngan perifer. Sehingga dapat
menurunkan kadar kolestrol LDL.
Rekomendasi Pemberian Lemak:
Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari total
kebutuhan kalori per hari.
Jika kadar kolestrol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai
maksimal 7% dari total kalori perhari.
Konsumsi kolestrol maksimal 300mg/hari, jika ada kolestrol LDL ≥ 100 mg/dl, maka
maksimal kolestrol yang dapat dikonsumsi 200 mg per hari.
Batasi asam lemak bentuk trans.
Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai
panjang.
Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori perhari.
Penghitungan Jumlah Kalori
Perhitungan julah kalori ditentukan oleh stasus gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan kegiatan
jasmani. Penetuan stasu s gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca.
Penentuan stasus gizi berdasarkan IMT
IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengat tinggi badan
(dalam meter) kuadrat.
“dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu
dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”
Allah memerintahkan kita untuk memakan makanan yang bukan cuma halal, tapi juga baik
(Halalan Thoyyiban) agar tidak membahayakan tubuh kita. Bahkan perintah ini disejajarkan
dengan bertaqwa kepada Allah, sebagai sebuah perintah yang sangat tegas dan jelas. Perintah ini
juga ditegaskan dalam ayat yang lain, seperti yang terdapat pada Surat Al Baqarah : 168 yang
artinya:
“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah
musuh yang nyata bagimu”
Halal itu bukan sekedar halal makanannya, tapi juga dari sumber bagaimana mendapatkannya
pun harus halal. Kalau sumbernya haram seperti korupsi, mencuri, merampok, menggusur tanah
rakyat dengan harga yang rendah, maka makanan yang dimakan pun meski sebetulnya halal,
tetap haram. Dan akan membuat si pemakannya disiksa di api neraka. Nabi berkata:
Tiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram maka api neraka lebih utama
membakarnya. (HR. Ath-Thabrani)
Selain halal, makanan juga harus baik. Meski halal tapi jika tidak baik, hendaknya tidak kita
makan. Di antara kriteria makanan yang baik adalah:
Bergizi tinggi
Makanan lengkap dan berimbang. Waktu SD kita belajar makanan 4 sehat 5 sempurna seperti
nasi/jagung, lauk/pauk, sayuran, buah-buahan, dan terakhir susu. Semua makanan tersebut
mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh kita.
Ada baiknya ditambah dengan herbal seperti madu, pasak bumi, habbatus saudah, minyak
zaitun, dan sebagainya agar tubuh kita sehat.
Tidak mengandung zat-zat yang membahayakan bagi kesehatan kita, misalnya kolesterol
tinggi atau bisa memicu asam urat kita.
Alami. Tidak mengandung berbagai zat kimia seperti pupuk kimia, pestisida kimia, pengawet
kimia (misalnya formalin), pewarna kimia, perasa kimia (misalnya biang gula/aspartame,
MSG, dsb)
Masih segar. Tidak membusuk atau basi sehingga warna, bau, dan rasanya berubah
Tidak berlebihan. Makanan sebaik apa pun jika berlebihan, tidak baik.
Daftar Pustaka
Dorland, W. A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29. Jakarta: EGC
Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 20. Jakarta: EGC
Gartner, Leslie P. & James L. Hiatt. 2007. Color Atlas of Histology, Fourth Edition. Baltimore,
Maryland: Lippincott Williams & Wilkins
Idrus, Alwi dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat
Penerbitan IPD FKUI
Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011
Leeson, C. Roland. 1996. Buku Ajar Histologi, Edisi V. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Volume 2 Edisi 6.
Jakarta: EGC
Putz, Reinhard & Reinhard Pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 2 Edisi 22.
Jakarta: EGC
Repository.unpad.ac.id/panduan_terapi_diabetes_melitus
Repository.ui.ac.id
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 2. Jakarta: EGC