Anda di halaman 1dari 16

ESSAY

BLOK ENDOKRIN & METABOLISME

“Gangguan Kelenjar Pankreas”

Disusun Oleh:

Nama : Isnatiya Noviana

NIM : 020.06.0037

Kelas :A

Tutor : dr. Mamang Bagiansah, Sp. PD

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2021
Latar Belakang

Pankreas adalah sebuah organ glanduler di rongga abdomen yang memiliki fungsi
pencernaan (eksokrin) dan hormonal (endokrin). Pankreas adalah bagian dari sistem pencernaan
yang membuat dan mengeluarkan enzim pencernaan ke dalam usus, dan juga organ endokrin
yang membuat dan mengeluarkan hormon ke dalam darah untuk mengontrol metabolisme energi
dan penyimpanan seluruh tubuh. Pankreas mempunyai bagian dengan fungsi endokrin yang
penting, dan bagian eksokrin yang merupakan sumber utama enzim poten yang esensial untuk
pencernaan. Jaringan eksokrin, berupa sel sekretorik yang berbentuk seperti anggur yang disebut
sebagai asinus merupakan jaringan yang menghasilkan enzim pencernaan ke dalam duodenum.
Jaringan endokrin yang terdiri dari pulau-pulau Langerhans. Langerhans yang tersebar di seluruh
jaringan pankreas, yang menghasilkan insulin dan glukagon ke dalam darah. (Guyton, 2012)

Penyakit-penyakit yang mengenai pancreas dapat menjadi sumber yang signifikan untuk
morbiditas dan mortalitas. Walaupun secara fisiologis sangat penting, lokasinya yang berada di
retroperitoneal dan juga tidak jelasnya tanda serta gejala yang berhubungan dengan kelainan dan
disfungsinya, menyebabkan banyak penyakit pada pankreas stadium lanjut tidak terdiagnosis
untuk waktu yang lebih lama, oleh karenanya, diagnosis pada kelainan pancreas membutuhkan
rasa kecurigaan yang tinggi. (Robbins, 2013)

Pankreas endokrin terdiri dari sekitar 1 juta klaster mikroskopik sel, yaitu pulau
Langerhans, yang mengandungi empat jenis utama sel-sel beta, alfa, delta, dan PP (polipeptida
pankreatik). Sel ini dapat dibedakan secara morfologik melalui sifat pulasannya, karakteristik
ultrastruktural granulanya, dan melalui kandungan hormon. Sel beta menghasilkan insulin, yang
merupakan hormon anabolik paling poten yang diketahui, dengan efek sintesis multipel dan efek
meningkatkan pertumbuhan, sel alfa mensekresi glukagon, yang menginduksi hiperglikemia
melalui aktivitas glikogenolitik di hati, sel delta mengandungi somatostatin, yang menekan
pengeluaran insulin dan glucagon, dan sel PP yang mengandungi suatu polipeptida pankreatik
unik, VIP, yang memberikan beberapa efek gastrointestinal, seperti rangsangan sekresi enzim
lambung dan usus dan hambatan motilitas usus. Penyakit pankreas endokrin yang paling penting
adalah diabetes melitus, disebabkan oleh defisiensi produksi atau kerja insulin. (Robbins, 2013)
Pembahasan

Pankreas berasal dari bahasa Yunani; pankreas, yang berarti "semua daging", dan adalah
sebuah organ berlobus kompleks dengan elemen endokrin dan eksokrin yang jelas. Bagian
endokrin hanya terdiri atas 1-2% dari pankreas dan terdiri atas sekitar 1 juta kelompok sel, yaitu
pulau pulau Langerhans, sel-sel ini mensekresikan insulin, glukagon, dan somatostatin. Kelainan
yang paling signifikan dari bagian endokrin pankreas ini adalah diabetes melitus dan neoplasma.
Pankreas adalah organ retroperitoneal yang berorientasi transversal, memanjang dari duodenum
sampai hilus limpa. Walaupun pankreas tidak mempunyai subdivisi anatomis yang terbagi
dengan jelas, namun pembuluh darah dan ligamen membagi organ pankreas menjadi kaput,
korpus, dan kauda. (Robbins, 2013)

Pankreas mempunyai bagian dengan fungsi endokrin yang penting, dan bagian eksokrin
yang merupakan sumber utama enzim poten yang esensial untuk pencernaan. Penyakit-penyakit
yang mengenai pancreas dapat menjadi sumber yang signifikan untuk morbiditas dan mortalitas.
Walaupun secara fisiologis sangat penting, lokasinya yang berada di retroperitoneal dan juga
tidak jelasnya tanda serta gejala yang berhubungan dengan kelainan dan disfungsinya,
menyebabkan banyak penyakit pada pankreas stadium lanjut tidak terdiagnosis untuk waktu
yang lebih lama, oleh karenanya, diagnosis pada kelainan pancreas membutuhkan rasa
kecurigaan yang tinggi. (Robbins, 2013)

Bagian eksokrin pankreas terdiri atas sel-sel asinar yang memproduksi enzim-enzim
pencernaan, dan duktus-duktus yang mengalirkan produknya ke duodenum. Sel-sel asinar
bertanggung jawab terhadap sintesis dari enzim-enzim pencernaan, yang mayoritas dibuat
sebagai pro-enzim yang inaktif yang disimpan di dalam granula zymogen. Apabila sel-sel asinus
dirangsang untuk bersekresi, granula akan bersatu dengan membran plasma apikal dan
melepaskan isinya ke dalam lumen asinus sentral. Hasil sekresi ini diangkut ke dalam duodenum
melalui beberapa duktus yang beranastomosis. (Robbins, 2013)

Sel-sel epitel yang melapisi duktus juga aktif berpartisipasi dalam sekresi pankreas. Sel-
sel kuboid yang melapisi duktulus yang lebih kecil mensekresikan cairan yang kaya dengan
bikarbonat, sementara sel-sel kolumnar yang melapisi duktus yang lebih besar mensekresikan
musin. Sel-sel epitel duktus yang lebih besar juga mengekspresikan cystic fibrosis
transmembrane conductance regulator (CFTR), kelainan fungsi dari potein membran ini
mempengaruhi kekentalan dari sekresi pankreas, dan mempunyai peran penting pada orang
dengan patofisiologi kelainan fibrosis kistik. (Robbins, 2013)

(Sumber: Longnecker, 2014)

Pankreas terletak di perut bagian atas di belakang perut. Pankreas adalah bagian dari
sistem pencernaan yang membuat dan mengeluarkan enzim pencernaan ke dalam usus, dan juga
organ endokrin yang membuat dan mengeluarkan hormon ke dalam darah untuk mengontrol
metabolisme energi dan penyimpanan seluruh tubuh (Longnecker, 2014).

Jaringan penyusun pancreas yaitu terdiri dari: Jaringan eksokrin, berupa sel sekretorik
yang berbentuk seperti anggur, yang disebut sebagai asinus merupakan jaringan yang
menghasilkan enzim pencernaan ke dalam duodenum. Jaringan endokrin yang terdiri dari pulau-
pulau Langerhans, Langerhans yang tersebar di seluruh jaringan pankreas, yang menghasilkan
insulin dan glukagon ke dalam darah. (Guyton, 2012)

Beberapa gangguan pada pankreas yaitu kongenital, infection, neoplasma, trauma, dan
another. Neoplasma eksokrin pankreas bisa kistik atau solid. Beberapa tumor tidak berbahaya,
sementara yang lain ganas dan paling mematikan dari seluruh keganasan. Hanya 5% hingga 15%
dari seluruh kista pankreas yang neoplastik, menempati kurang dari 5% dari seluruh neoplasma
pankreas. Beberapa di antaranya adalah murni jinak (seperti, kistadenoma serosum), yang
lainnya seperti neoplasma kistik musinosum, bisa jinak atau ganas. Infection yaitu pankreatitis
akut dicirikan dengan inflamasi dan kerusakan parenkim yang reversibel, yang berkisar dari
edema fokal dan nekrosis lemak hingga nekrosis luas dan perdarahan, gejala klinis bervariasi,
dari nyeri perut ringan hingga kolapsnya vaskular yang fatal. pankreatitis kronik dicirikan oleh
kerusakan parenkim yang ireversibel dan pembentukan jaringan parut, gejala klinis termasuk
malabsorpsi kronik (karena insufisiensi eksokrin pankreas) dan diabetes melitus (karena
hilangnya pulau-pulau pankreas). (Robbins, 2013)

Perkembangan pankreas adalah proses kompleks yang melibatkan penggabungan antara


primordia dorsal dengan primordia ventral, gangguan dalam proses ini sering berujung pada
variasi congenital dalam anatomi pankreas. Kebanyakan tidak menyebabkan penyakit dengan
sendirinya, variasi (terutama dalam anatomi duktus) dapat menjadi tantangan untuk para ahli
bedah dan endoskopi. Sebagai contoh, kegagalan untuk mengenali idiosinkrasi anatomi dapat
menyebabkan perburukan yang tidak disengaja terhadap duktus pankreas, berujung pada
pankreatitis. (Robbins, 2013)

(Guyton, 2012)

Pankreas terdiri atas dua jenis jaringan utama, yaitu (1) asini, yang menyekresi getah
pencernaan ke dalam duodenum, dan (2) pulau-pulau Langerhans, yang langsung menyekresi
insulin dan glukagon ke dalam darah. Pankreas manusia mempunyai 1 sampai 2 juta pulau
Langerhans, setiap pulau Langerhans hanya berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi
pembuluh kapiler kecil yang merupakan tempat hormone disekresi oleh sel-sel tersebut. Pulau
Langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel alfa, beta, dan delta, yang dapat
dibedakan satu sama lain melalui ciri morfologi dan pewarnaannya. (Guyton, 2012)

Sel beta, yang kira-kira mencakup 60 persen dari semua sel pulau, terutama berada di
bagian tengah setiap pulau dan menyekresi insulin dan amilin, suatu hormon yang sering
disekresi bersamaan dengan insulin, meskipun fungsinya masih belum jelas. Sel alfa, yang kira-
kira mencakup 25 persen dari seluruh sel, menyekresi glukagon. Sel delta, yang kira-kira
mencakup 10 persen dari seluruh sel, menyekresi somatostatin. Selain itu, paling sedikit terdapat
satu jenis sel lain yang disebut sel PP, terdapat dalam jumlah kecil di pulau Langerhans dan
menyekresi hormon yang fungsinya masih diragukan, yaitu polipeptida pankreas. Hubungan erat
antara berbagai jenis sel yang terdapat dalam pulau Langerhans memungkinkan komunikasi dari
sel ke sel dan pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormon oleh hormone lainnya.
Contohnya, insulin menghambat sekresi glukagon, amilin menghambat sekresi insulin, dan
somatostatin menghambat sekresi hormon insulin dan glukagon. (Guyton, 2012)

Diabetes melitus bukan merupakan satu entitas penyakit tunggal, namun lebih merupakan
suatu kelompok kelainan metabolik yang memiliki latar belakang yang serupa yaitu
hiperglikemia. Hiperglikemia pada diabetes disebabkan oleh defek pada sekresi insulin, kerja
insulin, atau paling sering, oleh kedua-duanya. Hiperglikemia menahun dan deregulasi metabolik
pada diabetes melitus dapat berkaitan dengan kerusakan sekunder di sistem organ multipel,
khususnya ginjal, mata, saraf dan pembuluh darah. Peningkatan gula darah yang tidak mencapai
kriteria yang dapat diterima untuk suatu diagnosis diabetes, orang dengan prediabetes memiliki
risiko yang meningkat untuk berkembang menjadi diabetes yang nyata. (Robbins, 2013)

Klasifikasi, diabetes melitus memiliki gambaran umum hiperglikemia, penyebab yang


mendasarinya sangat bervariasi. Sebagian besar kasus diabetes termasuk pada salah satu dari dua
kelompok besar, yaitu Diabetes tipe 1 (DT1) ditandai oleh defisiensi absolut sekresi insulin yang
disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas, biasanya akibat suatu serangan autoimun. Diabetes
tipe 1 ini mencakup sekitar 10% seluruh kasus. Diabetes tipe 2 (DT2) disebabkan oleh gabungan
dari resistensi perifer terhadap kerja insulin dan respons sekresi insulin kompensatorik yang tidak
adekuat oleh sel beta pankreas (defisiensi insulin relatif). Sekitar 80% hingga 90% pasien
diabetes melitus adalah diabetes tipe 2. Diabetes melitus lainnya, disebabkan oleh berbagai sebab
lain yang monogenik dan sekunder. Hal yang penting adalah bahwa walaupun tipe utama
diabetes timbul dari mekanisme patogenik yang berbeda, komplikasi jangka panjang di ginjal,
mata, saraf, dan pembuluh darah sama dan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas. (Robbins, 2013)

Kadar glukosa darah secara normal dipertahankan pada jarak sangat sempit, biasanya
antara 70 hingga 120 mg/ dL. Diagnosis diabetes ditegakkan dengan peningkatan glukosa darah
melalui satu dari tiga kriteria yaitu, Konsentrasi glukosa darah sewaktu 200 mg/dL atau lebih,
dengan tanda dan gejala klasik (dibahas kemudian). Konsentrasi glukosa puasa 126 mg/dL atau
lebih pada lebih dari satu kesempatan. Dan tes toleransi glukosa oral (TTGO) abnormal, yang
konsentrasi glukosanya adalah 200 mg/dL atau lebih, 2 jam setelah pemberian beban karbohidrat
standar (75 g glukosa). (Robbins, 2013)

Gangguan metabolisme karbohidrat berlangsung terus. Seseorang dengan nilai glukosa


puasa serum kurang dari 110 mg/ dL, atau TTGO kurang dari 140 mg/ dL, disebut euglikemik.
Akan tetapi, mereka dengan glukosa puasa serum lebih dari 110 namun kurang dari 126 mg/dL,
atau nilai TTGO lebih besar dari 140 tetapi kurang dari 200 mg/dL, disebut memiliki toleransi
glukosa terganggu, yang dikenal juga sebagai prediabetes. Sejalan dengan berjalannya waktu,
orang dengan gangguan toleransi glukosa memiliki risiko bermakna untuk berkembang menjadi
diabetes yang nyata, sekitar 5% hingga 10% berlanjut menjadi diabetes melitus penuh per tahun.
Selain itu, mereka dengan toleransi glukosa terganggu berisiko menderita penyakit
kardiovaskular, sebagai konsekuensi dari metabolism karbohidrat yang abnormal dan adanya
faktor risiko lain secara bersamaan. (Robbins, 2013)

Diabetes tipe 1 merupakan penyakit autoimun dengan kerusakan pulau Langerhans


terutama disebabkan oleh sel efektor imun yang bereaksi terhadap antigen sel beta endogen.
Diabetes tipe 1 paling sering berkembang pada masa anak-anak, bermanifestasi pada pubertas,
dan memburuk sejalan dengan bertambahnya usia. Kebanyakan pasien diabetes tipe 1
tergantung pada insulin eksogen untuk bertahan hidup; tanpa insulin mereka akan mengalami
komplikasi metabolik serius, seperti ketoasidosis dan koma. Walaupun onset klinis diabetes tipe
I jelas, penyakit ini disebabkan oleh serangan autoimun menahun pada sel beta yang biasanya
sudah dimulai bertahun-tahun sebelum penyakit menjadi nyata (Gambar 19-22). Manifestasi
klasik penyakit (hiperglikemia dan ketosis) terjadi pada stadium lanjut, setelah lebih dari 90% sel
beta telah dihancurkan. Abnormalitas imun yang mendasar pada diabetes tipe I adalah kegagalan
toleransi diri pada sel T. Kegagalan toleransi ini dapat disebabkan oleh beberapa kombinasi dari
delesi klonal sel T self-reactive yang defektif di timus, dan defek pada fungsi pengaturan sel T
atau resistensi sel T efektor terhadap supresi oleh sel pengatur. Sehingga, sel T yang autoreactive
tidak hanya bertahan hidup namun juga berespons terhadap antigen diri. Tidak mengherankan,
autoantibodi terhadap sejumlah antigen sel beta, termasuk insulin dan enzim sel beta
dekarboksilase asam glutamat, dideteksi dalam darah pada 70% hingga 80% pasien. Pada kasus
jarang di mana lesi pankreatik telah diperiksa pada awal proses penyakit, pulau Langerhans
menunjukkan nekrosis sel beta dan infiltrasi limfositik (disebut insulitis). Seperti halnya
kebanyakan penyakit autoimun lain, patogenesis diabetes tipe 1 meliputi interaksi dari
kerentanan genetik dan faktor lingkungan. (Robbins, 2013)

Sekitar 90% hingga 95% pasien diabetes tipe 1 kulit putih memiliki HLA-DR3, atau
DR4, atau keduanya, berbeda dengan sekitar 40% subyek normal, dan 40% hingga 50% pasien
merupakan heterozigot DR3/DR4, berbeda dengan 5% subyek normal. Perlu dicatat, walaupun
orang dengan alel kelas II tertentu memiliki risiko relatif tinggi, kebanyakan orang yang
mewarisi alel ini tidak menjadi diabetes. Beberapa gen non-HLA juga memberikan kerentanan
terhadap diabetes tipe I, termasuk polimorfisme pada gen yang mengkode insulin itu sendiri,
selain CTLA4 dan PTPN22. CTLA-4 merupakan reseptor penghambat sel T dan PTPN-22
merupakan suatu protein tirosin fosfatase, keduanya diduga menghambat respons sel T, sehingga
polimorfisme yang berkaitan dengan aktivitas fungsionalnya menyebabkan aktivasi sel T
berlebihan. Polimorfisme gen insulin dapat mengurangi ekspresi protein ini di timus, sehingga
mengurangi eliminasi sel T reaktif dengan protein diri. Terdapat bukti tambahan yang merujuk
bahwa , khususnya infeksi, dapat terlibat pada diabetes tipe 1. Virus tertentu (khususnya mumps,
rubela, dan virus coxsackie B) diduga dapat merupakan pemicu awal, mungkin karena beberapa
antigen virus yang mirip dengan antigen sel beta (molecular mimicry), menyebabkan kerusakan
lain pulau Langerhans, namun ide ini belum pasti. (Robbins, 2013)

Pada satu atau dua tahun pertama setelah manifestasi nyata diabetes tipe 1 (disebut
sebagai "periode bulan madu"), kebutuhan insulin eksogen dapat minimal atau tidak diperlukan
oleh karena masih ada sekresi sisa-sisa insulin, namun setelah itu cadangan sel beta kelelahan
dan kebutuhan insulin meningkat secara drastis. Walaupun kerusakan sel beta merupakan proses
yang bertahap, transisi dari gangguan toleransi glukosa menjadi diabetes yang nyata dapat terjadi
tiba-tiba, ditandai oleh suatu kejadian yang berhubungan dengan peningkatan kebutuhan insulin
seperti infeksi. Onsetnya ditandai oleh poliuria, polidipsia, polifagia, dan pada kasus yang berat,
ketoasidosis, yang kesemuanya disebabkan oleh gangguan metabolisme. (Robbins, 2013)

Oleh karena insulin merupakan suatu hormon anabolik utama dalam tubuh, defisiensi
insulin menyebabkan keadaan katabolisme yang mengenai tidak hanya metabolisme glukosa
namun juga metabolisme lemak dan protein. Asimilasi glukosa ke dalam jaringan otot dan lemak
berkurang secara tajam atau menghilang. Tidak hanya penyimpanan glikogen di hati dan otot
yang berkurang, namun cadangannya juga berkurang oleh glikogenolisis. Hiperglikemia yang
timbul melampaui ambang reabsorpsi ginjal, akan menimbulkan glikosuria. Glikosuria
menginduksi diuresis osmotik dan akibatnya terjadi poliuria, yang menyebabkan kehilangan air
dan elektrolit dalam jumlah banyak. Kehilangan air oleh ginjal yang obligatorik bersama dengan
hiperosmolaritas yang disebabkan oleh peningkatan kadar glukosa darah, cenderung menurunkan
air intrasel, memicu osmoreseptor pusat haus di otak. Urutan kejadian ini menimbulkan rasa haus
yang sangat (polidipsia). Dengan adanya defisiensi insulin, skalanya akan bergeser dari
anabolisme yang ditingkatkan oleh insulin ke katabolisme protein dan lemak. Kemudian terjadi
proteolisis dan asam amino glukoneogenik dihilangkan oleh hati dan digunakan untuk
menggantikan glukosa. Katabolisme protein dan lemak cenderung menginduksi suatu
keseimbangan energi negatif, yang kemudian akan meningkatkan nafsu makan (polifagia),
sehingga menggenapkan trias klasik diabetes, yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia. Walaupun
nafsu makan meningkat, efek katabolisme lebih kuat, menyebabkan kehilangan berat badan dan
kelemahan otot. (Robbins, 2013)

Kombinasi polifagia dan penurunan berat badan bersifat paradoks dan harus selalu
dipikirkan kemungkinan diagnosis suatu diabetes. Pada pasien diabetes tipe 1, penyimpangan
asupan makanan dari normal, aktivitas fisik yang tidak biasa, infeksi, atau setiap bentuk lain dari
stres dapat dengan cepat mempengaruhi keseimbangan metabolisme yang sangat rapuh,
memudahkan terjadinya ketoasidosis diabetes. Glukosa plasma biasanya di antara 500 hingga
700 mg/ dL sebagai akibat defisiensi absolut insulin dan efek hormon kontraregulator (epinefrin,
glukagon). Hiperglikemia yang mencolok menyebabkan diuresis osmotik dan dehidrasi yang
merupakan ciri keadaan ketoasidosis. Efek utama kedua adalah aktivasi mesin ketogenik.
(Robbins, 2013)

Defisiensi insulin menyebabkan aktivasi lipase lipoprotein, dengan akibat penghancuran


simpanan lemak secara berlebihan, menyebabkan meningkatnya ALB, yang dioksidasi oleh hati
menjadi keton. Ketogenesis merupakan suatu fenomena adaptif pada keadaan kelaparan, yang
menghasilkan keton sebagai sumber energi untuk konsumsi organ vital (contoh, otak). Kecepatan
pembentukan keton dapat melampaui kecepatan pemakaiannya oleh jaringan perifer, sehingga
menyebabkan ketonemia dan ketonuria. Apabila ekskresi keton melalui urin terganggu oleh
dehidrasi, keton yang terakumulasi akan menurunkan pH darah, sehingga menimbulkan
ketoasidosis akibat metabolisme. (Robbins, 2013)

Diabetes tipe 2 merupakan prototipe penyakit multifaktorial kompleks. Faktor


lingkungan, seperti gaya hidup yang banyak duduk dan kebiasaan makan/diet, secara
meyakinkan berperan, seperti yang akan dibahas dalam kaitannya dengan obesitas. Faktor
genetik juga terlibat dalam patogenesis, seperti yang dibuktikan oleh angka konkordansi penyakit
sebesar 35% hingga 60% pada kembar monozigot dibandingkan dengan hampir separuh pada
kembar dizigotik. Konkordansi ini bahkan lebih besar dari diabetes tipe I, memberi dugaan
bahwa mungkin pada diabetes tipe 2 peran komponen genetik lebih besar. Diabetes tipe I, tidak
terkait dengan gen yang terlibat dalam toleransi dan pengaturan imun (contoh, HLA, CTLA4),
dan tidak terdapat bukti adanya autoimun yang mendasari. Dua defek metabolik yang menjadi
ciri diabetes tipe 2 adalah (1) penurunan kemampuan jaringan perifer untuk berespons terhadap
insulin (resistensi insulin) dan (2) disfungsi sel beta yang bermanifestasi sebagai sekresi insulin
inadekuat pada keadaan resistensi insulin dan hiperglikemia. Resistensi insulin mendahului
berkembangnya hiperglikemia dan biasanya diikuti oleh hiperfungsi kompensatorik sel beta dan
hiperinsulinemia pada tahap awal terjadinya diabetes. (Robbins, 2013)

Diabetes melitus tipe 2 dapat bermanifestasi sebagai poliuria dan polidipsia, namun tidak
seperti pada diabetes tipe 1, pasien sering berusia lebih dari 40 tahun dan sering obese. Dengan
peningkatan obesitas dan gaya hidup yang banyak duduk pada masyarakat Barat, diabetes tipe 2
sekarang makin sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Pada beberapa kasus,
pasien datang ke dokter oleh karena rasa lemah dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan. Namun, diagnosis paling sering ditegakkan setelah suatu pemeriksaan rutin darah
atau urin pada orang yang tidak bergejala. Pada keadaan dekompensasi, pasien diabetes tipe 2
dapat berkembang menjadi koma non-ketotik hiperosmolar. Sindrom ini timbul oleh karena
dehidrasi berat akibat diuresis osmotik yang menetap dan kehilangan cairan urin oleh
hiperglikemia kronik. Secara khas, pasien yang terkena adalah penderita diabetes berusia lanjut
yang menjadi lumpuh karena stroke atau infeksi dan tidak mampu mempertahankan asupan air
yang cukup. Tidak adanya ketoasidosis dan gejalanya (nausea, muntah, kesulitan bernapas)
memperlambat pengenalan keseriusan keadaan ini hingga terjadi dehidrasi berat dan koma.
Menyimpulkan beberapa gambaran klinis, genetik, dan histopatologis terkait yang membedakan
diabetes tipe 1 dan tipe 2. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, akibat jangka panjang
diabeteslah yang lebih bertanggung jawab terhadap tingginya morbiditas dan mortalitas yang
berkaitan dengan penyakit ini, dibandingkan dengan komplikasi metabolisme akut. Pada
sebagian besar kasus, komplikasi ini baru muncul 15 hingga 20 tahun kemudian setelah onset
hiperglikemia. (Robbins, 2013)

Pada kedua tipe diabetes yang berlangsung lama, kejadian kardiovaskular seperti infark
miokardium, insufisiensi pembuluh darah ginjal, dan stroke (kecelakaan serebrovaskular)
merupakan penyebab tersering mortalitas. Pengaruh penyakit kardiovaskular dapat diukur dari
keterlibatannya pada sekitar 80% kematian pasien dengan diabetes tipe 2; faktanya, pasien
diabetes memiliki insidens kematian oleh sebab kardiovaskular 3 hingga 7,5 kali lebih
besar daripada populasi tanpa diabetes. Tanda khas dari penyakit kardiovaskular adalah
aterosklerosis yang timbul lebih cepat pada arteri berukuran besar dan sedang (contoh, penyakit
makrovaskular). Pentingnya obesitas dalam patogenesis resistensi insulin telah dibahas
sebelumnya, namun obesitas juga merupakan faktor risiko yang berdiri sendiri untuk
berkembangnya aterosklerosis. (Robbins, 2013)

Nefropati diabetes merupakan penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir. Manifestasi
nefropati diabetes paling dini adalah ditemukannya albumin dalam jumlah kecil di urin (lebih
besar dari 30 namun kurang dari 300 mg/ hari contoh, mikroalbuminuria). Tanpa intervensi
khusus, sekitar 80% pasien diabetes tipe 1 dan 20% hingga 40% pasien diabetes tipe 2 akan
berkembang menjadi nefropati nyata dengan makroalbuminuria (ekskresi lebih dari 300 mg/hari)
setelah 10 hingga 15 tahun, biasanya diikuti oleh munculnya hipertensi. Progresi dari nefropati
nyata menjadi penyakit ginjal stadium akhir dapat sangat bervariasi dan ditandai oleh turunnya
laju filtrasi glomerulus secara progresif. Dua puluh tahun setelah diagnosis, lebih dari 75%
pasien diabetes tipe 1 dan sekitar 20% pasien diabetes tipe 2 dengan nefropati nyata akan
berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir, yang memerlukan dialisis atau transplantasi
ginjal. (Robbins, 2013)

Gangguan mata, kadang-kadang bahkan dapat menjadi buta total, merupakan suatu
konsekuensi yang lebih ditakutkan pada diabetes yang berlangsung lama. Saat ini, diabetes
merupakan penyebab tersering keempat kebutaan yang didapat di Amerika Serikat. Sekitar 60%
hingga 80% pasien mengalami beberapa bentuk retinopati diabetes sekitar 15 hingga 20 tahun
setelah diagnosis. Selain retinopati, pasien diabetes juga memiliki kecenderungan mengalami
glaucoma dan pembentukan katarak, dua keadaan yang menjadi penyebab gangguan mata pada
diabetes. (Robbins, 2013)

Neuropati diabetes dapat menimbulkan bermacam-macam sindrom klinis, mengenai


sistem saraf pusat, saraf sensorimotor perifer, dan sistem saraf autonom. Pola keterlibatan yang
paling sering adalah suatu polineuropati simetris distal pada ekstremitas bawah yang mengenai
baik fungsi motorik maupun sensorik, terutama sensorik. Dengan berjalarnya waktu, ekstremitas
atas juga dapat terlibat sehingga membentuk polineuropati dengan pola menyerupai "sarung
tangan dan stocking". Bentuk lain adalah neuropati autonom, yang menimbulkan gangguan
fungsi usus dan kandung kemih dan kadang-kadang impotensi seksual, serta mononeuropati
diabetes yang dapat bermanifestasi sebagai footdrop, wristdrop mendadak atau kelumpuhan saraf
kranial yang tersendiri. (Robbins, 2013)

Pasien diabetes memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi kulit,
tuberkulosis, pneumonia, dan pielonefritis. Infeksi seperti ini menyebabkan sekitar 5% kematian
yang berhubungan dengan diabetes. Pada seseorang dengan neuropati diabetes, suatu infeksi
yang kecil di jari jempol dapat merupakan awal dari suatu rangkaian komplikasi yang panjang
(gangren, bakteremia, pneumonia) yang akhirnya dapat menyebabkan kematian. Beberapa
penelitian prospektif berskala besar telah secara meyakinkan menunjukkan bahwa komplikasi
jangka panjang, serta morbiditas dan mortalitas pasien diabetes dapat dikurangi dengan control
glikemia yang ketat. Untuk pasien diabetes tipe 1, terapi penggantian insulin merupakan
pengobatan utama, sementara pendekatan nonfarmakologik seperti pembatasan asupan makanan
dan olahraga (yang memperbaiki sensitivitas insulin) sering merupakan "garis pertahanan
pertama" untuk diabetes tipe 2. Sebagian besar pasien diabetes tipe 2 akhirnya akan
membutuhkan intervensi terapi untuk mengurangi hiperglikemia, yang dapat dicapai dengan
pemberian obat penurun kadar glukosa melalui beberapa mekanisme kerja yang berbeda.
(Robbins, 2013)

Kontrol glikemia dinilai secara klinis dengan mengukur persentase hemoglobin yang
terglikosilasi, juga dikenal sebagai HbA1C, yang terbentuk secara non-enzimatik dengan
penambahan muatan glukosa pada hemoglobin di sel darah merah. Tidak seperti halnya kadar
glukosa darah, HbA1C merupakan suatu pengukuran kontrol glikemia untuk periode yang
panjang (2 hingga 3 bulan) dan relatif tidak terpengaruh oleh variasi dari hari ke hari. HbA1C di
bawah 7% dipakai sebagai bukti kontrol glikemia yang ketat, namun pasien dengan kadar
HbA1C pada rentang ini juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya episode
hipoglikemia yang berhubungan dengan terapi, yang mengancam jiwa. Kontrol kadar glukosa
"optimal" pada pasien diabetes tetap merupakan suatu bidang yang belum disepakati dalam
penelitian klinis. (Robbins, 2013)

Diabetes tipe lain yaitu contohnya diabetes melitus akibat obat atau akibat (stiroid). Obat
golongan steroid yaitu terkenal dengan sebutan obat anti radang, karena obat jenis ini
mempunyai efek yang sangat baik dalam mengatasi radang, apapun penyebab dari radangnya
dan letaknya. Penyakit peradangan yang bisa diobati dengan steroid adalah asma, radang
rematik, radang usus, radang ginjal, radang mata, dsb. Selain itu, obat ini juga digunakan pada
penyakit gangguan sistem kekebalan tubuh, seperti berbagai jenis alergi, dan lupus. Dengan
sifatnya yang menurunkan sistem kekebalan, steroid dapat digunakan untuk pasien yang baru
menjalani transplantasi organ tubuh. Untuk mencegah reaksi penolakan tubuh terhadap organ
yang dikembangkan. (Hendra, 2016)

Jika membandingkan potensi relatif kortikosteroid sebagai antiinflamasi (glukokortikoid),


sebaiknya selalu diingat bahwa aktivitas glukokortikoid yang tinggi tidak berguna jika aktivitas
mineralokortikoid tinggi. Misalnya fludrokortison, efek mineralokortikoid yang terlalu tinggi
membuat manfaat antiinflamasi secara klinik, tidak relevan karena risiko menjadi lebih besar
dari manfaat. Tabel di bawah ini menunjukkan kesetaraan dosis antiinflamasi. Kesetaraan dosis
kortikosteroid sebagai antiinflamasi. Tabel tidak memperhitungkan efek mineralokortikoid dan
juga tidak melihat lamanya kerja yaitu prednisolon 5 mg, betametason 750 mcg, kortison Asetat
25 mg, deflazakort 6 mg, deksametason 750 mg, hidrokortison 20 mg, metilprednisolon 4 mg,
triamsinolon 4 mg. (Hendra, 2016)

Kortison dan hidrokortison mempunyai efek mineralokortikoid yang relatif tinggi yang


akan menyebabkan dapat menyebabkan retensi cairan, sehingga tidak sesuai untuk pengobatan
jangka panjang. Meskipun keduanya dapat digunakan sebagai terapi pengganti pada insufisiensi
adrenal, hidrokortison lebih baik karena kortison masih perlu diubah menjadi hidrokortison di
liver. Hidrokortison digunakan intravena untuk pengobatan jangka pendek pada penanganan
darurat beberapa keadaan. Hidrokortison mempunyai potensi antiinflamasi yang tidak terlalu
kuat, sehingga baik digunakan secara topikal untuk inflamasi kulit karena kemungkinan efek
samping topikal maupun sistemik kecil. Kortison tidak aktif secara topikal. (Hendra, 2016)

Prednisolon, mempunyai efek glukokortikoid yang dominan dan merupakan


kortikosteroid oral yang paling sering digunakan dalam terapi supresi penyakit jangka
panjang. Betametason dan deksametason mempunyai aktivitas glukokortikoid yang sangat tinggi
sedangkan aktivitas mineralokortikoidnya sangat rendah; sehingga digunakan untuk kondisi yang
memerlukan kortikosteroid dosis tinggi tanpa retensi cairan yang membahayakan. Betametason
dan deksametason mempunyai masa kerja yang lama, dengan efek mineralokortikoid yang kecil
sehingga kedua sifat ini sesuai untuk kondisi yang memerlukan supresi sekresi kortikotropin
(hiperplasia adrenal kongenital). Beberapa bentuk ester betametason dan beklometason bila
diberikan mempunyai efek topikal (pada kulit dan paru-paru) yang lebih nyata daripada bila
diberikan secara oral, sehingga sifat ini dimanfaatkan dengan menggunakan ester tersebut secara
topikal agar kemungkinan efek samping sistemik minimal (untuk pemakaian pada kulit dan
inhalasi untuk asma). Deflazakort mempunyai aktivitas glukokor-tikoid yang tinggi, merupakan
turunan dari prednisolon. (Hendra, 2016)
Kesimpulan

Pankreas adalah sebuah organ glanduler di rongga abdomen yang memiliki fungsi
pencernaan (eksokrin) dan hormonal (endokrin). Pankreas adalah bagian dari sistem pencernaan
yang membuat dan mengeluarkan enzim pencernaan ke dalam usus, dan juga organ endokrin
yang membuat dan mengeluarkan hormon ke dalam darah untuk mengontrol metabolisme energi
dan penyimpanan seluruh tubuh. Pankreas mempunyai bagian dengan fungsi endokrin yang
penting, dan bagian eksokrin yang merupakan sumber utama enzim poten yang esensial untuk
pencernaan. Beberapa gangguan pada pankreas yaitu kongenital, infection, neoplasma, trauma,
dan another. Neoplasma eksokrin pankreas bisa kistik atau solid. Pankreas terdiri atas dua jenis
jaringan utama, yaitu (1) asini, yang menyekresi getah pencernaan ke dalam duodenum, dan (2)
pulau-pulau Langerhans, yang langsung menyekresi insulin dan glukagon ke dalam darah. Pulau
Langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel alfa, beta, dan delta, yang dapat
dibedakan satu sama lain melalui ciri morfologi dan pewarnaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Guyton and Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi:11.Penerbit: Kedokteran EGC.

Hendra Zufry. 2016. Konsultan Divisi Endokrinologi, Metabolik and Diabetes Melitus.
Department Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Rumah
Sakit Umum dr. Zainoel Abidin.

http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-6-sistem-endokrin/63-kortikosteroid/632-glukokortikoid

Longnecker D. 2014. Anatomy and histology of the pancreas. The Pancreapedia: Exocrine
Pancreas Knowledge Base.

Setiati, Siti. 2017. “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”. Edisi VI. Jilid II. Interna Publishing.
Jakarta Pusat.

Sylvia A. Prince. Lorraine M. Wilson. 2019. “Buku Ajar Patofisiologi”. Edisi Keenam. Volume
1. Elsevier. Singapore.

Vinay, Kumar. 2013. “Buku Ajar Patofisiologi Robbins”. Edisi 9. Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai