J00382 PDF
J00382 PDF
Daru Purnomo1
Seiring dengan berakhirnya abad ke 20, masalah lingkungan menjadi hal yang
utama. Serangkaian masalah-masalah global yang membahayakan biosfer dan
kehidupan manusia dalam bentuk-bentuk yang sangat mengejutkan yang dalam
waktu dekat akan segera menjadi tak dapat dikembalikan lagi (irreversible).
Setiap negara dan bangsa di setiap belahan bumi manapun berlomba – lomba
dan berusaha keras untuk mempertahankan hidup dengan mengelola, memanfaatkan,
dan menciptakan kemakmuran yang merata demi berlangsungnya kesejahteraan hidup
umat manusia. Pengeksplotasian sumber daya alam seperti gas, minyak bumi, aneka
tambang, sektor laut, dan sumber daya hayati yang nota bene tidak dapat diperbaharui
lagi menjadi suatu ancaman dan menjadi hal yang diperebutkan oleh umat manusia
demi alasan di atas. Dan hal ini menjadi mengerikan bila tidak diatur dengan kebijakan
yang tepat sehingga menjadi suatu isu penting bagi semua bangsa untuk
memikirkannya demi kelangsungan ras manusia di muka bumi ini. Satu hal yang
sekarang nampak didepan mata kita, adalah rusaknya tatanan lingkungan yang
disebabkan oleh kebijakan yang salah, dan entah kapan manusia menyadarinya untuk
bisa lepas dari penghancuran peradaban yang semakin mengancam.
Dalam tulisan ini akan mencoba melakukan perenungan kembali tentang
bagaimana seharusnya memahami kehidupan agar eksistensi mahkluk hidup tetap
berlangsung di muka bumi ini. Laporan worldwacht institute : State of the world di atas,
sebagaimana dikutip oleh Fritjof Capra (Capra, 1997 : 11) menandai babakan baru
bagaimana kehidupan harus dipahami, dijelaskan, dan dipecahkan, termasuk di
dalamnya masalah ekosistem. Apabila pada abad-abad sebelumnya kehidupan
dipahami sebagai krisis tunggal yang parsial, atomistik dan mekanistik, maka dalam
pemahaman Capra, saatnya sekarang kehidupan dipahami secara holistic ekologis,
1
Staff pengajar Program Studi Sosiologi FISIPOL UKSW Salatiga
dengan menempatkan manusia sebagaimana dalam suatu tatanan ekosistem. Dalam
pemikiran Capra, masalah-masalah dalam kehidupan tidak dapat dimengerti secara
terpisah. Masalah kehidupan merupakan masalah sistemik, artinya bahwa kehidupan
terdiri dari komponen-komponen yang semuanya saling terkait dan tergantung satu
dengan yang lain. Dicontohkan, kestabilan populasi dunia hanya mungkin bila
kemiskinan dikurangi di seluruh dunia. Kepunahan binatang dan spesies tumbuhan
khususnya di Negara-negara miskin dan sedang berkembang dalam skala besar-
besaran akan terus berlanjut, selama kemiskinan sebagai akibat jerat hutang yang
bertumpuk-tumpuk tidak terselesaikan.. Kelangkaan sumberdaya dan degradasi
lingkungan ditambah dengan pertambahan pesat populasi menimbulkan kerusakan
komunitas-komunitas lokal, kekerasan etnis dan suku (Capra, 1997 : 12).
Masalah lingkungan hidup menjadi agenda politik dunia dimulai sejak tahun
1980-an, dengan melahirkan paradigma pembangunan seperti yang sekarang dikenal
dengan istilah pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Mula
pertama istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the International
Union for the Conservation of Natur (1980), lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam
buku Building a Sustainable Society (1981). Istilah tersebut kemudian sangat terkenal
melalui laporan World Commission on Environment and Development: “Masa Depan
Kita Bersama” (1987). Paradigma pembangunan berkelanjutan untuk kemudian
diadopsi sebagai agenda politik pembangunan semua negara di dunia melalui
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janerio (1992). Paradigma ini merupakan
babakan baru dalam startegi pembangunan, dimana orientasi (perspektif) ekologis
ditempatkan dalam dimensi penting pembangunan.
Namun sejarah mencatat, hingga dewasa ini agenda politik pembangunan
berkelanjutan belum sepenuhnya berjalan baik. Problem-problem serius seperti
kelangkaan sumberdaya alam, pencemaran sungai, pencemaran udara, kebakaran
hutan, pencurian kayu, kerusakan terumbu karang, pencemaran pesisir dan laut,
perdagangan satwa liar menunjukkan betapa terabaikannya aspek lingkungan hidup
dalam keseluruhan proses pembangunan. Hal ini belum termasuk gangguan penyakit
dan menurunnya kualitas kehidupan manusia akibat kerusakan dan pencemaran
lingkungan. Kegagalan implementasi paradigma pembangunan berkelanjutan demikian
itu menurut Sonny Keraf (Keraf, 2001 : 1) disebabkan oleh tidak dipahaminya
paradigma itu secara benar, dan di dalam kenyataannya pembangunan selama ini
telah kembali lagi ke arah paradigma developmentalism.
Selama ini dunia cenderung menganut teori pertumbuhan modern dan teori
modernisasi relative yang optimistic, sehingga tidak ambil pusing dan
mempermasalahkan tentang isu-isu kelangkaan dan kerusakan lingkungan tersebut.
Hal ini berbeda dengan kelompok klasik yang mengganggap masalah kelangkaan dan
kerusakan lingkungan sebagai keprihatinan utama dan harus ditangani serius apabila
tidak ingin peradaban manusia menjadi hancur. Dalam perkembangannya,
membuktikan bahwa kelangkaan absolute benar-benar ada, dan ini tentunya akan
mengakibatkan “batas pertumbuhan” (Brookfield, 1975). Memang yang jadi masalah
adalah membuktikan batas seperti apa untuk pertumbuhan macam apa, dan dalam
perspektif waktu yang bagaimana kelangkaan itu terjadi. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut masih dipersoalkan oleh kelompok optimistic, walaupun mungkin telah dijawab
dengan cara yang tidak memuaskan, namun tidak ada alas an untuk mengingkari,
menutupi, ataupun mengabaikan bahwa isu kelangkaan dan kerusakan lingkungan
adalah nyata. Transisi dari developmentalism yang antroposentris ke paradigma
pembangunan berkelanjutan yang ekosentris hingga sekarang belum kelihatan dan
masih sebatas wacana saja.
Menurut Sonny Keraf (Keraf, 2001, 2), paradigma pembangunan
berkelanjutan adalah soal moral politik pembangunan. Dalam hal ini paradigma
pembangunan bukanlah sebuah konsep tentang pentingnya lingkungan hidup, dan
bukan pula tentang pembangunan ekonomi, tetapi sebagai etika politik tentang konsep
pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunan itu seharusnya
dijalankan. Kekeliruan pemahaman atau bias pemahaman akan hal ini menyebabkan
cita-cita moral yang terkandung di dalamnya tidak akan terwujud. Lalu, mengapa pula
krisis ekologi semakin menjadi-jadi seperti sekarang ini ? karena selain hal di atas,
ternyata pembangunan yang dijalankan selama ini tetap saja mengacu pada
pertumbuhan ekonomi sebagaimana diajarkan oleh paham developmentalism.
Akibatnya, terjadilah pengurasan dan eksploitasi sumberdaya alam secara habis-
habisan tanpa memikirkan bagaimana untuk generasi yang akan datang.
Bias pemahaman paradigma pembangunan berkelanjutan dan jebakan orientasi
pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan implikasi
timbulnya ketidakadilan bagi lingkungan hidup menjadi landasan dalam penulisan ini.
Dengan menggunakan perspektif ekofilosofi Deep Ecology, tulisan ini berusaha
memberikan penjelasan pemikiran bagaimana seharusnya lingkungan hidup menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan kehidupan manusia secara
utuh.
Bahan Bacaan: