Anda di halaman 1dari 35

BAB 4

ANALISIS ENERGI & EKSERGI PENGERINGAN SIMPLISIA

Pendahuluan

Pengeringan adalah proses pengolahan hasil pertanian yang paling kritis,


kegiatan ini diketahui sebagai proses yang memerlukan banyak energi (Dincer &
Sahin 2004). Tingginya harga energi pada saat ini membuat upaya untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan energi dari suatu proses semakin dibutuhkan.
Umumnya teori yang digunakan untuk menganalisis efisiensi energi adalah
hukum termodinamika pertama yang menjelaskan konsep kekekalan energi. Akan
tetapi teori ini mempunyai keterbatasan dalam mengukur penurunan kualitas
energi akibat pembentukan entropi selama proses (Graveland & Gisolf 1998).
Dalam menentukan efisiensi proses pengeringan utamanya lapisan tipis yang
prosesnya diasumsikan bersifat adiabatis, nilai efisiensi yang dihitung bukanlah
nilai sebenarnya melainkan nilai efisiensi dari alat pengering. Untuk mengetahui
apakah energi yang masuk ke dalam suatu sistem pengering sudah digunakan
secara optimal dari sisi kualitas, digunakan metode analisis berdasarkan hukum
termodinamika kedua. Kaidah ini menyatakan bahwa selain memiliki kuantitas,
energi juga memiliki kualitas. Besaran dari kualitas energi ini disebut eksergi
(Ahern 1980).
Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Rosc.) dan temu lawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) merupakan dua komoditas tanaman obat yang memerlukan
proses pengeringan yang baik dalam pembuatan simplisianya. Simplisia adalah
bahan baku untuk pembuatan jamu atau obat tradisional. Bagian tanaman yang
digunakan adalah umbi akar atau rimpang yang diiris dan dikeringkan. Kadar air
rimpang temu putih dan temu lawak saat dipanen berkisar 80-90%, angka ini
cukup tinggi sehingga dibutuhkan banyak energi untuk proses pengeringannya
mengingat kadar air final yang diinginkan adalah 10%. Untuk itu pengeringan
simplisia temu putih dan temu lawak perlu dipelajari agar didapatkan proses yang
efisien. Metode analisis eksergi digunakan dalam menghitung eksergi yang
musnah (exergy destruction) dan mengkaji efisiensi proses.
Pada beberapa tahun terakhir ini analisis eksergi telah menjadi metode
penting yang komprehensif dan mutakhir dalam studi tentang desain, analisis dan
82

optimasi suatu sistem termal. Walaupun demikian, pemakaian metode eksergi


untuk menganalisis proses pengeringan produk pertanian masih belum banyak
dilakukan (Dincer & Sahin 2004).
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sistem termodinamika pengeringan
lapisan tipis, melakukan analisis energi dan eksergi pengeringan serta menentukan
efisiensi proses pengeringan lapisan tipis simplisia temu putih dan temu lawak.

Tinjauan Pustaka

Sistem Termodinamika

Termodinamika didefinisikan sebagai ilmu dasar mengenai energi. Energi


sendiri dapat dipandang sebagai kemampuan melakukan perubahan.
Termodinamika berasal dari bahasa Yunani therme (berarti panas) dan dynamis
(berarti tenaga), secara deskriptif diartikan sebagai usaha untuk mengubah panas
menjadi tenaga (Cengel & Boles 2002).
Sistem termodinamika didefinisikan sebagai besaran atau ukuran sesuatu
atau suatu area yang dipilih untuk dianalisis. Permukaan yang riil ataupun bersifat
khayal yang memisahkan sistem dengan lingkungannya disebut dengan batas
(boundary) seperti terlihat pada Gambar 4-1. Dalam aplikasinya batas sistem
maupun lingkungannya merupakan bagian dari sistem, dan dapat tetap atau
berubah posisi (bergerak).

batas (boundary)

sistem

lingkungan

Gambar 4-1. Skema sistem termodinamika

Suatu sistem termodinamika dapat dibedakan menjadi sistem tertutup


(closed system) atau terbuka (open system), tergantung pada apakah sistem
tersebut mengacu kepada kaidah massa-tetap (fixed mass) atau volume-tetap (fixed
volume). Dalam sistem tertutup jumlah massa dari sistem yang dianalisis tetap
83

(tidak ada massa keluar dari atau masuk kedalam sistem), tetapi volumenya bisa
berubah. Pada sistem tertutup, yang dapat keluar-masuk adalah energi dalam
bentuk panas atau kerja.
Pada sistem terbuka yang dikenal juga sebagai volume terkontrol (control
volume system), energi dan massa dapat keluar atau masuk kedalam sistem
melewati batas sistem. Sistem terbuka biasanya berhubungan erat dengan
peralatan atau proses yang mempunyai aliran massa. Sebagian besar mesin-mesin
konversi energi adalah sistem terbuka. Sistem aliran pada alat atau proses ini
dapat dikaji dengan baik dengan memilih batas yang memenuhi prinsip volume
terkontrol (Cengel & Boles 2002).
Karakteristik yang menentukan sifat dari sistem disebut properti (property)
sistem, seperti tekanan P, temperatur T, volume V, massa m. Selain itu ada juga
properti yang diturunkan dari properti sebelumnya seperti, berat jenis, volume
spesifik, panas jenis, dan lain-lain. Suatu sistem dapat berada pada suatu kondisi
yang tidak berubah, apabila masing-masing jenis properti sistem tersebut dapat
diukur pada semua bagiannya dan tidak berbeda nilainya. Kondisi tersebut disebut
sebagai keadaan (state) tertentu dari sistem, dimana sistem mempunyai nilai
properti yang tetap. Apabila propertinya berubah, maka keadaan sistem tersebut
disebut mengalami perubahan keadaan.
Suatu sistem yang tidak mengalami perubahan keadaan disebut dalam
keadaan seimbang (equilibrium). Perubahan sistem termodinamika dari keadaan
seimbang satu menjadi keadaan seimbang lain disebut proses, dan rangkaian
keadaan diantara keadaan awal dan akhir disebut lintasan proses (Gambar 4-2).
Suatu sistem disebut menjalani suatu siklus, apabila sistem tersebut menjalani
rangkaian beberapa proses, dengan keadaan akhir sistem kembali ke keadaan
awalnya (Gambar 4-3).

keadaan 1

lintasan proses

keadaan 2

Gambar 4-2. Proses dari keadaan 1 ke keadaan 2


84

Gambar 4-3. Diagram siklus termodinamika dengan 2 proses

Keseimbangan Massa

Persoalan keteknikan pada umumnya akan melibatkan aliran massa yang


masuk dan keluar sistem, kondisi demikian sering dimodelkan sebagai sistem
terbuka atau kontrol volume. Pemanas air, radiator mobil, turbin dan kompresor.
semuanya melibatkan aliran massa dan dianalisis dengan kontrol volume (sistem
terbuka) sebagai pengganti kontrol massa pada sistem tertutup. Batas dari sebuah
volume atur disebut dengan permukaan atur (control surface) yang dapat berupa
batas riil maupun imajiner. Kasus pada nosel misalnya, bagian dalam nosel
merupakan batas riil sedangkan bagian masuk dan keluar nosel merupakan batas
imajiner, karena pada bagian ini tidak ada batas secara fisik.
Untuk sistem tertutup, prinsip konservasi massa telah jelas karena tidak ada
perubahan massa dalam sistem. Tetapi untuk volume atur, karena aliran massa
dapat melintasi batas sistem, maka jumlah massa yang masuk dan keluar sistem
harus diperhitungkan. Jumlah massa yang mengalir melintasi satu unit bagian atau
subsistem per satuan waktu disebut mass flow rate yang dinotasikan dengan 𝑚.

𝑑𝑚
𝑚𝑖𝑛 − 𝑚𝑜𝑢𝑡 = (4.1)
𝑑𝑡

Jika zat cair atau gas mengalir masuk dan keluar kedalam suatu sistem
volume atur melalui pipa atau saluran, maka jumlah massanya adalah
proporsional terhadap luas permukaan A, densitas dan kecepatan alir fluida.

𝑑𝑚 = 𝜌𝑣𝑛 (𝑑𝐴) (4.2)

dimana vn adalah komponen kecepatan normal terhadap dA.


85

Keseimbangan Energi (Energy Balance)

Hukum termodinamika pertama adalah salah satu kaidah alam yang paling
mendasar yakni prinsip kekekalan energi (energy conservation principle). Kaidah
tersebut menyatakan bahwa energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk
lainnya, tetapi jumlah total energinya tetap sama. Hukum pertama termodinamika
juga menyatakan bahwa energi merupakan suatu properti termodinamika
(thermodynamic property) (Cengel & Boles 2002).
Keseimbangan energi diartikan sebagai perubahan total energi yang terjadi
dalam suatu sistem proses adalah setara dengan selisih antara jumlah energi yang
masuk dengan jumlah energi yang keluar sistem sepanjang proses tersebut.
Pengertian ini sering juga didefinisikan sebagai selisih antara transfer panas bersih
dengan kerja bersih yang dihasilkan.

𝐸𝑖𝑛 − 𝐸𝑜𝑢𝑡 = ∆𝐸𝑠𝑦𝑠𝑡𝑒𝑚 atau 𝑄 − 𝑊 = ∆𝐸 (4.3)

Prinsip keseimbangan energi dapat diterapkan pada semua sistem pada


semua jenis proses. Perhitungan besarnya perubahan energi suatu sistem pada satu
proses tertentu melibatkan evaluasi besaran energi pada saat awal dan akhir proses
tersebut. Perubahan energi dalam suatu sistem selama satu proses adalah jumlah
dari perubahan energi dalam (internal energy), energi kinetik dan potensial,

∆𝐸 = ∆𝑈 + ∆𝐾𝐸 + ∆𝑃𝐸 (4.4)

Enegi yang dapat melintasi batas dari suatu sistem tertutup hanya dalam dua
bentuk yaitu panas (heat) dan kerja (work), yang umumnya tidak melibatkan
perubahan kecepatan dan ketinggian selama proses. Untuk sistem ini perubahan
energi kinetik dan energi potensial dapat diabaikan sehingga hukum
termodinamika pertama dapat direduksi menjadi:

𝑄 − 𝑊 = ∆𝑈 (4.5)

𝑑𝐸
𝑄−𝑊 = (4.6)
𝑑𝑡

Dalam sistem terbuka keseimbangan energi mengikuti prinsip berikut


(Bejan et al. 1996), laju akumulasi energi adalah sama dengan selisih laju energi
masuk dengan yang keluar. Energi dapat ditransfer ke atau dari suatu sistem
86

terbuka dalam tiga bentuk: panas, kerja dan massa (mass flow), hal ini dikenali
ketika mereka melewati batas sistem berupa energi yang masuk atau yang keluar.
Persamaan umum keseimbangan energi untuk sistem terbuka adalah:

𝑑𝐸 𝑉𝑖2 𝑉𝑜2
= 𝑄 − 𝑊 + 𝑚𝑖 𝑕𝑖 + + 𝑔𝑧𝑖 − 𝑚𝑜 𝑕𝑜 + + 𝑔𝑧𝑜 (4.7)
𝑑𝑡 2 2
𝑖 𝑜

Keseimbangan Entropi (Entropy Balance)

Entropi adalah ukuran atau tingkat ketidakteraturan suatu zat dalam tinjauan
molekuler. Entropi merupakan sifat dari zat karena itu tidak tergantung proses.
Properti entropi ditemukan oleh Clausius pada tahun 1865 yang diberi simbol S
dan didefinisikan sebagai (Cengel & Boles 2002) :

𝛿𝑄
𝑑𝑆 = (kJ/K) (4.8)
𝑇 𝑖𝑛𝑡 𝑟𝑒𝑣

Perubahan entropi dari suatu sistem proses dapat ditentukan dengan


mengintegralkan persamaan (4.8) diatas pada selang batas keadaan awal dan akhir
proses.
2
𝛿𝑄
∆𝑆 = 𝑆2 − 𝑆1 = (4.9)
1 𝑇 𝑖𝑛𝑡 𝑟𝑒𝑣

𝛿𝑄
𝑑𝑆 = (4.10)
𝑇 𝑖𝑛𝑡 𝑟𝑒𝑣

𝑇𝑑𝑆 = 𝑑𝑄 (4.11)

Persamaan 4.11 di atas dikenal sebagai persamaan Tds, dengan


menggunakan persamaan keseimbangan energi (panas dan kerja) maka persamaan
Tds dapat diturunkan menjadi dua persamaan dasar berikut,

𝑇𝑑𝑠 = 𝑑𝑢 + 𝑝𝑑𝑣 (4.12)

𝑇𝑑𝑠 = 𝑑𝑕 − 𝑣𝑑𝑝 (4.13)

Untuk gas ideal berlaku du = cv(T)dT, dh=cp(T)dT dan pv = RT, sehingga


berdasarkan relasi ini persamaan 4.12 dan 4.13 dapat ditulis menjadi :

𝑑𝑇 𝑑𝑣
𝑑𝑠 = 𝑐𝑣 𝑇 +𝑅 (4.14)
𝑇 𝑣
87

𝑑𝑇 𝑑𝑝
𝑑𝑠 = 𝑐𝑝 𝑇 −𝑅 (4.15)
𝑇 𝑝

Bejan et al. (1996) menyatakan bahwa entropi -sebagaimana massa dan


energi- adalah suatu properti ekstensif sehingga dapat ditransfer oleh aliran massa
kedalam atau keluar sistem terbuka. Persamaan umum keseimbangan entropi
pada sistem terbuka adalah sebagai berikut,

𝑑𝑆 𝑄𝑗
= + 𝑚𝑖 𝑠𝑖 − 𝑚𝑜 𝑠𝑜 + 𝑠𝑔𝑒𝑛 (4.16)
𝑑𝑡 𝑇𝑗
𝑗 𝑖 𝑜

dimana dS/dt adalah laju perubahan entropi dalam sistem terbuka, 𝑚𝑖 𝑠𝑖 dan 𝑚𝑜 𝑠𝑜
adalah laju transfer entropi kedalam dan keluar volume atur akibat adanya laju
aliran massa. 𝑄𝑗 dan Tj adalah laju pindah panas pada batas sistem dan suhu pada
saat terjadi pindah panas. Rasio 𝑄𝑗 /Tj menunjukkan jumlah laju pindah panas
dalam hubungannya dengan laju transfer entropi, sedangkan 𝑠𝑔𝑒𝑛 adalah laju
pembentukan entropi akibat adanya irreversibilitas.

Kesimbangan Eksergi (Exergy Balance)

Hukum termodinamika kedua menyatakan bahwa selain memiliki kuantitas,


energi juga memiliki kualitas, dan suatu proses yang riil akan berlangsung pada
arah kualitas energi yang semakin menurun. Jadi walaupun tidak ada kuantitas
energi yang hilang, kualitas energi selalu berkurang selama proses. Besaran dari
kualitas energi ini disebut eksergi. Bentuk persamaan umum eksergi atau disebut
juga energi yang tersedia (available energy) pada suhu T dan suhu lingkungan T0
(Ahern 1980) adalah:

ExT  Q  T0 s (4.17)

Ahern (1980) mendefinisikan eksergi sebagai kerja yang tersedia dalam


gas, fluida ataupun massa sebagai suatu akibat dari keadaan
ketidakseimbangannya relatif terhadap kondisi acuan (reference condition).
Permukaan laut dan kondisi lingkungan adalah ultimate sink yang umum dipakai
sebagai kondisi acuan. Eksergi merupakan suatu properti pada kondisi mantap
(steady-state) yang nilainya dapat dihitung pada setiap titik dalam suatu sistem
termal dari nilai properti lainnya yang ditentukan berdasarkan persamaan
88

keseimbangan energi. Persamaan umum untuk menghitung besaran eksergi pada


suatu sistem relatif terhadap kondisi acuannya adalah,
𝑉2
𝐸𝑘𝑠𝑒𝑟𝑔𝑖 = (𝑢 − 𝑢0 ) − 𝑇0 (𝑠 − 𝑠0 ) + 𝑃0 (𝑣 − 𝑣0 ) + + 𝑔(𝑧 − 𝑧0 )
2
energi internal entropi kerja momentum gravitasi

+ 𝜇𝑐 − 𝜇0 𝑁𝑐 + 𝐸𝑖 𝐴𝑖 𝐹𝑖 (3𝑇 4 − 𝑇04 − 4𝑇0 𝑇 3 ) + ⋯


𝑐
kimia emisi radiasi (4.18)

dimana subskrip 0 menunjukkan kondisi acuan. Karena eksergi adalah kerja yang
tersedia dari berbagai sumber, suku-suku persamaan tersebut dapat dikembangkan
dengan menambahkan aliran arus listrik, medan magnit dan aliran difusi.
Persamaan eksergi secara umum yang sering digunakan pada kondisi
pengaruh gravitasi dan momentum diabaikan adalah sebagai berikut,

𝐸𝑥 = (𝑕 − 𝑕0 ) − 𝑇0 (𝑠 − 𝑠0 ) (4.19)

Secara alami sifat eksergi bertolak belakang dengan entropi dimana eksergi dapat
dimusnahkan tetapi tidak dapat diciptakan. Dengan demikian perubahan eksergi
dalam suatu sistem lebih kecil daripada transfer eksergi dikarenakan adanya
sejumlah eksergi yang musnah (destroyed exergy), sehingga persamaan
keseimbangan eksergi dapat ditulis sebagai berikut (Cengel & Boles 2002) :

∆𝐸𝑥𝑠𝑦𝑠𝑡𝑒𝑚 = 𝐸𝑥𝑖𝑛 − 𝐸𝑥𝑜𝑢𝑡 − 𝐸𝑥𝑑𝑒𝑠𝑡𝑟𝑜𝑦𝑒𝑑 (4.20)

dalam bentuk laju aliran persamaan diatas ditulis sebagai berikut,

∆𝐸𝑥𝑠𝑦𝑠𝑡𝑒𝑚 = 𝐸𝑥𝑖𝑛 − 𝐸𝑥𝑜𝑢𝑡 − 𝐸𝑥𝑑𝑒𝑠𝑡𝑟𝑜𝑦𝑒𝑑 (4.21)


𝑟𝑎𝑡𝑒 𝑜𝑓 𝑒𝑥𝑒𝑟𝑔𝑦 𝑟𝑎𝑡𝑒 𝑜𝑓 𝑒𝑥𝑒𝑟𝑔𝑦 𝑟𝑎𝑡𝑒 𝑜𝑓 𝑒𝑥𝑒𝑟𝑔𝑦
𝑐𝑕𝑎𝑛𝑔𝑒 𝑡𝑟𝑎𝑛𝑠𝑓𝑒𝑟 𝑑𝑒𝑠𝑡𝑟𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛

Persamaan umum keseimbangan eksergi dalam sistem terbuka (Bejan et al.


1996) adalah :

𝑑𝐸𝑥 𝑇0 𝑑𝑣
= 1− 𝑄𝑗 − 𝑊 − 𝑃0 + 𝑚𝑖 𝑒𝑖 − 𝑚𝑜 𝑒𝑜 − 𝐸𝐷
𝑑𝑡 𝑇𝑗 𝑑𝑡
𝑗 𝑖 𝑜
(4.22)
89

Termodinamika Pindah Panas

Apabila pada suatu sistem terbuka transfer energi yang terjadi hanya berupa
aliran panas (Gambar 4-4) maka analisis termodinamikanya hanya melibatkan
suku pertama dari persamaan (4.7). Analisis berikut ini dapat membantu dalam
memahami prinsip analisis termodinamika kedua karena lebih sederhana.

TH

qH Tw
mCp qL

TL

Gambar 4-4. Pindah panas suatu sistem termal

Keseimbangan termodinamika sistem ini dapat ditentukan dengan terlebih


dahulu menyusun persamaan keseimbangan energi sistem ini sebagai,

𝑑𝑇𝑤
𝑚𝐶𝑝 = 𝑞𝐻 − 𝑞𝐿 (4.23)
𝑑𝑡

Persamaan keseimbangan entropi didapatkan dengan membagi semua suku


pada semua ruas dengan suhu mutlaknya masing-masing. Selanjutnya persamaan
keseimbangan eksergi didapatkan dengan prinsip persamaan 4.17 yaitu
mengurangkan energi dengan perkalian entropi dengan suhu acuan (T0).

𝑚𝐶𝑝 𝑑𝑇𝑤 𝑞𝐻 𝑞𝐿
= − + ∆𝑆 (4.24)
𝑇𝑊 𝑑𝑡 𝑇𝐻 𝑇𝐿

𝑑𝑇𝑤 𝑇0 𝑇0 𝑇0
𝑚𝐶𝑝 1− = 𝑞𝐻 1 − − 𝑞𝐿 1 − − 𝑇0 ∆𝑆 (4.25)
𝑑𝑡 𝑇𝑊 𝑇𝐻 𝑇𝐿

Dalam keadaan mantap (steady-state) sebagaimana pada Gambar 4-5 maka


ruas kiri persamaan diatas sama dengan nol. Dari gambar tersebut terlihat bahwa
aliran panas besarannya tetap, sedangkan entropi semakin bertambah dan akibat
adanya pembentukan entropi maka eksergi (available energy) menjadi berkurang.
90

Gambar 4-5. Skema sistem termal pindah panas (steady-state)

Eksergi Udara Pengeringan

Studi tentang eksergi udara (moist air) penting dipelajari sebelum


melakukan analisis eksergi pengeringan, karena udara pengeringan merupakan
sarana utama dalam pengangkutan (transfer) baik energi maupun massa uap air
pada sistem pengeringan konvektif. Liley (2002) menyatakan bahwa sangat
sedikit informasi yang tersedia dalam literatur mengenai kuantitas numerik
eksergi fluida. Jika fluida dapat diasumsikan sebagai gas ideal, maka perhitungan
ekserginya tidak terlalu sulit.
Burghardt & Harbach (1993) menyatakan bahwa untuk suatu sistem proses
yang berlangsung secara psikrometris volume kontrol (control-volume
pyschrometric process), nilai eksergi udara pengeringan merupakan jumlah dari
eksergi fisik (thermo-mechanical exergy) dan kimia (chemical exergy), dimana
menurut Qureshi & Zubair (2003) komponen utama dari eksergi kimia adalah
91

eksergi campuran (mixture) dari udara dengan uap air pada berbagai suhu dan
kelembaban. Shukuya & Hammache (2002) menyatakan bahwa eksergi fisik dan
kimia memiliki peran penting dalam pengkajian sistem termodinamika
sesungguhnya dari suatu proses psikrometrik. Sedangkan Bejan et al. (1996)
menyatakan bahwa eksergi kimia merupakan komponen utama dari eksergi total
dalam suatu campuran zat pada berbagai tingkat suhu dan komposisi.
Pada kondisi mantap (steady state) dengan mengabaikan pengaruh energi
kinetik dan potensial, persamaan eksergi udara pengeringan dapat ditulis sebagai
berikut,
𝑛

𝑒𝑎 = 𝑕 − 𝑕0 − 𝑇0 𝑠 − 𝑠0 + 𝑋𝑘 𝜇𝑘,0 − 𝜇𝑘 (4.18)
𝑘=1

dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa dua suku pertama diruas kanan adalah
komponen eksergi fisik dan suku terakhir adalah komponen eksergi kimia.
Nilai eksergi spesifik untuk udara lembab yang dianggap sebagai campuran
gas ideal yang terdiri dari udara kering dan uap air adalah (Shukuya & Hammache
2002) :

𝑇 𝑃
𝑒𝑎 = 𝐶𝑝𝑎 + 𝜔𝐶𝑝𝑣 𝑇 − 𝑇0 − 𝑇0 𝑙𝑛 + 1 + 1.608𝜔 𝑅𝑎 𝑇0 𝑙𝑛
𝑇0 𝑃0
1 + 1.608𝜔0
+ 𝑅𝑎 𝑇0 1 + 1.608𝜔 𝑙𝑛
1 + 1.608𝜔
𝜔
+ 1.608𝜔𝑙𝑛 (4.19)
𝜔0

pada persamaan di atas komponen eksergi kimia adalah dua suku terakhir di ruas
kanan sedangkan eksergi fisiknya adalah dua suku pertama.
Pada suatu sistem dimana perbedaan tekanan dianggap tidak ada (P=P0)
maka persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi,

𝑇
𝐸𝑎 = 𝑚 𝐶𝑝𝑎 + 𝜔𝐶𝑝𝑣 𝑇 − 𝑇0 − 𝑇0 𝑙𝑛
𝑇0
1 + 1.608𝜔0
+ 𝑅𝑎 𝑇0 1 + 1.608𝜔 𝑙𝑛
1 + 1.608𝜔
𝜔
+ 1.608𝜔𝑙𝑛 (4.20)
𝜔0
92

Pada Gambar 4-6 terlihat kurva eksergi udara (kJ/kg) yang berbentuk seperti
grafik psikrometrik, nilainya dihitung berdasarkan tabel uap, nilai properti udara
dan uap air serta psikrometrik standar pada kondisi acuan (T0) 273 K (Liley 2002).

Gambar 4-6. Kurva eksergi udara pada berbagai suhu dan RH (Liley 2002)

Analisis Eksergi Pengeringan

Analisis dengan metode eksergi memiliki dua kelebihan dibandingkan


dengan metode keseimbangan panas dalam analisis desain dan kinerja suatu
sistem yang berhubungan dengan energi (energy-related system). Pertama, adalah
memberikan pengukuran yang lebih akurat dari ketidakefisienan aktual suatu
sistem serta lokasi terjadinya ketidakefisienan tersebut. Hal ini berlaku baik untuk
sistem yang sederhana maupun rumit. Analisis eksergi juga memberikan ukuran
efisiensi sistem sebenarnya untuk suatu sistem siklus kombinasi yang rumit atau
sistem terbuka dimana metode keseimbangan panas memberikan nilai efisiensi
yang tidak akurat (Ahern 1980).
Analisis dengan kaidah termodinamika, khususnya analisis eksergi pada satu
dekade ini telah menjadi alat pokok dalam studi tentang desain, analisis dan
optimasi suatu sistem termal (Dincer & Sahin 2004). Eksergi diartikan sebagai
93

kerja maksimum yang diperoleh atau kerja minimum yang dibutuhkan oleh sistem
yang didapatkan dari adanya aliran (stream) massa, panas atau kerja (matter, heat
or work). Sebagian dari eksergi yang memasuki sistem termal akan hilang oleh
adanya irreversibilitas dari sistem tersebut (Tambunan et al. 2010; Dincer 2002).
Konservasi energi dalam proses pengeringan adalah memakai energi
seminimum mungkin untuk memindahkan uap air secara maksimum sampai
kepada kondisi akhir yang diinginkan dengan tetap memperhatikan kualitas.
Secara umum, keseimbangan energi tidak memberikan informasi mengenai
kualitas energi yang masuk atau keluar dari suatu sistem. Untuk analisis sistem
termal, dalam hukum termodinamika II dikenal konsep eksergi yang merupakan
suatu ukuran mutu atau nilai energi. (Mustofa et al. 2007). Demikian juga untuk
menganalisis proses pengeringan yang dikenal sebagai sarat energi, kaidah-kaidah
termodinamika mulai banyak diterapkan.
Beberapa studi mengenai aspek termodinamika dari sistem pengeringan
telah dilakukan. Syahrul et al. (2002) mempelajari analisis eksergi pengeringan
fluidized bed dari partikel basah (moist particles), Midilli & Kucuk (2003b)
melakukan analisis energi dan eksergi proses pengeringan dari biji kenari
(pistachio) dengan menggunakan lemari pengering bertenaga surya. Dincer &
Sahin (2004) mengembangkan model baru untuk analisis eksergi pada proses
pengeringan. Akpinar (2004) melakukan analisis energi dan eksergi proses
pengeringan dari irisan paprika merah dalam pengering tipe konveksi. Akpinar et
al. (2005, 2006) menyajikan analisis energi dan eksergi proses pengeringan
kentang dan labu dengan pengering tipe siklon (cyclone type dryer). Colak &
Hepbasli (2007) menyajikan analisis eksergi proses pengeringan lapisan tipis buah
zaitun (green olive) dengan pengering rak. Corzo et al. (2008a) mempelajari
analisis eksergi dan optimasi pengeringan lapisan tipis irisan buah coroba.

Metode

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa


Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB Bogor pada bulan Maret 2009 hingga
Juni 2010.
94

Bahan dan Alat

Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah irisan rimpang temu putih
dan dikeringkan pada kombinasi suhu 40, 50, 60 dan 70 oC dengan RH 20%,
40%, dan 60%. Sampel dengan tebal irisan sampel sekitar 3-4 mm diletakkan
pada wadah sedemikian rupa dalam bentuk lapisan tipis. Sebelum dikeringkan,
irisan temu putih terlebih dulu dirandam dalam air dengan suhu 95 oC (diblansir)
selama 5 menit (Ertekin & Yaldiz 2004). Pada setiap percobaan, alat pengering
dihidupkan sekitar satu jam sebelum dimulai untuk menstabilkan ruangan
pengering sesuai dengan kondisi percobaan yang diinginkan. Berat dan suhu
bahan serta suhu dan kelembaban udara pengering dimonitor secara kontinu dan
direkam datanya setiap 5 menit selama percobaan. Perubahan berat sampel diukur
langsung secara otomatis dengan menggunakan timbangan GF-3000 A&D dengan
kapasitas 0–3000 g dan akurasi 0.01 g. Percobaan dihentikan setelah berat sampel
konstan. Kadar air akhir percobaan ditentukan dengan mengeringkan sampel
selama 24 jam pada suhu 103 ± 2 oC dengan memakai oven (Kashaninejad et al.
2003).
Penelitian pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering
terkontrol-terakuisisi. Alat pengering ini dapat diatur pada kondisi suhu dan
kelembaban nisbi (RH) yang diinginkan yaitu pada selang suhu 30-80 oC dan RH
20-90%. Pengontrolan kondisi pengeringan dilakukan dengan kontrol PID dengan
akurasi suhu ± 1oC dan RH ± 2% sesuai dengan standar (ASABE, 2006). Sensor
suhu dan RH menggunakan SHT15 keluaran Sensirion. Secara keseluruhan alat
pengering dikontrol oleh mikroprosesor AVR Atmel. Alat ini dilengkapi juga
dengan sistim humidifier 2000 W, sistim pemanas 2000 W, kipas elektrik dan
dehumidifier. Kecepatan udara pengering yang melalui ruang pengering (drying
chamber) yang berdimensi 35 cm  35 cm  35 cm dikontrol secara manual dan
diukur dengan menggunakan anemometer digital Kanomax dengan akurasi ± 0.1
m/s. Skema alat pengering dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Metode Analisis Energi dan Eksergi Pengeringan

Untuk menelaah persamaan keseimbangan eksergi suatu proses pengeringan


perlu digambarkan dahulu diagram atau skema sistem pengeringannya sehingga
95

sistem termodinamikanya dapat ditentukan. Proses pengeringan sampel temu


putih sebagai bahan padat lembab (moist solid) pada penelitian ini (Gambar 4-7)
dapat dikategorikan sebagai sistem terbuka (open system) atau disebut juga
control volume system (Dincer & Sahin 2004), pada sistem ini baik massa maupun
energi dapat melewati batas sistem tersebut (Cengel & Boles 2002).

Gambar 4-7. Skema sistem pengeringan dengan control volume system

Sistem pengeringan pada Gambar 4.7 dapat diuraikan dan dijelaskan dalam
empat kondisi berikut (Gambar 4.8):
 Kondisi 1, berhubungan dengan masukan (input) udara pengering ke dalam
sistem untuk mengeringkan sampel/produk pada waktu t.
 Kondisi 2, berhubungan dengan produk yang dikeringkan dan air di dalam
produk pada waktu t.
 Kondisi 3, berhubungan dengan luaran (output) udara lembab yang keluar dari
sistem pada waktu t+∆t.
 Kondisi 4, berhubungan dengan produk yang dikeringkan dan air di dalam
produk pada waktu t+∆t.
Sistem termodinamika pengeringan ini dianilisis dengan menggunakan
prinsip keseimbangan massa, energi dan eksergi. Selain itu karena proses ini
berlangsung secara psikrometrik volume kontrol (Burghardt & Harbach 1993),
maka persamaan-persamaan psikrometrik juga digunakan dalam perhitungan
sifat-sifat udara (pengeringan).
96

Gambar 4.8. Skema input-output proses pengeringan (Dincer & Sahin 2004)

Persamaan Keseimbangan Massa

Persamaan keseimbangan massa dalam ruang pengering sebagai suatu


sistem volume terkontrol (control volume system) mencakup tiga komponen
berikut yaitu produk yang dikeringkan, udara dan air/uap air yang ada di dalam
fluida pengering dan produk. Selanjutnya, persamaan keseimbangan massa dari
tiga komponen tersebut adalah (Dincer & Sahin 2004):
.
  
Produk : (m p ) 2  (m p ) 4  m p (4.21)
.
  
Udara : (ma )1  (ma )3  ma (4.22)
.
.   
Air : 1 m a  (m w ) 2  3 m a  (m w ) 4 (4.23)

Persamaan Keseimbangan Energi

Persamaan keseimbangan energi untuk seluruh sistem dirumuskan


berdasarkan kaidah energi yang masuk sama dengan energi yang keluar:

      
m a h1  m p (h p ) 2  (m w ) 2 (hw ) 2  m a h3  m p (h p ) 4  (m w ) 4 (hw ) 4  Ql (4.24)

dimana
h1  (ha )1  1 (hv )1  (ha )1  1 (hg )1 (4.25)

h3  (ha )3  3 (hg )3 (4.26)


97

Entalpi udara pengering dihitung dengan persamaan berikut (Heldman & Singh,
1981):

ha  c pa (T  Tref )  h fg
(4.27)
ha  (1.004  1.88 )(T  Tref )  h fg

Laju pindah panas karena penguapan mengikuti persamaan (Syahrul et al.


2002) berikut:
 
Q ev  m v h fg (4.28)

Besarnya laju aliran masa penguapan air simplisia ( m v ) selama selang waktu Δt
dihitung dengan membagi selisih bobot dengan selang waktu tersebut.
Pada sistem pengeringan lapisan tipis ini, besaran penggunaan energi
(energy utilization, EU) adalah sama dengan energi penguapan:

𝐸𝑈 = 𝑄𝑒𝑣 (4.29)

Rasio penggunaan energi (energy utilization ratio, EUR) dihitung


berdasarkan rasio energi penguapan terhadap energi pemanasan sebagai berikut:

𝑄𝑒𝑣
𝐸𝑈𝑅 = (4.30)
𝑚𝑎 𝑕𝑎𝑖 − 𝑕𝑎0

Persamaan Keseimbangan Eksergi

Eksergi masuk, keluar dan yang hilang ke/dari ruang pengering dianalisis
berdasarkan hukum kedua termodinamika. Dasar perhitungan untuk analisis
eksergi ruang pengering adalah menghitung nilai eksergi dalam keadaan mantap
(steady state) (Akpinar et al. 2006; Corzo et al. 2008; Midili & Kucuk 2003b).
Dincer & Sahin (2004) menyusun persamaan keseimbangan eksergi sebagaimana
persamaan input-output untuk energy balance sebagai berikut:

       
m a e1  m p (e p ) 2  (m w ) 2 (ew ) 2  m a e3  m p (e p ) 4  (m w ) 4 (ew ) 4  Eq  Ed
(4.31)
Analogi dengan persamaan 4.19 dan 4.20 maka ekesergi spesifik pada
kondisi 1 dari sistem pengeringan temu putih (lihat Gambar 4-8) dapat ditulis
sebagai berikut,
98

𝑇1
𝑒1 = 𝐶𝑝𝑎 + 𝜔1 𝐶𝑝𝑣 𝑇1 − 𝑇0 − 𝑇0 𝑙𝑛
𝑇0
1 + 1.608𝜔0
+ 𝑅𝑎 𝑇0 1 + 1.608𝜔1 𝑙𝑛
1 + 1.608𝜔1
𝜔1
+ 1.608𝜔1 𝑙𝑛 (4.32)
𝜔0

Sedangkan eksergi spesifik pada kondisi 3 adalah,


𝑇3
𝑒3 = 𝐶𝑝𝑎 + 𝜔3 𝐶𝑝𝑣 𝑇3 − 𝑇0 − 𝑇0 𝑙𝑛
𝑇0
1 + 1.608𝜔0
+ 𝑅𝑎 𝑇0 1 + 1.608𝜔3 𝑙𝑛
1 + 1.608𝜔3
𝜔3
+ 1.608𝜔3 𝑙𝑛 (4.33)
𝜔0
Eksergi spesifik untuk produk dan air di dalam produk dihitung dengan
mengacu pada persamaan berikut:

𝑇0
𝑒 = 𝐶𝑝 1 − (4.34)
𝑇

Eksergi spesifik penguapan:

𝑇0
𝑒𝑒𝑣 = 𝑄𝑒𝑣 1 − (4.35)
𝑇𝑒𝑣

Efisiensi eksergi (Burghardt & Harbach 1993):

 availabili ty of system
ex  (4.36)
 availabilt y of resources

𝐸𝑥𝑒𝑟𝑔𝑦 𝑖𝑛𝑓𝑙𝑜𝑤 − 𝐸𝑥𝑒𝑟𝑔𝑦 𝑜𝑢𝑡𝑓𝑙𝑜𝑤


𝜂𝑒𝑥 = (4.37)
𝐸𝑥𝑒𝑟𝑔𝑦 𝑖𝑛𝑓𝑙𝑜𝑤

Hasil dan Pembahasan

Eksergi Udara Pengeringan

Dengan mengabaikan energi kinetik dan potensial maka besaran eksergi


udara lembab dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 4.16. Plot
o
persamaan tersebut pada suhu referensi 303 K (30 C) dan kelembaban nisbi 70%
(kecuali disebutkan lain) dapat dilihat pada Gambar 4-9 dan 4-10. Sebagai
99

perbandingan pada Gambar 4-11 dan 4-12 dapat dilihat plot energi (entalpi) udara
pada kondisi yang sama, sedangkan nilainya tertera pada Tabel 4-1 dan 4-2. Dari
gambar tersebut terlihat nilai eksergi dan entalpi udara semakin tinggi dengan
meningkatnya suhu dan kelembaban nisbi (RH). Terlihat juga bahwa besaran
eksergi udara pada kisaran suhu pengeringan 40-70 oC besarnya sekitar 0-10%
dari entalpi yang dikandung oleh udara.

120
80% T0 20
100 80% RH
70% RH
80
Eksergi (kJ)

60% RH
60 40% RH
20% RH
40
20% T0 40

20

0
0 20 40 60 80 100
Suhu (C)

Gambar 4-9. Kurva eksergi udara pada berbagai suhu (T0 = 303 K, RH0 =70%)

120
80 C

100 70 C
60 C
80
Eksergi (kJ/kg)

50 C
40 C
60
30 C

40

20

0
0 20 40 60 80 100
RH (%)

Gambar 4-10. Kurva eksergi udara pada berbagai RH (T0 = 303 K, RH0 =70%)
100

Tabel 4-1. Eksergi udara pengeringan (kJ/kg)*


Suhu Kelembaban Nisbi
(oC) 20% 40% 60% 70% 80%
100 34.877 126.645 354.464 609.429 1169.442
80 8.763 26.952 57.374 78.092 103.411
70 3.952 11.707 24.624 32.985 42.703
60 1.616 4.388 9.641 13.057 16.979
50 0.694 1.189 2.982 4.253 5.744
40 0.581 0.168 0.463 0.803 1.251
30 0.945 0.029 0.029 0.000 0.027
*Pada kondisi acuan T0 = 303 K, RH0 =70%

Tabel 4-2. Entalpi udara pengeringan (kJ/kg)


Suhu Kelembaban Nisbi
(oC) 20% 40% 60% 70% 80%
100 556.99 1327.59 2905.97 4535.92 7961.00
80 262.75 487.95 772.95 945.86 1145.24
70 184.47 314.95 465.46 549.73 641.00
60 130.49 206.82 290.05 334.56 381.18
50 92.40 136.78 183.53 207.85 232.83
40 64.77 90.12 116.26 129.63 143.21
30 43.98 58.07 72.41 79.67 87.00

Eksergi udara pengeringan semakin tinggi dengan meningkatnya suhu dan


RH pengeringan. Meningkatnya suhu dan RH udara pengeringan mempunyai
dampak berlawanan terhadap kecepatan pengeringan, dimana kenaikan suhu
berpengaruh positif sedangkan kenaikan RH sebaliknya. Keadaan lingkungan
sebagai kondisi acuan mempunyai pengaruh terhadap eksergi udara pengeringan.
Penurunan suhu dan RH lingkungan juga akan meningkatkan eksergi udara
pengeringan, dan sebaliknya.
Udara sebagai suatu campuran yang terdiri dari udara kering dan uap air
memiliki nilai eksergi yang merupakan penjumlahan dari eksergi fisik dan kimia.
Gambar 4-13 dan 4-14 memperlihatkan komposisi eksergi fisik dan kimia pada
berbagai suhu dan RH (pada T0 = 303 K, RH0 =70%). Berdasarkan gambar-
gambar tersebut terlihat bahwa eksergi kimia merupakan komponen eksergi yang
dominan dibandingkan eksergi fisik. Karena itu kelembaban udara pengeringan
memegang peran penting dalam sistem termodinamika dari suatu proses
psikrometrik seperti pengeringan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
101

oleh Shukuya & Hammache (2002) serta Bejan et al. (1996). Hal inilah yang
membedakan penelitian ini dengan analisis yang dilakukan oleh Corzo et al.
(2008a) yang tidak mempertimbangkan rasio kelembaban didalam studi tentang
analisis energi dan eksergi pengeringan lapisan tipis irisan buah coroba.

1200
80% RH

1000 70% RH
60% RH
800 40% RH
Entalpi (kJ)

20% RH
600

400

200

0
0 20 40 60 80 100
Suhu (C)

Gambar 4-11. Kurva entalpi udara pada berbagai suhu

1200
80 C
70 C
1000
60 C
50 C
800
Entalpi (kJ/kg)

40 C
30 C
600

400

200

0
0 20 40 60 80 100
RH (%)

Gambar 4-12. Kurva entalpi udara pada berbagai RH


102

120 360
RH 40% RH 60%
100 300
Eks. kimia Eks. kimia

Eksergi (kJ/kg)
Eksergi (kJ/kg)

80 240
Eks. Fisik Eks. fisik
60 180

40 120

20 60

0 0
20 40 60 80 100 20 40 60 80 100
Suhu (oC) Suhu (oC)

Gambar 4-13. Kurva eksergi fisik dan kimia udara pengering pada RH 40% & 60%

600 1200
RH 70% RH 80%
500 1000
Eks. kimia Eks. kimia
Eksergi (kJ/kg)
Eksergi (kJ/kg)

400 800
Eks. fisik Eks. fisik
300 600

200 400

100 200

0 0
20 40 60 80 100 20 40 60 80 100
Suhu (oC) Suhu (oC)

Gambar 4-14. Kurva eksergi fisik dan kimia udara pengering pada RH 70% & 80%

Analisis Energi dan Eksergi Pengeringan Temu Putih

Analisis termodinamika pengeringan temu putih didasarkan pada data


proses pengeringan yang diperoleh dari percobaan dengan mengacu pada keadaan
lingkungan T0 = 30o C dan RH0 70% sebagai kondisi referensi (dead state). Kurva
pengeringan temu putih pada berbagai suhu dan RH diplot pada Gambar 4-15.
Gambar 4-16 memperlihatkan kurva suhu bahan selama pengeringan sedangkan
Gambar 4-17 adalah data pengukuran suhu dan RH udara yang meninggalkan
sistem pengeringan. Gambar 4-18 memperlihatkan besaran energi dan eksergi
yang masuk ke dalam sistem pengeringan, besarnya bervariasi menurut kombinasi
suhu dan RH udara pengering. Semakin tinggi suhu dan RH udara pengering,
maka semakin tinggi energi dan ekserginya.
103

150 150
70 C, 40% 50 C, 40%
60 C, 40% 50 C, 30%
Massa temu putih (g)

Massa temu putih (g)


120 120
50 C, 40% 50 C, 20%
90 40 C, 40% 90

60 60

30 30

0 0
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-15. Kurva perubahan massa temu putih terhadap waktu

80 80
50 C, 40%
70 70 50 C, 30%
Suhu bahan (C)

Suhu bahan (C)

60 50 C, 20%
60

50 50

40 40

30 70 C, 40% 60 C, 40% 30
50 C, 40% 40 C, 40%
20 20
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-16. Kurva suhu bahan temu putih selama pengeringan

80 100%
50 C, 40%
70 80% 50 C, 30%
Suhu keluar (C)

60 50 C, 20%
RH keluar

60%
50
40%
40
20%
30 70 C, 40% 60 C, 40%
50 C, 40% 40 C, 40%
20 0%
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-17. Kurva suhu (kiri) dan RH keluar (kanan) dari ruang pengeringan
104

16 0.8
Entalpi
Eksergi
12 0.6

Eksergi (kJ/s)
Entalpi (kJ/s)
8 0.4

4 0.2

0 0.0
50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40%

16 0.8
Entalpi
Eksergi
12 0.6

Eksergi (kJ/s)
Entalpi (kJ/s)

8 0.4

4 0.2

0 0.0
50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40%

Gambar 4-18. Energi dan eksergi udara masuk ke dalam sistem pengeringan
simplisia pada berbagai suhu & RH

Eksergi yang masuk ke dalam sistem besarnya konstan karena suhu dan RH
udara pengeringan dijaga konstan selama pengeringan yaitu 68.1, 235.9 dan 581.1
J/s masing-masing untuk suhu 50, 60, 70oC pada RH 40% serta 40.7, 43.0 dan
68.1 J/s masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50oC.
Sedangkan eksergi keluar bervariasi antara 65.8-67.4, 232.8-234.8 dan 578.9-
580.0 J/s masing-masing untuk suhu 50, 60 dan 70 oC pada RH konstan 40% serta
35.9-39.5, 39.5-42.1 dan 65.8-67.4 J/s masing-masing untuk RH 20%, 30% dan
40% pada suhu 50oC.
Gambar 4-19 menunujukkan penggunaan energi (energy utilization) untuk
penguapan selama pengeringan, yaitu berkisar antara 0.0118-0.0489, 0.0150-
105

0.0420, 0.0216-0.0480 dan 0.0235-0.0461 kJ/s masing-masing untuk suhu 40, 50,
60 dan 70oC pada RH 40% serta 0.0118-0.0489, 0.0138-0.0492 dan 0.0150-
0.0420 kJ/s masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50oC. Dari
gambar tersebut terlihat bahwa penggunaan energi cukup tinggi pada awal
pengeringan dan semakin menurun hingga akhir pengeringan. Hal ini dapat
dimengerti mengingat pada awal pengeringan kadar air bahan masih tinggi
sehingga diperlukan banyak energi untuk penguapan air bahan. Gambar 4-20
menunjukkan kurva eksergi penguapan pada berbagai kondisi percobaan,
sedangkan Tabel 4-3 menunjukkan nilai total energi dan eksergi untuk penguapan
selama 4 dan 6 jam pengeringan simplisia temu putih.

0.15 0.15
70 C, 40% 50 C, 40%
Evaporation Heat (kJ/s)

Evaporation Heat (kJ/s)


0.12 60 C, 40% 0.12 50 C, 30%
50 C, 40% 50 C, 20%
0.09 40 C, 40% 0.09

0.06 0.06

0.03 0.03

0 0.00
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-19. Kurva penggunaan energi (energy utilization) untuk penguapan

0.010 0.010
70 C, 40% 50 C, 40%
Exergy evaporation (kJ/s)
Exergy Evaporation (kJ/s)

60 C, 40%
0.008 0.008 50 C, 30%
50 C, 40%
40 C, 40% 50 C, 20%
0.006 0.006

0.004 0.004

0.002 0.002

0.000 0.000
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-20. Eksergi penguapan pada berbagai kondisi pengeringan temu putih
106

Tabel 4-3. Jumlah energi dan eksergi penguapan pengeringan temu putih
Selama 4 jam pengeringan Selama 6 jam pengeringan
Suhu, RH Evap. heat Evap. exergy Evap. heat Evap. exergy
(kJ) (kJ) (kJ) (kJ)
70 oC, 40% 324.01 30.70 325.37 30.85
60 oC, 40% 324.07 23.79 326.44 24.00
50 oC, 40% 320.93 14.41 324.49 14.60
50 oC, 30% 324.04 13.29 325.88 13.40
50 oC, 20% 318.88 10.03 319.80 10.08
40 oC, 40% 321.48 5.96 330.88 6.19

Kurva rasio penggunaan energi (EUR) pada Gambar 4-21 mempertegas


bahwa efisiensi penggunaan energi lebih tinggi pada awal proses pengeringan dan
semakin rendah pada akhir pengeringan. Gambar tersebut juga memperlihatkan
bahwa semakin rendah suhu dan RH pengeringan, maka rasio penggunaan energi
semakin tinggi dan sebaliknya, atau dapat dikatakan bahwa EUR berbanding
terbalik dengan tingkat suhu dan RH pengeringan. Hal yang sama dilaporkan
oleh Akpinar (2004) pada pengeringan irisan paprika merah (red pepper) dan
Akpinar et al. (2005) pada pengeringan apel.

20% 20%
40 C, 40% 50 C, 20%
Energy Utilization Ratio

Energy Utilization Ratio

16% 50 C, 40% 16% 50 C, 30%


60 C, 40% 50 C, 40%
12% 70 C, 40% 12%

8% 8%

4% 4%

0% 0%
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-21. Rasio penggunaan energi (EUR) sebagai fungsi waktu pengeringan

Eksergi yang meninggalkan sistem (exergy outflow) dapat dilihat pada


Gambar 4-22. Kurva eksergi keluar semakin tinggi dengan meningkatnya waktu
pengeringan, nilainya mendekati besarnya eksergi masuk. Hal ini menunjukkan
bahwa beban pengeringan dalam sistem semakin kecil. Eksergi yang keluar dari
sistem masih cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan, hal ini dapat
diaplikasikan pada pengeringan lapisan tebal atau tumpukan rak.
107

Selisih antara eksergi masuk dengan keluar adalah merupakan besaran dari
eksergi yang musnah atau rusak (exergy destruction), kurvanya diplotkan pada
Gambar 4-23, Shukuya & Hammache (2002) menyebutkan exergy destruction
sebagai exergy consumed. Pada gambar tersebut terlihat bahwa eksergi yang
dikonsumsi selama proses tinggi pada awal pengeringan dan semakin turun
dengan bertambahnya waktu pengeringan, kecenderungan ini sejalan dengan
penggunaan energi (energy utilization).

0.6 0.6
50 C, 40%
0.5 70 C, 40% 0.5 50 C, 30%
Exergy outflow (kJ/s)

Exergy outflow (kJ/s)


60 C, 40% 50 C, 20%
0.4 50 C, 40%
0.4

0.3 40 C, 40% 0.3

0.2 0.2

0.1 0.1

0.0 0.0
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-22. Exergy outflow sebagai fungsi dari waktu pengeringan

0.005 0.012
70 C, 40% 50 C, 20%
Exergy destruction (kJ/s)

Exergy destruction (kJ/s)

0.004 60 C, 40% 50 C, 30%


50 C, 40%
0.009
50 C, 40%
0.003 40 c, 40%
0.006
0.002
0.003
0.001

0.000 0.000
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-23. Exergy destruction sebagai fungsi dari waktu pengeringan

Efisiensi eksergi pengeringan menurut waktu berdasarkan persamaan 4.37


disajikan pada Gambar 4-24. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa efisiensi
eksergi semakin tinggi pada suhu dan RH yang lebih rendah, hal yang sama
terjadi pada rasio penggunaan energi (EUR). Sedangkan dari bentuknya, kurva
108

efisiensi eksergi agak berbeda dengan kurva rasio penggunaan energi (EUR)
dimana kurva EUR mengalami penurunan sejak awal pengeringan sedangkan
kurva efisiensi eksergi cenderung naik/ tinggi pada awal pengeringan terutama
pada suhu yang lebih rendah, baru kemudian semakin menurun dengan
bertambahnya waktu pengeringan. Kecenderungan yang sama dilaporkan oleh
Akpinar (2004) pada penelitian pngeringan irisan paprika merah. Efisiensi eksergi
pengeringan bervariasi antara 0.03-31.3%, 0.01-6.23%, 0.0-2.13% dan 0.0-0.76%
masing-masing untuk suhu 40, 50, 60 dan 70 oC pada RH 40% serta 0.0-27.0%,
0.0-15.9% dan 0.01-6.23% masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada
suhu 50oC.
Pada Tabel 4-4 disajikan nilai efisiensi eksergi rata-rata selama 4 dan 6 jam
pengeringan dan pada berbagai kondisi percobaan yang dilakukan.

30% 30%
40 C, 40% 50 C, 20%
25% 50 C, 40% 25% 50 C, 30%
50 C, 40%
Efisiensi eksergi
Efisiensi eksergi

60 C, 40%
20% 20%
70 C, 40%
15% 15%

10% 10%

5% 5%

0% 0%
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-24. Kurva efisiensi eksergi pada berbagai suhu (kiri) dan RH (kanan)

Tabel 4-4. Efisiensi energi dan eksergi rata-rata pengeringan temu putih
Selama 4 jam pengeringan Selama 6 jam pengeringan
Suhu, RH
Ef. energi Ef. eksergi Ef. energi Ef. eksergi
70 oC, 40% 0.19% 0.15% 0.13% 0.10%
60 oC, 40% 0.33% 0.40% 0.22% 0.27%
50 oC, 40% 0.68% 1.38% 0.46% 0.93%
50 oC, 30% 1.12% 3.33% 0.75% 2.24%
50 oC, 20% 2.96% 5.09% 1.98% 3.40%
40 oC, 40% 3.54% 9.02% 2.43% 6.20%
109

Analisis Energi dan Eksergi Pengeringan Temu Lawak

Analisis termodinamika pengeringan temu lawak sebagaimana pada


pengeringan temu putih juga didasarkan pada data pengeringan yang diperoleh
dari percobaan dengan mengacu pada keadaan lingkungan T0 = 303 K dan RH0
70% sebagai kondisi referensi (dead state). Kurva pengeringan temu lawak pada
berbagai suhu dan RH dapat dilihat pada Gambar 2-19 dan 2-20. Untuk
menghitung persamaan keseimbangan massa dan energi pada sistem
termodinamika percobaan pengeringan ini perlu diketahui perubahan massa dan
suhu bahan serta suhu dan RH udara yang keluar dari sistem. Gambar 4-25 dan 4-
26 memperlihatkan kurva perubahan massa dan suhu bahan selama pengeringan.

150 150
70 C, 40% 50 C, 40%
Massa temu lawak (g)
Massa temu lawak (g)

120 60 C, 40% 120 50 C, 30%


50 C, 40% 50 C, 20%
90 90

60 60

30 30

0 0
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-25. Kurva perubahan massa temu lawak terhadap waktu

80 80
50 C, 40%
70 70 50 C, 30%
50 C, 20%
Suhu bahan (C)
Suhu bahan (C)

60 60

50 50

40 40
70 C, 40%
30 60 C, 40% 30
50 C, 40%
20 20
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-26. Kurva suhu bahan temu lawak selama pengeringan


110

Gambar 4-27 adalah data pengukuran suhu dan RH udara yang


meninggalkan sistem pengeringan. Berdasarkan data tersebut perubahan besaran
energi dan eksergi di dalam sistem dapat dihitung. Eksergi yang masuk ke dalam
sistem besarnya konstan karena suhu dan RH udara pengeringan yang masuk
dijaga konstan selama pengeringan seperti yang terlihat pada Gambar 4-18.

80 100%
50 C, 40%
70 80% 50 C, 30%
Suhu keluar (C)

60 50 C, 20%

RH keluar
60%
50
40%
40
70 C, 40%
30 60 C, 40% 20%
50 C, 40%
20 0%
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-27. Kurva suhu (kiri) dan RH keluar (kanan) dari ruang pengeringan

Gambar 4-28 menunujukkan penggunaan energi untuk penguapan air


selama pengeringan temu lawak. Dari gambar tersebut terlihat bahwa penggunaan
energi cukup tinggi pada awal pengeringan dan semakin menurun hingga akhir
pengeringan. Hal ini dikarenakan pada awal pengeringan kadar air bahan masih
tinggi sehingga diperlukan banyak energi untuk penguapan air bahan.

0.10 0.10
70 C, 40% 50 C, 40%
Evaporation Heat (kJ/s)

Evaporation Heat (kJ/s)

0.08 60 C, 40% 0.08 50 C, 30%


50 C, 40% 50 C, 20%
0.06 0.06

0.04 0.04

0.02 0.02

0.00 0.00
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-28. Kurva penggunaan energi (energy utilization) untuk penguapan


111

Gambar 4-29 menunjukkan kurva eksergi penguapan pada berbagai kondisi


percobaan, sedangkan Tabel 4-5 menunjukkan nilai total energi dan eksergi untuk
penguapan selama 4 dan 6 jam pengeringan.

0.010 0.005
70 C, 40% 50 C, 40%

Exergy evaporation (kJ/s)


Exergy Evaporation (kJ/s)

0.008 60 C, 40% 0.004 50 C, 30%


50 C, 40% 50 C, 20%
0.006 0.003

0.004 0.002

0.002 0.001

0.000 0.000
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-29. Eksergi penguapan pada suhu 50, 60 dan 70 oC

Tabel 4-5. Total energi dan eksergi penguapan pada pengeringan temu lawak
Selama 4 jam pengeringan Selama 6 jam pengeringan
Suhu, RH Evap. heat Evap. exergy Evap. heat Evap. exergy
(kJ) (kJ) (kJ) (kJ)
70 oC, 40% 303.63 27.33 310.08 28.08
60 oC, 40% 301.58 19.68 313.50 20.71
50 oC, 40% 296.94 12.11 314.30 13.13
50 oC, 30% 298.00 10.87 309.52 11.55
50 oC, 20% 304.76 14.06 310.98 14.44

Kurva rasio penggunaan energi (EUR) pada Gambar 4-30 mempertegas


bahwa efisiensi penggunaan energi lebih tinggi pada awal proses pengeringan dan
semakin rendah pada akhir pengeringan. Gambar tersebut juga memperlihatkan
bahwa semakin rendah suhu dan RH pengeringan, maka rasio penggunaan energi
semakin tinggi dan sebaliknya, atau dapat dikatakan bahwa EUR berbanding
terbalik dengan tingkat suhu dan RH pengeringan. Hal yang sama terjadi pada
pengeringan temu putih.
Eksergi yang meninggalkan sistem (exergy outflow) dapat dilihat pada
Gambar 4-31. Kurva eksergi keluar semakin tinggi dengan meningkatnya waktu
pengeringan, nilainya mendekati besarnya eksergi masuk. Hal ini menunjukkan
bahwa beban pengeringan dalam sistem semakin kecil. Eksergi yang keluar dari
112

sistem masih cukup tinggi sehingga masih dapat dimanfaatkan, hal ini dapat
diaplikasikan untuk pengeringan rak yang terdiri dari beberapa lapisan.

2.0% 12%
50 C, 40% 50 C, 20%
Energy Utilization Ratio

Energy Utilization Ratio


1.6% 60 C, 40% 10% 50 C, 30%
50 C, 40%
70 C, 40% 8%
1.2%
6%
0.8%
4%
0.4% 2%

0.0% 0%
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-30. Rasio penggunaan energi (EUR) sebagai fungsi waktu pengeringan

Selisih antara eksergi masuk dengan keluar adalah merupakan besaran


exergy destruction, kurvanya diplotkan pada Gambar 4-32, Shukuya &
Hammache (2002) menyebutkan exergy destruction sebagai exergy consumed.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa konsumsi eksergi tinggi pada awal
pengeringan dan semakin turun dengan bertambahnya waktu pengeringan,
kecenderungan ini sejalan dengan penggunaan energi.
Efisiensi eksergi pengeringan temu lawak yang dihitung berdasarkan
persamaan 4.37 disajikan pada Gambar 4-33. Dari gambar tersebut dapat dilihat
bahwa efisiensi eksergi semakin tinggi pada suhu dan RH yang lebih rendah, hal
yang sama terjadi pada rasio penggunaan energi (EUR). Sedangkan dari
bentuknya, kurva efisiensi eksergi agak berbeda dengan kurva rasio penggunaan
energi (EUR) dimana kurva EUR mengalami penurunan sejak awal pengeringan
sedangkan kurva efisiensi eksergi cenderung naik/ tinggi pada awal pengeringan
terutama pada suhu yang lebih rendah, baru kemudian semakin menurun dengan
bertambahnya waktu pengeringan. Kecenderungan yang sama pada penelitian
pngeringan irisan temu putih. Efisiensi eksergi pengeringan temu lawak bervariasi
antara 0.02-3.54%, 0.01-1.16% dan 0.0-0.51% masing-masing untuk suhu 50, 60
dan 70 oC pada RH 40% serta 0.07-17.71.0%, 0.01-9.71% dan 0.02-3.54%
masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50oC.
113

0.8 0.08
Exergy outflow (kJ/s)

Exergy outflow (kJ/s)


0.6 0.06
70 C, 40%
0.4 60 C, 40% 0.04
50 C, 40%
0.2 0.02 50 C, 40%
50 C, 30%
50 C, 20%
0.0 0.00
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-31. Exergy outflow sebagai fungsi dari waktu pengeringan

0.005 0.010
70 C, 40% 50 C, 20%
Exergy destruction (kJ/s)

Exergy destruction (kJ/s)


0.004 60 C, 40% 0.008 50 C, 30%
50 C, 40% 50 C, 40%
0.003 0.006

0.002 0.004

0.001 0.002

0.000 0.000
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-32. Exergy destruction sebagai fungsi dari waktu pengeringan

5% 20%
50 C, 40% 50 C, 20%
4% 60 C, 40% 16% 50 C, 30%
Efisiensi eksergi

Efisiensi eksergi

70 C, 40% 50 C, 40%
3% 12%

2% 8%

1% 4%

0% 0%
0 60 120 180 240 300 360 0 60 120 180 240 300 360
Waktu (menit) Waktu (menit)

Gambar 4-33. Kurva efisiensi eksergi pada berbagai suhu (kiri) dan RH (kanan)
114

Pada Tabel 4-6 berikut disajikan nilai efisiensi eksergi rata-rata selama 4
dan 6 jam pengeringan pada berbagai kondisi percobaan yang dilakukan.

Tabel 4-6. Efisiensi energi dan eksergi rata-rata pengeringan temu lawak
Selama 4 jam pengeringan Selama 6 jam pengeringan
Suhu, RH
Ef. energi Ef. eksergi Ef. energi Ef. eksergi
70 oC, 40% 0.18% 0.14% 0.12% 0.10%
60 oC, 40% 0.31% 0.38% 0.21% 0.26%
50 oC, 40% 0.63% 1.31% 0.45% 0.92%
50 oC, 30% 1.03% 3.14% 0.71% 2.17%
50 oC, 20% 2.83% 4.94% 1.93% 3.36%

Kesimpulan

1. Sistem termodinamika pengeringan dikategorikan dalam control volume


system atau open system. Persamaan yang disusun telah dapat digunakan
untuk menghitung dan menganalisis energi dan eksergi pengeringan temu
putih dan temu lawak.
2. Eksergi kimia merupakan komponen eksergi udara yang dominan
dibandingkan eksergi fisiknya. Karena itu kelembaban udara pengeringan
memegang peran penting dalam sistem termodinamika dari suatu proses yang
bersifat psikrometris seperti pengeringan.
3. Metode analisis eksergi berdasarkan hukum termodinamika kedua telah
berhasil menentukan besaran eksergi yang habis/rusak (destroyed exergy)
pada proses pengeringan simplisia sehingga efisiensi proses pengeringan
dapat ditentukan secara lebih akurat.
4. Kondisi pengeringan mempengaruhi efisiensi eksergi pengeringan, semakin
rendah suhu, RH dan laju udara pengering maka efisiensi eksergi proses
pengeringan semakin tinggi pula dan sebaliknya.
5. Efisiensi eksergi pengeringan temu putih bervariasi antara 0.03-31.3%, 0.01-
6.23%, 0.0-2.13% dan 0.0-0.76% masing-masing untuk suhu 40, 50, 60 dan
70 oC pada RH 40% serta 0.0-27.0%, 0.0-15.9% dan 0.01-6.23% masing-
masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50oC.
6. Efisiensi eksergi pengeringan temu lawak bervariasi antara 0.02-3.54%, 0.01-
1.16% dan 0.0-0.51% masing-masing untuk suhu 50, 60 dan 70 oC pada RH
115

40% serta 0.07-17.71.0%, 0.01-9.71% dan 0.02-3.54% masing-masing untuk


RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50oC.
7. Efisiensi eksergi rata-rata pengeringan temu putih (selama 6 jam
pengeringan) sebesar 6.20%, 0.93%, 0.27% dan 0.10% masing-masing untuk
suhu 40, 50, 60 dan 70 oC pada RH 40% serta 3.40%, 2.24% dan 0.93%
masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50oC.
8. Efisiensi eksergi rata-rata pengeringan temu lawak (selama 6 jam
pengeringan) sebesar 0.92%, 0.26% dan 0.10% masing-masing untuk suhu
50, 60 dan 70 oC pada RH 40% serta 3.36%, 2.17% dan 0.92% masing-
masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50oC.

Anda mungkin juga menyukai