Anda di halaman 1dari 41

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Asam Salisilat

Asam salisilat, dikenal juga dengan asam 2-hidroksi benzoat atau asam-

ortohidrobenzoat yang memiliki struktur kimia C7H6O3. Asam salisilat telah

digunakan sebagai bahan terapi topikal lebih dari 100 tahun yang lalu. Dalam

bidang dermatologi, asam salisilat telah lama dikenal dengan khasiat utamanya

sebagai bahan keratolitik. Hingga saat ini asam salisilat masih digunakan dalam

terapi veruka, kalus, psoriasis, dermatitis seboroik pada kulit kepala, dan iktiosis.

Penggunaannya semakin berkembang sebagai bahan peeling dalam terapi penuaan

kulit, melasma, hiperpegmentasi pasca inflamasi, dan akne (Lee dan Kim, 2003;

Muhammad et al., 2016). Struktur asam salisilat digambarkan seperti Gambar 2.1.

2.1. Struktur asam salisilat

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa terdapat tiga faktor yang

berperan penting pada mekanisme keratolitik asam salisilat yaitu melarutkan

ikatan korneosit, menurunkan ikatan korneosit, melarutkan semen interselluler

dan melonggarkan serta mendisintegrasikan korneosit. Asam salisilat bekerja

10
11

sebagai pelarut organik dan menghilangkan ikatan kovalen interselluler yang

berikatan dengan cornified envelope di sekitar keratinosit. Mekanisme kerja zat

ini adalah pemecahan struktur desmosom yang menyebabkan disintegrasi ikatan

antar sel korneosit. Terminologi desmolitik lebih menggambarkan mekanisme

kerja asam salisilat topikal. Efek desmolitik asam salisilat meningkat seiring

dengan peningkatan konsentrasi ( Levequ dan Saint, 2002).

Secara umum penggunaan terapi topikal relatif lebih aman dan memiliki

efek samping minimal dibandingkan dengan rute pemberian secara oral, namun

pemberian topikal memiliki potensi toksisitas sistemik, efek teratogenik, dan

interaksi obat akibat absorpsi sistemik yang harus diwaspadai. Pada pemberian

oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan daya absorpsi 70% dalam bentuk utuh

dalam lambung, tetapi sebagian besar absorpsi terjadi dalam usus halus bagian

atas. Sebagian asam salisilat dihidrolisis kemudian didistribusikan ke seluruh

tubuh dan segera menyebar ke seluruh tubuh dan cairan transeluler setelah

diabsorpsi. Kecepatan absorpsi tergantung dari kecepatan disintegrasi dan

disolusi tablet, pH, permukaan mukosa, dan waktu pengosongan lambung.

Salisilat dapat ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal, liur, dan air susu.

Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian (Sulistyaningrum et al.,

2012).

Asam salisilat memiliki efek analgetik tetapi jarang digunakan secara oral

karena toksisitasnya relatif tinggi, sehingga yang lebih sering digunakan adalah

senyawa turunannya. Turunan asam salisilat diperoleh dengan mengubah struktur

melalui pengubahan gugus karboksil, substitusi pada gugus hidroksil, modifikasi


12

pada gugus karboksil dan hidroksil, serta memasukkan gugus hidoksil atau gugus-

gugus lain pada cincin aromatik, tujuan dari modifikasi asam salisilat adalah

meningkatkan aktivitas analgesiknya dan mengurangi efek toksiknya.

Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan aspirin merupakan

salah satu turunan dari asam salisilat. Asam asetil salisilat adalah obat yang paling

sering digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang yang sebabnya

beragam, tetapi tidak efektif untuk menghilangkan nyeri organ dalam (visceral

pain), seperti infarktus miokardium atau kolik batu ginjal atau empedu (Darsono,

2002).

Setelah ingesti asam asetil salisilat secara cepat diubah menjadi asam

salisilat. Pada dosis teraphy asam salisilat dimetabolisme oleh hati dan dieliminasi

dalam waktu 2-3 jam. Keracunan salisilat dimanifestasikan dengan kerusakan

beberapa sistem organ, meliputi central nervous system (CNS), cardiovascular,

paru-paru, hati, dan sistem metabolisme. Salisilat secara langsung maupun tidak

langsung mempengaruhi sistem organ dalam tubuh melalui phosphorilasi oksidatif

tunggal, menghambat enzim siklus krebbs, dan menghambat sintesis asam amino

(Muhammad dan Timothy, 2016).

Asam salisilat memiliki efek samping berupa iritasi mukosa lambung

dengan resiko tukak lambung dan perdarahan. Hal ini disebabkan oleh beberapa

faktor antara lain tablet yang tidak larut, penyerapan non-ionisasi oleh lambung

dan hambatan produksi prostaglandin yang protektif. Asam salisilat jika

digunakan dalam dosis besar dapat mengiritasi mukosa lambung karena hilangnya

efek perlindungan dari prostasiklin (PgI2) terhadap mukosa lambung, yang


13

sintesisnya turut dihalangi oleh blokade siklooksidase (Randjelovic et al., 2015).

Selain itu asam salisilat juga dapat menimbulkan efek spesifik seperti

reaksi alergi kulit dan telinga berdengung pada dosis yang lebih tinggi. Efek yang

lebih serius yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan asam salisilat adalah

kejang-kejang hebat yang pada pasien asma dapat menimbulkan serangan,

walaupun dalam dosis rendah. Pada anak-anak yang terserang cacar air atau flu,

pemberian asam salisilat dapat menyebabkan berisiko terkena sindrom Rye yang

berbahaya (Raman et al., 2014).

2.2. Biosintesis dan Metabolisme Asam Salisilat

Asam salisilat sebagai suatu regulator endogen dari resistensi penyakit

merupakan produk dari metabolisme fenilpropanoid yang dibentuk melalui

dekarboksilasi dari asam trans-sinamat kemudian membentuk asam benzoat dan

subsekuensinya 2-hidroksilasi menghasilkan asam salisilat. Terdapat dua jenis

enzim yang terlibat dalam biosintesis dan metabolisme asam salisilat yaitu

benzoic acid 2-hidroxylase yang mengubah asam benzoat menjadi asam salisilat,

dan enzim Salicylic acid glucosylterase yang mengkatalisis konversi dari asam

salisilat ke salycilic acid glukoside ( Lee et al., 1995). Skema biosintesis dan

metabolisme asam salisilat terlihat pada gambar 2.2


14

Gambar 2.2.
Skema biosintesis dan metabolisme asam salisilat

2.3. Tinjauan Tentang Lempung

Lempung adalah bagian dari mineral tanah dengan struktur berlapis yang

mempunyai ukuran partikel lebih kecil dari 2 μm. Masing-masing lapisan


15

lempung memiliki ketebalan berkisar 1 nm . Terdapat beberapa jenis lempung

dengan perbedaan pada rumusan, struktur, sifat yang meliputi swelling, dan

ekfoliasi. Lempung memainkan peranan yang cukup penting bagi lingkungan

melalui fungsinya sebagai natural scavenger melalui proses pertukaran kation

atau adsorpsi. Lempung memiliki berbagai kation dan anion yang bisa
2+
dipertukarkan yang ada pada permukaannya, seperti Ca , Mg 2+, H+, NH4+, Na+,

SO42-, Cl-,PO43-, dan NO3-. Ion-ion tersebut dapat tertukar dengan ion yang lain

dengan relatif mudah tanpa berpengaruh terhadap struktur mineralnya. Luas

permukaan yang tinggi, stabilitas mekanik dan kimia, struktur berlapis, kapasitas

tukar kation yang tinggi menjadikan lempung sebagai material adsorben yang

excellent (Srinivasan, 2011).

Di alam lempung (Clay) adalah salah satu mineral yang sangat berlimpah

keberadaannya, terdiri dari beberapa jenis mineral seperti kaolinit,

montmorillonit, ilit, haloisit, dan klorit. Di antara mineral-mineral tersebut,

montmorillonit adalah mineral yang paling banyak dimodifikasi. Di alam mineral

montmorillonit ditemukan dalam tanah bentonit. Tanah lempung bentonit

mengandung kurang lebih 85% mineral montmorillonit. Tanah tersebut memiliki

ciri-ciri antara lain jika diraba terasa licin, lunak, memiliki kilap lilin, berwarna

pucat dengan penampakan putih, hijau muda, kelabu, merah muda dalam

keadaan segar dan jika telah lapuk berwarna coklat kehitaman (Carretero et al.,

2006).

Dilihat dari strukturnya montmorillonit disebut liat lapis 2:1 karena

strukturnya terdiri dari dua lembar tetrahedral silikat yang mengapit satu lembar
16

oktahedral aluminium. Dua tipe struktur montmorillonit yang dikenal yaitu

struktur menurut Hofman-Endell dan Edelman Favajee . Kedua struktur ini

menunjukkan kemiripan yaitu dalam struktur unit sel yang simetris, ikatan antar

lapisan relatif lemah , dan mempunyai ruang antar lapis yang dapat mengembang

jika kandungan air meningkat (Morgan, 2006).

Muatan negatif montmorillonit disebabkan adanya substitusi isomorfik,

perubahan muatan yang terjadi relatif sedikit karena semua kation hidroksi

terletak pada bidang bawah permukaan yang tertutup oleh suatu jaringan oksigen.

Substitusi isomorfik terjadi karena sebagian silika dalam lapisan tetrahedral dapat

digantikan oleh ion lain yang berukuran sama, biasanya Al3+. Dengan cara yang

sama pula sebagian dari Al3+ dalam lembaran oktahedral dapat digantikan oleh

Mg2+ tanpa mengganggu strukturnya (Morgan, 2006).

Srinivasan (2011) menyebutkan bahwa montmorillonit mempunyai

kapasitas tukar kation sebesar 80-100 miliekivalen per seratus gram dengan luas

permukaan spesifik mencapai 700-800 m2/gram. Jika montmorillonit kontak

dengan air atau uap air, molekul air akan masuk di antara lapisan-lapisan silikat

sehingga mengakibatkan pengembangan antar lapis yang menyebabkan

volumenya meningkat. Dengan demikian jarak dasar (basal spacing)

montmorillonit meningkat secara seragam berkisar antara 12,5-20Å. Peningkatan

jarak dasar terjadi secara bertahap karena terbentuknya kulit hidrasi di sekeliling

antar lapis. Kemampuan mengembang dari montmorillonit menyebabkan mineral

ini dapat menerima ion-ion logam dan senyawa organik. Ikatannya dengan

senyawa organik menghasilkan senyawa kompleks organik-mineral. Ion-ion


17

organik diyakini mampu menggantikan kation-kation anorganik pada posisi antar

lapis. Lapisan tunggal dan kadang-kadang lapisan ganda yang terikat bergantung

pada ukuran kation yang digantikan dan defisit muatan pada lapisan mineralnya.

Stuktur montmorillonit terlihat seperti Gambar 2.3.

Gambar 2.3.
Struktur montmorillonit

Lempung digunakan secara luas dalam dunia farmasi sebagai excipient,

shielding dan agen adsorben. Interaksi lempung-obat (senyawa organik)

merupakan fenomena yang lebih kompleks karena melibatkan gaya van der waals,

ikatan hidrogen, pertukaran ion, ikatan koordinasi dan kemisorpsi (Bonina et al.,

2007).

Javiera et al., (2015) melaporkan aktivitas anti inflamasi, anti bakteri, dan

aktivitas sitotoksik dari lempung. Aktivitas antiinflamasi ditentukan dengan


18

menggunakan senyawa 12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA) dan metode

myeloperoksidase (MPO). Potongan histologi diperlukan untuk mendapatkan

jumlah leukosit pada epidermis. Dari penelitiannya didapatkan bahwa lempung

palygorkite dan sepiolite menyebabkan penghambatan edema sebesar 68,64 %

dan 45,54 % serta penghambatan terhadap migrasi neutrofil berturut-turut sebesar

80 % dan 65%.

Silva et al (2015) mempelajari tentang aktivitas anti-inflamasi bentonit

menggunakan edema telinga tikus dan metode 12-O-tetradecanoylphorbol-13-

acetate(TPA). Dari penelitiannya itu didapatkan bahwa bentonit menghambat

udema sesudah 4 jam.

2.4. Nanokomposit Lempung Bentonit - Asam Salisilat

Komposit adalah material yang dibuat lebih dari satu komponen. Material

komposit merupakan material multiphase padatan yang terbentuk melalui

kombinasi material dengan sifat kimia, fisika, dan struktur yang berbeda. Ini

menjadikan komposit berbeda dengan sistem multi komponen lain seperti alloy

atau blends. Pada komposit, satu fase kontinu disebut dengan matrik ( host) dan

fase lainnya disebut dengan filler (guest). Komposit yang fase matriknya

berbasis material alam dibagi menjadi komposit polimerik, komposit keramik,

dan komposit metalik ( Olad, 2011).

Nanokomposit didefinisikan sebagai material komposit dimana dimensi

partikel fillernya, ketebalan platelet atau diameter seratnya berada pada

rentangan 1-100 nm.


19

Gambar 2.4. Tipe nanofiller dengan dimensi nm

Sifat akhir dari nanokomposit ditentukan oleh sifat komponen, komposisi,

mikrostruktur, dan interaksi antar mukanya, tetapi sudah terbukti bahwa sifat

nanokomposit sangat dipengaruhi oleh dimensi dan mikrostruktur dari fase

fillernya, dengan kata lain sifat filler sangat menentukan morfologi dan sifat

polimer nanokomposit ( Sheng et al.,2004).

Lempung merupakan fraksi tanah dengan ukuran partikel lebih kecil dari 2

μm. Ketebalan lapisan lempung sekitar 1 nm sehingga dikelompokkan ke dalam

material berskala nanometer. Kemampuan swelling dan tereksfoliasi dari

lempung khususnya bentonit menjadikannya sebagai matrik yang bisa diisi oleh

polimer atau monomer untuk membentuk komposit yang stabil (Olad, 2011).

Mineral lempung digunakan secara luas di bidang farmasi konvensional

sebagai excipient maupun sebagai zat aktif. Mineral lempung dapat berinteraksi

dengan molekul obat dan juga dengan komponen inaktif dari produk medis

seperti polimer. Berdasar pada interaksi tersebut mineral lempung dan bentuk
20

modifikasinya dapat secara efektif digunakan untuk sistem penghantar obat

termodifikasi (modify drug delivery system (MDDS). Secara umum semua

bentuk dosis farmasi adalah sistem penghantar obat. Sistem penghantaran obat

(drug delivery system) adalah istilah yang menggambarkan bagaimana suatu obat

sampai ke tempat target aksinya (Salcedo et al., 2012).

Sistem penghantar obat termodifikasi (Modify drug delivery

system(MDDS)) merupakan pengembangan dari sistem penghantar obat

konvensional. Modifikasi meliputi perubahan laju dan atau waktu pelepasan obat,

atau tempat (site) lepasnya obat. Modifikasi ini dapat dilakukan dengan beberapa

mekanisme yang memungkinkan seperti modifikasi formulasi farmasi, atau

metode preparasi. Modifikasi dilakukan untuk beberapa tujuan seperti

menurunkan atau meningkatkan laju pelarutan, memperlambat pelepasan obat,

targeting drug release, mencegah atau mengurangi efek samping, dan

meningkatkan stabilitas (Viseras et al., 2010).

Di antara berbagai senyawa organik yang berasosiasi dengan lempung,

kompleks salisilat telah dipelajari oleh beberapa peneliti. Okamura, 1997

mempelajari pengaruh perubahan pH dan konsentrasi terhadap adsorpsi

konsekutif dari asam salisilat pada lempung allophanic.

Kubicki et al., 1997; Okamura (1997), mempelajari mekanisme terikatnya

asam salisilat yang teradsorpsi pada illit dan menemukan bahwa formasi Al-O-C

terikat di antara anion salisilat dan Al3+ oktahedral. Peneliti yang sama

menemukan juga adsorpsi terbatas dari asam karboksilat pada lempung tanpa

kehadiran logam Fe pada matrik lempung.


21

Penelitian yang relatif banyak terhadap senyawa salisilat merupakan

konsekuensi dari pentingnya aksi farmakologi dan efek samping yang

ditimbulkannya. Asam salisilat adalah komponen yang penting dari aspirin

(asetil-asam salisilat) dan merupakan asam hidroksi benzoat yang penting yang

memiliki sifat sebagai senyawa antiinflamasi, antiseptik, antiradikal, analgesik,

antirematik, antioksidan, dan anti karsinogenik. Penggunaan dalam waktu yang

relatif lama dapat menimbulkan efek toksisitas sistemik (Bonina et al., 2007).

Mineral lempung dapat digunakan untuk mengurangi efek negatif dari

asam salisilat yaitu keasamannya dengan beberapa variabel yang harus dibatasi

selama interaksi lempung-asam salisilat. Pada pH rendah molekul tersebut tidak

dapat terdisosiasi, namun pada pH yang lebih tinggi berada dalam bentuk anion.

Selain itu, asam salisilat mempunyai kelarutan dalam air yang sangat rendah

yaitu 0,011 M pada 20 °C (Pena et al., 2004).

Sementara itu penggunaan lempung dalam bidang farmasi memerlukan

jumlah yang signifikan dengan obat yang teradsorpsi. Untuk mengatasi keadaan

tersebut, dalam penelitian ini lempung ditreatmen dengan larutan asam salisilat

dalam air dengan kation bervalensi tinggi seperti Fe3+ karena asam salisilat

merupakan pengkelat Fe yang kuat, membentuk kompleks kation dalam

lingkungan asam aquatik( Bonina et al., 2007).

Masuknya asam salisilat ke dalam ruang antar lapis lempung melalui

mekanisme interkalasi. Interkalasi adalah penyisipan suatu atom atau molekul

yang mempunyai spesies berbeda ke dalam suatu bahan yang mempunyai struktur

berlapis dengan tidak merusak struktur lapisan tersebut. Molekul yang disisipkan
22

disebut dengan interkalat (guest) sedangkan material yang berstruktur lapisan

sebagai tempat masuknya interkalat disebut dengan interkalan (host). Lempung

yang biasa diinterkalasi adalah mineral lempung montmorillonit yang

keberadaannya di alam merupakan fraksi terbesar dari lempung bentonit.

Lempung montmorillonit memiliki kombinasi sifat antara kapasitas tukar kation

yang tinggi dan kemampuan mengembang (swelling) yang menjadikannya

material yang paling mudah untuk diinterkalasi (Morgan, 2006).

Mineral lempung, baik yang alam maupun sintetik merupakan material

multiguna yang memiliki rentangan aplikasi yang luas di bidang teknologi

farmasi. Kajian teoritis tentang peran lempung dalam sistem penghantar dan

pelepasan obat telah banyak dilaporkan oleh berbagai publikasi.

Pada tahun belakangan ini interkalasi lempung montmorillonit oleh

senyawa obat sangat menarik perhatian para peneliti karena menghasilkan

material baru dengan sifat kimia dan fisika yang lebih baik. Zheng et al (2007)

meneliti interkalasi ibuprofen ke dalam montmorillonit dan diperoleh hasil bahwa

sistem pelepasan ibuprofen ( the release system) dari nanokomposit

montmorillonit-ibuprofen dipengaruhi oleh pH dispersi. Laju pelepasan pada

larutan intestinal simulasi (pH =7,4) lebih besar dibandingkan gastrik simulasi.

Hasil tersebut mengindikasikan bahwa montmorillonit dapat digunakan sebagai

carrier ibuprofen pada pemakaian secara oral. Viseras et al (2010) meneliti

tentang pemanfaatan mineral lempung sebagai material baru dalam sistem

pengantar obat ( delivery drug system). Khatem et al., 2015 mempelajari tentang
23

kemampuan lempung sintetik untuk menggantikan aktivitas antiinflamasi dari

senyawa declofenac.

Salihi dan Mahramanhoglu (2014) mempelajari kinetika dan

kesetimbangan adsorpsi dari beberapa jenis obat seperti promethazine,

triflupromazine, trimethoprim, carbamazepine, dan ibuprofen pada lempung

bentonit. Didapatkan hasil bahwa adsorpsi senyawa obat tersebut dalam larutan

berair dan dengan kehadiran surfaktan anionik sodium dodecyl sulfate (SDS) dan

surfaktan kationik dodecyl trimetylammonium bromide (DTAB) merupakan

fungsi waktu, konsentrasi awal dan suhu. Kinetika adsorpsi promethazine,

triflupromazine, trimethoprim, carbamazepine oleh lempung bentonit mengikuti

pseudo second order dan kinetika adsorpsi ibuprofen merupakan Lagergren first

order . Kesetimbangan adsorpsi dari semua jenis obat tersebut diperoleh dalam 24

jam dan kehadiran surfaktan tidak mengubah waktu kesetimbangan.

(a) (b)
24

(b) (d)

(e)

Gambar 2.5. Struktur (a)promethazine,(b) triflupromazine, (c) trimethropine, (d)


carbamazepine, (e) ibuprofen

Joshi et al., (2009) melakukan interkalasi timolol maleat ke dalam ruang

antar lapis lempung pada pH yang berbeda. Komposit Montmorillonit-Timolol

Maleat (MMT-TM) yang terbentuk dikarakterisasi dengan metoda difraksi sinar

X, FTIR, dan analisis termal (TG-DTA). Hasil yang didapat membuktikan bahwa

interkalasi TM (timolol maleat) ke dalam ruang antar lapis montmorillonit

merupakan proses yang cepat dan kesetimbangan dicapai dalam waktu 1 jam.

Jumlah maksimum TM yang terinterkalasi sebesar 217 mg/gram MMT pada pH

5,7 dan suhu 30 ˚C. Studi pelepasan secara in vitro (in vitro release study)

menunjukkan sekitar 43-48% TM dilepaskan dari komposit MMT-TM pada

simulated gastric fluid ( pH 1,2) dan intestinal fluid (pH 7,4) dan ini membuktikan
25

bahwa montmorillonit dapat digunakan sebagai sistem penghantar TM dalam

administrasi secara oral.

Montmorillonit dapat meningkatkan laju kelarutan in vitro dari obat non-

ionik dan obat-obat yang tidak terlarut dalam asam. Pelepasan obat dari

permukaan lempung dipermudah oleh ikatan yang lemah di antaranya dan secara

bersamaan wettability (keterbasahan) obat didukung oleh sifat hidrofilik

lempung (Aguzzi et al., 2007).

Gambar 2.6. Struktur Komposit MMT-TM


26

2.5. Analisis Potensial Zeta Pada Nanokomposit

Potensial Zeta dalam sistem koloid didefinisikan sebagai suatu potensial

elektrokinetik yang berasal dari akumulasi muatan elektrik pada permukaan

partikel ketika tersuspensi dalam medium polar yang menyebabkan pembentukan

lapisan ganda elektrik akibat fenomena ionisasi, adsorbsi ion, atau dissolusi ion.

Potensial zeta digunakan untuk memprediksi dan mengontrol stabilitas

koloid. Kestabilan sistem koloid dijelaskan oleh Derjaguin, Landau, Verwey, dan

Overbeek pada tahun 1940 yang dikenal dengan teori DLVO. Teori ini

menyebutkan bahwa stabilitas koloid dari partikel-partikel dalam suspensi

bergantung pada gaya tolak-menolak (gaya lapisan rangkap elektrik) untuk

melawan gaya tarik-menarik (gaya Van der Walls) yang dapat menyebabkan

agregasi ireversibel (Honary et al., 2013) .

Analisis potensial zeta merupakan salah satu teknik untuk menentukan

muatan permukaan nanopartikel dalam larutan atau pada fase koloid.

Nanopartikel memiliki muatan permukaan yang menarik lapisan tipis dari ion

yang muatannya berlawanan ke permukaan nanopartikel. Lapisan ganda (double

layer) ion mengelilingi nanopartikel sama seperti terdifusi ke dalam larutan

(Gambar 2.7.)
27

Gambar 2.7. Lapisan ganda listrik di sekitar nanopartikel

Potensial listrik pada daerah batas dari double layer dikenal dengan

potensial zeta dari partikel yang memiliki nilai dengan rentangan tertentu berkisar

dari +100Mv sampai dengan -100Mv. Besarnya nilai potensial zeta dapat

memprediksi stabilitas koloid. Nanopartikel dengan nilai potensial zeta yang lebih

besar dari + 25 Mv atau lebih kecil dari -25mV memiliki derajat stabilitas yang

tinggi, karena setiap partikel akan saling tolak menolak satu sama lainnya

sehingga tidak terjadi kecenderungan untuk beragregasi (Niriella & Carnahan,

2006) .

Lapisan ganda elektrik terdiri atas dua bagian yaitu compact layer pada

region dalam dan diffuse layer pada region luar yang mengelilingi compact
28

layer. Compact layer (Stern layer atau fixed layer) yaitu suatu lapisan kation yang

menempel kuat pada permukaan anion dan tidak dapat bergerak (immobile) secara

normal karena kekuatan gaya elektrostatik, sedangkan diffuse layer merupakan

suatu lapisan dengan kation yang kurang kuat menempel pada permukaan anion

sehingga dapat bergerak atau berpindah-pindah dan bergabung dengan anion

disekitarnya. Dalam diffuse layer, ion-ion yang terpisah dari kation-

kation compact layer disebut shear plane atau slipping plane. Potensial

pada shear plane diketahui sebagai potensial zeta ( Nanocomposix, 2012).

Analisis potensial zeta pada suatu sampel akan berhasil jika sampel

memenuhi beberapa persyaratan, antara lain terdispersi dalam satu ukuran

(monodisperse in size), berada pada konsentrasi yang cukup tinggi untuk

menghamburkan sinar pada 633 nm, konsentrasi garamnya rendah yang

ditunjukkan dengan konduktivitas lebih kecil dari 1Ms/cm ((Niriella & Carnahan,

2006).

2.6. Pengukuran Potensial Zeta

Potensial zeta tidak terukur secara langsung tetapi dapat dihitung dengan

menggunakan model teoritis dan eksperimen melalui mobilitas elektroforesis atau

mobilitas elektroforesis dinamis. Fenomena elektrokinetik dan fenomena

elektroakuostik merupakan sumber data yang selalu digunakan untuk menghitung

potensial zeta (Fairhurst, 2013)


29

2.6.1.Fenomena Elektrokinetik

Elektroforesis digunakan untuk memperkirakan potensial zeta partikulat,

sedangkan streaming potensial digunakan untuk materi berpori dan permukaan

datar. Dalam prakteknya potensial zeta dari disperse diukur dengan menggunakan

medan listrik di seluruh dispersi. Partikel dalam dispersi dengan potensial zeta

akan bermigrasi ke arah elektroda yang muatannya berlawanan dengan kecepatan

yang sebanding dengan besarnya potensial zeta. Kecepatan ini diukur dengan

menggunakan teknik Laser Doppler Anemometer. Pergeseran frekuensi atau fase

pergeseran dari sinar laser yang disebabkan oleh pergerakan partikel diukur

sebagai mobilitas partikel, dan mobilitas ini diubah menjadi potensial zeta dengan

memasukkan viskositas dispersant dan permitivitas dielektrikum, dan penerapan

teori Smaluchowski ( Pek-Ing Au &Yee-Kwong Leong, 2016).

Kecepatan elektroforesis sebanding dengan mobilitas elektroforesis yang

merupakan parameter yang terukur. Dari sudut pandang instrument, ada dua

teknik eksperimental yang berbeda yakni mikroelektroforesis dan elektroforesis

hamburan cahaya. Mikroelektroforesis memiliki keuntungan karena menghasilkan

gambar partikel bergerak. Di sisi lain ini rumit untuk elektroosmosis pada dinding

sel sampel. Elektroforesis hamburan cahaya berdasarkan pada hamburan cahaya

dinamis. Hal ini memungkinkan pengukuran dalam sel terbuka yang meniadakan

aliran elektro –osmotik untuk kasus Uzgris, tetapi tidak untuk sel kapiler dan hal

tersebut dapat digunakan untuk mengkarakterisasi partikel yang sangat kecil,

namun tidak dapat menampilkan gambar dari partikel bergerak. Kedua teknik

pengukuran tersebut memerlukan pengenceran sampel yang kadang-kadang dapat


30

mempengaruhi sifat-sifat sampel dan perubahan potensial zeta. Untuk mengatasi

efek pengenceran tersebut, pengukuran dilakukan pada kesetimbangan

supernatant. Pada keadaan keseimbangan, antar muka antara permukaan partikel

dan cairan akan dipertahankan sehingga potensial zeta akan sama untuk semua

fraksi volume partikel pada suspensi ( Pek-Ing Au & Yee-Kwong Leong, 2016).

2.6.2. Fenomena Elektroakustik

Ada dua efek elektroakustik yang banyak digunakan untuk karakterisasi

potensial zeta yaitu aliran vibrasi koloid (colloid vibration current) dan amplitude

sonic elektrik (electric sonic amplitude). Terdapat instrument yang tersedia secara

komersial yang mengeksploitasi kedua efek tersebut untuk mengukur mobilitas

elektroforesis dinamis yang bergantung pada potensial zeta. Teknik elektrokaustik

memiliki keuntungan untuk dapat melakukan pengukuran pada sampel utuh tanpa

pengenceran. Perhitungan potensial zeta dari mobilitas elektroforesis dinamis

membutuhkan informasi tentang kepadatan untuk partikel dan cairan

(Nanocomposix, 2012).

2.6.3. Perhitungan Potensial Zeta

Metode yang paling banyak digunakan untuk menghitung potensial zeta

dari data eksperimental adalah yang dikembangkan oleh Marian Smoluchowski

pada tahun 1903. Teori ini awalnya dikembangkan untuk elektroforesis namun

sekarang untuk elektroakustik juga bisa. Teori Smoluchowski cukup kuat karena

valid untuk partikel terdispersi untuk semua bentuk dan konsentrasi. Teori ini juga

memiliki keterbatasan antara lain: (Fairhus, 2013)


31

1. Analisis teoritis rinci membuktikan bahwa teori Smoluchowski ini hanya

berlaku untuk lapisan ganda yang sangat tipis, ketika panjang Debye , 1/ĸ

jauh lebih kecil dari jari-jari partikel α.

ĸ .α >> 1

model lapisan tipis ganda menawarkan penyederhanaan yang luar biasa

tidak hanya untuk teori elektroforesis tapi bagi banyak teori elektrokinetik

dan elektrokaustik lainnya. Model ini berlaku untuk sebagian besar model

sistem berair karena panjang debye biasanya hanya beberapa nanometer

dalam air. Model break hanya untuk nanokoloid dalam larutan dengan

kekuatan ion mendekati air murni.

2. Teori Smoluchowski mengabaikan kontribusi konduktivitas permukaan.

Hal ini diungkapkan dalam teori modern sebagai kondisi Dukhin nomor

kecil:

Ɗư << 1

2.7. Inflamasi

Inflamasi adalah respon pertahanan tubuh untuk mengeliminasi penyebab

jejas pada jaringan atau sel (cell injury), membersihkan jaringan dari sisa-sisa

kerusakan, dan membangun jaringan baru. Penyebab inflamasi adalah agen

infeksi, benda asing, jejas sel misalnya trauma fisik, suhu, kimiawi, serta iskemis

yang menimbulkan kerusakan jaringan. Tujuan akhir dari proses inflamasi adalah

menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cidera atau

terinvasi agar ke duanya dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan

agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk


32

proses penyembuhan. Sel-sel dan protein yang berperan dalam inflamasi adalah

yang berada dalam darah (neutrofil, monosit, limfosit, trombosit, basofil, faktor

pembekuan, komplemen, kininogen), komponen pembuluh darah (sel endotel dan

membrana basalis), yang berada dalam jaringan konektif (sel mast, makrofag,

fibroblast dan matriks berupa serat kolagen dan proteoglikan) (Corwin, 2008).

2.7.1. Respon Inflamasi Akut

Inflamasi akut adalah reaksi cepat jaringan dan pembuluh darah lokal yang

dipicu berbagai penyebab inflamasi. Inflamasi akut melibatkan respon pembuluh

darah, sel-sel pertahanan, dan matriks ekstraseluler seperti jaringan ikat kolagen,

elastin, glikoprotein, dan proteoglikogen. Inflamasi akut dikarakterisasi oleh

vasodilatasi, cairan eksudat, dan infiltrasi neutrofil. Proses ini diaktivasi oleh

serangkaian faktor intraselluler dan ekstraselluler yang berkoordinasi dengan

proses inflamasi ( Edward & Tracy, 2004).

Terdapat dua stadium pada reaksi inflamasi akut yaitu vaskuler dan

seluler. Stadium vaskuler pada respon inflamasi dimulai segera setelah jaringan

mengalami cidera. Perubahan vaskuler merupakan bagian penting dari respon

inflamasi yang melibatkan arteriole, kapiler, dan venule dari microcirculation.

Oleh karena berperan untuk memfasilitasi pelepasan sel dan protein inflamasi

dari aliran darah ke jaringan maka perubahan vaskuler ini merupakan reaksi awal

inflamasi yang terjadi dengan cepat. Vasodilatasi mulai terjadi pada arteriol di

daerah cidera sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera. Hal ini

menyebabkan timbulnya gejala rubor (kemerahan) dan kalor (panas). Vasodilatasi


33

ini terutama akibat pelepasan bahan kimia dari degranulasi sel mast dan pelepasan

mediator-mediator kimia lain selama inflamasi. Peningkatan aliran darah lokal

tersebut menyebabkan lebih banyak leukosit fogositik dan protein plasma di

tempat cidera. Pada saat yang bersamaan histamin dan mediator kimia yang

dibebaskan selama inflamasi menyebabkan membesarnya pori-pori kapiler (ruang

antar sel endotel) sehingga permiabilitas kapiler meningkat. Protein plasma yang

dalam keadaan normal tidak dapat ke luar dari pembuluh darah dapat lolos ke

ruang interstisium. Peningkatan tekanan osmotik koloid di ruang interstisium yang

disebabkan oleh kebocoran protein plasma dan peningkatan tekanan darah kapiler

akibat peningkatan aliran darah lokal dapat menimbulkan udem lokal yang disebut

turgor (pembengkakan) ( Sherwood & Kinsky, 2004; Edward & Tracy, 2004).

Stadium seluler dimulai setelah peningkatan aliran darah ke bagian yang

mengalami cidera. Leukosit dan trombosit tertarik ke daerah karena bahan kimia

yang dilepaskan oleh sel yang cedera, sel mast, dan produksi sitokin. Penarikan

leukosit yang meliputi neutrofil dan monosit di daerah cidera disebut kemotaksis.

Satu jam setelah cidera, daerah cidera sudah dipadati leukosit yang ke luar dari

pembuluh darah. Neutrofil adalah sel yang pertamakali tiba diikuti oleh monosit

yang dapat membesar dan berubah menjadi makrofag dalam periode delapan

hingga dua belas jam berikutnya. Emigrasi leukosit dari darah ke jaringan

melibatkan proses marginasi, diapedesis, dan gerakan amuboid. Marginasi adalah

melekatnya leukosit darah, terutama neutrofil dan monosit ke bagian dalam

lapisan endotel kapiler pada jaringan yang cidera. Leukosit segera ke luar dari

darah ke dalam jaringan dengan berperilaku seperti amuba dan menyelinap


34

melalui pori-pori kapiler yang disebut sebagai diapedesis. Gerakan leukosit ini

juga dibantu oleh adanya kemokin, yaitu suatu mediator kimiawi yang bersifat

kemotaksis yang dapat menarik leukosit ke daerah inflamasi. Neutrofil dan

makrofag membersihkan daerah yang meradang dari zat-zat toksik dan debris

jaringan dengan cara fagositosis, dilanjutkan dengan fusi lisosom dan lisosom

mengeluarkan enzim hidrolitiknya ke dalam vesikel membran tersebut. Trombosit

yang masuk ke daerah cedera merangsang pembekuan untuk mengisolasi infeksi

dan mengontrol pendarahan. Sel-sel yang tertarik ke daerah cedera akhirnya akan

berperan melakukan penyembuhan (Sherwood & Kinsky, 2004; Edward & Tracy,

2004; Corwin, 2008).

2.7.2. Respon Inflamasi kronis

Inflamasi kronik terjadi sebagai akibat dari inflamasi akut yang tidak sembuh

atau dari awal memang sudah merupakan inflamasi kronik (tidak diawali

inflamasi akut). Perubahan umum yang terjadi pada inflamasi kronik adalah

berkaitan dengan perubahan respon imun dari imunitas innate menjadi imunitas

adaftif sehingga ditemukan pula limfosit T dan sel plasma di daerah inflamasi.

Makrofag tetap berfungsi terutama untuk membuang sisa jaringan dan neutrofil

yang mati dan sering membentuk formasi khas mengelilingi pathogen atau benda

asing penyebab inflamasi yang disebut granuloma. Makrofag juga bisa bersatu

membentuk satu sel besar dengan inti yang banyak yang disebut Giant cell. Sinus

dan fistel dapat juga terbentuk pada inflamasi kronik untuk membuang jaringan

nekrotik. Jika peradangan kronik mengenai jaringan di permukaan misalnya kulit

atau saluran cerna, dapat terjadi kelainan yang disebut ulkus yaitu hilangnya
35

sebagian jaringan, dimana pada dasar ulkus ditemukan jaringan granulasi yang

terdiri atas sel-sel radang kronik, fibrin dan pembuluh darah baru. Respon

vaskuler bukan lagi vasodilatasi tetapi sudah terjadi pembentukan pembuluh

darah baru (angiogenesis), sehingga pada inflamasi kronik ditemukan proses

angiogenesis dan pembentukan jaringan ikat yang hebat dan berakhir dengan

terbentuknya jaringan fibrosis yang prominen((Sherwood & Kinsky, 2004) .

2.8. Penanda Inflamasi

Inflamasi adalah respon dari suatu organisme

terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi

yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar,

atau terinfeksi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin,

bradikinin, serotonin, leukotrien,dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang

berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi

jaringan sekitar dari penyebaran infeksi. Pada inflamasi selalu disertai suatu

perubahan sistemik yang dikenal sebagai respon fase akut yang tersusun dari

respon fisiologis yang nonspesifik maupun respon biokimia yang biasanya , IL-6

berupa kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi neoplasia maglinan (Pepys dan

Hirschfiel, 2003).

Mediator lain yang dilepaskan selama respon inflamasi yaitu faktor

kemotaktik neutrofil dan eusinofil, yang dilepaskan leukosit yang dapat menarik

sel-sel ke daerah cedera. Selain itu juga dilepaskan prostaglandin terutama seri E.

Saat membran sel mengalami kerusakan, fosfolipid akan diubah menjadi asam

arakidonat dikatalisis oleh fosfolipase A2. Asam arakidonat ini selanjutnya akan
36

dimetabolisme oleh lipooksigenase dan siklooksigenase (COX). Pada jalur

sikloosigenase inilah prostaglandin disintesis. Prostaglandin dapat meningkatkan

aliran darah ke tempat yang mengalami inflamasi, meningkatkan permiabilitas

kapiler dan merangsang reseptor nyeri. Leukotrien merupakan produk akhir dari

metabolisme asam arakidonat pada jalur siklooksigenase (Corwin, 2008).

Penanda inflamasi yang lain adalah sitokin. Sitokin adalah polipeptida

penanda intercellular yang dihasilkan oleh sel yang diaktivasi. Kebanyakan

sitokin memiliki sumber-sumber ganda, target ganda, dan juga fungsi ganda.

Sitokin yang dihasilkan saat terjadi inflamasi merupakan chief stimulator dari

protein fase akut. Sitokin bekerja seperti hormon dengan merangsang sel-sel lain

pada sistem imun untuk berproliferasi atau menjadi aktif selama infeksi dan

inflamasi. Sitokin terdiri dari dua katagori yaitu yang bersifat pro-inflamasi dan

anti-inflamasi. Sitokin proinflamasi antara lain interleukin-1 yang berasal dari

makrofag dan monosit; interleukin-2, interleukin-6, tumor necrosis factor dan

interferon gamma yang berasal dari aktivasi limfosit. Sitokin proinflamasi

berperan dalam merangsang makrofag untuk meningkatkan fagositosis dan

merangsang sumsum tulang untuk meningkatkan produksi leukosit dan eritrosit.

Sitokin anti-inflamasi meliputi interleukin-4 dan interleukin-10 yang berperan

dalam menurunkan sekresi sitokin pro-inflamasi. Sitokin-sitokin ini dihasilkan

oleh sejumlah sel yang berbeda, namun yang terpenting adalah makrofag dan

monosit pada tempat terjadinya inflamasi (Petersen & Pedersen, 2005).


37

2.8.1. Interleukin-6

Interleukin-6 merupakan salah satu mediator inflamasi yang disekresikan

oleh sel T dan Makrofag untuk menstimulasi respon imun selama infeksi dan

pasca trauma, khususnya luka bakar atau kerusakan jaringan lainnya yang

mengarah kepada inflamasi. Interleukin-6 memainkan peranan dalam melawan

infeksi seperti yang ditunjukkan pada tikus, interleukin-6 dibutuhkan sebagai

faktor resistan untuk melawan serangan streptococcus pneumonia (Matthwew et

al., 2012 ; Kamimura et al., 2014).

Interleukin-6 merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang bersifat

meningkatkan feritin dalam sel makrofag dan menginduksi pelepasan hepsidin

yaitu suatu peptide protein fase akut yang dihasilkan hepatosit yang bekerja

mengatur absorbsi besi usus halus, menghambat eritrosit pada sumsum tulang dan

menurunkan feroportin 1 yaitu protein eksporter besi pada membran sel makrofag.

Selain itu, osteoblasts mensekresi IL-6 untuk menstimulasi pembentukan

osteoclast. Sel-sel otot halus di tunika medoa dari beberapa pembuluh darah juga

menghasilkan IL-6 sebagai sitokin proinflamasi. Interleukin-6 dapat berperan

sebagai sitokin antiinflamasi dimediasi melalui efek hambatnya terhadap TNF-α

dan IL-1 dan aktivitasnya terhadap IL-1ra dan IL-10 (Kamimura, et al., 2014).

Interleukin-6 merupakan glikopeptida 26–kDa, suatu gen yang ditemukan

pada kromosom 7 dihasilkan oleh berbagai tipe sel, seperti sel T, sel B, monosit,

fibroblast, osteoblast, keratinosit, sel endotel, sel mesangial dan beberapa sel

tumor. Interleukin-6 merupakan salah satu anggota dari famili sitokin IL-6 yang

meliputi leukaemia inhibitory factor, ciliary neutrophic factor, IL-11, dan


38

cardiotrophin-1. Sebelumnya IL-6 dikenal sebagai hepatocyte stimulating factor,

B-cell stimulatory factor-2, cytotocix T-cell differentiation factor, B-cell

differentiation factor, hybridoma/plasmacytoma growth factor, monocyte

granulocyte inducer type 2 dan thrombopoietin. Beberapa nama tersebut

merefleksikan pleiotropism dari IL-6 dengan efek penting terhadap hati, sel B,

sel T, monosit dan fibroblas (Srinivasan & Ernest, 2010).

Interleukin-6 adalah sitokin yang disekresi dari jaringan tubuh ke dalam

plasma darah, terutama pada fase infeksi akut atau kronis, dan menginduksi

respon peradangan transkriptis melalui pencerap IL-6 RA, menginduksi maturasi

sel B dan pencerap gp130. Interleukin-6 merupakan sitokin pleiotropik yang

diproduksi oleh banyak tipe sel seperti monosit, fibroblas, sel-sel endotel, dan

limfosit T dan B. Interleukin-6 tidak diekspresikan secara terus-menerus,

melainkan banyak diinduksi dan diproduksi sebagai respon terhadap sejumlah

rangsangan inflamasi seperti IL-1, TNF-α, produk-produk bakteri, dan infeksi

virus. Sitokin ini mempunyai fungsi yang berbeda, meliputi differensiasi dan

atau aktivasi makrofag dan sel-sel T, sel-sel pertumbuhan dan differensiasi sel-

sel B, stimulasi hematopoesis dan differensiasi neural (Roldan, et al., 2003).


39

Gambar 2.8. Mekanisme inflamasi yang diaktivasi IL-6

2.8.2. High sensitivity C-Reactive Protein dan C-Reactive Protein

High sensitivity C-Reactive Protein merupakan metode pengukuran

kadar CRP yang sangat rendah sehingga metode pengukuran ini bersifat sangat

sensitif.

C - reactive protein ( CRP ) adalah suatu protein fase akut dalam darah

yang konsentrasinya meningkat 1000 kali lipat atau lebih selama terjadinya

cedera, peradangan atau kematian jaringan. C-Reactive Protein terlibat dalam

konjugasi patogenesis untuk menginduksi kerusakan oleh sistem komplemen dan

juga dipelajari sebagai penanda inflamasi. Respon yang tepat dan assay yang

relatif mudah menjadikan CRP sebagai marker inflamasi yang ideal. C-Reactive

Protein ditemukan pada tahun 1930 oleh William Tillett dan Thomas Francis dari

Rockefeller University (Chandrashekara, 2014).


40

C-Reactive Protein diproduksi di banyak situs dalam tubuh manusia

seperti hati sebagai respon terhadap IL-6. Produk dari aktivasi monosit dalam

sel Help 3B menginduksi produksi potein serum amyloid A (SAA) dan CRP,

juga diproduksi dalam konsentrasi yang sangat terbatas oleh sel non-hati seperti

neuron, plak aterosklerotik, monosit, sel Kupffer dan lymphocytes. Beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa sel-sel epitel dari saluran pernapasan dan

epitel ginjal juga dapat menghasilkan CRP. Studi terbaru menunjukkan bahwa

arteri koroner sel otot polos manusia juga bisa mensintesis CRP dengan stimulasi

oleh sitokin inflamasi (Shrivastava et al., 2015).

C-reactive protein merupakan suatu pentameric protein annular yang

terdapat dalam plasma darah. Diberikan nama CRP karena kemampuannya

mengendapkan C-polysaccharide somatik dari Streptococcus pneumoniae, dan

me rupakan protein fase akut pertama yang diidentifikasi. Protein ini merupakan

penanda sistemik yang sensitif pada inflamasi dan kerusakan jaringan. Gen CRP

terletak pada kromosom pertama (1q21-1q23) merupakan anggota dari famili

pentraxin, memiliki 224 asam amino dengan massa molekul monomernya 25.106

Da (Mantovani et al., 2008).

C-reactive protein terikat pada phosphocholine yang terekspresikan pada

sel yang mati atau menua dan sel mikroba. Protein fase akut lainnya yang

menunjukkan sensitivitas, kecepatan respon, dan dinamis yang menyerupai C-

reactive protein adalah protein serum amyloid A (SAA). Perhatian difokuskan

pada CRP karena protein ini stabil baik di serum maupun plasma demikian juga
41

immunoassays untuk protein ini sudah ada, terstandarisasi dengan baik, dan

reproducible (Brindle et al., 2006; Mantovani et al., 2008).

2. 9. Fisiologi Lambung

Lambung memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi pencernaan dan fungsi

motorik. Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan

protein, sintesis, dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Selain mengandung sel-sel

yang mensekresi mucus, mukosa lambung juga mengandung dua tipe kelenjar

tubular yang penting yaitu kelenjar oksintik (gastric) dan kelenjar pirolik.

Kelenjar oksintik terletak pada bagian corpus dan fundus lambung, meliputi 80%

bagian proksimal lambung. Kelenjar pirolik terletak pada bagian antral lambung.

Kelenjar oksintik berfungsi dalam pembentukan asam dengan mensekresikan

mucus, asam klorida, faktor intrinsic dan pepsinogen. Kelenjar pirolik berfungsi

mensekresikan mucus untuk melindungi mukosa pylorus, juga beberapa

pepsinogen, rennin, lipase lambung, dan hormon gastrin (Guyton & Hall, 1997).

Fungsi motorik lambung terdiri atas (1)penyimpanan sejumlah besar

makanan sampai makanan dapat diproses di duodenum, (2)pencampuran makanan

dengan sekresi asam lambung hingga membentuk campuran yang disebut kimus

(chyme) dan (3) pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan

lambat dan absorbsi dalam usus halus (Guyton & Hall, 1997).

Mukosa lambung merupakan barrier antara tubuh dengan berbagai bahan,

termasuk makanan, produk-produk pencernaan, toksin, obat-obatan, dan

mikroorganisme yang masuk melalui saluran pencernaan yang dengan kondisi

tertentu dapat menimbulkan kerusakan terhadap lambung. Oleh karena itu


42

lambung mempunyai system perlindungan yang berlapis-lapis dan sangat efektif

untuk mempertahankan keutuhan mukosa lambung. Sistem pertahanan mukosa

lambung tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

1. Faktor pre-epitelial

Faktor pre-epitelial merupakan faktor proteksi terdepan dari

saluran pencernaan yang terletak secara merata di permukaan sel epitel

mukosa saluran pencernaan. Cairan mucus dan bikarbonat yang

disekresikan oleh kelenjar-kelenjar dalam mukosa lambung berfungsi

sebagai faktor pre-epitelial terhadap enzim-enzim proteolitik asam

lambung. Bikarbonat berfungsi menetralkan keasaman di sekitar lapisan

sel epitel. Suasana netral diperlukan agar enzim-enzim dan transport aktif

di sekeliling dan dalam lapisan sel epitel mukosa dapat bekerja dengan

baik.

Menurut Guyton dan Hall (1997) mucus adalah sekresi kental yang

terutama terdiri dari air, elektrolit dan campuran berbagai glikoprotein,

yang terdiri dari sejumlah besar polisakarida yang berikatan dengan

protein dalam jumlah yang lebih sedikit.

2. Faktor epithelial

Integritas dan regenerasi lapisan sel epitel berperan penting dalam

fungsi sekresi dan absorpsi dalam saluran pencernaan.penggantian sel-sel

epitel yang rusak terjadi dalam waktu yang relatif singkat yakni 1-3 hari.

3. Faktor sub-epitelial
43

Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan

oksigen secara terus menerus. Aliran darah mukosa mempertahankan

mukosa lambung melalui oksigenasi jaringan yang memadai dan sebagai

sumber energi. Selain itu, aliran darah mukosa berfungsi untuk membuang

atau sebagai buffer difusi balik ion H+.

4. Proteksi oleh sistem imun lokal dan sistemik

Lambung juga diproteksi oleh sistem imun lokal maupun sistemik

serta sistem limfe terhadap berbagai toksin, obat dan bahan lainnya.

Sistem imun lokal terdapat pada saluran pencernaan, sedangkan sistem

imun sistemik terdapat dalam sistem peredaran darah. Komponen dari

sistem dalam saluran pencernaan adalah sel-sel radang lokal saluran

pencernaan ( sel plasma, limfosit, monosit) dan jaringan lipoid yang

bersifat sistemik.

Selain beberapa faktor pertahanan di atas, pada selaput lendir saluran

pencernaan juga terdapat komponen protektif mukosa yaitu prostaglandin yang

merupakan kelompok senyawa turunan asam lemak arakhidonat yang dihasilkan

melalui jalur siklooksigenase (COX) (Kartasasmita, 2002). Prostaglandin

meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotis, termis,

atau kimiawi dengan cara regulasi sekresi asam lambung, ekresi mucus,

bikarbonat, dan aliran darah mukosa (Kartasasmita, 2002).

2.10. Histopatologi Lambung

Lambung merupakan bagian dari saluran percernaan yang banyak

mendapatkan paparan bahan-bahan yang merusak mukosanya. Kerusakan


44

mukosa lambung banyak disebabkan karena penggunaan obat antiinflamasi non

steroid (OAINS). Absorbsi OAINS ke dalam mukosa lambung dapat

meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping obat khususnya pada saluran

pencernaan bagian atas. Kelainan terbanyak terjadi pada lambung dan duodenum,

dalam stadium ringan terjadi hyperemia, stadium sedang terjadi erosi/ lesi mukosa

lambung dan pada stadium berat muncul ulkus tanpa atau dengan hemorrhagi.

Asam salisilat dan senyawa turunannya merupakan obat antiinflamasi

yang paling sering digunakan masyarakat. Obat ini merupakan bahan yang dapat

menembus barrier mukosa lambung sehingga sering dilaporkan menimbulkan

efek iritasi pada lambung. Asam salisilat dapat menyebabkan pengelupasan pada

sel epitel permukaan dan mengurangi mucus yang merupakan barrier protektif

terhadap asam. Asam salisilat bekerja dengan cara menekan produksi

prostaglandin. Adanya hambatan terhadap sintesis prostaglandin dapat

menyebabkan penurunan kemampuan pertahanan mukosa lambung terhadap

iritan. Efek iritasi pada mukosa lambung ini dapat menyebabkan gastritis akut

(Robbins et al., 2010).

Pada gambaran makroskopik gastritis akut terlihat hyperemia dan edema

yang sedang dan kadang-kadang disertai dengan pendarahan. Pada gambaran

mikroskopik tampak edema lamina propia dan sebukan sel netrofil pada

permukaan epitel atau dalam mukosa (Nagah et al., 2014).

2.11. Karagenan

Karagenan merupakan polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut

merah dari jenis Chondrus, Euchema, Gigartina, Hypnea, Iradea, Phyllophora.


45

Sebagian besar karagenan mengandung natrium, magnesium, dan kalsium yang

dapat terikat pada gugus ester sulfat dari galaktosa dan kopolimer 3,6-anhydro-

galaktosa (Mohan et al., 2013).

Karagenan dibedakan dengan agar berdasarkan kandungan sulfatnya.

Jumlah dan posisi sulfat membedakan berbagai polisakarida Rhodophyceae, di

mana polisakarida tersebut harus mengandung 20% sulfat berdasarkan berat

kering untuk diklasifikasikan sebagai karagenan. Berdasarkan kandungan gugus

sulfatnya, karagenan dikelompokkan menjadi tiga yaitu Kappa - karagenan

memiliki satu gugus sulfat per disakarida, Iota karagenan memiliki dua sulfat per

disakarida, Lambda karaginan memiliki tiga sulfat per disakarida. Kappa

karagenan mempunyai struktur yang rigid, kuat, bentuk gelnya kaku disebabkan

karena adanya ion kalium, bereaksi dengan protein susu. Karagenan jenis ini

bersumber terutama dari rumput laut famili Kappaphycus alvarezii. Karagenan

iota mempunyai struktur yang lebih lunak dibandingkan dengan kappa karagenan,

membentuk gel lembut yang disebabkan karena adanya ion kalsium. Karagenan

jenis ini dihasilkan terutama dari famili Eucheuma denticulatum Lambda

karagenan tidak dapat membentuk gel, fungsinya lebih banyak digunakan untuk

mengentalkan produk olahan susu (Van de Velde et al, 2002).

Perbedaan utama yang mempengaruhi sifat kappa, iota, dan lambda

karagenan adalah jumlah dan posisi kelompok ester sulfat pada pengulangan unit

galaktosa . Tingkat yang lebih tinggi dari ester sulfat menurunkan suhu kelarutan

karagenan dan menghasilkan kekuatan gel yang lebih rendah dalam pembentukan

gel (lambda karaginan). Beberapa spesies alga merah menghasilkan berbagai


46

jenis karagenan selama pertumbuhannya. Misalnya, genus Gigartina

menghasilkan karagenan kappa terutama selama tahap gametophyticnya, dan

karagenan lambda selama tahap sporofitnya (Van de Velde et al., 2002).

Kappa-karagenan dan iota-karagenan merupakan fraksi yang mampu

membentuk gel dalam air. Karagenan memiliki kemampuan membentuk gel pada

saat larutan panas menjadi dingin. Proses pembentukan gel

bersifat thermoreversible, artinya gel dapat mencair pada saat pemanasan dan

membentuk gel kembali pada saat pendinginan. Proses pemanasan dengan suhu

yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer

karagenan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka

polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila

penurunan suhu terus dilanjutkan polimer-polimer ini akan terikat silang secara

kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang

bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat. Jika diteruskan, ada

kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut

sambil melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Omote et al., 2001;

Necas dan Bartosikova, 2013).

Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karagenan terjadi pada

saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin karena mengandung gugus 3,6 -

anhidrogalaktosa. Adanya perbedaan jumlah, tipe dan posisi gugus sulfat akan

mempengaruhi proses pembentukan gel. Kappa karagenan dan iota karagenan

akan membentuk gel hanya dengan adanya kation-kation tertentu seperti K+, Rb+

dan Cs+. Potensi membentuk gel dan viskositas larutan karagenan akan menurun
47

dengan menurunnya pH, karena ion H+ membantu proses hidrolisis ikatan

glikosidik pada molekul karagenan (Omote et al., 2001)

Karagenan memiliki kemampuan untuk membentuk gel atau larutan kental

secara thermoreversible jika ditambahkan ke dalam larutan garam sehingga

banyak dimanfaatkan sebagai pembentuk gel, pengental, dan bahan penstabil di

berbagai industri seperti pangan, farmasi, kosmetik, percetakan dan tekstil (Van

de Velde et al., 2002; Compo et al., 2009). Karagenan bukan biopolimer tunggal,

tetapi campuran dari galaktan-galaktan linear yang mengandung sulfat dan larut

dalam air. Galaktan-galaktan tersebut terhubung oleh 3-β-D-galaktopiranosa (G-

units) dan 4-α-D-galktopiranosa (D-units) atau 4-3,6-anhidrogalaktosa (DA-units),

membentuk unit pengulangan disakarida dari karagenan. Galaktan yang

mengandung sulfat diklasifikasikan berdasarkan adanya 3,6-anhidrogalaktosa

serta posisi dan jumlah golongan sulfat pada strukturnya. Kappa karagenan

tersusun dari α(1,3)-D-galaktosa-4-sulfat dan β(1,4)-3,6 anhidro-D-galaktosa.

Karagenan juga mengandung D-galaktosa-2-sulfat ester ((Van de Velde et al.,

2002; Compo et al., 2009).


48

Gambar 2.9. Berbagai struktur Karagenan

Induksi agen inflamasi, karagenan pada kaki belakang tikus merupakan

suatu model inflamasi akut yang sering dilakukan untuk mempelajari inflamasi

dan mengevaluasi aktivitas antiinflamasi dari berbagai senyawa. Jenis karagenan

yang sering digunakan sebagai iritan inflamasi adalah karagenan kappa karena

jenis karagenan ini mudah diperoleh dan mampu menimbulkan udema yang

berarti walaupun membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melarutkannya

(Jothi et al., 2012).

Beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan karagenan sebagai

iritan inflamasi menggambarkan mekanisme inflamasi sebagai berikut. Pertama

karagenan menstimulasi pelepasan TNF-α yang selanjutnya menginduksi IL-1β

dan IL-6, kemudian menstimulasi produksi produk siklooksigenase (COX) dan

menginduksi sitokin lainnya, IL-8 sehingga menstimulasi produksi lokal


49

symphatic amina. Dengan demikian cascade pelepasan sitokin mendahului

pelepasan produk siklooksidase (COX) dan sympathomimetic amina (Necas &

Bartosikova, 2013).

Tz-Chong Chou (2003) menggunakan karagenan sebagai iritan inflamasi

untuk mempelajari aktivitas anti inflamasi dan analgesik dari senyawa paeonol

pada penyakit thermal hyperalgesia. Didapatkan hasil bahwa setelah injeksi

karagenan, paeonol menghambat pembentukan TNF-α dan IL-1β, tetapi

meningkatkan produksi IL-10 baik pada fase awal (1,5 jam) maupun pada fase

akhir (4 jam) dan menghambat pembentukan IL-6 pada fase akhir. Peonol

menurunkan pembentukan prostaglandin E2 (PGE2) pada fase awal namun

penghambatan produksi nitrat teramati hanya pada fase akhir ( 4 jam setelah

injeksi karagenan) disertai dengan menurunnya sintesis nitrat oksida terinduksi

(iNOS) dan ekspresi protein siklooksigenase-2 (COX2). Teramati juga aktivitas

dari myeloperoksidase yang tinggi sebagai indikator infiltrasi neutrofil pada kaki

tikus yang terinjeksi karagenan.

Mediator penting yang lain pada inflamasi akut adalah nitrat oksida (NO)

yang diproduksi pada kondisi patologi oleh tiga isoform dari nitrat oksidasintase

(NOS) yaitu endotel NOS (Enos), neuronal NOS (NNOS) dan inducible NOS

(iNOS). Karagenan menyebabkan produksi dan pelepasan NO di lokasi cedera.

Perfusi dari NOS inhibitor non selektif, NG monomethyl-arginin asetat (L-

NMMA) yang menunjukkan beberapa selektivitas untuk penghambatan isoform

neural dan endotel, menekan pelepasan NO setelah injeksi karagenan. Perfusi dari

inhibitor NOS diinduksi, Aminoguanidin hemisulfat (AG), menekan pelepasan


50

NO 2,5-8 jam setelah injeksi karagenan. Neurectomy menekan pelepasan NO

hingga 3 jam dan sebagian menekan pelepasan NO 4,5-8 jam setelah injeksi

karagenan. Temuan ini menunjukkan bahwa nNOS berkontribusi terhadap

produksi NO di kedua fase baik awal maupun akhir, dan bahwa iNOS hanya

berkontribusi pada fase akhir. Produksi dan pelepasan NO oleh NOS-NOS ini

diduga berkontribusi terhadap kerusakan jaringan dan inflamasi udema yang

diinduksi karagenan (Omote et al., 2001; Yakui-Ma et al., 2014).

Anda mungkin juga menyukai