Pendahuluan
Intususepsi merupakan penyebab paling sering dari obstruksi intestinal akut pada anak
anak.1,2,3,4, Intususepsi sering didapatkan pada kelompok umur 4 bulan hingga 2 tahun dengan
angka tertinggi pada kelompok umur 4 sampai 10 bulan.1,2,3,4 Intususepsi didefinisikan sebagai
invaginasi segmen proksimal ke segmen distal dari usus.2,3 Diagnosis intususepsi menjadi
tantangan yang cukup berat bagi klinis karena pasien datang dengan kumpulan gejala yang
tidak spesifik dan sering kali dibingungkan dengan penyakit lain yang mempunyai gejala yang
mirip. Diagnosis dan manajemen penanganan harus cepat dan tepat untuk menghindari
komplikasi yang dapat menyebabkan kematian.1,2 Pasien seringkali dibawa dalam keadaan
terlambat yang menjadi penyebab tingginya angka mortalitas dan morbiditas di negara negara
berkembang di Afrika2
(Diambil dari Punnoose AR., Golub RM. Intussusception. JAMA 2012; 307 (6):628)
Gambar 2. Tabel insiden intususepsi di antara anak anak berumur < 1 tahun berdasarkan regio / negara.3
(dikutip dari Jiang J, Jiang B, Parashar U, Nguyen T, Bines J, et al. (2013) Childhood Intussusception: A
Literature Review. PLoS ONE 8(7): e68482. doi:10.1371/journal.pone.0068482)
Etiologi
Berdasarkan patofisiologi dan faktor resiko, terdapat 2 macam penyebab intususepsi,
idiopatik dan kedua adalah sekunder dari pathologic lead point. Kebanyakan kasus intususepsi
adalah idiopatik (>90%) biasanya disebabkan oleh KGB yang hiperplasia.9
Beberapa penulis, melaporkan bahwa intususepsi angkanya bergantung dengan musim
di mana musim panas adalah puncak insiden.3,10
Gambar 4. Insiden intususepsi berdasarkan musim/bulan dalam 1 tahun.3 (dikutip dari Jiang J, Jiang B,
Parashar U, Nguyen T, Bines J, et al. (2013) Childhood Intussusception: A Literature Review. PLoS ONE 8(7):
e68482. doi:10.1371/ journal.pone.0068482)
Beberapa pathologic lead point yang menjadi penyebab intususepsi adalah
divertikulum meckel, lesi usus padat, dan limfoma intestinal, ulkus aktif di lubang lumen pada
dinding usus anti mesenterium, kista duplikasi atau duplikasi intestinal, appendix, limfoma,
dan lipoma.2,13,14,15,16 Divertikulum adalah penyebab pathologic lead point yang paling sering
Sejarah
Kasus intususepsi pertama kali dilaporkan pada tahun 1675 oleh Barbette dari
Amsterdam.24,25 Pada tahun 1789 John Hunter dari Inggris memberikan deskrpisi yang lebih
lengkap mengenai intususepsi.17,26 Pada tahun 1836, Samuel Mitchell melaporkan reduksi non
operatif dari intususepsi, 2 tahun kemudian John Gorham melaporkan 5 kasus intususepsi yang
Diagnosis
Intususepsi adalah suatu diagnosis dengan banyak etiologi. Intususepsi menjadi diagnosis juga
menjadi suatu akibat dari penyakit dasar lainnya. Gejala intususepsi cukup susah karena mirip
dan bertumpang tindih dengan penyakit atau patologi lainnya. Etiologi sesuai dengan umur
telah dijelaskan sebelumnya.
Keluhan dan gejala klinis intususepsi tidaklah spesifik tetapi terdapat gejala klasik dari
trias intususepsi, yaitu nyeri kolik abdomen intermiten (63%), red currant jelly stool (31%-
86%), massa abdomen(38%).5,28,33,35 Trias gejala klasik ini hanya didapatkan pada sebagian
kecil pasien (20%), sehingga diagnosis intususepsi harus selalu dibuat didasarkan pada
kecurigaan klinis yang besar.35,36 Intususepsi dapat muncul dengan keluhan seperti irritable
atau letargi (32%) disertai dengan gejala non spesifik lainnya.1,2 Levinson dkk, mendapatkan
bahwa secara umum gejala pasien yang datang dengan intususepsi termasuk di dalamnya nyeri
abdomen, muntah, diare, bloody diare, letargi, dan restlessness. Keluhan demam lebih banyak
muncul pada intususepsi kelompok ileo-ileal, sedangkan masa abdomen muncul pada
intususepsi kelompok ileo-kolika dengan angka hingga 30% dibandingkan 1,8% saja pada
kelompok ileoileal.26 Shiyi dkk., melaporkan bahwa demam didapatkan pada 40.92% anak
anak dengan intususepsi.36 Muntah dan perdarahan rektum dilaporkan menjadi gejala yang
paling sering pada intususepsi (31%-86%).5,33,36 Beberapa studi menyatakan bahwa 13-22%
pasien intususepsi tidak merasakan nyeri abdomen.35 Gejala klinis yang lain diusulkan adalah
indrawing leg di mana muncul sebagai akibat dari gejala penyakit yang memberat (nyeri).36
Umumnya, intususepsi melibatkan ileum yang berinvaginasi melalui katup ileo-sekal masuk
ke sekum dan seringkali terjadi pada kelompok umur 4 hingga 10 bulan.6
Gambar 5. Karakteristik dan presentasi klinis pasien
dengan intususepsi yang dideteksi dengan USG
abdomen.33 (dikutip dari Munden MM., Bruzzi JF.,
Coley BD. Sonography of Pediatric Small-Bowel
Intussusception: Differentiating Surgical from
Nonsurgical Cases. AJR 2007; 188:275–279.
DOI:10.2214/AJR.05.2049)
Intususepsi tidak dapat di-rule out berdasarkan gejala klinis semata tetapi harus
dilakukan pemeriksaan yang lain, salah satunya dengan USG dan enema kontras, sehingga
dapat dibuat diagnosis definitif dari intususepsi.4,35 Gejala klinis hanya secara akurat mampu
mendiagnosis 30%-68% kasus dari intususepsi,4 sedangkan USG mempunyai sensitivitas 98-
100% dengan spesifisitas 88%-100%.4 Tetapi USG mempunyai sensitivitas yang rendah pada
beberapa penyebab intususepsi seperti polip intraluminal dan seringkali tidak reliable dalam
membedakan hyperplasia limfoid jinak dan limfoma.33 Kontras enema tidak bisa dijadikan
sebagai alat diagnosis lini pertama, karena dengan pemeriksaan USG selain dapat me-rule out
diagnosis intususepsi tetapi juga dapat memberikan diagnosis alternatif lain secara cepat dan
kurang invasif.4,35 Mayoritas intususepsi terjadi pada regio subhepatal (tipe ileokolika). Pada
gambaran USG didapatkan gambaran cincin konsentrik atau donat sign dengan alternating
hipoekoik dan hiperekoik dan tanda crescent in donut pada potongan aksial dan tanda sandwich
dan hayfork pada potongan longitudinal.4,33 Sedangkan untuk mengetahu kemungkinan dapat
direduksi atau tidak dapat dilakukan USG dopler di mana akan tampak gambaran trapped fluid
dan tidak adanya aliran darah.4 Adanya trapped fluid berkorelasi secara signifikan terhadap
iskemia dan irreducibility.29 USG dapat memberikan diagnosis yang lebih baik terhadap
deteksi dan karateristik dari lead point dibandingkan contrast enema study.4
Gambar 10. Gambaran USG potongan aksial dari intususepsi. C adalah kaki tengah dari intususepsi. G
adalah kandung empedu. M adalah mesenterium. Terlihat pada gambar yang paling kanan adalah
gambaran crescent in donut.4 (Dikutip dari Pozo GD., Albillos JC., Tejedor D., et al. Intussusception in
Children: Current Concepts in Diagnosis and Enema Reduction. Radiographics 1999;19:299-319)
Gambar 11. Gambaran USG potongan longitudinal dari intususepsi. C adalah kaki tengah dari intususepsi.
M adalah mesenterium. Gambar kiri adalah gambaran sandwich, tengah adalah gambaran hayfork, dan
yang kanan adalah gambaran pseudokidney.4
(Dikutip dari Pozo GD., Albillos JC., Tejedor D., et al. Intussusception in Children: Current Concepts in
Diagnosis and Enema Reduction. Radiographics 1999;19:299-319)
Gambar 12. Gambaran USG potongan aksial dari intususepsi. Tampak adalanya trapped peritoneal fluid.4
(Dikutip dari Pozo GD., Albillos JC., Tejedor D., et al. Intussusception in Children: Current Concepts in
Diagnosis and Enema Reduction. Radiographics 1999;19:299-319)
Gambar 13. Metode diagnosis intususepsi per regio berdasarkan WHO.3 (dikutip dari Jiang J, Jiang B,
Parashar U, Nguyen T, Bines J, et al. (2013) Childhood Intussusception: A Literature Review. PLoS ONE
8(7): e68482. doi:10.1371/journal.pone.0068482)
Manajemen
Manajemen non operatif
Intususepsi secara tradisional dirawat sebagai pasien rawat inap, dengan melakukan
rehidrasi cairan, reduksi non operatif, disertai dengan puasa beberapa saat. Beberapa senter
saat ini mulai memasukkan protokol penanganan intususepsi pediatri idiopatik sebagai pasien
rawat jalan dengan angka rekurensi dan komplikasi paska reduksi intususepsi ileo-kolika yang
cukup rendah.37 Sebelum 2017, angka rekurensi dalam 48 jam paska reduksi dengan reduksi
enema udara sangat bervariasi (berkisar antara 2,5% hingga 13% ).38 Protokol penanganan
intususepsi sangat beragam serta tidak ada kesepahaman dan keselarasan dalam
penanganan intususepsi hingga saat ini. Beberapa merekomendasikan untuk memulangkan
pasien setelah 4 sampai 6 jam observasi paska reduksi,39-42 sedangkan yang lain menyarankan
dirawat selama 24 sampai 48 jam untuk observasi mempertimbangkan adanya kemungkinan
komplikasi paska tindakan seperti bakteremia dan perforasi selama reduksi dengan udara
(pneumo-peritoneum) meskipun angkanya rendah.43-44 Nguyen dkk, mendapati bahwa
komplikasi setelah reduksi enema yang membutuhkan pembedahan sangatlah jarang (1,6%
pada penelitian beliau)45 Beliau menyimpulkan bahwa ahli bedah on site tidak diperlukan
selama dokter UGD fasih dalam melakukan abdominosintesis dekompresi perkutan dan
manajemen dari instabilitas hemodinamik.45
Penanganan lini pertama di UGD (apabila dapat direduksi dengan syarat syarat yang
memungkinkan) maka disarankan untuk direduksi dengan reduksi enema udara, ataupun
barium enema; pembedahan adalah terapi lini kedua apabila gagal dengan reduksi enema
ataupun pada evaluasi pemeriksaan awal didapatkan bukti bukti memang tidak dapat
direduksi ataupun keadaan pasien yang tidak stabil.38 Suatu sistim skor diusulkan untuk
membantu memutuskan dan menghitung risiko apakah pasien dapat dilakukan penanganan
non operatif atau penanganan operatif terhadap intususepsi (Tabel 14).4,46
Gambar 16. Grafik tekanan hidrostatik terhadap konsentrasi barium enema yang diberikan yang
diangkat setinggi 1 m.51 (dikutip dari: Sargent MA. Wilson BPM: Are hydrostatic and
pneumatic methods of intussusception reduction comparable? Pediatr Radio1
21:346-340, 1991)
Terapi Reduksi Enema Udara
Terapi Reduksi Enema Udara atau Reduksi Pneumatik (RP) menjadi alternatif dari
managemen pembedahan dilakukan pertama kali pada tahun 1864 oleh Grieg dari
Skotlandia.47 Beliau melakukan prosedur reduksi penumatik, melakukan observasi dan
melakukan pencatatan secara detail hingga follow-up paska prosedur.47 Hingga tahun 1992
didapatkan rerata keberhasilan reduksi pneumatik berkisar antara 70%-95%. Secara umum
indikasi dan kontra indikasi dari prosedur ini sama dengan prosedur non operatif lainnnya.
Gambar 19. Tabel penelitian penelitan yang dilakukan untuk menunjukkan angka keberhasilan reduksi
pneumatik pada intususepsi.46 (dikutip dari Zheng JY, Frush DP, Guo JZ. Review of pneumatic reduction of
intussusception: evolution not revolution. J Pediatr Surg 1994; 29:93-97.)
Gambar 20. Gambaran bertahap reduksi pneumatik.50 A) Intususepsi di rektum. Foley kateter terlihat di
kanalis anal. B-D) Proses Reduksi dari Sigmoid (B) menuju transversum (B) dan kolon asenden (C).
E)intususepsi tereduksi dengan katup ileo-caecal edema. F) Reduksi ter-verifikasi bila tampak adanya
udara mengisi usus halus (Dikutip dari: Gu L. Alton DJ, Daneman A. et al: John Caffey Award.
Intussusception reduction in children by rectal insufflation of air. AJR 150:1345-1348, 1988)
Tafner dkk., melaporkan potensi kolonoskopi sebagai terapi reduksi intususepsi.
Kebaikan dari kolonoskopi yang dilaporkan adalah visualisasi dari daerah yang ter-invaginasi,
evaluasi keadaan mukosa usus halus, diagnosis pasti perforasi, dan nekrosis dan dapat
segera terkonfirmasi secara langsung keberhasilan prosedur reduksi. Sayangnya gejala
massa abdominal berhubungan dengan kegagalan kolonoskopi.55 Pasien harus di-intubasi
dan dilakukan anestesia secara umum sebelum dilakukan prosedur untuk menghindari
aspirasi. Prosedur kolonoskopi dilakukan di ruang operasi karena apabila gagal maka segera
dilakukan operasi reduksi intususepsi. Kolonoskopi dimasukkan hingga dekat daerah
intususepsi, di sana akan terlihat area linear yang tertekan. Kolonoskopi dilakukan paling
lama 30 menit Udara atau Normal Saline digunakan untuk menyemprot dan mendorong
invaginasi usus (meningkatkan tekanan intra luminal). Setelah kolonoskopi reduksi berhasil
pasien di-puasa-kan 24 jam dan diberikan Scopolamine (0,3 mg/kgBB) kemudian dilakukan
evaluasi dengan USG setelah 24 jam paska operasi. Apabila hasilnya negatif, maka pasien
dapat dipulangkan keesokan harinya (24 jam paska prosedur).55
Manajemen operatif
Kanglie dkk, melaporkan bahwa terdapat 11,6% pasien yang dianggap gagal dengan
reduksi non operatif (dikonfirmasi dengan imaging radiologi) tetapi pada saat dilakukan
Referensi
1. Caruso AM, Pane A, Scanu A, Muscas A, Garau R, Caddeo F, Mascia L. Intussusception
in children: not only surgical treatment. J Pediatr Neonat Individual Med.
2017;6(1):e060135. doi: 10.7363/060135.
2. Chiya Pl., Kayange NM., Chandika AB. Chilhoodintussusceptions at a tertiary are
hospital in northwestern Tanzania: a diagnostic and therapeutic challenge in resource-
limited setting. Italian Journal of Pediatrics 2014, 40:28. doi:10.1186/1824-7288-40-
28.
3. Jiang J, Jiang B, Parashar U, Nguyen T, Bines J, et al. (2013) Childhood Intussusception:
A Literature Review. PLoS ONE 8(7): e68482. doi:10.1371/
journal.pone.0068482.
4. Pozo GD., Albillos JC., Tejedor D., et al. Intussusception in Children: Current Concepts
in Diagnosis and Enema Reduction. Radiographics 1999;19:299-319
5. Pran L., Baijoo S., Rampersad B. Ann R Coll Surg Engl 2018; 100: 388–391. doi
10.1308/rcsann.2018.0023.
6. Trang NV et al. Recurrent intussusception among infants less than 2 years of age in
Vietnam. Vaccine (2018), https://doi. org/10.1016/j.vaccine.2018.02.056.
7. Cui LL., Geng XY., Zhang J., Zhang J. Epidemiological characteristics and risk factors of
primary intussusception in children among two years old and below, Ji’nan city. 中华
预防医学杂志2018Jul6;52(7):727733.doi: 10.3760/cma.j.issn.02539624.2018.07.009
8. Lochhead A, Jamijoom R, Ratnapaian S. Intussusception in children presenting to the
department department. Clin Pediatr (Phila) 2013;52: 1029_33.
9. Xie X, et al, Risk factors for recurrence of intussusception in pediatric patients: A
retrospective study, J Pediatr Surg (2018),
https://doi.org/10.1016/j.jpedsurg.2018.03.023.
10. Ravitch MM., McCune RM. Intussusception in infants and children. J Ped 1950;37(2):
153-173.
11. Lehnert T., Sorge I., Rolle U. Intussusception in children-clinical presentation diagnosis
and management. Int J Colorectal Dis (2009) 24:1187–1192 DOI 10.1007/s00384-009-
0730-2
12. Linke F., Eble F., Berger S. Postoperative intussusception in childhood. Pediatr Surg Int
(1998) 14: 175±177.
13. Ferrera PC., Kispert P. Instussusception after blunt abdominal trauma. Am J Emer Med.
1998;16(7):671-673.
14. Dimitrios P., Kyriakos C., Ionnis P. Intussusception Meckle’s diverticulum within its
own lumen. Acta Medica Academica 2017;46(2):173-174. DOI: 10.5644/ama2006-
124.204.
15. Milbrandt, Kris, and David Sigalet. “Intussusception Associated with a Meckel's
Diverticulum and a Duplication Cyst.” Journal of Pediatric Surgery, vol. 43, no. 12,
2008, doi:10.1016/j.jpedsurg.2008.09.005.
16. Yu MM., Fang Z., Shen J., Zhu X., dkk. Double simultaneous intussusception caused
by Meckle’s diverticulum in a child. Journal of International Medical Research 2018,
Vol. 46(8) 3427–3434. DOI: 10.1177/0300060518777337.
17. Spiro Dm., Arnold DH., Barbone F. Association between antibiotic and orimary
idiopathic intussusception. Arch Pediatr Adolesc Med. 2003;157:54-59