Anda di halaman 1dari 11

Hakikat Lapar:

Telaah Psikologi Terhadap Penafsiran Amin Al Khuli Atas Falsafatul Ju’i

Oleh: Udzlifatul Chasanah (16530027)

Abstrak

Artikel ini hendak membahas mengenai hakikat lapar menurut perspektif mufassir kontemporer
yakni Amin Al Khulli yang dipaparkan dalam kitabnya “Min Hady Al Qur’an: Fii Ramadhan”.
Penulisan artikel dilatarbelakangi oleh konflik obesitas di masyarakat saat ini. Guna
membandingkan dan menelaah sikap mana yang lebih baik melalui penafsiran kontemporer yang
lebih terkenal tidak mengabaikan konteks kondisi sosial hari ini. Berangkat dari asumsi diatas
artikel ini akan membahas mengenai pandangan Ahlu Fiqh, Sufi atas hakikat lapar, lalu pendapat
dan argumen Amin al Khuli melalui penafsirannya mengenai hakikat lapar, kemudian tinjauan
psikologis tentang lapar.

Kata Kunci: Hakikat Lapar, Amin Al Khuli, Tafsir Psikologi

Pendahuluan

Amin Al Khuli yang memiliki nama lengkap Amin Ibnu Ibrahim ‘Abd al Baqi Ibn ‘Amir Ibn
Isma’il Ibn Yusuf Al Khuli, beliau dilahirkan di Syusai pada 1 Mei 1895. Dikenal dari keluarga
yang berpendidikan, yakni seperti kakeknya Syaikh Ali Amir Al Khuli yang terkenal dengan
sebutan Al Syibhi seorang alumni Universitas Al Azhar di bidang Qira’at. Al Khuli memulai
pendidikannya pada usia tujuh tahun dalam pendidikanformal juga menghafal al Qur’an, dua
buku tajwid dan matan-matan beberapa kitab seperti dalam bidang Nahwu, Tauhid, Fiqh dan
lain-lain. Setelah merampungkan hafalan qur’annya pada usia sepuluh tahun Al Khulli
melanjutkan studinya di madrasah, dimana beliau mempelajari ilmu-ilmu umum seperti politik,
akademik, sosial, yang lebih condong pada hukum. Pada usia 20-an al Khuli bergelut aktif dalam
organisasi sosial, juga dalam politik yakni perjuangan mesir untuk mencapai kebebasan1.

Dikarenakan kemahirannya dalam bidang-bidang agama yang dia pelajari sejak dini, al Khulli
menjadi guru besar di Universitas Al Azhar. Dan al Khuli juga banyak menghasilkan karya-karya
1 Ramadhani, Wali, “Amin Al Khuli Dan Metode Tafsir Sastrawi Atas Al Qur’an,” Jurnal At Tibyan II No.1 (June
2017): 3–5.
1
tulisan, beliau menjadi pembaharu teori dalam menafsirkan al Qur’an, dalam ilmu balaghah,
nahwu, dan adab. Beberapa karyanya adalah Manahij at Tajdid Fi an Nahw Wa a Balaghah Wa
at Tafsir Wa al Adab, Fi al Adab al Misr, dan kitab lain dalam bidang kajian islam. Juga terdapat
beberapa artikel serial Min Hadyi al Qur’an yang berisikan tentang tafsir tematis yang pernah
disampaikan oleh al Khuli melalui ceramah di salah satu siaran radio. Diantara artikelnya yakni
Min Hadyi al Qur’an Fii Ramadhan, Min Hadyi al Qur’an Fii al Qadat ar Rusul, dan lain
sebagainya2.

Salah satu kitabnya yang paling terkenal adalah Manahij at Tajdid Fi an Nahw Wa a Balaghah
Wa at Tafsir Wa al Adab yang membahas mengenai metode pembaharuan gagasan Amin al Khuli.
Salah satunya adalah dalam metode penafsiran, ia menggagas metode penafsiran yang berbeda
dari sebelumnya seperti tafsir bi al riwayah yang pertama tumbuh di kalangan muslim, kemudian
disusul dengan tafsir bi al dirayah yang popular pada era pertengahan. Metode tafsir kemudian
adalah metode tafsir sastrawi, yang mana al Khuli berangkat dari pemikiran Muhammad Abduh
bahwa al Qur’an seharusnya berfungsi menjadikan al Qur’an sebagai sumber petunjuk3.

Metode tafsir sastrawi al Khuli memiliki dua hal yang harus diperhatikan dalam menafsirkan al
Qur’an, pertama kajian seputar al Qur’an, kedua kajian mengenal al Qur’an itu sendiri, dan yang
terakhir adalah tafsir psikologis. Dikarenakan al Qur’an berbahasa arab, maka penafsiran
hendaknya memperhatikan penggunaan kosa-kata yang digunakan al Qur’an pada saat ia
diturunkan kepada masyarakat pendengar pertama bagi al Khuli. Juga tidak melupakan aspek-
aspek kejiwaan yang terdapat pada setiap misi keagamaan al Qur’an4.

Amin Al Khuli membahas mengenai Falsafatul Ju’ di dalam Artikel yang berjudul Min Hadyi Al
Qur’an: Fii Ramadhan, kitab ini membahas tentang Ibadah-ibadah Amaliyah yang dilakukan
selama bulan Ramadhan. Ramadhan sangat identik dengan Ibadah Puasa, menurut Amin Al
Khuli Ibadah Puasa itu sebagai Tadrib Al Islahi yakni pelatihan pembenaran (membenarkan dan
membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang kurang benar menurut agama), yang mana
juga selalu diliputi akan hal yang bersangkutan dengan makanan dan rasa lapar. Berangkat dari

2 Ibid., 5–7.

3 Ibid., 8–10.

4 Ibid., 14–17.
2
pemahaman lapar yang selalu terjadi selama puasa, Amin Al Khuli mulai meneliti Falsafatul Ju’i
atau juga yang disebut hakikat lapar5.

Pendefinisian Al Khuli tentang hakikat lapar lebih cenderung didasari oleh dua statement, yakni
pertama dari kalangan ilmu Fiqh yang menganggap lapar sebagai hikmah puasa, dan kedua dari
kalangan Sufiyah yang menganggap lapar sebagai jalan untuk Riyadhoh yakni lebih mendekat
kepada Tuhan. Dari statement diatas Amin Al Khuli ingin melihat bagaimana al Qur’an
memposisikan ayat tentang lapar6.

Tujuan yang lebih jauh lagi, al Khuli ingin menekankan kepada para mufassir lainnya bahwa
ketika menafsirkan suatu ayat agar juga melihat aspek-aspek yang tercakup dan berkaitan dalam
sebuah ayat tersebut seperti kesesuaiannya dengan zaman setelahnya juga sinonim dan anonim
dari ayat tersebut. Penelitian hal-hal yang berkaitan tentang suatu ayat inilah yang akan
menghasilkan pendekatan terhadap hati atau perasaan al qur'an, dan bisa merubah pada
kelebihbaikan adab, sampai dapat menelisik detail ayat dan tidak hanya berpaku pada lafadzh
kebahasaannya7.

Ahli Fiqh Dan Sufi Mengenai Hakikat Lapar


Dalam kajian Sastrawinya, Falsafatul Ju’i dalam bahasa arab berarti Falsafah adalah hakikat,
Ju’i adalah bentuk Mashdar dari kata jaa’a-yajuu’u yang berarti antonim kenyang yakni lapar8.
Al Khuli menjelaskan:
Ketika para Ahli Fiqh menjelaskan mengenai puasa maka akan selalu diberi pengertian sebagai
menahan diri dari makan, minum dsb, disimpulkanlah titik penting puasa yakni lapar dan dan
meninggalkan makan. Setelah diketahui akan hikmah-hikmah puasa, para ahli Fiqh mulai
menjelaskan lapar dan pengaruhnya, bahkan menjadikannya sebagai dalil diwajibkannya puasa,
berbunyi seperti: “Sesungguhnya dalam puasa itu terdapat hikmah menghancurkan syahwat,

5 Al Khuli, Amin, Min Hadyi Al Qur’an Fii Ramadhan (Kairo: al hay’ah almishriyyah al ammah lilkitab, 1987), 29.

6 Ibid., 30.

7 Ibid.

8 Makluf, Lois, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-Adab Wa Al-Ulum (Beirut: Matba’ah Al-Istiqamah, 1973), 110.
3
karena manusia ketika merasa kenyang akan cenderung melakukan syahwat sedangkan lapar
akan mencegahnya dari hawa nafsu.9”
Di sisi lain, para Sufi juga menetapkan rasa lapar sebagai suatu hal yang identik dengan puasa,
bahkan mereka juga membahas keistimewaan rasa lapar, mengaitkan lapar sebagai amalan yang
paling utama dalam Riyadhoh dan Mujahadah jiwa. Selebihnya mereka juga telah membahas
mengenai rasa lapar dalam pembahasan yang lebar serta menetapkan nilai-nilai yang terkandung
dalamnya10.
Para ahli fiqh dan sufi mengutarakan akan bahayanya syahwat perut dalam kehidupan manusia,
sejak awal penciptaan sampi hari ini. Syahwat perut, karenanya Adam dan Hawa dikeluarkan
dari Daar al Qoror menuju Daar ad Dzul wa al Iftiqor, yakni ketika memakan apa yang dilarang
dan menyebabkan terbukanya aurat mereka. Menurutnya hakikat perut ialah tempat tumbuhnya
syahwat dan keburukan, yang diikuti setelahnya kesukaan yang berlebihan atas harta dan
kekayaan, setelahnya akan menimbulkan bermacam kedengkian dan keirian, kemudian
melahirkan penyakit riya’, rasa bangga, berlebih-lebihan dan sombong, lalu menyebabkan
kepada timbulnya rasa dengki, dan permusuhan, yang mana akan mempengaruhi pada perbuatan
yang jelek, munkar, dan kejahatan11. Disimpulkan bahwa setiap kejahatan di dalam hidup ialah
buah dari meremehkan perut dan apa yang terjadi setelahnya dari rasa kenyang dan penuhnya
perut. Rasulullah SAW bersabda:

‫ أفضلكم عند‬.‫ من جوع و عطش‬,‫ ليس من عمل أحب إلى ا‬.‫ و قلة الطعام هي العبادة‬...‫سيد العمال الجوع‬
‫ كأجر‬,‫ فإن الجر في ذلك‬,‫ جاهدوا أنفسكم بالجوع و العطش‬..‫ا منزلة يوم القيامة أطولكم جوعا و تفكرا‬
‫ كلوا في أنصاف البطون تدخلوا ملكوت‬..‫المجاهد في سبيل ا – ل يدخل ملكوت السماء من مل بطنه‬
‫ إن الشيطان ليجرى من ابن آدم‬...‫ لعل قلوبكم ترى ا عزو جل‬,‫ و أعروا أجسادكم‬,‫ أجيعوا أكبادكم‬...‫السماء‬
‫ كيف نديم قرع باب‬: ‫ قيل‬,‫ أديموا قرع باب الجنة يفتح لكم‬.. ‫ فضقوا مجارية بالجوع و العطش‬,‫مجرى الدم‬
‫ بالجوع و الظمأ‬:‫الجنة ؟ قال‬.
Sebaik-baik amal adalah lapar. Sedikit makan merupakan ibadah. Tiada amal yang paling
dicintai Allah selain lapar dan haus. Sebaik-baik derajat bagi Allah pada hari kiamat adalah
9 Al Khuli, Amin, Min Hadyi Al Qur’an Fii Ramadhan, 31.

10 Ibid., 32.

11 Ibid., 33.
4
yang paling lama diantara kamu lapar dan tafakkurnya. Berjihadlah kalian semua dengan lapar
dan haus, sesungguhnya balasan akan itu semua sama halnya dengan berjihad di jalan Allah.
Malaikat langit tidak akan menghampiri orang yang kenyang perutnya. Makanlah sampai
pertengahan porsi perut maka Malaikat akan menghampiri. Jadikanlah perut kamu lapar maka
hatimu akan melihat Allah. Sesungguhnya Syaitan memasuki manusia melewati aliran darah,
maka persempitlah aliran darah dengan lapar dan haus. Ketuklah pintu surga setiap waktu
maka akan dibukakan, dikatakan: bagaimana cara mengetuk pintu surge setiap waktu? Berkata:
dengan rasa lapar dan haus.
Didasari atas hadits dan perkataan-perkataan di atas cenderung berimplikasi pada pemahaman
bahwa laparnya orang Mujtahid ialah Karomah, dan laparnya orang yang Zuhud merupakan
Hikmah12.
Imam al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin juga mengatakan bahwa hendaknya manusia
tidak makan terlalu kenyang karena akan membuat hati menjadi keras, dan juga hendaklah
berniat makan dan minum sedikit jika dilakukan untuk ibadah13.

Falsafatul Ju’i: Amin Al Khuli

Berbeda dengan pendapat para Ahli Sufi dan Fiqh mengenai lapar yang merupakan suatu hal
yang baik yakni sebagai jalan untuk lebih dekat dengan Tuhannya, al Khuli mengemukakan
bahwa lapar pada zaman modern ini malah terkadang bisa jadi membuat manusia lemah, begitu
pula lemahnya berpengaruh pada pelaksanaan ibadah. Realitas hari ini berbicara bahwa manusia
sebagai makhluk hidup memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum memenuhi
kebutuhan lainnya14.

Melihat bagaimana metode tafsir yang ditawarkan oleh al Khuli, ia meneliti dari segi bagaimana
al Qur’an menempatkan kata-kata lapar pada setiap ayat yang mengandungnya, dan juga
menganalisisnya. Ketika dikatakan oleh para sufi dan ahli fiqh bahwa rasa lapar ialah suatu hal
yang baik dan dapat mencegah kejahatan dan keburukan, bagaimana korelasinya dengan ayat-

12 Ibid., 34.

13 Imam al Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin (Jakarta: Putaka Amani, 2007), 101.

14 Ibid., 38.
5
ayat al Qur’an, berikut beberapa hasil analisis penulis dari pemaparan al Khuli terhadap korelasi
makna-makna lapar dalam al Qur’an:

a. Sebagai lawan dari kata Ith’am Qs: 116:4, yakni dalam surat al Quraisy yang
menjelaskan nikmat Ith’am dan Iman sebagai penyelesaian dari sengsaranya juu’ dan
khauf15.
b. Lapar merupakan rasa sakit Qs: 20:118, ayat ini menjelaskan bahwa lapar adalah
sebuah rasa sakit yang mana para ahli surga tidak akan merasakan sakit tersebut,
melainkan merasa aman16.
c. Sebagai bentuk dari adzab yang kejam (launun min al adzab al qosiy), yang
diambil dari penjelasan Qs: 88:7 yang mana menjelaskan dengan gaya mubalaghohnya
bahwa tidak akan ditemukan makanan apapun didalam neraka kecuali pohon berduri,
yang berimplikasi pada adanya rasa lapar sebagai balasan atas perbuatan para penghuni
neraka di dunia17.
d. Balasan bagi orang yang kufur nikmat Qs: 16:112, membahas mengenai balasan
bagi orang yang kufur nikmat yakni merasa lapar. Lapar dalam ayat ini menggunakan
frasa Libasa al Ju’i, libas berarti menyeluruh dan mengelilingi maka rasa sakit lapar ini
dijelaskan dengan mubalaghoh yang berarti rasa sakit yang menyeluruh18.
e. Cobaan untuk mengetahui tingkat kesabaran manusia QS: 2:155, cobaan lapar
dengan diwajibkannya puasa, begitu pula cobaan kurangnya harta dengan diwajibkannya
zakat19.

Dari hasil penganalisisan kata lapar di atas didapatkan pengertian bahwa lapar di dalam al
Qur’an tidak dijelaskan sebagaimana para sufi dan ahli fiqh menjelaskan. Ketika lapar
dipaparkan sebagai sayyidul a’mal, amal yang bisa membukakan pintu surga dan sebagainya, al
Qur’an malah sebaliknya menjelaskan bahwa lapar sebagai balasan yang kejam, cobaan bagi
manusia dan hal-hal yang berkaitan dengan adzab seperti dalam pemaparan di atas.

15 Ibid., 39.

16 Ibid.

17 Ibid., 39–40.

18 Ibid., 40–41.

19 Ibid., 41.
6
Atas telaah kata lapar dalam ayat-ayat al Qur’an, al Khuli menyimpulkan akan pentingnya
melihat pendapat al Qur’an atas sesuatu dan tidak hanya berpatokan pada salah satunya entah
hanya al Qur’an atau Hadits karena keduanya adalah komponen paling penting untuk dijadikan
pedoman bagi umat muslim.

Sedangkan Di dalam kitab Tafsir Al Misbah karya Quraish Shihab dijelaskan bahwa lapar itu
bukan suatu hal yang buruk. Manusia hendaknya tidak perlu merasa khawatir ketika lapar karena
Allah telah memberi potensi pada tubuh manusia, yakni ketika perut kosong akan makanan
masih terdapat lemak, daging, bahkan tulang yang dapat melanjutkan hidup manusia. Juga
dengan lapar manusia akan lebih merasakan nikmatnya makanan, dan agar menjadi terbiasa
dalam mengamalkan slogan islam makan ketika lapar dan bila makan tidak terlalu kenyang20.

Memang bahwasannya Islam telah memberikan aturan untuk tidak makan terlalu kenyang, akan
tetapi tidak juga meninggalkan lapar seperti yang dijelaskan oleh Quraish Shihab. Terdapat pula
beberapa hadits dan ayat al Qur’an yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak untuk
menikmati makanan dengan aturan tanpa berlebih-lebihan. Dalam islam sungguh pemeliharaan
jiwa dan akal sangat ditekankan, menjaga jiwa dengan memakan makanan sehat juga merupakan
implementasi salah satu maqashid al khomsah yakni hifdzu an nafs. Seperti dalam Qs. ‘Abasa:
24 yang berbunyi:

‫فعنليعننظنهر ناهلننعسانن إهعلي ع‬


‫طععاهمهه‬

“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya”.

Dalam Tafsir Maqashidi dijelaskan bahwa maqshud dari ayat ini adalah hifdz an-Nafs atau
menjaga jiwa. Mengapa demikian, yakni dengan memperhatikan makanan dan asupan gizi yang
hendak dimakan akan berimplikasi pada jiwa dan tubuh yang sehat. Pemahman ini selaras
dengan dengan sabda nabi bahwa Allah lebih menyukai seorang mu’min yang kuat dibandingkan
dengan mu’min yang lemah21.

Psikologi: Hakikat Lapar

20 Shihab, Quraish, Tafsir Al Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 437.

21 As sayyid, Muhammad Abdul Basith, Pola Makan Rasulullah, 2011th ed. (Jakarta: Almahira, n.d.), 15–16.
7
Pelopor berdirinya mazhab Ketiga dalam psikologi ialah Abraham Maslow, yang mengemukakan
teori mengenai kepribadian manusia. Hierarki Kebutuhan manusia adalah salah satu teori
masyhur yang dipopulerkan oleh Maslow yang mana terdiri dari Kebutuhan Fisiologis,
Kebutuhan Rasa Aman, Kebutuhan Dicintai dan Disayangi, Kebutuhan Harga Diri, dan
Kebutuhan Aktualisasi diri22.

Berbeda dengan dua mazhab Psikolog sebelumnya23, Abraham Maslow mendapatkan


pemikirannya yang berbuah teori tentang kepribadian manusia melalui penelitian yang mendasar
atas manusia, tidak hanya berpusat pada faktor eksternal yang mempengaruhi tingkah laku
manusia tetapi juga faktor internal yang dimiliki manusia secara kodrati24.

Jelas al Khuli yang telah dikemukakan diatas yakni rasa lapar memiliki implikasi pada kurang
semangatnya manusia dalam beribadah. Dalam penemuan Maslow tingkat paling dasar akan
kebutuhan bagi manusia adalah Kebutuhan Fisiologis, kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan
manusia akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, tidur, dan oksigen 25. Kebutuhan akan
makanan adalah paling dasar bagi manusia, Maslow mengemukakan bahwa manusia tidak akan

22 Goble, Frank G., Mazhab Ketiga (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 71.

23 Freudanisme oleh Sigmun Freud dan Behaviourisme oleh John B. Watson

24 Goble, Frank G., Mazhab Ketiga, 35.

25 Ibid., 71.
8
memiliki keinginan lain ketika kebutuhan makanannya belum terpenuhi, motivasi hidupnya
hanya akan terdorong untuk pemuasan perut seakan-akan manusia hanya hidup untuk sebuah
roti. Berbeda background juga akan mempengaruhi perbedaan motivasi, bagi orang-orang yang
selalu merasa kelaparan maka motivasi pertama seluruh kegiatan yang dilakukan adalah dengan
tujuan untuk memenuhi makanan, tetapi bagi orang yang selalu terjamin kebutuhan makanannya
ia akan mengatakan “Saya lapar” karena timbulnya selera akan makanan, atau ia akan memenuhi
kebutuhan lain terlebih dahulu sebelum kebutuhan makannya. Akan tetapi manusia tidak akan
pernah merasakan rasa puas, ketika kebutuhan makannya terpenuhi maka akan timbul kebutuhan
selanjutnya yang akan dicari untuk dipenuhi26.

Maslow juga mengatakan bahwa individu merupakan satu kesatuan yang berkesinambungan
seperti contoh “jangan mengatakan bahwa perut yang lapar, tetapi katakan kamulah yang merasa
lapar”27. Pemahaman yang didapat atas statement Maslow ialah jika individu merasakan lapar
maka akan berkesinambungan atau berimplikasi pada keseluruhan aspek-aspek yang membentuk
individu tersebut. Seperti contoh penelitian yang dilakukan oleh Keys dan rekan-rekannya pada
tahun 1950 yang menyelidiki pengaruh rasa lapar. Berjumlah 32 orang yang bersedia dijadikan
subjek untuk menjalani eksperimen rasa lapar selama 6 bulan, yang kemudian dari eksperimen
tersebut berpengaruh pada perubahan kepribadian dan menjadikan subjek tersebut mudah
tersinggung, sukar bergaul, dan tidak bisa berkonsentrasi. Dan pada minggu ke-25 makanan
mendominasi pikiran, percakapan, dan mimpi, bahkan laki-laki lebih senang menempelkan
gambar coklat dibandingkan gambar wanita cantik28.

Juga dalam penjelasan ilmiah dikatakan bahwa sebagai manusia harrus menjaga keseimbangan
tubuh dengan mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi. Mengapa demikian, karena
terdapat beberapa implikasi yang terjadi pada kesehatan jika seseorang tidak menjaga tubuhnya
dengan mengonsumsi makanan, seperti kelainan pada esophagus dan penyakit lambung seperti
tukak peptic dan gastritis29.

26 Maslow, Abraham, Motivasi Dan Kepribadian, Keempat. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 1993), 43–
47.

27 Ibid., 25.

28 Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2013), 35–36.

29 Sohrah, “Etika Makan Dan Minum Dalam Pandangan Syari’ah,” Jurnal ad Daulah 5 no.1 (June 2016): 30–31.
9
Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik benang merah, yakni sebaik-baik perkara adalah
pertengahannya. Terlalu banyak makan itu tidak baik, dan terlalu sedikit makan tanpa
memperhatikan asupan-asupan gizi juga tidak baik. Selaras dengan pernyataan al Khuli bahwa
dengan makan yang baik akan berimplikasi pada pelaksanaan ibadah yang teratur juga.

Kesimpulan

Amin Al Khuli merupakan penggagas metode baru dalam penafsiran al Qur’an, yakni dengan
pertama kajian seputar al Qur’an, kedua kajian mengenai al Qur’an sendiri dan juga tafsir
psikologis. Al Khuli mempunyai karya penafsiran tematik salah satunya yakni Min Hadyi al
Qur’an Fii Ramadhan, yang mana di dalamnya terdapat pemaparan al Khuli mengenai Falsafatul
Ju’i.

Pemikiran al Khuli atas hakikat lapar ini dilatarbelakangi oleh pandangan ahli fiqh dan sufi yang
mengagungkan kedudukan lapar. Para ahli fiqh dan Sufi berpendapat bahwa lapar adalah sesuatu
yang baik, bagi para ahli fiqh lapar merupakan hikmah puasa dan para Sufi berpendapat bahwa
lapar adalah riyadhoh untuk lebih dekat pada tuhan. Mereka juga mengemukakan banyak reward
bagi orang yang lapar seperti sebaik-baik amal adalah lapar, Sedikit makan merupakan ibadah,
Tiada amal yang paling dicintai Allah selain lapar dan haus, Sebaik-baik derajat bagi Allah pada
hari kiamat adalah yang paling lama diantara kamu lapar dan tafakkurnya.

Al Khuli mengkritik pernyataan tersebut dengan menyingkap pengulasan kata lapar dalam al
Qur’an dan menemukan bahwa al Qur’an selalu menempatkan kata Ju’i dalam pengertian
konteks yang buruk seperti lapar sebagai rasa sakit, cobaan, bahkan sebagai bentuk adzab. Al
Khuli juga menyimpulkan akan pentingnya melihat pendapat al Qur’an atas sesuatu dan tidak
hanya berpatokan pada salah satunya entah hanya al Qur’an atau Hadits karena keduanya adalah
komponen paling penting untuk dijadikan pedoman bagi umat muslim. Bagi al Khuli pendapat
para ahli Fiqh dan sufi juga penting, karena dengan disebutkannya keuntungan-keuntungan lapar
dapat menjadi motivasi bagi orang-orang yang berpuasa juga bagi orang-orang yang kekurangan.

Namun hendaknya diingat bahwa lapar bukan satu-satunya ibadah yang bisa dilakukan untuk
mendekatkan diri, karena terkadang lapar pun berimplikasi pada fisik seseorang. Seperti dalam

10
salah satu metode tafsir yang dikemukakan al Khuli yakni Tafsir Psikologis, dalam Ilmu
Psikologis dipaparkan bahwa manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan pemenuhan
kebutuhan fisiologis pada dasarnya. Kebutuhan fisiologis meliputi makanan, minuman, tidur dan
lain sebagainya, yang mana ketika kebutuhan fisiologis tak terpenuhi maka akan berpengaruh
pada perubahan seseorang entah dalam segi kejiwaannya maupun fisiknya.

Daftar Pustaka

Al Khuli, Amin. Min Hadyi Al Qur’an Fii Ramadhan. Kairo: al hay’ah almishriyyah al ammah
lilkitab, 1987.

As sayyid, Muhammad Abdul Basith. Pola Makan Rasulullah. 2011th ed. Jakarta: Almahira, n.d.

Goble, Frank G. Mazhab Ketiga. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Imam al Ghazali. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Jakarta: Putaka Amani, 2007.

Makluf, Lois. Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-Adab Wa Al-Ulum. Beirut: Matba’ah Al-Istiqamah,


1973.

Maslow, Abraham. Motivasi Dan Kepribadian. Keempat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya


Offset, 1993.

Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2013.

Ramadhani, Wali. “Amin Al Khuli Dan Metode Tafsir Sastrawi Atas Al Qur’an.” Jurnal At
Tibyan II No.1 (June 2017).

Shihab, Quraish. Tafsir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

Sohrah. “Etika Makan Dan Minum Dalam Pandangan Syari’ah.” Jurnal ad Daulah 5 no.1 (June
2016).

11

Anda mungkin juga menyukai