Anda di halaman 1dari 8

Nama : Chindya Lucky Pratiwi

NIM : 05061281722024

White Spot Syndrome Virus


A. Sejarah Penyebaran WSSV
WSSV pertama kali menyerang sentra budidaya tambak udang di Taiwan yang
menyebabkan kematian massal pada udang Penaeus japonicus tahun 1992, kemudian
menyebar melalui udang impor ke selatan Jepang, Thailand, Indonesia dan pantai India tahun
1993 (Chou, 1995). WSSV mulai menyerang Amerika Selatan yaitu di Ekuador dan Peru pada
akhir tahun 1998 dan menyebabkan kegagalan panen dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
mencapai 100% (McClennen, 2004).
Mayoritas arthropoda seperti kepiting liar Portunus pelagicus dan udang renik
kemungkinan menjadi karier dan dapat mentransmisikan virus ke sistem budidaya udang
melalui saluran inlet (Supamattya et al., 1996) dan proses kanibalisme udang yang baru mati
lewat air yang terkontaminasi (Chang et al., 1996).
WSSV merupakan virus yang memiliki genom double-stranded DNA (dsDNA) yang
sangat berbahaya dan diketahui dapat menginfeksi udang serta krustase lain di Asia Timur pada
tahun 1992
WSSV adalah virus yang menyerang sistem organ dari krustasea yang menyebabkan
bercak putih pada permukaan eksternal udang hingga menyebabkan kerugian berupa kematian
yang tinggi (mortalitas) mencapai 100%. Udang yang terserang penyakit ini dalam waktu
singkat dapat mengalami kematian yang sangat tinggi. WSSV merupakan virus yang
disebabkan oleh virus SEMBV dan termasuk golongan virus berbahan genetik
DNA (Dioxyribonucleic Acid) berbentuk batang (Bacilliform). Awal dari terjangkitnya
penyakit ini biasanya didahului oleh fitoplankton yang mati secara massal, air tambak tiba-tiba
berubah warna dan kekentalan air tambak meingkat (Yanto, 2006).
B. Klasifikasi Dan Morfologi
WSSV termasuk dalam family Nimaviridae genus Whispovirus (Vlak et al., 2002).
WSSV mempunyai bentuk lonjong dan berdiameter antara 120–150 nm, panjang 270–190 nm,
mempunyai tiga lapis selaput (envelope) yang melindungi inti (nucleocapsid ) (Sunarto, 2003).
Penyakit white spot adalah salah satu jenis penyakit udang yang disebabkan oleh virus
yang tergolong dalam jenis White Spot Syndrome Baculovirus Complex (WSSV). Klasifikasi
virus jenis ini adalah sebagai berikut :
- Group: Group I (dsDNA)
- Family: Nimaviridae
- Genus: Whispovirus
- Species: White spot Syndrome Baculovirus Complex

C. Inang WSSV
WSSV adalah virus yang menyerang sistem organ dari krustasea. Beberapa krustesea
yang sering diserang WSSV diantaranya Penaeus monodon, P. indicus, P. japonicus, P.
chinensis, P. marguensis, P. aztecus, P. stylirostris, P. vannamei, P. duorarum, P.setiferus, P.
penicillatus, P. semisulcatus, P. curvirostris, Metapenaeus ensis, udang air tawar
(Macrobrachium idella, M lamerrae), kepiting air tawar (Paratelphusa hydrodomuos, P.
pulvinata).

D. Faktor Penyebab Atau Pendukung WSSV


Perubahan suhu air, kesadahan, salinitas, dan penurunan kadar oksigen (< 2 ppm) secara
cepat diduga kuat dapat memicu outbreak infeksi subklinis WSSV. Muncuknya penyakit ini
juga dapat dipicu oleh blooming plankton yang kemudian mati mendadak, fluktuasi pH harian
besar, suhu yang rendah, hujan mendadak, dan pengelolaan pakan yang kurang baik.

E. Gejala Klinis WSSV


Udang yang terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan tingkah laku yaitu menurunnya
aktivitas berenang, kurangnya keseimbangan dalam berenang, dan tidak terarah. Selain itu
udang lebih sering berenang bergerombol di tepi tambak dan berenang ke permukaan. Pada
fase akut terdapat bercak-bercak putih pada karapas dengan diameter 0.5-3.0 mm tetapi pada
induk udang warnanya menjadi merah (Mahardika et al., 2004 dalam Yanto, 2006), dan bercak
putih ini pertama kali muncul pada cephalothorak yaitu segmen ke 5 dan ke 6 dari abdominal
dan terakhir lalu menyebar ke seluruh kutikula tubuhnya (Wang et al., 1997a dalam Yanto,
2006).
Gambar cephalothorak pada udang

Gejala lain yang terlihat pada udang yang terserang WSSV adalah usus udang terlihat
berisi kotoran yang terputus-putus, jumlah udang yang mati meningkat dari hari ke hari, 5-10%
tubuh udang berwarna kusam, kemerahan dengan antena patah, usus kosong dan seringkali
permukaan tubuh ditempeli parasit (Zoothamnium sp : Vorticella sp, Ligmophora
sp, dll). Apabila sudah parah bercak putih tersebut menyebar sampai keseluruh permukaan
tubuh. Kematian secara massal akan terjadi pada hari ke 3-5 dan mencapai 100% dalam waktu
satu minggu.
Bila udang yang terserang WSSV tetapi belum terdapat tanda bintik putih, dikategorikan pada
kronis, dimana infeksi yang dialami oleh jaringan rendah sehingga bintik putih dan kemerahan
pada udang tidak tampak. Organ-organ target yang diserang udang fase kronis akan terjadi
lebih lama yaitu 15-28 hari yang dapat dijadikan sebagai indikator serangan yaitu sel-sel
insang, hepatopankreas dan usus. Sedangkan organ lain yang diserang adalah lambung, sel
epitel, subkutikula, organ lymphoid, antennal gland dan hemocyte (Anonim, 2009).

Gambar bintik putih pada bagian cephalothorak


F. Transmisi virus WSSV
Virus ini mudah sekali menyebar baik secara vertikal maupun horizontal, artinya virus
ini dapat menular melalui induk ke anak maupun kontak langsung dengan udang sakit, air
maupun peralatan bekas pakai.
Penularan juga dapat melalui hewan pembawa (carrier) seperti : kepiting, rajungan,
rebon, jambret, wideng dan udang-udang liar lainnya yang masuk dalam sistem tambak selama
ganti air. Virus ini mudah sekali menyebar ke udang lain melalui proses saling makan
(kanibalisme). Udang yang sakit akan dimakan oleh udang yang sehat, sehingga udang yang
sehat akan tertular. WSSV juga dapat menular dari satu tambak ke tambak lain melalui
burung. Udang yang sakit berenang di permukaan lalu dimakan oleh burung, dan sisanya jatuh
ke tambak lain (Yanto, 2006).

G. Metode Diagnosa
Deteksi keberadaan virus ini paling baik dilakukan pada stadium akhir post larva,
juvenil, dan dewasa. Probabilitasnya makin meningkat dengan adanya kondisi stress (seperti
pemijahan, moulting, perubahan kualitas air, dan blooming plankton). Diagnosa awal dapat
ditetapkandengan melihat gejala klinis bintik putih. Selian itu dapat
menggunakan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR).
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik uji terhadap virus melalui hasil
reaksi berantai suatu primer dari rangkaian yang menggunakan enzim polymerase, sehingga
menjadi amplifikasi DNA secara in vitro (Sunarto, 2003) . Teknik PCR menurut Wuryastuti
(2002), terdiri dari tiga reaksi yaitu:
1. Denaturasi DNA, yaitu pemecahan DNA target dari untai ganda DNA (dsDNA)
menjadi dua untai tunggal yang identik. Proses denaturasi dapat secara mudah dicapai
dengan pemanasan secara cepat yang diikuti pendinginan. Untai ganda DNA secara
umum akan mengalami denaturasi pada suhu sekitar 94oC. Waktu denaturasi yang baik
untuk setiap putaran berkisar antara 30 detik sampai 2 menit. Waktu denaturasi yang
optimal untuk beberapa macam cetakan adalah 1 menit.

2. Annealing, yaitu perlekatan primer pada DNA untai tunggal. Temperatur harus
diturunkan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya perlekatan kembali antara
untai tunggal DNA. Suhu dan waktu berperan penting dalam menentukan spesifisitas
dan sensitivitas dari reaksi. Primerakan menempel pada pangkal dan ujung dari masing-
masing DNA untai tunggal yang berkomplementer pada suhu 60oC, sehingga mengapit
daerah tertentu dari rangkaian DNA target. Waktu yang umumnya digunakan dalam
proses annealing berkisar 0,5–2 menit.

3. Extention, yaitu pemanjangan primer dengan bantuan enzim Taq polymerase


menggunakan rantai komplementer sebagai template dan deoksiribonukleotida sebagai
bahan utama untuk membentuk untai DNA yang lengkap. Kisaran temperatur untuk
proses perpanjangan primer adalah 75-80oC, sedangkan temperatur optimalnya adalah
72oC, sehingga pada akhir proses akan terbentuk 2 buah DNA untai tunggal baru yang
komplemen terhadap urutan DNA target.

H. Pengobatan
WSSV sebenarnya bukanlah penyakit baru yang “misterius” dan datangnya pun tidak
mendadak menyerang secara tiba – tiba. Penyakit ini sudah lama dideteksi, namun hingga
sekarang memang belum ada obat yang efektif untuk mengatasi penyakit ini. Kegiatan yang
dapat dilakukan hanyalah pencegahan dan pengendalian.

I. Pencegahan dan Pengendalian WSSV


Strategi pengelolaan untuk mengendalikan serangan virus pada budidaya udang di
tambak harus dilakukan melalui tindakan-tindakan berikut.
1. Persiapan Wadah / Tambak
Persiapan tambak yang baik merupakan hal utama yang harus dilakukan sebagai upaya
untuk mengurangi resiko meledaknya penyakit. Pengolahan tambak yang baik adalah prasyarat
utama dalam mengurangi faktor-faktor resiko yang dapat secara signifikan mengurangi resiko
peledakan serangan penyakit oleh patogen mematikan. Termasuk yang terpenting adalah :
¨ Membuang/mengangkat semua lumpur (sludge) yang terdapat pada dasar tambak, khususnya
bila tambak menerapkan padat tebar tinggi (hingga 10 ekor/m). Lumpur yang berhasil
dikeluarkan harus dibuang jauh dari lokasi pertambakan, hingga tidak dapat memasuki
lingkungan pertambakan lagi atau menyebabkan permasalah lingkungan lainnya.
Pengangkatan lumpur terutama dimaksudkan untuk menghilangkan tumpukan bahan organik
dari siklus budidaya sebelumnya, terutama pada tambak sistem semi intensif dan intensif.
¨ Pembalikan dasar tambak yang ditujukan untuk memaparkan lapisan tanah hitam di dasar
tambak pada sinar matahari dan oksigen, hal ini dilakukan saat dasar tambak masih basah agar
bahan organik pada dasar tambak teroksidasi. Setelah dasar tambak dibalik, keringkan tambak
selama 5 – 7 hari hingga warna hitam pada tanah menghilang. Jika tambak memiliki sejarah
serangan penyakit, sebaiknya proses pembalikan tanah ini dilakukan dua kali sebelum tambak
diisi air untuk proses budidaya berikutnya. Air harus disaring menggunakan filter yang
memiliki 60 lubang/inci persegi (ukuran mesh/lubang saringan sekitar 1 mm).
¨ Pengapuran dasar tambak dimaksudkan untuk mengoptimalkan pH dan kondisi alkalinitas
tanah dan air tambak. Jenis dan jumlah kapur yang akan ditambahkan sepenuhnya bergantung
pada pH tanah dan air tambak (harus dicek sebelum melakukan pengapuran dasar tambak).
Penting untuk diperhatikan, bila pengapuran dilakukan pada tanah yang pH > 5, maka hal ini
mungkin akan menaikkan pH dalam waktu yang cukup lama. Jika pH tetap > 5 , maka
pemberian kapur dolomit harus diaplikasikan hingga pH 5. Catatan: jumlah kapur yang
diberikan disesuaikan hingga pH tanah stabil.
2. Persiapan Air dan Pengisian Tambak
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi faktor-faktor resiko yang
terkait dengan persiapan air dan pengisian tambak. Dalam persiapan air, sebaiknya dilakukan
penampungan air dalam suatu reservoir sebelum dialirkan ke dalam tambak. Air dalam
reservoir dapat didisinfeksi menggunakan 5-10 ppm hypochlorite yang kemudian dinetralisasi
dengan aerasi yang kuat dan 5 ppm Na2SO4 lalu diberikan EDTA 5 ppm. Air dalam reservoir
dibiarkan selama 14 hari sebelum dialirkan/dipompa ke dalam tambak, agar fitoplankton dapat
tumbuh dengan baik. Jika tidak terdapat reservoir, maka air harus dialirkan melalui tandon
yang telah dilengkapi dengan filter fisik atau biologis ke dalam tambak dan dibiarkan selama
14 hari. Selama periode itu, dapat diberikan pupuk urea atau superphosphate dengan dosis 30-
50 Kg/Ha, diberikan sebanyak 3 – 4 kali untuk memacu pertumbuhan fitoplakton. Warna air
yang telah ditumbuhi oleh fitoplankton dengan kepadatan yang baik adalah hijau. Jika warna
hijau ini belum terjadi, maka pemupukan harus tetap dilakukan, bahkan saat penebaran benur
telah dilakukan. Patut dicatat, saat air dialirkan gunakan saringan untuk mencegah
masuknya carrierpenyakit atau kompetitor/predator seperti kepiting, ikan liar atau zooplankton
lainnya.

3. Seleksi dan Penyediaan (stocking) Benih


Pada tahap ini, beberapa langkah kongkrit dapat dilakukan, meliputi :
¨ Benur sebelum dibeli harus dicek di hatchery untuk hal-hal seperti keseragaman ukuran ( >
16 mm ) dan warna post-larvae, aktif berenang melawan arus air dalam tangki. Jika ada
kematian, kelainan ukuran, warna dan tidak aktif, benur jangan dibeli.
¨ Lakukan test keberadaan virus WSSV pada 59 ekor PL yang diseleksi secara acak
menggunakan two-step PCR. Jika sampel menunjukkan hasil negatif, maka PL dapat dibeli
dan langsung diangkut ke lokasi pembesaran/stok budidaya.
¨ Transportasi ke lokasi penampungan harus kurang dari 6 jam, dengan kepadatan 1000-2000
ekor/liter (PL15) dan 500-1000 ekor/liter (PL20).

¨ Pada lokasi penampungan/stok, PL yang lemah atau mati harus dibuang. Kemudian secara
hati-hati memindahkan PL ke dalam tangki yang berisi air sekitar 500 liter. Lalu lakukan uji
formalin terhadap PL, untuk PL15 dan PL20 gunakan 100 ppm formalin selama 30 menit,
sedang untuk juwana (juvenil) gunakan 150 ppm formalin selama 15 menit. Selama proses uji
formalin, sangat dianjurkan untuk memberi oksigen yang cukup dengan menggunakan tabung
oksigen yang dialirkan ke dalam bak penampungan. Setelah proses formalin selesai, ke dalam
bak penampungan dialirkan aerasi yang kuat untuk mengumpulkan PL yang mati atau lemah
di bagian tengah bak. PL yang normal dipindahkan ke bak lain yang berisi air bersih dan
teraerasi dengan baik. Jangan lakukan test formalin jika ada udang yang mengalami ganti kulit
(molting).
¨ Selama proses pengumpulan/stocking benih, secara perlahan benih diaklimatisasi dengan
kondisi air tambak, dengan secara bertahap menambahkan air tambak ke dalam bak
penampungan.
¨ Seluruh proses seleksi benih harus dilakukan 2-3 hari sebelum penebaran benih di tambak.

4. Pengelolaan Kualitas Air


Manajemen kualitas air tambak diketahui mampu secara signifikan menurunkan resiko
peledakan penyakit pada budidaya udang. Langkah-langkah pengelolaan kualitas air, meliputi:
¨ Penggantian air tambak secara berkala untuk menjaga kualitas air
¨ Filtrasi air tambak terbukti mampu mengurangi terjadinya peledakan serangan penyakit.
Gunakan saringan pada pintu masuk air, dengan ukuran mata saringan sekitar 1 mm.
¨ Gunakan aerator yang dapat mensuplai oksigen yang cukup pada air tambak.
¨ Hindari salinitas tinggi (> 30 ppt) dan pH air di atas 8,5 yang dapat menyebabkan tingginya
resiko peledakan serangan penyakit WSSV. pH air di atas 8,5 dapat menjadi penyebab
meningkatnya daya racun (toksisitas) ammonia akibat udang yang mengalami stres berat.
¨ Air tambak yang bening/jernih bukan pertanda baik, warna air harus dijaga tetap hijau untuk
menjamin produktivitas tambak yang tinggi.
¨ Air tambak yang jernih dengan pertumbuhan alga pada dasar tambak (benthic) pertanda
produktivitas yang rendah. Oleh karena itu air dalam tambak harus dijaga dan kedalaman pada
bagian terdangkal dari tambak minimal 80 cm.
Idealnya, kualitas dan pengamatan air tambak harus dilakukan sebagai berikut.
Parameter Waktu Pengamatan Nilai Acuan

Pagi hari (8-10 am) dan


pH 7.5 - 8.5
Sore hari (4-5 pm)

Kecerahan Air/ transparansi Pagi hari (8-10 am) 30 - 40 cm

Warna Air Pagi hari ( 8 – 10 am) Berwarna hijau

Pagi hari (8-10 am) dan


Suhu Air 28 - 32 c
Sore hari (4-5 pm)

Sekali seminggu pada bulan


Alkalinitas / Kesadahan pertama penebaran benih. 80 – 120 ppm
Selanjutnya tergantung kebutuhan

5. Pengelolaan Dasar Tambak


Terdapat hubungan antara padat penebaran dan pemberian pakan yang tinggi dengan
buruknya kondisi dasar tambak. Hal ini terutama terkait dengan keberadaan sedimen yang
berwarna hitam dan bersifat toksik yang dapat menyebabkan menurunnya tingkat kesehatan
udang dan menurunnya produksi. Oleh karena itu, sedimen pada dasar tambak harus diperiksa
setiap minggu, khususnya pada tambak dengan padat tebar dan frekuensi pemberian pakan
tinggi, terutama pada lokasi-lokasi makan udang (feeding area atau juga dikenal dengan
istilah trench). Keberadaan sedimen berwarna hitam, alga bentos dan bau tidak sedap harus
diperhatikan. Bila terdapat sedimen berwarna hitam dengan bau busuk, maka harus dilakukan
penggantian air tambak dan mengurangi jumlah pakan yang diberikan. Selama proses
penggantian air, feeding area dimana sedimen berwarna hitam dan berbau busuk secara
perlahan dan hati-hati diagitasi/diaduk untuk menghilangkan sedimen hitam tersebut dari dasar
tambak yang akan memudahkan dalam proses drainage ke luar dari tambak.

6. Pengelolaan Pakan
Tata cara pemberian pakan yang baik merupakan hal terpenting dalam menjaga kualitas
air dan dasar tambak serta lingkungan tambak yang sehat secara keseluruhan. Pemberian pelet
harus dilakukan pada jadwal yang telah ditetapkan. Nampan pakan (feeding tray) atau feeding
area harus diperkenalkan kepada udang paling lambat seminggu setelah ditebar. Feeding tray
dapat digunakan sebagai sarana untuk memantau kondisi udang selama 1 bulan pertama sejak
ditebar. Jadwal pemberian pakan pelet bergantung pada berat badan udang dan diprediksi dari
sisa pakan yang tersisa pada feeding tray yang diberikan sebelumnya. Petunjuk pada bungkus
pakan yang biasanya diberikan oleh pabrik pembuat pakan dapat digunakan sebagai acuan
dalam pemberian pakan. Setelah bulan pertama penebaran, ukuran pelet harus berubah. Jika
terdapat perbedaan ukuran pada udang, maka dua macam ukuran pelet dapat diberikan paling
tidak selama 7 hari. Feeding area harus diganti setiap 10 hari tergantung pada kondisi dasar
tambak, agar udang dapat menyantap makanannya di tempat yang bersih.

7. Penggunaan Bahan Kimia


Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa penggunaan berbagai jenis bahan kimia
tidak memberikan manfaat dalam pemberantasan penyakit udang di tambak. Fakta-fakta
membuktikan bahwa kualitas udang yang baik adalah udang yang dibudidaya dengan
penggunaan bahan kimia yang sangat minimal. Bahan-bahan kimia tersebut hanya kalsium
hypochlorite (Bleach) sebagai disinfektan, kapur, pupuk, zeolit yang senyawa terkait yang
tidak menyebabkan penumpukan dalam tubuh udang, dan hanya digunakan untuk memperbaiki
kualitas tambak dan kesehatan udang. Dengan pola penggunaan bahan kimia minimal, tanpa
penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia yang telah dilarang untuk digunakan, selain
akan menghasilkan kualitas udang yang prima juga mengurangi biaya untuk pembesaran udang
yang jelas akan memudahkan pemasaran udang yang dihasilkan baik di pasar lokal maupun
pasar ekspor.
Hal – hal yang dilakukan apabila terjadi outbrake :
a. Tambak yang terinfeksi segara ditreatmen dengan 30 ppm klorin untuk membunuh udang
dan berbagai hewan karier.
b. Udang dan hewan yang mati segera dikubur atau dibakar
c. air dari tambak yang terinfeksi didiamkan selama 4 hari sebelum dibuang
d. kalau seandainya terdapat petakan tambak yang berdekatan yang tidak terinfeksi dan
memiliki saluran inlet yang sama dengan tambak yang terinfeksi, maka jangan dilakukan
penggantian air minimal 4 hari.

Anda mungkin juga menyukai