Anda di halaman 1dari 7

Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta (STFTJ)

Nama Anggota : Asina Hutapea, Jimmy Christian, Regen Hontong, Septhian Tofler
Sijabat
Semester : 6 (enam)
Mata Kuliah : Persiapan PKM II
Dosen Pengampu : Mulyadi, D.Min. dan David Sihite M.A.
Tugas : Presentasi Kelompok 8
Model Kepemimpinan Transformasional

Pendahuluan

Penggalan kalimat dari sebuah lagu, “bukalah pintunya, lihat di dalamnya, gereja
adalah orangnya”, memberikan informasi bahwa gereja, yang di dalamnya terdapat
banyak orang, memiliki banyak pandangan yang berasal dari orang-orang tersebut.
Banyaknya pandangan tersebut memberikan baik hal positif dan negatif bagi gereja. Hal
positif yang dapat diambil dari beragamnya pandangan tersebut adalah gereja dapat
memiliki banyak pilihan ide saat akan bergerak melakukan programnya, atau
menyelesaikan sebuah masalah di dalam sebuah gereja dan contoh lainnya. Sementara
dampak negatif dari beragamnya pandangan tersebut ialah dengan dipilihnya sebuah
ide, ada kemungkinan beberapa anggota jemaat tidak akan bergerak karena tidak sesuai
dengan apa yang dianggapnya baik dan efektif untuk dilakukan. Contoh lainnya gereja
tidak bergerak menjalankan program karena kesulitan memilih ide yang akan
digunakan.

Banyak model kepemimpinan yang dapat digunakan di dalam gereja. Salah


satunya adalah model kepemimpinan transformasional. Makalah ini berusaha untuk
memaparkan mengenai kepemimpinan transformasional dan bagaimana model
tersebut dapat diterapkan di dalam gereja, sehingga gereja dapat bergerak sesuai
dengan tujuan sebuah gereja.

Model Kepemimpinan Transformasional

Bernard Bass mengatakan bahwa pemimpin yang transformasional adalah


pemimpin yang dapat memotivasi pengikutnya untuk melakukan lebih dari apa yang
diminta sebelumnya. Bass menyatakan bahwa para pengikut kepemimpinan gaya
transformasional memiliki komitmen yang besar. Selain itu, pemimpin transformasional
memberdayakan pengikut dan memperhatikan kebutuhan individu dan pengembangan
pribadi mereka, membantu pengikut untuk mengembangkan potensi kepemimpinan
mereka sendiri (Bass dan Riggio 2006, 4).

Kepemimpinan transformasional dalam beberapa hal merupakan perluasan dari


kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional menekankan transaksi atau
pertukaran yang terjadi di antara para pemimpin, kolega, dan pengikut. Pertukaran ini
didasarkan pada pemimpin yang berdiskusi dengan orang lain tentang apa yang
diperlukan dan menentukan kondisi serta penghargaan yang akan diterima orang lain
jika mereka memenuhi persyaratan itu. Kepemimpinan transformasional melibatkan
pengikut yang menginspirasi untuk berkomitmen pada visi dan tujuan bersama untuk
organisasi atau unit, menantang mereka untuk menjadi pemecah masalah yang inovatif,
dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan pengikut melalui pelatihan serta
pembinaan yang diberikan (Bass dan Riggio 2006, 4). Dengan melibatkan anggota
dalam penentuan usaha, semua merasa itu menjadi usaha bersama. Akan tetapi fungsi
tersebut tidak akan terlaksana tanpa adanya gaya kepemimpinan yang tepat. Hendriks
menuliskan 2 gaya, yaitu otoriter dan kooperatif. Otoriter menekankan struktur yang
hierarkis, kooperatif kedekatan dan struktur yang datar. Dampaknya, otoriter akan
menyebabkan anggotanya memiliki anggapan tidak pernah dihargai karena keputusan
selalu datang dari pemimpin, sedangkan kooperatif membuat anggotanya merasa
dihargai dan dijadikan sebagai subjek (Hendriks 2002, 73-77).
Dalam menerapkan model kepemimpinan transformasional, ada 4 kompinen
inti, menurut Bass, yang perlu diperhatikan. Pertama adalah Idealized Influence.
Pemimpin transformasional berprilaku sebagaimana yang ia harapkan dilakukan oleh
rekan sekerjanya. Dengan demikian ada dua yang diidealkan, yakni perilaku pemimpin
itu sendiri dan unsur-unsur yang dilekatkan pada pemimpin oleh pengikut/rekannya
(Bass dan Riggio 2006, 6).

Komponen kedua ialah Inspirational Motivation. Pemimpin yang


transformasional berpilaku dengan memotivasi dan menginspirasi orang-orang di
sekitarnya. Dengan menampilkan antusiasme dan optimisme agar semangat tim
terangsang. Pemimpin menuntun orang-orang di sekitarnya untuk membayangkan
hasil dari apa yang akan/sedang dikerjakan. Pemimpin menciptakan harapan yang
dikomunikasikan visi bersama, dengan kata lain pemimpin mengartikulasikan visi masa
depan bersama dengan meyakinkan (Bass dan Riggio 2006, 6).
Komponen ketiga ialah Intelectual Stimulation. Pemimpin transformasional
merangsang upaya pengikut mereka untuk menjadi inovatif dan kreatif dengan
mempertanyakan asumsi, membingkai ulang masalah, dan mendekati masalah lama
dengan cara baru. Kreativitas dianjurkan dalam hal ini. Tidak ada kritik publik atas
kesalahan anggota individu dalam menyampaikan pendapatnya. Ide-ide baru dan solusi
masalah kreatif dikumpulkan dari pengikut, yang termasuk dalam proses mengatasi
masalah dan menemukan solusi. Pemimpin didorong untuk menarik pengikut melihat
masalah dari berbagai sudut pandang masing-masing orang yang mungkin berbeda
(Bass dan Riggio 2006, 7).

Komponen keempat ialah Individualized Consideration. Pemimpin


transformasional memberi perhatian khusus pada kebutuhan setiap pengikut individu
untuk pencapaian dan pertumbuhan dengan bertindak sebagai pelatih atau mentor.
Pengikut dikembangkan pada potensi yang dimilikinya. Pertimbangan individual
dipraktikkan ketika peluang pembelajaran baru diciptakan bersama dengan iklim yang
mendukung. Perbedaan individu dalam hal kebutuhan dan keinginan diamati. Perilaku
pemimpin menunjukkan penerimaan perbedaan individu –misalnya seorang pengikut
diberikan porsi yang berbeda dengan yang lainnya, atau dengan tugas yang berbeda.
Pemimpin yang memperhatikan secara individu mendengarkan dengan efektif.
Pemimpin mendelegasikan tugas sebagai sarana untuk mengembangkan pengikut.
Tugas yang didelegasikan dipantau untuk melihat apakah pengikut membutuhkan
arahan atau dukungan tambahan dan untuk menilai kemajuannya (Bass dan Riggio
2006, 7).

Selain itu Kevin G Ford juga memberikan gambaran beberapa aspek yang dapat
menjadi indikator sebagai sebuah dorongan bagi kita untuk mengadakan tranformasi
dalam sebuah gereja, ada tiga aspek yang diterangkan oleh Ford, yaitu. Pertama harus
fokus pada permasalahan, kedua harus bisa melihat sisi yang terkecil, dan ketiga harus
bisa mengadakan teknis yang sesuai untuk menyelesaikan permasalahan. Ketiga hal
inilah ynag dia nilai sebagai dasar bagi kita untuk melakukan sebuah transformasi di
dalam gereja (Ford 2008, 19).

Kami melihat ketiga hal ini sebagai sesuatu yang sangat penting untuk
membantu kita dalam mengadakan sebuah pembaharuan dalam gereja. Sebagai seorang
, pelayan sekaligus pemimpin gereja, sudah menjadi salah satu tugas kita untuk
memberikan pembaharuan dalam gereja. Tiga aspek dari Ford ini sangat relevan untuk
dilakukan oleh pemimpin gereja, yaitu seorang pemimpin gereja harus bisa melihat
permasalahan gereja tersebut, sehingga dia tau solusi apa yang kemudian harus dia
berikan terhadap permasalahan gereja tersebut.

Kevin G Ford juga menekankan bahwa kita harus mampu memberikan solusi
terhadap permasalahan yang dihadapi gereja, bukan malah meruba gereja tersebut
secara menyeluruh. Dalam artian kita tidak harus merubah gereja tersebut secara
menyeluruh, tetapi kita cukup menyelesaikan atau mengubah apa yang kurang dalam
gereja tersebut, dengan kata lain kita memberikan solusi terhadap permasalahan yang
sedang dihadapi gereja (Ford 2008, 20).

Kekurangan Model Kepemimpinan Transformasional

Dennis Tourish dalam bukunya yang berjudul The Dark Side of Transformational
Leadership memaparkan pendapatnya mengenai kekurangan atau kelemahan dari
Model Kepemimpinan Transformasional. Dennis menjabarkannya dalam 5 sifat
kepemimpinan transformasional yaitu, Charismatic Leadership, A Compelling Vision,
Intellectual Stimulation, Individual Consideration, dan Promotion of a Common Culture.
(Tourish 2013, 30). Ia menyatakan kelima sifat tersebut merupakan kelemahan dari
gaya kepemimpinan transformasional jika dilakukan secara berlebihan.

Pertama, Charismatic Leadership merupakan salah satu sifat dari gaya


kepemimpinan transformatif yang menggambarkan sesosok pemimpin penuh karisma.
Dalam hal ini, sang pemimpin dipandang oleh pengikutnya sebagai sosok yang “semi-
ilahi” dan dianggap paling mengetahui segala hal. Pemimpin yang demikian juga pada
akhirnya memiliki otoritas tertinggi dalam sebuah komunitas atau organisasi dan hal
tersebut memampukan dirinya untuk mendapatkan hak istimewa di dalamnya (Tourish
2013, 30).

Kedua, A Compelling Vision adalah sifat yang memampukan pemimpin


transformatif memberikan tawaran-tawaran menarik terhadap pengikutnya. Pemimpin
dalam hal ini juga menyatakan bahwa pengikutnya merupakan orang-orang yang
menyetujui visi yang ia tawarkan. Tak hanya itu, visi dikomunikasikan oleh pemimipin
tidak secara langsung, melaikan dari atas ke bawah. Dalam sifat ini, para pengikut yang
berusaha membelot dari visi bersama akan dikenakan hukuman, baik dalam bentuk
hukuman sosial (dikucilkan/diusir) atau membayar kesalahan mereka dalam bentuk
yang disepakati bersama (Tourish 2013, 30).

Ketiga, Intellectual Stimulation merupakan sifat kepemimpinan transformatif


yang menggambarkan seorang pemimpin berkemampuan memberikan dorongan
intelektual kepada para pengikutnya. Hal ini juga bisa disalahgunakan oleh seorang
pemimpin, karena pemimpin transformasional mampu menutupi beberapa hal yang
dianggap tidak perlu diketahui oleh pengikutnya. Hal tersebut dikarenakan pemimpin
transformasional telah dipercaya sebagai pemegang visi bagi komunitas atau organisasi
yang ia pimpin (Tourish 2013, 30).

Keempat, Individual Consideration adalah salah satu sifat dari kepemimpinan


transformatif yang memampukan seorang pemimpin mengambil keputusan secara
sepihak. Hal tersebut terjadi karena seluruh pengikutnya telah mempercayai pemimpin
mereka. Akan tetapi dampaknya bagi pengikutnya yaitu, pengikut akan mendapatkan
hadiah atau penghargaan ketika menyetujui keputusan pimpinannya. Sebaliknya, akan
menjadi sebuah masalah bagi pengikut ketika berlawanan dengan pemimpinnya. Maka
demikian visi dari pemimpin dalam hal ini akan selalu bertahan karena sejak awal
dianggap telah sesuai dengan kebutuhan pengikutnya. Selain itu pengikut akan terus
dikuatkan dengan kesejahteraan yang dijanjikan oleh visi dari sang pemimpin (Tourish
2013, 30).

Kelima, Promotion of a Common Culture merupakan sifat dari gaya


kepemimpinan transformatif yang membuat sebuah komunitas atau organisasi
menyerasikan seluruh pengikutnya. Hal tersebut dimulai dari cara berbicara, cara
berpakaian dan gerakan non-verbal satu dengan yang lainnya. Kekompakan dari
seluruh bagian komunitas atau organisasi merupakan salah satu yang digunakan
sebagai parameter kesuksesan dari tujuan kelompok. Selain itu, sifat ini juga membuat
seluruh bagian dari komunitas atau organisasi tersebut menutup-nutupi kekurangan
mereka, serta mengumbar seluruh informasi positif dari atas ke bawah (Tourish 2013,
30).

Kelima sifat di atas merupakan dampak dari kepemimpinan transformatif yang


dilakukan dengan tidak bijaksana. Hal tersebut dikarenakan, pemimpin diartikan
sebagai sosok yang mendorong pengikutnya untuk mengubah tujuan bersama ke arah
yang lebih baik. Dengan menawarkan visi yang menarik dan bisa diterima oleh
pengikutnya, pemimpin transformatif diharapkan bisa membawa para pengikutnya
pada sebuah perubahan yang baik (Tourish 2013, 21). Akan tetapi dalam praktiknya
seringkali ketika pemimpin menyadari kekuatan yang ada pada dirnya justru
membatasi pergerakan atau perkembangan pengikutnya dalam melakukan sesuatu.
Terlebih juga terdapat kasus lainnya yaitu para pengikut sepenuhnya berjalan dalam
petunjuk pemimpin tanpa memberikan masukkan (Tourish 2013, 21-22). Maka
demikian kepemimpinan transformasional bukan hanya harus menjadi perhatian dari
sang pemimpin, melainkan juga menjadi perhatian dari pengikutnya agar berjalan
dengan baik.

Refleksi dan Catatan Kritis

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu bekerjasama dan


bersahabat dengan orang yang dipimpinnya. Dalam Filipi 1:1-2 dikatakan “ Jadi Karena
dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan roh, ada kasih
mesra dan belas kasihan, karena itu disempurnakanlah sukacitaku dengan ini:
hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. Ayat dapat
dijadikan sebagai acuan seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, agar
mampu menjadi pemimpin yang tranformasional (Ford 2008, 143). Dalam bukunya,
Ford mengatakan seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang ikut bekerja,
bukan hanya memimpin saja. Artinya, dalam mengerjakan sesuatu pemimpin tidak
bergantung kepada orang yang dipimpinnya dengan memberi perintah, melainkan ikut
mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan.

Pada masa Paulus yang dituliskan dalam 1 Korintus 14:26 bahwa ketika jemaat
berkumpul, satu sama lain membawa karisma, yang menunjukkan mereka saling
melengkapi. Memang pada saat itu jemaat masih sedikit, berbeda dengan keadaan
sekarang yang banyak sehingga membutuhkan sosok pemimpin. Akan tetapi hal ini
tidak bertentangan. Seperti halnya simbol tubuh, mata pasti membutuhkan kaki, dan
lain sebagainya. Pemimpin gereja memiliki peranan penting dengan terus
mengingatkan jemaat mengenai peranan mereka. Dengan begitu dapat menjaga
keutuhan jati diri jemaat yang selalu ingin mendekat kepada Kristus (Hendriks 2002,
80-83).
Dalam kehidupan berjemaat, gaya kepemimpinan transformatif merupakan
sebuah gaya yang amat baik bagi sebuah jemaat yang sedang dalam kondisi statis. Hal
tersebut dikarenakan sosok pemimpin yang transformatif bisa memberikan solusi-
solusi yang menarik dan sifatnya membuat sebuah jemaat berkembang. Akan tetapi
pemimpin dalam jemaat atau pendeta juga harus mampu berkoordinasi dengan baik
dengan jemaat sebagai pengikut. Akan tetapi dalam posisi yang demikian, jemaat juga
tidak bisa sepenuhya mengikuti tanpa berperan aktif dalam memberi masukan. Hal
tersebut akan membuahkan kepemimpinan transformatif yang berlebihan layaknya
yang dikemukakan oleh Tourish. Maka demikian, baik jemaat maupun pendeta harus
menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi dan mengisi.

Daftar Acuan

Bass, Bernard M, dan Ronald E. Riggio. 2006. Transformational leadership. USA:


Lawrence Erlbaum Associates.

Ford, Kevin G. 2008. Transforming church: Bringing out the good to get to great.
Colorado Springs, CO: David C. Cook.
Hendriks, Jan. 2002. Jemaat vital dan menarik: Membangun jemaat dengan metode lima
faktor. Yogyakarta: Kanisius.
Tourish, Dennis. 2013. The dark side of transformational leadership: A critical
perspective. New York: Routledge.

Anda mungkin juga menyukai