Anda di halaman 1dari 13

RESUME KEPEMIMPINAN DAN BERPIKIR SISTEM

UNTAD
DI SUSUN OLEH :

Nama : Novemia Melinda Hutabarat

Stambuk : N 201 16 040

Kelas/Semester : D/V

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TADULAKO

2018
Pertemuan Ke-5
Teori Kepemimpinan
a. Teori Kepemimpinan menurut Taylor
Pada awal abad 20, Frederick Winslow Taylor mengusulkan praktek
manajemen ilmiah. Pandangan Taylor bukanlah teori kepemimpinan per se, tetapi
mengubah cara pemimpin-manajer berinteraksi dengan karyawan dan menangani
produksi produk tertentu.
Melalui pengalaman kerjanya sendiri dan pendidikan informal, Taylor
mengemukakan bahwa pengusaha bisa mendapatkan hasil maksimal dari pekerja
mereka jika mereka memilah proyek kerja menjadi berbagai bagian dan buruh
terlatih untuk mengkhususkan diri dalam setiap stasiun produksi khusus.
Menurut Taylor setiap bagian dari proses produksi dalam rangka
meningkatkan produksi yang efisiensinya maksimum. Dalam hal kepemimpinan
pada organisasi, Taylor percaya bahwa pemimpin dilahirkan, tidak dibuat dan
diasumsikan hanya ada satu bentuk kepemimpinan yang efektif.
b. Teori Kepemimpinan menurut Marquis & Hutson
Teori “Trait” (Bakat)
Teori ini menekankan bahwa setiap orang adalah pemimpin (pemimpin
dibawa sejak lahir bukan didapatkan) dan mereka mempunyai karakteristik
tertentu yang membuat mereka lebih baik dari orang lain (Marquis dan Huston,
1998). Teori ini disebut dengan “Great Man Theory”. Banyak penelitian tentang
riwayat kehidupan Great Man Theory, tetapi menurut teori kontemporer,
kepemimpinan seseorang dapat dikembangkan bukan hanya dari pembawaan
sejak lahir, dimana teori trait mengabaikan dampak atau pengaruh dari siapa yang
mengasuh, situasi, dan lingkungan lainnya. Teori ini mengidentifikasi umum
tentang inteligensi, personaliti, dan kemampuan.
c. Teori Kepemimpinan menurut Douglas Mc Gregor
Teori X dan Teori Y
Teori ini dikemukakan oleh Douglas Mc Gregor dalam bukunya The
Human Side Enterprise (1960), dia menyebutkan bahwa perilaku seseorang dalam
suatu organisasi dapat dikelompokkan dalam dua kutub utama, yaitu Teori X dan
Teori Y. Teori X mengasumsikan bahwa bawahan itu tidak menyukai pekaryaan,
kurang ambisi, tidak mempunyai tanggung jawab, cenderung menolak perubahan,
dan lebih suka dipimpin daripada memimpin. Sebaliknya, Teori Y
mengasumsikan bahwa bawahan itu senang bekerja, bisa menerima tanggung
jawab, mampu mandiri, mampu mengawasi diri, mampu berimajinasi, dan kreatif
Pertemuan Ke-6
Kepemimpinan Transformasional dan Kepemimpinan Transaksional
a. Indikasi perilaku kepemimpinan transformasional
Kepemimpinan transformasional secara konsep dan teori lebih dipahami
sebagai gaya kepemimpinan yang melibatkan pengikut, memberikan inspirasi
bagi para pengikutnya, serta berkomitmen untuik mewujudkan visi bersama dan
tujuan bagi suatu organisasi, serta menantang para pengikutnya untuk menjadi
pemecah masalah yang inovatif, dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan
melalui pelatihan, pendampingan, dengan berbagai tantangan dan dukungan.
Pendapat ini dipekuat bass dan riggio (2006; 4) dengan pernyataannya sebagai
berikut: “transformational leadership involves inspiring followers to commit to a
shared vision and goals for an organization or unit, challenging them to be
innovative problem solvers, and developing followers’ leadership capacity via
coaching, mentoring, and provision of both challenge and support”.
Menurut bass dan riggio (2006; 6-7), kepemimpinan transformasional
dalam teorinya dapat dilihat empat komponen inti selalu melekat, yaitu:
1. Pengaruh idealis
Pemimpin transformasional berperilaku dengan cara mempergaruhi
pengikut mereka sehinga pengikut dapat mengagumi, menghormati, sehingga
dapat dipercaya. Ada dua aspek yang dilihat untuk pengaruh ideal ini, yaitu:
perilaku pemimpin dan unsur-unsur yang dikaitkan dengan pemimpin. Selain
itu, pemimpin yang memiliki banyak pengaruh ideal adalah bersedia untuk
mengambil risiko dan konsisten dan tidak sewenang-wenang. Mereka dapat
diandalkan untuk melakukan hal yang benar , menunjukkan standar perilaku
etika dan moral.
2. Motivasi yang memberi inspirasi
Pemimpin transformasional berperilaku dengan cara yang
memberikan motivasi dan menginspirasi orang-orang di sekitar mereka
dengan memberikan arti dan tantangan untuk bekerja. Semangat tim
terangsang, antusiasme dan optimisme akan ditampilkan. Sehingga, pemimpin
mendapatkan pengikut yang aktif terlibat dengan pola komunikasi yang intens
serta menunjukkan komitmen terhadap tujuan dan visi bersama.
3. Stimulasi intelektual
Pemimpin transformasional mendorong upaya pengikut mereka
untuk menjadi inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan asumsi, reframing
masalah, dan mendekati situasi lama dengan cara baru. Kreativitas didorong.
Tidak ada kritik publik terhadap kesalahan individu anggotanya. Ide-ide baru
dan solusi masalah secara kreatif dikumpulkan dari pengikut, termasuk dalam
proses mengatasi masalah dan menemukan solusi. Pengikut didorong untuk
mencoba 8 pendekatan baru, dan ide-ide mereka tidak dikritik karena mereka
berbeda dari ide-ide para pemimpin.
4. Pertimbangan individual
Pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus terhadap
kebutuhan masing-masing pengikut individu untuk pencapaian dan
pertumbuhan dengan bertindak sebagai pelatih atau mentor. Pengikut dan
rekan yang potensial dikembangkan pada tingkat yang lebih tinggi. Perilaku
pemimpin menunjukkan penerimaan terhadap perbedaan individu (misalnya ,
beberapa karyawan menerima lebih banyak dorongan, otonomi lebih banyak,
standar yang jelas). Komunikasi dua arah didorong serta interaksi dengan
pengikut dipersonalisasi (misalnya, pemimpin ingat percakapan sebelumnya,
adalah menyadari masalah individu, dan melihat individu sebagai manusia
seutuhnya bukan hanya sebagai seorang karyawan). Pemimpin lebih banyak
mendengar para pengikutnya. Pelimpahan tugas sebagai sarana untuk
mengembangkan tugas yang didelegasikan dengan memantau apakah para
pengikut perlu arahan atau dukungan dan untuk menilai kemajuan.
b. Indikasi perilaku kepemimpinan transaksional
Menurut Bycio (1995) serta Koh (1995), kepemimpinan transaksional
adalah gaya kepemimpinan dimana seorang pemimpin menfokuskan perhatiannya
pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan
hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai
klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan. Selanjutnya,
Bass (1990) dan Yukl (1998) mengemukakan bahwa hubungan pemimpin
transaksional dengan karyawan tercermin dari tiga hal yakni:.
1. Pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelasakan
apa yang akan mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan harapan;
2. pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan
imbalan; dan
3. pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama
kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan
karyawan.
Bass (dalam Howell dan Avolio, 1994) mengemukakan bahwa
karakteristik kepemimpinan transaksional terdiri atas dua aspek, yaitu imbalan
kontingen, dan manajemen eksepsi. Kedua karakteristik kepemimpinan
transaksional, selengkapnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Imbalan kontigen
Imbalan kontigen adalah kontrak pertukaran imbalan untuk upaya
yang dilakukan, menjanjikan imbalan bagi kinerja yang baik, dan menghargai
prestasi kerja yang dilakukan anggota.
2. Manajemen melalui eksepsi
Manajemen melalui eksepsi merupakan pengawasan yang dilakukan
oleh pemimpin agar kinerja anggota sesuai standar yang telah ditentukan.
Penerapan manajemen melalui eksepsi dapat dilakukan secara aktif maupun
pasif. Pada pelaksanaan manajemen melalui eksepsi secara aktif, pemimpin
mengawasi dan mencari deviasi atau penyimpangan atas berbagai aturan dan
standar, serta mengambil tindakan korektif. Sebaliknya, dalam pelaksanaan
manajemen melalui eksepsi secara pasif, pemimpin melakukan intervensi
hanya bila standar tidak tercapai.
Pertemuan Ke-7
Gaya Kepemimpinan
a. Gaya Kepemimpinan otokratis/otoriter
Disebut juga tipe kepemimpinan authoritarian. Dalam kepemimpinan
ini, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota kelompoknya. Baginya
memimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Batasan kekuasaan
dari pemimpin otoriter hanya dibatasi oleh undang-undang. Bawahan hanya
bersifat sebagai pembantu, kewajiban bawahan hanyalah mengikuti dan
menjalankan perintah dan tidak boleh membantah atau mengajukan saran. Mereka
harus patuh dan setia kepada pemimpin secara mutlak.
1. Kelebihan:
a. Keputusan dapat diambil secara cepat
b. Mudah dilakukan pengawasan
2. Kelemahan:
a. Pemimpin yang otoriter tidak menghendaki rapat atau musyawarah.
b. Setiap perbedaan diantara anggota kelompoknya diartikan sebagai
kelicikan, pembangkangan, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah
atau instruksi yang telah diberikan.
c. Inisiatif dan daya pikir anggota sangat dibatasi, sehingga tidak diberikan
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.
d. Pengawasan bagi pemimpin yang otoriter hanyalah berarti mengontrol,
apakah segala perintah yang telah diberikan ditaati atau dijalankan dengan
baik oleh anggotanya.
e. Mereka melaksanakan inspeksi, mencari kesalahan dan meneliti orang-
orang yang dianggap tidak taat kepada pemimpin, kemudian orang-orang
tersebut diancam dengan hukuman, dipecat, dsb. Sebaliknya, orang-orang
yang berlaku taat dan menyenangkan pribadinya, dijadikan anak emas dan
bahkan diberi penghargaan.
f. Kekuasaan berlebih ini dapat menimbulkan sikap menyerah tanpa kritik
dan kecenderungan untuk mengabaikan perintah dan tugas jika tidak ada
pengawasan langsung.
g. Dominasi yang berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau
menimbulkan sifat apatis.
b. Gaya Kepemimpinan demokratis/partisipatif
Pemimpin ikut berbaur di tengah anggota kelompoknya. Hubungan
pemimpin dengan anggota bukan sebagai majikan dengan bawahan, tetapi lebih
seperti kakak dengan saudara-saudaranya. Dalam tindakan dan usaha-usahanya ia
selalu berpangkal kepada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan
mempertimbangkan kesanggupan dan kemampuan kelompoknya.
1. Kelebihan:
a. Dalam melaksanalan tugasnya, ia mau menerima dan bahkan
mengharapkan pendapat dan saran dari kelompoknya.
b. Ia mempunyai kepercayaan pula pada anggotanya bahwa mereka
mempunyai kesanggupan bekerja dengan baik dan bertanggung jawab.
c. Ia selalu berusaha membangun semangat anggota kelompok dalam
menjalankan dan mengembangkan daya kerjanya dengan cara memupuk
rasa kekeluargaan dan persatuan. Di samping itu, ia juga memberi
kesempatan kepada anggota kelompoknya agar mempunyai kecakapan
memimpin dengan jalan mendelegasikan sebagian kekuasaan dan
tanggung jawabnya.
2. Kekurangan:
a. Proses pengambilan keputusan akan memakan waktu yang lebih banyak.
b. Sulitnya pencapaian kesepakatan.
3. Gaya Kepemimpinan laissez-faire/bebas
Dalam tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan
kepemimpinannya, dia membiarkan bawahannya berbuat sekehendaknya.
Pemimpin akan menggunakan sedikit kekuasaannya untuk melakukan tugas
mereka.Dengan demikian sebagian besar keputusan diambil oleh anak
buahnya.Pemimpin semacam ini sangat tergantung pada bawahannya dalam
membuat tujuan itu.Mereka menganggap peran mereka sebagai ‘pembantu’ usaha
anak buahnya dengan cara memberikan informasi dan menciptakan lingkungan
yang baik.
1. Kelebihan:
a. Keputusan berdasarkan keputusan anggota
b. Tidak ada dominasi dari pemimpin
2. Kekurangan:
a. Pemimpin sama sekali tidak memberikan control dan koreksi terhadap
pekerjaan bawahannya.
b. Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan sepenuhnya kepada
bawahannya tanpa petunjuk atau saran-saran dari pemimpin. Dengan
demikian mudah terjadi kekacauan dan bentrokan.
c. Tingkat keberhasilan anggota dan kelompok semata-mata disebabkan
karena kesadaran dan dedikasi beberapa anggota kelompok, dan bukan
karena pengaruh dari pemimpin.
d. Struktur organisasinya tidak jelas atau kabur, segala kegiatan dilakukan
tanpa rencana dan tanpa pengawasan dari pimpinan.
Pertemuan Ke-8
Kepemimpinan Sebagai Proses dan Atribut
a. Kepemimpinan sebagai proses
Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi
para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan. Lebih jauh lagi,
Griffin (2000) membagi pengertian kepemimpinan menjadi dua konsep, yaitu
sebagai proses, dan sebagai atribut. Sebagai proses, kepemimpinan difokuskan
kepada apa yang dilakukan oleh para pemimpin, yaitu proses di mana para
pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk memperjelas tujuan organisasi bagi
para pegawai, bawahan, atau yang dipimpinnya, memotivasi mereka untuk
mencapai tujuan tersebut, serta membantu menciptakan suatu budaya produktif
dalam organisasi.
b. Kepemimpinan sebagai Atribut
Menurut Griffin (2000) Kepemimpinan sebagai atribut adalah kumpulan
karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu,
pemimpin dapat didefinisikan sebagai seorang yang memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi perilaku orang lain tanpa menggunakan kekuatan, sehingga orang-
orang yang dipimpinnya menerima dirinya sebagai sosok yang layak memimpin
mereka.
Pertemuan Ke-9
Konsep Dasar Berpikir Sistem (System Thinking)
a. Mengapa perlu berpikir sistem
Berpikir sistem mampu memfasilitasi proses yang lebih baik dalam
memahami masalah. Dengan memandang permasalahan sebagai sebuah sistem,
kita bisa terlepas dari jebakan untuk hanya memfokuskan diri memperbaiki apa
yang rusak. Pemahaman sebagai sistem akan mengembangkan fokus kita kepada
adanya hubungan antara apa yang rusak dengan komponen lainnya. Hubungan ini
bisa menimbulkan keterkaitan, dan keterkaitan bisa berujung kepada
ketergantungan, sehingga kita bisa melihat peluang baru dan lebih baik dalam
menyelesaikan masalah. Proses yang dinamis inilah yang membuat berpikir
sistem disebut sebagai sebuah seni untuk secara simultan memandang pohon
tanpa melupakan perhatian terhadap hutan (the art of seeing trees without
forgetting the forest) (Hidayatno, 2013).
b. Konsep dasar berpikir sistem
Berasarkan Hidayatno (2013), Jika digabungkan pemahaman dari definisi
berpikir, proses berpikir, pola berpikir dan definisi dari sistem, maka berpikir
sistem didefinisikan sebagai, Keahlian berpikir untuk melihat struktur umpan-
balik sebab-akibat pada elemen-elemen sistem permasalahan dalam berbagai
dimensi kontekstual yang bisa mengubah ciri holistik dari sistem dengan sebuah
proses yang iteratif dan interaktif untuk membangun, memodifikasi dan
meningkatkan kualitas struktur internal pikiran (model mental) melalui
serangkaian pertanyaan dialogis reflektif yang berbasis pada ciri-ciri sistem
sebagai alat bantunya . Berbasis pada definisi diatas maka beberapa kalimat kunci
yang dapat dijelaskan secara singkat berikut :
1. Keahlian berpikir untuk melihat struktur umpan-balik sebab-akibat pada
elemen-elemen sistem permasalahan
Keahlian berpikir memberikan pemahaman bahwa berpikir menjadi
sebuah keahlian yang bisa dilatih sehingga tidak ada alasan untuk tidak bisa
mengubahnya. Sebagai sebuah keahlian maka diperlukan jumlah latihan yang
cukup untuk membuatnya menjadi sebuah kebiasaan yang kita otomatis
lakukan setiap kali memandang sebuah permasalahan.
Struktur umpan-balik sebab-akibat memberikan pemahaman bahwa
berpikir sistem memang berfokus untuk mendapatkan tidak hanya kejadian
dan pola perilaku, namun struktur yang mendasari pola dan kejadian tersebut.
Struktur ini merupakan sebuah struktur umpan-balik yang bukan umpan-balik
biasa, namun umpan-balik sebab-akibat yang seringkali walupun sederhana
bisa mengakibatkan kompleksitas luar biasa pada sistem permasalahannya.
Struktur pada elemen-lemen sistem juga mengisyaratkan bahwa
berpikir sistem lebih tertarik untuk menggunakan pandangan endogen
(endogeneous views) dalam analisanya, yaitu ketika pencarian dilakukan pada
perubahan yang bukan karena adanya rangsangan terus-menerus dari luar
sistem, namun akibat struktur sistem tersebut sendiri. Ini berarti secara
individu merupakan apresiasi tentang apa yang kita lakukan akam
mempengaruhi dan membentuk realitas kita sendiri.
Dalam klasifikasi ciri sistem maka ciri yang dicari adalah ciri
interkoneksi melingkar.
2. Dalam berbagai dimensi kontekstual yang bisa mengubah ciri holistik dari
sistem
Struktur umpan balik yang ingin dipahami harus dipahami dalam
konteksnya dengan tetap tidak terjebak pada aspek detail saja namun juga
memperhatikan aspek umum yang berkembang dari interaksi dari aspek
detail. Penjelasan ini secara tidak langsung meminta kita untuk
mendefinisikan masalah secara baik. Sehingga dalam klasifikasi ciri sistem
maka hal ini adalah aksi holistik, multi dimensi, tujuan dan batasan. Aksi
holistik menunjukkan
3. Dengan sebuah proses yang iteratif dan interaktif
Salah satu konsekuensi logis dari pencarian struktur, konteks dan
pendekatan holistik adalah sebuah proses yang tidak linear. Proses yang tidak
linear dapat memiliki titik awal dimana saja, kembali kemana saja, maju
kemana saja dan titik akhir dimana saja namun wajib untuk menyentuh semua
titik. Iteratif berarti disarankan proses ini dilakukan berulang-ulang seiring
dengan bertambahnya informasi yang kita miliki ketika kita sedang
mengeksplorasi sebuah titik. Jawaban sebuah pertanyaan biasanya
menimbulkan sejumlah pertanyaan baru yang perlu kita jawab. Proses iteratif
ini menjamin bahwa kita secara dinamis memperbesar dan memperkecil
dimensi pemikiran kita.
4. Untuk membangun, memodifikasi dan meningkatkan kualitas struktur internal
pikiran (model mental)
Tujuan proses berpikir sistem adalah untuk menyiapkan diri kita
ketika kita menghadapi permasalahan yang kompleks dengan baik dan lebih
baik. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun dengan baik pula sebuah
mental model baru ketika kita menghadapi masalah yang baru. Masalah yang
sama bisa kita selesaikan dengan lebih baik dengan memodifikasi dan
meningkatkan kualitas mental model lama kita.
5. Melalui serangkaian pertanyaan dialogis reflektif yang berbasis pada ciri-ciri
sistem sebagai alat bantunya
Jika berpikir adalah mencari jawaban atas pertanyaan ke diri sendiri
maka untuk berpikir sistem perlu rangkaian pertanyaan yang berbasis kepada
ciri-ciri sistem. Jawaban-jawaban terhadap serangkaian pertanyaan inilah
yang membuat kita mampu memahami permasalahan secara sistemik.

DAFTAR PUSTAKA
Bass, B. M, & Riggio, R, E, 2006, Transformational Leadership, (2nd Ed.), Mahwah,
NJ, Erlbaum.

Bass, B. M, 1990, From Transactional to Transformational Leadership, Learning to


Share The Vision, Organizational Dynamics.

Bass, B. M, & Avolio, B, J, 1994, Improving Organizational Effectiveness through


Transformational Leadership, Sage Publications, California.

Griffin, Ricky, 2004, Manajemen, Jilid 1 Edisi 7, Erlangga, Jakarta.


Hidayatno, Akhmad, 2013, Berpikir Sistem: Pola Berpikir untuk Pemahaman
Masalah yang Lebih Baik, Edisi 1, Leutika Prio, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai