Anda di halaman 1dari 10

KLASIFIKASI STROKE

Secara garis besar stroke dibagi menjadi dua yaitu infark non
(2,8)
hemoragik/iskemik dan hemoragik.
1. Infark nonhemoragik/iskemik, umumnya disebabkan oleh trombus yang menyebabkan
oklusi menetap, mencegah adanya reperfusi pada organ yang infark sehingga menyebabkan
terjadinya keadaannya anemia atau iskemik Secara patologi didapatkan infiltrasi leukosit
selama beberapa hari terutama pada daerah tepi infark. Makrofag menginvasi daerah infark
dan aktif bekerja sampai produk-produk infark telah dibersihkan selama periode waktu
tertentu ( beberapa minggu). Eritrosit sangat jarang ditemukan. Hampir 85% stroke
nonhemoragik disebabkan oleh sumbatan bekuan darah, penyempitan arteri/ beberapa arteri
yang mengarah ke otak, embolus (kotoran) yang terlepas dari jantung atau arteri
ekstrakranium yang menyebabkan sumbatan di satu atau beberapa arteri ekstrakranium. Pada
usia lebih dari 65 tahun penyumbatan atau penyempitan dapat disebabkan oleh aterosklerosis.
(7,8)

2. Infark hemoragik, terjadinya infark hemoragik yang telah lama diketahui adalah adanya
reperfusi oleh pembuluh darah setelah oklusi hilang. Diasumsikan bahwa adanya tekanan
baru arteri pada kapiler-kapiler menyebabkan terjadinya diapedesis eritrosit melalui dinding
kapiler yang hipoksia. Semakin sering terjadi reperfusi, semakin rusak pula dinding kapiler
dan makin memperbanyak kemungkinan daerah infark hemoragik. Berbeda dengan infark
nonhemoragik secara patologik pada infark hemoragik ditemukan banyak eritrosit di
sekeliling daerah nekrosis yang umumnya menetap lebih lama yaitu beberapa jam sampai 2
minggu ataupun setelah oklusi arteri. Ini adalah jenis stroke yang sangat mematikan, tetapi
relatif hanya menyusun sebagian kecil dari stroke total (10-15% untuk perdarahan
intraserebrum dan 5% untuk perdarahan subarakhnoid).
Menurut WHO dalam International Statistical Classification of Disease and Related
Health Problems 10th Revision, stroke Hemoragik di bagi atas :
1. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan suatu aneurisma yang pecah ataupun karena
suatu penyakit yang menyebabkan dinding arteri menipis dan rapuh seperti pada hipertensi
dan angiopati amiloid.(7,8)
Pada perdarahan intraserebral, perdarahan terjadi pada parenkim otak itu sendiri. Adapun
penyebab perdarahan intraserebral :
- Hipertensi (80%)
- Aneurisma
- Malformasi arteriovenous
- Neoplasma
- Gangguan koagulasi seperti hemofilia
- Antikoagulan
- Vaskulitis
- Trauma
- Idiophatic (6)
2. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid merupakan perdarahan yang terjadi di rongga subarachnoid.
Perdarahan ini kebanyakan berasal dari perdarahan arterial akibat pecahnya suatu aneurisma
pembuluh darah serebral atau AVM yang ruptur di samping juga sebab-sebab yang lain.
Perdarahan subarachnoid terdiri dari 5% dari semua kejadian stroke.
Pada perdarahan subarachnoid, perdarahan terjadi di sekeliling otak hingga ke ruang
subarachnoid dan ruang cairan serebrospinal.
Penyebab perdarahan subarachnoid :
- Aneurisma (70-75%)
- Malformasi arterivenous (5%)
- Antikoagulan ( < 5%)
- Tumor ( < 5% )
- Vaskulitis (<5%)
- Tidak di ketahui (15%)

E. INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI


Di Eropa, stroke adalah penyebab kematian nomor tiga di negara-negara industri
di Eropa. Insidens global stroke diperkirakan akan semakin meningkat sejak populasi manula
berusia lebih dari 65 tahun meningkat dari 390 juta jiwa menjadi 800 juta jiwa yang
diperkirakan pada tahun 2025. Stroke iskemik adalah tipe yang paling sering ditemukan, kira-
kira 85% dari seluruh kasus stroke. Sedangkan stroke hemoragik mencakup 15% dari seluruh
kasus stroke. Di USA, sebanyak 705.000 kasus stroke terjadi setiap tahun, termasuk kasus
baru dan kasus rekuren. Dari semua kasus tersebut, hanya 80.000 kasus adalah stroke
hemoragik.
Perdarahan intraserebral adalah penyebab utama kecacatan dan kematian dan
mencakup 10-15% dari kasus stroke pada orang kulit putih dan sekitar 30% pada orang kulit
hitam dan Asia. Insidens Perdarahan Intraserebral (PIS) dari keseluruhan kasus stroke adalah
lebih tinggi di Asia dan lebih rendah di Amerika Serikat. Estimasi insidens perdarahan
intraserebral per 100.000 per tahun bervariasi dari 6 kasus di Kuwait hingga 411 di China.
(12,14)

Kehamilan dapat meningkatkan factor resiko terkena stroke hemoragik, terutama


pada eklampsia yaitu sekitar 40% dari kasus perdarahan intraserebral pada kehamilan. Lokasi
dari perdarahan intraserebral adalah putamen(40%), lobar(22%), thalamus (15%), pons (8%),
cerebellum (8%) dan caudate (7%). (12)
Perdarahan Subarachnoid memiliki kasus yang signifikan di seluruh dunia,
menyebabkan kecacatan dan kematian. Perdarahan Subarachnoid biasanya didapatkan pada
usia dewasa muda baik pada laki-laki maupun perempuan. Insidens perdarahan subarachnoid
meningkat seiring umur dan lebih tinggi pada wanita daripada laki-laki. Populasi yang terkena
kasus perdarahan subarachnoid bervariasi dari 6 ke 16 kasus per 100.000, dengan jumlah
kasus tertinggi di laporkan di Finlandia dan Jepang. Selama kehamilan, resiko untuk
terjadinya rupture malformasi arteriovenous meningkat, terutama pada trimester ketiga
kehamilan.(12)

F. PATOFISIOLOGI
Aterosklerosis atau trombosis biasanya dikaitkan dengan kerusakan lokal
pembuluh darah akibat aterosklerosis. Proses aterosklerosis ditandai dengan adanya plak
berlemak pada lapisan intima arteria besar. Bagian intima arteri serebri menjadi tipis dan
berserabut, sedangkan sel-sel ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan
berjumbai, sehingga lumen pembuluh darah sebagian terisi oleh materi sklerotik. Plak
cenderung terbentuk pada daerah percabangan ataupun tempat-tempat yang melengkung.
Trombosit yang menghasilkan enzim mulai melakukan proses koagulasi dan menempel pada
permukaan dinding pembuluh darah yang kasar. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan
membentuk emboli atau dapat tetap tinggal di tempat dan menutup arteri secara sempurna. (3)
Emboli kebanyakan berasal dari suatu thrombus dalam jantung, dengan kata lain hal
merupakan perwujudan dari masalah jantung. Meskipun lebih jarang terjadi embolus juga
mungkin berasal dari plak ateromatosa sinus karotis atau arteri karotis interna. temapt yang
paling sering terserang emboli serebri adalah arteri serebri media, terutama bagian atas.
Perdarahan intraserebral sebagian besar terjadi akibat hipertensi dimana tekanan
darah diastoliknya melebihi 100 mmHg. Hipertensi kronik dapat menyebabkan pecah/ruptur
arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan/atau subarakhnoid, sehingga
jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser dan tertekan. Daerah distal dari tempat
dinding arteri pecah tidak lagi kebagian darah sehingga daerah tersebut menjadi iskemik dan
kemudian menjadi infark yang tersiram darah ekstravasal hasil perdarahan. Daerah infark itu
tidak berfungsi lagi sehingga menimbulkan deficit neurologik, yang biasanya menimbulkan
hemiparalisis. Dan darah ekstravasal yang tertimbun intraserebral merupakan hematom yang
cepat menimbulkan kompresi terhadap seluruh isi tengkorak berikut bagian rostral batang
otak. Keadaan demikian menimbulkan koma dengan tanda-tanda neurologik yang sesuai
dengan kompresi akut terhadap batang otak secara rostrokaudal yang terdiri dari gangguan
pupil, pernapasan, tekanan darah sistemik dan nadi. Apa yang dilukis diatas adalah gambaran
hemoragia intraserebral yang di dalam klinik dikenal sebagai apopleksia serebri atau
hemorrhagic stroke.(4,10)
Arteri yang sering pecah adalah arteria lentikulostriata di wilayah kapsula interna.
Dinding arteri yang pecah selalu menunjukkan tanda-tanda bahwa disitu terdapat aneurisme
kecil-keci yang dikenal sebagai aneurisme Charcot Bouchard. Aneurisma tersebut timbul pada
orang-orang dengan hipertensi kronik, sebagai hasil proses degeneratif pada otot dan unsure
elastic dari dinding arteri. Karena perubahan degeneratif itu dan ditambah dengan beban
tekanan darah tinggi, maka timbullah beberapa pengembungan kecil setempat yang
dinamakan aneurismata Charcot Bouchard. Karena sebab-sebab yang belum jelas,
aneurismata tersebut berkembang terutama pada rami perforantes arteria serebri media yaitu
arteria lentikolustriata. Pada lonjakan tekanan darah sistemik seperti sewaktu orang marah,
mengeluarkan tenaga banyak dan sebagainya, aneurima kecil itu bisa pecah. Pada saat itu
juga, orangnya jatuh pingsan, nafas mendengkur dalam sekali dan memperlihatkan tanda-
tanda hemiplegia. Oleh karena stress yang menjadi factor presipitasi, maka stroke
hemorrhagic ini juga dikenal sebagai “stress stroke”. (10)
Pada orang-orang muda dapat juga terjadi perdarahan akibat pecahnya aneurisme
ekstraserebral. Aneurisme tersebut biasanya congenital dan 90% terletak di bagian depan
sirkulus Willisi. Tiga tempat yang paling sering beraneurisme adalah pangkal arteria serebri
anterior, pangkal arteria komunikans anterior dan tempat percabangan arteria serebri media di
bagian depan dari sulkus lateralis serebri. Aneurisme yang terletak di system vertebrobasiler
paling sering dijumpai pada pangkal arteria serebeli posterior inferior, dan pada percabangan
arteria basilaris terdepan, yang merupakan pangkal arteria serebri posterior.
Fakta bahwa hampir selalu aneurisme terletak di daerah percabangan arteri
menyokong anggapan bahwa aneurisme itu suatu manifestasi akibat gangguan perkembangan
embrional, sehingga dinamakan juga aneurisme sakular (berbentuk seperti saku) congenital.
Aneurisme berkembang dari dinding arteri yang mempunyai kelemahan pada tunika
medianya. Tempat ini merupakan tempat dengan daya ketahanan yang lemah (lokus minoris
resistensiae), yang karena beban tekanan darah tinggi dapat menggembung, sehingga dengan
demikian terbentuklah suatu aneurisme.
Aneurisme juga dapat berkembang akibat trauma, yang biasanya langsung
bersambung dengan vena, sehingga membentuk “shunt” arteriovenosus.
Apabila oleh lonjakan tekanan darah atau karena lonjakan tekanan
intraandominal, aneurisma ekstraserebral itu pecah, maka terjadilah perdarahan yang
menimbulkan gambaran penyakit yang menyerupai perdarahan intraserebral akibat pecahnya
aneurisma Charcor Bouchard. Pada umumnya factor presipitasi tidak jelas. Maka perdarahan
akibat pecahnya aneurisme ekstraserebral yang berimplikasi juga bahwa aneurisme itu
terletak subarakhnoidal, dinamakan hemoragia subduralis spontanea atau hemoragia subdural
primer.(4,10)

G. PENATALAKSANAAN
Penanganan tepat dan segera pada pasien dengan infark hemoragik merupakan
penanganan kegawatdaruratan. Pasien dengan stroke hemoragik harus dirawat dalam ruangan
khusus.(11)
Penatalaksaan pasien dengan infark hemoragik terdiri atas dua yaitu:
1. Konservatif
 Amankan jalan napas dan pernapasan. Jika perlu pemberian intubasi dan
hiperventilasi mekanik. Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien dengan koma
yang tidak dapat mempertahankan jalan napas dan pasien dengan gagal pernapasan.
Analisa gas darah harus diukur pada pasien dengan gangguan kesadaran
 Keseimbangan cairan. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit mudah ditemui
pada pasien-pasien ICU. Hal ini disebabkan oleh respon simpatis terhadap adanya
injuri neuron akibat iskemik ataupun hemoragik, subsitusi cairan/elektrolit yang tidak
seimbang, regimen nutrisi yang tidak adekuat, dan pemberian diuretik ataupun obat-
obat lainnya. Pilihan terapi enteral/ cairan isotonik intravena. Monitoring
keseimbangan cairan dan elektrolit perlu dilakukan.
 Nutrisi. Menurut penelitian Davaks dan kawan-kawan, malnutrisi merupakan faktor
independen bagi prognosis buruk pada pasien stroke. Hasil penelitian yang sama oleh
Gariballa dan kawan-kawan bahwa status nutrisi mempengaruhi perburukan pasien
secara signifikan selama periode tertentu. Mereka menemukan bahwa konsentrasi
serum albumin mempunyai hubungan signifikan dengan komplikasi infeksi dan
merupakan prediktor independen kematian dalam waktu 3 bulan. Penelitian ini
menunjukkan pentingnya suplai kalori dan protein adekuat pada pasien stroke akut.

 Follow up ketat
 Mannitol dan diuretik berguna untuk menurunkan tekanan intrakranial lebih cepat.
 Jika demam, berikan acetominofen dan kompres mekanik. Demam merupakan prediktor
bagi prognosis buruk sehingga harus ditemukan penyebabnya.
 Keadaan hiperglikemia menunjukkan adanya cedera sel-sel saraf ataupun pemberian tissue
plasminogen activator (rt-PA) pada iskemik akut yang memicu peninggian serum glukosa.
 Kontrol hipertensi melalui pemberian antihipertensi
Manajemen pasien stroke hemoragik disertai hipertensi masih kontroversi. Penurunan tekanan
darah pada stroke akut dapat mencegah terjadinya perdarahan ulangan, namun dilain pihak
hal ini dapat mencetuskan iskemik perihematomal. Beberapa peneliti menyarankan penurunan
tekanan darah menuju tekanan darah rata-rata harus dilakukan perlahan hingga , 130 mmHg
namun penurunan tekanan darah lebih darah 20% harus dicegah dan tekanan darah tidak
boleh turun lebih dari 84 mmHg.
 Mencegah diatesis perdarahan dengan pemberian plasma darah, antihemofilik, vitamin K,
transfusi platelet, dan transfusi darah. (11,12,13)
2. Operasi
 Drainase hematoma – drainase stereotaktik atau evakuasi operasi
 Drainase ventrikular atau shunt
 Evakuasi perdarahan malformasi arterivenous atau tumor
 Memperbaiki aneurisma.(12)
Penatalaksaan operatif pada pasien dengan perdarahan intraserebral masih
kontroversi. Walaupun terdapat indikasi-indikasi jelas bahwa pasien memerlukan suatu
tindakan operatif ataupun tidak, masih terdapat daerah ”abu-abu” diantaranya. Sebagai contoh
pasien usia muda dengan perdarahan intraserebral pada hemisfer nondominan yang awalnya
sadar dan berbicara kemudian keadaannya memburuk secara progresif dengan perdarahan
intraserebral area lobus memerlukan penanganan operatif. Sebaliknya, pasien usia lanjut
dengan perdarahan intraserebral luas pada hemisfer dominan disertai perluasan ke area
talamus dan berada dalam kondisi koma tergambar memiliki prognosis jelek sehingga
tindakan operatif tidak perlu dipertimbangkan.(14)
Tindakan pembedahan untuk evakuasi atau aspirasi bekuan darah pada stadium akut
kurang begitu menguntungkan. Intervensi bedah pada kasus-kasus demikian adalah :
a. Pasien yang masih dapat tetap bertahan setelah iktus awal setelah beberapa hari, di mana
pada saat itu bekuan sudah mulai mencair dan memungkinkan untuk di aspirasi sehingga
massa desakan atau defisit dapat dikurangi.
b. Hematom intraserebeler, mudah segera dikeluarkan dan kecil kemungkinan menimbulkan
defisit neurologis. Dalam hal ini biasanya dapat segera dilakukan operasi pada hari-hari
pertama.
c. Hematom intraserebral yang letaknya supericial, seringkali mudah diangkat dan tidak
memperburuk defisit neurologis.(4)
Kontraindikasi tindakan operasi terhadap kasus-kasus perdarahan intraserebral adalah
hematom yang terletak jauh di dalam otak (dekat kapsula interna) mengingat biasanya
walaupun hematomnya bisa dievakuasi, tindakan ini malahan menambah kerusakan otak. (4)
Operasi juga tidak dipertimbangkan pada pasien dengan volume hematoma sedikit
dan defisit fokal minimal tanpa gangguan kesadaran. Hal tersebut diatas menunjukkan
indikasi jelas mengapa seseorang memerlukan tindakan operatif atau tidak. Hal inilah yang
menjadi ketidakmenentuan mengenai indikasi apakah operasi diperlukan atau tidak. (14)
Jenis-jenis operasi pada stroke hemoragik antara lain: (14)
1. Kraniotomi
Mayoritas ahli bedah saraf masih memilih kraniotomi untuk evakuasi hematoma. Secara
umum, ahli bedah lebih memilih melakukan operasi jika perdarahan intraserebral terletak
pada hemisfer nondominan, keadaan pasien memburuk, dan jika bekuan terletak pada lobus
dan superfisial karena lebih mudah dan kompresi yang lebih besar mungkin dilakukan dengan
resiko yang lebih kecil. Beberapa ahli bedah memilih kraniotomi luas untuk mempermudah
dekompresi eksternal jika terdapat udem serebri yang luas.

Gambar 1. Flap lebar tulang kranium pada Hemicraniotomi dan dekompresi operasi untuk
infrak area arteri cerebri media. (14)

Gambar 2. Insisi kulit pada suboksipital kraniotomi dan drainase ventrikular.


A. Insisi Linear. B. Insisi question mark untuk kepentingan kosmetik.(15)
Gambar 3. Prosedur Sub-sekuen Kraniotomi.(16)

2. Endoskopi
Melalui penelitian Ayer dan kawan-kawan dikatakan bahwa evakuasi hematoma melalui
bantuan endoskopi memberikan hasil lebih baik. pada laporan observasi lainnya penggunaan
endoskopi dengan tuntunan stereotaktik dan ultrasonografi memberikan hasil memuaskan
dengan evakuasi hematoma lebih sedikit (volume < 30 ml) namun teknik ini belum banyak
diaplikasikan dan validitasnya belum dibuktikan.
3. Aspirasi dengan bantuan USG
Hondo dan Lenan melaporkan keberhasilan penggunaan aspirator USG pada aspirasi
stereotaktik perdarahan intracerebral supratentorium, namun prosedur ini masih diobservasi.
4. Trombolisis intracavitas
Blaauw dan kawan-kawan melalui penelitian prospektif kecil meneliti pasien perdarahan
intraserebral supratentorial dengan memasukkan urokinase pada kavitas serebri (perdarahan
intraserebri) dan setelah menunggu periode waktu tertentu kemudian melakukan aspirasi.
Namun penelitian ini dinyatakan tidak berpengaruh pada angka mortalitas, walaupun pada
beberapa pasien menunjukkan keberhasilan. Pasien perdarahan intraserebral dengan ruptur
menuju ke ventrikel drainase ventrikular eksternal mungkin berguna. Namun cara ini belum
melalui penelitian prospektif luas dan patut dicatat bahwa melalui penelitian observasi
menunjukkan prognosis buruk. (13)
Perdarahan intraserebral dan subarahnoid biasanya dikaitkan dengan adanya malformasi
arterivenous (AVM). Jika lesi dapat terlihat maka evakuasi perdarahan harus dilakukan
sehingga perdarahan tidak terkontrol dari AVM dapat diatasi. Apabila perdarahan intraserebral
di terapi secara konservatif biasanya ahli bedah saraf memilih menunggu 6-8 minggu dahulu
karena operasi dapat mencetuskan AVM yang terletak pada dinding perdarahan intraserebral.
Pilihan penanganan operatif pada AVM antara lain: pengangkatan endovaskular, eksisi,
(11,13)
stereotaxic radiosurgery, dan kombinasi diantaranya.
1. Eksisi langsung AVM semakin berkembang dengan adanya mikroskop operasi sehingga
menurunkan resiko kecacatan dan kematian. Komplikasi mayor eksisi langsung seperti
kehilangan jaringan otak normal beserta fungsi neurologisnya yang dikenal dengan
breakthrough phenomenon.
2. Pengangkatan endovaskular menggunakan teknik embolisasi dapat dilakukan sebelum
ataupun saat berlangsungnya operasi. Penanganan ini berguna untuk lesi yang tidak dapat
terjangkau melalui operasi ataupun tambahan pengangkatan pada operasi. Komplikasi yang
dapat berkembang yaitu perdarahan,iskemik, dan angionekrosis karena toksisitas materi
emboli.
3. Radioterapi, teknik ini menggunakan energi tinggi x-ray, gamma, dan proton menginduksi
deposisi kolagen subendotelial dan substansi hialin yang menyempitkan lumen pembuluh
darah kecil dan mengerutkan AVM dalam beberapa bulan setelah terapi. komplikasi cara ini
berupa radionekrosis jaringan otak normal, perdarahan, hidrosefalus, kejang post terapi,
kehilangan regulasi temperatur, defisit fungsi kongnitif. (12,13)

H. KOMPLIKASI
Komplikasi stoke dapat di bagi menjadi komplikasi akut, biasanya dalam 72 jam, dan
komplikasi yang muncul di kemudian hari.
1. Komplikasi akut berupa edema serebri, peningkatan TIK dan kemungkinan herniasi,
pneumonia aspirasi dan kejang.
2. Komplikasi postfibrinolitik di sekeliling pusat perdarahan. Pada perdarahan intraserebral
yang luas biasanya muncul dalam 12 jam setelah penanganan. Perdarahan potensial yang lain
juga dapat muncul di traktus gastrointestinal, traktus genitourinarius dan kulit terutama di
sekitar pemasangan intravenous line.
3. Komplikasi subakut, yaitu pneumonia, trombosis vena dalam dan emboli pulmonal, infeksi
traktus urinarius, luka dekubitus, kontraktur, spasme, masalah sendi dan malnutrisi.
4. beberapa orang yang selamat dari stroke juga mengalami depresi. Hal ini dapat diatasi
dengan identifikasi dan penanganan dini depresi pada pasien untuk meningkatkan kualitas
hidup penderita.

I. PROGNOSIS
Angka kesembuhan pada perdarahan intraserebral bergantung pada lokasi, ukuran,
dan kecepatan perkembangan hematoma. Pasien dengan hematoma kecil, berlokasi jauh ke
dalam dan dekat dengan midline sering diikuti dengan herniasi sekunder dan massa sehingga
mortalitasnya tinggi. Penyembuhan pasien dengan perdarahan intraserebral biasanya disertai
defisit neurologis.
Pasien dengan perdarahan subarahnoid masif sejak awal dapat berakhir dengan
kematian ataupun kerusakan otak. Namun jika perdarahan terbatas, pasien dapat bertahan
dengan resiko perdarahan ulangan pada beberapa hari/minggu berikut setelah perdarahan
subarahnoid pertama. Jika tidak di terapi segera, perdarahan subarahnoid yang disebabkan
oleh ruptur AVM beresiko terhadap perdarahan ulangan pada 24 jam sesudahnya, 1-2 % 1
bulan sesudahnya, dan sebesar 3 % terjadi 3 bulan setelah serangan awal. Evaluasi dan
penanganan pasien dengan perdarahan subarahnoid harus segera diberikan untuk mencegah
prognosis buruk pasien.(12)

Anda mungkin juga menyukai