PERAWATAN
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
Konsep Dasar
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
BAB 2 Probabilitas
2.1 Pendahuluan
2.2 Permutasi
2.3 Kombinasi
2.4 Pemakaian Permutasi dan Kombinasi untuk Perhitungan
Probabilitas
2.5 Hukum untuk Menggabungkan Probabilitas
2.6 Teorema Binomial
2.7 Referensi dan Bibliografi
1.1 Pendahuluan
Didalam masyarakat modern, para insiyur profesional dan
manajer teknik bertanggung jawab terhadap perencanaan, desain,
manufaktur dan pengoperasian dari produk yang sederhana sampai
sistem yang komplek. Kerusakan dari produk daan sistem ini sering
dapat memberi dampak yang bervariasi mulai dari sesuatu yang tidak
menyenangkan dan mengganggu sampai dampak yang
membahayakan terhadap masyarakat dan terhadap lingkungan
sekitarnya. Para pemakai, konsumen, dan masyarakat umumya
mengharapkan produk dan sistem yang handal. Pertanyaan yang
muncul adalah “ seberapa handal atau seberapa aman suatu sistem
akan beroperasi selama masa pengoperasiannya dimasa yang akan
datang? “ Pertanyaan ini sebagian dapat dijawaaab dengan
mengunakan evaluasi keandala secara kuantitatif. Konsekuensinya
sebuah teknik untuk mendesain dan mengoperasikan dari suatu
sistem yang sederhana dan komplek bersamaan dengan penambahan
jumlah aturan-aturan resmi, termasuk aspek kesetimbangan produk
1
dan agen-agen resmi. Buku ini terutama berkaitan dengan
penggambaran teknik pengevaluasian keandalan yang sangat luas
dan aplikasinya. Bagaimanapun, adalah suatu yang berguna untuk
mendiskusikan beberapa isu dan filosofi yang berkaitan dengan
keandalan untuk meletakkan teknik pengevalusian ini kedalam suatu
perspektif dan mengidentifikasi latar belakang dari berbagai teknik
pengevaluasian dan pengukuran yang telah dikembangkan dan juga
untuk menunjukan mengapa teknik ini dikembangkan.
Pengembangan teknik pengevaluasian keandalan pada awalnya
berhubungan dengan industri ruang angkasa dan aplikasi militer.
Pengembangan teknik inii diikuti dengan cepat oleh aplikasi di reaktor
nuklir, yang pada saat ini dibawah tekanan yang sangat kuat untuk
memastikan reaktor nuklir yang aman dan handal: dibidang
penyuplaian listrik, yang diharapkan dapat menyuplai kebutuhan
energi tanpa kerusakan lokal atau kerusakan dalam skala yang besar:
dan di pengolahan –pengolahan yang memiliki proses yang kontinu
seperti pengolahan baja dan pengolahan bahan kimia, yang dapat
mengalami penundaan dan kerugian yang besay jika terjadi
kegagalan pada sistem maupun yang menyebabkan kematian dan
polusi lingkungan. Semua area yang telah disebutkan telah
mengalami beberapa masalah akhir-akhir ini. Masalah-masalah ini
termasuk kecelakaan dibidang ruang angkasa (Pesawat ruang
angkasa Chalelenger, 1986: beberapa kecelakaan pesawat terbang
komersial), kecelakaan dibidang nuklir (Three Mile Island, 1979;
Chernobyl, 1986), kecelakaan dibidang penyuplaian tenaga listrik
(New York Blackout, 1977), kecelakaan diprose pengolahan
(Flixborough, 1974; Seveso 1976; Bhopal, 1984), dan berbagai
masalah lain dimana kecelakaan yang terjadi dapat mengakibatkan
gangguan terhadap masyarakat dan lingkungann dan mungkin
mengakibatkan kematian.
Kejadian –kejadian ini telah meningkatkan tekanan untuk
melakukan penilaian keandalan, keselamatan dan semua
kemungkinan resiko secara obyektif. Celakanya resiko yang dipahami
2
oleh publik umum seringkali berdasarkan emosi, utamanya dampak
yang diakibatkan dari sektor nuklir. Masyarakat umumnya mengalami
kesulitan dalam membedakan antara bahaya (hazard), yang dikaitkan
dengan gangguan tetapi tidak memperhitungkan kemungkinan
terjadinya kejadian-kejadian yang membahayakan tetapi juga
peluang terjdinya kejadian yang membahayakan tersebut. Teknik
pengevaluasian keandalan dapat membantu dalam melakukan
penilaian secara obyektif terhadap kemungkinan resiko dan
membantu untuk menghitung bukan hanya bahaya yang akan terjadi
tetapi juga kemungkinannya.
Teknik pengevaluasian keandalan yang moderen juga dipakai
didalam aplikasi yang lebih luas termasuk aplikasi domestik, otomobil
dan berbagai produk lain yang secara individu memiliki dampak sosio
ekonomik yang kecil. Jika mengalami kegagalan. Kecenderungan
terbaru baik dimasyarakat Amerika utara dan Eropa adalah
meningkatnya kebutuhan untuk melakukan penilaian resiko dan
keandalan. Kecenderungan-kecenderungan ini berpusat kepada
perubahan hukum-hukum yang berkaitan dengan jaminan produk
dimana penyuplai, desainer dan pemroduksi akan dikenai tanggung
jawab atas cedera dan kematian konsumen akibat produk yang cacat.
Petunjuk-petunjuk juga akan diterbitkan oleh pemerintah dan badan-
badan pengatur yang berkaitan dengan kelayakan, keselamatan dan
resiko, dan yang berkaitan dengan kebutuhan yang penting untuk
melakukan penilaian keandalan dan resiko kemungkinan secara
obyektif.
Dari diskusi ini jelas bahwa semua insiyur harus memiliki
kepedulian terhadap konsep dasar yang berkaitan dengan aplikasi
teknik-teknik pengevaluasian keandalan.
3
1.2 Definisi
Secara umum teori keandalan dapat dikelompokan menjadi
empat keompok utama, yaitu :
· Keandalan komponen dan sistem (Component and system
reliability)
· Keandalan struktur (Structural reliability)
· Keandalan manusia (Human reliability)
· Keandalan perangkat lunak (Software reliability)
Sesuai dengan judul diktat ini, maka didalam diktat ini hanya
akan membahas mengenai keandalan sistem dan komponen.
Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya bila pembaca
mengetahui beberapa definisi dasar yang berkaitan dengan keandalan
sistem dan komponen. Adapun beberapa terminologi dan definisi
yang akan ditampilkan pada seksi ini adalah, keandalan (reliability),
ketersediaan (availability), dan kemampurawatan (maintainability).
Keandalan
Didefinisikan sebagai probabilitas dari suatu item untuk dapat
melaksanakan fungsi yang telah ditetapkan, pada kondisi
pengoperasian dan lingkungan tertentu untuk periode waktu yang
telah ditentukan.
Ketersediaan
Didefinisikan sebagai probabilitas untuk dapat menemukan suatu
sistem (dengan berbagai kombinasi aspek-aspek keandalannya,
5
kemampu-rawatan dan dukungan perawatan) untuk melakukan
fungsi yang diperlukan pada suatu periode waktu tertentu.
A= T (1.1)
OP
T +T
OP DOWN
6
Gambar 1.1
Ilustrasi ketersediaan
Ketersediaan
Gambar 1.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan
7
Kemampurawatan
Didefinisikan sebagai kemampuan suatu item dalam kondisi
pemakian tertentu, untuk dirawat, atau dikembalikan ke keadaan
semula dimana item itu dapat menjalankan fungsi yang diperlukan,
jika perawatan dilakukan dalam kondisi tertentu dan dengan
menggunakan prosedur dan sumber daya yang sudah ditentukan.
8
Indeks-indeks ini dapat dievaluasi dengan menggunakan teori
keandalan yang relevan setelah beberapa kriteria tertentu yang
berhubungan dengan kondisi operasional dari suatu item dipenuhi.
9
ANALISA
KUALITATIF
(PENGALAMAN)
ANALISA
KUANTITATIF
(PERHITUNGAN)
MARKOV
PHYSICS OF FAULT TREE
STATISTICS ANALYSIS
FAILURE ANALYSIS
Etc.
Gambar 1.3
Organisasi analisa keandalan (Ærbeck 1992)
10
RELIABILITY TASK
FUNCTIONAL
DIAGRAM
BLOCK DIAGRAM
FMEA
PROPOSAL
SYSTEM COMPONENT MAINTENANCE
Gambar 1.4
prosedur kerja secara umum untuk
bidang rekayasa keandalan (Stefenson, 1990)
12
IDENTIFICATION ANALYSIS IMPLEMENTATION
Whatcango
wrong and Event tree Fault tree
consequence s
Human Reliability Implentation
Analysis
Gambar 1.5
Prosedur Analisa Resiko (Ruxton 1997)
Kualitas (Quality)
Manajemen dan jaminan kualitas mendapatkan perhatian yangg
lebih meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena
adanya dorongan untuk mengaplikasikan rangkaian standar
internationall ISO 9000.
Konsep tentang kualitas (quality) dan keandalan (reliability)
terkait sangat erat. Keandalan dalam beberapa hal dianggap sebagai
karakteristik dari kualitas. Oleh karena itu sistem-sistem yang saling
13
melengkapi dari suatu sistem yang besar yang akan dilengkapi
dengan manajemenkeandalan dan jaminan kualitas merupakan
bagian dari manajemen kualitas secara total (Total Quality
Management-TQM)
14
1.6 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
nd
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2 edition,
Plenum Press, New York and London
2. HÆyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods , John Willey & Sons, Inc.
3. Ærbeck, F. [1992], “Implementation of Reliability Methodology to
Ship’s Machinery”, Transaction IMarE, Vol 103
4. Ruxton, T. [1997], “Formal Safety Assessment”, Transaction
IMarE, Part 4.
5. Stefenson, Prof. J.[1990], “Design Procedures for The Reliability of
Integrated Marine Systems”, paper 5 ICMES
6. …….[1994], Training Course in Reliability-Centered Maintenance,
MARINTEK-SINTEF Group.
15
Probabilitas
2.1 Pendahuluan
Kata probabiliitas sering dipakai jika kehilangan sentuhan
dalam mengimplikasikan bahwa suatu kejadian yang mempunyai
peluang yang bagus akan terjadi. Dalam hal ini penilaian yang
dilakukan ini adalah ukuran yang bersifat subyektif atau kualitatif.
Adalah penting untuk menyadari bahwa probabilitas mempunyai arti
secara teknis karena secara ilmiah probabilitas dapat ditafsirkan
sebagai ukuran dari kemungkinan, yaitu mendefinisikan secara
kuantatif kemungkinan dari suatu event atau kejadian secara
matematis. Probabilitas merupakan suatu indeks numerik yang
nilainya antara 0 dan 1. Indeks numerik 0 akan mendefinisikan
suaatu kejadian yang pasti tidak akan terjadi, sedang indeks numerik
1 akan mendefinisikan suatu kejadian yang pasti terjadi.
Dari pengertian tentang konsep probabilitas diatas jelas terlihat
bahwa sangat sedikit sekali kejadian yang mempunyai nilai
probabilitas 0 atau 1. Yang ada adalah hampir semua kejadian
mempunyai nilai probabilitas antara 0 dan 1. Untuk keperluan teori
keandalan, nilai probabilitas secara garis besar dapat dikelompokan
16
menjadi dua keluaran yaitu keluaran yang mewaakiliii kejadian yang
didefinisikan sebagai kejadian yang sukses, sedang keluaran yang
lainnya mewakilii kejadian yang didefinisikan sebagai kejadian yang
gagal. Bila ada lebih dari dua keluaran yang mungkin dari suatuu
event atau kejadian, maka keluaran itu dapat dikelompokan menjadi
kelompok keluaran yang mewaakili kejadian yang sukses sedang
sisanya bisa dikelompokan sebagai kejadian yang gagal.
Bila suatu eksperimen akan menghasilkan berbagai
kemungkinan keluaran maka semua keluaran yang mungkinn dari
eksperimen tersebut disebut sebagai ruang sampel (sample space).
Jika semua keluaran dari eksperimen ini bisa dikelompokan menjadi
dua yaituu kelompok keluaran atau kejadian yang didefinisikan
sebagai kejadian sukses, sedanng kelompok lainnya adalah kelompok
yang didefinisikan sebagai kelompok kejadian gagal maka secara
umum probilitas sukses dan gagal dari kejadian diatas dapat
didefinisikan sebagai.
P(sukses) = p = s (2.1)
s+f
P(gagal) = q = f (2.2)
s+f
Dimana :
P = banyaknya cara kejadian sukses yang dapat terjadi
q = banyaknya cara kejadian kegagalan yang dapat terjadi
contoh 2.1
Pada eksperimen pelemparan tiga buah mata uang logam sebanyak
tiga kali maka ruang sampel dari eksperimen itu adalah
17
S = { KKK, KKE, KEK, EKK, KEE, EKE, EEK, EEE }
Dengan K adalah bagian atas dan E adalah bagian belakang dari mata
uang logam tersebut. Jika didefinisikan kejadian yang menghasilkan
ketiga bagian atas dari mata uang logam itu sebagaii kejadian sukses
maka probabilitas sukses dari eksperimen itu adalah
P(sukses) = 1 q
8
2.2 Permutasi
Sebuah susunan dari n buah obyek dalam urutan tertentu
disebut permutasi dari obyek. Susunan dari sembarang r dari n obyek
dengan r £ n disebut permutasi r atau permutasi r obyek dari n obyek
dan dinotasikan sebagai P(n,r) atau nPr. Secara umum permutasi r
obyek dari n obyek dan dirumuskan oleh
n! (2.3)
n Pr = (n - r)!
Dengan
n! = n.(n -1).(n -2)……..1
0! = 1
Contoh 2.2
Dari 10 buah persediaan pompa yang ada di gudang, 4 diantaranya
akan diistal pada empat buah subsistem yang berbeda. Ada beberapa
cara untuk memilih 4 buah pompa ini dari 10 bbuah pompa yang ada.
18
Solusi
Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan menggunkan konsep
permutasi, mengingat penempatan pompa pada subsistem tertentu
identik dengan memberikan urutan tertentu pada pompa yang akan
dipasang.
r1!r2!....rk!
Contoh 2.3
Beberapa patern yang berbeda yang dapat dibuat dalam sebuah baris
bila ada 10 buah lampu berwarna yang 4 diantaranya berwarna
merah, 3 diantaranya berwaarna kuning dan 3 diantaranya berwarna
hijau.
Jawab
19
2.3 Kombinasi
Jumlah kombinasi dari n obyek yang berbeda adalah jumlah
pilihan yang berlainan dari r obyek, masing-masing tanpa
memandang urutan dari susunan dari obyek didalam kelompok
tersebut. Hal inilah yang membedakan antara permutasi dan
kombinasi. Jumlah kombinasi r obyek dari n obyek dinotasikan oleh n
( )
C r atau nr . Secara umum kombinasi r obyek dari n obyek dapat
diekspresikan ke dalam formula
(n )= C = n! (2.5)
r n r (n - r)!r!
Contoh 2.4
Sebuah sub sistem mempunyai dua buah modul yang identik. Kedua
modul ini didesain untuk bekerja secara bergiiran atau standby. Bila
ada 4 buah modul yang tersedia, ada beberapa cara untuk memilih
kedua modul untuk diinstal kedalam sub sistem tersebut.
Solusi
Untuk menginstal kedua modul ini, bisa dipilih dua modul diantara
empat buah modul yang tersedia tanpa memperhatikan urutan
penempatan modul itu didalam sub sistem karena modul yang diinstal
adalah identik. Banyaknya cara untuk memilih modul bisa dipecahkan
dengan menggunakan formula kombinasi yaitu
= 6 cara
(24 )=
4! q
( 4 - 2)!2!
20
2.4 Pemakaian Permutasi dan Kombinasi Untuk Perhitungan
Probabilitas
Dalam aplikasi teori keandalan secara praktis, konsep
kombinasi umumnya lebih penting dari permutasi, karena umumnya
perlu untuk mengetahui event-event apa yang bila dikombinasikan
akan menyebabkan kegagalan dari suatu sistem, dan urutan
bagaimana kegagalan itu terjadi jarang yang peduli.
Berikut ini akan diberikan beberapa contoh pemakaian
permutasi dan kombinasi dalam perhitungan probabilitas
Contoh 2.5
Empat buah bola lampu dipilih secara random dari 10 buah lampu
yang ada dimana 3 diantaranya adalah bola lampu yang rusak.
Hitung probabilitas dari pengambilan keempat bola lampu itu juga.
a) Keempat bola lampu yang diambil tidak ada yang cacat
b) Ada satu bola lampu yang cacat
c) Paling sedikit ada satu buah bola lampu yang cacat.
Solusi
Banyaknya cara untuk memilih 4 bola lampu dari 10 buah lampu ada
æ10 ö = 10! = 210 cara
ç ÷
è 4 ø (10 - 4)!4!
æ7 ö 7! = 35 cara
ç ÷=
è 4ø (7 - 4)!4!
21
P(4 bola lampu baik) = 35 = 1 q
210 6
b) Dari data, ada 3 buah bola lampu yang cacat dan
(3 )
7! = 35 cara untuk memilih 3 buah lampu yang tidak
7
= ( 7 - 3)!3!
Contoh 2.6
Jika tiga buah kartu diambi secara acak dari saatu set kartu yang
lengkap, hitung probabilitas
a) Ketiga kartu itu adalah kartu yang bergambar hati
b) Dua kartu bergambar hati dan satu bergambar diamond
22
Solusi
Banyaknya cara untuk memilih 3 buah kartu dari 52 buah kartu ada
æ52 ö = 52! = 22100 cara
ç ÷
è 3ø (52 - 3)!3!
a) Banyaknya cara untuk mengambil 3 buah kartu yang bergambar
hati dari 13 buah kartu yang bergambar hati ada
æ13 ö = 13! = 286 cara
ç ÷
3
è ø (13 - 3)!3!
P( 3 kartu bergambar hati ) = 286 = 11 q
22100 850
è 2 ø (13 - 2)!
Sehingga banyaknya cara untuk mengambil tiga buah kartu
dimana satu kartu bergambar diamond dan dua lainnya bergambar
hati ada 13 x 78 = 1014 cara.
1014 39
P(1 kartu diamond dan 2 kartu hati) = = q 22100
850
23
hasil keluaran yang dihasilkan oleh dadu tidak akan mempengaruhi
hasil keluaran koin.
24
Gambar 2.1
Kejadian komplementer
P( B) = P(A Ç B) (2.7)
A P(B)
25
persamaan 2.7 dapat pula diubah menjadi
P( A) = P(A Ç B) (2.8)
B
P( A)
Contoh 2.7
Dari data perawatan peralatan-peralatan yang berada di dalam suatu
sistem pembangkit tenaga listrik, 25% kerusakan yang terjadi
disebabkan karena kerusakan mekanik, 15% kerusakan yang terjadi
disebabkan oleh kerusakan elektrik, dan 10% kerusakan yang terjadi
disebabkan karena kerusakan mekanik dan elektrik. Bila sebuah
peralatan dipilih secara random tentukan
a. probabilitas kerusakan peralatan itu disebabkan oleh kerusakan
elektrik setelah sebelumnya terjadi kerusakan mekanik.
b. probabilitas kerusakan peralatan itu disebabkan oleh kerusakan
mekanik setelah sebelumnya terjadi kerusakan elektrik.
Solusi
Misalkan,
M = kejadian yang mewakili kerusakan peralatan yang
disebabkan oleh kerusakan mekanik.
P(M) = 0,25
E = kejadian yang mewakili kerusakan peralatan yang
disebabkan oleh kerusakan elektrik.
P(E) = 0,15, dan P(M Ç E) = 0,10.
P(E Ç M) 0,10
a. P(E M) = = = 0,4
P(M)0,25
26
b. P(M E) = P(E Ç M) = 0,10 = 0,667 q
P(E) 0,15
Independent events
Untuk independent events probabilitas dari masing-
masing kejadian tidak saling mempengaruhi sehingga untuk
kasus ini akan berlaku P(A ç B) = P(A) dan P(B ç A) = P(B).
Secara matematis probabilitas kejadian secara serentak untuk
dua kejadian yang saling bebas dapat diekspresikan sebagai
27
Contoh 2.8
Seorang insinyur akan memilih dua buah modul sistem kontrol.
Probabilitas modul A tidak cacat adalah 0,95 dan probabilitas modul B
tidak cacat adalah 0,87. Probabilitas dari kedua modul itu untuk tidak
cacat dapat dihitung sebagai
Dependent events
Jika dua kejadian tidak saling bebas, maka probabilitas
dari kejadian satu event akan dipengaruhi oleh kejadian
lainnya. Dalam kasus ini, persamaan 2.9 akan berubah menjadi
29
Aplikasi dari probabilitas kondisional
Konsep probabilitas kondisional yang diekspresikan dalam
persamaan 2.7 dan 2.8 dapat diperluas dengan memperluas salah
satu event, misal event A, menjadi tergantung dari beberapa event
mutually exclusive Bi. Perluasan dari konsep ini dapat dilihat pada
gambar 2.2.
Gambar 2.2
Probabilitas Kondisional
30
.
P(A Ç Bi) = P(A | Bi).P(Bi)
.
.
.
P(A Ç Bn) = P(A | Bn).P(Bn)
Contoh 2.9
Tiga buah mesin A,B, dan C masing-masing menghasilkan produk
40%, 35%, dan 25% dari total produk yang dihasilkan oleh pabrik
tersebut. Persentase dari barang-barang yang cacat yang dihasilkan
oleh masing-masing mesin ini adalah 2%, 3% dan 4%. Jika sebuah
produk diambil secara random, tetntukan probabilitas bahwa produk
yang diambil itu adalah produk yang cacat.
Solusi
Jika
31
Y = Kejadian yang mewakili sebuah item yang cacat
A = Kejadian yang mewakili sebuah item diproduksi oleh
mesin A
B = Kejadian yang mewakili sebuah item diproduksi oleh
mesin B
C = Kejadian yang mewakili sebuah item diproduksi oleh
mesin C
maka
P(Y) = P(A)P(Y|A) + P(B)P(Y|B) + P(C)P(Y |C)
= (0,4)(0,02) + (0,35)(0,03) + (0,25)(0,04)
= 0,008 + 0,0105 + 0,0100
= 0,0285
Contoh 2.10
Sebuah produk diproduksi dari dua plant. Plant pertama
menghasilkan 60% dari seluruh produk sedang sisanya yang 40%
diproduksi oleh plant 2. Dari plant 1, 95% produk diantaranya
memenuhi standard yang disyaratkan sedang dari plant 2, 90%
produk yang dihasilkan memenuhi standard yang ditentukan.
Tentukan :
a. Dari 100 produk yang dibeli oleh konsumen berapa buah
yang akan memenuhi standard.
b. Jika diberikan sebuah produk yang standar, berapa
probabilitas bahwa produk itu di hasilkan oleh plant 2.
Solusi
Jika
A = Kejadian yang mewakili produk yang standar
B1 = Kejadian yang mewakili produk yang dihasilkan oleh plant 1
32
B2 = Kejadian yang mewakili produk yang dihasilkan oleh plant
2 maka
33
Khusus untuk keperluan pengevaluasian keandalan dari suatu
sistem, tujuan dari pengevaluasian adalah untuk mengevaluasi
probabilitas kesuksesan atau probabilitas kegagalan dari suatu
sistem, sehingga untuk keperluan ini, persamaan (2.19 ) dapat
dimodifikasi menjadi
Contoh 2.11
Sebuah subsistem terdiri dari dua komponen yaitu komponen A dan
komponen B. Agar subsistem ini sukses menjalankan misinya, kedua
komponen ini harus bekerja dengan baik. Dengan menggunakan
persamaan 2.20, dapatkan probabilitas untuk sukses dari subsistem
tersebut.
Solusi
Misalkan,
RA = Probabilitas kesuksesan dari komponen A untuk dapat
menjalankan misinya.
QA = Probabilitas kegagalan dari komponen A untuk dapat
menjalankan misinya.
34
dan RA + QA = 1
RB = Probabilitas kesuksesan dari komponen B untuk dapat
menjalankan misinya.
QB = Probabilitas kegagalan dari komponen B untuk dapat
menjalankan misinya.
dan RB + QB = 1
Maka,
P(sistem sukses) = P(Sistem sukses | komponen B bagus).P(B
bagus) + P(sistem gagal | komponen B
jelek).P(B jelek)
= (RA x RB ) + (0 x QB) = RA x RB
Contoh 2.12
Dari data perawatan peralatan-peralatan yang berada didalam suau
sistem pembangkit tenaga listrik, 25 % kerusakan yang terjadi
disebabkan karena mekanik, 15 % kerusakan yang terjadi
disebabkan karena elektrik, dan 10% kerusakan yang terjadi
disebabkan karena kerusakan mekanik dan elektrik. Bila sebuah
peralatan dipilih random tentukan
a. Probabilitas kerusakan peralatan itu disebabkan oleh kerusakan
elektrik setelah sebelum nya terjadi kerusakan mekanik.
b. Probabilitas kerusakan peralatan itu disebabkan oleh kerusakan
mekanik setelah sebelumnya terjadi kerusakan elektrik
35
Solusi
Misalkan
P(M) 0,25
b. P(M E) P(E Ç M) 0,10 0,667 q
= =
P(E) =
0,15
37
2.7 Referensi dan Bibliografi
38
Pemodelan Jaringan
Dan Evaluasi Sistem
3.1 Pendahuluan
Untuk meegevaluasi keandalan dari suatu komponen atau
sistem yang pertama kali harus dilakukan adalah dengan
memodelkan komponen atau sistem tersebut kedalam diagram blok
keandalan (reliabiliy block diagram). Dari diagram blok keandalan ini
kemudian dihitung keandalan dari komponen atau sistem yang
bersangkutan. Hal ini sangat mungkin dilakukan untuk sistem yang
sederhana. Untuk sistem yang lebih kompleks, evalusi keandalan
dapat dilakukan dengan memakai teknik lain seperti pendekatan
probabilitas kondisional (conditiional probabilistic approach),
himpunan pemotong (cut set), himpunan pengumpul (tie set) dan
pendekatan-pendekatan probabilistik lain.
Dalam mengevaluasi keandalan dari sistem, indeks keandalan
dari masing-masing komponen yang ada didalam sistem yang akan
dievaluasi dapat diekspresikan dengan nilai yang konstan untuk
didurasi waktu tertentu. Cara mengevaluasi keandalan sistem seperti
ini dikategorikan sebagai evaluasi model keandalan statis.
39
Evaluasi keandalan dari suatu sistem dengan memakai model
statis biasanya dilakukan pada analisa pendahuluan untuk mendesain
suatu sistem. Model stastis dipakai untuk mengeveluasi berbagai
kemungkinan desain dan dipakai untuk menentukan level keandalan
yang diperlukan baik untuk subsistem dan komponen yang ada
didalam sistem.
Untuk membuat blok diagram keandalan dari suatu sistem,
antara bentuk fisik sistem dan model blok diagram keandalan dari
sistem tidak harus selalu sama. Blok diagram keandalan dari sistem
akan sangat tergantung dari kepiawaian sang analisis dalam
memahami cara kerja suatu sistem dan menerjemahkannya kedalam
blok diagram keandalan. Susunan diagram blok keandalan ini untuk
sistem yang sederhana pada dasarnya terdiri dari susunan seri dan
paralel atau kombinasi susunan seri dan paralel.
Sebagai contoh yang sederhana akan dipakai sebuah subsistem
yang terdiri dari dua buah filteer. Jika didefinisikan agar sistem itu
dapat berfungsi diperlukan dua buah filter yang bekerja bersama-
sama, maka diagram bllok keandalan dengan susunan seri adalah
yang paling tepat untuk dipakai sebagai model. Sedang bila sistem itu
akan berfungsi dengan baik bila hanya membutuhkan satu buah filter
yang bekerja, maka diagram blok keandalan dengan susunan paralel
adalah yang paling tepat untuk dipakai sebagai model. Gambar .
menunjukan blok diagram keandalan dengan susunan seri dan paralel
dari dua buah filter yang dipakai sebagai contoh penjelasan.
40
1
1 2
Gambar 3.1
Susunan seri dan paralel
41
komponen. Secara matematis, jika Rs menyatakan keandalan dari
sistem diatas maka
(3.1)
Rs = R1R2
Ri + Qi = 1 (3.2)
1 2 ... n
Gambar 3.2
Diagram blok keandalan dari n buah komponen dalam susunan seri
42
n
R = R R .....R = P R (3.3)
s 12 n i=1 i
n
Q =1-R =1- PR (3.4)
s s i=1 i
Contoh 3.1
Sebuah sistem kontrol terdiri dari lima buah unit dimana semua unit
pendukungnya ini bekerja seluruhnya agar sistem kontrol tersebut
dapat berfungsi. Jika indeks keandalan dari kelima unit itu masing-
masing adalah 0,9; 0,95; 0,87; dan 0,9, tentukan indeks keandalan
dari sistem kontrol tersebut.
Solusi
Blok diagram keandalan yang paling mewakili dari sistem kontrol
tersebut adalah blok diagram keandalan dengan susunan seri. Jika
keandalan dari masing-masing unit diekspresikan dalam Ri maka
keandalan dari sistem kontrol ituu adalah
5
Rs = P Ri = (0,9)(0,95)(0,87)(0,93)(0,9) = 0,622602 q
i =1
Contoh 3.2
a. Dari contoh 1, jika masing-masing komponen mempunyai
keandalan 0,9, tentukan keandalan dari sistem kontrol diatas.
43
b. Jika seorang desainer sanggup menyederhanakan sistem kontrol
tersebut diatas hanya menjadi tiga unit, dengan nilai keandalan
untuk masing-masing unit tetap 0,9, hitung keandalan dari sistem
kontrol yang baru.
c. Beri komentar tentang nilai keandalan dari dua sistem tersebut
diatas
Solusi
a. Untuk sistem kontrol dengan susunan seri dari lima unit yang
memiliki keandalan yang sama R1 = R2 = R3 = R4 = R5 = R = 0,9
5
5 5
Rs = P Ri = R = (0,9) = 0,59049 q
i =1
b. Untuk sistem kontrol dengan susunan seri dari tiga unit yang
memiliki keandalan yang sama R1 = R2 = R3 = R = 0,9
3
3 3
Rs = P Ri = R = (0,9) = 0,729 q
i =1
44
1,2
0,9999
1
0,999
Keandalan Sistem 0,8
0,6
0,99
0,98
0,4
0,97
0,2 0,95
0,9
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Jumlah Komponen
Gambar 3.3
Keandalan dari komponen-komponen dengan susunan seri.
Angka di dekat kurva menunjukkan keandalan untuk masing-masing komponen
Contoh 3.3
Sebuah sistem terdiri dari 10 buah komponen yang identik. Agar
sistem ini dapat bekerja kesepuluh komponen ini harus bekerj
45
seluruhnya. Jika sistem ini didesain agar memiliki keandalan 0,95,
tentukan nilai minimum dari masing-masing komponen
Solusi
Jika keandalan masing-masing kompponen adalah R, keandalan
untuk sistem itu adalah
10
Rs = R
Keandalan yang disyaratkan adalah 0,95, sehingga keandalan dari masing-masing komponen dapat dicari
dengan menyelesaikan persamaan
10
R = 0,95
R = 0,994884 q
n (3.5)
Rs = R
Persamaan 3.5 diatas dapat juga ditulis dalam bentuk
ketakandalan sebagai
n (3.6)
Rs = (1 - Q)
46
Dengan menerapkan teorema binomial, persamaan diatas
dapat diselesaikan menjadi
Rs = 1 + n(-Q) + n(n - 1) 2 n (3.7)
(-Q) + .... + (-Q)
2
Jika nilai dari Q adalah sangat kecil, maka keandalan dari sistem
dengan n komponen yang identik dalam susunan seri adalah
Rs » 1 - nQ (3.8)
0,95 = 1 –10Q
-3
Q = 5 x 10
-3
R = 1 – Q = 1 – 5 x 10 = 0,995
Rp = 1 - Qp = 1 - Q1Q2 (3.10)
atau
Q = Q Q ....Q n (3.12)
=P Q
p 12 n i=1 i
48
1
..
.
Gambar 3.4
Blok diagram keandalan n buah komponen dalam susunan paralel
Contoh 3.4
Sebuah sistem yang terdiri dari tiga buah komponen dengan
keandalan untuk masing-masing komponen adalah R1 = 0,9, R2 =
0,95, dan R3 = 0,97. Ketiga kompponen inii akan disusun secara
paralel. Hitung keandalan dari sistem ini.
49
Solusi
Ketakandalan dari sistem ini adalah
-4
Qp = Q1Q2Q3 = 0,1 x 0,05 x 0,03 = 1,5 x 10
Keandalan dari sistem inii adalah
-4
Rp = 1 – Q p = 1 – 1,5 x 10 = 0,99985
Contoh 3.5
Seorang system engineer akan mendesain sebuah subsistem yang
merupakan bagian dari sebuah sistem pengolahan minyak. Subsistem
ini hanya memerlukan satu buah komponen agar dapat menunjang
proses pengolahan minyak. Untuk meningkatkan keandalan dari
subsistem ini insiyur tadi merencanakan akan memasang komponen
yang identik dalam subsistem ini secara paralel. Karena keterbatasan
dana hanya ada tiga buah alternatif subsistem yang akan ia desain,
masing-masing desain terdiri dari 2,3, dan 4 komponen. Keandalan
dari masing-masing komponen ini adalah 0,98. Jika sasaran dari
pemilihan desain ini adalah untuk mendapatkan tingkat keandalan
yang tinggi, susunan mana kira-kira yang akan dipilih oleh insyiyur
tadi.
50
1,2
0,95
0,75
0,85
1
0,8
0,8
Keandalan
Sistem
0,6
0,4
0,2
0
0 2 4 6 8 10
Jumlah Komponen
Gambar 3.5
Keandalan dari komponen-komponen dengan susunan seri.
Angka di dekat kurva menunjukkan keandalan untuk masing-masing komponen
Solusi
Untuk subsistem dengan dua komponen keandalan dari subsistem itu
adalah :
2 2
Rp = 1 – Q = 1 – 0,02 = 0,9996
51
Untuk subsistem dengan tiga komponen keandalan dari subsistem itu
adalah
3 3
Rp = 1 – Q = 1 – 0,02 = 0,999992
4 4
Rp = 1 – Q = 1 – 0,02 = 0,99999984
Dari hasil perhitungan diatas jelas insiyur tadi akan memilih desain
ketiga yaitu buah komponen dalam susunan paralel.
Contoh 3.6
Gambar dibawah inii menunjukan blok diagram keandalan dari suatu
sistem. Keandalan untuk masing-masing kompponen adalah R 1 = R2
= 0,97 ; R3 = 0,99 ; R4 = 0,94 ; R5 = 0,98 ; R6 = 0,93. Hitung
keandalan dari sistem tersebut.
1 2 n
4 5 6
Gambar 3.6
Diagram blok keandalan untuk contoh soal nomor 6
Solusi
Untuk menyelessaikan konfigurasi seperti ini, terlebih dahulu
komponen 1,2, dan 3 disederhanakan menjadi sebuah komponen
yang ekuivalen yaitu komponen 7. Demikian juga dengan komponen
4,5 dan 6. Ketiga kompponen ini disederhanakan menjadi sebuah
komponen yang ekuivalen yaitu komponen 8
53
7
Gambar 3.7
Penyerdehanaan blok diagram keandalan contoh soal 6
R7 = R1R2R3
= 0,95x0,97x0,99 = 0,912285
R8 = R4R5R6
= 0,94x0,98x0,93
atau
R9 = 1 - Q7Q9
= 1 - (0,087715)(0,143284)
= 0,987431843
54
Contoh 3.7
Dapatkan ekspresi umum untuk sistem yang diwakili oleh blok
diagram keandalan seperti pada gambar 3.8 berikut ini, jika semua
komponen memilki keandalan R dan Ketakandalan Q
Gambar 3.8
Diagram blok keandalan contoh soal 3.7
Solusi
Komponen 1 dan 2 disederhanakan menjadi sebuah komponen yang
ekuivalen, yaaitu komponen 7. Demikian juga komponen 4 dan 5
disederhanakan menjadi sebuah ko
ponen yang ekuivalen, yaitu komponen 8
55
7 3 9
11
8 6 10
Gambar 3.9
Penyederhanaan diagram blok keandalan contoh soal 3.7
R7 = 1 - Q1Q2 = R1 + R2 - R1R2
2
R7 = 2R - R
R9 = R7R3
2
=
(2R - R )R
2 3
=
2R -R
56
Untuk komponen 10, yang memiiki konfigurasi dan keandalan
masing-masing komponen yang sama dengan komponen 9,
keandalannya adalah
R10 = R8R6
2
=
(2R - R )R
2 3
=
2R -R
Keandalannya untuk seluruh sistem adalah
R =R R
11 9 10
= 2 32
(2R -R )
57
akan memperjelas pembahasan mengenai sistem dengan struktur
berlebihan secara parsial.
Contoh 3.8
Sebuah sistem yang terdiri dari tiga buah susbsistem dengan
keadalan untuk masing-masing subsistem adalah R 1, R2, dan R3.
Agar sistem itu dapat berfungsi, minimal harus ada dua sistem yang
berfungsi. Diagram blok keandalan untuk sistem ini diilustrasikan
pada gambar 3.10. Dapatkan ekspresi umum yang mewakili
keandalan sistem tersebut.
Gambar 3.10
Diagram blok keandalan contoh soal 8
Solusi
Dengan mengaplikasikan konsep distribusi binomial, keandalan
dari sistem itu dapat diekspresikan sebagai
58
Jika masing-masing subsistem memiliki keandalan yang sama yaitu
R, maka ekspresi keandalan dari sistem itu adalah
RSistem = R3 + 3R2Q
q
59
Gambar 3.11
Konfigurasi component-level redundancy dan system-level redundancy
60
Sedang untuk konfigurasi pada gambar 3.11 b, jika keandalan untuk
masing-masing komponen adalah R, maka keandalan dari sitem itu
adalah
R = 1 - (1 - Rn )m (3.15)
Sistem b
Plot kurva dari persamaan 3.14 dan 3.15 dapat dilihat pada gambar
3.12 dan 3.13.
1.05
1
m=4, R=0,9
0.95
m=2, R=0,9
m=3, R=0,9
m=4, R=0,8
siste
0.9
m=3, R=0,8
Keandalan
0.8
0.75
0.7
1 2 3 4 5
Jumlah komponen (n)
Gambar 3.12
Plot kurva untuk persamaan 3.14
61
1.1
Siste
0.9
m=4, R=0,9
m=3, R=0,9
m=2, R=0,9
Keandalan
m=3, R=0,8
m=2, R=0,8 m=4, R=0,8
0.7
0.5
1 2 3 4 5
Jumlah Komponen (n)
Gambar 3.13
Plot kurva untuk persamaan 3.15
62
3.7 Standby Redundant System
Pada sistem paralel redundancy, seluruh komponen
dioperasikan secara simultan, sedangkan pada sistem standby
redundant, unit standby akan dioperasikan hanya ketika dalam
keadaan normal unit operasi dalam keadaan gagal. Perbedaan antara
dua hal itu digambarkan dalam gambar 3.14 dibawah ini.
Secara umum ada dua buah kasus dasar yang berhubungan
dengan switching. Pertama, kita bisa menganggap switch yang
dipakai adalah switch yang sempurna sehingga bisa dikategorikan
sebagai kasus pengalihan yang sempurna (perfect switching) serta
yang kedua, kita bisa menganggap switch yang dipakai adalah switch
yang tidak sempurna sehingga bisa dikategorikan sebagai kasus
pengalihan yang tidak sempurna (Imperfect switching)
1 1
2 2
(a) (b)
Gambar 3.14
Sistem dengan susunan paralel dan sistem dengan susunan standby
Perfect switching
Pada kasus ini, switch diamsusikan tidak pernah gagal pada
saat pengoperasian dan juga tidak akan mengalami kegagalan pada
63
saat melakukan pengalihan dari pengoperasian normal ke posisi
standby. Gambar 3.14 merupakan contoh tipikal dari sebuah sistem
yang memiliki susunan standby.
Jika diasumsikan bahwa komponen 2 tidak mengalami
kegagalan pada saat sedang dalam kondisi standby, maka sistem
hanya akan mengalami kegagalan bila komponen 1 satu telah gagal
sebelumnya dan setelah pengoperasiannya dialihkan ke komponen 2,
komponen 2 juga gagal beroperasi.
Q = Q (1)Q (2 1) (3.16)
64
Imperfect Switching
Untuk kasus ini, kemungkinan switch mengalami kegagalan dalam
mengalihkan tugas dari komponen aktif ke komponen standby akan
dimasukkan dalam perhitungan. Jika Ps menyatakan probabilitas dari
sukses dari switch untuk mengalihkan tugas, maka probabilitas
kegagalan dari switch untuk melakukan pengalihan tugas dapat
dinyatakan oleh Ps = 1 – Ps.
Dengan menggunakan persamaan (2.21), maka untuk kasus
imperfect switching dapat diformulasikan ke dalam persamaan
berikut ini.
)
(3.18)
= Q1 - Q1Ps (1 - Q2 )
1 PS RS
S S
2
65
Gambar 3.15
Blok diagram untuk kasus standby redundancy dengan switch tak sempurna
1 3
2 4
Gambar 3.16
Sistem dengan susunan jembatan
67
2.20 dan 2.21 akan dipakai untuk mengevaluasi keandalan sistem.
Kedua persamaan itu adalah
Contoh 3.9
Untuk sistem yang diwakili oleh gambar 3.16, sistem itu akan
berfungsi jika salah satu jalur 13, 24, 154, atau 253 dalam kondisi
yang bagus. Tentukan ekspresi keandalan dari sistem yang memiliki
blok diagram keandalan seperti pada gambar 3.16.
Solusi
Untuk menerapkan pendekatan probabilitas bersyarat, yang
pertama harus dilakukan adalah memilih komponen yang akan
dipertimbangkan sebagai komponen yang baik dan komponen yang
buruk. Semua komponen yang ada yaitu komponen 1 sampai
komponen 5 dapat dipilih sebagai komponen yang akan
dipertimbangkan sebagai komponen yang baik dan buruk. Pemilihan
komponen ini sangat penting, karena pemilihan komponen yang tepat
akan sangat membantu untuk mempercepat penyelesaian evaluasi
keandalan dari sistem.
68
Untuk soal diatas, komponen nomor 5 dipilih sebagai komponen
yang akan dipertimbangkan. Akibat dari pemilihan komponen ini,
maka akan ada dua buah blok diagram keandalan yang masing-
masing mewakili kondisi komponen 5 dalam keadaan baik dan buruk.
Gambar 3.17 menunjukkan pembagian blok diagram ini.
1 3
2 4
1 3 1 3
2 4 2 4
Gambar 3.17
Blok diagram untuk komponen no. 5 dalam kondisi baik dan jelek
70
4 1
5 3
Gambar 3.18
Blok diagram keandalan untuk contoh soal 3.10
Contoh 3.10
Gambar 3.18 menunjukkan sebuah blok diagram keandalan dari
suatu sistem. Diketahui R1 = 0,80, R2 = 0,85, R3 = 0,90, R4 = 0,95,
dan R5 = 0,97. Dengan menggunakan pendekatan probabilitas
bersyarat, tentukan keandalan dari sistem tersebut.
Solusi
Seperti pada contoh soal terdahulu, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah memilih komponen yang akan dipakai sebagai
acuan sebagai komponen bersyarat. Untuk soal di atas komponen
nomor 2 adalah komponen yang paling cocok untuk dipilih sebagai
komponen yang akan dipakai sebagai acuan sebagai komponen
bersyarat. Jika komponen 2 dalam keadaan baik, maka blok diagaram
keandalan yang ditunjukkan pada gambar 3.18 akan berubah
menjadi seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.19 sedang jika
komponen 2 dalam keadaan jelek, maka blok diagaram keandalan
yang ditunjukkan pada gambar 3.18 akan berubah menjadi seperti
yang ditunjukkan pada gambar 3.20.
71
4
Gambar 3.19
Blok diagram keandalan contoh soal no. 3.10
untuk kondisi komponen no. 2 dalam kondisi baik
4 1
5 3
Gambar 3.20
Blok diagram keandalan contoh soal no. 3.10
untuk kondisi komponen no. 2 dalam kondisi jelek
72
Untuk kondisi jika komponen 2 dalam keadaan baik, maka keandalan
dari sistemnya bisa diturunkan dari blok diagram pada gambar 3.19,
yaitu
73
mengakibatkan sistem tidak berfungsi. Sistem tersebut juga tidak
akan berfungsi jika komponen 2 dan 3 dalam keadaan rusak,
komponen 1 dan 2 dalam keadaan rusak, komponen 1 dan 3 dalam
keadaan rusak, dan bila ketiga komponen dalam keadaan rusak. Bila
komponen-komponen yang sudah disebutkan di atas dikumpulkan
dalam sebuah himpunan (set) maka terbentuk himpunan yang
beranggotakan komponen-komponen yang bila komponen-komponen
itu dalam keadaan rusak akan menyebabkan sistem tidak berfungsi.
Ini merupakan konsep dari cut set. Jadi cut set dapat didefinisikan
sebagai berikut.
Sebuah cut set dikatakan sebagai minimal cut set bila salah satu
komponen yang terdapat di dalam minimal cut set itu mengalami
kegagalan, maka akan menyebabkan seluruh sistem akan mengalami
kegagalan pula, tetapi bila salah satu komponen yang terdapat di
dalam mininimal cut set bekerja, maka tidak mengakibatkan sistem
menjadi gagal.
Cut set dari blok diagram keandalan pada gambar 3.21 adalah :
{1}, {2,3}, {1,2}, {1,3}, dan {1,2,3}. Sedang minimal cut set dari
blok diagram keandalan pada gambar 3.21 adalah : {1}, {2,3}.
74
2
Gambar 3.21
Blok diagram keandalan
75
1 2
1 3
4 3
2 4
5 5
Gambar 3.22
Minimal cut set dari contoh 3.22
76
n n i -1
Contoh 3.11
Gunakan formula 3.29 untuk menghitung ketakandalan dari sistem
yang memiliki diagram blok keandalan seperti pada gambar 3.16.
Solusi
Minimal cut set untuk kasus struktur jembatan seperti pada
gambar 3.16 adalah
77
P(C1 Ç C3 ) = P(C1 ) P(C3 ) = Q1Q2 Q4 Q5
P(C1 Ç C4 ) = P(C1 ) P(C4 ) = Q1Q2 Q3 Q5
P(C2 Ç C3 ) = P(C2 ) P(C3 ) = Q1 Q3 Q4 Q5
P(C2 Ç C4 ) = P(C2 ) P(C4 ) = Q2 Q3 Q4 Q5
P(C3 Ç C4 ) = P(C3 ) P(C4 ) = Q1Q2 Q3 Q4 Q5
= Q1 Q2 Q3Q4 Q5
QS = Q1 Q2 + Q3 Q4 + Q1 Q4 Q5 + Q2 Q3 Q5 - Q1Q2 Q3 Q4 - Q1 Q2 Q4 Q5 - Q1 Q3
Q4 Q5 - Q2 Q3 Q4 Q5 + 2Q1 Q2 Q3 Q4 Q5
(3.31)
78
RS = 1 - QS = 0,994781
Contoh 3.12
Dengan menggunakan persamaan (3.32) dan (3.34), hitung
keandalan dari sistem yang memiliki blok diagram keandalan seperti
yang ditunjukkan pada gambar 3.16. Bandingkan nilai keandalan
yang diperoleh dengan memakai metode pendekatan ini dan nilai
keandalan yang telah dihitung pada contoh 3.11.
Solusi
Dengan mengambil nilai keandalan untuk masing-masing komponen
dari contoh soal 3.10 yaitu R1 = R2 = R3 = R4 = R5 = R = 0,95, maka kita
akan memeperoleh nilai-nilai ketakandalan dari masing-masing
komponen adalah
Q1 = Q2 = Q3 = Q4 = Q5 = Q = 0,05 .
Dengan demikian
P(C ) = Q Q = Q 2 P(C ) = Q Q Q = Q 3
1 1 2 3 1 4 5
P(C ) = Q Q = Q 2 P(C ) = Q Q Q = Q 3
2 3 4 4 2 3 5
Ç
P(C1 C2 ) = P(C1 ) P(C2 ) = Q1 Q2 Q3Q4 = Q 4
Ç
P(C1 C3 ) = P(C1 ) P(C3 ) = Q1Q2 Q4 Q5 = Q 4
Ç
P(C1 C4 ) = P(C1 ) P(C4 ) = Q1Q2 Q3Q5 = Q 4
Ç
P(C2 C3 ) = P(C2 ) P(C3 ) = Q1Q3Q4 Q5 = Q 4
Ç
P(C2 C4 ) = P(C2 ) P(C4 ) = Q2 Q3 Q4 Q5 = Q 4
Ç
P(C3 C4 ) = P(C3 ) P(C4 ) = Q1Q2 Q3 Q4 Q5 = Q5
80
Sehingga upper bound ketakandalan dari sistem adalah
= 0,005218
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa tingkat kesalahan relatif hasil
perhitungan keandalan dan ketakandalan sistem dengan memakai
metode perhitungan masih dalam batas-batas yang wajar.
81
Contoh 3.13
Dengan menggunakan blok diagram keandalan pada gambar 3.18,
hitung ketakandalan dari sistem dengan menggunakan formula
(3.32) untuk upper bound ketakandalan sistem dan formula (3.33)
untuk lower bound ketakandalan sistem.
Solusi
Dari soal contoh soal nomor 2 diketahui R 1 = 0,80, R2 = 0,85, R3 =
0,90, R4 = 0,95, dan R5 = 0,97. Berikut ini adalah diagram blok
keandalan yang dipakai.
4 1
5 3
2 4 T2
1 4 5 T3
2 3 5 T4
Gambar 3.23
Tie set dari gambar 3.16
Yang perlu dicatat adalah, meskipun tie set dihubungkan secara
paralel, konsep sistem paralel tidak dapat digunakan karena
komponen sama dapat muncul dalam dua atau lebih tie set. Konsep
gabungan (union) akan berlaku seperti yang diaplikasikan pada
minimal cut set.
Dari konsep sebelumnya tie set dan gambar 3.16, reliabilitas
dari sistem ditunjukan dalam gambar 3.23 memiliki persamaan
Rs = P(T1 È T2 È T3 È T4 ) (3.34)
84
Rs = P(T1 ) + P(T2 ) + P(T3 ) + P(T4 ) - P(T1 Ç T2 )
- P(T1 Ç T3 ) - P(T1 Ç T4 ) - P(T2 Ç T3 ) - P(T2 Ç T4 )
- P(T3 Ç T4 ) + P(T1 Ç T2 Ç T3 ) + P(T1 Ç T2 Ç T4 ) (3.35)
+ P(T1 Ç T3 Ç T4 ) + P(T2 Ç T3 Ç T4 )
- P(T1 Ç T2 Ç T3 Ç T4 )
dimana
P(T1 ) = R1R3
P(T2 ) = R2 R4
P(T3 ) = R1R5R4
P(T4 ) = R2 R5R3
P(T1 Ç T2 ) = P(T1 )P(T2 ) = R1R2 R3 R4
P(T1 Ç T3 ) = P(T1 )P(T3 ) = R1R3R4 R5
P(T1 Ç T4 ) = P(T1 )P(T4 ) = R1 R2 R3R5
P(T2 Ç T3 ) = P(T2 )P(T3 ) = R1R2R4 R5
P(T2 Ç T4 ) = P(T2 )P(T4 ) = R2 R3 R4R5
P(T3 Ç T4 ) = P(T3 )P(T4 ) = R1 R2 R3 R4 R5
P(T1 Ç T2 ) = P(T1 )P(T2 ) = R1R2 R3 R4
P(T1 Ç T2 Ç T3 ) = P(T1 Ç T2 Ç T4 )
= P(T1 Ç T3 Ç T4 )
= P(T2 Ç T3 Ç T4 )
= P(T1 Ç T2 Ç T3 Ç T4 ) = R1R2 R3 R4 R5
85
Persamaan (3.35) memberikan indeks keandalan dari sistem. Jika R1
=
R2 =R3=R4=R5=R, persamaan (3.35) akan berubah
86
3.12 Referensi dan Bibliografi
Metode PengkajianKeandalan
Bagian 1
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
4.1 Pendahuluan
Terminologi dan pengertian keandalan (reliability), kese-
lamatan (safety), bahaya (hazard) dan resiko (risk) seringkali
tumpang tindih. Terminologi keselamatan atau analisa resiko (risk
analysis) memiliki makna yang sama sehingga kedua terminologi ini
dapat digunakan saling bertukaran satu dengan yang lain. Kedua
terminologi ini, seperti halnya analisa keandalan (reliability analysis)
merujuk pada studi pada proses kerja atau kegagalan peralatan serta
pengoperasiannya. Jika tujuan dari studi adalah untuk menentukan
parameter keselamatan (safety parameter), perlu kiranya untuk
mempertimbangkan kemungkinan kerusakan yang terjadi pada atau
yang disebabkan oleh sistem. Jika fase dari studi menyarankan
bahwa ada kemungkinan sistem mengalami kegagalan maka studi
resiko (risk study) akan dilakukkan untuk menentukan dampak
kegagalan dalam kerangka kemungkinan kerusakan terhadap properti
atau terhadap manusia.
1
Kecelakaan Tragis Pada
Berbagai Fasilitas
Menyebabkan
Demand untuk
Memperbaiki Tingkat
Keselamatan
Membutuhkan
ANALISA RESIKO
Rekomendasi Rekomendasi
Membutuhkan Membutuhkan
Pengembangan Sistem
Informasi
Membutuhkan
Pemanfaatan Teknologi
Informasi
Menghasilkan
Untuk Menjamin
Pengoperasian Fasilitas
Kritis secara AMAN
EFISIEN dan EKONOMIS
Gambar 4.1
Demand terhadap keselamatan
2
Sebuah contoh dari analisa keandalan adalah tentang analisa
seberapa sering sebuah reaktor kimia mengalami panas yang
berlebihan (overheat) karena pompa, heat exchanger, operator,
sistem kontrol, dan berbagai perlengkapan dan peralatan lain
mengalami malfungsi. Jika studi ini diperluas dengan melibatkan
kajian seberapa sering terjadinya penyimpangan temperatur yang
dapat menyebabkan terjadinya ledakan, maka kita akan melihat
masalah keselamatan atau bahaya. Untuk menyimpulkan studi
keselamatan yang dilakukan untuk permasalahan di atas, kita harus
melakukan verivikasi bahwa reaktor kimia tidak akan mengalami
panas yang berlebihan, tidak ada perlengkapan dan peralatan yang
mengalami kegagalan karena faktor-faktor diluar design envelope.
Jika analisa ledakan reaktor diperluas dengan melibatkan
sejumlah dampak – dampak berikut frekuensi terjadinya dampak –
dampak tersebut, maka anlisa resiko telah rampung. Karena Salah
satu tujuan dari analisa resiko adalah untuk menentukan probabilitas
seberapa sering resiko ini terjadi dan berbagai kemungkinan dampak
dari kegagalan sistem. Sebagai contoh, dampak dari ledakan yang
merupakan akibat dari penyimpangan temperatur reaktor mungkin
dapat berupa cedera ringan yang disebabkan oleh pecahan – pecahan
bagian reaktor atau berupa bencana mayor karena terjadinya
kebakaran.
Dengan semakin banyaknya kecelakaan dan musibah yang
menimpa mulai dari meledaknya pesawat Challanger (1986),
kecelakaan pesawat penerbangan komersial, kecelakaan reaktor
nuklir (Three Mile Island 1979, Chernobyl 1986), kecelakaan pada
proses pengolahan (Bhopal 1984), serta berbagai kecelakaan lain
yang menimpa industri maritim beserta damapak dari kecelakaan dan
musibah tersebut terhadap lingkungan, telah mendorong berbagai
pihak untuk meningkatkan tingkat keselamatan serta mengurangi
resiko yang mungkin terjadi akibat terjadinya satu kecelakaan pada
berbagai fasilitas yang kritis. Gambar 4.1 menunjukkan diagram yang
melatar belakangi perlunya meningkatkan keselamatan berbagai
3
fasilitas yang kritis yang mungkin memberikan dampak yang sangat
buruk baik secara ekonomis, keselamatan maupun dampak terhadapa
lingkungan bila sampai terjadi kecelakaan pada fasilitas kritis
tersebut.
Pada seksi berikutnya akan dibahas berbagai metode – metode
untuk analisa resiko secara garis besar. Bagi para pembaca yang
tertarik untuk mendalami analisa resiko lebih jauh, pembaca
disarankan untuk merujuk pada beberapa literatur yang dipakai pada
modul ini atau beberapa literatur lain.
4
( Apakah itu melibatkan reaktor kimia, tangki
penyimpanan, power plat atau hal lainnya)
Tabel 4.1
Kata penunjuk (guide words)
5
Tabel 4.2
Contoh checklist berbagai sumber bahaya
6
Tabel 4.3
Pengelompokan bahay berdasarkan dampaknya
Class Effects
Class I Hazards Negligible Effects
Class II Hazards Marginal Effects
Class III Hazards Critical Effects
Class IV Hazards Catastrophic Effects
Provide corrective
action
Decide to correct
Do both
hazards
Hazards found Provide contingency
and identified action
Performs Decide to accept
Hazards Analysis hazards
No hazards
found
Gambar 4.2
Decision tree intik hazards analysis
7
Boeing Company Format
1. Subsystem 3. Hazardous 4. Event causing 5. Hazardous 6. Evant causing 7. Potential 9. Hazard 10. Accident prevention measure
or function 2. Mode element hazardous element condition hazardous accident 8. Effect Class 10A1 10A2 10A3 11. Validation
condidtion Hardware Procedures Personel
1. Hardware or functional element being analyzed. will not produce equipment damage or personnel injury. Class II - Marginal -
2. Applicable system phases or modes of operation condition(s) such that personnel error, deficiency/inadequancy of design, or
3. Elements in the hardware or function being analyzed that are inherently hazardous malfunction will degrade performance. Can be counteracted or controlled without
4. Conditions, undesired events, or faults that could cause the hazardous element to become major damage or any injury to personnel. Class III - Critical - Condition(s) such that
the identified hazardous condition personnel error, deficiency/inadequancy of design, or malfunction will degrade
5. Hazardous conditions that could result from the interaction of the system and each performance, damage equipment or result in a hazard requiring immediate corrective
hazardous element in the system action for personnel or equipment survival. Class IV - Catastrophic -
condition(s)
6. Undesired events or faults that could cause the hazardous condition to become the such that personnel error, deficiency/inadequancy of design, or malfunction will
identified potential accident severely degrade performance and cause subsequent equipment loss and / or death
7. Any potential accidents that could result from the identified hazardous conditions or multiple injuries to personnel.
8. Possible effects of the potential accident, should it occur. 10. Recommended preventive measures to eliminate or control identified hazardous
9. Qualitative measure of significance for the potential effect on each identified hazardous, conditions and/or potential accidents. Preventive measures to be recommended
according to the following criteria : Class I - Safe - condition(s) such that personnel error, should be hardware design requirements, incorporation of safety devices,
deficiency/inadequancy of design, or malfunction will not result in major degradation and hardware design changes, special procedures, personnel requirements.
11. Record validated preventive measures and keep aware of the status of the
remaining recommended preventive measures. Complete by answering
(1) has the recommended solution been incorporated ?
(2) is the solution effective ?
Gambar 4.3
Format PHA yang disarankan : Format milik Boeing Company
8
pompa dan sebuah katup yang masing – masing memiliki probabilitas
sukses dalam menjalankan fungsinya masing – masing 0,98 dan
0,95. Gambar dari sistem ini ditunjukkan pada gambar 4.4. Analisa
event tree untuk sistem ini ditunjukkan oleh gambar 4.5.
Sukses
Start
Gambar 4.4
Diagram pompa - katup
Pump Valve
RV = 0,95 P(success) =
RP=0,98 0,931
QV = 0,02
P(fail) = 0,98x0,05 +
0,02 = 0,069
QP = 0,02
System System
failure success
Gambar 4.5
Diagram event tree untuk sistem pompa - katup
9
4.4 Studi Resiko Fase III : Consequence Analysis
Consequence analysis merupakan tahap akhir dari studi / analisa
resiko. Salah satu metode yang dipakai adalah cause and
consequence analysis (CCA). Teknologi CCA CCA merupakan sebuah
perkawinan fault tree (untuk menunjukkan penyebab) dan event tree
(untuk menunjukkan akibat / consequence).
Prosedur untuk pengkonstruksian diagram CCA berawal dari
pemilihan sebuah inital event, yang kemudian event ini
dikembangkan lebih jauh dengan menjawab beberapa pertanyaan
berikut ini.
§ Pada kondisi bagaimana event – event ini mengarah ke event
– event lain yang lebih jauh ?
§ Apa kondisi alternatif plant yang dapat mengarah ke event –
event yang berbeda ?
§ Komponen – komponen lain apa yang mempengaruhi
event ini ? apakah event ini mempengaruhi lebih dari satu
komponen ?
§ Event lain apa yang menyebabkan event ini ?
10
Gambar 4.6
Contoh tipikal dari cause and consequence analysis
11
4.5 Referensi dan Bibliografi
1. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
2. Ruxton, T. [1997], “Formal Safety Assessment”, Transaction
IMarE, Part 4.
12
Fault Tree Analysis (FTA)
dan Failure Modes and
Effects Analysis (FMEA)
5.1 Pendahuluan
Dalam situasi tertentu data untuk menganalisa keandalan
secara kuantitatif tidak cukup atau mungkin tidak ada. Alternatifnya,
kita masih bisa melakukan penilaian keandalan berdasarkan data
yang ada secara kualitatif dan berdasarkan pengalaman. Dengan
analisa kualitatif ini tidak berarti kesimpulan yang dihasilkan akan
tidak berharga. Jika analisa yang dilakukan berdasarkan analisa yang
terstruktur, dapat ditelusuri sehingga dasar dari penilaian dengan
menggunakan analisa yang terstruktur, dapat ditelusuri sehingga
dasar dari penilaian secara kualitatif dapat pula dipakai. Bahkan, jika
data yang tersedia cukup untuk melakukan penilaian secara kualitatif.
Analisa kualitatif yang sering dipakai untuk mengevaluasi keandalan
dari suatu sistem adalah analisa kegagalan.
Suatu sistem secara normal akan terdiri dari sejumlah blok-blok
fungsional yang terkait sedemikian rupa sehingga sistem tersebut
dapat menjalankan fungsinya. Terminologi “ blok fungsional” dapat
13
berupa sebuah komponen sampai sebuah subsistem tergantung dari
jenis sistem dan kondisi batas yang dipakai dalam menganalisa suatu
kasus. Hubungan struktural antara sistem dengan komponen
mungkin bisa dilukiskan dengan berbagai cara. Semua pendekatan
yang dipakai untuk melakukan pendekatan untuk mengevalusi
kegagalan dari suatu sistem adalah untuk mengilustrasikan
bagaimana suatu sistem tertentu akan mengalami atau tidak akan
mengalami kegagalan.
Ada berbagai teknik untuk mengevaluasi dan mengkaji
kegagalan sistem, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Pendekatan dan metodologi terbaik untuk mengecaluasi kegagalan
sistem tergantung dari beberapa faktor antara lain :
(2-1) Neighboring
Components
(2
-
2)
Environment
(1-1) E
Natural x
(1) Primary (2)
Design
c
e
Aging Failure Stresses
Secondary s
i
Failure v
e
COMPONENT
FAILURE
Plant
Fault
(3)Command (2 - 3)
Personnel
Inadvertent Control
Signals and Noise
(3-1) Neighboring (3-3) Plant
Components
Personnel
(3-2)
Environment
Gambar 5.1
Karakteristik kegagalan komponen
16
Gambar 5.1 menunjukkan karakteristik kegagalan dari sebuah
komponen. Lingkaran pertama yang mengelilingi lingkaran yang
bertuliskan component failure menunjukkan bahwa kegagalan
komponen diebabkan oleh (1) primary failure, (2) secondary failure
atau (3) command faults. Berbagai penyebab yang mungkin dari
ketiga kategori kegagalan ini ditunjukkan oleh lingkaran terluar.
What
Mendiskripsikan tipe dari critical event yang sedang terjadi, sebagai
contoh kebakaran (fire).
Where
Mendiskripsikan dimana critical event terjadi, sebagai contoh critical
event terjadi di process oxidation reactor.
When
Mendiskripsikan dimana critical event terjadi, sebagai contoh critical
event terjadi pada saat pengoperasian normal.
System Failure or
Accident (TOP EVENT)
Gambar 5.2
Struktur fundamental fault tree
20
5.3.2 Pengkonstruksian Fault Tree
Pengkonstruksian fault tree selalu bermula dari TOP event. Oleh
karena itu, berbagai fault event yang secara langsung, penting, dan
berbagai penyebab terjadinya TOP event harus secara teliti
diidentifikasi. Berbagai penyebab ini dikoneksikan ke TOP event oleh
sebuah gerbang logika. Penting kiranya bahwa penyebab level
pertama dibawah TOP event harus disusun secara terstruktur. Level
pertama ini sering disebut dengan TOP structure dari sebuah fault
tree. TOP structure ini sering diambil dari kegagalan modul – modul
utama sistem, atau fungsi utama dari sistem. Analisa dilanjutkan
level demi level samapai semua fault event telah dikembangkan
sampai pada resolusi yang ditentukan. Analisa ini merupakan analisa
deduktif dan dilakukan dengan mengulang pertanyaan “Apa alasan
terjadinya event ini ?”. Gambar 5.2 menunjukkan struktur
fundamental dari sebuah fault tree, sedangkan tabel 5.1
menunjukkan berbagai simbol yang dipakai untuk mengkostruksi
sebuah fault tree.
Ada beberapa aturan yang harus dipenuhi dalam
mengkonstruksi sebuah fault tree. Berikut ini beberapa aturan yang
dipakai untuk mengkonstruksi sebuah fault tree.
21
Tabel 5.1
Simbol fault tree
Transfer -
Simbol transfer-out menun-
Transfer out jukkan bahwa fault tree
dikembangkan lebih jauh dan
symbols
Transfer - berkaitan dengan simbol transfer-
in in
22
Sebuah normal basic event di dalam sebuah fault tree
merupakan sebuah primary failures yang menunjukkan bahwa
komponen merupakan penyebab dari dari kegagalan. Secondary
failures dan command faults merupakan intermediate event yang
membutuhkan investigasi lebih mendalam untuk mengi-dentifikasi
alasan utama.
Pada saat mengevaluasi sebuah fault event, seorang analis
akan bertanya, “Dapatkah fault ini dikategorikan dalam primary
failure ?” Jika jawabannya adalah YA, maka analis tersebut dapat
mengkalsifikasikan fault event sebagai normal basic event. Jika
jawabannya adalah TIDAK, maka analis tersebut dapat
mengkalsifikasikan fault event sebagai intermediate event , yang
harus didevelop lebih jauh, atau sebagai secondary basic event .
Secondary basic event sering disebut dengan undeveloped event
dan menunjukkan sebuah fault event yang tidak dikaji lebih jauh
karena informasinya tidak tersedia atau karena dampak yang
ditimbulkan tidak signifikan.
Contoh 5.1
Gambar 5.3 menunjukkan sebuah coolant supply system yang terdiri
dari sebuah constant speed pump, heat exchnager, control valve,
resservoir, perpipaan. Fungsi utama dari sistem ini adalah untuk
memberikan suplai pendingainan yang cukup terhadap peralatan
utama. Konstruksi sebuah fault tree untuk sistem ini dengan TOP
event hilangnya aliran (coolant ) minimum ke heat exchanger.
23
Control Valve
HEAT
Primary
EXCHANGER
coolant line
Constant
PRIMARY Bypass
speed line
EQUIPMENT
pump
RESERVOIR
Gambar 5.3
Coolant supply system
Solusi
Hilangnya aliran (coolant) minimum mungkin terjadi karena
pecahnya primary coolant line atau hilangnya aliaran dari coolant
valve, sehingga event – event ini dikaitkan dengan OR Gate.
Pecahnya / bocornya pipa merupakan primary failure, oleh karena itu
event ini tidak dikembangkan lebih jauh. Tiga event yang lain yang
secara langsung dapat menyebabkan hilangnya aliran dari control
valve juga dihubungkan dengan OR gate. Diagarm FTA dari coolant
supplay system dapat dilihat pada gambar 5.4.
24
Loss of minimum flow to
heat exchanger
internal break up Rupture (loss of Primary pump failure Loss of pump inlet
Valve closed to full Pump prime mover
position when valve stop
containment) of supply failure
fails control valve
Gambar 5.4
FTA dari coolant supply system
25
Jumlah basic event yang berbeda di dalam sebuah minimal cut
set disebut dengan orde cut set. Untuk fault tree yang sederhana
adalah mungkin untuk mendapatkan minimal cut set dengan tanpa
menggunakan prosedur formal / algoritma. Untuk fault tree yang
lebih besar, maka diperlukan sebuah algoritma untuk mendapatkan
minimal cut set pada fault tree. MOCUS (method for obtaining cut
sets) merupakan sebuah algoritma yang dapat dipakai untuk
mendapatkan minimal cut set dalam sebuah fault tree. Algoritma ini
akan dijelaskan dengan menggunakan contoh.
TOP Event
G1
TOP Event
G2
G3
1
G4
G6
G4
3 4 5 6 7 8
Gambar 5.5
Fault tree contoh soal 5.2
Contoh 5.2
Gambar 5.5 menunjukkan sebuah Fault Tree. Dengan menggunakan
algoritma MOCUS, tentukan minimal cut set dari fault tree tersebut.
26
Solusi
Tabel 5.2
Algoritma MOCUS untuk contoh soal 5.2
STEP
1 2 3
1 1 1
G2 2 2
G4 3,4
G5 5,6
G3 G6 7
8
Step 1
List semua basic event yang menjadi input dari G1. Karena G1
merupakan OR gate maka semua input disusun secara vertikal.
Step 2
Event 1 merupakan basic event, sehingga event ini tidak
dikembangkan, sedangkan G2 dan G4 masing – masing merupakan
OR Gate, sehingga kita harus me-list semua input yang memasuki
gate ini. Gate 2 merupakan OR gate, sehingga semua event yang
memasuki gate ini – yaitu event 2 dan G4 - di-list secara vertikal.
Demikian juga dengan gate 3 yang merupakan OR gate, maka semua
event yang memasuki gate – yaitu G5 dan G6 - ini juga di-list secara
vertikal.
27
Step 3
Gate 4 merupakan AND gate, sehingga semua event yang memasuki
gate ini – basic event 3 dan basic event 4 - harus ditulis secara
horisontal. Gate 5 juga merupakan AND gate, sehingga merupakan
AND gate, sehingga semua event yang memasuki gate ini harus
ditulis secara horisontal. horisontal. Gate 6 merupakan OR gate,
sehingga semua event yang memasuki gate ini – basic event 7 dan
basic event 8 - harus ditulis secara vertikal.
Semua event yang diperoleh dengan algoritma MOCUS pada
step 3 semuanya merupakan basic event, sehingga kita mendapatkan
cut set dari fault tree ini adalah {1}, {2}, {3,4},{5,6}, {7}, dan {8}
yang semuanya merupakan minimal cut set.
§ Human error
§ Kegagalan komponen / peralatan yang aktif (active
equipment failure)
28
§ Kegagalan komponen / peralatan yang pasif (passive
equipment failure)
29
Tabel 5.3
Hukum – hukum aljabar boolean
T
G1
E3
G2
E1 E2
Gambar 5.6
Fault tree untuk contoh soal 5.3
30
Contoh 5.3
Gambar 5.6 menunjukkan sebuah fault tree. TOP event dari fault tree
ini menyatakan hilangya suplai daya listrik. TOP event ini memiliki
dua input event yaitu Intermediate event (I) dan incomplete event
yang mewakili hilangnya power dc (E3). Intermediate event (I)
memiliki dua incomplete evemt E1 dan E2 yang masing – masing
mewakili hilangnya offsite power dan hilangnya onsite power. Data
keandalan yang tersedia untuk E1, E2, dan E3 masing – masing
adalah 0,933 ; 0,925 ; dan 0,995. Dengan menggunakan pendekatan
alajabar boolean dapatkan probabilitas terjadinya kegagalan TOP
event.
Solusi
Ekspresi alajabar boolean untuk level pertama adalah
T = I + E3
I = E1.E2
T = E1.E2
dimana
P(E1) = 1 – 0,933 = 0,067
P(E2) = 1 – 0,925 = 0,075
P(E3) = 1 – 0,995 = 0,005
Sehingga
P(T) = 0,01 q
Contoh 5.4
Tinjau kembali contoh soal 5.3. dengan menggunakan pendekatan
numerik hitung probabilitas terjadinya TOP event.
32
Solusi
P(I) = P(E1)P(E2)
= (1-0,933)(1-0,925) = 0,005025
Tabel 5.4
Hubungan antara blok diagram reliability dengan fault tree
TOP
1 2 3
1 2 3
1
TOP
1 2 3
3
34
Sebuah fault tree dapat diterjemahkan ke dalam blok diagram
keandalan dengan menerjemahkan basic event ke dalam sebuah blok
dan menerjemahkan gerbang logika ke dalam susunan tertentu - seri,
paralel atau susunan lainnya - yang menghubungkan berbagai blok.
Hubungan antara fault tree dan blok diagram reliability untuk
konfigurasi yang sederhana diperlihatkan pada tabel 5.4.
35
gambar 5.7
Tipikal FMEA worksheet
36
Sebuah FMEA akan berubah menjadi FMECA (failure mode,
effects, and criticallity analysis) jika kekritisan atau prioritas akan
dikaitan dengan dampak dari mode kegagalan yang ditimbulkan oleh
sebuah komponen.
Secara umum tujuan dari penyusunan FMEA (IEEE Std. 352)
adalah sebagai berikut.
37
5.4.1 Prosedur Penyusunan FMEA
FMEA sangat sederhana untuk dilakukan. FMEA tidak
membutuhkan ketrampilan yang canggih bagi seorang personel untuk
melakukan analisa. Hal yang diperlukan dalam menganalisa adalah
untuk mengetahui dan memahami fungsi dari sistem dan beberapa
constrain dimana sistem itu harus dapat beroperasi. Berikut ini
beberapa pertanyaan dasar yang yang harus dijawab oleh seorang
analis dalam melakukan analisa FMEA (IEEE Std. No. 352).
Reference (kolom 1)
Menunjukkan nam unit atau gambar.
Function (kolom 2)
Mendiskripsikan fungsi dari komponen yang sedang di analisa.
38
Tabel 5.5
Mode Kegagalan (Failure mode)
39
Operational mode (kolom 3)
Menunjukkan mode pengoperasian dari komponen. Sebagai contoh,
sebuah komponen mungkin memiliki lebih dari satu mode
pengoperasian seperti pengoperasian normal atau standby.
40
Tabel 5.6
Mekanisme kegagalan (Failure mechanism)
CAUSE EXPLANATION
Abrasive fluid Abrasive fluid resulting in deterioration of component causing a failure
Accelerated Accelerated wear resulting in deterioration of component causing a failure
wear
Age Age resulting in deterioration of component causing a failure
Ambient air Ambient air affecting the component causing a failure
Cavitation Formation of transient voids or vacuum bubbles in a liquid stream passing over a
surface is called cavitation
Clogging Clogging of component causing a failure
Corrosion The material is gradually worn due to chemical reaction resulting in failure of the
component
Dust Dust affecting the component causing failure
Erosion Fluid contains abrasive substance that cause erosion, resulting in failure of the
component
Fatigue Cyclic or repeated stresses resulting in component failure when the ability of metal to
withstand is lost
Friction Friction between two materials resulting in deterioration of component causing a
failure
Flow rate Flow rate in pipes or through equipment resulting deterioration or build up of coat in
component causing a failure
Fouling Fouling is the formation of deposits other than salt and scale and may be due to
corrosion, solid matter entering the feed, or deposits. Fouling of the surface results in
reduced performance or failure of the component
Medium Medium stored or flowing through the equipment resulting in deterioration or build up
of coat in equipment causing a failure (H2S content, sea water, alga growth, etc.)
Moisture Moisture affecting the component causing a failure
Normal wear Normal wear resulting in deterioration of component causing a failure
Operation Operation resulting in deterioration or build up of coat in equipment causing a failure
Particles Fluid contains particles that cause the component to jam
Plugging Plugged pipe or equipment causing a failure
Pressure High or low pressure resulting deterioration or build – up of coat in equipment causing
a failure
Protection Poor protection of equipment resulting in deterioration of equipment causing a failure
Sea water Sea water affecting component outside (casing) causing a failure
Stress Stress on component causing material deterioration and crack up
Temperature High or low temperature resulting in deterioration or build-up of coat in component
causing a failure
Vibration, Vibration, not from the equipment itself, affecting the component and causing a failure
external
Vibration, Vibration, from the equipment itself, affecting the component and causing a failure
internal
41
Tabel 5.7
Metode pendeteksian kegagalan
DETECTION EXPLANATION
METHOD
Casual Casual observation of potential failure during daily routine
observation
Alarm function Alarm function installed to detect potential failure in equipment
Functional test Functional test of the component to detect potential failure
Corrosion Corrosion monitoring equipment installed to measure corrosion rate
monitoring
Oil sampling Sampling of lube oil and hydraulic oil to detect potential failure
Thermography Thermographical test of component to detect abnormal temperature
Non-destructive NDT including X-ray and other methods to detect potential failure of
test component
Internal Internal inspection of component to detect potential failure
inspection
Performance Measurements of relevant parameters such as temperature, flow,
monitoring pressure, energy consumption etc. in comparison with reference data
and trend development
Visual inspection Visual inspection of component to detect potential failure
Vibration Vibration data collection analysis
analysis
42
Failure rate (kolom 9)
Laju kegagalan dari masing – masing mode kegagalan direcord pada
kolom ini. Untuk kasus yang tidak memiliki data kuantitatif, maka
klasifikasi pada tabel 5.8 dapat digunakan untuk mengisi kolom ini.
Tabel 5.8
Data kualitatif failure rate
43
Tabel 5.9
Pengelompokan tingkat kerusakan
Kategori Keterangan
Catastropic Kegagalan suatu komponen dapat menyebabkan kematian
atau cedera atau menghentikan performance sistem yang
telah ditetapkan
Critical Kegagalan suatu komponen dapat menyebabkan penurunan
kinerja diluar batas yang dapat diterima dan dapat
membahayakan keselamatan ( dapat menyebabkan kematian
atau cedera jika aksi korektif tidak segera dilakukan)
Major Kegagalan suatu komponen dapat menyebabkan penurunan
kinerja diluar batas yang dapat diterima tetapi masih dapat
dikontrol dengan cara dan prosedur lain yang sudah
ditetapkan
Minor Kegagalan suatu komponen tidak menyebabkan penurunan
kinerja diluar batas yang dapat diterima
44
Tabel 5.10
Pengelompokan tingkat kerusakan
45
5.5 Referensi dan Bibliografi
1. Frankel, Ernst G., [1988], Systems Reliability and Risk Analysis,
nd
2 edition, Kluwer Academic Publishers, PO BOX 17, 3300 AA
Dordrecht, The Netherlands.
2. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
3. HÆyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods , John Willey & Sons, Inc.
4. McCormick, N.J.[1981], Reliability and Risk Analysis : Methods and
Nuclear Power Applications , Academic Press, Inc.
5. Ruxton, T. [1997], “Formal Safety Assessment”, Transaction
IMarE, Part 4.
6. Sandtorv, H., J. Eldby, M. Rasmussen [1990], Reliability-Centered
Maintenance – Hanbook for Offshore Application, Sintef Report.
7. ……….[1994], Training Course in Reliability-Centered Maintenance
(RCM), MARINTEK Sintef Group.
8.
9. Kececioglu, D. [1991], Reliability Engineering Handbooks Volume
2, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
10. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals
and Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
46
MODUL
3
Metode PengkajianKeandalan
Bagian 2
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
6.1 Pendahuluan
Bab yang terdahulu hanya mengevaluasi keandalan suatu
sistem rekayasa (engineering) denngan tidak menggunakan distribusi
probabilitas dari masing-masing komponen yang ada di dalam sistem
tersebut. Dalam hal ini nilai keandalan dari masing-masing komponen
yang ada di dalam sistem berupa angka yang tetap, artinya tidak
bergantung pada waktu. Untuk tahap awal dalam mempelajari teori
keandalan sistem hal ini akan sangat membantu untuk memahami
dasar-dasar perhitungan keandalan dari suatu sistem.
Nilai keandalan suatu komponen atau sistem merupakan nilai
kemungkinan/probabilitas dari suatu komponen atau sistem untuk
dapat memenuhi fungsinya dalam kurun waktu dan kondisi tertentu
yang sudah ditetapkan. Dan kenyataannya, untuk mengevaluasi
keandalan suatu sistem rekayasa yang sebenarnya, nilai keandalan
dari suatu komponen tidak lagi merupakan harga yang tetap
melainkan akan bergantung terhadap waktu. Untuk itu
1
pengevaluasian keandalan akan banyak berhubungan distribusi
probabilitas dengan waktu sebagai variabel random.
Ada dua kelompok utama dari distribusi probabilitas, yaitu
distribusi diskrit (discrete distribution) dan distribusi kontinyu
(continuous distribution). Distribusi diskrit yang sering dipakai adalah
distribusi binomial dan distibusi Poisson. Sedang distribusi kontinyu
yang sering banyak dipakai adalah distribusi eksponensial, distribusi
normal, distribusi lognormal, distribusi weibull, distribusi Rayleigh,
dan distribusi gama.
Konsep yang berkaitan dengan distribusi probabilitas yang akan
di bahas pada seksi ini adalah variabel random, fungsi probabilitas
massa (probability mass function), fungsi probabilitas densitas
(probability density function), fungsi distribusi kumulatif
(cummulative distribution function), nilai harapan (expected value),
varian dan deviasi standar. Konsep tersebut di atas sangat diperlukan
dalam mengevaluasi keandalan dari suatu sistem rekayasa yang
berbasis pada waktu.
Gambar 6.1
Ilustrasi TTF dari sebuah komponen / sistem
3
6.3. Variabel Random Kontinyu
Misalkan T adalah random variabel yang kontinyu dan f(t)
mewakili suatu fungsi probabilitas untuk random variabel T. Jika P(a £
T £ b) menyatakan probabilitas dari variabel random t pada interval a
dan b maka
b
P(a £ T £ b) =
(6.1)
ò f (t) dt
a
ò f (t)dt
=1 (6.3)
-¥
Contoh 6.1
Untuk memberi gambaran mengenai sifat-sifat dari fpd, perhatikan
fungsi berikut ini.
ìat 0£t£5
f (t) = í 0 untuk t yang lain
î
¥
ò f (t )dt = 1
-¥
5
ò at dt = 1
0
2
a= = 0,08
ì0,08t 0£t£5
f (t) = í 0 untuk t yang lain
î
Syarat yang lain, yaitu f (t) ³ 0 sudah dipenuhi, karena nilai dari f(t)
untuk nilai t dengan interval 0 sampai 5 selalu positif. Sketsa dari fpd
untuk fungsi di atas dapat dilihat pada gambar 6.2. q
Gambar 6.2
fpd untuk contoh soal 6.1
5
Nilai harapan (expectation) dari variabel random T dengan
fpd f(t) didefiniskan oleh
¥
E (t) = (6.4)
ò tf(t) dt
-¥
Var(t) = E(t 2
) - {E(t)}2 (6.6)
s = Var(t) (6.7)
6
(probability mass function). Untuk selanjutnya istilah fungsi
probabilitas densitas akan disingkat dengan pmf. Secara umum
fungsi probabilitas densitas memenuhi sifat :
semua t
Contoh 6.2
Pada sebuah percobaan pelemparan sebuah mata dadu, jika T
merupakan variabel random yang mewakili mata dadu dan f(t)
mewakili probabilitas dari variabel random T, maka hubungan antara
variabel random T dengan probabilitas dapat ditabelkan sebagai
berikut.
T 1 2 3 4 5 6
f(t) 1/6 1/6 1/6 1/6 1/6 1/6
7
Gambar 6.3
fpm untuk soal no 6.2
E ( t) = å ti f (ti ) (6.11)
i =1
8
Jika T merupakan variabel random yang kontinyu dengan fpd
f(t), maka fungsi distribusi kumulatifnya adalah
t
Contoh 6.3
Pada contoh 6.1, fpd dari variabel random T didefinisikan oleh
ì0,08t 0£t£5
f (t) = í 0 untuk t yang lain
î
9
1
0.8
0.6
F(t)0.4
0.2
0
0 1 2 3 4 5
t
Gambar 6.4
Fungsi distribusi kumulatif contoh soal 6.3
Solusi
maka fungsi distribusi kumulatif dari fungsi di atas adalah
10
6.6. Terminologi Keandalan
Fungsi distribusi kumulatif nilainya akan naik mulai dari nol
sampai satu seiring dengan naiknya nilai variabel random dari yang
terkecil sampai yang terbesar. Fungsi distribusi ini bertambah seperti
anak tangga untuk variabel random diskrit dan bertambah seperti
kurva yang kontinyu untuk random variabel yang kontinyu.
Dalam mengevaluasi keandalan suatu sistem, variabel random
yang dipakai umumnya adalah waktu. Pada saat t = 0 komponen atau
sistem berada dalam kondisi akan beroperasi, sehingga probabilitas
komponen atau sistem itu untuk mengalami kegagalan pada saat t =
0 adalah 0. Pada saat t à ¥ probabilitas untuk mengalami kegagalan
dari suatu komponen atau sistem yang dioperasikan akan cenderung
mendekati 1. Karakteristik ini sama dengan fungsi distribusi
kumulatif. Fungsi distribusi kumulatif ini akan mengukur probabilitas
kegagalan dari suatu sistem atau komponen sebagai fungsi dari
waktu. Dalam terminologi keandalan fungsi distribusi kumulatif ini
dikenal sebagai fungsi distribusi kegagalan kumulatif (cumulative
failure distribution function) atau disingkat distribusi kegagalan
kumulatif (cumulative failure distribution). Distribusi kegagalan
kumulatif ini biasanya dilambangkan dengan Q(t).
Q(t) = (6.18)
ò f(t) dt
0
dan
t ¥
R(t) = 1 - (6.19)
ò f (t) dt =ò f (t) dt
0 t
12
Gambar 6.5
Tipikal fungsi densitas kegagalan
13
P(t < T £ t + Dt T > t) = F(t + Dt) - F (t) (6.21)
R(t)
Dt ® 0 Dt
identik dengan persamaan (6.15), sehingga persamaan (6.22) dapat
disederhanakan menjadi
14
t
(6.25)
ò z(t)dt = - lnR(t)
0
atau
- ò z (u)du (6.26)
R(t) = e 0
Untuk kasus yang khusus dimana laju kegagalan suatu
15
¥
MTTF = -[tR(t )] ¥
0 + ò R(t )dt
0
Jika MTTF < ¥, maka nilai dari [tR(t )]0¥ = 0 , sehingga persamaan di
atas menjadi
¥
MTTF = (6.30)
ò R(t)dt
0
¥
1
MTTF = e-ltdt = (6.31)
ò l
0
Gambar 6.6
Kurva laju kegagalan bak mandi
Bagian pertama dari kurva ini, yaitu masa awal dari suatu
sistem atau komponen, ditandai dengan tingginya kegagalan pada
fase awal dan berangsur-angsur turun seiring bertambahnya waktu.
Bagian kedua dari kurva ini ditandai dengan laju kegagalan yang
konstan dari komponen atau sistem. Sedang bagian ketiga dari kurva
ini ditandai dengan naiknya laju kegagalan dari komponen atau
sistem seiring dengan bertambahnya waktu.
17
6.8 Distribusi Binomial
Misalkan R menyatakan probabilitas sukses dari suatu kejadian
dan Q menyatakan proabilitas gagal dari suatu even, sehingga R + Q
= 1 dan probabilitas dari R dan Q adalah tetap. Jika ada n kali trial
yang diulang maka proabilitas k kali sukses dari n kali trial dengan T
sebagai variabel random dapat dituliskan dalam distribusi binomial
sebagai
k
è ø
Sedangkan rata-rata (mean), varian (variance), dan standar deviasi
dari distribusi binomial dapat diekspresikan oleh persamaan-
persamaan berikut.
m = nR (6.33)
s2 = nRQ (6.34)
s= nRQ (6.35)
Contoh 6.4
Sebuah subsistem terdiri dari dari tiga buah komponen yang
masing-masing memiliki probabilitas kesusksesan untuk menjalankan
fungsinya 0,95. Agar subsiistem ini dapat berfungsi dengan normal,
diperlukan minimal dua komponen yang berfungsi dengan baik.
Tentukan probabilitas dari subsistem itu untuk suskes menjalankan
fungsinya.
18
Solusi
§ Probabilitas sukses untuk tiap komponen, R = 0,95 sehingga Q =
0,05. Agar subsistem itu sukses menjalankan fungsinya, harus ada
minimal 2 buah komponen yang berfungsi.
§ Ada 3 buah komponen yang identik, ini sama halnya kita
melakukan tiga kali trial untuk sebuah komponen, jadi probabilitas
subsistem itu untuk sukses menjalankan fungsinya adalah
æ3ö æ 3ö 2
´ (0,05) = 0,99275 q
3 2 3
P(sukes) = ç ÷ R + ç ÷R Q = (0,95) + 3 ´ (0,95)
è 3ø è 2ø
m = lt (6.37)
s 2 = lt (6.38)
s = lt (6.39)
Contoh 6.5
Pada sebuah sistem instalasi pipa, jumlah kegagalan pipa per tahun
per 1000 meter adalah 0,3. Jika diambil pipa sepanjang 100 meter
sebagai sample, hitung probabilitas pipa itu untuk mengalami
kegagalan sebanyak 3 kali untuk periode (a) 5 tahun dan (b) 10
tahun.
Solusi
Laju kegagalan dari pipa adalah
m= lt = 0,003 ´ 5 = 0,015
20
(0,015)
3 e-0, 015
P(T = 3) = = 5,54 ´ 10-7 q
3!
21
teorema yang sering dirujuk, dan sekali lagi besar kemungkinan juga
disalh-pakaikan adalah Central Limit Theorem (CLT).
Jika time to failure dari suatu komponen adalah T mengikuti
distribusi normal, maka pdf nya dapat diekspresikan sebagai
1 2
æt-mö
- ç ÷
ç ÷
1 2 è st ø
f (t ) = e (6.40)
2p
st
dengan
s = deviasi standar
m = rata-rata/ mean
Fungsi keandalan dari sebuah komponen yang memiliki distribusi normal dapat ditulis sebagai
1 æ t - mö2
- ç ÷
¥ 1
2ç s ÷ æt-mö
R(t ) = ò e è t ø dt = 1 - Fç ÷ (6.50)
ç ÷
t st 2p s ø
è t
sedangkan fungsi unreliability-nya adalah
æt-mö
Q (t ) = Fç ÷ (6.51)
ç ÷
è st ø
Mean time to failure dari distribusi normal ini adalah
MTTF =m (6.52)
22
6.11 Distribusi Lognormal
Distribusi lognormal berhubungan dengan distribusi normal.
Time to failure, dari suatu komponen dikatakan memiliki distribusi
lognormal bola y = ln T mengikuti distribusi normal dengan rata-rata
- -
density function dari distribusi
T dan varians sT . Probability
lognormal adalah
æ
- 2
ö
1 ç ÷
- ççlnt-T'
ç ÷
1 2 s- ÷÷
ç ÷
f (t) = e è T' dt ø (6.53)
ts- 2p
T'
R(t) = ò e dt (6.54)
ts
0 - 2p
T'
23
æ - 2
ö
ç
ln t -T ' ÷
ç ÷
1ç s
- ÷
¥ 1 - ç ÷
2 ø
Q (t ) = 1 - ò e è T' dt (6.55)
t ts - 2p
T'
24
Waktu rata-rata kegagalan dari komponen itu adalah
¥
1
MTTF = R(t)dt = (6.59)
ò l
0
Yang menarik dari distribusi ini adalah jika komponen yang memiliki
1
distribusi eksponen ini dioperasikan sampai MTTF-nya, atau t = l ,
maka keandalan dari komponen itu dapat diprediksi dengan memakai
persamaan (6.59), yaitu
R( 1l ) = e ( l)
-l 1
= e -1 = 0,37
25
0.00012
0.0001
f ( t )= 1,14 ´ 10 - 4 e - 1,1 4 ´1 0
-4
0.00008
f(t)
0.00006
0.00004
0.00002
0
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000
Waktu (Jam)
Gambar 6.7
Tipikal fungsi densitas probabilitas eksponensial
1
0.9
0.8
R(t ) = e -1,14´10-4
0.7
0.6
R(t) atau Q(t)
0.5
0.4
0.3
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000
Waktu (Jam)
Gambar 6.8
Fungsi keandalan dan ketakandalan eksponensial
26
Laju kegagalan dari komponen yang memiliki fungsi densitas
kegagalan yang mengikuti distribusi eksponensial dapat diturunkan
dengan menerapkan persamaan (6.23).
z(t) = f (t) = =l (6.60)
le-lt
R(t)
e -lt
-4
Tipikal kurva dari distribusi eksponensial untuk l = 1.14x10
kegagalan/jam dapat dilihat pada gambar 6.7. Sedang fungsi
keandalan dan ketakandalannya dapat dilihat pada gambar 6.8.
Misalkan komponen yang memiliki fungsi densitas kegagalan
yang mengikuti distribusi eksponensial telah berioperasi selama t.
Untuk mengevaluasi probabilitas kegagalan dari komponen itu pada
interval waktu t, probabilitas kegagalan dari komponen itu tidak bisa
dihitung secara a priori atau independen dari waktu pengoperasian
sebelumnya sampai waktu t. Alasannya adalah, jika pada interval
(0,t) maka komponen itu tidak bisa gagal pada interval (t,t+t). Oleh
karena itu untuk mengevaluasi probabilitas kegagalan dari komponen
itu selama periode waktu t adalah penting untuk mempertimbangkan
probabilitas kegagalan selama periode waktu (0,t). Probabilitas
kegagalan selama waktu t dikenal sebagai probabilitas a posteriori,
yaitu harga dari probabilitas kegagalannya tergantung dari sejarah
komponen yang terdahulu.
Misalkan T adalah waktu kegagalan (time to failure) dari suatu
komponen yang mengikuti distribusi eksponensial, maka akan berlaku
probabilitas kondisional di bawah ini
P(T > t + t T > t) = P(T > t + t) = (6.61)
e-l(t +t ) = e-lt
P(T > t)
e -lt
27
Persamaan (6.61) menunjukkan probabilitas dari suatu
komponen yang akan berfungsi pada interval t+t jika diketahui
bahwa komponen itu berfungsi pada saat t tidak tergantung dari
waktu operasional sebelumnya, dalam hal ini waktu operasional
komponen itu adalah t. Sifat ini disebut sebagai sifat tak bermemori
(memory less property) dari distribusi eksponensial.
Kembali kepada probabilitas a priori dan probabilitas a
posteriori, jelas bahwa probabilitas kegagalan dari komponen yang
mengikuti distribusi eksponensial tidak tergantung dari sejarah
komponen yang terdahulu. Atau dengan kata lain untuk distribusi
eksponensial, probabilitas a priori dan probabilitas a posteriori adalah
sama. Hal ini tidak berlaku untuk komponen-komponen lain yang
mengikuti distribusi probabilitas selain distribusi eksponensial.
28
b = shape parameter, b > 0
h = scale parameter, h > 0
g = shape parameter, g < first time to failure
æt b
-g ö
-ç ÷
Q (t ) = 1 - e èh ø (6.64)
Mean time to failure dari distribusi Weibull itu adalah
æ1 ö
MTTF = g + hGç + 1÷ (6.65)
èb ø
29
dimana G( )menyatakan fungsi gamma
30
6.15 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
nd
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2 edition,
Plenum Press, New York and London
2. HÆyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods , John Willey & Sons, Inc.
3. Lawless, J.F. [1982], Statistical Models and Methods for Lifetime
Data, John Willey and Sons< New York.
31
Model Keandalan Dinamis
7.1 Pendahuluan
Prosedur standar untuk mengevaluasi keandalan dari suatu
sistem adalah dengan memecah sistem itu menjadi beberapa
komponen. Langkah berikutnya adalah mengestimasi keandalan dari
masing-masing komponen. Nilai keandalan dari masing-masing
komponen ini bisa diperoleh dengan jalan memperkirakan keandalan
untuk masing-masing komponen berdasarkan pengalaman,
mengambil dari database keandalan yang sudah ada, atau dengan
mengumpulkan data pengoperasian dari tiap-tiap komponen yang
bersangkutan kemudian mengolahnya menjadi data keandalan yang
siap pakai. Setelah masing-masing angka keandalan dari masing-
masing komponen diketahui, baru keandalan dari sistem tersebut
dapat dievaluasi dengan memakai prosedur standar untuk
mengevaluasi keandalan.
Untuk mengevaluasi keandalan dari suatu sitem dengan
memakai pemodelan keandalan statis adalah mudah. Hal ini
dikarenanakan angka keandalan dari masing-masing komponen yang
ada adalah konstan. Artinya angka keandalan ini tidak tergantung
32
dari waktu. Teknik evaluasi dengan menerapkan pemodelan
keandalan statis seperti ini sangat berguna pada desain permulaan
suatu sistem, dimana berbagai konfigurasi sistem dicoba untuk
dievaluasi keandalannya.
Kenyataan yang ada di lapangan adalah keandalan dari suatu
sistem atau komponen akan tergantung terhadap waktu. Untuk itu
keandalan dari masing-masing komponen, subsitem atau sistem akan
juga tergantung terhadap waktu. Untuk itu keandalan dari masing-
masing komponen, subsistem atau sistem ini akan diwakili oleh suatu
fungsi densitas probabilitas tertentu yang merupakan fungsi dari
waktu. Beberapa distribusi probabilitas yang banyak dipakai dalam
mengevaluasi keandalan sudah disinggung pada bab 6.
Lain halnya dengan bab terdahulu yang membahas pemodelan
keandalan statis dari suatu sistem, dimana keandalan dari masing-
masing komponen dianggap konstan dan tidak tergantung pada
waktu, maka pada bab ini akan membahas model keandalan dinamis
dari suatu sistem. Model keandalan dinamis ini akan melibatkan
waktu artinya keandalan dari masing-masing komponen atau sistem
akan tergantung dari waktu. Oleh karenan itu, pemodelan keandalan
yang tergantung waktu lebih sulit bila dibandingkan dengan
pemodelan keandalan statis.
Beberapa model keandalan yang sudah dibahas pada bab 3
akan dibahas lagi pada bab ini tetapi dengan melibatkan distribusi
probabilitas eksponensial untuk masing-masing komponen yang ada
di dalam sistem.
33
sistem itu untuk tetap beroperasi untuk suatu periode waktu t dapat
diekspresikan sebagai
n - ò zi (t )dt (7.3)
R (t) = P e 0
S i=1
Untuk kasus khusus, dimana masing-masing komponen mengikuti distribusi eksponensial maka
persamaan (7.2) menjadi
-l t -l t -(l +l )t
(7.4)
R (t) = e e 1 2 =e 1 2
34
Fungsi densitas kegagalan untuk n buah komponen dalam
susunan seri yang masing-masing komponennya mengikuti distribusi
eksponensial dapat diperoleh dengan memanfaatkan persamaan
5.17. Fungsi densitas kegagalannya adalah
n
n å
- lit
fS(t) = å li ´ e i =1 (7.6)
i =1
i =1
Contoh 7.1
Sebuah subsistem kontrol terdiri dari dua buah modul yang
mempunyai konfigurasi seri. Masing-masing modul ini mempunyai
laju kegagalan yang konstan yaitu 3 kegagalan per satu juta jam
untuk modul pertama dan 5 kegagalan per satu jam.
a. Hitung laju kegagalan dari subsistem kontrol tersebut.
b. Hitung keandalan dari subsistem itu bila dioperasikan 200 jam.
35
c. Setelah subsistem itu dioperasikan 200 jam (soal b), subsistem itu
dioperasikan lagi selama 50 jam, hitung keandalan dari sistem itu.
d. Waktu rata-rata kegagalan dari subsistem kontrol tersebut.
Solusi
Laju kegagalan dari masing-masing modul adalah konstan, jadi
modul-modul ini mengikuti distribusi eksponensial.
§ Laju kegagalan dari modul1 adalah
l = 3 jam -1 = 3 ´ 10- 6 jam -1
1
106
§ Laju kegagalan dari modul 2 adalah
l = 5 jam -1 = 5 ´ 10 -6 jam -1
2
106
a. Dengan menggunakan persamaan (7.7), laju kegagalan dari
subsistem kontrol tersebut di atas adalah
lS = l1 + l2 = 8 ´ 10-6 jam -1 q
lS=l1+l2=8´10 jam
atau
t t t t
- ò z1 (t )dt - ò z2 (t )dt - ò z1(t )dt - ò z 2 (t )dt (7.11)
R (t) = e 0 +e0 -e0 e 0
P
n - ò z(t)dt ) (7.13)
R (t) = 1 - P(1 - e 0
P i =1
Untuk komponen-komponen yang mengikuti distribusi
P
Sedang persamaan (7.12) dan (7.13) akan masing-masing
dan
38
n
R (t) = 1 - P Q (t) = 1 - P(1 - e-li t )
n
(7.16)
P i =1 i i =1
l1 l2 l 1 + l2
Contoh 7.2
Jika sub-sistem kontrol pada contoh soal 7.1 disusun secara paralel,
tentukan :
a. Indeks keandalan dari subsistem itu bila dioperasikan 200 jam.
b. Waktu rata-rata kegagalan (MTTF) dari subsistem kontrol tersebut.
Solusi
Laju kegagalan dari masing-masing modul adalah konstan, jadi
modul-modul ini mengikuti distribusi eksponensial.
39
§ Laju kegagalan dari modul1 adalah
l = 3 jam -1 = 3 ´ 10- 6 jam -1
1
106
§ Laju kegagalan dari modul 2 adalah
l = 5 jam -1 = 5 ´ 10 -6 jam -1
2
106
MTTF = 1 + 1 - 1 = 1 + 1 - 1
Contoh 7.3
Untuk menambah ketabilan sistem kontrol, sub sistem kontrol pada
contoh 7.2 dihubungkan dengan satu sub sistem kontrol lain secara
seri. Diagarm blok keandalan untuk sistem ini ditunjukkan pada
gambar 7.1. Data kegagalan dari masing – masing subsistem adalah
-6 -6
l1 = 2 x 10 kegagalan per jam, l 2 = 3 x 10 kegagalan per jam,
-6
dan l3 = 5 x 10 kegagalan per jam. Tentukan :
a. ekspresi keandalan subsistem tersebut sebagai fungsi waktu
b. indeks keandalan dari subsistem itu bila dioperasikan 1000 jam.
c. Waktu rata-rata kegagalan (MTTF) dari subsistem kontrol tersebut.
Gambar 7.1
Blok diagram keandalan contoh 7.3
41
Solusi
a. Blok diagram keandalan sistem pada gambar 7.1 dapat
disederhanakan menjadi dua blok saja seperti yang ditunjukkan
oleh gambar 7.2.
1 4
Gambar 7.2
Ekspresi fungsi keandalan untuk blok 4 adalah sama dengan ekspresi fungsi keandalan pada
contoh 7.2, yaitu
-l t -l t -(l +l )t -3x10-6 t -5 x10-6 t
R (t) = e 2 +e 3 -e 2 3 =e +e - e-8 x10-6 t
4
Sedangkan ekspresi fungsi keandalan sistem adalah
( )
q
= e-2 x10- 6 t e -3 x10- 6 t + e-5x10-6 t - e-8x10-6 t
= e-5x10
-6
t + e -7 x10
-6
t - e-10x10
- 6
t
42
c. MTTF dari subsistem tersebut dapat dihitung sebagai berikut.
MTTF = ò R(t)dt
0
¥
= ò e- 2x10
-6
t (e -3x10
-6
t )
+ e-5 x10- 6t - e-8x10-6 t dt q
0
= 1 + 1 - 1 = 242857,142 9 jam
5x10-6 7x10-6 10x10- 6
43
dan ekspresi binomial dimodifikasi menjadi [R(t) + Q(t)]n , dimana nilai
dari R(t) dan Q(t) masing – masing dapat ditentukan dari fungsi
probabilitas yang menjadi model kegagalan suatu komponen /
sistem.
dan
( )
oleh karena itu ekspresi binomial menjadi [e-lt + 1 - e-lt ]n .
Contoh 7.4
Sebuah sistem memiliki empat buah unit identik yang masing –
masing memiliki laju kegagalan (failure rate) 0,1 kegagalan / tahun.
Evaluasi probabilitas dari sistem tersebut untuk tetap dapat
beroperasi setelah 0,5 tahun dan 5 tahun jika minimal dua unit harus
dapat beroperasi agar sistem sukses menjalankan misinya.
Solusi
Dengan menggunakan ekspresi binomial untuk n = 4
44
4 4 3 2 2 3 4
[R(t)+Q(t)] = R (t)+4R (t)Q(t)+6R (t)Q (t)+4R(t)Q (t)+Q (t)
Tabel 7.1
Probabilitas kesuksesan sistem untuk berbagai kondisi komponen
Jumlah unit
yang
diperlukan Probabilitas kesuksesan sistem
agar sistem
sukses
4 e-4lt
3
e-4lt + 4e-3lt (1 - e-lt )
2
e-4lt + 4e-3lt (1 - e-lt ) + 6e-2lt (1 - e-lt )2
-4lt -3lt
1 e + 4e (1 - e-lt ) + 6e-2lt (1 - e-lt )2 + 4e-lt (1 - e-lt )3
R(0,5) = 0,9996 q
R(5) = 0,8282 q
45
Untuk kasus yang lebih umum dari unit yang non – identik,
maka probabilitas dari masing – masing sistem dapat dievaluasi
dengan
dimana nilai dari Ri(t)dan Qi(t) dapat dideksi dari distribusi probabilitas dari komponen ke-i
dan periode waktu yang menjadi interes dalam analisa. Untuk kasus distribusi eksponensial maka
-l t
untuk i = 1,2, … , n
R (t) = e i
i
Q (t) = 1 - e-li t
untuk i = 1,2, … , n
i
46
yang tidak sempurna sehingga bisa dikategorikan sebagai kasus
pengalihan yang tidak sempurna (Imperfect switching)
Gambar 7.3
Sistem dengan susunan standby
47
untuk kelangsungan operasi dan oleh karena itu sistem tidak
mengalami kegagalan.
Jika ada kegagalan kedua dari unit yang equivalen (kegagalan
komponen 2), sistem akan mengalami kegagalan. Logika
pengoperasian pada sistem ini mengimplikasikan bahwa distribusi
poison dapat digunakan untuk menghitung probabilitas dari sistem
failure karena distribusi ini memberikan probabilitas dari berbagai
komponen yang sedang beroperasi pada masa bergunanya. Untuk
kasus ini, perlu kiranya untuk mendapatkan probabilitas kegagalan
yang tidak melebihi satu kegagalan. Dengan menggunakan distribusi
Poisson
(lt) x e -lt
-lt
(lt)n ù=
n
é (lt)2 (lt)3
R(t) = e ê1 + lt + + + ... + ú å (7.23)
ë 2! 3! n! û x =0
x!
l l l
Dan untuk sistem dengan n komponen standby, MTTF nya dapat dihitung sebagai berikut
n
(lt) x e -lt
n+1
MTTF = ò å 0
¥
x!
=
l
(7.25)
x =0
49
7.6.2. Imperfect Switching
Untuk kasus ini, kemungkinan switch mengalami kegagalan
dalam mengalihkan tugas dari komponen aktif ke komponen standby
akan dimasukkan dalam perhitungan, dengan demikian perlu
didefinisikan probabilitas sukses pengoperasian switch. Probabilitas
sukses ini dinotasikan dengan Ps dan dapat ditentukan nilainya
dengan mengumpulkan data kesuksesan dan kegagalan operasional
switch dengan menggunakan persamaan berikut ini.
(7.26)
P = jumlah kesuksesanoperasional switch
s
jumlah operasional switch
50
Konsep ini dapat diperluas untuk kasus dengan dua atau lebih
komponen standby, dengan memasukkan term Ps pada persamaan
(7.22) dan (7.23).
MTTF dari sistem standby dapat diperoleh dengan
mengintegralkan persamaan keandalan sistem dengan batas
integrasi mulai dari o sampai ¥, yaitu
MTTF = ¥
e-lt (1 + P lt) = 1 + Ps (7.28)
s
l
ò0
51
7.7 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
nd
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2 edition,
Plenum Press, New York and London
2. HÆyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods , John Willey & Sons, Inc.
3. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals and
Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
8.1 Pendahuluan
Secara umum reliability importance dari sebuah komponen
dalam sebuah sistem tergantung dari dua faktor yaitu :
§ letak komponen di dalam sebuah sistem
§ reliability dari komponen yang sedang di analisa
Analisa importance (importance analysis) dapat dikatakan sama
dengan sensitivity analysis dan oleh karena itu sangat bermanfaat
untuk mendesain sistem, mendiagnosis sistem, serta
mengoptimalkan sistem. Dengan menggunakan ukuran importance
diharapakan dapat memberikan prioritas untuk melakukan
pengecekan terhadap komponen-komponen yang dapat
menyebabkan kegagalan sistem. Secara umum, semakin besar nilai
dari component importance semakin penting komponen tersebut
untuk mendapat perhatian.
Ada beberapa cara untuk melakukan analisa/mengukur
reliability importance dari sebuah komponen yang sudah
didefinisikan. Berikut ini teknik analisa reliability importance yang
53
sudah dipublikasikan oleh Heley dan Kumamoto (1992) serta oleh
HÆyland dan Rausand (1994). Teknik itu adalah :
· Birnbaum’s measure
· Criticality Importance
· Vesely – Fussell’s measure
· Improvement Potential
dengan
I B (i t ) = ukuran reliability importance birnbaum
RS(t) = nilai reliability dari sistem pada saat t
Ri(t) = nilai reliability dari komponen i yang ada di dalam
sistem pada saat t,
i = 1,2, … , n
dengan
ì 1 ,jika sistemberfungsi
f (x) = í
î0 ,jika sistem dalam keadaan gagal
2n -1
dengan
hf (i) = jumlah total dari critical path set dari komponen i
hf (i) = å[f(1i , x) - f(0i , x)]
n = jumlah komponen yang ada di dalam sistem
55
1
2/3
Gambar 8.1
Blok diagram keandalan susunan 2 dari 3
Contoh 8.1
Gambar 8.1 menunjukkan blok diagarm keandalan yang terdiri dari
tiga komponen, dimana agar sistem ini sukses minimal diperlukan 2
komponen yang beroperasi dari tiga komponen yang ada. Susunan ini
dapat dikategorikan sebagai susunan partially redundant system.
Indeks keandalan masing – masing komponen pada saat t dinyatakan
oleh R1 = 0,98, R2 = 0,96, dan R3 = 0,94. Tentukan Birnbaum’s
measure dari masing – masing komponen.
Solusi
Persamaan keandalan sistem tersebut bila ditulis dalam term R1, R2,
dan R3 adalah
56
I B (1 t) = ¶R = + R - 2R R = 0,0952 q
2 3
R
3 2
¶R1
I B (2 t) = ¶R = R + R - 2R R = 0,0776 q
3
1 3 1
¶R2
B q
I (3 t) = ¶R = R + R - 2R R = 0,0584
2
1 2 1
Sehingga ¶R3
B B B
I (1t) > I (2 t) > I (3t)
t) = I B (i t )(1 - R (t))
I CR (i (8.5)
i
1 - RS (t )
atau dapat juga ditulis sebagai
t ) = I B (i t)Q (t)
I CR (i (8.6)
i
QS (t)
dengan,
Qi(t) = nilai ketakandalan dari komponen i pada saat t.
57
QS(t) = nilai ketakandalan dari sistem pada saat t.
Contoh 8.2
Dengan merujuk pada contoh soal 8.1, tentukan criticallity
importance dari masing – masing komponen.
Solusi
Dengan memanfaatkan hasil dari contoh soal 8.1 dan persamaan
(8.6) maka criticallity importance dari masing – masing komponen
adalah
I B (1 t)(1 - R )
I CR (1 t) =
1
= 0,4428 q
1 - R1 R2 - R1R3 - R2 R3 + 2R1 R2 R3
I B (2 t)(1 - R )
I CR (2 t) =
2
= 0,7219 q
1 - R1R2 - R1R3 - R2 R3 + 2R1R2 R3
I B (3 t)(1 - R )
I CR (3 t) =
3
= 0,8149 q
Sehingga 1 - R1R2 - R1R3 - R2 R3 + 2R1 R2 R3
I CR (1 t) < I CR
(2 t) < I CR (3 t)
58
8.4 Vesely – Fussell’s Measure
Vesely – Fussell’s measure menyatakan probabilitas bahwa
minimal satu cut set yang mengandung komponen i mengalami
kegagalan pada saat t dimana sistem juga telah mengalami
kegagalan pada saat t. Secara matematis Vesely – Fussell’s
didefiniskan oleh persamaan berikut ini.
dimana
Di(t) = minimal cut set yang mengandung komponen i yang
megalami kegagalan pada saat t.
C(t) = kegagalan sistem pada saat t.
P(C(t ))
Hal ini dapat terjadi karena jika Di(t) terjadi maka C(t) pasti terjadi,
atau secara matematis Di(t) merupakan himpunan bagian dari C(t).
Persamaan (8.8) dapat juga ditulis menjadi
mi
1 - Õ(1 - P( Eij (t ))
VF
I (i t ) = j=1 (8.9)
1 - RS (t )
dengan,
59
Eij (t) = minimal cut set j diantara beberapa minimal cut set
yang mengandung komponen i yang mengalami
kegagalan pada saat t untuk i = 1,2, … , n dan j = 1,2, …
, mi.
mi = jumlah minimal cut set yang mengandung kompnen i.
mi mi (
å P(E i
j (t)) i
åQ j (t)
IVF (i t) =
j =1 = j =1 (8.10)
1 - RS (t) QS (t)
Contoh 8.3
Dengan merujuk pada contoh soal 8.1, tentukan Vesely –Fussell’s
measure dari masing – masing komponen.
Solusi
Cut set dari blok diagram keandalan sistem adalah {1,2}, {1,3}, dan
{2,3}, sehingga
60
P(D2 (t)) = P(E12 (t) È E22 (t)) = P(E12 (t)) + P(E 2
2
(t)) - P(E12 (t) Ç E 2
2
(t))
= Q1(t)Q2 (t) + Q2 (t)Q3 (t) - Q1(t)Q2 (t)Q3 (t) » 0,0032
P(C(t)) 0,0043
I VF
(3 t) = P(D1(t)) 0,0036 » 0,8372
= q
P(C(t)) 0,0043
QS QS
( (
Q2 +Q2 QQ +Q Q
IVF (2 t) » = » 0,7442
q
1 2 1 2 2 3
QS QS
61
( (
Q3 + Q3 QQ+QQ
IVF (3 t) » 1 2
= 1323
» 0,8372 q
QS QS
sehingga
I IP (i t ) = I B (i t)(1 - R (t ))i
(8.12)
I IP (i t ) = I CR (i t )Q (t) (8.13)
S
62
Contoh 8.4
Dengan merujuk pada contoh soal 8.1, tentukan improvement
potential dari masing – masing komponen.
Solusi
Dengan menggunakan persamaan (8.12)
I I P (1 t) = I B
(1 t)(1 - R ) = 0,0019 q
1
I I P (2 t) = I B
(2 t)(1 - R ) = 0,0031 q
2
I I P (3 t) = I B
(3 t)(1 - R ) = 0,0035 q
3
Sehingga
I I P (1 t) < I IP
(2 t) < I I P (3 t)
63
Tabel 8.1
Perbandingan hasil component importance analysis dari berbagai metode
64
8.6 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
nd
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2 edition,
Plenum Press, New York and London
2. HÆyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods , John Willey & Sons, Inc.
3. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals and
Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
65
MODUL
4
Metode PengkajianKeandalan
Bagian 3
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
9.1 Pendahuluan
Berbagai teknik analitis untuk mengevaluasi reliability dari
suatu sistem telah diuraikan pada bab terdahulu. Teknik analitis ini
mengasumsikan bahwa sistem adalah tidak repairable, kalaupun
sistem itu repairable maka selalu diasumsikan bahwa waktu untuk
mereparasi sistem / komponen yang ada di dalam sistem adalah
sangat singkat bila dibandingkan dengan waktu pengoperasian
sistem. Teknik pemodelan dengan menggunakan pendekatan Markov
(Markov Approach) menawarkan suatu pemodelan untuk
memperhitungkan waktu reparasi atau repairable system.
Pendekatan Markov dapat diaplikasikan pada perilaku
(behavior) random dari suatu sistem yang bervariasi secara diskrit
maupun kontinyu terhadap ruang dan waktu. Variasi random baik
secara diskrit maupun secara random ini disebut dengan proses
stokastik (stochastic process). Tidak semua proses stokastik dapat
dimodelkan dengan memakai pendekatan Markov dasar (basic
1
Markov approach). Syarat yang harus dipenuhi agar suatu sistem
dapat dimodelkan dengan menggunakan pedekatan Markov dasar
adalah
a. sistem harus memiliki sifat lack of memory
b. proses dari sistem harus stasioner atau homogen
Gambar 9.1
State space diagram untuk sistem dengan 2 keadaan
4
Gambar 9.2
State-space diagram dengan state 3 sebagai absorbing state
éP11 P12 ù é2 3 1
3 ù (9.1)
P=ê ú =ê ú
15
P P ë 4
5 û
ë 21 22 û
dimana
Pij = probabilitas untuk melakukan transisi ke state j setelah satu
interval waktu tertentu dimana state i merupakan awal dari
satu interval waktu.
5
Sedang matrik STP untuk state space diagram pada gambar 9.2
adalah
éP11 P P13 ù é2 3 13 0ù
12
P = êP P P ú = ê1 3 1
ú (9.2)
ê 21 22 23 ú ê 5 5 5ú
êP P P ú ê 0 0 1 ú
32 33
ë 31 û ë û
êP P ... ... P ú
ê 21 22 2n ú
dengan
Pij = probabilitas untuk melakukan transisi ke state j setelah satu
interval waktu tertentu dimana state i merupakan awal dari
satu interval waktu.
Yang perlu diperhatikan dari matrik STP ini adalah jumlah
probabilitas untuk masing-masing baris harus sama dengan satu.
6
Contoh 9.1
Gambar 9.3 menunjukkan sebuah state – space diagram yang
merupakan model dari sebuah sistem. Laju perubahan dari satu state
ke state lain juga ditunjukkan pada gambarTentukan matrik STP dari
dari state space diagram tersebut.
1
0,001 0,005
0,02 0,04
2 3
0,008 0,009
Gambar 9.3
State – space diagram untuk contoh 9.1
Solusi
STP matrik untuk permasalah an di atas
7
éP11 P P P14 ù é0,994 0,001 0,005 0 ù
12 13
ê ú ê ú
P P P P ê
P=ê 21 22 23 ú = 0,02
24 0,972 0 0,008ú q
êP P P P ú ê 0,04 0 0,951 0,009ú
ê 31 32 33 34 ú ê 0 0 0 1 ú
P P P P ë û
ë 41 42 43 44 û
é2 3 1 2
3 ùé 3
1
3ù é23 45 22
45ù
2
P =ê 1 4
úê 1 4 ú = ê 22 53
ú (9.4)
5 5 5 5 û
ë ûë ë 75 75
û
P(n) = P(0)P n
(9.5)
dengan
P(n) = matrik proababilitas yang menyatakan probabilitas dari
masing-masing state setelah n interval waktu
P(0) =matrik probabilitas yang menyatakan probabilitas dari
masing-masing state pada saat awal dari misi sistem
P =matrik STP yang mewakili sistem
P(0) = [1 0] (9.6)
Contoh 9.2
Dengan menggunakan state – space diagram pada gambar 9.1,
tentukan probabilitas masing-masing state setelah dua interval
waktu, jika misi dari sistem tersebut diawali dari state 1.
Solusi
Setelah dua interval waktu maka perilaku dari sistem yang diwakili
oleh nilai probabilitas yang terdapat di dalam matrik STP akan
berubah menjadi
é2 3 1 2
3 ùé 3
1
3ù é23 45 22
45ù
2
P =ê 1 4
úê 1 4 ú = ê 22 53
ú
5 5 5 5 û
ë ûë ë 75 75
û
é 23 45 22 45
ù 23 (9.7)
P(2) = P(0)P = [1 0] ê2
ú = [ 45
22
]
45
ë 22 75 53 75
û
10
probabilitas dari sistem itu untuk berada pada state 2 adalah 22/45.
q
AP = A (9.8)
= [P1 P2 ]
3
é2 13 ù
[P P ]
1 2 ê1
5 4
ú (9.9)
5
ë û
atau
2 1
P+ P =P
3 1 5 2 1
1 P+ P =P 4 (9.10)
3 1 5 2 2
-1 P + 1
P =0
3 1 5 2
1 P- 1 P =0 (9.11)
3 1 5 2
P1 + P2 = 1 (9.12)
12
Dengan mengambil salah satu persamaan dari dua persamaan
yang ada pada persamaan (9.11) dan persamaan (9.12), maka akan
terbentuk dua buah persamaan simultan. Kedua persamaan simultan
ini dapat ditulis menjadi sebuah persamaan matrik yaitu
(9.13)
1
é1 - ùéP
1
ù é0ù
ê 3 5 úê ú =ê ú
P 1 û
ë1 1 ûë 2 û ë
13
system). Pada kasus tertentu, satu persyaratan dari analisa
keandalan adalah untuk mengevaluasi jumlah rata – rata dari interval
waktu dimana sistem berada pada salah satu non-absorbing state,
atau dengan kata lain berapa kali interval sistem beroperasi sebelum
sistem tersebut memasuki absorbing state.
Prinsip ini juga dapat diterapkan pada repairable system, yaitu
untuk mengevaluasi jumlah rata – rata interval waktu sistem yang
akan beroperasi secara memuaskan sebelum memasuki keadaan
yang tidak diinginkan. Pada kasus ini state yang dimaksud bukanlah
merupakan absorbing state yang nyata karena keadaan ini dapat
ditinggalkan setelah aksi reparasi dilakukan. Berikut ini akan
diuraikan metode perhitungan yang dipakai untuk menghitung berapa
interval waktu rata – rata dari suatu sistem sebelum absorbing state
tercapai.
Jika P merupakan matrik STP dari sistem, sebuah truncated
matrix Q dapat dibuat dengan menghapus kolom dan baris matrik
yang berkaitan dengan absorbing state. Untuk persamaan (9.1) yang
mewakili sebuah matrik STP sistem, jika state 2 didefinisikan sebagai
absorbing state, maka matrik Q hanya akan memiliki satu elemen,
yaitu [P 11]. Ini terjadi karena kolom kedua dan baris kedua dari
matrik STP tersebut telah dihilangkan.
Secara umum, nilai harapan dari sebuah variabel random
didefinisikan oleh
¥
E(x) = å x i Pi (9.14)
i =1
[I - Q][I + Q + Q2 + ... + QN -1
] = I - QN (9.16)
Karena nilai – nilai elemen matrik Q adalah kurang dari 1, maka akan
lim
berlaku Qn = 0 , sehingga I - Qn ® I , dan persamaan (9.16)
n ®¥
berubah menjadi
[I - Q][I + Q + Q2 + ... + QN -1
]=I
15
atau
[I + Q + Q2 + ... + QN -1
] = [I - Q]-1
N = [I - Q]-1 (9.17)
Contoh 9.3
Dengan menggunakan state – space diagram pada gambar 9.1, jika
didefinisikan state 2 merupakan absorbing state, tentukan untuk
berapa kali interval sistem itu rata – rata akan beroperasi sebelum
mencapai absorbing state.
Solusi
Jika state 2 didefinisikan sebagai absorbing state, maka truncated
matrix Q dapat ditentukan sebagai berikut.
Q = P11 = ½
Sehingga
-1
N = [ 1-1/2] =2
Jadi rata – rata sistem itu akan beroperasi selama 2 interval waktu
sebelum state 2 dimasuki. q
16
9.7 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
nd
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2 edition,
Plenum Press, New York and London
2. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
3. HÆyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods , John Willey & Sons, Inc.
4. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals and
Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
17
Proses Markov
Kontinyu (Continuous
Markov Processes)
10.1 Pendahuluan
Masalah keandalan yang berhubungan dengan sistem secara
normal adalah space memiliki sifat diskrit - yaitu sistem tersebut
dapat eksis pada salah satu keadaan diskrit dengan state yang dapat
diidentifikasi – dan sistem tersebut eksis secara kontinyu pada salah
satu state sampai terjadi sebuah transisi yang membawa sistem
tersebut secara diskrit dari satu state ke state yang lain. Teknik
evaluasi yang ditulis pada seksi ini akan menyinggung sistem yang
dapat didiskripsikan sebagai stationary Markov proces, yaitu
probabilitas kegagalan kondisional atau reparasi selama interval
waktu yang tertentu adalah konstan. Hal ini mengimplikasikan bahwa
karakteristik kegagalan dan reparasi dari komponen berhubungan
dengan distribusi eksponensial.
Jika kondisi yang disyaratkan seperti di atas terpenuhi, maka
pendekatan Markov dapat dipakai untuk berbagai permasalahan
reliabiity, termasuk sistem yang repairaple atau non-repairable, juga
termasuk sistem yang terhubung secara seri, paralel atau standby.
18
10.2 Konsep Umum Pemodelan
10.2.1 Konsep Laju Perpindahan (Transition Rate)
sebagai contoh awal pemodelan, pertimbangkan sebuah
komponen tunggal yang mampu-reparasi (repairable) dimana failure
rate dan repair rate nya adalah konstan, yaitu keduanya
dikarakteristikkan oleh distribusi eksponensial. Gambar 10. 1
menunjukkan state-space diagram dari sebuah komponen tunggal.
l
State 0 State 1
Komponen dapat Komponen mengalami
dioperasikan m kegagalan
Gambar 10.1
State-space diagram untuk komponen tunggal
19
Dengan memanfaatkan persamaan (10.1), maka density
function diagram state-space pada gambar 10.1, density function
yang mewakili keadaan sistem pada saat beroperasi dan pada saat
dalam keadaan gagal masing – masing dapat dituliskan sebagai
dan
20
komponen tersebut tetap berada dalam keadaan beroperasi (state 0)
pada saat (t + dt) dapat dinyatakan sebagai
atau
P0 (t + dt ) - P0 (t) = -lP0(t) + P1(t)m (10.5)
dt
untuk dt à 0, maka
dt ® 0 dt dt
21
P1(t + dt) = P1(t)(1 - mdt) + P0 (t)(ldt ) (10.8)
F (s) = -s t (10.11)
òe f (t)dt
0
22
Tabel 10.1
Transformasi La Place
f(t) F(s)
1 1
s
T 1
s2
1
e-kt (s + k)
sin kt k
(s2 + k2 )
cos kt s
(s2 + k2 )
1 tn-1e-kt 1
(n - 1)! (s + k)n
dy sF(s) - y(0)
dt
dengan
Pi(s) = transformasi La Place daro Pi(t)
P0(0) = nilai awal dari P0(t)
dengan
P1(0) = nilai awal dari P1(t)
P0 (s) = m
éP0(0) + P1(0)ù + 1 × 1 [lP0 (0) - mP1(0)] (10.15)
ê ú
s
l+më û l+m s+l+m
P1 (s) = l éP0 (0) + P1(0)ù + 1 × 1 [mP1(0) - lP0 (0)] (10.16)
ê ú
s
l+më û l+m s+l+m
24
P0(t) = m [P0(0) + P1 (0)] + [lP0(0) - mP1(0)] (10.17)
e-(l +m )t
l+m l+m
P1(t) = l [P0 (0) + P1 (0)] + [mP1(0) - lP0(0)] (10.18)
e -(l +m)t
l+m l+m
Untuk semua kondisi akan berlaku P0(0) + P1(0) = 1, oleh karena itu
persamaan (10.17) dan (10.18) akan berubah menjadi
P0(t) = m + [lP0 (0) - mP1(0)] (10.19)
e-(l +m )t
l+m l+m
P1(t) = l + [mP1(0) - lP0(0)] (10.20)
e-(l +m )t
l+m l+m
m
P0 = (10.23)
l+m
l
P1 = (10.24)
l+m
Ekspresi probabilitas batas keadaan dapat diterapkan tanpa
memandang apakah sistem berawal dari keadaan beroperasi atau
berawal dari keadaan gagal.
Salah satu karakteristik distribusi eksponensial adalah MTTF
dari distribusi ini dapat diitung langsung dari MTTF = 1l , dengan
demikian MTTR = 1m . Dengan mensubstitusikan kedua persamaan ini
ke dalam persamaan (10.23) dan (10.24), maka akan diperoleh
26
MTTF
P0 = (10.25)
MTTF + MTTR
MTTR
P1 = (10.26)
MTTF + MTTR
R(t) = e-lt
27
A(t)
R(t)
Gambar 10.2
Hubungan antara A(t) dan R(t)
Probabilitas keadaan batas dapat dievaluasi secara langsung
dari persamaan diferensial yang ditunjukkan pada persamaan (10.8)
dan (10.9) tanpa secara aktual menyelesaikan persamaan –
persamaan tersebut. Pendekatan yang dipakai adalah dengan
mengevaluasi probabilitas keadaan untuk t à ¥. Untuk kondisi
seperti ini, P0’(t) dan P1’(t) keduanya akan cenderung bernilai 0, dan
persamaan (10.8) dan (10.9) masing – masing dapat direduksi
menjadi
28
P0 + P1 = 1
m
P0 =
l+m
l
P1 =
l+m
29
0
Beroperasi
Penuh
l1 l3
m1 m3
1 m2
Beroperasi 2
Secara Gagal
Parsial l2
Gambar 10.3
State space diagram untuk komponen tunggal yang mampu-rawat
30
dan keadaan gagal berikut semua kemungkinan laju perpindahannya
dari satu keadaan ke keadaan lain.
l2
1 3
Komp. 1 beroperasi Komp. 1 beroperasi
Komp. 2 beroperasi Komp. 2 gagal
m2
l1 m1 m2 m1 l1
2 4
Komp. 1 gagal Komp. 1 gagal
Komp. 2 beroperasi Komp. 2 gagal
l2
Gambar 10.4
State space diagram untuk dua komponen berbeda yang mampu-rawat
Tabel 10.2
Ketersediaan dan ketaktersediaan dari sistem
yang terdiri dari dua komponen mampu rawat yang berbeda
Konfigurasi Availability (A) Unavailability (U)
Seri A = P1 U = P 2 + P3 + P4
Paralel A = P 1 + P2 + P3 U = P4
33
2l l
1 2 3
Kedua satu Kedua
komponen komponen komponen
beroperasi m beroperasi 2m gagal
Gambar 10.5
State space diagram untuk dua komponen identik yang mampu-rawat
34
1
1 Beroperasi
2 Beroperasi
m1 3 Beroperasi m3
m2
l1 l2 l3
2 3 4
1 Gagal m3 m1 1 Beroperasi 1 Beroperasi
2 Beroperasi 2 Gagal m22 Beroperasi
3 Beroperasi 3 Beroperasi 3 Gagal
m2 m3 m1
l2 l1 l3 l2 l3 l1
5 6 7
1 Gagal 1 Beroperasi 1 Gagal
2 Gagal 2 Gagal 2 Beroperasi
3 Beroperasi 3 Gagal 3 Gagal
m3 m1 m2
l1
8
l3 1 Gagal l2
2 Gagal
3 Gagal
Gambar 10.6
State space diagram untuk tiga komponen
AP = A (10.30)
Jika A adalah [P0 P1] untuk komponen tunggal yang mampu rawat,
maka dari persamaan (10.29) dan persamaan (10.30)
[P P lDt ù = [P P] (10.31)
]é1 - lDt
ë mDt
0 1 ê ú 0 1
1 - mDtû
37
yang dapat ditulis dalam bentuk eksplisit
(1 - lDt)P0 + mDtP1 = P0 (10.32)
Pada persamaan (10.34) dan (10.35) nilai dari Dt adalah tidak nol,
sehingga kedua persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi
é1 - l lù (10.38)
P= ê ú
ëm
1 - mû
38
Perlu ditekannkan bahwa persamaan (10.38) merupakan bentuk tak
lengkap dari matrik STP karena l dan m bukanlah secara khusus
menyatakan probabilitas.
é1 - 2l 2l 0 ù
ê ú
P =ê m 1-l-m l ú (10.39)
ê 0 2m 1 - 2mú
ë û
Oleh karena itu, jika vektor probabilitas kondisi batasnya
adalah [P1 P2 P3 ], maka persamaan (10.30) dapat ditulis menjadi
é1 - 2l 2l 0 ù
[P
1
P
2
P] ê m
3 ê
1-l-m l ú = [P
ú 1
P P]
2 3
(10.40)
ê 0 2m 1 - 2mú
ë û
yang dapat ditulis dalam bentuk eksplisit
(1 - 2l)P1 + mP2 = P1 (10.41)
39
lP2 + (1 - 2m)P3 = P3 (10.43)
P1 = m2 P2 = 2lm P3 = l2 (10.47)
(l + m)2 (l + m)2 (l + m)2
Tabel 10.4 menunjukkan ketersediaan (availability) dan
ketaktersediaan (unavailability) dari sebuah sistem yang terdiri dari
dua komponen dengan berbagai konfigurasi. Notasi P i yang
digunakan pada tabel 10.4 menunjukkan probabilitas dari sistem
tersebut untuk berada pada state i.
40
Tabel 10.4
Ketersediaan dan ketaktersediaan dari sistem
yang terdiri dari dua komponen mampu rawat yang berbeda
Paralel A = P1 + P2 U = P3
A= m2 2lm l2
+ U=
(l + m)2 (l + m)2 (l + m)2
é- 2l 2l 0 ù
êm ú
[P 1
'
]
P2' P3' = ê
- (l + m)
l ú P1 [ P2 P3 ] (10.48)
ê 0 2m - 2mú
ë û
Dengan mengasumsikan sistem berawal dari state 1, maka P1(0) = 1,
P2(0) = 0, dan P3(0) = 0. Solusi dari persamaan (10.48) adalah
P (t) = m2 + 2lm l2
e-(l +m )t + e-2(l+ m)t
1
(l + m) 2
(l + m) 2
(l + m) 2
42
10.7 Mean Time to Failure (MTTF)
Secara umum MTTF dari sistem dapat dihitung dengan
mengintegralkan langsung fungsi reliability seperti yang ditunjukkan
pada persamaan (6.28). Untuk sistem yang kompleks akan sangat
sulit untuk mendapatkan persamaan keandalan sebagai fungsi dari
waktu. Metode alternatif untuk mendapatkan MTTF dari sistem dapat
dilakukan dengan menggunakan metode truncated probability matrix
seperti yang dijelaskan pada seksi 9.6 dimana baris dan kolom dari
matrik STP yang berhubungan dengan absorbing state akan dihapus.
Sebagai ilustrasi pemakaian metode ini, akan ditentukan MTTF
dari sebuah sistem yang terdiri dari dua komponen. Matrik STP dari
sistem ini dapat dilihat pada persamaan (10.39). Jika kedua
komponen kita asumsikan bekerja secara paralel, maka state 3 akan
menjadi absorbing state, sehingga truncated matrix Q untuk sistem
ini adalah
é1 - 2l 2l ù (10.50)
Q= ê ú
ë m
1 - l - mû
Pada bab 9, matrik Q dipakai untuk deduksi rata – rata jumlah
langkah yang harus dilalui sebelum sistem memasuki absorbing state.
Pada kasus Markov process, teknik yang sama juga dapat digunakan
untuk deduksi waktu rata – rata, dalam hal ini MTTF, yang akan
dilalui sebelum sistem memasuki absorbing state. Interval waktu rata
– rata dapat untuk tiap state dapat dideuksi dari
N = [I - Q]-1
é ù é1 - 2l 2l ù ù -1
1 él + m 2lù (10.51)
ú -ê úú = 2ê
é1 0
=ê ú
û ë -m m
ê
ëë 0 1 2l ë
1 - l - mûû 2lû
43
dimana komponen nij pada N adalah waktu rata – rata yang
dihabiskan pada state j dengan catatan bahwa process berawal dari
state i sebelum sistem tersebut memasuki absorbing state.
Jika sistem memulai proses dari state 1, maka MTTF dari sistem
adalah
44
10.8 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
nd
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2 edition,
Plenum Press, New York and London
2. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
3. HÆyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods , John Willey & Sons, Inc.
4. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals and
Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
45
Simulasi Monte Carlo
46
§ Waktu yang diperlukan untuk solusi secara analitis umumnya
relatif lebih singkat sedangkan untuk simulasi relatif lebih lama.
Hal ini tidak menjadi masalah untuk simulasi yang dilakukan
dengan komputer yang mempunyai kecepatan dan memori yang
lebih besar.
§ Pemodelan secara analitis akan selalu memberikan hasil numerik
yang sama untuk sistem, model, dan satu set data yang sama,
sedangkan hasil dari simulasi tergantung dari random number
generator yang dipakai dan jumlah simulasi yang dilakukan. Hasil
dari pendekatan secara analitis yang konsisten membangkitkan
keyakinan bagi user tetapi mungkin juga menjadi tidak realistik.
§ Model yang dipergunakan untuk pendekatan secara analitis
biasanya merupakan penyederhanaan dari sebuah sistem, dan
terkadang terlalu disederhanakan sehingga menjadi tidak realistik.
Sedangkan teknik simulasi dapat melibatkan dan menyimulasikan
semua karakteristik sistem yang diketahui.
§ Teknik simulasi dapat memberikan output parameter dengan range
yang sangat luas termasuk semua momen dan probability density
function yang lengkap, sedangkan output dari metode analitis
biasanya terbatas hanya pada expected value.
dengan,
A = pengali (multiplier)
B = modulus
C = pertambahan
48
Beberapa subroutine random number generator dengan
menggunakan algoritma congruential generator yang ditulis dalam
bahasa FORTRAN dapat dilihat pada [5].
FY ( y) = P(Y £ y) = P( FT (T ) £ y)
(11.2)
= P(T £ F -1 ( y)) = F (F -1 ( y)) = yuntuk 0 < y < 1
T TT
49
Dari sini terlihat bahwa Y = FT(T) memiliki distribusi uniform antara
(0,1). Ini menyatakan bahwa jika variabel Y memiliki distribusi
uniform antara (0,1) maka T = FT-1 (Y ) memiliki distribusi yang sama
dengan fungsi distribusi FT(t).
50
ini sebagai event kegagalan. Sebaliknya, jika kedua
waktu ini sama atau lebih besar dari waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan satu misi, hitung event
ini sebagai event sukses.
Langkah 4: Ulangi lagkah 1 – 3, jumlahkan semua kegagalan dan
kesuksesan , dan lanjutkan untuk jumlah simulasi yang
dikehendaki.
51
11.4.3 Algoritma Konfigurasi Paralel Repairable System
Langkah 1: Generate sebuah random number
Langkah 2: Konversi random number menjadi variabel random waktu,
T, yang merupakan waktu pengoperasian komponen
53
11.5 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
nd
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2 edition,
Plenum Press, New York and London
2. Bridgees, D.C. [1974], The Application of Reliability to the Design
of Ships’ Machinery, Transaction IMarE, Vol. 86.
3. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
4. HÆyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods , John Willey & Sons, Inc.
5. Press , W.H., Saul A. Teukolsky, William T. Vetterling, and Brian P.
Flannery [1992], Numerical Recipes in FORTRAN : The Art of
nd
Scientific Computing, 2 edition, Cambridge University Press, New
York.
54
MODUL
5
Strategi Untuk
Kebijaksanaan Perawatan
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
12.1 Pendahuluan
Saat ini peralatan dan plant yang dioperasikan cenderung
semakin kompleks dan membutuhkan modal yang sangat besar baik
untuk investasi awal maupun untuk biaya operasional. Untuk itu,
strategi dan kebijaksanaan perawatan sangat diperlukan agar semua
peralatan yang beroperasi di dalam sistem tidak sering mengalami
kegagalan dalam pengoperasiannya. Secara tradisional, perawatan
dipandang sebagai sesuatu yang hanya dipertimbangkan jika telah
terjadi sesuatu yang salah pada suatu sistem atau sesuatu yang salah
akan segera terjadi, bila hal ini terjadi maka biasanya fungsi
perawatan yang ada tidak terorganisasi dan tidak sistematis.
Berbagai upaya untuk mengoptimalkan perawatan, baik bentuk
maupun beaya perawatan telah banyak dilakukan yang kesemuanya
bertujuan untuk menjaga ketersediaan (availability) sistem. Oleh
karena itu, untuk saat ini teknik perawatan lebih banyak
dikonsentrasikan pada perawatan pencegahan / preventif untuk
menghindari kerusakan yang lebih serius, dan strategi perawatan
pencegahan ini juga difokuskan untuk mempertahankan efisiensi dari
1
sistem sedekat mungkin dengan efisiensi maksimum yang sudah
didesain.
Umumnya, regulasi dan policy baik internal maupun eksternal
akan menentukan kebijakan perawtan yang berkaitan dengan
keselamatan. Sedangkan perawatan yang berkaitan dengan
ketersediaan dan konsumsi energi, optimasi harus dijadikan sebagai
basis penentuan kebijaksanaan perawatan, karena penambahan
tugas perawatan tidak hanya akan menambah ketersediaan sistem
tetapi juga akan menambah beaya perawatan nya. Sehingga tujuan
dari implementasi perawatan itu hendaknya diharapkan juga
mempertimbagkan optimalisasi berbagai faktor yang saling berkaitan.
Perawatan merupakan hal yang sangat mahal dan merupakan
suatu godaan yang kuat untuk menundanya sampai esok hari dan
menghemat dana untuk hari ini. Ekspresi minimal maintenance
approach menunjukkan tindakan perawatan terhadap suatu plant
yang dilakukan hanya untuk memenuhi persyaratan dan hukum yang
telah ditentukan oleh badan pembuat peraturan. Jika tindakan ini
dikombinasikan dengan manajemen perawatan yang terabaikan ,
maka hal ini akan memperpendek masa berguna (useful life) dari
plant dan juga meungkin juga akan menambah beaya lainnya seperti
beaya kerusakan (downtime cost) dan berbagai denda yang timbul
akibat dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kerusakan sistem.
2
Perawatan terencana adalah perawatan yang diorganisir dan
dilakukan dengan perencanaan dan pengonntrolan yang sudah
ditentukan terlebih dahulu. Sedangkan perawatan tak terencana
adalah satu jenis perawatan yang dilakukan tanpa perencanaan
terlebih dahulu.
Perawatan preventif adalah perawatan yang dilakukan pada
interval waktu yang sudah ditentukan – contoh dari strategi ini adalah
scheduled maintenance - atau berhubungan dengan kriteria yang
sudah ditentukan - contoh dari strategi ini adalah condition
maintenance .Dengan melakukan perawatan preventif, mengandung
maksud untuk mengurangi probabilitas kegagalan atau penurunan
performance dari suatu sistem.
Perawatan korektif adalah perawatan yang dilakukan setelah
peralatan mengalami kegagalan dan perawatan ini dimaksudkan
untuk mengembalikan sistem ke keadaan dimana sistem tersebut
dapat melakukan fungsinya kembali. Emergency maintenance adalah
salah satu jenis dari corrective maintenance yang diperlukan untuk
memfungsikan kembali peralatan secepatnya agar dampak yang lebih
buruk dapat dihindari.
Perawatan preventif dapat dibagi lagi menjadi scheduled
maintenance (perawatan terjadwal) dan condition based maintenance
(Perawatan yang berbasis pada kondisi sistem). Perawatan terjadwal
dilakukan pada interval waktu tertentu, baik itu banyaknya jam kerja,
jumlah siklus yang ytelah dilalui, dan lain – lain. Pemilihan interval
waktu perawatan untuk satu komponen tertentu terbukti sangat sulit.
Bentuk dari perawatan preventif biasanya berupa pengecekan
(inspection) terhadap berbagai komponen secara periodik untuk
menentukan apakah pengaturan (adjustment) dan penggantian
(replacement) sudah diperlukan. Jika interval ini terlalu sering, maka
pengecekan ini akan mengurangi ketersediaan sistem dan menambah
resiko kesalahan re-assembly. Sedangkan pengecekan yang jarang
mungkin akan menimbulkan kerusakan sistem yang tidak diinginkan.
3
MAINTENANCE
PLANNED UNPLANNED
MAINTENANCE MAINTENANCE
PREVENTIVE CORRECTIVE
MAINTENANCE MAINTENANCE
SCHEDULED CONDITION
BASED
Gambar 12.1
Jenis – jenis perawatan
4
Dengan pendekatan ini perawatan hanya dilakkukan bila hal itu
diperlukan.
Condition monitoring (pemantauan kondisi) adalah pengukuran
secara periodik dan kontinyu dan menginterpretasikan data yang
menunjukkan kondisi dari peralatan dan menentukan apakah
peralatan tersebut perlu membutuhkan perawatan atau tidak.
Pemanatauan kondisi secara normal dilakukan pada saat peralatan
sedang beroperasi dan tidak sedang dalam keadaan rusak berat.
Aplikasi dari pengukuran secara kontinyu mungkin bisa
dibandingkan dengan pemakaian proses sistem alarm. Pada sistem
alarm ini parameter operasional yang kritis dimonitor secara terus
menerus dan alarm akan berbunyi bila kondisi tertentu dilampaui.
Tujuan dari pemantauan kondisi adalah untuk mengkuantifikasikan
kondisi suatu peralatan dan tidak begitu saja memberikan peringatan
bila batas operasi yang ditentukan telah dicapai.
Pengukuran secara periodik umumnya mempunyai tujuan untuk
memberikan proteksi yang cukup dari suatu peralatan terhadap
kondisi yang buruk atau kondisi yang perlahan-lahan mengarah ke
terjadinya suatu kegagalan. Suatu pengukuran mungkin dapat
dilakukan pada interval yang lebih pendek bila running hours
peralatan semakin bertambah.
Jika
dengan
K = 0 hanya dipakai untuk interval waktu t = 0 dan t = TM
K = 1 hanya dipakai untuk interval waktu t = TM dan t = 2 TM
dan seterusnya.
Gambar 12.1
Density function dengan perawatan terjadwal ideal
7
Dampak terpenting dari perawatan preventive secara periodik adalah
density fuction dari bentuk aslinya. Perubahan ini merupakan salah
satu dari berbagai justifikasi mengapa distribusi eksponensial
digunakan untuk memodelkan umur hidup komponen
Contoh 12.1
Asumsikan sebuah komponen yang umur hidupnya secara uniform
didefinisikan oleh
f (t) = 0,25 0 < t £ 4 tahun
komponen ini menjalani perawatan secara teratur (asumsikan
sebagai perawatan ideal) sekali setahun. Tentukan modifikasi density
function jika perawatan dilaksanakan.
Solusi
§ Cumulative distribution function
t
§ Fungsi keandalan
¥
R(t ) = ò f (t)dt = 1- F(t)
untuk 0 < t £ 4
0
R(t ) = 1- 0,25t
§ laju kegagalan
8
4
MTTF = òR(t)dt = 2 Tahun
0
§ Jika perawatan terjadwal TM, adalah 1 th, maka
R(TM) = R(1) = 0,75
§ Dengan menggunakan persamaan 12.1
¥
fT*(t) = å(0,25)(0,75)K
K =0
§ Rata – rata laju kegagalan (l*(t) )
* 11 1
0,25
l (t) = 4 ò 4l(t)dt = ò 1- d
t
0 00,25t
1
dt 1
=ò = -ln(4 - t) 0
0 4 - t
= ln 4 - ln3
= 0,2877
9
* ¥
MTTF *
= òtfT (t)dt
0 ¥
1
K
= å(0,75) (2K + 1)
8 K =0
= 3,5tahun
10
fT (t) = lim 1 P[t < T £ (t + Dt] (12.2)
Dt®0 Dt
jelas terlihat bahwa density function f1(t) untuk random variabel yang
mewakili kegagalan pertama adalah fT (t) . Pertanyaan yang harus
dijawab adalah, apakah bentuk density function f2 (t) untuk random
variabel kontinyu untuk kegagalan kedua ?
Asumsikan bahwa kegagalan pertama terjadi disekitar waktu t.
Maka probabilitas untuk kegagalan kedua dalam interval waktu
(t,t+Dt), t>t, untuk t tertentu adalah
lim 1
L(t ) = D t ® 0 Dt P[sembarang kegagalan pada (t,t+Dt)]
(12.5)
¥
=å f k (t )
k=1
atau
t
¥
-l(t -t )
dt = l2te-lt (12.8)
f2(t) = ò(le
0
12
t
2 -lt -l(t -t ) 3 t2 -lt
f3(t)ò(lte ) dt = l 2 e (12.9)
le
0
Pattern dari persamaan – persamaan ini dapat ditulis dalam bentuk umum, yaitu
fk (t) = lk k -1 t
e-lt (12.10)
(k - 1)!
Contoh 12.2
Kembali pada contoh 12.1, jika perbaikan ideal pada komponen
masing – masing dilakukan pada masing – masing kegagalan,
tentukan fungsi densitas kegagalan komopnen tersebut.
Solusi
Fungsi densitas untuk masing – masing kegagalan adalah
t
2
f2(t) = ò(0,25)(0,25)dt = ( 4 ) t 1
13
t t
2 3 2
f3(t) = ò( 4 ) t(
1 1
4 )dt = ( 1
4 )( 2 )
0
åfk (t) =ç ÷å
( )
è 4ø
= 0,25e ç ÷
4
L(t) =
k =1
è 4 øk =1(k - 1)!
14
1 TM
fR = ò L(t)dt (4.12)
T
M 0
Contoh 12.3
Jika komponen pada contoh 12.1 dan 12.2 menjalani perawatan
preventif tiap interval waktu TM dan juga dikenakan perbaikan ideal,
tentukan frekuensi perbaikan dai komponen tersebut.
Solusi
Frekuensi perawatan
t
1 TM 1 TM 1 é TM ù
fR = T ò L(t)dt = T ò 0,25e4 dt = T êe 4 - 1ú
ë û
M 0 M 0
M ê ú
15
12.6 Ekonomi Dari Reparasi Dan Perawatan
Kita lihat pada pemebahasan terdahulu, bahwa perawatan
preventif secara periodik akan menambah MTTF dari komponen yang
memiliki fungsi laju kegagalan yang semakin meningkat. Perawatan
preventif juga mengurangi frekuensi reparasi baki komponen yang
mampu-rawat (repairable). Penambahan frekuensi perawatan
( sebagai dampaknya, akan mengurangi waktu antara dua perawatan
) lebih lanjut akan mengurangi frekuensi reparasi. Yang menjadi
permasalahan sekarang adalah, berapa waktu optimum diantara dua
perawatan ? Jawabannya tergantung pada beaya relatif dari reparasi
dan pemeliharaan.
Umpamakan
CR = Nilai reparasi
CM = Nilai satu perawatan.
(12.13)
K = C R f R + CM f M
dimana
fR = frekuensi reparasi
dan
fM = frekuensi perawatan =1/TM
Untuk mendapatkan harga yang optimum dari T M, definisikan
Ko = K/CR sebagai fungsi dari TM dan dapatkan harga TM yang
meminimumkan Ko. Jadi
16
K 0 = K = R + f (12.14)
f CM
M
CR
CR
Dengan menggunakan persamaan (4.12), maka persamaan (12.14)
akan berubah menjadi
1 T CM ù
é M
K0 = T êò L(t)dt + C fM ú (12.15)
M ê0 R ú
ë û
atay
T CM ù
é M
TM K0 = ê ò L(t)dt + fM ú (12.16)
ê0 CR ú
ë û
Dengan mendiferensialkan persamaan (12.16) terhadap TM, maka
K + dK0 = L(T ) (12.17)
T
M
0
dT M M
dimana
dTM TM TM
Dengan menyamakan dKo / dTM sama dengan nol dan
mensubsitusikan Ko dari persamaan (12.15)., kita akan peroleh
17
persamaan yang perlu untuk dimecahkan dari untuk mendapatkan
harga optimum TM, yaitu
CM
TM
TM L(TM ) = ò L(t)dt + (12.18)
0
CR
Gambar 12.2
Variasi dari Ko dengan TM
Contoh 12.4
Perhatikan kembali contoh 12.1 sampai 12.3. Andaikan CM / CR =
0,15. Tentukan interval waktu perawatan yang optimum.
18
Solusi
Dengan menggunakan persamaan (12.15) dan (12.18) untuk
0<TM£4, maka akan kita peroleh
e M
4 [1 - 0,25TM ] = 0,85
dengan menyelesaikan persamaan ini, interval waktu optimum akan
diperoleh interval waktu optimum untuk berbagai kondisi yang sudah
ditetapkan yaitu selama 1,869 tahun. Jadi bila perawatan dilakukan
pada interval waktu 1,869 tahun akan meminimalkan beaya
perawatan total dan prebaikan. Secara praktis, anhka ini akan
dibulatkan menjadi dua tahun.
MTTF = 1 (12.19)
l
MTTR = 1 (12.20)
m
dan
A = Availability =
MTTF = m (12.21)
MTTF + MTTR l + m
Denngan mengekspresikan MTTR sebagai fungsi dari MTTF dan A,
Untuk masing- masing harga dari A, plot dari MTTR lawan MTTF akan
berupa garis lurus dengan kemiringan (1 – A)/A, seperti yang
diilustrasikan dalam gambar 12.3.
20
Gambar 12.3
Variasi dari MTTR dengan MTTF untuk harga A yang tetap
Contoh 12.5
Akan didesain sebuah sistem pompa untuk sebuah. Tujuan dari
desain sistem ini adalah untuk meminimumkan PWRR (Present-worth
Revenue Requirements) total. Tiga alternatif disediakan, detailnya
sebagai berikut :
21
Gambar 12.4
Wilayah perbandingan (trade-off) ekonomi untuk analisa ketersediaan
22
pembayaran tahunan tambahan sebesar 15% untuk pengembalian
modal yang telah dipinjam, biaya operasi dan perawatan. Tentukan
PWRR bagi masing – masing skenario desain sistem.
Solusi
Untuk masing-masing pompa
1 1
MTTF = = = 4 tahun
l 0,25
MMTR = 24 jam = 24 tahun
8,760
dan
Availability = 4 = 35,040
4+ 24 35,064
8,760
dan
U = 0,0006845
23
Untuk r = 0,1 dan n = 35, maka
EPWF = 9.644
Alternatif 1
Jumlah jam yang tidak berfungsi per tahun adalah
= (0.00068445)(8.760) = 6 jam
Alternatif 2
Dengan dua pompa yang identik, ada tiga kemungkinan yang
dipertimbangkan :
i. Kedua pompa bekerja. Maka tidak ada pengurangan dalam
kapasitas dan tidak ada penalti.
24
ii. Satu pompa up dan satu down. Maka pengurangan 50% dalam
menghasilkan kapasitas dan probability dari bagian ini adalah
=
2AU = 0.00136806
iii. Kedua pompa down. Maka ada pengurangan 100% dalam
kapasitas, dan probabilitas pada bagian ini adalah
= 2 -9
U = 469 x 10
Alternatif 3
26
12.8 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
nd
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2 edition,
Plenum Press, New York and London
2. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
3. HÆyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods , John Willey & Sons, Inc.
4. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals and
Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
27