Makalah Bank Dan Lembaga Keuangan (Bank Perkreditan Rakyat)
Makalah Bank Dan Lembaga Keuangan (Bank Perkreditan Rakyat)
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Deasy Karissa P. 1709617009
Prawestri Yekti P. 1709617051
Nur Hayati 1709617017
Oza Rahmah Tiara 1709617005
Rifa Silviaty 1709617011
Reni Handayani 1709617003
Haikal Rafif 1709617019
Dosen Pengampu:
Darma Rika Swaramarinda, S.Pd., M.SE
Tidak ada kata dan kalimat yang lebih pantas untuk mengawali makalah ini
selain memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
izin-Nya-lah kami dapat membuat dan menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu.
Tujuan saya menulis makalah ini untuk membahas mengenai IPS di tinjau
dari berbagai prodi pengajaran sebagai penambah wawasan dan pembelajaran
mahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran serta memenuhi tugas Ibu Dra.
RR. Ponco Dewi Karyaningsih, M.M selaku dosen pengampu.
Ucapan terimakasih kami berikan kepada berbagai pihak yang telah
membantu pembuatan makalah ini. Sesungguhnya makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan begitu banyak kekurangan serta kesalahan yang begitu mendasar
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Maka kami mohon maaf
sebesar-besarnya atas segala kekurangan dan kesalahan yang banyak terdapat
dalam makalah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini. Terima Kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Hal
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah bertujuan untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit. Posisi BPR
dalam Perbankan di Indonesia adalah sebagai pendorong kegiatan
perekonomian nasional dengan sasaran menjangkau masyarakat kalangan
menengah kebawah terutama pengusaha mikro kecil. Bank perkreditan rakyat
memiliki fungsi dan larangan dalam kegiatan usahanya dan memiliki ketentuan-
ketentuan didalamnya.
2
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini
mempunyai manfaat diantaranya dapat memberikan wawasan tentang Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) untuk para pembaca maupun penulis.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
2.2 Sejarah Bank Perkreditan Rakyat
Lembaga perkreditan rakyat didirikan berawal dari keinginan untuk
membantu para petani, pegawai dan buruh untuk lepas dari rentenir yang
memberikan kredit dengan bunga yang tinggi. Lembaga perkreditan rakyat
muncul pada abad ke-19 yang ditandai dengan terbentuknya beberapa lembaga
seperti Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani dan Bank Dagang Desa. Awal
tahun 1970-an pemerintah daerah mulai membentuk Lembaga Dana Kredit
Pedesaan (LDKP).
Pada awal 1988 melalui keputusann Presiden RI No. 38 pemerintah
mengeluarkan Paket Kebujakan Oktober 1988 (Pakto 1988) yang menjadi
momentum awal pendirian BPR baru. Bank-bank pasar yang telah tebentuk
diganti menjadi BPR berdasarkan Pakto 1988. Kebijakan tersebut memberikan
kejelasan mengenai keberadaan dan kegiatan usaha BPR. Sebagai langkah
lanjutan dari Pakto 1988, pemerintah mengeluarkan beberapa ketentuan dalam
bidang perbankan yang merupakan penyempurnaan ketentuan sebelumnya
yaitu: penyempurnaan Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok
Perbankan dengan mengeluarkan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan penyempurnaan lebih lanjut yang dituangkan dalam Undang-
undang No.10 Tahun 1988. Penyempurnaan sistem perbankan di Indonesia
yang ditempuh dengan cara menyederhanakan jenis bank menjadi Bank Umum
dan Bank Prekreditan Rakyat serta memoerjelas ruang lingkup dan batas
kegiatan yang dapat diselenggarakan dan diharapankan dapat lebih
meningkatkan perannya dalam pelaksanaan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke
arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Pada tahap pelaksanaannya, Undang-undang No. 7 Tahun 1992 didukung
dengan peraturan pemerintah No. 71 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam
peraturan perundang-undangan tersebut memungkinkan Lembaga Keuangan
Bukan Bank yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dapat
menyesuaikan kegiatan usahanya sebagai bank dan lembaga-lembaga keuangan
kecil, seperti Bank Desa, Bank Pasar dan lembaga-lembaga lainnya yang
5
dipesamakan dengan itu dapat diberikan status BPR dalam jangka waktu sampai
dengan 31 Oktober 1997 dengan memenuhi persyaratan dan tata cara yang
diterapkan dengan peraturan pemerintah. BPT yang didirikan sesudah Pakto
1988 ataupun Lembaga Keuangan yang menjadi BPR harus tunduh pada
ketentuan yang diaturdalam Undang-undang Perbankan dan peraturan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank.
Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga
intermedasi dan penunjang sistem perbankan merupakan faktor yang sangat
menentukan dala proses penyesuain kebijakan dalam bidang ekonomi dan
keuangan dalam menghadapi tantangan perekonomian regional dan
internasional.
2.3 Fungsi Dan Larangan Dalam Kegiatan Usaha Bank Perkreditan Rakyat
(BPR)
Fungsi BPR tidak hanya sekedar menyalurkan kredit kepada para
pengusaha mikro, kecil dan menengah, tetapi juga menerima simpanan
masyarakat. Dalam proses penyaluran kredit kepada masyarakat menggunakan
prinsip 3T, yaitu Tepat Waktu, Tepat Jumlah dan Tepat Sasaran, karena
prosesnya relatif cepat, persyaratan lebih sederhana dan sangat mengerti akan
kebutuhan nasabah. Selain itu peran BPR juga untuk menghimpun dana
masyarakat dalam bentuk desposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lain
yang dipersamakan dengan itu dan memberikan kredit dalam bentuk kredit
modal kerja, kredit investasi maupun kredit konsumsi.
Adapun kegiatan usaha yang dapat dilakukan BPR secara detail menurut
pasal 13 adalah :
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
desposito berjangka , tabungan dan / atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
2. Memberikan kredit.
3. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
desposito berjangka, sertifikat desposito dan atau tabungan Bank lain.
6
Sedangkan kegiatan yang tidak dapat dilakukan oleh BPR menurut pasal 14,
diantaranya:
1. Memberikan simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran
2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing kecuali dalam pedagang
valuta asing (dengan izin Bank Indonesia)
3. Melakukan penyertaan modal
4. Melakukan usaha perasuransian
7
maksimum tersebut tidak melebihi 10% dari modal yang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
b. Ketentuan Kelembagaan
Pendirian BPR
PBI No.8/26/PBI/2006 tanggal 8 November 2006 tentang Bank
Perkreditan Rakyat, merupakan dasar hokum untuk mendirikan BPR maka
persyaratan Modal disetor paling kurang sebesar :
1) Warga Negara Indonesia
2) Badan hokum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara
Indonesia
3) Pemerintah daerah
4) Dua pihak atau leebih sebagaimana dimaksud dalam angka 1, 2 dan 3
8
Modal disetor untuk mendirikan BPR :
1) Rp 5 miliar untuk BPR yang didirikan di wilayah DKI Jakarta
2) Rp 2 miliar untuk BPR yang didirikan di wilayah ibukota provinsi di
Pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Kabupaten atau Kotamadya Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi;
3) Rp 1 miliaR untuk BPR yang didirikan di ibukota provinsi di luar Pulau
Jawa dan Bali dan di wilayah Pulau Jawa dan Bali di luar wilayah
sebagaimana disebut dalam angka 1, dan 2
4) Rp 500 juta untuk BPR yang didirikan di wilayah lain di luar wilayah
sebagaimana disebut dalam angka 1, 2 dan 3
Kepemilikan BPR
Yang dapat menjadi pemilik BPR adalah pihak-pihak yang :
1) Tidak termasuk dalam daftar orang-orang tercela di bidang perbankan
2) Memiliki integritas, antara lain memiliki akhlak dan moral yang
baik, bersedia mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan bersediamengembangkan operasional BPR secara
sehat
9
Kepengurusan BPR
Kepengurusan BPR terdiri dari Direksi dan Komisaris. Anggota
direksi dan dewan komisaris wajib memenuhi persyaratan: i) kompetensi;
ii) integritas; dan iii) reputasi. Anggota Direksi dan Komisaris masing-
masing paling sedikit berjumlah 2 orang dan memiliki sertifikat kelulusan
dari lembaga sertifikasi.
10
c. Ketentuan Kehati-hatian
Kewajiban penyadiaan modal minimum (KPMM)
1) BPR diwajibkan untuk memenuhi rasio KPMM (CAR) minimal 8% yang
dihitung dari perbandingn antara Modal dengan Aktiva Tertimbang
Menurut Risiko (ATMR).
2) Komponen modal terdiri atas modal inti dan modal pelengkap dimana
modal pelengkap maksimum sebesar 100% dari modal inti.
3) Model inti terdiri dari modal disetor, agio, dana setoran modal, modal
sumbangan, cadangan umum, cadangan tujuan, laba ditahan (setelah
diperhitungkan pajak), laba tahun-tahun lalu (setelah diperhitungkan
pajak) dan laba tahun berjalan (sebesar 50% setelah taksiran pajak).
Faktor pengurang pada modal intu berupa goodwill, disagio, rugi tahun-
tahun lalu dengan rugi tahun berjalan.
4) Modal pelengkap terdiri dari cadangan revaluaso aktiva tetap, PPAP
umum (maksimum sebesar 1,25% dari ATMR), modal pinjaman
(hybrid/quai capital), pinjaman subordinasi (maksimum sebesar 50%
dari modal inti).
5) ATMR terdiri dari aktiva neraca BPR yang diberikan bobot sesuai
dengan kadar risiko yang melekat pada setaip pos aktiva.
11
1) Pelanggaran BMPK
Penyediaan Dana pada Saat Pemberiaannya : Modal pada
Saat Penediaan Dana x 100% - (BMPK)
2) BMPK untuk kredit dihitung berdasarkan baki debet kredit, BMPK
untuk Penempatan Dana AntarBank pada BPR lain dihitung
berdasarkan nominal Penempatan Dana AntarBank.
3) Untuk pihak yang tidak terkait dengan BPR; Penyediaan dana kepada
pihak tidak terkait dengan BPR ditetapkan paling tinggi 20% dari modal
BPR. Sedangkan yang kepada satu kelompok peminjam tidak terkait
ditetapkan paling tinggi 30% dari modal BPR. Tidak termasuk dalam
kelompok peminjam tidak terkait yang penyediaan dana dengan pola
kemitraan inti-plasma atau pola PHBK dengan persyaratan sesuai
ketentuan.
4) Untuk pihak yang terkait dengan BPR: Penyediaan dana kepada pihak
terkait ditetapkan paling tinggi 10% dari modal BPR dan penyediaan
satu orang direksi dan satu orang komisaris.
5) Penempatan pada BPR lain : Penempatan Dana AntarBank kepada BPR
lain yang merupakan Pihak Yang Tidak Terkait ditetapkan paling
20%dari modal BPR..
6) Penyediaan dana dalam bentuk kredit Penyediaan Dana oleh BPR
dikategorikan sebagai Pelampauan BMPK apabila disebabkan oleh-
oleh hal berikut ini :
a) Penurunan modal BPR;
b) Penggabungan usaha, peleburan usaha, perubahan struktur
kepemilikan dan/ atau kepengurusan yang menyebabkan
perubahan pihak terkait dan/atau kelompok peminjam;
c) Perubahan ketentuan.
7) BPR yang melakukan pelanggaran ataupun oelampauan BMPK
diwajibkan menyampaikan action plan kepada OJK dan dikenakan
sanksi penilaian tingkat kesehatan BPR sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang berlaku.
12
Aktiva produktif
BPR memiliki peranan penting dalam mendukung perkembangan usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM). BPR harus senantiasa
meemperhatikan asas-usus perkreditan yang sehat dalam rangka
menyalurkan kredit kepada UMKM dengan tetap memperhatikan prinsip
kehati-hatian. BPR wajib menetapkan KAP yang sama terhadap beberapa
rekening AP yang digunakan untuk membiayai 1 debitur pada BPR yang
sama. Ketentuan tentang KAP disempurnakan dan diselaraskan dengan
Standar Akutansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik
(SAK-ETAP) bagi BPR dan Pedoman Akutansi BPR.
BPR wajib menetapkan KAP yang sama terhadap beberapa rekening
AP yang digunakan untuk membiayai 1 Debitur pada BPR yang sama.
Dalam hal terjadi perbedaan KAP terhadap rekening menetapkan kualitas
masing-masing AP mengikuti KAP yang paling rendah. Ketentuan terkait
dengan restrukturisasi kredit, yaitu :
1) Bank wajib membebankan kerugian yang timbul dari restrukturisasi
kredit, setelah diperhitungkan dengan kelebihan PPAP karena
perbaikan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi.
2) Kelebihan PPAP karena perbaikakn kualitas Kredit yang
direstrukturisasi, setelaj diperhitungkan dengan kerugian yang timbul
daru restrukturisasikredit dimaksud, hanya dapat diakui sebagai
pendapatan apabila telah terdapat 3 kali penerimaan angsuran pokok
atas kredit yang direstrukturisasikan.
13
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Pengecualian pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktifa Produktig
(PPAP) Umum untuk AP dalam bentuk :
1) Penempatan BPR pada SBI;
2) Kredit yang dijamin dengan agunan bersifat likuid berupa SBI, surat
utang yang diterbitkan oleh Pemerintah RI, tabungan dan/atau deposito
yang diblokir pada BPR yang bersangkutan disertai dengan surat kuasa
pencairan dan logam mulia.
a) Emas perhiasan
b) Resi gudang
c) Tanah dan/atau bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat girik
d) Tempat usaha/los/kios/lapak/hak pakai/hak garap
e) Bagian dana yang dijamin oleh BUMN/BUMD yeng melakukan usaha
sebagai penjamin kredit.
10% dari AP dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi dengan nilai
agunan;
14
1) 50% dari AP dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai
agunan;
2) 100% dari AP dengan kualitas Macet serelah dikurangi dengan nilai
agunan.
Restrukturisasi kredit
Restrukturisasi kredit dapat dilakukan terhadap debitur yang
mengalami kesulitan pembayaran pokok atau bunga kredit dan debitur yang
memiliki prospek usaha yang baik mampu memenuhi kewajiban setelah
kredit direstrukturisasi. BPR dilarang melakukan Restrukturisasi kredit
dengan tujuan hanya untuk menghindari penurunan penggolongan kredit,
peningkatan pembentukan PPAP dan penghentian pendapatan bunga secara
akrual.
Kualitas Kredit yang direstrukturisasi adalah maksimum Kurang
Lancar untuk Kredit yang sebelum direstrukturisasi memiliki kualitas
Diragukan atau Macet dan tidak berubah, untuk Kredit yang sebelum
direstrukturisasi dapat menjadi lancar, jika terjadi tunggakan angsuran
selama 3 kali periode permbayaran secara berturut-turut dan jika debitur
tidak mampu memenuhi kondisi ini maka kualitas kreditnya sama dengan
kualitas Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi kredit.
15
BPR wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan
kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) paling
lambat 3 hari setelah diketahui adanya unsur transaksi keuangan yang
mencurigakan. Dan Bank Indonesia melakukan penilaian dan oengenaan
sanksi atas penerapan prinsip mengenal nasabah dan kewajiban lain terkait
dengan UU tentang tindak pidana pencurian uang bagi Bank Umum.
16
Ketentuan Exit Policy
Tindak Lanjut Penanganan Terhadap BPR Dalam Status Pengawasan
Khusus (DPK).
Bagi Bank Indonesia suatu BPR yang mengalami kesulitan akan
membahayakan kelangsungan usahanya, maka BPR tersebut ditetapkan
dalam suatu pengawasan khusus Bank Indonesia yaitu jika Rasio KPMM
kurang dari 4% dan Cash Ratio rata-rata salaam 6 bulan terkahir kurang dari
3%. Jangka waktu pengawasan khusus ditetapkan maksimal selama 6 bulan
sejak tanggalsurat pemberitahuan status BPR dalam pengawaasan khusus
dari BI fan tidak dapat diperpanjang. Selama jangka waktu pengawasan
khusus tersebut, Bank Indonesia dapat memerintahkan BPR atau pemegang
saham lain untuk :
1. Menambah modal.
2. Menghaousbukukan kredit yang tergolong macet dan
memperhitungkan kerugian BPR dengan modalnya.
3. Mengganti angota Direksi atau Dewan Komisaris BPR.
4. Melakukan merger atau konsolidasi dengan BPR lain.
5. Menjual BPR kepada pembeli yang bersedia yang mengambil alih
seluruh kewajiban BPR.
6. Menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPR kepada
pihak lain.
7. Menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetaplam
oleh Bank Indonesia.
17
2. Tidak dapat menigkatkan rasio KPMM menjadi lebih besar dari 0%
dalam jangka waktu 3 bulan sejak ditetapkan dalam status pengawasan.
3. Memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% dan CR rata-
rata selama 6 bulan terakhir kurang dari 1% dalam jangka waktu 3 bulan
sejak ditetapkan dalam status pengawasan khusus.
4. Memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0%atau memiliki
rata-rata CR selama 6 bulan terakhir kurang dari 1% setelah jangka
waktu 3 bulan sebagaimana yang dimaksud dalam poin 2 dan 3, sampai
dengan 1 hari setelah berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus.
5. LPS akan melakukan penilaian untuk mengambil keputusan
menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR yang bersangkutan.
Apabila LPS memutuskan untuk tidak menyelamatkan BPR yang
bersangkutan, Bank Indonesia akan mencabut izin BPR yang
bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS dan
mengumumkan kepada masyarakat.
Likuidasi BPR
Lukuidasi BPR adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan
kewajiban BPR sebagai akibat dari pencabutan izin usaha dan pembubaran
badan hukum BPR berdasarkan DIR No.32/54/KEP/DIR tanggal 14 Mei
1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha Pembubaran dan Likuidasi
BPR. Beberapa alasan suatu BPR dicabut izin usahanya oleh BI karena :
1. Tindakan penyelamatan yang diminta oleh BI terhadap BPR yang
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya,
belum cukup mengatasi kesulitan yang dihadapi BPR.
2. Menurut penilaian BI keadaan suatu BPR dapat membahayakan sistem
perbankan.
3. Terhadap permintaan dari pemilik atau pemegang saham BPR.
18
Jangka waktu likuidasi ditetapkan sebagai berikut :
e. Ketentuan Lain-lain
Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Perbankan
BPR wajib menyediakan dana pendidikan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan SDM di bidang perbankan sebesar 5% dar
rilisasi biaya SDM di tahun sebelumnya. Apabila dana pendidikan tersebut
masih tersisa, maka sisa dana tersebut wajib ditambahkan ke dalam dana
pendidikan dan pelatihan tahun berikutnya. Pelaksanaan tersebut dapat
dilakukan dengan cara :
1. Dilakukan oleh BPR itu sendiri;
2. Ikut serta pada pendidikan yang dilakukan BPR lain;
3. Bersama-sama dengan BPR lain menyelenggarakan pendidikan; dan
4. Mengirim SDM mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan perbankan.
Sistem Informasi Debitur (SID)
Penyelenggaraan SID dimaksudnkan untuk membantu pelapor dalam
memperlancar proses penyediaan dana, mempermudah penerapan
manajemen resiko, dan membantu bank dalam melakukan identifikasi
kualitas debiutr untuk pemenuhan ketentuan yang berlaku.
BPR yang memiliki total asset sebesar Rp 10 miliar atau lebih menjadi
pelapor SID sementara BPR yang memiliki total asset kuranag dari Rp 10
miliar namun telah memiliki infrastruktur uyang memadai dapat menjadi
pelapor dalam SID.
19
2.5 Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Kebijakan dan strategi pengembangan BPR ke depan diarahkan sesuai
dengan karakteristik BPR yaitu BPR sebagai community bank yang sehat, kuat,
produktif serta menyebar diseluruh Indonesia dan fokus dalam penyediaan
pelayanan jasa keuangan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
dan masyarakat setempat khususnya di daerah pedesaan. Dalam rangka
peningkatan daya saing dan jangkauan pelayanan BPR, upaya serta strategi
yang dilakukan dijabarkan sebagai berikut:
a. Memperkuat Kelembagaan
Kelembagaan industri BPR perlu diperkuat melalui pemberdayaan
potensi daerah, peningkatan permodalan BPR, kebijakan yang mendorong
penyebaran BPR di seluruh Indonesia, perluasan jaringan kantor dan
kerjasama dengan Bank Umum serta lembaga keuangan lain dalam rangka
penyaluran kredit kepada UMKN (Linkage Program).
Dari sisi BPR konvensional mengalami penurunan cukup signifikan
sejalan dengan perbaikan kondisi perekonomian pasca krisis keuangan
global. Kredit MKM tumbuh melambat. Hal ini tercemin dari realisasi
Kredit MKM selama tahun 2009 mencapai Rp106,4% triliun atau tumbuh
sebesar 16,1% (semula baki debet sebesar Rp660,4 triliun pada akhir
Desember 2008 menjadi sebesar Rp 766,8 triliun pada akhir Desember
2009) jika dibandingkan dengan realisasi selama tahun 2008 sebesar
Rp136,3 triliun atau tumbuh sebesar 26,0% (semula baki debet sebesar
Rp524,1 triliun pada akhir 2007 menjadi sebesar Rp660,4 triliun oada akhir
2008). Perlambatan ini disebabkan krisis global yang masih mempengaruhi
debitur untuk mengurangi ekspansi kredit (bersikap wait and see) dan disisi
lain bank-bank lebih selektif dalam menyalurkan kreditnya dan lebih fokus
dalam pengendalian NPL antara lain dengan pembinaan debitur lama.
b. Kredit MKM Terutama Untuk Tujuan Konsumsi
Pangsa kredit MKM mencapai 53,1% atau Rp407,4 triliun. Sedangkan
pangsa kredit produktif sebesar 46,9% yang terfiri dari kredit modal kerja
sebesar 294,1 triliun (38,3%), dan investasi sebesar Rp65,5 triliun (8,6%).
20
Meningkatkan ekspansi kredit konsumsi disebabkan antara lain: margin
yang tinggi, penyeluran kredit yang lebih mudah, risiko yang relatif rendah
dan masih cukup tingginya permintaan kredit konsumsi.
Berdasarkan sektor ekonomi penyaluran kredit MKM terbesar pada
sektor perdagangan sebesar Rp198,3 triliun (25,9%). Penyaluran kredit
MKM pada sektor perindustrian sebesar Rp44,6 triliun (5,8%). Sampai
dengan posisi Desember 2009, pertumbuhan sektor perindustrian masih
menunjukan nilai negatif sebesar -4,1%. Hal ini disebabkan oleh
menurunnya permintaan terhadap barang-barang produksi untuk ekspor.
Pangsa kredit terbesar pada Desember 2009 berdasarkan kelompok
bank adalah Bank Persero dengan nilai sebesar 37,2%. Pangsa tersebut
meningkat jika dibandingkan dengan posisi Desember 2008 yang mencapai
34,8%. Pangsa kredit MKM terbesar kedua adalah Bank BUSN Devisa
sebesar 37,2%, posisi selanjutnya adalah BPD dengan pangsa sebesar
14,0%.
NPL kredit MKM meningkat, pada semester I (Juni 2009) menjadi
3,72% yang disebabkan oleh menurunnya usaha debitur akibat krisis dan
kemudian menurun pada akhir Triwulan IV 2009, serta karena bank-bank
lebih intensif melakukan penagihan kredit-kredit yang macet dan upaya
penghapus bukuan kredit macet oleh Bank. Namun sampai Desember 2009,
angka NPL kredit MKM menurun.
Gambar 1. Perkembangan Kredit BPR, Des 2008-Agt 2014
21
Gambar 2. Jumlah Kredit BPR Menurut Penggunaan, Des 2010-Agt 2014
Gambar 3. Jumlah Bank dan Kantor BPR, Des 2007 – Agt 2014
Gambar 4
22
c. Peningkatan Permodalan di Indonesia
Untuk meningkatkan kemampuan BPR dalam melakukan ekspansi dan
meningkatkan daya saing, upaya untuk mendorong BPR melakukan merger
atau konsolidasi terus dilakukan agar BPR memiliki permodalan yang kuat,
jaringan kantor yang lebih terintegrasi, dan beroperasi secara efisien. Selain
daripada itu BPR juga harus mampu memenuhi ketentuan modat disetor
sesuai dengan ketentuan pada waktu yang telah ditetapkan.
23
digunakan untuk pembiayaan sektor produktif dalam bentuk kredit modal
kerja (KMK). Berdasarkan sektor ekonomi, mayoritas kredit BPR
konvensional digunakan untuk pembiayaan sektor lain-lain dan sektor
perdagangan. Pangsa kredit berdasarkan sektor ekonomi tertinggi adalah
sektor lain-lain yang mencapai Rp12,7 triliun (45,2%), disusul dengan
sektor perdagangan yang mencapai Rp9,8 triliun (34,9%). Sedangkan porsi
terendah adalah sektor pertanian dan sektor industri yang hanya mencapai
masing-masing Rp2,9 triliun (7,1%) danRp0,5 triliun (1,8%).
Risiko Kredit membaik. Pada akhir tahun 2009, kualitas kredit BPR
konvensional secara umum berangsur membaik dibandingkan tahun 2008
sebagai akibat dari adanya dampak pencabutan izin usaha satu BPR besar
yang bermasalah pada Maret 2009.
24
Tabungan (T Rp) 7.135 8.272 1137 15.9
Rekening Tabunagn *) 6867 7.335 467 6.8
Deposito (T Rp) 14.204 17.280 3076 21.7
Rekening Deposito *) 391 401 10 2.7
Aktiva Produktif (T Rp) 32.5 37.6 5.0 15.2
Kredit (T Rp) 25.5 28.0 2.5 9.9
Rekening Kredit *) 21.3 25.6 4.2 4.8
SBI (T Rp) 45.5 60.0 15.0 33.3
Antar Bank Aktiva (T Rp) 5.8 8.1 2.2 38.2
CAR (%) 23.34 24.17 1 3.6
Rasio Kredit thd Aktiva 81.23 77.49 -4 -4.6
NPLS (T Rp) 2.5 1.9 -0.6 -23.2
PPAP (T Rp) 0.9 0.0 -0.9 -100.0
NPLS Gross (%) 9.9 6.9 -3 -30.2
NPLS Net (%) 6.4 4.0 -2 -38.1
ROA (%) 2.6 3.1 0 18.4
BOPO (%) 82.8 81.8 -1 -1.2
LDR (%) **) 119.4 109.6 -10 -8.2
LDR (%) ***) 82.6 79.6 -3 -3.6
Laba Tahun Berjalan (T
0.8 1.2 0.3 36.4
Rp)
*) Rekening dalam ribuan, **) Perhitungan LDR: Kredit dibagi DPK, ***) Perhitungan LDR
menyatakan modal dan pinjaman dalam komponen dana
25
Tabel 2. Data perizinan BPR tahun 2009
Pemberian Izin Dalam Proses Pemberian Izin
Izin
Izin Izin Izin Izin
Dar Menja Dar Menja Dicab
Prinsi Usah Prinsi Usah
i di i di ut
p a p a
Jabodetab
1 - - - 1 1 - - 1
ek
Jabar - - 13 2 - - 3 1 -
Jateng +
1 1 14 2 1 - - - -
DIY
Jatim - - 4 1 - - - - -
Bali + NT 1 1 26 3 1 1 - - 2
Sumatera 16 14 - - 11 4 - - 1
Kalimanta
1 2 3 1 15 - - - -
n
Sulampua 5 2 5 1 16 1 - - -
Total 25 20 65 10 35 7 3 1 4
Sumber: Bank Indonesia, Data Diolah
26
Bank Indonesia terus mendorong pendirian BPR Baru di luar Jawa dan Bali
agar masyarakat di seluruh pelosok Indonesia, khususnya sektor usaha mikro, kecil
dan menengah dapat merasakan manfaat pelayanan BPR. Hal ini didukung oleh
langkah kebijakan penetapan persyaratan modal disetor yang lebih rendah untuk
pendirian BPR di luar wilayah Jawa – Bali dibandingkan pendirian di wilayah Jawa
– Bali. Selama tahun 2009, Bank Indonesia memberikan izin prinsip kepada 25
BPR, izin usaha kepada 20 BPR, izin merger/konsolidasi kepada 65 BPR menjadi
10 BPR, dan mencabut izin usaha 4 BPR.
Pemberian izin usaha BPR baru terutama untuk di luar Jawa Bali, yakni 19
dari 20 BPR baru, meskipun demikian, saat ini konsentrasi BPR masih di wilayah
Jawa dan Bali yakni sebanyak 1.294 BPR (74,7%).
Bagi calon anggota Direksi yang tidak memiliki pengalaman sebagai
pejabat di bidang operasional perbankan paling singkat selama 2 tahun dapat
memenuhi persyaratan sebagai calon anggota Direksi dengan mengikuti magang
paling singkat selama 3 Bulan di BPR dan memiliki sertifikat kelulusan dari
Lembaga Sertifikasi pada saat diajukan sebagai calon anggota Direksi.
27
Pemerintah Daerah) dan 23 BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas. Langkah
merger dan konsolidasi mencapai hasil yang baik.
Disisi lain jumlah BPR berbadan hukum PT semakin meningkat. Baik dari
sisi jumlah maupun pangsanya, jumlah BPR berbadan hukum PT terus meningkat.
Hal ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia untuk mendorong pendirian BPR
baru dengan bentuk hukum PT sebagai bentuk badan hukum yang ideal bagi
industri perbankan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dalam hal
akuntabilitas publik. Bentuk badan hukum secara tidak langsung mencerminkan
komposisi kepemilikan BPR.
Dengan demikian BPR dengan bentuk badan hukum PT menunjukkan
bahwa kepemilikan BPR mayoritas dipegang oleh pihak swasta. Demikian pula
BPR dengan bentuk badan hukum Perusahaan Daerah, maka seluruh atau sebagian
kepemilikan BPR dipegang oleh Pemerintah Daerah dan selanjutnya dengan bentuk
hukum koperasi.
Peningkatan BPR dengan bentuk badan hukum PT selain karena pendirian
BPR baru dengan badan hukum PT juga karena adanya perubahan bentuk badan
hukum BPR yang semula Koperasi maupun PD menjadi PT.
28
Linkage Program kepada seluruh BPR yang telah mendapat pembiayaan dari Bank
Umum.
29
serta menjadi panduan bagi pengawas baik dalam pengawasan maupun dalam
menentukan area pemeriksaaan untuk memenuhi prinsip Know Your Bank.
Peningkatan efektivitas system pengawasan tidak terlepas dari peran sistem
informasi yang ada. Oleh karena itu, telah dilakukan upaya penyempurnaan
informasi antara lain melalui penyampaian laporan BPR secara on line kepada Bank
Indonesia, penyempurnaan sistem informasi dan manajemen pengawasan BPR
yang terintegrasi serta penyempurnaan informasi dan publikasi tentang
perkembangan dan kondisi BPR secara reguler.
Kompleksitas permasalahan BPR yang semakin meningkat menuntut pengawasan
untuk tidak hanya memahami bidang tugasnya secara professional dan memiliki
ketajaman dalam melakukan analisis, tetapi juga memiliki kemampuan dalam
melakukan professional judgement. Untuk itu, pengawas BPR perlu memiliki
pengetahuan di bidang akuntansi perbankan, menguasai teknik – teknik
pengawasan dan pemeriksaan, serta memiliki pemahaman mengenai ketentuan
perbankan. Agar permasalahan yang dihadapi BPR dapat segera diketahui dan
solusi penyelesaian dilakukan secara tepat, pengawas dituntut pula untuk lebih
mengetahui kondisi bank yang diawasi (know your bank) dari waktu ke waktu.
Dalam rangka meningkatkan kompetensi pengawas BPR, BI secara terencana
dan berkelanjutan melakukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan para
pengawas BPR melalui program pelatihan Pengawas BPR dan program sertifikasi
pengawas bank (Banking School). Selain itu, peningkatan kompetensi pengawas
BPR juga dilakukan melalui forum sosialisasi, workshop, Klinik Hukum dan
knowledge sharing.
Secara umum terdapat dua besaran pengembangan sistem informasi (SI) BPR
yang terus disempurnakan dalam rangka meningkatkan efektifitas tugas
pengawasan dan pembinaan BPR, sekaligus meningkatkan efisiensi baik dari sisi
BI maupun BPR, yakni:
30
sebelumnya yakni Laporan Bulanan, Laporan Debitur (SID) dan Laporan
Keuangan Publikasi.
2. Sistem Pengolahan Data BPR Pengembangan sistem pengolahan data di Bank
Indonesia dilakukan secara terintegrasi untuk menghilangkan redundansi input
data dan diharapkan dapat meminimalisasi human error dan inkonsistensi data.
Sistem pengolahan data BPR menghasilkan Sistem Informasi Manajemen
Pengawasan (SIMWAS) BPR dan Statistik dan Publikasi BPR.
31
jumlah BPR di masing-masing wilayah kerja Bank Indonesia, antara lain akibat
merger/konsolidasi, pencabutan izin usaha dan pendirian BPR baru yang terjadi
selama tahun 2009. Pada prinsip keseluruhan BPR telah dilakukan pemeriksaan
kecuali terhadap sebagian BPR baru yang akan dilakukan di tahun 2010.
Mengembangkan Sistem Informasi Sistem Pengawasan BPR yang terfokus.
32
1. Melakukan rekayasa pemberian kredit bank kepada pihak terkait maupun
pihak tidak terkait untuk menghindari pelanggaran BMPK.
2. Menyampaikan laporan yang belum sepenuhnya akurat.
3. Melaksanakan praktek "bank dalam bank” untuk kepentingan pengurus dan
atau pemilik BPR.
4. Melakukan Fraud antara lain rekayasa pembukuan oleh Pengurus untuk
menutupi manipulasi keuangan.
5. Mismanagement
6. Adanya perselisihan intern baik antar pengurus maupun antara pengurus dan
pemilik yang dapat mempengaruhi operasional bank.
33
penilaian ini dilakukan melalui komponen penilaian Tingkat Kesehatan (CAMEL)
yang salah satunya merupakan faktor manajemen.
34
Lembaga Apex
Pada tahun 2007, upaya pembentukan Lembaga Apex BPR akan dilanjutkan
melalui pemantauan dan pertemuan teknis dengan penyelenggara Apex di 5
wilayah serta kemungkinan perluasan pelaksanaan Apex di wilayah lain. Apex
diharapkan mampu menjembatani keterbatasan BPR dalam mengoptimalkan peran
dan kontribusinya melalui sinergi pemberian bantuan teknis dan keuangan oleh
Apex kepada BPR anggotanya.
Untuk mewujudkan hal ini, upaya yang dilakukan diarahkan pada dua cara.
Pertama, mendorong optimalitas peran lembaga Apex yang telah terbentuk dan
sedang dalam proses pembentukan di wilayah Sumatera Barat (oleh BPD Sumatera
Barat), Bali (oleh Bank Andara) dan Riau (oleh BPD Riau). Kedua, memfasilitasi
pembentukan lembaga Apex di wilayah-wilayah yang lain dengan fokus utama
penjajagan bank umum yang berkantor pusat di daerah sebagai Apex bagi BPR di
wilayah setempat.
35
Lembaga Sertifikasi Profesi
Hasil yang dicapai dari workshop pembiayaan BPR kepada sektor pertanian
yang telah dilaksanakan pada tahun 2005 yaitu BPR yang semula belum
menyalurkan kredit ke sektor pertanian, saat ini telah menyalurkan kredit ke sektor
pertanian dan BPR yang sebelumnya telah menyalurkan kredit ke sektor pertanian
mengalami peningkatan.
Sementara itu hasil yang dicapai dari workshop pembiayaan TKI yang
diselenggarakan pada tahun 2006 adalah pembiayaan TKI oleh BPR dengan negara
tujuan meliputi Malaysia, Singapura dan Arab Saudi. Kegiatan workshop
pembiayaan TKl oleh BPR direncanakan untuk tetap dilaksanakan pada tahun 2007
di beberapa wilayah yang merupakan kantong TKI terbesar di Indonesia.
36
Mewujudkan Pemberdayaan dan Perlindungan Nasabah
BPR yang juga menghadapi risiko pencucian uang memiliki cakupan penilaian
terhadap implementasi KYC di yang mengacu pada faktor-faktor yang diterapkan
pada bank umum. Berdasarkan penilaian terhadap seluruh BPR, terlihat bahwa
profil rating pelaksanaan penerapan KYC/AML pada BPR cukup baik, tercermin
dari sebaran rating BPR yang mayoritas (71,2%) berada pada rating 1 sampai
dengan rating 3, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai
66%.
37
Pengawas senantiasa melakukan pembinaan sebagai upaya mendorong BPR
untuk terus meningkatkan pelaksanaan prinsip KYC/AML pada banknya masing-
masing. Penerapan KYC/AML BPR cukup baik. BPR yang juga menghadapi risiko
pencucian uang memiliki cakupan penilaian terhadap implementasi KYC di yang
mengacu pada faktor-faktor yang diterapkan pada bank umum. Berdasarkan
penilaian terhadap seluruh BPR, terlihat bahwa profil rating pelaksanaan
penerapanKYC/AML pada BPR cukup baik, tercermin dari sebaran rating BPR
yang mayoritas (71,2%) berada pada rating 1 sampai dengan rating 3, meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 66%. Pengawas senantiasa
melakukan pembinaan sebagai upaya mendorong BPR untuk terus meningkatkan
pelaksanaan prinsip KYC/AML pada banknya masing-masing.
Peserta Fit and Proper Test BPR meningkat seiring pendirian BPR baru dan
pelaksanaan. Selama tahun 2009, peserta fit and proper test BPR new entry
sebanyak 1.063 peserta turun dengan tingkat kelulusan sebesar 74,7% turun
dibandingkan tahun lalu sebanyak 1.423 peserta. Sedangkan fit and proper test
existing dilakukan terhadap 196 peserta, dengan tingkat kelulusan 87,2% meningkat
dibandingkan tahun lalu sebesar 166 peserta. Secara umum, calon PSP dan calon
pengurus yang dinyatakan tidak lulus fit and proper test disebabkan tidak
memenuhi persyaratan administrasi, antara lain tercantum dalam Daftar Tidak
Lulus (DTL) dan/atau Daftar Kredit Macet (DKM), serta persyaratan kompetensi
dan/atau integritas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
38
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah lembaga perkreditan bagi rakyat
yang memiliki tujuan meningkatkan iklim usaha dikalangan rakyat terutama
pengusaha kecil dan menengah. Sesuai dengan Undang-Undang No 7 Tahun
1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10/1998,
dalam UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa BPR adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Kegiatan usaha BPR terutama untuk melayani usaha-usaha kecil
dan masyarakat di pedesaan maka dari itu harus ada pengembangan BPR
dengan cara meningkatkan daya saing. Selain itu, BPR tidak hanya sekedar
menyalurkan kredit kepada para pengusaha mikro, kecil dan menengah, tetapi
juga menerima simpanan masyarakat. Dalam rangka peningkatan daya saing
dan jangkauan pelayanan BPR, upaya serta strategi yang dilakukan adalah
dengan memperkuat kelembagaan. Kelembagaan industri BPR perlu diperkuat
melalui potensi daerah, peningkatan permodalan BPR, kebijakan yang
mendorong penyebaran BPR di seluruh Indonesia, perluasan jaringan kantor
dan kerjasama dengan Bank Umum serta lembaga keuangan lain dalam rangka
penyaluran kredit kepada UMKM. Tidak hanya itu dalam meningkatkan daya
saing perlu adanya kredit MKM terutama untuk tujuan konsumsi.
Dengan demikian agar BPR dapat berkembang, BPR harus dikelola dengan
profesional dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada serta
melaksanakan pelaporan - pelaporan sebagai alat kontrol dalam manajemen
pengelolaan dan sebagai bentuk pertanggung jawaban pengelola kepada
pemilik. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai batas maksimum untuk
dana kepada pihak peminjam yang diatur oleh Bank Indonesia. Dalam
memberikan pinjaman, BPR diwajibkan memenuhi rasio untuk memberikan
modal pinjaman untuk modal UMKM.
39
Pengaturan dan pengawasan BPR dilakukan oleh Bank Indonesia untuk
mengoptimalkan fungsi BPR sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang
ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah
pedesaan. Dengan demikian pengaturan dan pengawasan BPR yang dilakukan
disesuaikan dengan karakteristik operasional BPR namun tetap menerapkan
prinsip kehati-hatian bank (prudential banking) agar tercipta sistem perbankan
yang sehat
Bank Indonesia juga terus mendorong pendirian BPR baru di luar Jawa dan
Bali agar masyarakat di seluruh pelosok Indonesia, khususnya sektor usaha
mikro, kecil dan menengah dapat merasakan manfaat pelayanan BPR. Hal ini
didukung oleh langkah kebijakan penetapan persyaratan modal disetor yang
lebih rendah untuk pendirian BPR di luar wilayah Jawa – Bali dibandingkan
pendirian di wilayah Jawa – Bali.
3.2 Saran
Supaya BPR dapat berkembang, BPR harus melakukan inovasi. BPR dapat
bekerja sama dengan bank umum atau perusahaan telekomunikasi untuk
meningktkan inovasi di bidang IT.
40
STUDI KASUS
41
Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2009.
41
Penyelesaian :
Dalam kasus yang menimpa BPR Sinareman Permai Jatiasih di Bekasi telah
dilakukannya pencabutan izin usaha BPR yang dikeluarkan melalui Keputusan
Anggota Dewan Komisioner (KADK) nomor KEP-186/D.03/2018 pada 8
November 2018. BPR ini telah ditetapkan menjadi status Dalam Pengawasan
Khusus (BDPK) yang dikarenakan rasio kewajiban penyediaan modal minimum
BPR kurang dari 0% dan juga BPR lemah dalam melakukan pengelolaan
manajemen yang dimana tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dan pemenuh
asas perbankan yang sehat. Yang salah pada BPR Sinareman adalah karena
pengurus dan pemegang saham BPR tidak berusaha keluar dari status BDPK,
sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya sebagaimana BPR pada umumnya.
42
DAFTAR PUSTAKA
43