Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

BPR DAN LEASING


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
LEMBAGA KEUANGAN
Dosen : Yulia Fithriany Rahmah S.P.,M.E

Disusun oleh Kelompok 2:

Hapad Nizala 1188020075


Hesti Arianti 1188020081
Hilmy Fawwaz 1188020082
Ika Yuliantika 1188020089
Jafar Sidiq 1188020099
Jihad Zulfikar 1188020100
Listya Putri Ekawati 1188020107

JURUSAN MANAJEMEN KELAS 5C


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kami dapat
menyelesaikan makalah “BPR dan Leasing” ini dengan tepat waktu. Makalah ini disusun
dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Lembaga Keuangan. Selain itu
tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan tentang pengetahuan
Manajemen dan Lembaga Keuangan secara meluas.
Kami menyadari bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan, begitu pun dengan kami
yang penyusun makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini mungkin masih banyak sekali
kekurangan-kekurang yang ditemukan, oleh karena itu kami mohon untuk memakluminya. Kami
mangharapkan ada kritik dan saran dari para pembaca sekalian dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembacanya, terutama kelompok kami selaku penyusun.

Bandung, Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUN
1.1 Latar Belakang Masalah....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR)..........................................................3
2.2 Sejarah Bank Perkreditan Rakyat (BPR)...............................................................3
2.3 Sasaran, Asas Hukum, dan Landasan Hukum BPR...............................................4
2.4 Fungsi dan Tujuan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).............................................5
2.5 Kegiatan atau Usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR)..........................................6
2.6 Pengertian dari Sewa Guna Usaha (leasing)..........................................................7
2.7 Jenis-jenis Sewa Guna Usaha (leasing).................................................................8
2.8 Kegiatan dari Sewa Guna Usaha (leasing)............................................................9
2.9 Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Sewa Guna Usaha (Leasing)........................10
2.10 Mekanisme Dari Sewa Guna Usaha (Leasing)...................................................11
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Uang merupakan alat tukar yang sangat kita perlukan untuk mempermudah kita dalam
berinteraksi terutama pada kegiatan jual beli. Dikarnakan banyaknya uang yang beredar
maka diperlukannya suatu tempat untuk menghimpun dana dari masyarakat luas (funding)
dan menyalurkan dalam bentuk pinjaman atau kredit (lending) untuk berbagai tujuan yang
disebut dengan Bank.
Dalam sistem perbankan di Indonesia Bank Perkreditan Rakyat diberi peran yang
penting, yaitu memberikan pelayanan perbankan kepada usaha kecil atau usaha mikro dan
sektor informal, terutama di daerah pedesaan. Dengan membantu dalam memberikan
pelayanan perbankan khususnya dalam pemberian pinjaman untuk menciptakan pekerjaan
mandiri kepada rakyat kecil yang bekerja dalam sektor informal di kota maupun di daerah
pedesaan, Bank Perkreditan Rakyat berperan dalam membantu menciptakan lapangan kerja
baru, pemerataan kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan.
Sedangkan Leasing atau sewa-guna-usaha adalah setiap kegiatan pembiayaan
perusahaan dalam bentuk penyedian barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu
perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran berkala
disertai dengan hak pilih bagi perusahaan  tersebut untuk membeli barang-barang modal
yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang
yang telah disepakati bersama, dengan melakukan leasing perusahaan dapat memperoleh
barang modal dengan jalan sewa beli untuk dapat langsung digunakan berproduksi, ynag
dapat diansur setiap bulan, trimulan atau enam bulan sekali kepada pihak lessor.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR)?
2. Bagaimana Sejarah Bank Perkreditan Rakyat (BPR)?
3. Apa Sasaran, Asas Hukum, dan Landasan Hukum Bank Perkreditan Rakyat (BPR)?
4. Apa Saja Fungsi dan Tujuan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)?

1
5. Apa Saja Kegiatan atau Usaha yang Dilakukan dan yang Dilarang oleh Bank Perkreditan
Rakyat (BPR)?
6. Apa Pengertian dari Sewa Guna Usaha (leasing)?
7. Apa Saja Jenis-jenis Sewa Guna Usaha (leasing)?
8. Apa Saja Kegiatan dari Sewa Guna Usaha (leasing)?
9. Siapa Saja Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Sewa Guna Usaha (Leasing)?
10. Bagaimana Mekanisme Dari Sewa Guna Usaha (Leasing)?

1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Manajemen Lembaga Keuangan serta untuk wawasan dan ilmu kami tentang Bank
Perkereditan Rakyat (BPR) Dan Sewa Guna Usaha (Leasing).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR)


Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun
1992, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sementara bank menurut undang-undang ini adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menylurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf Hidup Rakyat

2.2 Sejarah Bank Perkreditan Rakyat


Sejarah bank perkreditan rakyat dimulai pada masa kolonial Belanda pada abad ke-19
dengan dibentuknya Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani, dan Bank Dagang Desa,
dengan tujuan membantu para petani, pegawai, dan buruh untuk melepaskan diri dari jerat
pelepas uang (rentenir) yang memberikan kredit dengan bunga tinggi. Pasca kemerdekaan
Indonesia, didirikan beberapa jenis lembaga keuangan kecil dan lembaga keuangan di
pedesaan seperti Bank Pasar, Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan mulai awal 1970an,
Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) oleh Pemerintah Daerah. Pada tahun 1988,
Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988) melalui
Keputusan Presiden RI No.38 yang menjadi momentum awal pendirian BPR-BPR baru.
Kebijakan tersebut memberikan kejelasan mengenai keberadaan dan kegiatan usaha “Bank
Perkreditan Rakyat” atau BPR. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.7 tentang
Perbankan tahun 1992 (UU No.7/1992 tentang Perbankan), BPR diberikan landasan hukum
yang jelas sebagai salah satu jenis bank selain Bank Umum.
Sesuai UU No.7/1992 tentang Perbankan, Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah
memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dapat menyesuaikan kegiatan usahanya
sebagai bank. Selain itu, dinyatakan juga bahwa lembaga-lembaga keuangan kecil seperti
Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, LPN, LPD, BKD, BKK, KURK,

3
LPK, BKPD, dan lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu dapat diberikan
status sebagai BPR dengan memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah (PP).
Selanjutnya PP No.71/1992 memberikan jangka waktu sampai dengan 31 Oktober
1997 bagi lembaga-lembaga keuangan tersebut untuk memenuhi persyaratan menjadi BPR.
Sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, tidak seluruh lembaga keuangan tersebut dapat
dikukuhkan sebagai BPR karena tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
BPR yang didirikan sesudah PAKTO 1988 maupun Lembaga Keuangan yang
dikukuhkan menjadi BPR sesuai dengan PP No.71/1992, tunduk pada ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Undang-undang Perbankan dan peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank. Khusus Badan Kredit Desa (BKD),
meskipun lembaga tersebut sesuai UU No.7/1992 tentang Perbankan, diberikan status
sebagai BPR, namun karena organisasi dan manajemennya relatif sederhana, lingkup
usahanya sangat kecil, serta operasionalnya tidak setiap hari, maka pengaturan dan
pengawasan terhadap BKD pun tidak dapat disamakan dengan BPR.
Dengan mempertimbangkan karakteristik yang spesifik, jumlah dan sebarannya serta
secara historis sebelum PAKTO 1988 pengawasan BKD dibawah kewenangan BRI maka
pengawasan BKD dilakukan oleh BRI untuk dan atas nama Bank Indonesia.

2.3 Sasaran, Asas Hukum, Dan Landasan Hukum Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
2.3.1 Sasaran Bank Perkreditan Rakyat
Melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil,
pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat terjangkau oleh bank umum
dan untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan
kesempatan berusaha, pemerataan pendapatan, dan agar mereka tidak jatuh ke tangan
para pelepas uang (rentenir dan pengijon), karena BPR umumnya ditujukan untuk
masyarakat golongan ekonomi lemah bukan hanya di pedesaan saja tetapi untuk
masyarakat perkotaan golongan ekonomi lemah juga.
2.3.2 Asas Bank Perkreditan Rakyat
Dalam melaksanakan usahanya BPR berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Demokrasi ekonomi adalah sistem ekonomi
Indonesia yang dijalankan sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang memiliki 8 ciri
positif sebagai pendukung dan 3 ciri negatif yang harus dihindari (free fight
liberalism, etatisme, dan monopoli). Pasal tersebut diantara nya berbunyi:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”.
Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa “dalam pasal 33 tercantum dasar
demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang”. Selanjutnya dikatakan bahwa
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
2.3.3 Landasan Hukum Bank Perkreditan Rakyat
Landasan Hukum BPR ialah UU No.7/1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan membuat UU No.10/1998. Dalam UU tersebut secara tegas telah
disebutkan bahwa BPR adalah Bank yang melaksanakan segala kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan usaha BPR terutama
ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil serta masyarakat di daerah pedesaan
pada dasarnya. Bentuk hukum BPR dapat berupa Perseroan Terbatas maupun
Perusahaan Daerah, atau Koperasi.

2.4 Fungsi dan Tujuan Pendirian BPR


2.4.1 Fungsi BPR:
1. Memberi pelayanan perbankan kepada masyarakat yang sulit atau tidak memiliki
akses ke bank umum
2. Membantu pemerintah mendidik masyarakat dalam memahami pola nasional
agar ekselarasi pembangunan di sektor pedesaan dapat lebih dipercepat

5
3. Menciptakan pemerataan kesempatan berusaha terutama bagi masyarakat
pedesaan.
4. Mendidik dan mempercepat pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan
lembaga keuangan formal sehingga terhindar dari jeratan rentenir

2.4.2 Tujuan Pendirian BPR:


1. Diarahkan untuk memenuhi kebutuhan jasa pelayanan perbankan bagi
masyarakat pedesaan
2. Menunjang pertumbuhan dan modernisasi ekonomi pedesaan sehingga para
petani, nelayan dan para pedagang kecil di desa dapat terhindar dari lintah darat,
pengijon dan pelepas uang
3. Melayani kebutuhan modal dengan prosedur pemberian kredit yang mudah dan
sesederhana mungkin sebab yang dilayani adalah orang-orang relatif rendah
pendidikannya
4. Ikut serta memobilisasi modal untuk keperluan pembangunan dan turut
membantu rakyat dalam berhemat dan menabung dengan menyediakan tempat
yang dekat, aman, dan mudah untuk menyimpan uang bagi penabung kecil

2.5 Usaha yang Dilakukan dan yang Dilarang oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
2.5.1 Usaha yang Dilakukan BPR
Usaha BPR meliputi usaha untuk menghimpun dan menyalurkan dana dengan
tujuan mendapatkan keuntungan. Keuntungan BPR diperoleh dari spread effect dan
pendapatan bunga. Adapun usaha-usaha BPR adalah:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito
berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan kredit.
3. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
4. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia(SBI), deposito
berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. SBI adalah
sertifikat yang ditawarkan Bank Indonesia kepada BPR apabila BPR mengalami
over liquidity atau kelebihan likuiditas.

2.5.2 Usaha yang Tidak Boleh dilakukan BPR


1. Menerima simpanan berupa giro.
2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
3. Melakukan penyertaan modal dengan prinsip prudent bankingdan concern
terhadap layanan kebutuhan masyarakat menengah ke bawah.
4. Melakukan usaha perasuransian.
5. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana yang dimaksud dalam
usaha BPR.

2.6 Pengertian Sewa Guna Usaha (Leasing)


Leasing berasal dari katalease yang berarti sewa atau umumnya diartikan sewa
menyewa, yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal yang digunakan untuk proses
produksi oleh perusahaan. Leasing menciptakan konsep baru untuk mendapatakn
barang  modal tanpa harus membeli barang tersebut. (Rivai, 2007: 1208)
Dalam Buku Seri Literasi Keuangan OJK pembiayaan disebutkan bahwa sewa
guna(leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak
opsi (operasting lease)  untuk digubakan oleh penyewa guna usaha (lease) selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara ansuran. (Soemitra, 2009)
Leasing merupakan setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan
atau menyewakan barang-barang modal untuk digunakan oleh perusahaan lain dalam jangka
waktu tertentu dengan kriteria berikut :
1. Pembiayaan perusahaan
2. Pembayaran sewa dilakukan secara berkala
3. Penyediaan barang-barang modal
4. Disertai dengan hak pilih atau hak opsi
5. Adanya nilai sisa yang disepakati (Iska, Nengsih, 2016: 90)

7
Dilihat dari sisi ekonomi, leasing adalah salah satu cara yang dilakukan untuk
menghimpun dana dari masyarakat serta menginvestasikannya kedalam sektor-sektor
ekonomi tertentu yang dianggap produktif. Leasing merupakan alternatif bagi perusahaan
yang kekurangan modal atau hendak menghemat dana tanpa harus kehilangan kesempatan
untuk melakukan investasi kembali dalam sektor-sektor ekonomi tertentu yang dianggap
produktif.

2.7 Jenis-Jenis Sewa Guna Usaha (Leasing)


1. Capital Lease
Perusahaan leasing pada jenis ini berlaku sebagai suatu lembaga keuangan.
Lessee yang akan membutuhkan suatu barang modal menentukan sendiri jenis serta
spesifikasi dari barang yang dibutuhkan. Lessee juga mengadakan negoisasi langsung
dengan supplier mengenai harga, syarat-syarat perawatan serta hal-hal lain yang
berhubungan dengan pengoperasian barang tersebut.
Lessor akan mengeluarkan dananya untuk membayar barang tersebut kepada
supplier dan kemudian barang tersebut diserahkan kepada lessee. Sebagai imbalan atas
jasa pengguanaan barang tersebut lessee akan membayar secara berkala kepada lessor
sejumlah uang yang berupa rental untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati
bersama.
Jumlah rental ini secara keseluruhan akan meliputi harga barang yang dibayar
oleh lessor ditambah faktor bunga serta keuntungan pihak lessor. Selanjutnya capital
atau finance lease masih bisa dibedakan menjadi dua yaitu:
2. Direct finance lease
Transaksi ini terjadi jika lessee sebelumnya belum pernah memiliki barang yang
dijadikan objek lease. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa lessor membeli suatu
barang atas permintaan lessee dan akan dipergunakan oleh lessee.
3. Sale and lease back
Sesuai dengan namanya, dalam transaksi ini lessee menjual barang yang telah
dimilikinya kepada lessor. Atas barang yang sama ini kemudian dilakukan suatu kontrak
leasing antara lessee dengan lessor. Dengan memperhatikan mekanisme ini, maka
perjanjian ini memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan dengan direct finance lease.
Di sini lessee memerlukan cash yang bisa dipergunakan untuk tambahan modal kerja
atau untuk kepentingan lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan sistem sale and lease back
memungkinkan lessor memberikan dana untuk keperluan apa saja kepada kliennya dan
tentu saja dana yang dibutuhkan sesuai dengan nilai objek barang lease.
4. Operating Lease
Pada operating lease, lessor membeli barang dan kemudian menyewakan kepada
lessee untuk jangka waktu tertentu. Dalam praktik lessee membayar rental yang besarnya
secara keseluruhan tidak meliputi harga barang serta biaya yang telah dikeluarkan oleh
lessor.Di dalam menentukan besarnya pembayaran lease, lessor tidak memperhitungkan
biaya-biaya tersebut karena setelah masa lease berakhir diharapkan harga barang tersebut
masih cukup tinggi. Di sini jelas tidak ditentukan adanya nilai sisa serta hak opsi bagi
lessee.
5. Sales type lease(Lease Penjualan)
Lease penjualan biasanya dilakukan oleh perusahaan industri yang menjual lease
barang hasil produksinya. Dalam kontrak penjualan lease diakui dua macam pendapatan
yaitu pendapatan penjualan barang dan pendapatan bunga atas jasa pembelanjaan selama
jangka waktu lease.
6. Leverage Lease
Pada leasing ini dilibatkan pihak ketiga yang disebut credit provider. Lessor tidak
membiayai objek leasing hingga sebesar 100% dari harga barang melainkan hanya
antara 20% hingga 40%. Kemudian sisa dari harga barang tersebut akan dibiayai oleh
credit provider.
7. Cross Border Lease
Transaksi pada jenis ini merupakan suatu transaksi leasing yang dilakukan dengan
melewati batas suatu negara. Dengan demikian antara lessor dan lessee terletak pada dua
negara yang berbeda. Barang-barang atau peralatan yang ditransaksikan dalam cross
border lease meliputi nilai jutaan dollar Amerika Serikat. Seperti Pesawat terbang
bermesin jet dari Pabrikan Boeing dan Airbus.

2.8 Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)

9
Dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tanggal 21
November 1991, kegiatan leasing dapat dilakukan dengan dua cara yaitu Financial leasing
dan operating leasing.
1. Melakukan sewa guna usaha dengan hak opsi bagi lesse (Financial leasing)
Pada teknik pembiyaan ini, lesse memiliki hak untuk mengembalikan,
memperpanjang atau membeli barang modal yang di berikan oleh lessor. Dalam sewa
guna ini, lessee yang membutuhkan suatu barang modal menentukan sendiri jenis dan
spesifikasi barang yang dibutuhkan dan mengadakan negosiasi langsung dengan suplier
mengenai harga, syarat-syarat pemeliharaaan serta hal-hal lain yang berhubungan dengan
pengoperasian barang tersebut. Lessor hanya akan membayarkan barang modal tersebut
kepada supplier dan diberikan kepada lessee. Setelah itu, lessee akan membayarkan uang
sewa kepada lessor berkala sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama.
2. Melakukan sewa guna usaha dengan hak tanpa opsi bagi lesse (Operating leasing).
Dalam teknik operating lease, Lessee tidak memiliki opsi untuk memiliki barang
modal yang diberikan lessor. Pihak pemilik objek leasing atau lessor membeli barang
modal dan disewagunausahakan kepada lesee. Pembayaran periodik yang dilakukan oleh
lessee tidak mencangkup biaya yang dikeluarkan oleh lessor untuk mendapatkan barang
modal tersebut dan bunganya. Penggunaan barang modal pada teknik ini biasanya dalam
jangka waktu yang pendek dan juga lessee dapat membatalkan perjanjian leasing
kapanpun serta mengembalikan barang modal tersebut kepada lessor.

2.9 Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Sewa Guna Usaha (Leasing)


Pihak–pihak disini memiliki peran tersendiri untuk membantu proses kegiatan leasing
agar tidak terjadi keasalahan atau penyimpangan perjanjian. Berikut adalah pihak-pihak
yang terlibat Dalam Sewa Guna Usaha (Leasing):
1. Lessor.
Merupakan perusahaan leasing yang membiayai keinginan nasabahnya untuk
memperoleh barang-barang modal. Lessor dalam financial lease bertujuan untuk
mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai barang modal
dengan mendapatkan keuntungan.
2. Lessee.
Adalah nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk
memperoleh barang modal yang diinginkan.
3. Supplier.
Yaitu pedagang yang menyediakan barang yang akan dileasing sesuai perjanjian antara
lessors dengan lessee dan dalam hal ini suplier juga dapat bertindak sebagai lessor.
Dalam mekanisme financial lease, suplier langsung menyerahkan barang kepada lease
tanpa melalui pihak lessor sebagai pihak yang memberikan pembiayaan.
4. Bank dan kreditur
Dalam suatu perjanjian atau kontrak leasing, pihak bank atau kreditur lain tidak terlibat
secara langsung dalam kontrak tersebut, namun pihak bank memegang peranan dalam
hal penyediaan dana kepada lessor.

2.10 Mekanisme Dari Sewa Guna Usaha (Leasing)


Leasing pada prinsipnya merupakan suatu industri multidisiplin yang meliputi bidang
perpajakan, keuangan, dan konsep akuntansi. Penerapan dasar dari konsep leasing ini adalah
terjadi transaksi antara lessor yang memberikan barang modal dan lessee yang membayar
uang sewa dari barang modal tersebut.
Pada prakteknya, leasing memiliki beberapa unsur – unsur yang ada pada perjanjian
seperti pembiayaan perusahaan, penyediaan barang – barang modal, jangka waktu leasing,
pembayaran secara berkala, adanya hak pilih (opsi) atau tidak dan adakah nilaisisa yang
disetujui. Dimana dalam perjanjian leasing akan memuat informasi pribadi mengenai lessee,
bagaimana cara pembayaran, barang yang dinginkan lessee, syarat kepemilikannya, jangka
waktu leasing, serta kewajiban – kewajiban yang harus dijalani oleh lessor dan lessee.
Perjanjian tersebut disebut dengan lease agreement. Untuk mencapai persetujuan itu, lessee
harus melakukan prosedur permohonan fasilitas seperti
1. Lessee menghubungi supplier untuk pemilihan dan penentuan jenis barang,spesifikasi,
harga, jangka waktu pengiriman, jaminan purnajual atas barang yang akan di-lease
2. Lessee melakukan negoasiasi dengan lessor mengenai kebutuhan pembiayaanbarang
modal. Pada tahap awal ini, lessee dapat meminta lease quotation yang tidak mengikat
dari lessor. Dalam lease quotation ini dimuat mengenai syarat-syarat pokok pembiayaan

11
leasing antara lain : keterangan barang, cash securitydeposit, residual value, asuransi,
biaya administrasi, jaminan uang sewa danpersyaratan-persyaratan lainnya.
3. Lessor mengirimkan letter of offer atau commitment letter kepada lessee yangberisi
syarat-syarat pokok persetujuan lessor untuk membiayai barang modal yang dibutuhkan
lessee Apabila lessee menyetujui semua ketentuan dan persyaratan dalam letter of offer,
kemudian lessee menandatangani dan mengembalikannya kepada lessor.
4. Penandatanganan kontrak leasing setelah semua persyaratan dipenuhi lessee. Kontrak
leasing tersebut sekurang-kurangnya mencakup hal-hal antara lain : pihak-pihak yang
terlibat, hak milik, jangka waktu, jasa leasing, opsi bagi lessee, penutupan asuransi,
tanggung jawab atas objek leasing, perpajakan, jadwal pembayaran angsuran sewa dan
sebagainya.
5. Pengiriman order beli kepada supplier disertai instruksi pengiriman barang kepada lessee
sesuai dengan tipe dan spesifikasi barang yang telah disetujui.
6. Pengriman barang dan pengecekan barang oleh lessee sesuai pesanan. Selanjutnya lessee
menandatangani surat tanda terima dan perintah bayar dan diserahkankepada supplier.
7. Penyerahan dokumen oleh supplier kepada lessor termasuk faktur dan bukti-bukti
kepemilikan barang lainnya.
8. Pembayaran oleh lessor kepada supplier.
9. Pembayaran angsuran (lease payment) secara berkala oleh lessee kepada lessor selama
masa sewa guna usaha yang seluruhnya mencakup pengembalian jumlah yang dibiayai
serta bungannya atau jika tidak menggunakan opsi makan tidak perlu menggunakan
bunga.

 
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fungsi bank secara umum adalah menghimpun dana dari masyrakat luas (funding) dan
menyalurkan dalam bentuk pinjaman atau kredit (lending) untuk berbagai tujuan. Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dan Leasing termasuk ke dalam salah satu bentuk lembaga pembiayaan karena
Leasing adalah suatu badan usaha yang di dalam melakukan kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari
masyarakat. Leasing memberikan kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk
penyediaan barang – barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk jangka
waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi
perusahaan tersebut untuk membeli barang -barang modal yang bersangkutan atau
memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.

13
DAFTAR PUSTAKA

Martono. 2002. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Yogyakarta: Ekonisia.

Soemitra, Andri. 2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,Jakarta: Kencana

http://sidi-muhammad.blogspot.com/2016/07/makalah-bank-perkreditan-rakyat-bpr.html?m=1

https://www.gurupendidikan.co.id/bank-perkreditan-rakyat/

https://www.academia.edu/32946551/BANK_PERKREDITAN_RAKYAT_docx

https://ameliaapriyani.wordpress.com/2016/04/14/makalah-leasing/

Anda mungkin juga menyukai