Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN

Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Deasy Karissa P. 1709617009
Prawestri Yekti P. 1709617051
Nur Hayati 1709617017
Oza Rahmah Tiara 1709617005
Rifa Silviaty 1709617011
Reni Handayani 1709617003
Haikal Rafif 1709617019

Dosen Pengampu:
Darma Rika Swaramarinda, S.Pd., M.SE

PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera bagi Kita Semua.

Tidak ada kata dan kalimat yang lebih pantas untuk mengawali makalah ini
selain memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
izin-Nya-lah kami dapat membuat dan menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu.
Tujuan saya menulis makalah ini untuk membahas mengenai IPS di tinjau
dari berbagai prodi pengajaran sebagai penambah wawasan dan pembelajaran
mahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran serta memenuhi tugas Ibu Dra.
RR. Ponco Dewi Karyaningsih, M.M selaku dosen pengampu.
Ucapan terimakasih kami berikan kepada berbagai pihak yang telah
membantu pembuatan makalah ini. Sesungguhnya makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan begitu banyak kekurangan serta kesalahan yang begitu mendasar
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Maka kami mohon maaf
sebesar-besarnya atas segala kekurangan dan kesalahan yang banyak terdapat
dalam makalah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini. Terima Kasih.

Jakarta, 8 Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3

2.1 Pengertian Bank Perkreditan Rakyat .................................................... 4


2.2 Sejarah Bank Perkreditan Rakyat ......................................................... 5
2.3 Fungsi Dan Larangan Dalam Kegiatan Usaha Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) .................................................................................................... 6
2.4 Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ......................................... 8
2.5 Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia ............ 20
2.6 Penyebaran Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia .................. 24

BAB III PENUTUP ........................................................................................


3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 39
3.2 Saran ...................................................................................................... 40

STUDI KASUS ............................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 43

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi untuk melakukan
kegiatan demi bertahan hidup yang dimana mereka menggunakan uang yang
merupakan sebagai alat tukar untuk memenuhi kebutuhan hidup, dimana uang
merupakan alat tukar yang sangat kita perlukan pada saat kegiatan jual beli.
Dikarenakan banyak uang yang beredar maka diperlukannya suatu tempat untuk
menghimpun dana dari masyarakat luas dan menyalurkan dalam bentuk
pinjaman atau kredit untuk berbagai tujuan yang disebut dengan bank.
Menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dari pengertian tersebut, jelaslah bahwa bank berfungsi sebagai “financial
intermediary” yakni bank sebagai perantara keuangan dimana bank sebagai
lembaga utama yang menghimpun dana dari masyarakat, sebagai lembaga yang
menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit, serta melancarkan
transaksi perdagangan dan peredaran uang.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, kelembagaan bank
di Indonesia ditata dalam struktur yang lebih sederhana, menjadi dua jenis bank
saja, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Berdasarkan Pasal
1 ayat 3 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dijelaskan bahwa Bank Umum
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran. Pasal 1 ayat 4 menjelaskan bahwa Bank Perkreditan
Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 telah dijelaskan bahwa Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yang

1
melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah bertujuan untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit. Posisi BPR
dalam Perbankan di Indonesia adalah sebagai pendorong kegiatan
perekonomian nasional dengan sasaran menjangkau masyarakat kalangan
menengah kebawah terutama pengusaha mikro kecil. Bank perkreditan rakyat
memiliki fungsi dan larangan dalam kegiatan usahanya dan memiliki ketentuan-
ketentuan didalamnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa pengertian Bank Perkreditan Rakyat?
2. Bagaimana sejarah Bank Perkreditan Rakyat?
3. Apa fungsi dan larangan dalam kegiatan usaha BPR?
4. Apa saja ketentuan pokok BPR?
5. Bagaimana pengembangan BPR?
6. Bagaimana penyebaran BPR di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini
mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian Bank Perkreditan Rakyat
2. Mengetahui sejarah Bank Perkreditan Rakyat
3. Mengetahui fungsi dan larangan dalam kegiatan usaha BPR
4. Mengetahui ketentuan pokok BPR
5. Mengetahui pengembangan BPR
6. Mengetahui penyebaran BPR di Indonesia

2
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini
mempunyai manfaat diantaranya dapat memberikan wawasan tentang Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) untuk para pembaca maupun penulis.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bank Perkreditan Rakyat


Bank Perkreditan Rakyat yang biasa disingkat dengan BPR adalah lembaga
keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito
berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
dan menyalurkan dan sebagai usaha BPR.
BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Bank
Indonesia. BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh Warga Negara
Indonesia (WNI) , Badan Hukum Indonesia yang seuruh pemiliknya WNI,
Pemda atau dua pihak (Yunika Murdayanti, 2015).
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu jenis bank yang
dikenal melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah. Lokasi BPR
biasanya dekat dengan tempat masyarakat yang membutuhkan sehingga BPR
banyak dijumpai di setiap daerah yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
BPR merupakan lembaga perbankan resmi yang diatur berdasarkan pada
Undang-undang No. 07 Tahun 1992 tentang Perbankan dan sebagaimana telah
disempurnakan dangan Undang-undang No. 10 Tahun 1998.
Pengertian BPR sesuai dengan UU tersebut adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan pada prinsip Syariah yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam
UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa BPR adalah Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvesional atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalalm kegiatannnya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Kegiatan usaha BPR terutama ditunjukan untuk melayani usaha-
usaha masyarakat didaerah pedesaan. Bentuk hukum BPR dapat berupa
Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah atau Koperasi (Totok Budisantoso,
2018).

4
2.2 Sejarah Bank Perkreditan Rakyat
Lembaga perkreditan rakyat didirikan berawal dari keinginan untuk
membantu para petani, pegawai dan buruh untuk lepas dari rentenir yang
memberikan kredit dengan bunga yang tinggi. Lembaga perkreditan rakyat
muncul pada abad ke-19 yang ditandai dengan terbentuknya beberapa lembaga
seperti Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani dan Bank Dagang Desa. Awal
tahun 1970-an pemerintah daerah mulai membentuk Lembaga Dana Kredit
Pedesaan (LDKP).
Pada awal 1988 melalui keputusann Presiden RI No. 38 pemerintah
mengeluarkan Paket Kebujakan Oktober 1988 (Pakto 1988) yang menjadi
momentum awal pendirian BPR baru. Bank-bank pasar yang telah tebentuk
diganti menjadi BPR berdasarkan Pakto 1988. Kebijakan tersebut memberikan
kejelasan mengenai keberadaan dan kegiatan usaha BPR. Sebagai langkah
lanjutan dari Pakto 1988, pemerintah mengeluarkan beberapa ketentuan dalam
bidang perbankan yang merupakan penyempurnaan ketentuan sebelumnya
yaitu: penyempurnaan Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok
Perbankan dengan mengeluarkan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan penyempurnaan lebih lanjut yang dituangkan dalam Undang-
undang No.10 Tahun 1988. Penyempurnaan sistem perbankan di Indonesia
yang ditempuh dengan cara menyederhanakan jenis bank menjadi Bank Umum
dan Bank Prekreditan Rakyat serta memoerjelas ruang lingkup dan batas
kegiatan yang dapat diselenggarakan dan diharapankan dapat lebih
meningkatkan perannya dalam pelaksanaan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke
arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Pada tahap pelaksanaannya, Undang-undang No. 7 Tahun 1992 didukung
dengan peraturan pemerintah No. 71 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam
peraturan perundang-undangan tersebut memungkinkan Lembaga Keuangan
Bukan Bank yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dapat
menyesuaikan kegiatan usahanya sebagai bank dan lembaga-lembaga keuangan
kecil, seperti Bank Desa, Bank Pasar dan lembaga-lembaga lainnya yang

5
dipesamakan dengan itu dapat diberikan status BPR dalam jangka waktu sampai
dengan 31 Oktober 1997 dengan memenuhi persyaratan dan tata cara yang
diterapkan dengan peraturan pemerintah. BPT yang didirikan sesudah Pakto
1988 ataupun Lembaga Keuangan yang menjadi BPR harus tunduh pada
ketentuan yang diaturdalam Undang-undang Perbankan dan peraturan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank.
Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga
intermedasi dan penunjang sistem perbankan merupakan faktor yang sangat
menentukan dala proses penyesuain kebijakan dalam bidang ekonomi dan
keuangan dalam menghadapi tantangan perekonomian regional dan
internasional.

2.3 Fungsi Dan Larangan Dalam Kegiatan Usaha Bank Perkreditan Rakyat
(BPR)
Fungsi BPR tidak hanya sekedar menyalurkan kredit kepada para
pengusaha mikro, kecil dan menengah, tetapi juga menerima simpanan
masyarakat. Dalam proses penyaluran kredit kepada masyarakat menggunakan
prinsip 3T, yaitu Tepat Waktu, Tepat Jumlah dan Tepat Sasaran, karena
prosesnya relatif cepat, persyaratan lebih sederhana dan sangat mengerti akan
kebutuhan nasabah. Selain itu peran BPR juga untuk menghimpun dana
masyarakat dalam bentuk desposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lain
yang dipersamakan dengan itu dan memberikan kredit dalam bentuk kredit
modal kerja, kredit investasi maupun kredit konsumsi.
 Adapun kegiatan usaha yang dapat dilakukan BPR secara detail menurut
pasal 13 adalah :
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
desposito berjangka , tabungan dan / atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
2. Memberikan kredit.
3. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
desposito berjangka, sertifikat desposito dan atau tabungan Bank lain.

6
 Sedangkan kegiatan yang tidak dapat dilakukan oleh BPR menurut pasal 14,
diantaranya:
1. Memberikan simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran
2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing kecuali dalam pedagang
valuta asing (dengan izin Bank Indonesia)
3. Melakukan penyertaan modal
4. Melakukan usaha perasuransian

Melakukan usaha di luar kegiatan usaha sebagaimana disebutkan pada


kegiatan usaha yang dapat dilakukan BPR.

 Hal yang Harus Diperhatikan oleh Bank Perkreditan Rakyat


1. Dalam memberikan kredit, BPR wajib mempunyai keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai
dengan perjanjian.
2. Dalam memberikan kredit, BPR juga wajib memenuhi ketentuan Bank
Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit, pemberian
jaminan, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh BPR kepada
peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada
perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan BPR tersebut.
Batas maksimum dalam hal tersebut sendiri tidak melebihi 30% dari modal
yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
Dalam memberikan kredit, BPR wajib memenuhi ketentuan Bank
Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit, pemberian
jaminan, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh BPR kepada
pemegang saham (dan keluarga) yang memiliki 10% atau lebih dari modal
disetor, anggota dewan komisaris (dan keluarga), anggota direksi (dan
keluarga), pejabat BPR lainnya, serta perusahaan-perusahaan yang di
dalamnya terdapat kepentingan pihak pemegang saham (dan keluarga) yang
memiliki 10% atau lebih dari modal disetor, anggota dewan komisaris (dan
keluarga), anggota direksi (dan keluarga), pejabat BPR lainnya. Batas

7
maksimum tersebut tidak melebihi 10% dari modal yang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.

2.4 Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)


a. Ketentuan Pokok BPR
Sebagai salah satu jenis bank maka pengaturan dan pengawasan BPR
dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 3
tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Kewenangan pengaturan dan pengawasan BPR oleh Bank Indonesia
meliputi kewenangan memberikan izin (right to license), kewenangan untuk
mengatur (right to regulate), kewenangan untuk mengawasi (right to
control) dan kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose
sanction).
Pengaturan dan pengawasan BPR oleh Bank Indonesia diarahkan untuk
mengoptimalkan fungsi BPR sebagai lembaga kepercayaan masyarakat
yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi terutama di
wilayah pedesaan. Dengan demikian pengaturan dan pengawasan BPR yang
dilakukan disesuaikan dengan karakteristik operasional BPR namun tetap
menerapkan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking) agar tercipta
sistem perbankan yang sehat

b. Ketentuan Kelembagaan
 Pendirian BPR
PBI No.8/26/PBI/2006 tanggal 8 November 2006 tentang Bank
Perkreditan Rakyat, merupakan dasar hokum untuk mendirikan BPR maka
persyaratan Modal disetor paling kurang sebesar :
1) Warga Negara Indonesia
2) Badan hokum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara
Indonesia
3) Pemerintah daerah
4) Dua pihak atau leebih sebagaimana dimaksud dalam angka 1, 2 dan 3

8
 Modal disetor untuk mendirikan BPR :
1) Rp 5 miliar untuk BPR yang didirikan di wilayah DKI Jakarta
2) Rp 2 miliar untuk BPR yang didirikan di wilayah ibukota provinsi di
Pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Kabupaten atau Kotamadya Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi;
3) Rp 1 miliaR untuk BPR yang didirikan di ibukota provinsi di luar Pulau
Jawa dan Bali dan di wilayah Pulau Jawa dan Bali di luar wilayah
sebagaimana disebut dalam angka 1, dan 2
4) Rp 500 juta untuk BPR yang didirikan di wilayah lain di luar wilayah
sebagaimana disebut dalam angka 1, 2 dan 3

 Kepemilikan BPR
Yang dapat menjadi pemilik BPR adalah pihak-pihak yang :
1) Tidak termasuk dalam daftar orang-orang tercela di bidang perbankan
2) Memiliki integritas, antara lain memiliki akhlak dan moral yang
baik, bersedia mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan bersediamengembangkan operasional BPR secara
sehat

 Sumber dana yang digunakan untuk kepemilikan BPR dilarang berasal


dari:
1) Pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank
dan/atau pihak lain (kecuali berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah)
2) Berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
Bagi pemegang saham pengendali, wajib memenuhi persyaratan bahwa
yang bersangkutan bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan
likuiditas yang dihadapi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya dan
memenuhi persyaratan kelayakan keuangan sesuai dengan ketentuan
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR.

9
 Kepengurusan BPR
Kepengurusan BPR terdiri dari Direksi dan Komisaris. Anggota
direksi dan dewan komisaris wajib memenuhi persyaratan: i) kompetensi;
ii) integritas; dan iii) reputasi. Anggota Direksi dan Komisaris masing-
masing paling sedikit berjumlah 2 orang dan memiliki sertifikat kelulusan
dari lembaga sertifikasi.

 Merger, Konsolidasi dan Akuisisi BPR


Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih dengan cara
tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank
lainnya dengan atau tanpa melikuidasi.
Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan
cara mendirikan bank baru dan membubarkan bank-bank tersebut dengan
atau tanpa likuidasi.
Akuisisi BPR adalah pengambilalihan saham oleh perorangan atau
badan hukum yang mengakibatkan beralihnya pengendalian BPR yaitu
bila kepemilikan saham menjadi sebesar 25% atau lebih dari modal
disetor BPR atau kurang dari 25% dari modal disetor BPR namun
menentukan baik secara langsung maupun tidak langsung pengelolaan
dan/atau kebijaksanaan bank.
Merger, Konsolidasi dan Akuisisi BPR wajib terlebih dahulu
memperoleh izin dari Bank Indonesia dan dapat dilakukan atas inisiatif
BPR yang bersangkutan atau permintaan Bank Indonesia. Merger atau
Konsolidasi hanya dapat dilakukan antar BPR. Merger atau
Konsolidasi antara BPR konvensional dengan BPR Syariah hanya
dapat dilakukan apabila BPR hasil merger atau konsolidasi menjadi BPR
Syariah.
Merger atau konsolidasi BPR dapat dilakukan antar BPR yang
berkedudukan dalam wilayah provinsi yang sama atau antar BPR dalam
wilayah provinsi yang berbeda sepanjang kantor-kantor BPR hasil
merger/ konsolidasi berlokasi dalam wilayah provinsi yang sama.

10
c. Ketentuan Kehati-hatian
 Kewajiban penyadiaan modal minimum (KPMM)
1) BPR diwajibkan untuk memenuhi rasio KPMM (CAR) minimal 8% yang
dihitung dari perbandingn antara Modal dengan Aktiva Tertimbang
Menurut Risiko (ATMR).
2) Komponen modal terdiri atas modal inti dan modal pelengkap dimana
modal pelengkap maksimum sebesar 100% dari modal inti.
3) Model inti terdiri dari modal disetor, agio, dana setoran modal, modal
sumbangan, cadangan umum, cadangan tujuan, laba ditahan (setelah
diperhitungkan pajak), laba tahun-tahun lalu (setelah diperhitungkan
pajak) dan laba tahun berjalan (sebesar 50% setelah taksiran pajak).
Faktor pengurang pada modal intu berupa goodwill, disagio, rugi tahun-
tahun lalu dengan rugi tahun berjalan.
4) Modal pelengkap terdiri dari cadangan revaluaso aktiva tetap, PPAP
umum (maksimum sebesar 1,25% dari ATMR), modal pinjaman
(hybrid/quai capital), pinjaman subordinasi (maksimum sebesar 50%
dari modal inti).
5) ATMR terdiri dari aktiva neraca BPR yang diberikan bobot sesuai
dengan kadar risiko yang melekat pada setaip pos aktiva.

 Batas maksimum pemberian kredit (BMPK)


Dasar Hukum BMPK untuk BPR adalah PBI No.11/13/PBI/2009
tanggal 17 April 2009 tentang Batas MAksimum Pemberian Kredit BPR.
BMPK adalah maksimum penyediaan dana yang diperkenankan untuk
dilakukan oleh BPR kepada peminjam atai kelompok peminjam tertentu.
Pelampauan BMPK adalah selisih lebih sesuai dengan rumus sebagai
berikut :

Penyediaan Dana pada Tanggal Pelaporan BMPK : Modal


pada Tanggal Laporan x 100% - (BMPK)

11
1) Pelanggaran BMPK
Penyediaan Dana pada Saat Pemberiaannya : Modal pada
Saat Penediaan Dana x 100% - (BMPK)
2) BMPK untuk kredit dihitung berdasarkan baki debet kredit, BMPK
untuk Penempatan Dana AntarBank pada BPR lain dihitung
berdasarkan nominal Penempatan Dana AntarBank.
3) Untuk pihak yang tidak terkait dengan BPR; Penyediaan dana kepada
pihak tidak terkait dengan BPR ditetapkan paling tinggi 20% dari modal
BPR. Sedangkan yang kepada satu kelompok peminjam tidak terkait
ditetapkan paling tinggi 30% dari modal BPR. Tidak termasuk dalam
kelompok peminjam tidak terkait yang penyediaan dana dengan pola
kemitraan inti-plasma atau pola PHBK dengan persyaratan sesuai
ketentuan.
4) Untuk pihak yang terkait dengan BPR: Penyediaan dana kepada pihak
terkait ditetapkan paling tinggi 10% dari modal BPR dan penyediaan
satu orang direksi dan satu orang komisaris.
5) Penempatan pada BPR lain : Penempatan Dana AntarBank kepada BPR
lain yang merupakan Pihak Yang Tidak Terkait ditetapkan paling
20%dari modal BPR..
6) Penyediaan dana dalam bentuk kredit Penyediaan Dana oleh BPR
dikategorikan sebagai Pelampauan BMPK apabila disebabkan oleh-
oleh hal berikut ini :
a) Penurunan modal BPR;
b) Penggabungan usaha, peleburan usaha, perubahan struktur
kepemilikan dan/ atau kepengurusan yang menyebabkan
perubahan pihak terkait dan/atau kelompok peminjam;
c) Perubahan ketentuan.
7) BPR yang melakukan pelanggaran ataupun oelampauan BMPK
diwajibkan menyampaikan action plan kepada OJK dan dikenakan
sanksi penilaian tingkat kesehatan BPR sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang berlaku.

12
 Aktiva produktif
BPR memiliki peranan penting dalam mendukung perkembangan usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM). BPR harus senantiasa
meemperhatikan asas-usus perkreditan yang sehat dalam rangka
menyalurkan kredit kepada UMKM dengan tetap memperhatikan prinsip
kehati-hatian. BPR wajib menetapkan KAP yang sama terhadap beberapa
rekening AP yang digunakan untuk membiayai 1 debitur pada BPR yang
sama. Ketentuan tentang KAP disempurnakan dan diselaraskan dengan
Standar Akutansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik
(SAK-ETAP) bagi BPR dan Pedoman Akutansi BPR.
BPR wajib menetapkan KAP yang sama terhadap beberapa rekening
AP yang digunakan untuk membiayai 1 Debitur pada BPR yang sama.
Dalam hal terjadi perbedaan KAP terhadap rekening menetapkan kualitas
masing-masing AP mengikuti KAP yang paling rendah. Ketentuan terkait
dengan restrukturisasi kredit, yaitu :
1) Bank wajib membebankan kerugian yang timbul dari restrukturisasi
kredit, setelah diperhitungkan dengan kelebihan PPAP karena
perbaikan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi.
2) Kelebihan PPAP karena perbaikakn kualitas Kredit yang
direstrukturisasi, setelaj diperhitungkan dengan kerugian yang timbul
daru restrukturisasikredit dimaksud, hanya dapat diakui sebagai
pendapatan apabila telah terdapat 3 kali penerimaan angsuran pokok
atas kredit yang direstrukturisasikan.

BPR wajib menerapkan perlakuan akutansi restrukturisasi kredit,


namun tidak terbatas pada pengakuan kerugian yang timbul dalam rangka
restrukturisasi kredit, sesuai dengan Standar Akutansi Keuangan dan
Pedoman Akutansi yang berlaku bagi BPR.

13
 Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Pengecualian pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktifa Produktig
(PPAP) Umum untuk AP dalam bentuk :
1) Penempatan BPR pada SBI;
2) Kredit yang dijamin dengan agunan bersifat likuid berupa SBI, surat
utang yang diterbitkan oleh Pemerintah RI, tabungan dan/atau deposito
yang diblokir pada BPR yang bersangkutan disertai dengan surat kuasa
pencairan dan logam mulia.

Perluasan jenis dan pengikatan agunan untuk mendorong penyaluran


kredit kepada UMKM dan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP
antara lain mencakup :

a) Emas perhiasan
b) Resi gudang
c) Tanah dan/atau bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat girik
d) Tempat usaha/los/kios/lapak/hak pakai/hak garap
e) Bagian dana yang dijamin oleh BUMN/BUMD yeng melakukan usaha
sebagai penjamin kredit.

OJK berwenang melakukan perhitungan kembali atau tidak mengakui


nilai agunanyang telah diperhitungkan dalam pembentukaj PPAP apabila
BPR tidak memenuhi ketentuan. BPR wajib membentuk PPAP berupa PAP
umum dan PPAP khusus. PPAP umum ditetapkan paling kurang sebesar 5
permil dari AP yang dimiliki kualitas Lancar, tidak termasuk penempatan
BPR pada SBI dan Kredit yang dijamin dengan agunan yang bersifat likuid
berupa SBI, surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah RI, tabungan
dan/atau deposito yang diblokir pada BPR yang bersangkutan disertai
dengan surat kuasa pencairan dan logam mulia. PPAP khusus ditetapkan
paling kurang sebesar :

10% dari AP dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi dengan nilai
agunan;

14
1) 50% dari AP dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai
agunan;
2) 100% dari AP dengan kualitas Macet serelah dikurangi dengan nilai
agunan.

 Restrukturisasi kredit
Restrukturisasi kredit dapat dilakukan terhadap debitur yang
mengalami kesulitan pembayaran pokok atau bunga kredit dan debitur yang
memiliki prospek usaha yang baik mampu memenuhi kewajiban setelah
kredit direstrukturisasi. BPR dilarang melakukan Restrukturisasi kredit
dengan tujuan hanya untuk menghindari penurunan penggolongan kredit,
peningkatan pembentukan PPAP dan penghentian pendapatan bunga secara
akrual.
Kualitas Kredit yang direstrukturisasi adalah maksimum Kurang
Lancar untuk Kredit yang sebelum direstrukturisasi memiliki kualitas
Diragukan atau Macet dan tidak berubah, untuk Kredit yang sebelum
direstrukturisasi dapat menjadi lancar, jika terjadi tunggakan angsuran
selama 3 kali periode permbayaran secara berturut-turut dan jika debitur
tidak mampu memenuhi kondisi ini maka kualitas kreditnya sama dengan
kualitas Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi kredit.

 Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer)


BPR wajib menerapkan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know
Your Customer) dengan cara menetapkan kebijakan dan prosedur
penerimaan, pengidentifikasi, memantau rekening dan transaksi serta
manajemen resiko yang berkaitan dengan Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah. Terkait dengan pemantauan rekening dan transaksi nasabah, BPR
wajib memiliki sistem informasi/sistem pencatatan yang dapat
mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara
efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah.

15
BPR wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan
kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) paling
lambat 3 hari setelah diketahui adanya unsur transaksi keuangan yang
mencurigakan. Dan Bank Indonesia melakukan penilaian dan oengenaan
sanksi atas penerapan prinsip mengenal nasabah dan kewajiban lain terkait
dengan UU tentang tindak pidana pencurian uang bagi Bank Umum.

d. Ketentuan Tentang Tingkat Kesehatan BPR


Tingkat kesehatan BPR dinilai berdasarkan berbagai aspek yang
berpengaruh terhadap konndisi dan perkembangan suatu BPR, yang
meliputi aspek Permodalan, Kualitas Aktiva Produktif, MAnajemen,
Rentabilitas, dan Likuiditas, (CAMEL) serta mempertimbangkan faktor-
faktor yang lain dapat menurunkan dan menggugurkan TKS. Atat cara
penilaian tingkat kesehatan BPR, antara lain :
1) Hasil penilaian ditetapkan dalam 4 predikat yaitu : Sehat, Cukup Sehat,
Kurang Sehat dan Tidak Sehat.
2) Bobot setiap faktor CAMEL adalah :
a) Permodalan 30%
b) Kualitas Aktiva Produktif 30%
c) Manajemen 20%
d) Rentabilitas 10%
e) Likuiditas 10%
3) Pelaksanaan ketentuannya dikaitakn dengan penilaian kesehatan BPR
meliputi pelanggaran atau pelampauan terhadap ketentuan BMPK,
pelanggaran ketentuan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
4) Faktor-faktor yang dapat menggugurkan penilaian tingkat kesehatan
BPR menjadi Tidak Sehat yaitu perselisihan intern, campur tangan
pihak luar manajemen BPR, window dressing, praktek Bank dalam
Bank, kesulitan keuangan, praktek perbankan lain dapat
membahayakan kelangsungan usaha BPR.

16
 Ketentuan Exit Policy
Tindak Lanjut Penanganan Terhadap BPR Dalam Status Pengawasan
Khusus (DPK).
Bagi Bank Indonesia suatu BPR yang mengalami kesulitan akan
membahayakan kelangsungan usahanya, maka BPR tersebut ditetapkan
dalam suatu pengawasan khusus Bank Indonesia yaitu jika Rasio KPMM
kurang dari 4% dan Cash Ratio rata-rata salaam 6 bulan terkahir kurang dari
3%. Jangka waktu pengawasan khusus ditetapkan maksimal selama 6 bulan
sejak tanggalsurat pemberitahuan status BPR dalam pengawaasan khusus
dari BI fan tidak dapat diperpanjang. Selama jangka waktu pengawasan
khusus tersebut, Bank Indonesia dapat memerintahkan BPR atau pemegang
saham lain untuk :
1. Menambah modal.
2. Menghaousbukukan kredit yang tergolong macet dan
memperhitungkan kerugian BPR dengan modalnya.
3. Mengganti angota Direksi atau Dewan Komisaris BPR.
4. Melakukan merger atau konsolidasi dengan BPR lain.
5. Menjual BPR kepada pembeli yang bersedia yang mengambil alih
seluruh kewajiban BPR.
6. Menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPR kepada
pihak lain.
7. Menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetaplam
oleh Bank Indonesia.

Bank Indonesia memberitahukan kepada Lembaga Penjamin Simpanan


(LPS) dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan
atau tidak menyelamatkan BPR yang bersangkutan apabila BPR yang
ditetapkan dalam status pengawasan khusus :

1. Tidak memenuhi Rasio KPMM paling sedikit 4% dan CR rata-rata


selama 6 bulan terakhir paling sedikit 3%.

17
2. Tidak dapat menigkatkan rasio KPMM menjadi lebih besar dari 0%
dalam jangka waktu 3 bulan sejak ditetapkan dalam status pengawasan.
3. Memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% dan CR rata-
rata selama 6 bulan terakhir kurang dari 1% dalam jangka waktu 3 bulan
sejak ditetapkan dalam status pengawasan khusus.
4. Memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0%atau memiliki
rata-rata CR selama 6 bulan terakhir kurang dari 1% setelah jangka
waktu 3 bulan sebagaimana yang dimaksud dalam poin 2 dan 3, sampai
dengan 1 hari setelah berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus.
5. LPS akan melakukan penilaian untuk mengambil keputusan
menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR yang bersangkutan.
Apabila LPS memutuskan untuk tidak menyelamatkan BPR yang
bersangkutan, Bank Indonesia akan mencabut izin BPR yang
bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS dan
mengumumkan kepada masyarakat.

 Likuidasi BPR
Lukuidasi BPR adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan
kewajiban BPR sebagai akibat dari pencabutan izin usaha dan pembubaran
badan hukum BPR berdasarkan DIR No.32/54/KEP/DIR tanggal 14 Mei
1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha Pembubaran dan Likuidasi
BPR. Beberapa alasan suatu BPR dicabut izin usahanya oleh BI karena :
1. Tindakan penyelamatan yang diminta oleh BI terhadap BPR yang
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya,
belum cukup mengatasi kesulitan yang dihadapi BPR.
2. Menurut penilaian BI keadaan suatu BPR dapat membahayakan sistem
perbankan.
3. Terhadap permintaan dari pemilik atau pemegang saham BPR.

18
Jangka waktu likuidasi ditetapkan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan likuidasi BPR paling lama 5 tahun terhitung sejak


terbentuknya Tim Likuidasi.
2. Apabila melebihi 5 tahun, penjualan asset dilakukan melalui lelang
dalam jangka waktu 180 hari sejak berakhirnya pelaksanaan likuidasi
BPR.

e. Ketentuan Lain-lain
 Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Perbankan
BPR wajib menyediakan dana pendidikan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan SDM di bidang perbankan sebesar 5% dar
rilisasi biaya SDM di tahun sebelumnya. Apabila dana pendidikan tersebut
masih tersisa, maka sisa dana tersebut wajib ditambahkan ke dalam dana
pendidikan dan pelatihan tahun berikutnya. Pelaksanaan tersebut dapat
dilakukan dengan cara :
1. Dilakukan oleh BPR itu sendiri;
2. Ikut serta pada pendidikan yang dilakukan BPR lain;
3. Bersama-sama dengan BPR lain menyelenggarakan pendidikan; dan
4. Mengirim SDM mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan perbankan.
 Sistem Informasi Debitur (SID)
Penyelenggaraan SID dimaksudnkan untuk membantu pelapor dalam
memperlancar proses penyediaan dana, mempermudah penerapan
manajemen resiko, dan membantu bank dalam melakukan identifikasi
kualitas debiutr untuk pemenuhan ketentuan yang berlaku.
BPR yang memiliki total asset sebesar Rp 10 miliar atau lebih menjadi
pelapor SID sementara BPR yang memiliki total asset kuranag dari Rp 10
miliar namun telah memiliki infrastruktur uyang memadai dapat menjadi
pelapor dalam SID.

19
2.5 Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Kebijakan dan strategi pengembangan BPR ke depan diarahkan sesuai
dengan karakteristik BPR yaitu BPR sebagai community bank yang sehat, kuat,
produktif serta menyebar diseluruh Indonesia dan fokus dalam penyediaan
pelayanan jasa keuangan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
dan masyarakat setempat khususnya di daerah pedesaan. Dalam rangka
peningkatan daya saing dan jangkauan pelayanan BPR, upaya serta strategi
yang dilakukan dijabarkan sebagai berikut:
a. Memperkuat Kelembagaan
Kelembagaan industri BPR perlu diperkuat melalui pemberdayaan
potensi daerah, peningkatan permodalan BPR, kebijakan yang mendorong
penyebaran BPR di seluruh Indonesia, perluasan jaringan kantor dan
kerjasama dengan Bank Umum serta lembaga keuangan lain dalam rangka
penyaluran kredit kepada UMKN (Linkage Program).
Dari sisi BPR konvensional mengalami penurunan cukup signifikan
sejalan dengan perbaikan kondisi perekonomian pasca krisis keuangan
global. Kredit MKM tumbuh melambat. Hal ini tercemin dari realisasi
Kredit MKM selama tahun 2009 mencapai Rp106,4% triliun atau tumbuh
sebesar 16,1% (semula baki debet sebesar Rp660,4 triliun pada akhir
Desember 2008 menjadi sebesar Rp 766,8 triliun pada akhir Desember
2009) jika dibandingkan dengan realisasi selama tahun 2008 sebesar
Rp136,3 triliun atau tumbuh sebesar 26,0% (semula baki debet sebesar
Rp524,1 triliun pada akhir 2007 menjadi sebesar Rp660,4 triliun oada akhir
2008). Perlambatan ini disebabkan krisis global yang masih mempengaruhi
debitur untuk mengurangi ekspansi kredit (bersikap wait and see) dan disisi
lain bank-bank lebih selektif dalam menyalurkan kreditnya dan lebih fokus
dalam pengendalian NPL antara lain dengan pembinaan debitur lama.
b. Kredit MKM Terutama Untuk Tujuan Konsumsi
Pangsa kredit MKM mencapai 53,1% atau Rp407,4 triliun. Sedangkan
pangsa kredit produktif sebesar 46,9% yang terfiri dari kredit modal kerja
sebesar 294,1 triliun (38,3%), dan investasi sebesar Rp65,5 triliun (8,6%).

20
Meningkatkan ekspansi kredit konsumsi disebabkan antara lain: margin
yang tinggi, penyeluran kredit yang lebih mudah, risiko yang relatif rendah
dan masih cukup tingginya permintaan kredit konsumsi.
Berdasarkan sektor ekonomi penyaluran kredit MKM terbesar pada
sektor perdagangan sebesar Rp198,3 triliun (25,9%). Penyaluran kredit
MKM pada sektor perindustrian sebesar Rp44,6 triliun (5,8%). Sampai
dengan posisi Desember 2009, pertumbuhan sektor perindustrian masih
menunjukan nilai negatif sebesar -4,1%. Hal ini disebabkan oleh
menurunnya permintaan terhadap barang-barang produksi untuk ekspor.
Pangsa kredit terbesar pada Desember 2009 berdasarkan kelompok
bank adalah Bank Persero dengan nilai sebesar 37,2%. Pangsa tersebut
meningkat jika dibandingkan dengan posisi Desember 2008 yang mencapai
34,8%. Pangsa kredit MKM terbesar kedua adalah Bank BUSN Devisa
sebesar 37,2%, posisi selanjutnya adalah BPD dengan pangsa sebesar
14,0%.
NPL kredit MKM meningkat, pada semester I (Juni 2009) menjadi
3,72% yang disebabkan oleh menurunnya usaha debitur akibat krisis dan
kemudian menurun pada akhir Triwulan IV 2009, serta karena bank-bank
lebih intensif melakukan penagihan kredit-kredit yang macet dan upaya
penghapus bukuan kredit macet oleh Bank. Namun sampai Desember 2009,
angka NPL kredit MKM menurun.
Gambar 1. Perkembangan Kredit BPR, Des 2008-Agt 2014

21
Gambar 2. Jumlah Kredit BPR Menurut Penggunaan, Des 2010-Agt 2014

Gambar 3. Jumlah Bank dan Kantor BPR, Des 2007 – Agt 2014

Gambar 4

22
c. Peningkatan Permodalan di Indonesia
Untuk meningkatkan kemampuan BPR dalam melakukan ekspansi dan
meningkatkan daya saing, upaya untuk mendorong BPR melakukan merger
atau konsolidasi terus dilakukan agar BPR memiliki permodalan yang kuat,
jaringan kantor yang lebih terintegrasi, dan beroperasi secara efisien. Selain
daripada itu BPR juga harus mampu memenuhi ketentuan modat disetor
sesuai dengan ketentuan pada waktu yang telah ditetapkan.

Gambar 5. Modal disetor BPR

Meningkatnya struktur permodalan BPR dari tahun ke tahun, yang


dapat dilihat dari porsi BPR dengan modal di atas Rp 1 miliar yang
meningkat dari 42,1% menjadi 52,7%. Peningkatan industri BPR
meningkat. Indikator tersebut dapat dilihat dari peningkatan Return on Asset
(ROA) menjadi 3,09% apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya
sebesar 2,61%, serta peningkatan laba tahun berjalan menjadi Rp 1.2 triliun,
atau tumbuh sebesar 36,5% dari posisi tahun sebelumnya yang mencapai Rp
0,8 triliun, kinerja BPR membaik. Sekalipun dengan kontribusi yang masih
relatif kecil, namun demikian BPR senantiasa mampu menunjukkan kinerja
yang membaik dan tetap konsisten melayani UMKM, Pangsa BPR.
Sejalan dengan upaya peningkatan peran BPR konvensional dalam
pembiayaan keuangan mikro, mayoritas kredit BPR konvensional

23
digunakan untuk pembiayaan sektor produktif dalam bentuk kredit modal
kerja (KMK). Berdasarkan sektor ekonomi, mayoritas kredit BPR
konvensional digunakan untuk pembiayaan sektor lain-lain dan sektor
perdagangan. Pangsa kredit berdasarkan sektor ekonomi tertinggi adalah
sektor lain-lain yang mencapai Rp12,7 triliun (45,2%), disusul dengan
sektor perdagangan yang mencapai Rp9,8 triliun (34,9%). Sedangkan porsi
terendah adalah sektor pertanian dan sektor industri yang hanya mencapai
masing-masing Rp2,9 triliun (7,1%) danRp0,5 triliun (1,8%).
Risiko Kredit membaik. Pada akhir tahun 2009, kualitas kredit BPR
konvensional secara umum berangsur membaik dibandingkan tahun 2008
sebagai akibat dari adanya dampak pencabutan izin usaha satu BPR besar
yang bermasalah pada Maret 2009.

2.6 Penyebaran Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia


Hingga akhir Desember 2006 jumlah BPR masih terkonsentrasi di Jawa
dan Bali (77%) sehingga diperlukan dukungan regulasi yang mampu
mendorong pendirian BPR – BPR di luar Pulau Jawa dan Bali selain adanya
regulasi yang mempererat pendirian BPR baru di Pulau Jawa dan Bali.
Perubahan ketentuan mengenai BPR terkait dengan kualifikasi Calon Direksi
sebagaimana tertuang dalam PAKTO 2006 merupakan salah satu upaya yang
diharapkan mampu mendorong pendirian BPR – BPR di luar Pulau Jawa dan
Bali.

Tabel 1. Indikator Utama BPR


Desember Desember (+/-) (%)
Indikator Utama
2008 2009 2008 - 2009
Total Aset (T Rp) 32,5 37.6 5.0 15.4
Kredit (T Rp) 25,5 28.0 2.5 9.9
DPK (T Rp) 21,3 25.6 4.2 19.7
Rekening DPK *) 7.258 7.736 278 6.6

24
 Tabungan (T Rp) 7.135 8.272 1137 15.9
 Rekening Tabunagn *) 6867 7.335 467 6.8
 Deposito (T Rp) 14.204 17.280 3076 21.7
 Rekening Deposito *) 391 401 10 2.7
Aktiva Produktif (T Rp) 32.5 37.6 5.0 15.2
 Kredit (T Rp) 25.5 28.0 2.5 9.9
 Rekening Kredit *) 21.3 25.6 4.2 4.8
 SBI (T Rp) 45.5 60.0 15.0 33.3
 Antar Bank Aktiva (T Rp) 5.8 8.1 2.2 38.2
CAR (%) 23.34 24.17 1 3.6
Rasio Kredit thd Aktiva 81.23 77.49 -4 -4.6
NPLS (T Rp) 2.5 1.9 -0.6 -23.2
PPAP (T Rp) 0.9 0.0 -0.9 -100.0
NPLS Gross (%) 9.9 6.9 -3 -30.2
NPLS Net (%) 6.4 4.0 -2 -38.1
ROA (%) 2.6 3.1 0 18.4
BOPO (%) 82.8 81.8 -1 -1.2
LDR (%) **) 119.4 109.6 -10 -8.2
LDR (%) ***) 82.6 79.6 -3 -3.6
Laba Tahun Berjalan (T
0.8 1.2 0.3 36.4
Rp)
*) Rekening dalam ribuan, **) Perhitungan LDR: Kredit dibagi DPK, ***) Perhitungan LDR
menyatakan modal dan pinjaman dalam komponen dana

25
Tabel 2. Data perizinan BPR tahun 2009
Pemberian Izin Dalam Proses Pemberian Izin
Izin
Izin Izin Izin Izin
Dar Menja Dar Menja Dicab
Prinsi Usah Prinsi Usah
i di i di ut
p a p a
Jabodetab
1 - - - 1 1 - - 1
ek
Jabar - - 13 2 - - 3 1 -
Jateng +
1 1 14 2 1 - - - -
DIY
Jatim - - 4 1 - - - - -
Bali + NT 1 1 26 3 1 1 - - 2
Sumatera 16 14 - - 11 4 - - 1
Kalimanta
1 2 3 1 15 - - - -
n
Sulampua 5 2 5 1 16 1 - - -
Total 25 20 65 10 35 7 3 1 4
Sumber: Bank Indonesia, Data Diolah

Gambar 5. Perubahan Konsentrasi Penyebaran BPR

26
Bank Indonesia terus mendorong pendirian BPR Baru di luar Jawa dan Bali
agar masyarakat di seluruh pelosok Indonesia, khususnya sektor usaha mikro, kecil
dan menengah dapat merasakan manfaat pelayanan BPR. Hal ini didukung oleh
langkah kebijakan penetapan persyaratan modal disetor yang lebih rendah untuk
pendirian BPR di luar wilayah Jawa – Bali dibandingkan pendirian di wilayah Jawa
– Bali. Selama tahun 2009, Bank Indonesia memberikan izin prinsip kepada 25
BPR, izin usaha kepada 20 BPR, izin merger/konsolidasi kepada 65 BPR menjadi
10 BPR, dan mencabut izin usaha 4 BPR.
Pemberian izin usaha BPR baru terutama untuk di luar Jawa Bali, yakni 19
dari 20 BPR baru, meskipun demikian, saat ini konsentrasi BPR masih di wilayah
Jawa dan Bali yakni sebanyak 1.294 BPR (74,7%).
Bagi calon anggota Direksi yang tidak memiliki pengalaman sebagai
pejabat di bidang operasional perbankan paling singkat selama 2 tahun dapat
memenuhi persyaratan sebagai calon anggota Direksi dengan mengikuti magang
paling singkat selama 3 Bulan di BPR dan memiliki sertifikat kelulusan dari
Lembaga Sertifikasi pada saat diajukan sebagai calon anggota Direksi.

 Perluasan Jaringan Kantor


Dalam rangka meningkatkan daya saing dan memperluas jangkauan
pelayanan BPR, telah dikeluarkan Paket kebijakan sektor keuangan berupa
kemudahan pembukaan Kantor Cabang (KC) BPR yaitu BPR tidak lagi dibatasi
untuk dapat membuka KC dalam setahun. Persyaratan pembukaan KC hanya
didasari pada persyaratan CAR dan TKS, sedangkan persyaratan untuk modal
disetor dipenuhi sesuai masa penetapan. Namun dalam realitas diketahui bahwa
banyak BPR yang tidak sehat sesuai ketentuan Bank Indonesia, oleh karena itu
dalam rangka penyehatan BPR – BPR maka langkah yang dilakukan adalah
melakukan Merger dan Konsolidasi.
Indikator keberhasilan tersebut antara lain ditunjukkan dengan
berkurangnya sebanyak 3,9 BPR (2,5%) dari 1.772 (2008) menjadi 1.733 (2009).
Selama tahun 2009 telah terjadi merger/konsolidasi dari 75 BPR menjadi 10 BPR,
dengan rincian 52 BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah (BPR milik

27
Pemerintah Daerah) dan 23 BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas. Langkah
merger dan konsolidasi mencapai hasil yang baik.
Disisi lain jumlah BPR berbadan hukum PT semakin meningkat. Baik dari
sisi jumlah maupun pangsanya, jumlah BPR berbadan hukum PT terus meningkat.
Hal ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia untuk mendorong pendirian BPR
baru dengan bentuk hukum PT sebagai bentuk badan hukum yang ideal bagi
industri perbankan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dalam hal
akuntabilitas publik. Bentuk badan hukum secara tidak langsung mencerminkan
komposisi kepemilikan BPR.
Dengan demikian BPR dengan bentuk badan hukum PT menunjukkan
bahwa kepemilikan BPR mayoritas dipegang oleh pihak swasta. Demikian pula
BPR dengan bentuk badan hukum Perusahaan Daerah, maka seluruh atau sebagian
kepemilikan BPR dipegang oleh Pemerintah Daerah dan selanjutnya dengan bentuk
hukum koperasi.
Peningkatan BPR dengan bentuk badan hukum PT selain karena pendirian
BPR baru dengan badan hukum PT juga karena adanya perubahan bentuk badan
hukum BPR yang semula Koperasi maupun PD menjadi PT.

 Peningkatan Kerjasama BPR dengan Bank Umum/Lembaga Lain (Linkage


Program)
Linkage Program merupakan kerjasama Bank Umum dan BPR yang
dilandasi semangat kemitraan yang bersifat symbiosis mutualistic dengan tetap
berorientasi pada aspek bisnis yang tertuang dalam Generic Model Lingkage
Program. Strategi ini merupakan suatu bentuk kerjasama antara Bank Umum
dengan BPR untuk meningkatkan jangkauan (outreach) dalam rangka penyaluran
kredit UMKM. Linkage Program dinilai telah memberikan hasil yang positif dalam
pengembangan BPR serta peningkatan kredit kepada nasabah UMKM, Bank
Indonesia berperan dalam memberikan bantuan teknis kepada Bank Umum berupa
pelatihan mengenai BPR. Dalam rangka mengevaluasi dan menyempurnakan
Linkage Program di masa yang akan datang, telah dilakukan survei pelaksanaan

28
Linkage Program kepada seluruh BPR yang telah mendapat pembiayaan dari Bank
Umum.

 Meningkatkan Kualitas Pengaturan


Peningkatan kualitas pengaturan terus dilakukan antara lain melalui
penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan pemenuhan modal disetor
minimum, melakukan review, evaluasi dan penyempurnaan ketentuan kehati-
hatian, kelembagaan dan penilaian tingkat kesehatan BPR dengan
mempertimbangkan strata total aset, karakteristik ekonomi dan budaya daerah.
Untuk menunjang kualitas pengaturan maka penyusunan ketentuan didukung oleh
penelitian yang diperlukan untuk pengembangan BPR dalam rangka peningkatan
peran dan kontribusinya sebagai lembaga pembiayaan kepada UMKM dan
masyarakat setempat khususnya di daerah pedesaan. Pada tahun 2006 triwulan ke
IV telah dikeluarkan ketentuan – ketentuan yang diatur dalam Paket Oktober dan
November 2006 yang merupakan perubahan beberapa ketentuan mengenai
Kelembagaan BPR, KPMM, KAP dan PPAP, serta Transparansi Kondisi Keuangan
BPR.

 Meningkatkan Efektivitas Sistem Pengawasan


Industri BPR yang sehat, kuat, produktif dan dipercaya tidak terlepas dari
system pengawasan yang dilakukan ole Bank Indonesia. Selain meningkatkan
kompetensi pengawas melalui pelatihan secara terus – menerus dan sertifikasi
pengawas, telah diterbitkan Pedoman Teknik Pengawasan yang Terfokus untuk
dijadikan acuan bagi seluruh pengawas BPR untuk meningkatkan kualitas
pengawasan terutama dalam mendeteksi secara dini (early warning) permasalahan
BPR yang makin kompleks atau potensi permasalahan yang terjadi.
Dengan pedoman tersebut diharapkan dapat mengurangi seminimal mungkin
terjadinya pelanggaran dan penyimpangan BPR terhadap ketentuan bahkan
permasalahan yang berpotensi mengarah pada tindak pidana di bidang perbankan

29
serta menjadi panduan bagi pengawas baik dalam pengawasan maupun dalam
menentukan area pemeriksaaan untuk memenuhi prinsip Know Your Bank.
Peningkatan efektivitas system pengawasan tidak terlepas dari peran sistem
informasi yang ada. Oleh karena itu, telah dilakukan upaya penyempurnaan
informasi antara lain melalui penyampaian laporan BPR secara on line kepada Bank
Indonesia, penyempurnaan sistem informasi dan manajemen pengawasan BPR
yang terintegrasi serta penyempurnaan informasi dan publikasi tentang
perkembangan dan kondisi BPR secara reguler.
Kompleksitas permasalahan BPR yang semakin meningkat menuntut pengawasan
untuk tidak hanya memahami bidang tugasnya secara professional dan memiliki
ketajaman dalam melakukan analisis, tetapi juga memiliki kemampuan dalam
melakukan professional judgement. Untuk itu, pengawas BPR perlu memiliki
pengetahuan di bidang akuntansi perbankan, menguasai teknik – teknik
pengawasan dan pemeriksaan, serta memiliki pemahaman mengenai ketentuan
perbankan. Agar permasalahan yang dihadapi BPR dapat segera diketahui dan
solusi penyelesaian dilakukan secara tepat, pengawas dituntut pula untuk lebih
mengetahui kondisi bank yang diawasi (know your bank) dari waktu ke waktu.
Dalam rangka meningkatkan kompetensi pengawas BPR, BI secara terencana
dan berkelanjutan melakukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan para
pengawas BPR melalui program pelatihan Pengawas BPR dan program sertifikasi
pengawas bank (Banking School). Selain itu, peningkatan kompetensi pengawas
BPR juga dilakukan melalui forum sosialisasi, workshop, Klinik Hukum dan
knowledge sharing.
Secara umum terdapat dua besaran pengembangan sistem informasi (SI) BPR
yang terus disempurnakan dalam rangka meningkatkan efektifitas tugas
pengawasan dan pembinaan BPR, sekaligus meningkatkan efisiensi baik dari sisi
BI maupun BPR, yakni:

1. Sistem Pelaporan BPR BMPK secara online. Dengan dapat disampaikannya


Laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) BPR secara online,
maka menambah jumlah pelaporan online oleh BPR yang telah ada

30
sebelumnya yakni Laporan Bulanan, Laporan Debitur (SID) dan Laporan
Keuangan Publikasi.
2. Sistem Pengolahan Data BPR Pengembangan sistem pengolahan data di Bank
Indonesia dilakukan secara terintegrasi untuk menghilangkan redundansi input
data dan diharapkan dapat meminimalisasi human error dan inkonsistensi data.
Sistem pengolahan data BPR menghasilkan Sistem Informasi Manajemen
Pengawasan (SIMWAS) BPR dan Statistik dan Publikasi BPR.

Mengembangkan aplikasi SIMWAS BPR guna mendukung tugas pengawasan


secara menyeluruh. Pengembangan SIMWAS BPR 2009 untuk mendukung tugas
pengawasan secara off-site, mencakup modul untuk melakukan proses perizinan
BPR baru, penatausahaan data pokok, analisa laporan berkala, penilaian tingkat
kesehatan, pemantauan kinerja, penatausahaan hasil fit and proper test hingga
pelaksanaan proses cabut izin usaha dan likuidasi (untuk BPR yang telah dicabut
sebelum LPS berdiri).

Mengembangkan Sistem Informasi Sistem Pengawasan BPR yang terfokus.


Aplikasi simwas akan terus dikembangkan untuk mewujudkan sistem pengawasan
secara off site maupun onsite yang terfokus pada kondisi BPR, sehingga proses
pemeriksaan menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu pengembangan juga
dilakukan untuk membantu proses analisa penilaian studi kelayakan BPR dalam
rangka pendirian maupun perpindahan kantor cabang BPR. Selanjutnya pada tahun
2010 akan dikembangkan suatu alat yang dapat membantu pengawas untuk
mengidentifikasi permasalahan bank secara dini (early warning system) sehingga
pengawas BPR dapat melakukan antisipasi atas risiko dan potensi permasalahan
pada BPR.

Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan umum yang merupakan


pemeriksaan rutin minimal 1 tahun sekali sesuai amanat undang-undang, dan
pemeriksaan khusus yang tergantung pada permasalahan yang dihadapi oleh BPR.
Selama tahun 2009 telah dilaksanakan pemeriksaan umum terhadap 1725 BPR dan
Pemeriksaaan khusus terhadap 409 BPR. Adapun selisih antara rencana
pemeriksaan dan realisasi pemeriksaan disebabkan karena terjadi perubahan

31
jumlah BPR di masing-masing wilayah kerja Bank Indonesia, antara lain akibat
merger/konsolidasi, pencabutan izin usaha dan pendirian BPR baru yang terjadi
selama tahun 2009. Pada prinsip keseluruhan BPR telah dilakukan pemeriksaan
kecuali terhadap sebagian BPR baru yang akan dilakukan di tahun 2010.
Mengembangkan Sistem Informasi Sistem Pengawasan BPR yang terfokus.

Gambar 6. Rekapitulasi Pemeriksaan BPR, Tahun 2009

Memberikan sanksi terhadap BPR yang melanggar prinsip kehati-hatian.


Terhadap BPR yang melanggar prinsip kehati-hatian telah dilakukan pembinaan
dan/atau pengenaan sanksi. Selanjutnya Pengurus/Pemilik BPR diminta untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi. Sebagian besar BPR yang bermasalah,
termasuk yang dikategorikan dalam pengawasan khusus, permasalahannya dapat
diselesaikan dengan akuisisi dan atau penambahan modal disetor oleh pemilik
untuk mencapai CAR minimum 4% dan Cash Ratio minimum 3%. Sedangkan BPR
yang tidak dapat diselamatkan, telah diserahkan kepada LPS untuk kemudian
dicabut izin usahanya. Disamping itu Bank Indonesia memerintahkan penggantian
pengurus dan/atau pemilik yang terbukti menyebabkan BPR yang bersangkutan
menjadi bermasalah. Penyimpangan yang berindikasi tindak pidana diserahkan
kepada DIMP untuk ditindaklanjuti. Adapun praktek-praktek tidak sehat yang
umumnya dilakukan BPR, antara lain:

32
1. Melakukan rekayasa pemberian kredit bank kepada pihak terkait maupun
pihak tidak terkait untuk menghindari pelanggaran BMPK.
2. Menyampaikan laporan yang belum sepenuhnya akurat.
3. Melaksanakan praktek "bank dalam bank” untuk kepentingan pengurus dan
atau pemilik BPR.
4. Melakukan Fraud antara lain rekayasa pembukuan oleh Pengurus untuk
menutupi manipulasi keuangan.
5. Mismanagement
6. Adanya perselisihan intern baik antar pengurus maupun antara pengurus dan
pemilik yang dapat mempengaruhi operasional bank.

 Mendorong Kualitas Tata Kelola (Governance), Menejemen dan Operasional


yang Sehat dan Profesional
BPR di masa mendatang diharapkan dikelola oleh Sumber Daya Manusia
(SDM) yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta menerapkan
prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, kualitas
kompetensi SDM BPR perlu terus ditingkatkan sehingga tercapai standar kualitas
yang memadai dalam pengelolaan BPR. Upaya yang dapat dilakukan meliputi
meningkatkan profesionalisme SDM BPR melalui program sertifikasi bagi Direktur
BPR dan pelatihan bagi SDM BPR lainnya. memfasilitasi peningkatan
keterampilan dan pengetahuan SDM BPR mengenai inovasi produk baik simpanan
maupun pembiayaan terutama kredit kepada sektor pertanian dan masyarakat
pedesaan serta mendorong pemanfaatan teknologi informasi untuk operasional dan
penyusunan laporan keuangan intern BPR maupun laporan kepada Bank Indonesia.
Pengelolaan BPR yang sehat dan dijalankan secara profesional akan meningkatkan
kredibilitas BPR di mata masyarakat. Kualitas Manajemen BPR Cukup Baik.
Penilaian terhadap kemampuan pengurus BPR dalam mengelola institusi bank
diawali dengan proses fit and proper test kepada calon pengurus dan pemilik BPR
di awal pendirian BPR, dan dimungkinkan untuk ditinjau kembali apabila terdapat
indikasi penyimpangan atas dasar pemeriksaan oleh Bank Indonesia. Secara rutin,

33
penilaian ini dilakukan melalui komponen penilaian Tingkat Kesehatan (CAMEL)
yang salah satunya merupakan faktor manajemen.

Berdasarkan hasil penilaian tahun 2009 terlihat bahwa nilai faktor


manajemen Cukup Sehat sebesar 61.8% sedikit meningkat dibandingkan tahun
sebelumnya sebesar 61,2%. sedangkan jumlah BPR yang tergolong Sehat sedikit
menurun dari 11,8% menjadi 11.0%.

Gambar 7. Perkembangan Penilaian Faktor Manajemen BPR, 2009

Sember: Bank Indonesia, Data Diolah

 Memberdayakan Infrastruktur Pendukung Industri BPR yang Efektif

Strategi untuk mendorong terbentuknya infrastruktur yang mendukung industri


BPR dilakukan melalui peningkatan peran Asosiasi BPR dalam rangka pelaksanaan
pembinaan dan pengembangan BPR terutama dalam pengembangan SDM BPR,
mewujudkan lembaga Apex, peningkatan efektifitas lembaga sertifikasi profesi,
serta peningkatan kerjasama dan koordinasi dengan berbagai instansi untuk
menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan BPR.

34
 Lembaga Apex

Lembaga Apex merupakan lembaga pengayom bagi BPR dengan menjalankan


fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mendukung operasional industri BPR agar
lebih efisien baik melalui pemberian bantuan likuiditas bagi BPR yang mengalami
liquidity mismatch dan bantuan dana untuk ekspansi BPR maupun bantuan teknis
antara lain seperti pelatihan, teknologi informasi, konsultasi menejemen, penyedia
jasa dalam sistem pembayaran bagi BPR anggota (terbatas) Pada bulan Agustus
2005 dibentuk Kelompok Kerja Apex untuk mempersiapkan pilot project Apex.
Hasil dari pilot project tersebut yaitu terdapat Lembaga Apex yang telah berjalan
di 5 wilayah pilot project meliputi Yogyakarta dengan pola BPR sebagai Leader,
Sumatra Barat dan jawa Barat dengan pola kerjasama dengan Bank Umum serta
Bali dan jawa Tengah dengan pola BPR Leader yang didukung oleh PT PNM.

Pada tahun 2007, upaya pembentukan Lembaga Apex BPR akan dilanjutkan
melalui pemantauan dan pertemuan teknis dengan penyelenggara Apex di 5
wilayah serta kemungkinan perluasan pelaksanaan Apex di wilayah lain. Apex
diharapkan mampu menjembatani keterbatasan BPR dalam mengoptimalkan peran
dan kontribusinya melalui sinergi pemberian bantuan teknis dan keuangan oleh
Apex kepada BPR anggotanya.

Untuk mewujudkan hal ini, upaya yang dilakukan diarahkan pada dua cara.
Pertama, mendorong optimalitas peran lembaga Apex yang telah terbentuk dan
sedang dalam proses pembentukan di wilayah Sumatera Barat (oleh BPD Sumatera
Barat), Bali (oleh Bank Andara) dan Riau (oleh BPD Riau). Kedua, memfasilitasi
pembentukan lembaga Apex di wilayah-wilayah yang lain dengan fokus utama
penjajagan bank umum yang berkantor pusat di daerah sebagai Apex bagi BPR di
wilayah setempat.

35
 Lembaga Sertifikasi Profesi

Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM BPR secara sistematis dan


berkelanjutan serta untuk mendukung aspek “fit” (kemampuan) SDM BPR maka
dilaksanakan CERTIF, yaitu Program Sertifikasi Profesional untuk BPR. LSP LKM
Certif merupakan lembaga yang bertugas untuk mengatur dan menetapkan sistem
sertifikasi dan telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang. Tujuan
utama pendirian lembaga sertifikasi ini untuk menjamin terlaksananya sistem
sertifikasi bagi direktur BPR, termasuk menjamin kualitas dan pelaksanaan sistem
sertifikasi; meningkatkan kualitas dan kemampuan profesionalisme SDM BPR.
Mulai tahun 2007 telah diimplementasikan program sertifikasi untuk calon Direktur
yang terdiri dari 14 modul.

 Meningkatkan Kapasitas BPR

Dalam rangka mendukung upaya pengembangan masyarakat pedesaan dan


untuk mendorong pembiayaan BPR ke sektor-sektor produktif, Bank Indonesia
telah dan akan melanjutkan penyelenggaraan seminar/workshop pembiayaan BPR
kepada sektor-sektor produktif seperti TKI dan sektor pertanian dengan tujuan
untuk memperluas wawasan Direktur BPR dan meningkatkan kemampuan teknis
Account Officer BPR dalam pelaksanaan pembiayaan pada sektor tersebut.

Hasil yang dicapai dari workshop pembiayaan BPR kepada sektor pertanian
yang telah dilaksanakan pada tahun 2005 yaitu BPR yang semula belum
menyalurkan kredit ke sektor pertanian, saat ini telah menyalurkan kredit ke sektor
pertanian dan BPR yang sebelumnya telah menyalurkan kredit ke sektor pertanian
mengalami peningkatan.

Sementara itu hasil yang dicapai dari workshop pembiayaan TKI yang
diselenggarakan pada tahun 2006 adalah pembiayaan TKI oleh BPR dengan negara
tujuan meliputi Malaysia, Singapura dan Arab Saudi. Kegiatan workshop
pembiayaan TKl oleh BPR direncanakan untuk tetap dilaksanakan pada tahun 2007
di beberapa wilayah yang merupakan kantong TKI terbesar di Indonesia.

36
 Mewujudkan Pemberdayaan dan Perlindungan Nasabah

Strategi pengembangan ini dimaksudkan untuk mendorong BPR agar


beroperasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat melalui pemberian
pelayanan dan informasi produk yang baik, sehingga nasabah BPR memahami
produk yang ditawarkan BPR dan terlindungi kepentingannya. Upaya yang
dilakukan meliputi melakukan pemantauan dan evaluasi ketentuan tentang
pengaduan nasabah, melakukan pemantauan dan evaluasi pedoman transparansi
informasi produk serta menjalankan dan bekerjasama dengan lembaga terkait untuk
melaksanakan edukasi bagi masyarakat mengenai BPR

 Penerapan KYC/AML BPR cukup baik.

BPR yang juga menghadapi risiko pencucian uang memiliki cakupan penilaian
terhadap implementasi KYC di yang mengacu pada faktor-faktor yang diterapkan
pada bank umum. Berdasarkan penilaian terhadap seluruh BPR, terlihat bahwa
profil rating pelaksanaan penerapan KYC/AML pada BPR cukup baik, tercermin
dari sebaran rating BPR yang mayoritas (71,2%) berada pada rating 1 sampai
dengan rating 3, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai
66%.

Gambar 8. Rating Pelaksanaan Penerapan KYC BPR, Tahun 2009

Sumber: Bank Indonesia, Data Diolah

37
Pengawas senantiasa melakukan pembinaan sebagai upaya mendorong BPR
untuk terus meningkatkan pelaksanaan prinsip KYC/AML pada banknya masing-
masing. Penerapan KYC/AML BPR cukup baik. BPR yang juga menghadapi risiko
pencucian uang memiliki cakupan penilaian terhadap implementasi KYC di yang
mengacu pada faktor-faktor yang diterapkan pada bank umum. Berdasarkan
penilaian terhadap seluruh BPR, terlihat bahwa profil rating pelaksanaan
penerapanKYC/AML pada BPR cukup baik, tercermin dari sebaran rating BPR
yang mayoritas (71,2%) berada pada rating 1 sampai dengan rating 3, meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 66%. Pengawas senantiasa
melakukan pembinaan sebagai upaya mendorong BPR untuk terus meningkatkan
pelaksanaan prinsip KYC/AML pada banknya masing-masing.

Peserta Fit and Proper Test BPR meningkat seiring pendirian BPR baru dan
pelaksanaan. Selama tahun 2009, peserta fit and proper test BPR new entry
sebanyak 1.063 peserta turun dengan tingkat kelulusan sebesar 74,7% turun
dibandingkan tahun lalu sebanyak 1.423 peserta. Sedangkan fit and proper test
existing dilakukan terhadap 196 peserta, dengan tingkat kelulusan 87,2% meningkat
dibandingkan tahun lalu sebesar 166 peserta. Secara umum, calon PSP dan calon
pengurus yang dinyatakan tidak lulus fit and proper test disebabkan tidak
memenuhi persyaratan administrasi, antara lain tercantum dalam Daftar Tidak
Lulus (DTL) dan/atau Daftar Kredit Macet (DKM), serta persyaratan kompetensi
dan/atau integritas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Tabel 3. Rekapitulasi Fit and Proper Test BPR

38
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah lembaga perkreditan bagi rakyat
yang memiliki tujuan meningkatkan iklim usaha dikalangan rakyat terutama
pengusaha kecil dan menengah. Sesuai dengan Undang-Undang No 7 Tahun
1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10/1998,
dalam UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa BPR adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Kegiatan usaha BPR terutama untuk melayani usaha-usaha kecil
dan masyarakat di pedesaan maka dari itu harus ada pengembangan BPR
dengan cara meningkatkan daya saing. Selain itu, BPR tidak hanya sekedar
menyalurkan kredit kepada para pengusaha mikro, kecil dan menengah, tetapi
juga menerima simpanan masyarakat. Dalam rangka peningkatan daya saing
dan jangkauan pelayanan BPR, upaya serta strategi yang dilakukan adalah
dengan memperkuat kelembagaan. Kelembagaan industri BPR perlu diperkuat
melalui potensi daerah, peningkatan permodalan BPR, kebijakan yang
mendorong penyebaran BPR di seluruh Indonesia, perluasan jaringan kantor
dan kerjasama dengan Bank Umum serta lembaga keuangan lain dalam rangka
penyaluran kredit kepada UMKM. Tidak hanya itu dalam meningkatkan daya
saing perlu adanya kredit MKM terutama untuk tujuan konsumsi.
Dengan demikian agar BPR dapat berkembang, BPR harus dikelola dengan
profesional dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada serta
melaksanakan pelaporan - pelaporan sebagai alat kontrol dalam manajemen
pengelolaan dan sebagai bentuk pertanggung jawaban pengelola kepada
pemilik. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai batas maksimum untuk
dana kepada pihak peminjam yang diatur oleh Bank Indonesia. Dalam
memberikan pinjaman, BPR diwajibkan memenuhi rasio untuk memberikan
modal pinjaman untuk modal UMKM.

39
Pengaturan dan pengawasan BPR dilakukan oleh Bank Indonesia untuk
mengoptimalkan fungsi BPR sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang
ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah
pedesaan. Dengan demikian pengaturan dan pengawasan BPR yang dilakukan
disesuaikan dengan karakteristik operasional BPR namun tetap menerapkan
prinsip kehati-hatian bank (prudential banking) agar tercipta sistem perbankan
yang sehat
Bank Indonesia juga terus mendorong pendirian BPR baru di luar Jawa dan
Bali agar masyarakat di seluruh pelosok Indonesia, khususnya sektor usaha
mikro, kecil dan menengah dapat merasakan manfaat pelayanan BPR. Hal ini
didukung oleh langkah kebijakan penetapan persyaratan modal disetor yang
lebih rendah untuk pendirian BPR di luar wilayah Jawa – Bali dibandingkan
pendirian di wilayah Jawa – Bali.

3.2 Saran
Supaya BPR dapat berkembang, BPR harus melakukan inovasi. BPR dapat
bekerja sama dengan bank umum atau perusahaan telekomunikasi untuk
meningktkan inovasi di bidang IT.

40
STUDI KASUS

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan


Rakyat (BPR) Sinarenam Permai Jatiasih (Komplek Grand Bekasi Centre Blok A
Nomor 15, Jalan Cut Meutia, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat) Pencabutan izin usaha
BPR Sinarenam Permai Jatiasih dikeluarkan melalui Keputusan Anggota Dewan
Komisioner (KADK) NomorKEP-186/D.03/2018 pada 8 November 2018.

Sebelumnya, sesuai dengan POJK Nomor 19/POJK.03/2017 dan Surat Edaran


Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 56/SEOJK.03/2017 yaitu tentang
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan BPR dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah, BPR Sinarenam Permai Jatiasih sejak 25 Juli 2018. BPR ini telah
ditetapkan menjadi status Dalam Pengawasan Khusus (BDPK) karena rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang kurang dari 0%.

Penetapan status BDPK tersebut disebabkan lemahnya pengelolaan


manajemen BPR yang tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan
asas perbankan yang sehat. Status tersebut ditetapkan dengan tujuan agar pengurus
atau pemegang saham melakukan upaya penyehatan. Namun, sampai batas waktu
yang ditentukan, upaya penyehatan yang dilakukan pengurus atau pemegang saham
untuk keluar dari status BDPK dan BPR dapat beroperasi secara normal dengan
rasio KPMM paling kurang sebesar 8 persen, tidak terealisasi. Dengan
mempertimbangkan kondisi keuangan BPR yang semakin memburuk dan
pernyataan ketidaksediaan dari Pemegang Saham dalam menyehatkan BPR
tersebut serta menunjuk Pasal 38POJK di atas, maka OJK mencabut izin usaha BPR
tersebut setelah memperoleh pemberitahuan dari Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS).

Dengan pencabutan izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Sinarenam Permai


Jatiasih, selanjutnya LPS akan menjalankan fungsi penjaminan dan melakukan
proses likuidasi sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga

41
Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2009.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap kasus tindak pidana perbankan


yang dilakukan oleh Komisaris PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Multi Artha
Mas Sejahtera (MAMS), berinisial H dengan nilai Rp 6,280 miliar. Dana tersebut
digunakan untuk kepentingan pribadi.

Diketahui, OJK sebagai otoritas pengatur dan pengawas lembaga jasa


keuangan telah mencabut izin usaha BPR Multi Artha Mas Sejahtera yang berada
di Kota Bekasi. Pencabutan izin ini dikeluarkan melalui keputusan Dewan
Komisioner (KDK) Nomor 16/KDK.03/2016 tanggal 21 Desember 2016 tentang
Pencabutan Izin Usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Multi Artha Mas Sejahtera.

Kepala Dapartemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan, Rokhmad Sunanto


mengungkap motif yang dilakukan Komisaris BPR MAMS tersebut yakni dengan
membuat catatan palsu pada pembukuan pelaporan keuangan. Dengan sengaja,
BPR MAMS tidak melakukan pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan
kegiatan usaha, transaksi ke rekenig perusahaan tersebut. Pada tahun 2013
komisaris BPR ini memang sudah punya niat jahat membuat atau membuka
rekening pribadi di BCA. Tujuannya dengan adanya rekening itu, dia
memerintahkan direktur oprasional untuk memindahkan keuangan dari BPR ke
rekening pribadi supaya bunganya lebih besar. Dalam melakukan penyidikan OJK
tidak serta merta langsung melakukan tindakan. Terlebih ada beberapa tahapan
yang dilakukan, yakni dengan cara melakukan pembinaan terlebih dahulu. Ketika
terjadi kekeliruan dilakukan pembinaan dulu. Tujuannya jangan sampai ada proses
hukum ke bank ini supaya tidak ada pengaruh keperekonomian negara.

Rokhmad melanjutkan, dalam kasus ini, OJK sebetulnya sudah menemukan


langkah-langkah dalam melakukan penindakan.

Sumber: Merdeka.com (Dwi Aditya Putra)

41
Penyelesaian :

Dalam kasus yang menimpa BPR Sinareman Permai Jatiasih di Bekasi telah
dilakukannya pencabutan izin usaha BPR yang dikeluarkan melalui Keputusan
Anggota Dewan Komisioner (KADK) nomor KEP-186/D.03/2018 pada 8
November 2018. BPR ini telah ditetapkan menjadi status Dalam Pengawasan
Khusus (BDPK) yang dikarenakan rasio kewajiban penyediaan modal minimum
BPR kurang dari 0% dan juga BPR lemah dalam melakukan pengelolaan
manajemen yang dimana tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dan pemenuh
asas perbankan yang sehat. Yang salah pada BPR Sinareman adalah karena
pengurus dan pemegang saham BPR tidak berusaha keluar dari status BDPK,
sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya sebagaimana BPR pada umumnya.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam memperbaiki sistem manajemen


yaitu meninjau proses bisnis perusahaan., meninjau struktur organisasi perusahaan,
meninjau sarana dan prasarana perusahaan, meninjau kembali komitmen dari
pimpinan perusahaan, meninjau manajemen modal, mengevaluasi penyebab
kurangnya modal yang dipunyai BPR dan lebih memperketat penyeleksian calon
nasabah.

Karena posisi modal bank dapat mempengaruhi keputusan-keputusan


manajemen dalam pencapaian laba. Jika modal bank terlalu tinggi nantinya akan
berpengaruh kurang baik terhadap perolehan jumlah laba meskipun pada
hakekatnya kondisi tersebut dapat menunjukkan bahwa struktur modal bank sangat
kuat. Tetapi modal yang terlalu besar dapat menunujukkan bahwa masih adanya
kemungkinan kapasitas dana yang masih menganggur ( idle fund ) dengan kata lain
bahwa bank masih mempunyai likuiditas yang terlalu tinggi. Berarti terdapat
kemungkinan bahwa bank masih kurang ekspansif dalam melakukan penjualan atau
kurang ekspansif dalam menyalurkan kreditnya. Disisi lain, modal yang terlalu
rendah juga membawa dampak negatif karena akan membatasi ruang gerak usaha
bank, juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat dan pihak berkepentingan
lainnya. Karena modal digunakan sebagai alat untuk menjamin kelangsungan usaha
bank dan menjamin para kreditur yang menyimpan dananya di Bank.

42
DAFTAR PUSTAKA

Cermati.com, T. E. (Ed.). (2015, Desember 7). Mengupas Perbedaan Bank Umum


dan BPR. Retrieved Maret 11, 2019, from Cermati.com:
https://www.cermati.com/artikel/mengupas-perbedaan-bank-umum-dan-
bpr
Latumaerissa, J. R. (2017). Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Mitra
Wacana Media.
Syah, Y. H. (2013, April). Kegiatan BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Retrieved
Maret 11, 2019, from Academia.edu:
https://www.academia.edu/5770648/MAKALAH_BPR_DAN_PERANA
NNYA?download
Totok Budisantoso, N. (2018). Bank dan Lembaga Keuangan Lain . Jakarta:
Salemba Empat.
Yunika Murdayanti, S. I. (2015). Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta:
Lembaga Pengembangan Pendidikan, UNJ.

43

Anda mungkin juga menyukai