Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PRESEPSI MASYARAKAT

MENGENAI PERAN APOTEKER DI APOTEK KECAMATAN BUMIAYU


KABUPATEN BREBES

Muhamad Wildan Oki Saputra1, Dr.Tjiptasurasa2, Wahyu Utaminingrum3


Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Program Studi Farmasi
e-mail : wildansaputra1995@gmail.com

ABSTRAK

Persepsi mempunyai peran yang sangat penting dalam menilai suatu mutu pelayanan
kesehatan, karena berdasarkan persepsi yang baik dari pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan
akan dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan menimbulkan pengaruh yang positif pada
pelayanan kesehatan tersebut. Apoteker memliki peran penting dalam pelayanan kefarmasian di
apotek, diantaranya apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku agar dapat menjalankan profesi secara profesional dan berinteraksi langsung kepada
pasien, termasuk untuk pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien yang
membutuhkan. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir rasional seseorang dalam
mempengaruhi keputusan, menggunakan, atau memanfaatkan suatu pelayanan kesehatan.
Seseorang dengan pendidikan rendah memiliki kecenderungan inkonsistensi persepsi yang tinggi
(tidak tetap pendirian), mudah dipengaruhi dibandingkan dengan seseorang dengan latar
belakang tinggi (jacobalis, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh
tingkat pendidikan terhadap presepsi masyarakat mengenai peran apoteker yang di apotek
Kecamatan Bumiayu. Metode penelitan ini termasuk deskriptif analitik dengan teknik
pengambilan sampel secara cross sectional menggunakan instrumen kuesioner. Hasil dan
kesimpulan dari penelitian yang dilakukan yaitu uji Kolmogorov- smirnov menunjukkan terdapat
hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan persepsi masyarakat mengenai peran
apoteker di apotek dengan nilai p – value 0,013.

Kata Kunci : Apoteker, Persepsi.

ABSTRACT

Perception has a very important role in measure the quality of the health services,
because of a good perception from a patient towards the health services quality will affect
patient’s satisfaction and gives a good effect to its health services. The pharmacist have an
important role in the services at pharmacis, which are the pharmacists are to required to
improve knowledge, skills, and attitude in order to doing the job professionally and interact
directly with the patient, including give an information about the medicine and counseling to the
patients who need it. The level of education may affect someone mindset to decide and use the
health services. A person with a low level of education tend to act unstable, easy to be affected
compare the someone with high education level (jacobalis, 2000). The research aiming to know
the effect of education level towards society perception regarding the pharmacists role in
Bumiayu pharmacies. This method of this research is analytic descriptive with sampling cross
sectional technique using questionnaire. The results and conclusions from this research which is
Kolmogorov- smirnov experiment showing that there is a significant relation between education
level and the society perception towards pharmacist role in pharmacy with p-value of 0,013.

Key words : Pharmacist, Perception


PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan mempunyai peranan strategis dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat (Sari, 2001). Pelayanan farmasi salah satu pelayanan kesehatan di
Indonesia yang dituntut berubah orientasi dari drug oriented menjadi patient oriented.
Kegiatan pelayanan farmasi yang semula berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi
harus diubah menjadi pelayanan yang komprehensif dan bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Kesembuhan pasien sebesar 25% diharapkan diperoleh dari
kenyamanan serta baiknya pelayanan apotek, sedangkan 75% berasal dari obat yang
digunakan pasien (Handayani et al., 2009) Keberadaan apoteker di apotek tidak hanya
terkait dengan permasalahan obat, namun apoteker dituntut untuk meningkatkan
pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku agar dapat menjalankan profesi secara professional
dan berinteraksi langsung dengan pasien, termasuk untuk pemberian informasi obat dan
konseling kepada pasien yang membutuhkan (City, Dominica, & Putra, 2016).
Persepsi mempunyai peran yang sangat penting dalam menilai suatu mutu pelayanan
kesehatan, karena berdasarkan persepsi yang baik dari pasien terhadap mutu pelayanan akan
dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan menimbulkan image yang positif kepada
pelayanan kesehatan tersebut (Kotler, 2007). Persepsi dapat dijadikan sebagai indikator
penilaian yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan, seperti yang tercantum pada
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasiaan di Apotek (Permenkes RI,2014). Apabila persepsi masyarakat terhadap
pelayanan yang di berikan baik maka akan mempengaruhi tingkat kepuasan pasien terhadap
apoteker yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (Farmasi, 2015)
Data tingkat pendidikan di Kecamatan Bumiayu menunjukkan bahwa angka tingkat
pendidikan pada kalangan tidak tamat sekolah terdapat 26.035 orang, tamat SD 31.032
orang,tamat SMP 21.156 orang, tamat SLTA/SMA 15.227 orang ,dan tamat
Diploma/Universitas 4.326 orang (Proyeksi Penduduk Badan Pusat Statistik Kecamatan
Bumiayu, 2016). Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir rasional seseorang
dalam mempengaruhi keputusan, menggunakan, atau memanfaatkan suatu pelayanan
kesehatan (Jacobalis, 2000). Seseorang dengan pendidikan rendah memiliki kecenderungan
inkonsistensi persepsi yang tinggi (tidak tetap pendirian), mudah dipengaruhi dibandingkan
dengan seseorang dengan latar belakang pendidikan tinggi. Pengetahuan dan harapan
seseorang terhadap pelayanan akan meningkat ketika tingkat pendidikan mereka semakin
tinggi, sehingga tingkat kepuasan sesorang dengan pendidikan tinggi akan menurun ketika
harapan tidak terpenuhi (Yurumezoglu, 2007).

METODOLOGI PENELITIAN
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
analitik dengan pendekatan cross sectional. Jenis penelitian cross sectional berusaha
mempelajari dinamika hubungan-hubungan atau korelasi antara faktor-faktor risiko dengan
dampak atau efeknya. Faktor risiko dan dampak atau efeknya diobservasi pada saat yang
sama, artinya setiap subyek penelitian diobservasi hanya satu kali saja dan faktor risiko serta
dampak diukur menurut keadaan atau status pada saat observasi. Sampel pada penelitian ini
adalah masyarakat Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes. Metode sampel dalam
penelitian ini adalah secara accidental sampling yaitu teknik pengambilan sampel
berdasarkan faktor spontanitas, artinya siapa saja yang secara tidak sengaja bertemu dengan
peneliti dan sesuai dengan karakteristik, maka orang itu dapat digunakan sebagai sampel
(Supardi, 2011). Sampel minimal yang harus diambil adalah 93 responden. Sampel dalam
penelitian ini adalah sebagian dari populasi masyarakat yang datang ke Apotek di
Kecamatan Bumiayu yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pengambilan data akan
dilakukan di 5 Apotek yaitu Apotek Sinar Sehat, Apotek Sido Waras Putra, Apotek Moro
Sehat, Apotek Mugi Waras dan Apotek Kalierang. Salah satu cara pengambilan sampel
yang representative adalah secara acak atau random. Pengambilan secara acak berarti setiap
individu dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan sampel
(Sukmadinata, 2006: 253). Sampel yang representatif, cara pengambilan sampel
menggunakan proposional random sampling yaitu pengambilan sampel secara proporsional
berdasarkan jumlah penduduk (Sugiyono, 2012). Tujuan utamanya agar semua populasi
terwakili. Jika pengambilan sampel tidak secara acak, maka tidak dapat dijamin bahwa
keseluruhan populasi dapat terwakili. Data pada peneliti ini diambil dengan menggunakan
kuesioner. Metode pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner tertutup. Kuesioner
tertutp yaitu kuesioner yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal
memilih (Arikunto, 2010)
PROSEDUR PENELITIAN
Tahap persiapan
Membuat materi yang akan digunakan untuk intervensi.,Perizinan, Mempersiapkan
kuesioner, uji validasi dan reliabilitas kuesioner.
Tahap Pelaksanaan
Setelah mendapatkan izin penelitian, penelitian dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal
yang telah direncanakan. Langkah pertama dengan mengumpulkan dan menelusuri data
masyarakat Bumiayu yang akan dijadikan sebagai responden. Data yang diambil yaitu
masyarakat yang sering datang ke apotek untuk membeli obat. Setelah didapat responden,
kemudian dilanjutkan dengan membagikan kuesioner kepada responden. Setelah diperoleh
hasil berupa jawaban dari kuesioner yang diberikan kepada responden, maka dapat
dilakukan analisis hasil penelitian..

Uji Validitas
1. Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu benar- benar yang
digunakan untuk uji coba sebaiknya yang memiliki ciri- ciri responden dari tempat di
mana penelitian tersebut harus dilaksanakan. Apotek yang digunakan untuk tempat
pengambilan data adalah apotek Mugi Waras di Kecamatan Paguyangan. Agar diperoleh
distribusi nilai hasil pengukuran mendekati normal, maka sebaiknya jumlah responden
untuk uji coba paling sedikit 30 orang dengan mengisi beberapa pernyataan kuesioner.
Perhitungan validitas dapat dilakukan dengan rumus korelasi person product moment,
yaitu:mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2012).
𝑁.∑𝑋𝑌− ∑𝑋.∑𝑌
R=
√[{𝑁∑𝑋²−(∑𝑋²)}{𝑁∑𝑌²−(∑𝑌²)}]

Keterangan:
R : Validitas soal
N : Jumlah responden atau sampel
∑Y : Jumlah skor pertanyaan nomor kesatu
∑X : Jumlah skor total
∑X.Y : Jumlah skor pertanyaan nomor kesatu dikalikan skor total
Hasil perhitungan dikonsultasikan dengan tabel korelasi. Apabila hasil perhitungan
lebih besar dari harga yang ada pada tabel, maka instrument dikatakan mempunyai
tingkat korelasi yang tinggi dan dinyatakan juga mempunyai validitas yang tinggi.
Teknik pengujian menggunakan program SPSS. 15.00.
Uji Reliabilitas
2. Uji realibilitas menurut Kerlinger (2006), mendefinisikan realibilitas sebagai stabilitas
dan kejituan (akurasi) ukuran-ukuran yang diperoleh dari suatu instrument pengukur.
Sedangkan Muslimin, (2002) mendefinisikan reliabilitas sebagai indeks yang
menunjukan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.
Dengan kata lain, reliabilitas menunjukan konsistensi suatu alat pengukur didalam
mengukur gejala yang sama. Metode yang digunakan untuk mengukur reliabilitas
instrument dalam penelitian ini adalah Metode Belah Dua (alpha-half method) yakni
suatu metode yang mengkorelasikan antara total skor pertanyaan yang ganjil lawan
genap, yang kemudian dilanjutkan dengan menghitung reliabilitasnya menggunakan
rumus “Alpha Cronbach” sebagai berikut:
𝑘 ∑𝑆𝑖²
ri= {1 − }
𝑘−1 𝑆𝑡²
Keterangan:
Ri : Reliabilitas instrument
K : Banyak butir pertanyaan
∑si2 : Jumlah varians butir
St2 : Varians total
Menurut Sugiono, pemberian interpretasi terhadap reliabilitas (ri) pada umumnya
digunakan patokan sebagai berikut:
Reliabilitas (ri) uji coba sama dengan atau lebih dari 0,70 berarti hasil uji coba tesnya
memiliki reliabilitas tinggi.
Reliabilitas (ri) uji coba dari 0,70 berarti hasil uji coba tesnya memiliki reliabilitas kurang
(un-reliable).
Analisis Data
Setelah data terkumpul, peneliti melakukan pengolahan data (editing, coding, entry,
cleaning), selanjutnya data dianalisis. Pengolahan dan analisis data menggunakan program
Stastical for Social Sciences (SPSS) for windows versi 17. Analisa data yang dilakukan secara
umum meliputi:
Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk menjelaskan secara deskriptif karakteristik responden yaitu
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan.

Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau
berkorelasi (Notoatmodjo, 2010). Analisis ini untuk mengetahui hubungan antar variabel
bebas dengan variabel terikat secara satu persatu dengan menggunakan tingkat
kepercayaan 95% dan tingkat signifikan (α)=0,05. Pertama menganalisis pengaruh
tingkat pendidikan. Kedua menganalisis persepsi masyarakat mengenai peran apoteker.
Analisis uji statistik dilakukan dengan bantuan program komputer. Analisis
menggunakan uji statistik chi-square, syarat uji chi-square adalah sel yang mempunyai
nilai expected kurang dari lima maksimal 20% dari jumlah sel. Jika nilai expected kurang
dari 20% maka di lakukan uji Kolmogorov- smirnov .Jika p < 0,05 maka secara statistik
disebut mempunyai pengaruh yang bermakna dan jika p > 0,05 maka secara statistik
disebut mempunyai pengaruh yang tidak bermakna (Arikunto, 2010).

Hasil Penelitian
1. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin adalah kelas atau kelompok yang terbentuk dalam satu spesies
sebagai sarana atau sebagai suatu akibat digunakannya reproduksi seksual untuk
mempertahankan keberlangsungan spesies tersebut (Depkes, 2009). Pada karakteristik
jenis kelamin peneliti membagi 2 kategori yaitu laki-laki dan perempuan.
Tabel 4.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Perempuan 55 59,1
Laki-laki 38 40,9
Total 93 100
Sumber: Hasil pengolahan data peneliitian, 2018
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil karakteristik responden pada
jenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada jenis kelamin laki-laki yaitu dengan
persentase 59,1 % , sedangkan pada jenis kelamin laki-laki memiliki persentase sebesar
40,9 %. Hal tersebut dikarenakan perempuan mempunyai kejadian dan resiko penyakit
yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki sehingga pasien yang datang ke Apotek
sebagian besar berjenis kelamin perempuan (Ade Nurma dan Djazully,2015). Selain itu,
mayoritas responden yang berjenis kelamin perempuan memiliki angka kerja lebih kecil
dibandingkan dengan laki-laki sehingga kesediaan meluangkan waktu untuk pelayanan
kesehatan juga jauh lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Kotler dan
Keller (2009) menyatakan bahwa pekerjaan dan keadaan ekonomi suatu keluarga adalah
pengaruh besar terhadap perilaku konsumen.
2. Karakteristik responden berdasarkan usia
Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu
benda atau makhluk, baik yang hidup maupun sudah mati (Depkes RI, 2009).
Tabel 4.2 Karakteristik responden berdasarkan usia
Usia (tahun) Jumlah Persentase (%)
20-26 37 39,8
27-33 39 41,9
34-40 12 12,9
41-47 5 5,4
Total 93 100
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa mayoritas responden yang datang ke
Apotek pada kelompok usia dewasa yaitu (20-33 tahun), hal ini disebabkan karena pada
usia tersebut pasien lebih mudah untuk mengakses pelayanan kesehatan. Umur dewasa
memiliki cara berfikir dan mengambil keputusan yang optimal dan mandiri. Selain itu,
menurut Budiman dan agus (2013) umur mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir
seseorang, semakin bertambahnya umur maka informasi yang ditangkap akan semakin
baik. Semakin tua usia seseorang maka daya tangkap dan mentalnya akan semakin baik
oleh karena itu akan mempengaruhi persepsinya, tetapi pada usia lanjut seseorang akan
mengalami penurunan daya tangkap dan daya ingat oleh sebab itu tingkat persepsinya
akan semakin menurun.

3. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan


Tabel 4.3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan Jumlah Persentase (%)
Tidak sekolah 10 10,8
SD 25 26,9
SMP 29 31,2
SMA 23 24,7
Diplom/S1 6 6,5
Total 93 100
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2018
Pendidikan adalah pembelajaran, pengetahuan, ketrampilan, dan kebiasaan
sekelompok orang yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
pengejaran, pelatihan atau penelitian (Depkes RI, 2009). Pada karakteristik tingkat
pendidikan, peneliti membagi tingkat pendidikan responden menjadi 5 kategori yaitu
tidak sekolah, Lulus SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Dari hasil tabel 4.3
menunjukkan bahwa responden paling banyak memiliki pendidikan SMP dengan
frekuensi 31,2%. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden
memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan
manusia untuk menambah wawasan atau pengetahuan diri seseorang, dimana semakin
tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah menrima informasi yang
diperoleh (Budiman, 2013).
A. Hubungan tingkat pendidikan dengan persepsi masyarakat mengenai peran apoteker
Tabel 4.5 Hubungan tingkat pendidikan dengan persepsi masyarakat
Persepsi
Tingkat Pendidikan
Baik Buruk Total
Tidak Sekolah 2 8 10
SD 15 10 25
SMP 23 6 29
SMA 18 5 23
Tamat 6 0 6
Diploma/Universitas
Total 64 29 93
p = 0,013

Dari table 4.5 dapat diketahui analisis uji Kolmogorov- smirnov didapatkan nilai p-
value 0,013 dimana tingkat signifikan kurang dari 0,05. Akan tetapi tidak memenuhi syarat
uji chi-square karena sel yang mempunyai nilai expected 30% dari jumlah sel. Jika nilai
expected kurang dari 20% maka di lakukan uji Kolmogorov- smirnov. Hasil tersebut
membuktikan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan
persepsi masyarakat mengenai peran apoteker di apotek.
Hasil peneliitian ini didukung oleh penelitian Laith (2011) di Jordania, dengan hasil
bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi pasien terhadap kualitas pelayanan.
Menurut Notoatmodjo (2010) faktor yang berpengaruh pada persepsi ada dua macam yaitu
faktor eksternal dan faktor internal, dimana faktor eksternal meliputi kontras, perubahan
intestinal, pengulangan, sesuatu yang baru sedangkan faktor internal dipengaruhi oleh
pengalaman atau pengetahuan, harapan, kebutuhan, motivasi, emosi serta budaya. Menurut
Notoatmodjo (2010), membuktikan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap pelayanan kesehatan.
Menurut Jacobalis (2000), tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir
rasional seseorang dalam mengambil keputusan, menggunakan, atau memanfaatkan suatu
pelayanan kesehatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang
semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya semakin banyak pula
pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkat pendidikannya rendah,
akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan
nilai-nilai yang baru diperkenalkan.
Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat maka semakin tinggi pula
harapan dan tuntutannya terhadap pelayanan kesehatan. Seseorang dengan pendidikan
tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih dan semakin mengarti arti kesehatannya,
sehingga semakin kritis terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Hal ini akan
mempengaruhi persepsinya terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya. Sedangkan
masyarakat yang berpendidikan rendah, cenderung memiliki pengetahuan yang kurang
dan mudah dipengaruhi dibandingkan dengan masyarakat berpendidikan tinggi, sehingga
masyarakat dengan pendidikan rendah cenderung menerima pelayanan kesehatan tanpa
tuntutan yang lebih, hal ini akan mempengaruhi persepsinya terhadap pelayanan
kesehatan yang diterimanya dimana pasien dengan pendidikan rendah akan memiliki
persepsi yang buruk terhadap pelayanan yang diterimanya.

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat pendidikan dengan persepsi masyarakat mengenai peran apoteker di
apotek yaitu dengan nilai p – value 0,013.

B. Saran
1. Bagi Apoteker
Apoteker perlu lebih aktif berperan dan menunjukan tanggung jawab dalam
pelayanan kefarmasian karena saat ini pelayanan yang dilakukan apoteker belum selalu di
rasakan pasien

2. Bagi Peneliti Selanjutnya


Dapat dilakukan penelitian sejenis akan tetapi perlu ditambahkan variabel yang
mempengaruhi persepsi selain tingkat pendidikan contohnya pengalaman atau
pengetahuan, harapan, kebutuhan, motivasi, emosi serta budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Ade, N. R., Djazully, C. 2015. Hubungan Karakteristik Individu Terhadap Penilaian Kualitas
Produk Apotek Rawat Jalan. 3 (2) ; 1 – 10.

Riduwan. 2011. Rumus dan Data Dalam Aplikasi Statistika. Bandung. Alfabeta.

Arikunto, S. 2000. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta.
P.96.

Arikunto, S. 2010. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Badan Pusat Statistik, 2016. Data tingkat pendidikan masyarakat Bumiayu.

Budiman, A. 2013. Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika

City, P., Dominica, D., & Putra, D. P. (2016). Pengaruh Kehadiran Apoteker Terhadap
Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota Padang, 3(1), 99–107.
Dahlan, S. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran
dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika

Farmasi, F. (2015). PERSEPSI PASIEN TERHADAP PELAYANAN SWAMEDIKASI OLEH


APOTEKER DI BEBERAPA APOTIK WILAYAH SURABAYA SELATAN Immas Alfa
Nur Izzatin, 4(2), 1–15.
Handayani, R. S., Gitawati, R., Sistem, P., Litbangkes, B., Ri, D., Biomedis, P., … Ri, D. (2009).
DI TIGA KOTA DI INDONESIA, 13(1), 22–26.

Izzatin, I. A. N. 2015.Persepsi pasien terhadap pelayanan swamedikasi oleh apoteker


dibeberapa apotek wilayah surabaya selatan, Calyptra, Volume 4(2), Surabaya.

Jacobalis, S. (2000). Kumpulan Tulisan Terpilih Tentang Rumah Sakit Indonesia dalan
Dinamika Sejarah, Transformasi, Globalisasi dan Krisis Nasional. Jakarta: Yayasan
Penerbit IDI.
Much Ilham N.A.W., et al. 2016. Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Kriteria Apoteker
Puskesmas Di Tiga Kabupaten : Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap Tahun 2015.
Jurnal Pharmacy. 13 (1) : 1 – 25.
Nita, Y., et al. 2008. Kinerja Apotek dan Harapan Pasiem Terhadap Pemberian Informasi Obat
Pada Pelayanan Swamedikasi di Beberapa Apotek di Surabaya. Majalah Farmasi
Airlangga. 6 (2) : 41-44.
Ristya, W. E. 2011. Uji Validitas dan Reliabilitas Dalam Penelitian Epidemiologi Kedokteran
Gigi. Stomatognatic (J.K.G.Unej). 8 (1) : 27 – 34.
Titien S.H., et al. 2013. Pemahaman Masyarakat Kecamatan Mergangsan Gondokusuman,
Umbulharjo dan kota Gede Yogyakarta Terkait Antibiotika. Jurnal Farmasi Sains dan
Komunitas. 10 (1) : 22-28.
Yurumezoglu A.H. (2007). Nurses’ Job Satisfaction and Patients’ Satisfaction with Nursing
Serices In Inpatient Treatmen Institutions. Dokuz Eylul University Institute of Health
Sciences, Msc. Thesis, Turkey.

Anda mungkin juga menyukai