08e00731 PDF
08e00731 PDF
Disusun Oleh
1
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
TUBERKULOSIS PARU RESISTENSI GANDA
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan
basil Mycobacterium tuberculosis dan menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang penting di dunia ini1,2. Pada tahun 1992 World Health
Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai ‘Global
Emergency’. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi
di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila
dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk2.
Di Indonesia, TB menduduki peringkat ke-3 dengan prevalensi tertinggi di
dunia setelah Cina dan India. Kematian oleh karena TB ini terutama
terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia TB menduduki
peringkat ke-3 sebagai penyebab kematian3.
Di Amerika Serikat (AS) sejak ditemukan dan kemudian
berkembangnya obat anti tuberkulosis (OAT) yang cukup efektif, TB dapat
ditekan jumlahnya. Akan tetapi sejak tahun 1989-1992 timbul kembali
peningkatan penyakit ini, yang dikaitkan dengan peningkatan epidemi
HIV/AIDS, urbanisasi dan migrasi akibat resesi melanda dunia.
Bersamaan dengan peningkatan penyakit ini timbul masalah baru yaitu TB
dengan resistensi ganda (Multidrug Resistant Tuberculosis / MDR TB)4.
“WHO Report on Tuberculosis Epidemic 1995” menyatakan bahwa
resistensi ganda kini menyebar dengan sangat cepat di berbagai belahan
dunia5. Pada gambar 1 menunjukkan prevalensi TB resistensi ganda di
berbagai belahan dunia6. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi
oleh kuman tuberkulosis khususnya Rifampisin dan isoniazid (INH), serta
kemungkinan pula ditambah obat TB yang lainnya5. Pada pengelolaan TB
2
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
Gambar 1. Atas (A) : Prevalensi TB resistensi ganda pada kasus-kasus baru dari 1994-2002.
Bawah (B) : Prevalensi TB resistensi ganda pada kasus yang telah diberikan obat sebelumnya
dari 1994-2002 (dikutip dari 6).
3
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
Rumah Sakit Dr.Rotinsulu Bandung tahun 2005, terdapat 28,2% resisten
rifampycin dan isonoazid;17,8% resisten rifampycicn-isoniazid-ethambutol
(R-H-E); 13,8% resisten ryfampicin-isoniazid-ethambuol-pyrazinamid (R-
H-E-Z); 10,3% resisten ryfampicin-isoniazid-ethambutol-pyrazinamid-
streptomycin (R-H-E-Z-S)7. Sementara di Medan, Tanjung A dan Keliat
E.N melaporkan (1994) pola resistensi primer terhadap gabungan 2
macam obat H-E (10,34%), S-E (3,45%), E-R (17,2%); dan gabungan 3
macam obat yaitu masing-masing S-H-E dan S-E-R berkisar 3,45%.
Sedangkan gabungan 2 macam obat (S-H, S-R, R-H), 3 macam obat (H-
E-R dan S-H-R) serta 4 macam obat lainnya (R-H-E-S) masih sensitif8.
Pada makalah ini selanjutnya akan dibahas mengenai apa itu TB
paru dengan resistensi ganda, mekanisme resistensi, diagnosis, hingga
penatalaksanaannya.
DEFINISI
TB dengan resistensi ganda dimana basil M.tuberculosis resisten
terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya2,9,10,11.
TB resistensi ganda dapat berupa resistensi primer dan resistensi
sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang
tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai
khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi
sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang
sebelumnya sesnsitif obat1,12.
4
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
Mutasi baru dalam pertumbuhan populasi basil menyebabkan resistensi
obat yang banyak bila terapi yang tidak adekuat terus berlanjut. Pasien TB
dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana
orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi
difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih
cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan
terlambatnya penegakkan diagnostik. Resistensi obat yang primer dan
sekunder dapat diimpor, khususnya dari negara dengan prevalensi yang
tinggi dimana program kontrol tidak adekuat. Resistensi obat primer,
seperti halnya resistensi sekunder, dapat ditransmisikan ke orang lain jadi
dapat menyebarkan penyakit resistensi obat di dalam komunitas13.
Koloni M.tuberculosis
1 Mutasi alamiah
Mutan resisten
Resistensi obat TB
sekunder (multipel)
Infeksi HIV
3a Transmisi secara Kontrol infeksi yang tidak adekuat
droplet Diagnostik yang terlambat
3b
Transmisi yang lebih jauh
Gambar 2. Tiga tahap perkembangan dan penyebaran MDR TB. Keempat masalah tersebut
berasal dari pasien yang resisten primer dan sekunder pindah ke daerah kontrol (dikutip dari 13)
5
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT
2,5
yaitu :
• Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
• Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya
yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi
yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan
rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap
kedua obat tersebut sudah cukup tinggi.
• Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau
tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian
bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan
lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
• Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam
suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu
terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama,
maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan
menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
• Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan
secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
• Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan.
6
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen
katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal
sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan
berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase14.
7
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana
asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah
oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat14.
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya
aktivitas pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah
menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini
berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan
14,15
pyrazinamidase .
8
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang
lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi
pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang
resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang
terhadap capreomysin maupun amikasin14.
DIAGNOSIS
Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda dicurigai kuat jika kultur
basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur
kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran
demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB
paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi,
terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai standar terapi; 2) Kontak
dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau kambuh; 4)
Inveksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap dengan
wabah MDR TB12.
Diagnosis TB resistensi ganda tergantung pada pengumpulan dan
proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi
diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi
sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitiviats
terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium
rujukan yang memadai12.
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat
pada TB. Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan
metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis.
Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama
untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi
baru. Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan
genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah
mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini
dipertimbangkan sebagai petanda TB resistensi ganda khususnya pada
9
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
suasana dengan prevalensi TB resistensi ganda yang tinggi. Sementara
metode fenotipik , di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana
dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi
klinik secara rutin15.
Tabel 1. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT(dikutip dari 15)
Metode fenotipik konvensional Metode fenotipik baru Metode genotipik
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan TB resistensi ganda ini memerlukan seorang
spesialis yang ahli dibidangnya6,16. Tiga hal penting dan perlu diperhatikan
pada penatalaksanaan TB resistensi ganda adalah teknik diagnostik,
pemberian obat, dan kepatuhan16. Dengan pemilihan panduan obat yang
tepat maka diharapkan separuh penderita TB resistensi ganda ini akan
sembuh dan bisa diselamatkan kemungkinan terjadinya kompilkasi dan
kematian. Untuk dapat menyusun panduan yang tepat bagi setiap
penderita diperlukan beberapa informasi mengenai hasil tes resistensi
kuman tuberkulosis, riwayat pengobatan dan pola resistensi kuman di
lingkungan masyarakat penderita menetap. Bila data resistensi baru tidak
ada maka data resistensi lama dapat dipakai apabila belum ada OAT yang
dipakai penderita setelah tes resistensi dilakukan atau OAT yang dipakai
setelah tes resistensi tersebut memang terbukti terdiri dari paduan obat
yang masif sensitif. Bila tidak didapat tiga obat yang sensitif maka OAT
yang dipilih adalah yang belum pernah dipakai penderita dan menurut
data resistensi di mana penderita bertempat tinggal jarang yang resisten4.
10
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
Pengobatan berbasis rumah sakit dianjurkan setidaknya hingga
konversi sputum, kemudian setelah keluar rumah sakit, program DOT
dijalankan terutama pada kasus resistensi didapat dan sebelumnya
terbukti tidak patuh16. Konsep DOTS (Directly Observed Treatment Short
Course) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin
keteraturan berobat penderita dan menanggualngi masalah tuberkulosis
khususnya resistensi ganda ini5,12,16. Program DOTS-plus untuk TB
resistensi ganda memerlukan modifikasi pada lima komponen strategi
DOTS6 (tabel 2). Dalam pengawasan hasil terapi, harus dipahami bahwa
perbaikan terjadi lebih lambat bila dibandingkan tanpa TB resistensi
ganda, namun pada beberapa serial kasus didapatkan kultur sputum
konversi negatif setelah 2-3 bulan terapi16.
Tabel 2. Perbandingan antara Prinsip Strategi DOTS dasar dgn DOTS-plus*(dikuti dari 6)
* DOTS-plus merupakan komponen yang utuh dari program kontrol tuberkulosis nasional yang telah
ada yang dimplementasikan melalui program infrastuktur
11
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
(evidence-based medicine) pada penderita TB resistensi ganda belum ada
yang pasti. Pemberian OAT telah disebutkan menurut panduan
internasional yang didasarkan pada studi-studi yang telah dijalankan18
(tabel 3).
12
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
Tabel 4. Regimen yang potensial untuk penderita TB dengan berbagai bentuk resistensi (dikutip dari 16)
Tabel 5. Formulasi, dosis, tipe aktivitas dan bukti evaluasi klinis obat yang dapat
digunakan pada terapi TB resistensi ganda(dikutip dari 16)
13
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
Untuk pemilihan obat lini kedua disarankan berdasarkan aktivitas
intrinsik obat terhadap M.tuberculosis dan efikasinya terhadap klinis (tabel
6). Durasi terapi ditentukan berdasarkan setiap individu, tetapi secara
umum, sebaiknya diberikan minimal 18 bulan setelah konversi sputum.
Menurut kerentanan obat-obat M.tuberclosis pada saat awal, penarikan
obat satu atau lebih bisa saja dilakukan selama terapi tanpa
memperkirakan akibatnya nanti, tetapi obat bakteriostatik dan yang tidak
mempunyai efek bakterisid sebaiknya diperpanjang, jika efek samping
tidak dapat ditolerir yang menjadi alasan mengapa regimen tersebut
direvisi (contoh : aminoglikosida, cycloserine) 16.
Tabel 7. Hasil akhir terapi TB resistensi ganda dengan OAT lini kedua (dikutip dari 18)
14
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
Dari data National Jewish Centre for Immunology and Respiratory
Medicine pada tahun 1983-1990, berdasarkan operasi pada 57 penderita
TB resistensi ganda ternyata 45 penderita dinyatakan sembuh.
Berdasarkan laporan tersebut jelas bahwa tindakan operasi mempunyai
peran yang besar dalam penanganan TB resistensi ganda4. Berbagai
prosedur pembedahan dilakukan terhadap pasien TB paru resistensi
ganda, mulai dari reseksi segmental sampai pleuro-pneumonectomy.
Berdasarkan pengalaman yang ada, tindakan operasi pada penderita TB
paru resistensi ganda dengan resiko mortalitas rendah (< 3%). Tetapi
angka komplikasi yang terjadi cukup tinggi dimana fistula bronkopleural
dan empiema yang menjadi komplikasi utama. Lebih dari 90 persen
pasien pemeriksaan sputumnya menjadi negatif setelah dilakukan
tindakan operasi. Pembedahan reseksional saat ini direkomendasikan
pada penderita TB paru resistensi ganda yang terapi dengan obat-obatan
cukup jelek. Indikasi pembedahan yaitu (1) Kultur sputum positif yang
menetap meskipun sudah diterapi dengan obat yang cukup banyak; dan
atau (2) adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan dengan
kegagalan terapi atau bertambahnya resistensi; dan atau (3) adanya
kavitasi lokal, nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru
yang disetujui untuk dilakukannya operasi tanpa adanya insufisiensi
respiratori dan atau hipertensi pulmonal yang berat. Hal tersebut dilakukan
setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan regimen obat-obatan,
dimana diharapkan status sputum menjadi negatif jika memungkinkan.
Dengan tindakan operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat
diperbaiki daripada dengan meneruskan terapi obat-obatan saja.
Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap dilanjutkan setelah
operasi dilakukan, kemungkinan dalam waktu setahun lebih, sebaliknya
ketahanan hidup yang jelek mungkin saja terjadi19.
Penderita TB resistensi ganda sering mengalami kakeksia,
terutama pada penderita dengan infeksi HIV (Human Immunodeficiency
Virus). Mekanisme hilangnya berat badan tersebut dikaitkan dengan
Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), yang menginduksi terjadinya demam
15
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
dan kerusakan jaringan sehingga mempengaruhi respon katabolik. Selain
itu obat-obatan seperti pyrazinamide dan golongan fluoroquinolon
menyebabkan anoreksia, nausea, vomiting, dan diare yang menganggu
masukan makanan yang selanjutnya akan memperparah keadaan
katabolik. Peranan nutrisi menjadi faktor yang penting dalam penanganan
pasien dengan TB resistensi ganda, khususnya pada pasien-pasien yang
hendak menjalani operasi paru. Walaupun belum ada bukti yang jelas,
tetapi malnutrisi diperkirakan menjadi faktor resiko yang besar untuk
mengalami komplikasi pasca operasi19.
Modifikasi sistem imun pada pasien tuberkulosis dapat
memfasilitasi kesembuhan. Oleh karena itu ada beberapa penelitian yang
mencari tahu agen-agen yang berpotensial sebagai imunoterapi, di
anataranya vaksinasi Mycobacterium vaccae. Hasil sementara yang
diamati ketika imunitas membaik dengan memberikan vaksinasi M.vaccae
sebagai terapi penderita TB yang gagal dengan obat-obatan. Hal tersebut
didalilkan bahwa M.vaccae kembali merespon imun seluler secara
langsung dari jalur dominan Th-2 ke Th-1 yang menyebabkan sedikitnya
destruksi jaringan dan lebih efektif menginhibisi replikasi mikobakterial.
Walaupun begitu, kelanjutan hasil ini belum dikonfirmasi dari penelitian
lanjutan. Selain itu terapi sitokin juga telah dicoba sebagai terapi TB
dengan resistensi ganda. Data belakangan ini menunjukkan bahwa
pemberian interferon gamma (IFN-γ) dan interferon alfa (IFN-α) cukup
bermanfaat. IFN-γ disekresikan sel Th CD4+ yang memiliki efek
antituberkulosis. Sebagai tambahan, IFN-α dapat menginduksi IFN- γ
yang disekresi oleh sel Th CD4+, dan kedua tipe IFN tersebut dapat
menstimulasi aktivitas makrofag. IFN- γ aerosol (500μg, tiga kali sehari)
secara klinis memberikan respon pada penderita TB dengan resistensi
ganda. Keuntungan yang didapat termasuk konversi sputum menjadi
negatif tidak memakan waktu yang lama, menghambat pertumbuhan
kuman pada kultur, dan mengurangi kavitas. Sementara pemberian IFN-α
aerosol (3 MU, tiga kali seminggu) untuk dua bulan sebagai terapi
tambahan pada penderita yang tidak respon terhadap obat lini kedua yang
16
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
telah diobati selama 6 bulan, memberikan hasil sementara yaitu
penurunan jumlah koloni kuman per kultur. Data sebelumnya juga
mendukung bahwa IFN-α aerosol merupakan terapi tambahan yang
menjanjikan terhadap penderita TB dengan resistensi ganda. Penelitian
lanjutan diperlukan untuk mengetahui persis dosis yang optimal dan
jadwal pemberian. Selain itu sitokin lainnya, interleukin 2 (IL-2), diyakini
aktivitasnya terhadap meningkatnya produksi IFN-γ. Pemberian
recombinant human IL-2 (rhu IL-2) sebagai terapi tambahan setiap hari
dikatakan dapat menurunkan atau membersihkan jumlah kuman pada
sputum sekitar 62 persen penderita dan sekitar 58 penderita mengalami
perbaikan gambaran foto thoraks setelah enam minggu pengobatan19.
PROGNOSIS
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui
prognosis pada penderita TB resistensi ganda. Dari beberapa studi yang
ada menyebutkan bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua,
malnutrisi, infeksi HIV, riwayat menggunakan OAT dengan jumlah yang
cukup banyak sebelumnnya, terapi yang tidak adekuat (< 2 macam obat
yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita
tersebut6.
Dengan mengetahui beberapa petanda di atas dapat membantu
klinisi untuk mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki
hal yang menjadi penyebab seperti malnutrisi6.
KESIMPULAN
TB resistensi ganda dimana terjadi resistensi minimal terhadap obat
rifampicin dan isoniazid kini menyebar dengan sangat cepat di berbagai
belahan dunia. Teknik diagnostik, pemberian obat dan kepatuhan
penderita sangat penting dalam tatalaksana TB dengan resistensi ganda
ini.
17
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam
obat. Pilihan obat yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih
sensitif disertai obat lini kedua berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap
kuman M.tuberculosis. Pembedahan perlu dipertimbangkan bila setelah 3
bulan terapi OAT tidak terjadi konversi negatif sputum. Pemberian nutrisi
yang baik dan modifikasi sistem imun (dengan vaksin M.vaccae dan
sitokin) dapat membantu keberhasilan terapi, tetapi hal ini diperlukan
penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al
(eds), Baum’s Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot
William and Wilkins Publisher, Boston, 2003.
2. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.
3. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo AW, dkk
(eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II, edisi IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006.
4. Tanjung A. Pengelolaan MDR TB dalam Workshop Pengelolaan
Tuberkulosis Paru dengan Penyulit dan Keadaan Khusus.2001.
5. Aditama TY. Tuberkulosis : Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya,
edisi V. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.2005.
6. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis : A
Menace That Threatens To Destabilize Tuberculosis Control.
CHEST 2006; 130:261–272.
7. Andra. Kupas Tuntas Tuberculosis dalam Simposia Update on
Tuberculosis and Respiratory Disorder. Juni 2007.
8. Tanjung A, Keliat EN. Resistensi primer kuman tuberkulosis
terhadap beberapa obat yang sering dipakai pada penderita
tuberkulosis paru dewasa. Medan. 1994.
18
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008
9. Blanc AT, et al. Management of Chronic and Multi Drug
resistance cases in Treatment of Tuberculosis : Guidelines for
national programmes, 3rd ed,.WHO. Geneva.2003.
10. Iseman MD. Mycobacterial Diseases of the Lungs in Hanley M,
Welsh CH (eds), Current Diagnosis and Treatment in Pulmonary
Medicine. Mc Graw Hill. New York. 2003.
11. Iseman MD. Tuberculosis in Goldman L, Ausiello D (eds), Cecil
Textbook Medicine.
12. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future
dalam Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja
Pertemuan Ilmiah Berkala. PERPARI. Bandung. 2006.
13. Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) ,
Crofton and Douglas’s Respiratory diseases Vol 1, 15th ed.
Berlin.2000.
14. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL,
Braunwald E (eds), Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th
ed. Mc Graw Hill. New York. 2004.
15. Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance
detection in Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic
science to patient care, 1st ed. www.textbookcom. 2007.
16. Perri GD, Bonora S. Which Agents Should We Use For The
Treatment of Multi Drug Resistant Mycobacterium
Tuberculosis?. Journal of Antimicrobial chemoteraphy (2004) 54,
593-602.
17. Gerberding JL, et al. Treatment of Tuberculosis. Department of
Health and Human services Centers for Disease Control and
Prevention. MMWR. Atlanta. 2003.
18. Loddenkemper R, Sagebiel D.,Brendel A. Strategies against
multidrug-resistant tuberculosis. Eur Respir J 2002; 20: Suppl.
36, 66s–77s.
19. Sharma SK, Mohan A. Multidrug resistant Tuberculosis. Indian J
Med Res 120, Oct 2004, 354-76.
19
Dr. Heny Syahrini : Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, 2008
USU e-Repository © 2008