www.pemantauperadilan.com 1
Opini
www.pemantauperadilan.com 2
Opini
www.pemantauperadilan.com 3
Opini
www.pemantauperadilan.com 4
Opini
www.pemantauperadilan.com 5
Opini
Namun hal itu tidak menjadikan Gus Dur membatalkan niatnya membentuk
Ombudsman. Memang pada awalnya ada perubahan dari rencana semula, karena
Kepres Nomor 155 Tahun 1999 yang semestinya dimaksudkan menjadi landasan
hukum pembentukan Ombudsman justru “berbelok” menjadi pembentukan Tim
Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Perubahan tersebut menunjukkan
bahwa pada awalnya tampak seperti ada keraguan dari orang-orang sekitar Gus Dur
apakah dalam kondisi politik saat itu, tanpa dipersiapkan sedemikian rupa,
Ombudsman dapat efektif menjalankan fungsi pengawasannya. Namun secara
substansi pada dasarnya Gus Dur tidak pernah menolak pembentukan Ombudsman
yang telah ia persiapkan bersama Marzuki Darusman dan Antonius Sujata, hingga
akhirnya dikeluarkanlah Keppres (pengganti) Nomor 44 Tahun 2000 tentang
pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.
Dalam perkembangannya, meskipun diangkat melalui Keputusan Presiden,
Ombudsman memang tidak takut berbeda pendapat dengan Gus Dur sebagai
Presiden kala itu. Sikap tersebut ditunjukkan para Anggota Ombudsman pada saat
terjadi polemik berkepanjangan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung. Saat
itu Gus Dur sebagai Presiden tidak berkenan menetapkan dan mengangkat satu dari
dua orang calon Ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR. Dalam hal ini,
Ombudsman menegaskan berbeda pendapat dengan Gus Dur dan menyatakan
bahwa berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, khususnya
pasal 8 ayat (1), yang pada dasarnya bersifat imperatif, maka semestinya Gus Dur
selaku Presiden waktu itu dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara wajib
menentukan salah satu dari dua calon yang telah diusulkan oleh DPR, karena pasal
tersebut tidak memberikan alternatif tindakan lain yang dapat dilakukan Gus Dur
sebagai seorang Presiden (Sujata dan Surachman: 2003: 10-11). Oleh karena itu
kemudian Ombudsman memberikan rekomendasi yang isinya menyarankan agar
Gus Dur selaku Preseden memilih dan menetapkan satu dari dua calon yang sudah
diusulkan oleh DPR. Dan ternyata Gus Dur mengikuti saran Ombudsman dengan
www.pemantauperadilan.com 6
Opini
memilih Prof. DR. Bagir Manan, S.H, MCL sebagai Ketua Mahkamah Agung yang
baru. Dengan demikian selesailah polemik yang berkepanjangan di masyarakat.
Sejak awal Ombudsman memang memilih untuk bersikap low profile. Sikap
ini didasari atas pertimbangan bahwa Ombudsman masih dalam proses membangun
kapasitas kerja dan secara politis kedudukan Keputusan Presiden juga sangat rentan
terhadap “fluktuasi” politik yang berkembang saat itu. Tindakan high profile tanpa
didasari perhitungan matang justru akan menjadi kontra produktif bagi Ombudsman
yang sedang membangun eksistensi. Bagaimanapun, bila dibandingkan dengan
Undang-Undang, Keputusan Presiden lebih lemah kedudukannya karena dapat dan
lebih mudah dicabut sewaktu-waktu. Strategi low profile tersebut membuahkan
hasil bagi semakin kuatnya dukungan terhadap eksistensi Ombudsman, dari mulai
pencantuman ombudsman dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang
Propenas[2] sampai dengan diterbitkannya TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 yang
memberi mandat kepada eksekutif dan legislatif agar menyusun Undang-Undang
Ombudsman.
Bahkan yang terakhir, Komisi Konstitusi memasukkan usulan pasal tentang
Ombudsman dalam naskah amandemen UUD 1945 yang mereka susun dan telah
diserahkan kepada MPR RI. Usul pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD
1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukan dalam pasal Pasal 24 G ayat (1), berbunyi:
Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna mengawasi
penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat. Dan Ayat (2) berbunyi:
Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur
dengan Undang-Undang.
Sampai saat ini telah terbentuk dua lembaga Lembaga Ombudsman Daerah
di Indonesia. Dalam catatan Ombudsman, setidaknya ada lebih dari dua puluh
daerah yang berniat membentuk Ombudsman Daerah. Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah propinsi pertama yang membentuk lembaga Ombudsman Daerah, dan
Asahan (Sumatera Utara) adalah Kabupaten pertama yang membentuk Ombudsman
www.pemantauperadilan.com 7
Opini
Daerah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama diperkirakan Pangkalpinang (Bangka
Belitung) juga akan membentuk Ombudsman Daerah.
Pembentukan Ombudsman Daerah di Yogyakarta seakan mengulang cerita
sejarah tentang kerendahan hati seorang Raja Charles XII di Swedia, karena
berangkat dari keinginan kuat Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X
membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi mengawasi
jalannya pemerintahan yang dipimpinnya. Sebagai seorang Raja dan sekaligus
seorang Gubernur, Sri Sultan Hamengkubuwono X tentu memegang kekuasaan yang
sangat besar, baik secara struktural maupun kultural. Oleh karena itu, prakarsa
pembentukan Ombudsman Daerah di DI Yogyakarta merupakan cerminan dari
sikap rendah hati seorang penguasa yang merelakan diri dan jajarannya diawasi oleh
masyarakat melalui Ombudsman.
www.pemantauperadilan.com 8
Opini
pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang bagaimana cara terbaik
membangun pemerintahan (Sorensen: 2003: 2-3).
Sedangkan pengertian transparansi publik menurut Masyarakat Transparansi
Indonesia adalah suatu keterbukaan yang sungguh-sungguh, menyeluruh dan
memberi tempat bagi partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam proses
pengelolaan sumber daya public.[3] Sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
penguasa harus dapat diakses secara terbuka dengan memberikan ruang yang cukup
bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara luas didalamnya. Pada sistem
pengawasan Ombudsman, partisipasi adalah prasyarat penting dan menjadi
mainstream utama. Untuk mencapai tujuannya (mewujudkan good governance)
Ombudsman di Indonesia bertugas antara lain mengupayakan partisipasi masyarakat
dengan menciptakan keadaan yang kondusif bagi terwujudnya birokrasi sederhana
yang bersih, pelayanan umum yang baik, penyelenggaraan peradilan yang efisien
dan profesional termasuk proses peradilan (persidangan) yang independen dan fair
sehingga dapat dijamin tidak akan ada keberpihakan (Sujata dan Surachman: 2002:
88).
Dengan demikian apa yang menjadi concern Ombudsman di Indonesia pada
dasarnya adalah bagian penting dari prasyarat terselenggaranya proses demokratisasi
dan mendukung upaya mewujudkan transparansi publik. Lebih khusus lagi dalam
proses demokratisasi di Indonesia Ombudsman merupakan bagian penting dari
upaya-upaya untuk mendorong adanya jaminan kebebasan memperoleh informasi,
pengawasan yang efektif terhadap eksekutif (check and balance system) dan
penegakan hukum yang menjadikan keadilan sebagai isu pokok. Jaminan kebebasan
memperoleh informasi (termasuk kebebasan pers) sangat dibutuhkan dalam proses
transisi menuju demokrasi. Secara kongkrit jaminan tersebut secara idealnya
diujudkan dengan membentuk undang-undang tentang kebebasan memperoleh
Informasi yang menjamin setiap warga masyarakat dapat dan boleh mengakses
berbagai informasi terkait dengan kebijakan publik yang dibuat dan dijalankan
www.pemantauperadilan.com 9
Opini
pemerintah. Dengan demikian ini akan mendorong tingkat partisipasi yang tinggi
dari masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara,
baik langsung maupun melalui Ombudsman. Oleh karena itu sudah tepat apabila
pada tanggal 9 Nopember 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan TAP
MPR No. VIII/MPR/2001 yang isinya memberikan mandat kepada Pemerintah dan
DPR agar membuat undang-undang antara lain tentang kebebasan memperoleh
informasi, undang-undang ombudsman dan undang-undang perlindungan saksi.
Meskipun MPR sudah memberi mandat sejak tahun 2001, sayangnya ketiga UU
tersebut sampai saat ini belum terwujud.
Semakin jelas bahwa suasana demokratis dan jaminan adanya tranparansi
publik sebagai prasyarat bagi pemerintah dalam membuat dan melaksanakan
kebijakan publik adalah faktor yang sangat penting bagi Ombudsman untuk bisa
berkembang sebelum akhirnya secara langsung mampu menjadi aktor penting dalam
mendorong proses demokratisasi ke arah yang tepat. Di negara-negara (yang pernah
mengalami totalitarian) dengan rezim Militer yang kuat seperti Afrika misalnya,
awalnya juga membentuk Ombudsman sebagai bagian dari proses transisi menuju
demokrasi (Sujata dan Surachman:2002:141). Negara-negara yang berfaham
Komunis seperti RRC bahkan memiliki institusi semacam Ombudsman yang sangat
kuat bernama Minister of Supervision, begitu juga dengan Vietnam. Sehingga
meskipun Ombudsman menjadi suatu keharusan dalam negara demokratis, bukan
berarti ia (atau setidaknya institusi sejenis Ombudsman) tidak dapat berkembang di
negara-negara yang tidak menjadikan demokrasi sebagai pijakan.
Di Swedia Ombudsman lebih dahulu terbentuk sebelum negara tersebut
melakukan proses demokratisasi. Swedia baru melakukan proses demokratisasi
antara tahun 1890 sampai dengan tahun 1920 (Mas’oed:2003:23), sementara
Parlianmentary Ombudsman sudah terbentuk pada tahun 1809. Bahkan Office of
The King’s Highest Ombudsman telah dibentuk Raja Charles XII sejak tahun 1718.
Dengan demikian Ombudsman di Swedia ketika itu tentunya juga menjadi bagian
www.pemantauperadilan.com 10
Opini
www.pemantauperadilan.com 11
Opini
memberikan harapan dan masa depan yang sangat menjanjikan, khususnya bagi
masyarakat pencari keadilan yang tengah memperjuangkan hak-hak mereka ketika
“bersengketa” dengan penguasa. Hal tersebut juga akan mendorong proses
demokratisasi dan transparansi publik di Indonesia berjalan lebih cepat. Meskipun
dengan sedih kita harus menerima kenyataan bahwa Ombudsman di Indonesia lahir
dengan dukungan infra struktur dan supra struktur yang sangat minim, ditambah
bayang-bayang kelam karena tidak adanya political will penyelenggara negara
menguatkan institusi ini. RUU Ombudsman yang sudah menjadi inisiatif DPR
misalnya, kandas begitu saja ketika tidak ada keinginan dari Presiden Megawati saat
itu mengeluarkan Amanat Presiden yang menunjuk wakil pemerintah untuk
membahasnya dengan DPR. Meskipun DPR telah mangajukan hal tersebut jauh
sebelum putaran suksesi dalam Pemilu 2004 dimulai. Demikian juga halnya
pemerintahan SBY yang tidak memasukkan UU Ombudsman sebagai prioritas dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2004-2009. Untungya dalam hal ini DPR
periode 2004-2009 melalui Komisi III dan Badan Legislasi memberikan
komitmennya untuk tetap mendukung agar UU Ombudsman dapat segera disahkan
dalam masa jabatan mereka.
Rasanya kurang tepat kalau kita membandingkan efektifitas kerja
Ombudsman di Indonesia dengan Ombudsman yang sudah eksis di negara-negara
maju dengan dukungan supra struktur dan infra struktur yang memadai. Dengan
dasar hukum yang baru pada tingkat Keppres, mungkin saat ini yang dapat
diharapkan dari Ombudsman barulah penjajagan berbagai peluang penting untuk
mendorong proses demokratisai dan transparansi publik dengan memprioritaskan
penanganan kasus-kasus yang akan berpengaruh pada terjadinya penguatan civil
society dan perbaikan proses penegakkan hukum serta fokus pada kasus-kasus yang
dapat berimplikasi luas terhadap terjadinya transparansi dan akuntabilitas publik. Itu
saja sudah merupakan pekerjaan yang berat bagi Ombudsman.
www.pemantauperadilan.com 12
Opini
www.pemantauperadilan.com 13
Opini
www.pemantauperadilan.com 14
Opini
www.pemantauperadilan.com 15
Opini
pengawas” yang mereka tunjuk dan patut dipercaya. Belakangan ini terjadi
gelombang kuat yang menginginkan dibukanya ruang partisipasi dalam setiap proses
pemilihan pejabat publik, khususnya yang memperoleh tugas melakukan
pengawasan. Mekanisme yang umum terjadi adalah dengan fit and proper test
sebagaimana selama ini dilakukan DPR. Pada saat memasuki sessi verifikasi dan uji
publik, masyarakat dapat berperan memberikan masukan tentang integritas,
kredibilitas, dan kapabilitas seorang calon Ombudsman. Demikianlah rancangan
yang menjadi blue print dalam RUU Ombudsman Republik Indonesia. Dengan
proses yang demikian, diharapkan pemilihan anggota Ombudsman dapat dilakukan
secara transparan dan accountable. Hal ini penting, mengingat kecenderungan
selama ini adalah bahwa masyarakat sudah sedemikian kurang mempercayai
independensi dari lembaga dan orang-orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai
pengawas, baik di pusat maupun di daerah.
Karakteristik lainnya adalah bahwa Ombudsman berfungsi sebagai pemberi
pengaruh (magistrature of influence) bukan pemberi sanksi (magistrature of
sanction). Meskipun tidak dibekali atau tidak membekali diri dengan instrumen
pemaksa (legally binding/su poena power) pengaruh Ombudsman tetap sangat kuat.
Ini dikarenakan figur seorang Ombudsman yang benar-benar dapat dipercaya
integritas, kredibilitas dan kapabilitasnya, sebab pemilihannya dilakukan melalui
proses yang partisipatif, transparan dan accountable. Pengaruh Ombudsman masuk
melalui rekomendasi yang disusun dan diberikan kepada Penyelenggaran Negara.
Walaupun rekomendasi Ombudsman tidak mengikat secara hukum, bukan berarti
dapat diabaikan begitu saja. Dalam hal ini Ombudsman memiliki mekanisme
pelaporan kepada DPR. Untuk kasus-kasus tertentu yang signifikan dan krusial,
melalui mekanisme yang tersedia, DPR juga dapat memanggil pejabat publik
(eksekutif) atas tindakan pengabaiannya terhadap eksistensi dan rekomendasi
Ombudsman.
www.pemantauperadilan.com 16
Opini
www.pemantauperadilan.com 17
Opini
www.pemantauperadilan.com 18
Opini
Bila kita melihat RUU Ombudsman yang telah usulkan Badan Legislasi
DPR, tampak jelas bahwa proyeksi ke depan Ombudsman di Indonesia adalah
berbentuk parlianmentary Ombudsman. Dengan demikian sesungguhnya posisi
executive Ombudsman sekarang ini bersifat transisional, persis seperti halnya
keberadaan Komnas HAM sebelum dikeluarkannya undang-undang Nomor 39
Tahun 1999. Dari segi independensi, parlianmentary Ombudsman tentu akan lebih
independen dalam hal mengawasi eksekutif. Mungkin akan timbul pertanyaan
apakah Ombudsman parlementer di negara yang menganut sistem presidensial dapat
berkembang dengan baik dan mampu bekerja secara efektif?
Meskipun Indonesia menganut sistem presidensial, tetapi dalam praktek
penyelenggaraan negara sehari-hari kita banyak menganut prisip-prinsip
parlementarian. Oleh karena itu Indonesia sering disebut sebagai negara dengan
sistem quasi parlementer. Ciri-ciri praktek parlementarian dapat kita lihat antara
lain ketika memilih Kepala Kepolisian dan Panglima TNI, Presiden tetap harus
meminta pendapat dan persetujuan DPR. Oleh karena itu, meskipun menganut
sistem presidensial, parlianmentary Ombudsman di Indonesia tetap memiliki
peluang untuk berkembang dan menjadi efektif karena didukung peran signifikan
dari Parlemen dalam melakukan check and balance terhadap eksekutif dan praktek
quasi parlementer yang masih dilakukan selama ini.
www.pemantauperadilan.com 19
Opini
www.pemantauperadilan.com 20
Opini
www.pemantauperadilan.com 21
Opini
DAFTAR PUSTAKA
Gilling, Bryan, The Ombudsman in New Zealand, Dunmore Press, Wellington, 1998
Gottehrer, Dean M, International Update, The Second Ombudsman Leadership
Forum Conference, San Fransisco, California, June 10, 2000
Hardijanto, Pendayagunaan Aparatur Negara Menuju Good Governance, Work
Paper TOT, Jakarta, 11 September 2000
Hartono, Sunaryati, S.H, Prof. Dr, dkk, Panduan Investigasi Untuk Ombudsman
Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2003
Mas’oed, Mochtar, Dr, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2003
Masthuri, Budhi, Maladministrasi Publik, SKH Bernas Yogyakarta, 17 Mei 2001
_______________ Urgensi Pengaturan Ombudsman Dalam Konstitusi, Hukum
Online.com, Jakarta, 29 September 2004
Pope, Jeremi, Pengembangan Sistem Integritas Nasional, Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, 1999
Sorensen, Georg, Demokrasi dan Demokratisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003
Sujata, Antonius dan Surahman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman
Internasional, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002
_______________ Efektifitas Ombudsman Indonesia, Komisi Ombudsman
Nasional, Jakarta, 2003
Sujata, Antonius, dkk, Ombudsman Indonesia, Masa Lalu, Sekarang dan Masa
Mendatang, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi
Ombudsman Nasional, KON, Jakarta, 2000
Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional, 2001
www.transparansi.or.id/pendahuluan/html
www.pemantauperadilan.com 22
Opini
[3] www.transparansi.or.id/pendahuluan/html
[4] Ketika seorang pegawai dalam satu instansi publik melihat ada
penyimpangan di kantornya (apalagi dilakukan pimpinan) kebanyakan memilih
diam. Tetapi ada sebagian diantaranya berani menyampaikan laporan kepada aparat
berwenang dengan meminta identitasnya dirahasiakan karena keamanannya (baik
fisik maupun jabatan yang dipegang) bisa terancam. Orang seperti inilah yang
disebut sebagai whistle blower (Sunaryati, dkk:2003:37). Seorang whistle blower
dapat sengaja ditempatkan oleh Ombudsman dalam suatu instansi (agent planting)
untuk secara rutin memberikan inromsi dan melaporkan praktek-praktek
penyimpangan (maladministrasi) yang dilakukan oleh orang-orang di instansi
tersebut.
[5] Drs. Hardijanto, Kepala Badan Kepegawaian Negara
www.pemantauperadilan.com 23