Anda di halaman 1dari 23

Opini

OMBUDSMAN DALAM TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA


Budhi Masthuri
Cikal Bakal Ombudsman
Institusi Ombudsman pertama kali lahir di Swedia, meskipun demikian pada
dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan
(seperti) Ombudsman. Bryan Gilling dalam tulisannya berjudul The Ombudsman In
New Zealand mengungkapkan bahwa pada zaman Kekaisaran Romawi terdapat
institusi Tribuni Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu
melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para
bangsawan. Model pengawasan seperti Ombudsman juga telah banyak ditemui pada
masa kekaisaran Cina (Pope:1999:115) dan yang paling menonjol adalah ketika pada
tahun 221 SM Dinasti Tsin mendirikan lembaga pengawas bernama Control Yuan
atau Censorate yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat
kekaisaran (pemerintah) dan sebagai “perantara” bagi masyarakat yang ingin
menyampaikan aspirasi, laporan atau keluhan kepada Kaisar (Gilling:1998).
Menurut Dean M Gottehrer[1] pada dasarnya Ombudsman berakar dari
prinsip-prinsip keadilan yang menjadi bagian dari mekanisme pengawasan dalam
sistem ketatanegaraan Islam. Hal tersebut dapat dilihat pada masa Khalifah Umar
(634-644 SM) yang saat itu memposisikan diri sebagai Muhtasib, yaitu orang yang
menerima keluhan dan termasuk dapat menyelesaikan perselisihan (antara
masyarakat dengan pejabat pemerintah). Tugas sebagai Muhtasib dijalankan
Khalifah Umar dengan cara melakukan “penyamaran”, mengunjungi berbagai
wilayah secara diam-diam guna mendengar sendiri keluhan langsung dari rakyat
terhadap pemerintah (Gottehrer: 2000). Khalifah Umar kemudian membentuk
lembaga Qadi Al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan tugas khusus melindungi
warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan
oleh pejabat pemerintah (Gilling:1998).

www.pemantauperadilan.com 1
Opini

Dalam literatur-literatur tentang Ombudsman umumnya disebutkan bahwa


ide pembentukan Institusi Ombudsman pertama kali datang dari Raja Charles XII
(1697-1718) di Swedia setelah pada tahun 1709 melarikan diri ke Turki karena kalah
perang dengan Rusia dalam The Great Northern War (1700-1721). Sepulang dari
pengasingan tersebut, pada tahun 1718 Raja Charles XII memutuskan untuk
membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman. Keputusan Raja Charles XII
membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman terpengaruh dengan konsep
pengawasan dalam sistem Turkish Office of Chief Justice.
Pada sistem ketatanegaraan Turki saat itu, Office of Chief Justice sangat
berperan melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara guna menjamin
bahwa hukum Islam harus diikuti dan diterapkan oleh seluruh penyelenggara
negara, termasuk Sultan sebagai pimpinan (Gottehrer: 2000). Bila dilihat dari mandat
yang diberikan, kewenangan Chief Justice sangat mirip dengan Qadi Al Quadat
pada masa Khalifah Umar (634-644 SM) yang bertugas melidungi hak-hak rakyat
dari perlakuan tidak adil serta tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh
penyelenggara negara.
Saat itu keberadaan Chief Justice sangat berpengaruh dalam penegakkan
hukum terhadap penyelenggara negara di Turki. Masyarakat yang merasa
diperlakukan tidak adil atau semena-mena oleh penyelenggara negara dapat
menyampaikan keluhan kepada Chief Justice guna memperoleh tindak lanjut.
Mekanisme check and balance seperti ini kemudian mengilhami Raja Charles XII
membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman. Sebagai seorang raja,
mungkin Charles XII menyadari apabila tidak ada pengawasan terhadap pelaksanaan
kekuasaan yang dijalankan Raja dan Pejabat Kerajaan saat itu berpotensi
memunculkan kesewenang-wenangan (tirani) yang justru akan sangat merugikan
posisinya sebagai seorang raja yang sempat terlupakan akibat lama di pengasingan.
Demikian selanjutnya sistem pengawasan Ombudsman di Swedia terus
mengalami perkembangan hingga secara resmi The King’s Highest Ombudsman

www.pemantauperadilan.com 2
Opini

yang pada awalnya merupakan executive Ombudsman berkembang menjadi


parlianmentary Ombudsman dengan dimasukkannya Ombudsman dalam Konstitusi
Swedia Tahun 1809. Sebelum resmi diatur dalam konstitusi, Parlemen Swedia juga
sempat membentuk lembaga yang fungsinya hampir sama dengan The King’s
Highest Ombudsman bernama Chancellor of Justice. Sebagai institusi pengawasan
yang dibentuk Parlemen, Ombudsman Swedia secara independen menjalankan tugas
menerima dan menyelidiki keluhan masyarakat terhadap penyelenggara negara.
Selama satu setengah abad berlalu, institusi Ombudsman hanya dikenal di Swedia,
dan baru setengah abad belakangan ini sistem Ombudsman menyebar ke berbagai
penjuru dunia (Sujata dan Surachman: 2002:29).
Walaupun dapat dikatakan lambat tetapi pada akhirnya sistem pengawasan
Ombudsman terus berkembang dan saat ini telah ada lebih dari seratus negara yang
memiliki Ombudsman. Kurang lebih lima puluh negara bahkan telah
mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, seperti antara lain
Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko.
Thailand yang usia Ombudman-nya notabene lebih muda dari Komisi Ombudsman
Nasional, telah terlebih dahulu mencantumkan ketentuan tentang Ombudsman
dalam Konstitusi. (Masthuri: 2004).
Di Indonesia sendiri wacana pembentukan Ombudsman telah berkembang
lebih kurang dua puluh tahun yang lalu, dan baru menjadi kenyataan pada tahun
2000. Belum banyak buku yang menceritakan sejarah terbentuknya Ombudsman di
Indonesia. Satu-satunya rekaman yang dapat kita kutip adalah dari buku yang ditulis
Antonius Sujata dkk pada tahun 2002 berjudul “Ombudsman Indonesia, Masa Lalu,
Sekarang dan Masa Mendatang.” Dalam buku tersebut diceritakan bahwa pada awal
November 1999 Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan
konsep pengawasan terhadap penyelenggara negara yang sama sekali baru. Diskusi
tersebut juga melibatkan Antonius Sujata seorang mantan Jampidsus pada saat

www.pemantauperadilan.com 3
Opini

Kejaksaan Agung dipimpin oleh Andi Ghalib. Setelah melakukan serangkaian


pembicaraan Gus Dur menyepakati sebuah konsep pengawasan untuk mendukung
proses pemberantasan KKN yaitu Ombudsman.
Kemudian pada tanggal 8 Desember 1999 Gus Dur menerbitkan Keputusan
Presiden Nomor 155 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga
Ombudsman. Keppres tersebut ternyata keluar dari hasil pembicaraan yang telah
disepakati sebelumnya antara Gus Dur, Marzuki Darusman dan Antonius Sujata.
Kepres Nomor 155 Tahun 1999 hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman,
sedangkan lembaga Ombudsman secara kongkrit tidak jadi dibentuk. Hal ini
dirasakan Antonius Sujata sebagai sangat lamban sementara desakan masyarakat
terhadap perbaikan pelayanan umum dan pemberantasan KKN sudah sedemikian
kuat. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1999 Antonius Sujata bersama Jaksa
Agung Marzuki Darusman kembali menghadap Gus Dur dan meminta klarifikasi
tentang keberadaan Keppres Nomor 155 Tahun 1999, keduanya tetap pada
rekomendasi hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya. Sehingga
akhirnya pada tanggal 20 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres (pengganti)
nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang
sekaligus menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman (Sujata, et al:
2002: hal 2-4).

Butuh Kerendahan Hati Seorang Penguasa


Pembentukan Office of The King’s Highest Ombudsman oleh Raja Charles
XII di Swedia dapat dilihat sebagai bentuk kerendahan hati seorang penguasa. Tentu
membutuhkan kebesaran jiwa dan kerendahan hati yang luar biasa bagi Raja Charles
XII karena dengan segala kekuasaan yang dimilikinya sebagai seorang raja ia beserta
jajaran orang-orang sekitar kerajaan dengan segudang previlegi yang selama ini
diberikan kerajaan dengan rela hati membuka diri terhadap pengawasan yang
dilakukan masyarakat melalui Office of The King’s Highest Ombudsman. Pada

www.pemantauperadilan.com 4
Opini

awalnya The King’s Highest Ombudsman adalah Ombudsman Kerajaan (executive


Ombudsman) sehingga sah-sah saja apabila saat itu mungkin ada sebagian orang
yang meragukan independensinya. Namun, setidaknya dalam praktek-praktek
kakuasaan yang ada selama ini, umumnya jarang sekali kita menemukan seorang
penguasa dengan rela hati membentuk suatu lembaga yang berwenang penuh
mengawasi ia sendiri beserta jajaran di sekitarnya.
Bukankah semestinya berlaku “hukum” bahwa kekuasaan memiliki
kecendrungan untuk melakukan apa saja (baca: menghalalkan segala cara) dalam
rangka mempertahankan diri dari segala hal yang dapat merongrongnya, termasuk
upaya-upaya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Biasanya seorang
penguasa akan segera melakukan pemberangusan terhadap upaya-upaya pengawasan
dan kritik yang dilakukan masyarakat, karena hal tersebut berpotensi mengganggu
kelanggengan kekuasaan.
Berbeda dengan di Swedia, pembentukan Komisi Ombudsman Nasional
(Ombudsman) di Indonesia dilatarbelakangi suasana transisi menuju demokrasi.
Dengan segala kekurangannya, bagaimanapun kita patut memuji keputusan Gus Dur
karena telah berani membentuk Ombudsman sebagai lembaga yang diberi
wewenang mengawasi kinerja pemerintahan (termasuk dirinya sendiri) dan
pelayanan umum lembaga peradilan. Tentu saja kita tidak dapat mensejajarkan
sejarah pembentukan Ombudsman Swedia dengan Ombudsman di Indonesia.
Masing-masing memiliki nilai kesejarahannya sendiri-sendiri. Tetapi setidaknya kita
bisa melihat adanya kesamaan dalam hal kerendahan hati seorang pemimpin yang
sedang berkuasa karena bersedia membentuk Ombudsman yang akan mengawasi
dirinya sendiri. Kita percaya saat itu Gus Dur sadar betul bahwa Ombudsman yang ia
bentuk tersebut nantinya dapat saja bersebrangan dengannya ketika ia membuat
kebijakan ataupun keputusan baik yang bersifat administratif maupun politis.

www.pemantauperadilan.com 5
Opini

Namun hal itu tidak menjadikan Gus Dur membatalkan niatnya membentuk
Ombudsman. Memang pada awalnya ada perubahan dari rencana semula, karena
Kepres Nomor 155 Tahun 1999 yang semestinya dimaksudkan menjadi landasan
hukum pembentukan Ombudsman justru “berbelok” menjadi pembentukan Tim
Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Perubahan tersebut menunjukkan
bahwa pada awalnya tampak seperti ada keraguan dari orang-orang sekitar Gus Dur
apakah dalam kondisi politik saat itu, tanpa dipersiapkan sedemikian rupa,
Ombudsman dapat efektif menjalankan fungsi pengawasannya. Namun secara
substansi pada dasarnya Gus Dur tidak pernah menolak pembentukan Ombudsman
yang telah ia persiapkan bersama Marzuki Darusman dan Antonius Sujata, hingga
akhirnya dikeluarkanlah Keppres (pengganti) Nomor 44 Tahun 2000 tentang
pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.
Dalam perkembangannya, meskipun diangkat melalui Keputusan Presiden,
Ombudsman memang tidak takut berbeda pendapat dengan Gus Dur sebagai
Presiden kala itu. Sikap tersebut ditunjukkan para Anggota Ombudsman pada saat
terjadi polemik berkepanjangan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung. Saat
itu Gus Dur sebagai Presiden tidak berkenan menetapkan dan mengangkat satu dari
dua orang calon Ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR. Dalam hal ini,
Ombudsman menegaskan berbeda pendapat dengan Gus Dur dan menyatakan
bahwa berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, khususnya
pasal 8 ayat (1), yang pada dasarnya bersifat imperatif, maka semestinya Gus Dur
selaku Presiden waktu itu dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara wajib
menentukan salah satu dari dua calon yang telah diusulkan oleh DPR, karena pasal
tersebut tidak memberikan alternatif tindakan lain yang dapat dilakukan Gus Dur
sebagai seorang Presiden (Sujata dan Surachman: 2003: 10-11). Oleh karena itu
kemudian Ombudsman memberikan rekomendasi yang isinya menyarankan agar
Gus Dur selaku Preseden memilih dan menetapkan satu dari dua calon yang sudah
diusulkan oleh DPR. Dan ternyata Gus Dur mengikuti saran Ombudsman dengan

www.pemantauperadilan.com 6
Opini

memilih Prof. DR. Bagir Manan, S.H, MCL sebagai Ketua Mahkamah Agung yang
baru. Dengan demikian selesailah polemik yang berkepanjangan di masyarakat.
Sejak awal Ombudsman memang memilih untuk bersikap low profile. Sikap
ini didasari atas pertimbangan bahwa Ombudsman masih dalam proses membangun
kapasitas kerja dan secara politis kedudukan Keputusan Presiden juga sangat rentan
terhadap “fluktuasi” politik yang berkembang saat itu. Tindakan high profile tanpa
didasari perhitungan matang justru akan menjadi kontra produktif bagi Ombudsman
yang sedang membangun eksistensi. Bagaimanapun, bila dibandingkan dengan
Undang-Undang, Keputusan Presiden lebih lemah kedudukannya karena dapat dan
lebih mudah dicabut sewaktu-waktu. Strategi low profile tersebut membuahkan
hasil bagi semakin kuatnya dukungan terhadap eksistensi Ombudsman, dari mulai
pencantuman ombudsman dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang
Propenas[2] sampai dengan diterbitkannya TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 yang
memberi mandat kepada eksekutif dan legislatif agar menyusun Undang-Undang
Ombudsman.
Bahkan yang terakhir, Komisi Konstitusi memasukkan usulan pasal tentang
Ombudsman dalam naskah amandemen UUD 1945 yang mereka susun dan telah
diserahkan kepada MPR RI. Usul pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD
1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukan dalam pasal Pasal 24 G ayat (1), berbunyi:
Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna mengawasi
penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat. Dan Ayat (2) berbunyi:
Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur
dengan Undang-Undang.
Sampai saat ini telah terbentuk dua lembaga Lembaga Ombudsman Daerah
di Indonesia. Dalam catatan Ombudsman, setidaknya ada lebih dari dua puluh
daerah yang berniat membentuk Ombudsman Daerah. Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah propinsi pertama yang membentuk lembaga Ombudsman Daerah, dan
Asahan (Sumatera Utara) adalah Kabupaten pertama yang membentuk Ombudsman

www.pemantauperadilan.com 7
Opini

Daerah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama diperkirakan Pangkalpinang (Bangka
Belitung) juga akan membentuk Ombudsman Daerah.
Pembentukan Ombudsman Daerah di Yogyakarta seakan mengulang cerita
sejarah tentang kerendahan hati seorang Raja Charles XII di Swedia, karena
berangkat dari keinginan kuat Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X
membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi mengawasi
jalannya pemerintahan yang dipimpinnya. Sebagai seorang Raja dan sekaligus
seorang Gubernur, Sri Sultan Hamengkubuwono X tentu memegang kekuasaan yang
sangat besar, baik secara struktural maupun kultural. Oleh karena itu, prakarsa
pembentukan Ombudsman Daerah di DI Yogyakarta merupakan cerminan dari
sikap rendah hati seorang penguasa yang merelakan diri dan jajarannya diawasi oleh
masyarakat melalui Ombudsman.

Mendorong Demokratisasi dan Transparansi Publik


Ombudsman merupakan keniscayaan dalam sebuah negara demokratis yang
didalamnya menempatkan tarnsparansi publik sebagai faktor penting. Sebagian kita
mungkin bertanya-tanya apa hubungan Ombudsman dengan negara demokratis?
Sebelum diuraikan lebih lanjut perlu dipahami terlebih dahulu apakah makna
demokrasi dan apa pula yang dimaksud transparansi publik. Dalam kebanyakan
literatur, secara sederhana demokrasi dapat difahami sebagai bentuk pemerintahan
dari rakyat oleh rakyat dan untuk dakyat. Dengan demikian demokratisasi dapat
diartikan sebagai suatu proses yang mengarahkan agar pemerintahan yang sedang
berjalan secara sensitif dapat menangkap aspirasi, melibatkan partisipasi, dan
mengutamakan kepentingan rakyat dari pada kepentingan penguasa. Rakyat
ditempatkan sebagai domain utama dalam pengertian demokrasi karena pada
dasarnya mereka (rakyat) adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah
negara. Secara lebih dalam, berbicara tentang demokrasi pada dasarnya tidak hanya
mengenai teori tentang cara-cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan

www.pemantauperadilan.com 8
Opini

pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang bagaimana cara terbaik
membangun pemerintahan (Sorensen: 2003: 2-3).
Sedangkan pengertian transparansi publik menurut Masyarakat Transparansi
Indonesia adalah suatu keterbukaan yang sungguh-sungguh, menyeluruh dan
memberi tempat bagi partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam proses
pengelolaan sumber daya public.[3] Sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
penguasa harus dapat diakses secara terbuka dengan memberikan ruang yang cukup
bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara luas didalamnya. Pada sistem
pengawasan Ombudsman, partisipasi adalah prasyarat penting dan menjadi
mainstream utama. Untuk mencapai tujuannya (mewujudkan good governance)
Ombudsman di Indonesia bertugas antara lain mengupayakan partisipasi masyarakat
dengan menciptakan keadaan yang kondusif bagi terwujudnya birokrasi sederhana
yang bersih, pelayanan umum yang baik, penyelenggaraan peradilan yang efisien
dan profesional termasuk proses peradilan (persidangan) yang independen dan fair
sehingga dapat dijamin tidak akan ada keberpihakan (Sujata dan Surachman: 2002:
88).
Dengan demikian apa yang menjadi concern Ombudsman di Indonesia pada
dasarnya adalah bagian penting dari prasyarat terselenggaranya proses demokratisasi
dan mendukung upaya mewujudkan transparansi publik. Lebih khusus lagi dalam
proses demokratisasi di Indonesia Ombudsman merupakan bagian penting dari
upaya-upaya untuk mendorong adanya jaminan kebebasan memperoleh informasi,
pengawasan yang efektif terhadap eksekutif (check and balance system) dan
penegakan hukum yang menjadikan keadilan sebagai isu pokok. Jaminan kebebasan
memperoleh informasi (termasuk kebebasan pers) sangat dibutuhkan dalam proses
transisi menuju demokrasi. Secara kongkrit jaminan tersebut secara idealnya
diujudkan dengan membentuk undang-undang tentang kebebasan memperoleh
Informasi yang menjamin setiap warga masyarakat dapat dan boleh mengakses
berbagai informasi terkait dengan kebijakan publik yang dibuat dan dijalankan

www.pemantauperadilan.com 9
Opini

pemerintah. Dengan demikian ini akan mendorong tingkat partisipasi yang tinggi
dari masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara,
baik langsung maupun melalui Ombudsman. Oleh karena itu sudah tepat apabila
pada tanggal 9 Nopember 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan TAP
MPR No. VIII/MPR/2001 yang isinya memberikan mandat kepada Pemerintah dan
DPR agar membuat undang-undang antara lain tentang kebebasan memperoleh
informasi, undang-undang ombudsman dan undang-undang perlindungan saksi.
Meskipun MPR sudah memberi mandat sejak tahun 2001, sayangnya ketiga UU
tersebut sampai saat ini belum terwujud.
Semakin jelas bahwa suasana demokratis dan jaminan adanya tranparansi
publik sebagai prasyarat bagi pemerintah dalam membuat dan melaksanakan
kebijakan publik adalah faktor yang sangat penting bagi Ombudsman untuk bisa
berkembang sebelum akhirnya secara langsung mampu menjadi aktor penting dalam
mendorong proses demokratisasi ke arah yang tepat. Di negara-negara (yang pernah
mengalami totalitarian) dengan rezim Militer yang kuat seperti Afrika misalnya,
awalnya juga membentuk Ombudsman sebagai bagian dari proses transisi menuju
demokrasi (Sujata dan Surachman:2002:141). Negara-negara yang berfaham
Komunis seperti RRC bahkan memiliki institusi semacam Ombudsman yang sangat
kuat bernama Minister of Supervision, begitu juga dengan Vietnam. Sehingga
meskipun Ombudsman menjadi suatu keharusan dalam negara demokratis, bukan
berarti ia (atau setidaknya institusi sejenis Ombudsman) tidak dapat berkembang di
negara-negara yang tidak menjadikan demokrasi sebagai pijakan.
Di Swedia Ombudsman lebih dahulu terbentuk sebelum negara tersebut
melakukan proses demokratisasi. Swedia baru melakukan proses demokratisasi
antara tahun 1890 sampai dengan tahun 1920 (Mas’oed:2003:23), sementara
Parlianmentary Ombudsman sudah terbentuk pada tahun 1809. Bahkan Office of
The King’s Highest Ombudsman telah dibentuk Raja Charles XII sejak tahun 1718.
Dengan demikian Ombudsman di Swedia ketika itu tentunya juga menjadi bagian

www.pemantauperadilan.com 10
Opini

yang sangat penting dalam mendorong berjalannya proses demokratisasi. Bagaimana


dengan peran Ombudsman di Indonesia?
Selama lebih dari tiga dasawarsa di bawah rezim Orde Baru, peran kekuasaan
pemerintah (eksekutif) sungguh amat dominan sehingga masyarakat lebih banyak
menjadi objek yang diawasi daripada sebagai subjek yang mengawasi (Sujata dan
Surachman: 2002:4). Setelah kekuasaan rejim Orde Baru runtuh, proses
demokratisasi mengalami masa transisi yang panjang dan berliku. Pada masa itulah
Ombudsman di Indonesia lahir dan menjadi bagian penting dalam sejarah transisi
menuju demokrasi. Kondisi transisional seperti itu sebenarnya memberikan peluang
bagi Ombudsman di Indonesia menjadi aktor penting yang ikut mendorong jalannya
proses demokratisasi dan memperjuangkan jaminan adanya transparansi publik dari
pemerintah dalam setiap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Sebagai lembaga yang sama sekali baru, Ombudsman di Indonesia tentu
tidak serta merta dapat menjadi aktor utama dalam proses demokratisasi.
Bagaimanapun, dalam model pembagian kekuasaan dan sistem ketatanegaraan yang
dianut Indonesaia selama ini, Ombudsman belum mendapat tempat yang memadai.
Meskipun beberapa negara, termasuk Thailand telah berfikir maju dengan
memasukkan Ombudsman dalam Konstitusi. Indonesia yang nota bene lebih dahulu
membentuk Ombudsman dari Thailand sepertinya baru berada pada tahapan
“kebingunan” mencari bentuk dan posisi yang tepat bagi Ombudsman dalam sistem
ketatanegaraan kita. Bahkan tidak jarang ada sebagian pakar hukum dan pengamat
sosial yang menginginkan Ombudsman ditiadakan. Meskipun dalam catatan sejarah,
belum pernah ada Ombudsman di sebuah negara dibubarkan begitu saja.
Sebelum benar-benar mampu menjadi aktor penting dalam proses
demokratisasi di Indonesia, pada dasarnya selama ini Ombudsman telah cukup
strategis dalam memainkan “peran-peran pengganti” yang tidak dapat dimainkan
oleh aktor yang sudah ada seperti misalkan Inspektorat Jendral, Pengadilan,
DPR/DPRD, dan lain-lain. Dalam hal ini Ombudsman di Indonesia telah

www.pemantauperadilan.com 11
Opini

memberikan harapan dan masa depan yang sangat menjanjikan, khususnya bagi
masyarakat pencari keadilan yang tengah memperjuangkan hak-hak mereka ketika
“bersengketa” dengan penguasa. Hal tersebut juga akan mendorong proses
demokratisasi dan transparansi publik di Indonesia berjalan lebih cepat. Meskipun
dengan sedih kita harus menerima kenyataan bahwa Ombudsman di Indonesia lahir
dengan dukungan infra struktur dan supra struktur yang sangat minim, ditambah
bayang-bayang kelam karena tidak adanya political will penyelenggara negara
menguatkan institusi ini. RUU Ombudsman yang sudah menjadi inisiatif DPR
misalnya, kandas begitu saja ketika tidak ada keinginan dari Presiden Megawati saat
itu mengeluarkan Amanat Presiden yang menunjuk wakil pemerintah untuk
membahasnya dengan DPR. Meskipun DPR telah mangajukan hal tersebut jauh
sebelum putaran suksesi dalam Pemilu 2004 dimulai. Demikian juga halnya
pemerintahan SBY yang tidak memasukkan UU Ombudsman sebagai prioritas dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2004-2009. Untungya dalam hal ini DPR
periode 2004-2009 melalui Komisi III dan Badan Legislasi memberikan
komitmennya untuk tetap mendukung agar UU Ombudsman dapat segera disahkan
dalam masa jabatan mereka.
Rasanya kurang tepat kalau kita membandingkan efektifitas kerja
Ombudsman di Indonesia dengan Ombudsman yang sudah eksis di negara-negara
maju dengan dukungan supra struktur dan infra struktur yang memadai. Dengan
dasar hukum yang baru pada tingkat Keppres, mungkin saat ini yang dapat
diharapkan dari Ombudsman barulah penjajagan berbagai peluang penting untuk
mendorong proses demokratisai dan transparansi publik dengan memprioritaskan
penanganan kasus-kasus yang akan berpengaruh pada terjadinya penguatan civil
society dan perbaikan proses penegakkan hukum serta fokus pada kasus-kasus yang
dapat berimplikasi luas terhadap terjadinya transparansi dan akuntabilitas publik. Itu
saja sudah merupakan pekerjaan yang berat bagi Ombudsman.

www.pemantauperadilan.com 12
Opini

Bayangkan, Ombudsman di Indonesia hanya dibekali dengan Keputusan


Presiden, sementara pekerjaannya harus mengawasi penyelenggara negara yang
sebagian besar diantaranya sudah terkontaminasi sedemikian rupa dengan penyakit
KKN, ditambah tidak adanya political will pemerintah untuk melakukan penguatan
infra struktur Ombudsman. Mungkin pekerjaan tersebut akan menjadi sedikit
terbantu apabila ada supra struktur pendukung yang memadai seperti undang-
undang kebebasan memperoleh Informasi, undang-undang perlindungan saksi dan
undang-undang tentang whistle blower.[4] Sayangnya ketiga undang-undang yang
sangat mendukung kerja-kerja Ombudsman tersebut sampai saat ini masih belum
dibuat di Indonesia.
Sebagai lembaga pengawas eksternal Ombudsman memberikan ruang yang
memadai bagi pelibatan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan
syarat penting bagi jalannya proses demokratisasi disebuah negara. Ketika
masyarakat tidak punya saluran dalam mengeluhkan permasalahannya dengan
penguasa, justru Ombudsman datang dengan segala kemudahan (user friendly)
menjadi “wakil” untuk meneruskan keluhan mereka (masyarakat) kepada penguasa.
Secara ilustratif Ombudsman dapat digambarkan sebagai orang yang bertubuh besar
menggandeng seorang bertubuh kecil dan kerempeng, sedang berhadapan dengan
orang lain (penguasa) yang tubuhnya sama besar dengan Ombudsman. Mengenai
pentingnya partisipasi masyarakat, secara jelas disebutkan dalam tujuan
pembentukan Ombudsman sebagaimana diuraikan dalam pasal 3 Kepres 44 Tahun
2000 bahwa kerja-kerja pengawasan ombudsman dilakukan melalui (penulis: dengan
melibatkan) peran serta masyarakat untuk mengembangkan kondisi yang kondusif
dalam rangka pemberantasan KKN. Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa
keberadaan Ombudsman di Indonesia sesungguhnya sangat penting untuk
mendorong jalannya proses demokratisasi dan transparansi publik. Dan dalam posisi
ini, pencegahan serta pemberantasan KKN adalah salah satu agenda yang sangat
pokok.

www.pemantauperadilan.com 13
Opini

Pengawasan Ombudsman merupakan representasi dari pengawasan yang


dilakukan oleh masyarakat atau kelompok-kelompok civil society. Cara kerja
Ombudsman juga mirip dengan cara-cara kerja civil society, tidak birokratis, user
friendly, tidak dipungut biaya atau gratis, dan berbagai kemudahan lainnya. Selain
sangat ditentukan oleh political will penyelenggara negara dan dukungan politik di
Parlemen, efektifitas kerja Ombudsman juga sangat ditentukan (dan tergantung)
dengan seberapa jauh masyarakat memiliki pemahaman tentang Ombudsman,
kesadaran perlunya menyuarakan praktek-praktek penyimpangan, dan keberanian
masyarakat melaporkan penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
Dengan demikian pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman pada dasarnya
berbasis pada pengawasan masyarakat. Oleh karena itu, apabila definisi transparansi
publik menurut Masyarakat Transparansi Indonesia adalah keterbukaan yang
meniscayakan keterlibatan/partisipasi publik, sejak awal pembentukannya
Ombudsman menempatkan partisipasi sebagai satu hal sangat penting dan menjadi
kunci dalam kerja-kerja pengawasannya. Namun sekali lagi perlu ditegaskan bahwa
peran Ombudsman dalam mendorong proses demokratisasi dan transparansi publik
semestinya didukung dengan (setidaknya) tiga peraturan pendukung yaitu undang-
undang kebebasan memperoleh informasi (freedom information act), undang-
undang perlindungan saksi, dan undang-undang whistle blower, selain tentunya
undang-undang tentang Ombudsman itu sendiri.
Undang-undang kebebasan memperoleh informasi akan menjamin
Ombudsman dapat memperoleh akses informasi atas kabijakan yang diambil
dan/atau dilaksanakan pejabat publik yang menjadi keluhan masyarakat. Ini akan
berdampak pada terciptanya sistem pengawasan yang efektif tanpa harus
menggantungkan pada mekanisme penegakkan hukum yang represif. Di negara-
negara maju seperti misalkan Australia, Ombudsman menjadi sangat efektif karena
antara lain didukung dengan undang-undang kebebasan memperoleh informasi.
Dengan demikian pejabat publik tidak bisa menolak permintaan Ombudsman untuk

www.pemantauperadilan.com 14
Opini

mengakses data dan informasi (termasuk dokumen-dokumen negara) dalam rangka


menindaklanjuti keluhan masyarakat. Undang-undang kebebasan memperoleh
informasi menjadi sangat penting karena sebagaimana kita ketahui bahwa
Ombudaman memiliki kewenangan meminta klarifikasi, monitoring atau
pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara terkait
dengan proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.
Produk yang dikeluarkan Ombudsman antara lain adalah Rekomendasi,
yaitu saran tertentu kepada Penyelenggara Negara dalam rangka melakukan
perbaikan proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Rekomendasi
yang dikeluarkan Ombudsman tidak mengikat secara hukum (non-legally binding),
tetapi mengikat secara moral (morally binding). Prinsip bahwa rekomendasi
Ombudsman mengikat secara moral berlaku universal. Keberadaan undang-undang
kebebasan memperoleh informasi akan menambah bobot dari sifat morally binding
dari rekomendasi Ombudsman, karena meskipun tidak mengikat secara hukum,
pejabat publik tetap berkewajiban memberikan dan membuka akses informasi
terkait dengan kebijakan yang menjadi inti keluhan masyarakat. Sebagai lembaga
pengawas eksternal yang independen, Ombudsman memiliki karakterisitik yang
relatif berbeda dengan pengawas-pengawas yang selama ini telah ada.
Selain undang-undang kebebasan memperoleh informasi, undang-undang
perlindungan saksi dan undang-undang whistle blower juga sangat penting dalam
mendukung kerja-kerja ombudsman. Dengan adanya kedua undang-undang ini
setiap masyarakat berhak memperoleh perlindungan dari mulai jaminan keamanan
sampai dengan kerahasiaan identitas. Sehingga tidak ada lagi yang merasa takut
melaporkan atau membuka praktek-praktek penyimpangan (maladministrasi) yang
dilakukan oleh penyelenggara negara, termasuk atasan mereka.
Selain membuka ruang partisipasi bagi masyarakat dalam melakukan
pengawasan, proses pemilihan anggota Ombudsman juga memberikan peluang yang
luas bagi terjadinya pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa “pejabat

www.pemantauperadilan.com 15
Opini

pengawas” yang mereka tunjuk dan patut dipercaya. Belakangan ini terjadi
gelombang kuat yang menginginkan dibukanya ruang partisipasi dalam setiap proses
pemilihan pejabat publik, khususnya yang memperoleh tugas melakukan
pengawasan. Mekanisme yang umum terjadi adalah dengan fit and proper test
sebagaimana selama ini dilakukan DPR. Pada saat memasuki sessi verifikasi dan uji
publik, masyarakat dapat berperan memberikan masukan tentang integritas,
kredibilitas, dan kapabilitas seorang calon Ombudsman. Demikianlah rancangan
yang menjadi blue print dalam RUU Ombudsman Republik Indonesia. Dengan
proses yang demikian, diharapkan pemilihan anggota Ombudsman dapat dilakukan
secara transparan dan accountable. Hal ini penting, mengingat kecenderungan
selama ini adalah bahwa masyarakat sudah sedemikian kurang mempercayai
independensi dari lembaga dan orang-orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai
pengawas, baik di pusat maupun di daerah.
Karakteristik lainnya adalah bahwa Ombudsman berfungsi sebagai pemberi
pengaruh (magistrature of influence) bukan pemberi sanksi (magistrature of
sanction). Meskipun tidak dibekali atau tidak membekali diri dengan instrumen
pemaksa (legally binding/su poena power) pengaruh Ombudsman tetap sangat kuat.
Ini dikarenakan figur seorang Ombudsman yang benar-benar dapat dipercaya
integritas, kredibilitas dan kapabilitasnya, sebab pemilihannya dilakukan melalui
proses yang partisipatif, transparan dan accountable. Pengaruh Ombudsman masuk
melalui rekomendasi yang disusun dan diberikan kepada Penyelenggaran Negara.
Walaupun rekomendasi Ombudsman tidak mengikat secara hukum, bukan berarti
dapat diabaikan begitu saja. Dalam hal ini Ombudsman memiliki mekanisme
pelaporan kepada DPR. Untuk kasus-kasus tertentu yang signifikan dan krusial,
melalui mekanisme yang tersedia, DPR juga dapat memanggil pejabat publik
(eksekutif) atas tindakan pengabaiannya terhadap eksistensi dan rekomendasi
Ombudsman.

www.pemantauperadilan.com 16
Opini

Ombudsman Parlementer di Negara Presidensial


Efektifitas pengawasan Ombudsman juga sangat ditentukan oleh sistem
pemerintahan yang dianut sebuah negara. Di negara-negara yang menganut sistem
parlementer, mekanisme check and balance system menjadi salah satu faktor yang
menentukan bagi efektifitas Ombudsman dalam memberikan pengaruh sebagai
magistrature of influence. Umumnya negara dengan sistem pemerintahan
parlementer memilih bentuk parlianmentary Ombudsman (meskipun ada beberapa
yang memilih executive Ombudsman), Oleh karena itu, begitu dilantik, Parlemen
akan segera mempersiapkan Ombudsman sebagai kepanjangan tangannya untuk
mengontrol eksekutif. Dengan demikian parlianmentary Ombudsman memperoleh
mandat yang kuat dari Parlemen dalam melakukan pengawasan terhadap eksekutif,
dan terutama menerima keluhan-keluhan masyarakat terkait dengan kerja-kerja
pejabat penyelenggara negara. Sehingga parlemen lebih dapat memfokuskan diri
dengan tugas pentingnya sebagai regulator dan memiliki waktu yang cukup untuk
menyerap aspirasi masyarakat sebagai bahan penyusunan undang-undang dan
kebijakan lainnya.
Mekanisme check and balance yang berlaku dalam sistem parlementer
mengharuskan Perdana Menteri dan Menteri Kabinetnya memberikan
pertanggungjawaban secara langsung kepada Parlemen. Sehingga dalam hal
melakukan kontrol terhadap prilaku pejabat eksekutif, Parlemen memiliki otoritas
yang sangat kuat. Ini berpengaruh terhadap wibawa parlianmentariy Ombudsman
dihadapan Perdana Menteri, Menteri Kabinet dan jajaran eksekutif di bawahnya.
Mereka akan sangat respect dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap
Ombudsman karena sewaktu-waktu dapat dimintai pertanggungjawaban Parlemen
apabila mengabaikan teguran-teguran yang disampaikan Ombudsman.
Bagaimana dengan Ombudsman di negara yang menganut sistem
presidensial? Pada dasarnya sistem Ombudsman sangat universal. Selama ini sistem
Ombudsman bisa berkembang dalam segala bentuk negara dan bentuk ideologi.

www.pemantauperadilan.com 17
Opini

Memang problem yang paling mendasar dialami execitive Ombudsman, apalagi di


negara yang menganut sistem presidensial, adalah bagaimana mengatasi keraguan
masyarakat terhadap independensi Ombudsman. Keraguan tersebut sangat logis
karena dalam sistem presidensial keterkaitan antara Presiden dengan para
menterinya sangat erat, begitu juga pejabat penting di tingkat eselon juga
bertanggung jawab terhadap Menteri menteri yang berujung pada muara
pertanggungjawaban kepada Presiden, bukan kepada Parlemen.
Bila Ombudsman dibentuk oleh Presiden, kemudian timbul pertanyaan
bagaimana mungkin Ombudsman dapat melakukan pengawasan secara independen
terhadap Presiden beserta Menteri dan jajaran pemerintah di bawahnya sedangkan
ia sendiri merupakan bagian dari eksekutif. Tentang independensi Ombudsman,
Antonius Sujata dan RM Surachman mencoba membuat klasifikasi dalam tiga jenis
(Sujata dan Surachman:2002:57-58). Pertama; Independensi Ombudsman yang
sifatnya institusional, artinya Ombudsman sama sekali bukan bagian dari institusi
negara yang telah ada. Oleh karena itu ia sama sekali tidak diawasi oleh kekuasaan
negara, dan harus memperoleh kedudukan yang tinggi. Kedua; Independensi
Ombudsman yang bersifat fungsional, maksudnya adalah bahwa Ombudsman tidak
boleh dicampuri (atau diperintah) dan ditekan oleh siapapun.
Untuk mencegah jangan sampai ada tekanan yang sifatnya intimidatif
Parlemen harus memberikan wewenang yang kuat kepada Ombudsman baik secara
politis maupun yuridis, dan juga harus didukung dengan anggaran yang memadai.
Ketiga; Independensi yang sifatnya personal, mengandung arti bahwa Ombudsman
haruslah pribadi-pribadi yang memiliki integritas, kredibilitas, dan kapabilitas
memadai sehingga dapat dipercaya masyarakat. Oleh karena itu untuk menjadi
seorang Ombudsman harus melalui tahapan seleksi ketat yang dilakukan oleh Tim
Seleksi yang sangat independen di Parlemen. Ombudsman yang memiliki
independensi personal akan mampu menjalankan tugasnya secara adil dan tidak
berpihak.

www.pemantauperadilan.com 18
Opini

Bila kita melihat RUU Ombudsman yang telah usulkan Badan Legislasi
DPR, tampak jelas bahwa proyeksi ke depan Ombudsman di Indonesia adalah
berbentuk parlianmentary Ombudsman. Dengan demikian sesungguhnya posisi
executive Ombudsman sekarang ini bersifat transisional, persis seperti halnya
keberadaan Komnas HAM sebelum dikeluarkannya undang-undang Nomor 39
Tahun 1999. Dari segi independensi, parlianmentary Ombudsman tentu akan lebih
independen dalam hal mengawasi eksekutif. Mungkin akan timbul pertanyaan
apakah Ombudsman parlementer di negara yang menganut sistem presidensial dapat
berkembang dengan baik dan mampu bekerja secara efektif?
Meskipun Indonesia menganut sistem presidensial, tetapi dalam praktek
penyelenggaraan negara sehari-hari kita banyak menganut prisip-prinsip
parlementarian. Oleh karena itu Indonesia sering disebut sebagai negara dengan
sistem quasi parlementer. Ciri-ciri praktek parlementarian dapat kita lihat antara
lain ketika memilih Kepala Kepolisian dan Panglima TNI, Presiden tetap harus
meminta pendapat dan persetujuan DPR. Oleh karena itu, meskipun menganut
sistem presidensial, parlianmentary Ombudsman di Indonesia tetap memiliki
peluang untuk berkembang dan menjadi efektif karena didukung peran signifikan
dari Parlemen dalam melakukan check and balance terhadap eksekutif dan praktek
quasi parlementer yang masih dilakukan selama ini.

Good Governance Sebagai Cita-Cita


Good Governance adalah cita-cita yang menjadi visi setiap Ombudsman di
berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia. Secara sederhana good governance
dapat diartikan sebagai prinsip dalam mengatur pemerintahan yang memungkinkan
layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan, dan
administrasinya bertanggungjawab pada publik (Mas’oed: 2003: 150-151). Oleh
karena itu, prisip-prinsip umum good governance juga menjadi parameter penilaian
Ombudsman dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara.

www.pemantauperadilan.com 19
Opini

Menurut Hardijanto[5] pengertian governance mengandung makna yang


lebih luas dari government karena tidak hanya mengandung arti sebagai proses
pemerintahan, tetapi termasuk didalamnya mencakup mekanisme pengelolaan
sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan sektor negara, masyarakat, dan
swasta (negara dan non negara). Negara berfungsi menciptakan lingkungan politik
dan hukum yang kondusif, swasta (non negara) mendorong terciptanya lapangan
pekerjaan dan pendapatan masyarakat, dan masyarakat (non negara) berfungsi
mewadahi interaksi sosial politik, memobilisasi kelompok sosial (civil society) untuk
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Sedangkan government
hanya mengacu pada mekanisme suatu pengelolaan berdasarkan kewenangan
tertinggi (Hardijanto:2000).
Ada sembilan asas umum pemerintahan yang baik (good governance
principles) yang selama ini menjadi acuan berbagai literatur, yaitu asas kecermatan
formal, fairplay, perimbangan, kepastian hukum formal, kepastian hukum material,
kepercayaan, persamaan, kecermatan, dan asas keseimbangan. Secara umum
kesembilan asas tersebut dalam konteks good governance dapat disarikan menjadi
tiga hal yaitu akuntabilitas publik, kepastian hukum (rule of law) dan transparansi
publik (Masthuri:2001). Akuntabilitas publik mensyaratkan bahwa setiap perilaku
dan tindakan pejabat publik baik dalam membuat kebijakan (public policy),
mengatur dan membelanjakan keuangan negara maupun melaksanakan penegakan
hukum haruslah terukur dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Transparansi Publik mensyaratkan bahwa setiap pejabat publik berkewajiban
membuka ruang partisipasi kepada masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan
publik (khususnya menyangkut dengan pengelolaan sumber daya publik) dengan
membuka akses dan memberikan informasi yang benar, jujur dan tidak
diskriminatif, baik diminta maupun tidak diminta oleh masyarakat.
Tidak diminta maksudnya adalah bahwa semestinya ada mekanisme
publikasi yang luas kepada masyarakat dalam setiap proses pembuatan kebijakan

www.pemantauperadilan.com 20
Opini

publik sehingga masyarakat dapat memberikan partisipasinya secara lebih aktif.


Intisari selanjutnya adalah adanya jaminan kepastian hukum (rule of law) bagi setiap
masyarakat. Setiap pejabat publik berkewajiban memberikan jaminan bahwa dalam
berurusan dengan penylenggara negara setiap masyarakat pasti akan memperoleh
kejelasan tentang tenggang waktu, hak dan kewajiban, dll sehingga adanya jaminan
bagi masyarakat dalam memperoleh akan rasa keadilan, khususnya ketika
berhadapan dengan penylenggara negara sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan
publik. Dengan demikian dalam kerangka good governance, setiap pejabat publik
berkewajiban memberikan perlakuan yang sama bagi setiap warga masyarakat dalam
menjalankan fungsi-fungsi sebagai pelayanan publik (equality before the law).
Ketiga intisari dari good governance tersebut merupakan unsur yang sangat penting
dalam proses demokratisasi suatu negara.

www.pemantauperadilan.com 21
Opini

DAFTAR PUSTAKA

Gilling, Bryan, The Ombudsman in New Zealand, Dunmore Press, Wellington, 1998
Gottehrer, Dean M, International Update, The Second Ombudsman Leadership
Forum Conference, San Fransisco, California, June 10, 2000
Hardijanto, Pendayagunaan Aparatur Negara Menuju Good Governance, Work
Paper TOT, Jakarta, 11 September 2000
Hartono, Sunaryati, S.H, Prof. Dr, dkk, Panduan Investigasi Untuk Ombudsman
Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2003
Mas’oed, Mochtar, Dr, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2003
Masthuri, Budhi, Maladministrasi Publik, SKH Bernas Yogyakarta, 17 Mei 2001
_______________ Urgensi Pengaturan Ombudsman Dalam Konstitusi, Hukum
Online.com, Jakarta, 29 September 2004
Pope, Jeremi, Pengembangan Sistem Integritas Nasional, Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, 1999
Sorensen, Georg, Demokrasi dan Demokratisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003
Sujata, Antonius dan Surahman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman
Internasional, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002
_______________ Efektifitas Ombudsman Indonesia, Komisi Ombudsman
Nasional, Jakarta, 2003
Sujata, Antonius, dkk, Ombudsman Indonesia, Masa Lalu, Sekarang dan Masa
Mendatang, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi
Ombudsman Nasional, KON, Jakarta, 2000
Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional, 2001
www.transparansi.or.id/pendahuluan/html

www.pemantauperadilan.com 22
Opini

[1] Dean M Gottehrer, mantan Presiden Istitute Ombudsman Internasional

[2] Dalam UU nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan


Nasional (Propenas), khususnya pada Matriks Kebijakan Program Pembangunan
Hukum, UU Ombudsman Nasional ditetapkan menjadi indikator kinerja yang
diharapkan tercapai dalam Program Nasional Pembangunan Hukum tahun 2000-
2004

[3] www.transparansi.or.id/pendahuluan/html

[4] Ketika seorang pegawai dalam satu instansi publik melihat ada
penyimpangan di kantornya (apalagi dilakukan pimpinan) kebanyakan memilih
diam. Tetapi ada sebagian diantaranya berani menyampaikan laporan kepada aparat
berwenang dengan meminta identitasnya dirahasiakan karena keamanannya (baik
fisik maupun jabatan yang dipegang) bisa terancam. Orang seperti inilah yang
disebut sebagai whistle blower (Sunaryati, dkk:2003:37). Seorang whistle blower
dapat sengaja ditempatkan oleh Ombudsman dalam suatu instansi (agent planting)
untuk secara rutin memberikan inromsi dan melaporkan praktek-praktek
penyimpangan (maladministrasi) yang dilakukan oleh orang-orang di instansi
tersebut.
[5] Drs. Hardijanto, Kepala Badan Kepegawaian Negara

www.pemantauperadilan.com 23

Anda mungkin juga menyukai