Anda di halaman 1dari 12

Sistem Rujukan yang Kurang Baik

Kemampuan masing-masing dokter, dokter layanan primer, maupun


kemampuan klinik dalam menangani masalah kesehatan mempunyai keterbatasan.
Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa untuk dapat menyelenggarakan
pelayanan kedokteran yang menyeluruh perlu dijalin kerja sama dengan dokter
maupun instansi pelayanan kesehatan lainnya. Kerja sama tersebut bertujuan untuk
dapat dimanfaatkannya berbagai sumber kedokteran yang ada di dalam masyarakat
sehingga dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan tuntutan kesehatan bagi setiap
orang. Upaya melimpahkan wewenang dan tanggung jawab penanganan suatu kasus
penyakit yang sedang ditangani oleh seorang dokter ke dokter lainnya disebut dengan
rujukan. Rujukan dapat dilakukan baik secara vertikal, dalam arti antar pelayanan
kesehatan yang berbeda stratanya maupun secara horisontal, dalam arti antar
pelayanan yang sama stratanya (Trihono, 2005).

Sistem rujukan menjadi salah satu sistem yang memungkinkan terpenuhinya


tuntutan kesehatan pasien secara menyeluruh dan digunakannya berbagai sumber
kedokteran. Masalah rujukan yang ada saat ini muncul yaitu berkaitan dengan
kurangnya koordinasi antar layanan kesehatan, rujukan yang tidak sesuai dengan
indikasi, maupun masalah penerimaan rujukan yang belum berjalan dengan baik.
Banyak kasus yang dialami oleh pasien karena masalah rujukan dan terbatasnya
fasilitas kesehatan dalam menampung pasien (Azwar, 1996).

Sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sistem rujukan
kesehatan perorangan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 001 tahun
2012. Dalam aturan tersebut diterangkan bahwa rujukan kesehatan dilakukan secara
berjenjang dari tingkatan pertama sampai dengan tingkatan ketiga. Tingkatan pertama
merupakan pelayanan kesehatan primer di puskesmas, praktek dokter dan sebagainya,
tingkatan kedua yaitu pelayanan kesehatan yang melayani masalah spesialistik dan
tingkatan ketiga merupakan pelayanan kesehatan yang menangani masalah
subspesialistik. Dari berbagai tingkatan tersebut, sistem rujukan berawal dari
pelayanan kesehatan tingkat terendah sampai dengan tingkat tertinggi. Peserta jaminan
kesehatan atau asuransi sosial wajib menggunakan alur rujukan berjenjang, begitu pula
dengan orang yang bukan jaminan kesehatan juga dapat mengikuti sistem rujukan
(PERMENKES, 2012).

Dengan adanya sistem rujukan yang baik dan terkoordinasi maka kejadian-
kejadian yang tidak diinginkan dapat dihindari. Misalnya kondisi pasien memburuk
karena terbatasnya kapasitas pelayanan kesehatan dan lamanya proses rujukan karena
dalam mengurus rujukan dilakukan oleh pihak keluarga sendiri.

Beberapa masyarakat akan memilih layanan kesehatan yang dapat dijangkau


dengan mudah dijangkau, murah, dekat tanpa melihat tingkat pelayanan kesehatan
tersebut, sehingga akan mengganggu dalam pelaksanaan rujukan berjenjang. Selain
karena itu, pemahaman masyarakat tentang sistem rujukan yang benar masih belum
dimengerti seluruhnya, sehingga ketidakpahaman masyarakat yang ada akan
menjadikan sistem rujukan yang tidak benar. Tidak jarang pasien yang kurang mampu
di tolak dengan berbagai alasan, sehingga pasien harus mencari sendiri rumah sakit
yang dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan pasien. Hal tersebut
dapat dimungkinkan karena rumah sakit memang benar-benar penuh atau karena
tunggakan asuransi, jaminan sosial dan sebagainya.

Beberapa rumah sakit seharusnya menjalankan kewajiban melaksanakan


fungsi sosial. Hal tersebut sudah diatur dalam undang-undang nomor 44 tahun 2009
tentang rumah sakit pasal 29 f yang menyatakan bahwa rumah sakit mempunyai
kewajiban melaksanakan fungsi sosial berupa pelayanan kepada masyarakat miskin,
pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan bencana alam
dan bakti sosial bagi misi kemanusiaan. Apabila rumah sakit menolak pasien rujukan
maupun tanpa rujukan orang yang kurang mampu dengan alasan yang tidak
dibenarkan maka rumah sakit tersebut telah melanggar kewajiban yang sudah diatur
dalam undang-undang. Hal tersebut akan lain hasilnya apabila pasal 29f dijalankan
dengan baik, sehingga tidak akan di temukan lagi pasien yang terlantar, disia-siakan
atau bahkan sampai meninggal dunia karena telat penanganannya (PERMENKES,
2009).

Berikut ini merupakan pemberitaan mengenai masalah rujukan kesehatan yang


pernah terjadi di Indonesia. Hal ini dapat menjadi pembelajaran bagaimana situasi
rujukan kesehatan yang terjadi saat ini. Beberapa tahun belakangan ini terdapat berita
tentang meninggalnya bayi usia tujuh hari di Jakarta, bernama DNA, berita tersebut
dimuat pada hari rabu, tanggal 20 Februari 2013, peristiwa ini akibat tidak
mendapatkan layanan unit perawatan intensif baru lahir atau neonatal intensif Care
unit (NICU), menunjukkan buruknya sistem rujukan pelayanan kesehatan di
Indonesia. Hal ini juga mungkin disebabkan karena rumah sakit yang menjadi tumpuan
hanya rumah sakit umum daerah, belum menyertakan rumah sakit swasta. Sedangkan
rumah sakit umum daerah yang menyediakan NICU hanya terbatas dan kebanyakan
rumah sakit yang mempunyai NICU dalam keadaan penuh.

Dengan adanya berita tersebut, perlunya banyak evaluasi yang dapat diperbaiki
pada sistem rujukan dan pelayanan kesehatan, terutama rumah sakit. Pemerintah dan
asosiasi rumah sakit seharusnya membuat jejaring lebih luas lagi, sehingga pelayanan
kesehatan akan mencakup masyarakat yang lebih luas dan pelayanan kesehatan yang
ada di dalam satu wilayah dapat melayani berbagai kalangan pasien. Jejaring ini
merupakan bagian dari sistem rujukan kesehatan berdasarkan jumlah fasilitas
kesehatan yang dapat melayani pasien. Oleh karena itu, proses rujukan berjenjang dari
tingkat pertama sampai tingkat diatasnya dapat berjalan dengan baik, ditambah lagi
dengan menurunnya kepadatan suatu pelayanan kesehatan di rumah sakit tertentu.

Dengan hal ini, maka kejadian yang tidak di inginkan seperti pada kasus diatas
tidak akan terulang kembali dan dapat diatasi dengan baik. Apabila jejaring rumah
sakit dapat berkoordinasi dengan baik, maka tidak dapat dipungkiri bahwa rujukan
yang dapat dilakukan dapat lintas asosiasi rumah sakit dengan mempertimbangkan
jarak yang mudah dan terjangkau untuk ditempuh, sehingga tidak akan membuat
pasien ditangani terlalu lama. Selain itu, dengan adanya komunikasi yang baik antar
rumah sakit dapat membantu pasien dalam mencari rumah sakit rujukan selanjutnya
dengan nyaman, sehingga pasien dan keluarga tidak merasa dibebani untuk mencari
rumah sakit lain.

Terkait dengan berita diatas, ada pernyataan dari wakil gubernur Jakarta saat
itu, Bapak Basuki Cahaya P, yang menyebutkan akan dibuat sambungan kabel optik
yang akan digunakan pada setiap kelurahan, sehingga dapat memberikan semua
informasi terkait layanan masyarakat termasuk rumah sakit. Apabila sistem informasi
itu dapat digunakan dengan baik, maka akan lebih cepat dalam mencari informasi
tentang pelayanan rumah sakit, termasuk kapasitas, ruang yang masih dapat
digunakan, rumah sakit terdekat sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan pasien.

Berita diatas hanya salah satu masalah yang muncul dalam media masa, dan
berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Selain masalah tersebut tentunya masih banyak
bahasan tentang rujukan kesehatan yang perlu untuk dibahas, salah satunya adalah
rujukan mengenai proses rujukan maternal, karena kesehatan ibu dan anak merupakan
kondisi penting dimana hal itu menunjukkan tingkat kesehatan suatu bangsa. Masih
banyaknya masalah rujukan maternal, terutama di daerah terpencil menjadikan
masalah ini perlu diperhatikan. Proses rujukan dari masyarakat sampai ke rumah sakit
belum sepenuhnya berjalan dengan baik, hal ini dikarenakan: a). Alur rujukan
berjenjang belum terlaksana karena tidak berfungsinya pelayanan dasar dalam
menolong persalinan, kemauan masyarakat sendiri ataupun kondisi geografis, b).
Belum adanya sistem informasi reintegrasi antara puskesmas, Dinas Kesehatan
Kabupaten dan RSUD, dan c). Kerja sama tim masih minim antar petugas kesehatan
di setiap level rujukan (Zaenab et al. 2013). Dengan adanya masalah tersebut, maka
perlunya evaluasi dan pembenahan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga
kesehatan maternal dapat dijaga dengan baik.

Saat ini dan tahun-tahun mendatang mulai akan diberlakukan sistem jaminan
kesehatan nasional yang mana diharuskan semua masyarakat Indonesia tergabung
didalamnya. Dengan adanya jaminan kesehatan nasional, sistem rujukan yang berlaku
harus sesuai dengan aturan yang telah dibuat. Dalam sistem jaminan kesehatan
nasional, rujukan berjenjang harus dilakukan kepada seluruh peserta jaminan
kesehatan nasional.

Beberapa kondisi yang diperbolehkan untuk tidak dilakukannya rujukan


berjenjang, yaitu keadaan gawat darurat, bencana alam, letak geografis, dan
pertimbangan ketersediaan fasilitas. Keadaan ini dapat menjadi masalah apabila
fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan belum merata. Bagaimana caranya
masyarakat mendapatkan pelayanan secara berjenjang dan komprehensif apabila
infrastruktur masih belum terpenuhi. Tentunya dibutuhkan pelayanan kesehatan yang
dapat diakses dengan mudah dan dapat melayani secara komprehensif. Selain hal itu,
akibat yang akan terjadi adalah terjadi penumpukan pasien pada rumah sakit besar.
Tentunya langkah berikutnya adalah pemenuhan kebutuhan akan layanan kesehatan di
daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan. Jangan sampai warga negara kita yang ada
di perbatasan justru berobat ke fasilitas kesehatan negara lain yang jarak dan biayanya
lebih terjangkau daripada di negara sendiri.

Salah satu prioritas reformasi kesehatan adalah meningkatkan dan pemerataan


pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat di daerah terpencil dan kepulauan
dengan berbagai rencana aksinya. Cakupan pelayanan yang rendah pada daerah
terpencil menunjukkan kondisi sarana dan prasarana kurang memadahi. Masalah lain
yang dihadapi oleh masyarakat di Daerah terpencil yaitu infrastruktur berupa jalan
maupun alat komunikasi yang susah di dapatkan. Oleh karena itu, sistem rujukan akan
sulit dilakukan dengan baik (Lazuardi et al, 2012).

Masalah yang timbul dalam sistem jaminan kesehatan nasional ini, membuat
pihak kementrian kesehatan membuat suatu konsep yang disebut dengan regionalisasi
rujukan. Regionalisasi sistem rujukan adalah pengaturan sistem rujukan dengan
penetapan batas wilayah administrasi daerah berdasarkan kemampuan pelayanan
medis, penunjang dan fasilitas pelayanan kesehatan yang restruktur sesuai dengan
kemampuan, kecuali dalam kondisi emergensi. Beberapa tujuan dibentuknya
regionalisasi rujukan ini yaitu untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan
rujukan, meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan rujukan sampai ke daerah
terpencil dan daerah miskin, serta mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan rujukan rumah sakit. Tetapi konsep ini masih belum dilaksanakan
dengan baik. Ternyata masalah yang timbul pada era jaminan kesehatan nasional
bukan hanya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang belum merata, namun juga
masalah rujukan yang cukup penting untuk diperhatikan.

Berikut ini masalah yang timbul di layanan kesehatan tingkat atas yang
mengalami penumpukan pasien karena banyak rujukan dari layanan kesehatan
dibawahnya. Sejak mulainnya jaminan kesehatan nasional, beberapa rumah sakit besar
mengalami penumpukan pasien. Beberapa Minggu yang lalu, yaitu hari jum’at tanggal
19 Desember 2014, bertempat di Jakarta diberitakan bahwa sistem rujukan Jln belum
optimal, dan pasien masih banyak yang menumpuk di RSCM. Masih lemahnya sistem
rujukan berjenjang dalam pelayanan program jaminan kesehatan nasional mulai
dikeluhkan dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Penyakit-penyakit yang seharusnya dapat ditangani pada tingkat puskesmas


maupun RSUD langsung saja dirujuk ke RSCM sebagai rumah sakit rujukan nasional.
Penyakit yang mengalami peningkatan yaitu diabetes melitus, seharusnya penyakit
tersebut masih dapat ditangani pada layanan primer maupun sekunder. Dengan adanya
sistem pembayaran melalui jaminan kesehatan nasional, dokter ataupun pelayanan
primer merasa biaya yang dikeluarkan dalam menangani kasus tersebut melebihi batas
yang telah ditentukan. Proses rujuk balik dan sistem pelaporan pada RSCM juga masih
belum berjalan dengan baik. Hal ini sebaiknya mulai di kurangi, karena pelayanan
kesehatan seharusnya bekerja sesuai dengan kompetensinya dan dikerjakan secara
komprehensif, jadi dari tingkatan pelayanan kesehatan dapat bekerja secara maksimal
dan tepat sasaran.

Hal yang sama terjadi pada rumah sakit Soetomo Jawa Timur, dalam lima
tahun terakhir, rumah sakit ini mengalami peningkatan pasien melebihi daya tampung
idealnya. Padahal kasus-kasus penyakit yang ada pada rumah sakit tersebut masih
dapat ditangani oleh rumah sakit yang lain. Sistem rujukan yang belum merata di Jawa
timur ini yang sebaiknya dikoreksi dengan bijak. Dengan sistem regionalisasi rujukan
diharapkan pasien rujukan yang terdistribusi dapat secara merata dan pelayanan
kesehatan dapat maksimal.

Oleh karena itu, sistem rujukan yang penting peranannya dalam memajukan
kesehatan Indonesia harus bisa diperbaiki oleh berbagai pihak yang terkait. Mulai dari
sarana dan prasarana sampai dengan maslahat tenaga kesehatan yang mencukupi.
Kebijakan pemerintah daerah juga diperlukan dalam mengatur atau mengarahkan
rujukan yang berlaku sesuai dengan kondisi di wilayahnya.
Daftar Pustaka

Azwar, A. (1996). Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Yayasan Penerbitan


Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta

Lazuardi, L., Hasanbasri, M., Luti, I. (2012). Kebijakan Pemerintah Daerah


dalam Meningkatkan Kesehatan Daerah Kepulauan di Kabupaten Lingga Provinsi
Kepulauan Riau. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. Vol. 1: 24-35

Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan No. 001 Tahun


2012. Tentang Sistem Rujukan Kesehatan Perorangan. Sekretariat Kabinet RI, Jakarta

Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri Kesehatan No. 44 Tahun 2009.


Tentang Rumah Sakit. Sekretariat Kabinet RI, Jakarta

Trihono. (2005). Manajemen Puskesmas Berbasis Paradigma Sehat. CV


Agung Seto, Jakarta

Zaenab, S.N., Trisnantoro, L., Zulhadi. (2013). Problem dan Tantangan


Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah Dalam Mendukung Sistem Rujukan
Maternal di Kabupaten Karimun Provinsi Kepri Tahun 2012. Jurnal Kebijakan
Kesehatan Indonesia. Vol. 2: 189-201
LAMPIRAN

Berita pertama :

Jakarta, Kompas - Meninggalnya bayi usia tujuh hari, Dera Nur Anggraini, akibat tidak
mendapat layanan unit perawatan intensif bayi baru lahir atau neonatal intensive care
unit, NICU, menunjukkan buruknya sistem rujukan pelayanan kesehatan di Indonesia.
Rumah sakit yang jadi rujukan pun masih bertumpu pada rumah sakit pemerintah,
belum memanfaatkan rumah sakit swasta.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam seminar ”Perubahan
Lingkungan dan Strategi Rumah Sakit Nirlaba di Indonesia” di Jakarta, Selasa (19/2),
mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang coba menghubungkan seluruh
kelurahan di DKI dengan kabel optik. Sistem ini diharapkan juga bisa menghubungkan
semua fasilitas layanan publik, termasuk rumah sakit di Jakarta.

Jika sistem tersebut sudah terbangun, upaya pencarian rumah sakit (RS) rujukan cukup
dilakukan melalui sistem informasi yang bisa menampilkan ketersediaan tempat tidur
atau ruang perawatan seluruh RS di Jakarta. ”Jadi, RS asal yang mencarikan rumah
sakit rujukan, bukan keluarga pasien,” ujarnya.

Sistem ini juga akan dihubungkan dengan nomor panggilan gawat darurat 119. Data
ini juga bisa diakses pengelola ambulans sehingga dapat membawa pasien gawat
darurat ke RS terdekat yang punya layanan.

Dalam seminar, sejumlah RS mengeluhkan membeludaknya pasien ke rumah sakit


sejak Kartu Jakarta Sehat (KJS) diluncurkan. Bahkan, tak jarang keluarga pasien
mengintimidasi petugas. Pasien juga banyak yang tidak mau tahu bahwa fasilitas yang
tersedia di RS terbatas.

Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta agar Menteri


Kesehatan segera mengaudit beberapa rumah sakit di Jakarta terkait kasus
meninggalnya Dera. Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak KPAI M Ihsan
mengatakan, ada indikasi tak benar yang terlihat dari pengajuan rujukan pengobatan
yang tidak dapat dipenuhi oleh beberapa RS besar akibat terbatasnya ruang perawatan.

Tidak terkait KJS

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati, Selasa kemarin, memanggil
perwakilan delapan RS yang diminta merawat Dera. Bersama Direktur Jenderal Bina
Usaha Kesehatan Kemenkes Akmal Taher, Dien menggelar jumpa pers untuk
mengklarifikasi berbagai isu seputar meninggalnya Dera.
”Ini tidak ada hubungannya dengan status pasien yang menggunakan KJS. Bayi Dera
dalam kondisi khusus dan perlu alat khusus, yaitu NICU. Dari delapan rumah sakit
yang dihubungi RS Zahira, ada yang tidak memiliki NICU. Ada juga yang memiliki
NICU, tetapi penuh,” kata Dien.

Dien menambahkan, dari segi pembiayaan, tidak ada masalah. Pasien dari kelas apa
pun akan diperlakukan sama. Jika memerlukan NICU, harus diberikan. Hal senada
disampaikan Akmal. Menurut Akmal, dari delapan RS itu, tidak ada yang meminta
uang muka kepada orangtua Dera.

Keduanya mengakui, jumlah NICU di Jakarta masih sangat minim, yaitu 143 unit yang
tersebar di Jakarta Pusat (45 unit), Jakarta Utara (14), Jakarta Barat (33), Jakarta
Selatan (16), dan Jakarta Timur (35). Idealnya, jumlah NICU sebanyak 1-3 persen dari
angka kelahiran.

Dari delapan RS yang dihubungi, empat RS, yaitu RS Budhi Asih, RS St Carolus, RS
Asri, dan RS Tria Dipa, tidak punya NICU. ”Di RSCM ada 10 NICU, tetapi penuh.
Ada tiga pasien yang mestinya dirawat di NICU terpaksa hanya dirawat di UGD
karena memang penuh,” kata Akmal.

Ke depan, lanjut Akmal, sangat logis menambah kapasitas NICU. Namun,


penambahan tidak sekadar alat, tetapi juga tenaga andal, seperti dokter spesialis dan
perawat yang mahir menangani anak dalam kondisi gawat. Dien menargetkan,
minimal di setiap RSUD memiliki NICU.

Infrastruktur pendukung

Pemerintah Provinsi DKI dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjalin kerja sama
memperbaiki infrastruktur pendukung program KJS. Kedua pihak sepakat menambah
jumlah tenaga medis, membangun sistem rujukan, menentukan jenis obat, dan jenis
penyakit pasien peserta KJS.

”Lebih baik terlambat memperbaiki sistem pendukung daripada tidak sama sekali.
Perbaikan ini penting untuk mengendalikan penggunaan anggaran sehingga tidak jebol
karena tingginya tagihan klaim RS,” tutur Kepala Bidang Kesejahteraan Anggota IDI
Jakarta Kartini, Selasa di Jakarta.

Pemprov DKI, kata Kartini, belum menyebut jumlah dokter untuk memperkuat
pelayanan di tingkat puskesmas. ”Kerja sama ini baru kami bicarakan hari Senin. Nota
kerja sama sedang kami selesaikan,” katanya.(MZW/NEL/FRO/NDY/WIN/ART)
Berita kedua :

Jumat, 19 Desember 2014 | 16:22

Sistem Rujukan JKN Belum Optimal,


Pasien Menumpuk di RSCM

Kepala Puskesmas Koja, Lysbeth Pandjaitan (seragam batik) nampak membantu Nur
Rahmah (25) untuk memberikan asi bagi Firdaus yang memiliki kelainan bawaan saat
lahir dan ditolak rujukannya di RSCM & RSUD Koja (Senin, 1 Des (sumber: Suara
Pembaruan / Carlos Barus)

Jakarta - Masih lemahnya sistem rujukan berjenjang dalam pelayanan program


Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai dikeluhkan dokter di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM). Pasalnya, banyak kasus penyakit yang sebetulnya dapat
ditangani di tingkat puskesmas atau di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), namun
langsung dirujuk ke RSCM sebagai rumah sakit rujukan nasional. Misalnya saja dalam
tatalaksana diabetes mellitus (DM).

Kepala Divisi Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam FKUI-RSCM, Em Yunir


mengatakan, merujuk pasien DM seharusnya baru dilakukan bila memang tidak
tercapainya target yang diinginkan setelah melakukan pengobatan dengan maksimal,
atau ketika komplikasi terlalu kompleks untuk ditangani.

"Yang terjadi sekarang, banyak puskesmas atau RSUD yang langsung merujuk karena
merasa biaya penanganan pasien DM ini akan melebihi paket yang sudah ditetapkan.
Makanya, di RSCM banyak terjadi penumpukan pasien DM, bahkan bisa sampai 1.200
pasien setiap bulannya," kata Em Yunir di Jakarta, Jum'a (19/12).

Selain itu, lanjut Yunir, sistem rujuk balik juga belum tertata dengan baik dari segi tata
kelola dan sistem pelaporan dari RSCM dan RS rujukan balik. Misalnya sistem
rujukan terapi penyakit kronis yang tidak disertai jenis obat yang memadai.
"Ini terjadi karena obat yang ditanggung BPJS Kesehatan tidak lengkap atau sulit
diperoleh, termasuk obat yang diminum dan insulin. Sistem paket obat juga sering
terbatas, misalnya untuk persediaan 10 hari saja," imbuhnya.

Lalu dari aspek provider, Yunir melihat belum memadainya sumber daya manusia
yang kompeten, khususnya di layanan primer. Karena itu, sangat penting untuk
meningkatkan kemampuan dan kompetensi fasilitas pelayanan kesehatan sesuai
dengan jumlah kasus terbanyak.

"Fungsi PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan) 1 dan 2 juga harus diperjelas. Misalnya
insulin di PPK-1 dan penyesuaian dosis di PPK-2," tambahnya lagi.

Berita ketiga :

Sistem Rujukan Pasien di Jawa Timur


Tak Merata
Tuesday, 30 July 2013, 20:28 WIB

www.yustisi.com

Rumah Sakit Umum (RSU) Dr Soetomo


A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Sistem rujukan pasien di Jawa Timur dinilai
belum merata. Hal ini disebabkan karena pasien cenderung dibawa ke Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Dr Soetomo Surabaya.
Direktur RSUD Dr Soetomo, Dodo Anando mengatakan, hal semacam ini sudah
terjadi sejak lima tahun lalu. Bahkan, dari jumlah kapasitas tempat tidur 1.472 unit,
pihaknya selalu mengalami kelebihan pasien sebesar delapan persen.

"Distribusi pasien pada rumah sakit di wilayah Surabaya memang belum merata,
mereka menjadikan rumah sakit ini sebagai rujukan utama," kata Dodo pada wartawan,
Selasa (29/7).

Padahal, kasus yang ditangani RSUD Dr Soetomo sebagian besar persoalan penyakit
yang dianggap masih bisa teratasi oleh rumah sakit lain. Menurutnya, banyak dokter
yang dinilai mampu melakukan pengobatan tersebut.

Dia berharap, sistem rujukan daerah dapat segera diperbaiki. Dengan begitu, pihaknya
dapat fokus menangani kasus yang tipe Serius Tiga (Darurat). Dan pasien yang datang
pun adalah orang yang menderita penyakit serius.

"Bukan hanya kasus ringan seperti usus buntu, hernia dan sebagainya. Kalau itu,
semua dokter bedah bisa menangani," ujarnya.

Anda mungkin juga menyukai