Anda di halaman 1dari 4

LO FAKTOR PENGHAMBAT SISTEM RUJUKAN

Terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat pelaksanaan sistem rujukan berjenjang di
Indonesia, yaitu:
1. Komunikasi dan informasi antar fasiltas kesehatan (perujuk dan tujuan rujukan)
Kurangnya komunikasi antara fasiltas kesehatan perujuk dan tujuan rujukan merupakan
salah satu faktor penghambat berjalannya sistem rujukan yang ada di Indonesia. Agar sistem
rujukan di Indonesia dapat berjalan secara optimal, diperlukan adanya komunikasi antar fasilitas
kesehatan baik faskes yang setingkat maupun antar tingkatan faskes. Hal ini bertujuan agar fasilitas
kesehatan tersebut dapat melakukan koordinasi rujukan antar fasilitas kesehatan. Faskes perujuk
perlu mendapatkan informasi mengenai ketersediaan sarana dan prasarana, kompetensi dan
ketersediaan tenaga kesehatan pada fasker tujuan rujukan serta kepastian bahwa faskes tujuan
rujukan dapat menerima pasien sesuai dengan kebutuhan medis. Faskes tujuan rujukan perlu
mendapatkan informasi secara dini terhadap kondisi pasien sehingga dapat mempersiapkan dan
menyediakan perawatan sesuai dengan kebutuhan medis (BPJS Kesehatan, 2014).
2. Sarana transportasi
Dalam pelaksanaan rujukan, ketersediaan sarana transportasi untuk mencapai ke fasilitas
kesehatan tempat dirujuknya pasien merupakan salah satu hal yang penting. Di daerah perkotaan
hal ini merupakan perkara yang jarang ditemui, namun pada komunitas ataupun daerah yang
terpencil sarana transportasi merupakan salah satu faktor penghambat dalam pelaksanaan sistem
rujukan. Kecepatan untuk mencapai fasilitas kesehatan tujuan rujukan merupakan hal yang
menentukan seberapa cepat pasien mendapat tindak lanjut penanganan kesehatan serta berpengaruh
terhadap kondisi kegawatan pasien (Zulhadi, Laksono dan Siti NZ, 2012).
3. Akses atau medan (kondisi geografis) menuju ke fasilitas kesehatan tujuan rujukan
Kondisi geografis yang berbeda antara fasilitas kesehatan menyebabkan perbedaan waktu
dan jarak dalam mencapai fasilitas kesehatan rujukan. Faktor alam seperti gelombang dan cuaca
buruk juga dapat memperlambat proses pelaksanaan rujukan, terutama yang berasal dari wilayah
pedesaan dan kepulauan (Zulhadi, Laksono dan Siti NZ, 2012).
4. Kondisi sosial-budaya masyarakat setempat.
Kondisi sosial budaya masyarakat yang dapat memperlambat proses rujukan adalah:
budaya berunding, takut dirujuk serta berobat dan proses persalinan yang dilakukan dengan bantuan
dukun. Beberapa hal yang melatarbelakangi ibu hamil bersalin dengan bantuan dukun adalah
adanya budaya turun temurun dari leluhur dan kendala faktor biaya, dimana biaya persalinan dan
berobat di dukun lebih terjangkau (Zulhadi, Laksono dan Siti NZ, 2012).
5. Pandangan masyarakat terhadap sistem rujukan medis ataupun rujukan kesehatan.
6. Pendanaan
(Zulhadi, Laksono dan Siti NZ, 2012).

Menurut Primasari (2015), terdapat faktor-faktor lain yang juga dapat menghambat pelaksanaan
sistem rujukan berjenjang di Indonesia, yaitu:
1. Koordinasi yang lemah antar instansi dan unit terkait, dalam masalah sistem rujukan
2. Perencanaan pengadaan alat kesehatan dan obat di RSUD yang masih lemah
3. Belum adanya mapping terkait dengan alur rujukan yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi
4. Ketidaksesuaian antara klasifikasi rumah sakit sebagai penerima rujukan dengan ketidakpastian
pelayanan yang dapat diberikan
5. Ketidakdisiplinan petugas terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan pencatatan dan pelaporan
yang mengharuskan pencatatan dilakukan secara lengkap dan pelaporan ke Dinas Kesehatan
6. Tidak berjalannya evaluasi sistem rujukan oleh Dinas Kesehatan karena tidak adanya pelaporan
tentang sistem rujukan yang dilaporkan ke Dinas Kesehatan
(Primasar, 2015).

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta tahun 2014, terdapat beberapa permasalahan yang
di temukan dalam pelaksanaan rujukan pasien, antara lain :

1. Rujukan dibuat berdasarkan atas permintaan sendiri.


2. Sistem Rujukan Balik tidak berjalan.
3. Sistem Rujukan Online (SPGDT 119) belum berjalan dengan baik.
4. Masih ditemukannya penerima pertama pasien kegawatdaruratan bukan tenaga kesehatan terlatih
5. Tenaga kesehatan yang sudah terlatih dimutasi ke fasilitas pelayanan kesehatan lain atau bagian
lain.
6. Pelaksanaan rujukan balik belum dimanfaatkan secara maksimal oleh petugas rumah sakit dan
puskesmas/jajarannya.
7. Puskemas merasa kesulitan untuk merujuk karena terkadang RS penuh sehingga petugas
Puskesmas harus mencari rumah sakit lain.
8. Koordinasi antara RS, PKM masih kurang.
9. Masih tingginya biaya transportasi dan terkadang terlambat dalam penanganan karena lama sampai
ke RS.
1. Hambatan dalam sistem rujukan.
 Banyaknya masyarakat yang belum memahami mengenai sistem rujukan
Dalam hal ini, pengetahuan masyrakat mengenai alur rujukan masih sangat kurang.
Masyarakat kebanyakan cenderung mengakses pelayanan kesehatan terdekat atau mungkin
paling murah tanpa memperdulikan kompetensi institusi ataupun operator yang
memberikan pelayanan. Padahal sitem rujukan di Indonesia telah diatur dengan bentuk
bertingkat atau berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua dan ketiga,
dimana dalam pelaksanaannya tidak berdiri sendiri-sendiri namun berada di suatu sistem
dan saling berhubungan. Apabila pelayanan kesehatan primer tidak dapat melakukan
tindakan medis tingkat primer maka ia menyerahkan tanggung jawab tersebut ke tingkat
pelayanan di atasnya, demikian seterusnya.
 Kendala jarak Faktor yang mempengaruhi akses masyarakat ke rumah sakit adalah faktor
geografis. Dalam arti fisik, kendala geografis di darat berhubungan erat dengan kondisi
jalan, ketersediaan transportasi dan pengaruh musim atau cuaca. Semakin jauh jarak secara
geografis, maka pengorbanan biaya dan waktu menjadi semakin besar.
 Kuantitas dan kualitas tenaga pelaksana belum merata, masih ada puskesmas yang tidak
mempunyai tenaga dokter. Bahkan masih ada suatu daerah yang tidak memiliki dokter,
baik dokter umum maupun dokter spesialis
 Belum meratanya tenaga kesehatan yang ada, jumlah tenaga kesehatan yang ada tidak
sebanding dengan jumlah masyrakat yang berobat
 Kesiapan tenaga kesehatan yang masih kurang. Pelayanan berlebihan (overuse), kurang
pas (underuse), dan kurang tepat (mis- use) dalam memberikan layanan 3arif masih
menjadi masalah. Hal itu terjadi dalam diagnosis, peresepan obat, tes laboratorium, atau
prosedur layanan lain.
Belum jelasnya mengenai standar pelayanan, standar 3ariff, dan standar biaya dalam sitem
rujukan.

DAFTAR PUSTAKA

BPJS Kesehatan. 2014. Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang. Jakarta: Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan.
Zulhadi, Laksono dan Siti NZ. 2012. Problem dan Tantangan Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah
dalam Mendukung Sistem Rujukan Maternal di Kabupaten Karimun Provinsi Kapri Tahun 2012.
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. vol 2(4): 189-201.
Primasari, K.L., 2015. Analisis Sistem Rujukan Jaminan Kesehatan Nasional RSUD. Dr. Adjidarmo
Kabupaten Lebak. J. Adm. Kebijak. Kesehat. 1, 85.
Departemen Kesehatan RI . 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta : Depkes.

Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2014. Draf Sistem Rujukan Layanan Kesehatan
Primer Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta: DINKES DKI Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai