Anda di halaman 1dari 20

[ Vol. II, No.

3, Januari - Juni 2017 ]

HADITS GHADIR KHUM,


MANDAT KEPEMIMPINAN UNTUK ALI?

Ahmad Khoirul Fata

cakfata@iaingorontalo.ac.id

Abstrak

Artikel Tamu
Sejak awal mula Syiah muncul dari aspirasi politik sekelompok orang
yang mengklaim hak kepemimpinan umat Islam pasca Rasulullah Saw
ada pada Ali bin Abi Thalib. Klaim tersebut didasarkan pada hadits-
hadits Nabi Saw yang dianggap memberikan legitimasi kepada Ali untuk
menjadi menjadi penganti beliau. Hadits-hadits itu pun di kemudian hari
dikenal sebagai hadits Ghadir Khum karena dinisbatkan kepada nama
lokasi di mana Rasulullah Saw mengucapkan sabdanya tersebut. Dari
hadits inilah kelompok Syiah mengembangkan konsep imamah-nya yang
menjadi bagi penting dalam doktrin keagamaannya.
Tulisan ini mencoba mengkaji keabsahan klaim itu dengan fokus pada
kajian terhadap hadits Ghadir Khum. Dari hasil kajian ditemukan fakta
bahwa hadits tersebut sesungguhnya bukan bermaksud memberikan
tongkat estafet kepemimpinan umat Islam kepada Ali dan keturun-
annya, namun sebentuk pembelaan Nabi Muhammad Saw kepada Ali bin
Abi Thalib yang saat itu mendapat isu negatif. Hadits itu juga menjadi
sebuah upaya rekonsiliasi yang diupayakan Nabi Saw di kalangan para
sahabat-sahabatnya.
***

Ahmad Khoirul Fata


71
STAI PERSIS GARUT [ Jurnal Studi Islam ]

Pendahuluan
Konflik Sunni-Syiah telah terjadi sejak di awal-awal abad se-
jarah peradaban Islam. Bermula dari perbedaan dalam aspirasi
politik, kemudian berkembang memasuki ranah teologi dan keaga-
maan. Hingga kini pun gesekan-gesekan senantiasa mewarnai dina-
mika hubungan keduanya, dari gesekan halus hingga keras dan
berdarah-darah.
Sejak awal mula Syiah muncul dari aspirasi politik sekelompok
orang yang mengklaim hak kepemimpinan umat Islam pasca
Rasulullah Saw ada pada Ali bin Abi Thalib. Diceritakan, Ali merupa-
kan salah satu sahabat yang memiliki kedekatan khusus dengan Nabi
Saw. Ali adalah sepupu, menantu, sahabat, dan salah satu orang
yang berislam di awal periode kenabian (al-sabiqun al-awwalun).
Artikel Tamu

Meski secara bahasa Syiah itu bermakna “pengikut”, namun al-


Syahrastani mengkhususkan istilah Syiah kepada kelompok pengikut
Ali bin Abi Thalib yang mengklaim bahwa Ali lah yang secara nash
dan wasiat dari Nabi Saw berhak atas imamah dan khilafah. Mere-
ka pun meyakini bahwa imamah itu tidak akan keluar dari garis ke-
turunan Ali bin Abi Thalib.1
Klaim tersebut didasarkan pada hadits-hadits Nabi Saw yang
dianggap memberikan legitimasi kepada Ali untuk menjadi menjadi
penganti beliau. Hadits-hadits itu pun di kemudian hari dikenal se-
bagai hadits Ghadir Khum karena dinisbatkan kepada nama lokasi
di mana Rasulullah Saw mengucapkan sabdanya tersebut.2 Dari had-
its inilah kelompok Syiah mengembangkan konsep imamah-nya yang
menjadi bagi penting dalam doktrin keagamaannya.
Tulisan ini mencoba membahas hadits Ghadir Khum dengan
penekanan pada perbedaan sikap antara Syiah dan Sunni dalam

al-Milal wa al-Nihal Juz I (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1993), 169


1 Al-Syahrastani,
2 LihatMuhammad Husayn Tabatabai, Shi’a, translated by Sayyid Husayn Nasr (Manila: Al-Hidaya,
1995), 40

72
[ Vol. II, No. 3, Januari - Juni 2017 ]

meresponnya. Pembahasan tentang tema ini menjadi begitu penting


untuk memahami akar perbedaan kedua kelompok yang masih eksis
hingga saat ini.
Konsep Imamah Syiah
Kata imam dan imamah berasal dari kata “amma-yaummu-
amman-imaman-imaamatan” yang berarti “memimpin, pemimpin atau
kepemimpinan”.3 Kata “imam” sendiri sering merujuk pada subyek
pemilik kekuasaan, biasanya di bidang ritual keagamaan. Se-
dangkan kata imamah lebih ditekankan pada jabatan, posisi atau
fungsi memimpin.4
Secara terminologis al-Hilli, seperti yang dikutip Zainal Abidin,
mendefinisikan imamah sebagai “Kepemimpinan umum dalam sege-
nap urusan religius dan sekular (non-religius) yang diemban oleh

Artikel Tamu
seseorang yang mewakili atau menggantikan posisi Nabi Saw”.5 Atas
dasar ini Abidin memahami bahwa dalam konsep imamah terkandung
makna posisi utama seorang imam yang setara dengan Nabi Saw
dengan satu titik perbedaan; Nabi Saw menerima wahyu, sementara
imam tidak demikian.6
Imam dan imamah memiliki posisi penting dalam doktrin keaga-
maan Syiah karena hal itu merupakan anugerah dari Allah, bukan
berdasar pilihan manusia. Seorang imam terpilih menjadi imam
bukan karena masyarakat atau sekelompok orang sengaja mem-
ilihnya, sebagaimana yang berlaku dalam sistem demokrasi, namun
itu merupakan hak prerogatif Allah Swt. Karena itulah imamah dalam
Syiah memiliki dimensi ketuhanan. Kalangan Syiah pun menjadikan

3 Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Masyriq, 1967), 16-17


4 Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (New York: Spoken Languange Service,
1976), 26.
5 Zainal Abidin, Imamah dan Implikasinya dalam Kehidupan Sosial: Telaah atas Pemikiran Teologi

Syiah (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Kemenag RI, 2012), 77


6 Ibid., 77-78.

Ahmad Khoirul Fata


73
STAI PERSIS GARUT [ Jurnal Studi Islam ]

imamah sebagai bagian dari ushuluddin yang tidak mungkin dila-


laikan untuk disampaikan oleh Rasulullah Saw.7
Dalam Syiah para imam itu harus berasal dari keluarga Nabi
Saw (ahl bayt) melalui Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, yang diberi
karunia terbebas dari dosa dan kesalahan (ishmah), karena itu mere-
ka dianggap suci dan sempurna sebagaimana keadaan Nabi Mu-
hammad Saw, dan memiliki sifat lutf (kemurahan/kelembutan) pada
manusia lain. Selain memiliki otoritas di bidang politik para imam ju-
ga punya otoritas di bidang agama (wala imamah), maka mereka
harus menguasai ilmu lahiriah dan batiniah, imamah tidak memiliki
batasan waktu dan proses suksesinya melalui wasiat.8
Meski penentuan seorang imam merupakan wilayah otoritas
Allah Swt, namun ternyata kalangan Syi’i sendiri berbeda-beda da-
Artikel Tamu

lam mengidentifikasi imam-nya sehingga terbagi-bagi dalam be-


berapa kelompok. Al-Syahrastani membagi kelompok-kelompok da-
lam Syiah ada lima: Kaisaniyah, Zaidiyyah, Imamiyah, Ghulat, dan
Ismailiyah.
Pertama, Kaisaniyah adalah para pengikut Kaisan. Dia adalah
mawla dari Ali bin Abi Thalib. Juga disebut sebagai murid dari Mu-
hammad bin al-Hanafiyah. Kaisaniyah memiliki beberapa sub ke-
lompok, yaitu:
1). Al-Mukhtariyah, pengikut Mukhtar bin Abi Abid al-Tsaqafi. Dia
dulu seorang khawarij. Kemudian menjadi pengikut Zubair. Lalu
menjadi Syiah Kaisaniyyah. Kelompok ini meyakini bahwa Mu-
hammad bin Hanafiyah merupakan khalifah pasca Ali bin Abi
Thalib, atau setelah Hasan dan Husayn bin Ali bin Abi Thalib.9
2). Al-Hasyimiyah, yang merupakan pengikut Hasyim bin Muham-
mad bin al-Hanafiyah. Kelompok ini meyakini bahwa pasca

7 Al-Syahrastani, al-Milal, 169.


8 Abidin,Imamah, 93-97
9 Al-Syahrastani, al-Milal, 170-171

74
[ Vol. II, No. 3, Januari - Juni 2017 ]

meninggalnya Muhammad bin Hanafiyah, imamah berpindah


kepada anaknya, Abi Hasyim.10
3). Al-Bayaniyah, pengikut Bayan bin Sam’an al-Tamimi. Kelompok
ini meyakini imamah berpindah dari Abi Hasyim kepada
dirinya (Bayan bin Sam’an). Kelompok ini termasuk golongan
ghulat yang meyakini ke-ilahi-an Ali bin Abi Thalib.11
4). Al-Rizamiyah, pengikut Rizam bin Razm. Kelompok ini meyakini
bahwa imamah bermula dari Ali bin Abi Thalib, lalu ke Muham-
mad bin Hanafiyah, kemudian ke Hasyim, lalu ke Ali bin Abdil-
lah bin Abbas melalui wasiat, kemudian ke Muhammad bin Ali,
dan lalu diwasiatkan ke anaknya, Ibrahim.12
Kedua, Kelompok Zaidiyyah yang merupakan pengikut Zayd
bin Ali bin Husayn bin Ali bin Abi Thalib. Kelompok ini meyakini

Artikel Tamu
imamah hanya melalui jalur Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah, baik
dari Hasan atau Husayn, dan tidak melalui jalur lainnya.13
Para pengikut Zayd menganggap dia sebagai imam kelima
dari rangkaian ke-imamah-an Syiah. Setelah meninggal, posisi itu
dilanjutkan oleh anaknya Yahya bin Zayd yang meninggal dalam
pemberontakan melawan Khalifah Walid bin Yazid dari Bani Umay-
yah. Setelah itu dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdullah dan Ibra-
him bin Abdullah yang juga meninggal dalam pertempuran melawan
Khalifah Mansur al-Dawaniqi dari Bani Abbasiyah.14
Ketiga, kelompok Ismailiyyah yang menisbatkan namanya pada
anak tertua dari Imam Ja’far al-Shadiq, yaitu Ismail. Ismail dianggap
hilang oleh pengikutnya dan akan kembali lagi di kemudian hari se-
bagai Mahdi. Namun sebagian lagi mempercayai dia telah mening-

10 Ibid., 174
11 Ibid., 176
12 Ibid., 178
13 Ibid., 179-180
14 Tabatabai, Shi’a, 76-77

Ahmad Khoirul Fata


75
STAI PERSIS GARUT [ Jurnal Studi Islam ]

gal dunia, namun ke-imamah-annya telah ditransfer ke anaknya, Mu-


hammad.15 Urut-urutan imam menurut aliran Ismailiyah adalah: Ali bin
Abi Thalib, Husayn bin Ali (mereka tidak mengakui kepemimpinan
Imam Hasan), Ali bin Husayn al-Sajjad, Muhammad al-Baqir, Ja’far al
-Sadiq, Ismail bin Ja’far, dan Muhammad bin Ismail. Pasca itu kepem-
impinan dipegang oleh pengikut setia-nya yang disebut sebagai
“naqib”.16
Secara politik, aliran inilah yang telah mendirikan Dinasti Fati-
miyah. Ismailiyyah memiliki beberap sub aliran, seperti Batiniyyah,
Nizariyah, Musta’liyah, Druze, dan Muqanna’ah.17
Keempat, aliran Dua Belas Imam (Imamiyyah). Kelompok ini
meyakini bahwa secara nash Ali bin Abi Thalib merupakan imam pas-
ca Nabi Saw. Mereka menyatakan bahwa imam merupakan urusan
Artikel Tamu

yang paling penting dalam agama.18


Kelompok ini mempercayai pada keberadaan 12 imam peng-
ganti Nabi Muhammad Saw. Yaitu, Ali bin Thalib, Hasan bin Ali, Hu-
sayn bin Ali, Ali Zainal Abidin (Ali bin Husayn), Muhamad al-Baqir
(Muhammad bin Ali), Ja’far al-Shadiq (Ja’far bin Muhammad), Musa
al-Kadzim (Musa bin Ja’far), Ali al-Ridha (Ali bin Musa), Muhammad
al-Jawad al-Taqi (Muhammad bin Ali), Ali al-Hadi (Ali bin Muham-
mad al-Jawad), Hasan al-Askari (bin Ali al-Hadi), Muhammad al-
Mahdi (bin Hasan al-Askari).19
Kelima, Kelompok ini merupakan golongan yang berlebihan
dalam dalam membela ke-imamah-an sehingga mereka pun
melampaui batas-batas kemanusiaan dengan menetapkan hukum ke-

15 Ibid., 78
16 Ibid., 78-79
17 Ibid., 79-82

Al-Milal, 189
18 Al-Syahrastani,
19 Slamet
Mulyono, “Pergolakan Teologi Syiah-Sunni: Membedah Potensi Integrasi dan Disintegrasi,”
Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, Vol 16 No 2 tahun 2012, 248

76
[ Vol. II, No. 3, Januari - Juni 2017 ]

ilahi-an kepada para imam, bahkan terkadang mereka menyamakan


imam-nya dengan Tuhan, dan terkadang menyamakan Tuhan dengan
makhluq.20 Ada beberapa sub kelompok ini, di antaranya:
1). Al-Sabaiyah, pengikut Abdullah bin Saba’ yang menyatakan
kepada Ali bin Abi Thalib: Anda, anda, anda, yakni anda ada-
lah Tuhan!. Abdullah bin Saba’ merupakan orang Yahudi yang
kemudian masuk Islam.21
2). Al-Kamaliyah, pengikut Abi Kamil. Mereka ini mengkafirkan
seluruh sahabat yang tidak membaiat Ali bin Abi Thalib.22
3). Al-Albaiyah, pengikut Alba’ bin Dzara’ al-Dawsy. Mereka lebih
mengutamakan Ali atas Nabi Saw, dan mengunggulkan Ali se-
bagai Tuhan. Dalam kelompok ini terdapat sebagian orang
yang juga memberikan sifat ke-ilahi-an kepada keluarga Kisa’,

Artikel Tamu
yaitu: Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan, Husayn. Mereka
menganggap kelima orang tersebut itu sesungguhnya satu enti-
tas.23
4). Al-Mughiriyah, pengikut Mughirah bin Said.
5). Al-Khattabiyah, pengikut Abi al-Khattab Muhammad bin Abi
Zainab al-Asdi.
6). Al-Kayyaliyah, pengikut Ahmad bin Kayyal.24
Redaksi Hadits Ghadir Khum
Hadits Ghadir Khum memiliki memiliki sanad yang sangat ban-
yak. Menurut catatan Salamah Noorhidayati, riwayat tersebut ter-
maktub dalam banyak kitab hadits, seperti dalam Sunan al-Tirmidzi,

20 Al-Syahrastani, Al-Milal, 203


21 Ibid., 204
22 Ibid., 205
23 Ibid., 206-207
24 Untuk mengetahui lebih lengkap kelompok Ghulat lihat Ibid., 207-222.

Ahmad Khoirul Fata


77
STAI PERSIS GARUT [ Jurnal Studi Islam ]

Sunan Ibn Majah, Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan al-Kubra karya
Imam al-Nasai, serta Sahih ibn Hibban.25
Lebih jauh dijelaskan, dalam Sunan al-Tirmidzi, Sahih Ibn Hib-
ban dan Sunan Ibn Majah terdapat sebuah riwayat mengenai Gha-
dir Khum, dalam Musnad Ahmad bin Hanbal ada sekitar 10 hadits,
dan ada cukup banyak di dalam Sunan al-Kubra-nya Imam al-
Nasai.26 Selain itu, hadits tersebut juga memiliki jalur periwayatan
yang sangat banyak. Disebutkan, jalur yang banyak itu meliputi di
semua tingkatan, baik pada tingkat sahabat maupun perawi yang
lainnya dan masing-masing telah memenuhi syarat syahid dan muta-
bi’. Dengan itu semua Noorhayati berkesimpulan bahwa Hadits Gha-
dir Khum tergolong hadis Mutawatir.27
Berikut ini contoh hadits Ghadir Khum yang termuat dalam
Artikel Tamu

Sunan Ibn Majah:28

َّ َ ‫َب ِِّن‬ َ ِ ُْ ‫ َحدَّ َثنَا َأ ُبو‬:‫َم َّم ٍد َق َال‬ َ ُ ‫َحدَّ َثنَا َع ِ ُِّل ْب ُن‬
ْ ‫ َع‬،‫ْحا ُد ْب ُن َس َل َيمي َة‬
‫ين‬ َ َ ‫ أ ْخ‬:‫اَل َس َْي َق َال‬
‫ َأ ْق َب ْلينَيا‬:‫ َق َال‬،‫ب‬ ِ ‫اء ْب ِن َع‬
ٍ ‫از‬ ِ ‫ ع ِن ا ْلَب‬،‫ت‬ ٍ ِ‫ عن ع ِدي ب ِن َثاب‬،‫ان‬ ِ ِ
ََ َ ْ ِّ َ ْ َ َ ‫َع ِِّل ْب ِن َز ْيد ْب ِن ُجدْ َع‬
،‫يق‬ ِ ‫ض ال َّط ِر‬ ِ ‫ َفنَ َز َل ِِف َب ْع‬،‫ول اَّللَِّ َص ََّل اَّللُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم ِِف َح َّجتِ ِه ا َّلتِي َح َّج‬ِ ‫م َع رس‬
ُ َ َ
ِ ِ ‫يت َأو ََل بِيا َُْل ْيؤ ِمين‬ ِ ِ َ ِ
‫ين‬
ْ ‫يَي م‬ َ ْ ُ ‫ « َأ َل ْس‬:‫يال‬ َ ‫ َفي َق‬،‫يِل‬ َّ ‫َف َأ َم َر‬
‫ َفأ َخ َِ بِي َييد َع ف‬،‫الص َ َة َجام َع ًة‬
،‫ َب َيَل‬:‫يس ِيه؟ » َقيا ُليوا‬ِ ‫ت َأو ََل بِك ُِّل م ْؤ ِم ٍن ِمن َن ْف‬
ْ ُ
ِ
ْ ُ ‫ « َأ َل ْس‬:‫ َق َال‬،‫ َب ََل‬:‫َأ ْن ُفس ِه ْم؟ » َقا ُلوا‬
ِ ‫ ال َّلهم ع‬،‫ال من و َاَله‬
‫اد َم ْن َعا َدا ُه‬ َ َّ ُ ُ َ ْ َ ِ ‫ ال َّل ُه َّم َو‬،‫ « َف َه َِا َو ِ ُّيل َم ْن َأنَا َم ْو ََل ُه‬:‫َق َال‬
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad, telah menceritakan kepada
kami Abul Husayn, telah mengkabarkan kepadaku Hammad bin Salamah, dari Ali bin
25 Salamah Noorhidayati, “Hadis Ghadir Khum Dalam Perspektif Sunni dan Syiah”, Laporan Penelitian,
IAIN Tulungagung, 2014, 39-40
26 Noorhayati, Hadis, 40-47.
27 Ibid., 82. Syahid adalah periwayat yang berstatus pendukung untuk sahabat Nabi. Mutabi adalah

periwayat yang memiliki status sebagai pendukung pada periwayat yang bukan sahabat nabi Saw.
28 Muhammad bin Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah (Saudi Arabia: Bayt al-Afkar al-

Dawlawiyyah, tth), 29.

78
[ Vol. II, No. 3, Januari - Juni 2017 ]

Zaid bin Jud`an, dari Adi bin Tsabit, dari Bara’ bin Azib berkata: Kami kembali bersa-
ma Rasulullah Saw dari berhaji, maka beliau berhenti di tengah jalan lalu memerinta-
hkan untuk shalat berjamaah, maka (setelah shalat) beliau memegang tangan Ali lalu
berkata: ‘Bukankah aku lebih tinggi (awla) dari diri orang-orang mukmin?.’ Mereka
menjawab: ‘Benar’, maka Rasul Saw berkata (lagi): ‘Bukankah aku lebih utama (awla)
dari diri tiap-tiap orang mukmin?.’ Mereka menjawab: ‘Benar’. Rasul pun berkata:
“Maka (orang) ini (Ali bin Abi Thalib) merupakan wali bagi orang yang menjadikan
aku sebagai mawla- nya. Ya Allah tolonglah (walin) orang yang ber-wali kepadanya,
ya Allah musuhilah orang yang memusuhinya’.”
Contoh dalam Sunan al-Kubra karya Imam al-Nasai:29
‫ين‬
ْ ‫ َع‬،‫يش‬ ُ ‫ َحيدَّ َثينَيا ْاْلَ ْع َيم‬:‫يال‬ ِ ‫ َحدَّ َثنَا َأ ُبو ُم َع‬:‫َم َّمدُ ْب ُن ا ْل َع َ ِء َق َال‬
َ ‫او َي َة َق‬ َ ُ ‫َبنَا‬ َ
َ َ ‫أ ْخ‬
ِ ُ ‫ َق َال َر ُس‬:‫ َع ْن َأبِ ِيه َق َال‬،َ‫ َع ِن ا ْب ِن ُب َر ْيدَ ة‬،‫َس ْع ٍد‬
‫ين‬ َ ‫ول اَّللِ َص ََّل اَّللُ َع َل ْيه َو َس َّل‬
ْ ‫ « َم‬:‫يم‬
‫ َف َع ِ ٌِّل َولِ ُّي ُه‬،‫ْت َولِ َّي ُه‬ُ ‫ُكن‬

Artikel Tamu
“Telah memberi kabar kepada kami Muhammad bin al-Ala’, berkata: telah mencer-
itakan kepada kami Abu Muawiyah, berkata: telah menceritakan kepada kami al-
A’masy, dari Sa’d, dari ibn Buraidah, dari bapaknya, berkata: telah bersabda
Rasulullah Saw: ‘Siapa saja yang menjadikan aku sebagai wali-nya, maka Ali (juga)
wali-nya’”.
Contoh di Musnad Ahmad bin Hanbal:30
‫ان َأ ِِّب‬
َ ‫ َع ْن زَا َذ‬،‫ي‬ ِ ِ ِ ‫ عن َأ ِِّب عب ِد‬،‫ حدَّ َثنَا عبدُ ا ََْللِ ِك‬،‫حدَّ َثنَا ابن نُم ٍري‬
ِّ ‫الرحي ِم ا ْلكنْد‬ َّ ْ َ ْ َ َْ َ َْ ُ ْ َ
ِ ِ ُ ‫ س ِمع‬:‫ َق َال‬،‫عمر‬
َ ‫ين َش ِيهيدَ َر ُس‬
ِ‫يول اَّلل‬ ْ ‫ َم‬: َ ‫الر ْح َبة َو ُه َو َين ُْشدُ النَّا‬ َّ ‫ ِِف‬،‫ت َعل ًّيا‬ ْ َ ََ ُ
، ً ‫ْش َر ُجي‬ َ َ ‫ول َما َق َال؟ َف َقا َم َث َث َة َع‬ ُ ‫ َو ُه َو َي ُق‬،‫َص ََّل اَّللُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َي ْو َم غ َِد ِير ُخ فم‬
‫ْيت‬
ُ ‫ين كُين‬ ْ ‫ َم‬:‫يول‬ ُ ‫ول اَّللِ َص ََّل اَّللُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َو ُه َو َي ُق‬
َ ‫َف َش ِهدُ وا َأ ََّنُ ْم َس ِم ُعوا َر ُس‬
‫َم ْوَل ُه َف َع ِ ٌِّل َم ْوَل ُه‬

29 Abi Abd al-Rahman Ahmad ibn Syuaib al-Nasai, Kitab al-Sunan al-Ma’ruf bi al-Sunan al-Kubra, Juz
VIII (Qatr: Wazarah al-Awqaf wa al-Nutsur al-Islamiyyah, 2011), 361
30 Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Juz II (Beirut:

Muassasah al-Risalah, 2001) , 71.

Ahmad Khoirul Fata


79
STAI PERSIS GARUT [ Jurnal Studi Islam ]

“Telah menceritakan kepada kami Ibn Numayr, telah menceritakan kepada kami Abd
al-Malik, dari Abi Abd al-Rahman, dari Zadzan Abi Umar, berkata: aku mendengar Ali
meminta kesaksian orang-orang di halaman, ‘Siapa yang menyaksikan Rasulullah
Saw pada hari Ghadir Khum dan beliau mengatakan apa yang dikatakan?’. Kemudian
berdirilah tiga belas orang laki-laki dan bersaksi bahwa Rasulullah bersabda: ‘Siapa
yang menjadikan aku sebagai wali-nya, maka Ali adalah wali-nya’.”
ِ ٍ
:‫يال‬ َ ‫ َق‬،‫ين َأ ِِّب َلي ْي َيَل‬ِ ‫ْح ِن ْب‬ َ ْ ‫الر‬َّ ‫ َع ْن َع ْبد‬،‫ َحدَّ َثنَا َي ِزيدُ ْب ُن َأ ِِّب ِز َياد‬،‫ُيون ُُس ْب ُن َأ ْر َق َم‬
ُ‫يول اَّللِ َص َّيَل اَّلل‬ َ ‫ َأن ُْشدُ اَّللَ َم ْن َس ِم َع َر ُس‬: َ ‫الر َح َب ِة َين ُْشدُ النَّا‬ ِ
َّ ‫ ِِف‬،‫َش ِهدْ ُت َعل ًّيا‬
ُ ‫ َم ْن ُكن‬:‫ول َي ْو َم غ َِد ِير ُخ فم‬
، َ‫ْت َم ْو ََل ُه َف َع ِ ٌِّل َم ْو ََل ُه َََّليا َقيا َم َف َش ِيهيد‬ ُ ‫َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َي ُق‬
‫ ن َْش َهدُ َأنَّيا‬:‫ َف َقا ُلوا‬،‫ ك ََأ ِِّّن َأ ْن ُظ ُر إِ ََل َأ َح ِد ِه ْم‬،‫ْش َبدْ ِر ًّيا‬َ َ ‫ َف َقا َم ا ْثنَا َع‬:‫ْح ِن‬ َّ ُ‫َق َال َع ْبد‬
َ ْ ‫الر‬
‫يت َأ ْو ََل‬ ُ ‫ َأ َل ْس‬:‫يم‬ ‫يير ُخ ف‬ ِ ‫َيد‬ ِ ‫ول ييوم غ‬ ِ
َ ْ َ ُ ‫ول اَّللِ َص ََّل اَّللُ َع َل ْيه َو َس َّل َم َي ُق‬ َ ‫َس ِم ْعنَا َر ُس‬
ُ ِ َ ِ َ ِ ‫بِا َُْلسلِ ِم‬
َ ‫ َق‬،ِ‫يول اَّلل‬
:‫يال‬ ُ ُ ‫ َوأ ْز َواجي أ َّم َه‬،‫َي م ْن أ ْن ُفس ِه ْم‬
َ ‫ َب ََل َييا َر ُس‬:‫اُت ْم؟ َف ُق ْلنَا‬ َ ْ
Artikel Tamu

ِ ‫ وع‬،‫ال من و َاَله‬
81
‫اد َم ْن َعا َدا ُه‬ َ َ ُ َ ْ َ ِ ‫الله َّم َو‬ ُ ،‫ْت َم ْو ََل ُه َف َع ِ ٌِّل َم ْو ََل ُه‬
ُ ‫َف َم ْن ُكن‬
Selain hadits-hadits di atas, kelompok Syiah juga mendasarkan
klaim kepemimpinan Ali bin Abi Thalib pada hadits yang mencer-
itakan keadaan Nabi Saw yang sakit parah beberapa hari men-
jelang beliau wafat. Hadits ini terdapat dalam Sahih Bukhari Kitab al
-Maghazy, hadits no 4432. Berikut hadits tersebut:32

31 Ibid., 268-269
32 Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Juz VIII (Ttemp: Maktabah Salafiyah, tt), 132

80
[ Vol. II, No. 3, Januari - Juni 2017 ]

Dalam hadits tersebut diceritakan bahwa di rumah Rasulullah


Saw banyak sahabat yang berkumpul di situ, lalu beliau meminta
diambilkan peralatan menulis untuk menuliskan wasiat yang dengan
itu umat beliau tidak akan tersesat. Para sahabat pun berselisih ten-
tang permintaan itu. Sebagian mengusulkan untuk tidak memberi apa
yang diminta Nabi Saw karena beliau sedang sakit keras, dengan
menegaskan bahwa umat Islam sudah memiliki al-Qur’an. Sementara
sebagian yang hendak memenuhi permintaan Nabi Saw. Karena
perselisihan itu, Rasul Saw pun memerintahkan mereka untuk keluar
dari tempatnya. Kemudian Ibn Abbas menyatakan: “Sesungguhnya
musibah di antara musibah adalah apa yang terjadi antara
Rasulullah ketika ingin menuliskan wasiatkepada mereka (akan tetapi
tidak jadi).”
Menurut kalangan Syiah, saat itu Rasul Saw hendak menuliskan

Artikel Tamu
wasiat tentang ke-imamah-an Ali bin Abi Thalib setelah beliau wafat.
Titik Permasalahan
Hadits Ghadir Khum menjadi pegangan pokok kalangan Syiah
untuk meneguhkan klaim kepemimpinan Ali bin Thalib pasca
Rasulullah Saw. Apalagi riwayat yang menceritakan kisah tersebut
memiliki jalur yang begitu banyak (mutawatir). Pun demikian, mereka
juga memperkuat klaimnya dengan banyak riwayat lain yang
mengisahkan keutamaan Ali bin Abi Thalib.
Berikut ini beberapa contoh riwayat tersebut:
‫وسى‬ ِ َ ‫ْت ِمنِّي بِمن ِْز َل ِة هار‬
َ ‫ « َأن‬:‫َأ َّن النَّبِ َّي َص ََّل اَّللُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َق َال لِ َع ِ فِل‬
َ ‫ون م ْن ُم‬ ُ َ َ
“Sesungguhnya Nabi Saw berkata kepada Ali: ‘Kamu bagiku (seperti) kedudukan
Harun bagi Musa’” (HR Nasai)33
Di riwayat lain ada tambahannya:
‫إِ ََّل َأ َّن ُه َل ْي َس َم ِعي َأ ْو َب ْع ِدي َنبِ ٌّي‬

33 Al-Nasai, Kitab…Juz III, 360.

Ahmad Khoirul Fata


81
STAI PERSIS GARUT [ Jurnal Studi Islam ]

“… Kecuali bahwa tidak ada nabi bersamaku atau sesudahku” (HR Nasai)34
ُْ ‫ين َو‬ َْ « :‫يم‬ ِ ُ ‫ َق َال َر ُس‬:‫ َق َال‬،‫َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر‬
‫يَي‬
ُ ْ ‫اَل َس‬ ُ ‫اَل َس‬ َ ‫ول اَّللَِّ َص ََّل اَّللُ َع َل ْييه َو َسي َّل‬
‫وُها َخ ْ ٌري ِمن ُْه ََم‬ ِ َْ ‫اب َأه ِل‬
َ ُ ‫ َو َأ ُب‬،‫اجلنَّة‬ ْ ِ ‫َس ِّيدَ ا َش َب‬
“Dari Ibn Umar, berkata: Rasulullah Saw bersabda: ‘Hasan dan Husayn merupakan
tuan bagi pemuda ahli surga, dan ayah keduanya lebih baik dari keduanya’” (HR Ibn
Majah).35
Selain menguatkan dengan hadits-hadits tentang keistimewaan
Ali bin Abi Thalib di sisi Nabi Muhammad Saw, kelompok Syiah juga
membangun argumen dengan mengaitkan hadits Ghadir Khum
dengan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam hal ini mereka menganggap
peristiwa di Ghadir Khum menjadi sebab bagi turunnya ayat al-
Qur’an, yaitu Surat al-Maidah ayat 67, al-Maidah ayat 3, dan al-
Maidah 55.
Artikel Tamu

Dalam riwayat versi Syiah disebutkan, pada tanggal 18 Dzulhi-


jjah 10 H, rombongan Rasul dan para sahabat dalam perjalanan
pulang ke Madinah pasca pelaksanaan ibadah haji di Makkah, tiba
lah mereka di sebuah tempat bernama Juhfah. Di lokasi persimpan-
gan ini Rasulullah Saw mendapatkan wahyu Surat al-Maidah ayat
67:

َ ‫ول َب ِّلغْ َما ُأ ِنز َل إِ َل ْي َك ِمن َّر ِّب َك َوإِن ََّّل ْ َت ْف َع ْل َف ََم َب َّلغ‬
ُ‫ْت ِر َسيا َليتَي ُه َواَّلله‬ َّ ‫َيا َأ ُّ َُّيا‬
ُ ‫الر ُس‬
ِ ِ ِ ِ
‫ين‬َ ‫َي ْعص ُم َك م َن النَّا ِ إِ َّن اَّللهَ َلَ َ ُّْيدي ا ْل َق ْو َم ا ْلكَاف ِر‬
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Rasulullah Saw pun kemudian mengumpulkan kembali seluruh
rombongan dan memanggil rombongan lainnya yang terpisah. Mere-

34 Ibid.
35 al-Qazwaini, Sunan.,30.

82
[ Vol. II, No. 3, Januari - Juni 2017 ]

ka dikumpulkan di sebuah mata air yang dikenal dengan Ghadir


Khum. Setelah Dzuhur Nabi Saw pun berdiri di sebuah tumpukan batu
dan mulai berpidato panjang lebar. Salah satu poin yang disam-
paikan adalah tentang kepemimpinan Ali bin Thalib. Pesan Nabi itu
kemudian dikenal sebagai hadits Ghadir Khum.36
Di titik ini Syiah mengaitkan al-Maidah 67 tersebut dengan
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Mereka menafsirkan perintah “Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu….”
Sebagai “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu… ‘tentang Ali, yakni tentang kekhilafahan Ali bin Abi Tha-
lib’…”.37
Lebih jauh dijelaskan, al-Maidah 67 tersebut disampaikan
kepada Nabi Saw sebanyak tiga kali sehingga Nabi Saw tidak lupa

Artikel Tamu
dan lalai, serta semakin terdorong untuk menyampaikannya kepada
umatnya.38 Dalam pidatonya Rasullah Saw juga menegaskan posisi
istimewa Ali bin Thalib sebagai washi (penerima wasiat) Rasullah,
kedekatan keduanya seperti antara Musa dan Harun, serta
pengangkatan Ali sebagai pemimpin setelah beliau.39
Menurut Syiah, di tengah pidato di Ghadir Khum tersebut,
setelah penyampaikan perihal ke-wali-an Ali bin Abi Thalib, kemudi-
an turun al-Maidah 55:

َ ‫الصي َ َة َو ُي ْيؤت‬
‫ُيون الي َّزكَيا َة‬ ِ ِِ ‫إِنََّم ولِيكُم اَّللهُ ورسو ُله وا َّل ِِين آمنُو ْا ا َّل‬
َّ ‫ون‬
َ ‫يم‬
ُ ‫ين ُيق‬
َ َ َ َ ُ ُ ََ ُ ُّ َ َ
َ ‫َو ُه ْم َراكِ ُع‬
‫ون‬
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah).”
36 Ali Akbar Shadeqi, Pesan Terakhir Nabi Saw: Terjemahan Lengkap Khotbah Nabi Saw di Ghadir
Khum (18 Dzulhijjah 10 H), terj. Husein Shahab (Bandung: Pustaka Pelita, 1998), 14-16
37 Ibid., 38.
38 Ibid.
39 Ibid., 41

Ahmad Khoirul Fata


83
STAI PERSIS GARUT [ Jurnal Studi Islam ]

Di sini lafadz ‫ َولِ ُّيك ُُم‬menurut kaum Syiah adalah “pemimpin”,

dan yang dituju secara langsung oleh ayat tersebut adalah Ali bin
Abi Thalib karena ia orang yang beriman, mendirikan shalat, mem-
bayar zakat, dan tunduk pada Allah Swt.40 Dan setelah selesai pida-
to tersebut, turunlah al-Maidah ayat 3:41
ِ ‫ُيم ا‬
‫ْ ْسي َ َم‬ ُ ‫ت َع َل ْيك ُْم نِ ْع َمتِي َو َر ِض‬
ُ ‫يت َليك‬ ُ ‫ت َلك ُْم ِدينَك ُْم َو َأَتْ َ ْم‬
ُ ‫ا ْل َي ْو َم َأك َْم ْل‬
‫ِدين ًا‬
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...”
Menurut Syi’ah, seusai pidato Rasulullah, para sahabat pun
mendatangi Nabi Muhammad Saw dan Ali bin Abi Thalib, mengucap-
kan selamat dan melakukan baiat. Orang yang pertama menjabat
Artikel Tamu

tangan Nabi adalah Abu Bakar, kemudian Umar dan Utsman bin Af-
fan. Baru kemudian disusul sahabat-sahabat lainnya.42
Meski kisah tentang Ghadir Khum juga termaktub dalam ban-
yak kitab-kitab rujukan kaum Sunni – dengan beberapa perbedaan
– namun mereka tidak memberikan kesimpulan yang sama dengan
kaum Syiah. Menurut Sunni, pidato Ghadir Khum bukanlah deklarasi
Rasullah atas Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pasca Rasul. Di sini
kalangan Sunni memberikan tafsir yang beda terhadap pernyataan
Rasullah Saw:
‫ْت َم ْو ََل ُه َف َع ِ ٌِّل َم ْو ََل ُه‬
ُ ‫َم ْن ُكن‬

Lafadz ‫ َم ْو ََل ُه‬di situ menurut Sunni bukan bermakna “pemimpin”

sebagaimana yang diklaim oleh kelompok Syiah, namun lebih

40 Ibid.
41 Abidin, Imamah, 106-107
42 Shadeqi, Pesan, 115.

84
[ Vol. II, No. 3, Januari - Juni 2017 ]

ditekankan pada makna “teman, kekasih, dan penolong”. Dengan


demikian, pernyataan Nabi Saw ‫ْت َم ْو ََل ُه َف َع ِ ٌِّل َم ْو ََل ُه‬
ُ ‫ َم ْن ُكن‬menurut Sunni

berarti: “Siapa yang menjadikan aku sebagai teman/kekasih/


penolongnya, maka Ali juga menjadi teman/kekasih/penolongnya”.43
Untuk meneguhkan pendapatnya ini, kalangan Sunni juga mem-
iliki kisah Ghadir Khum versi lain yang berbeda dengan Syiah.
Menurut Sunni hadis Ghadir Khum terkait dengan ekspedisi Yaman
sebelum haji wada’ yang dipimpin Ali bin Abi Thalib untuk mengum-
pulkan zakat, di mana banyak sahabat yang tidak setuju dengan
beberapa keputusan yang diambil Ali. Setelah sampai beberapa
sahabat itu pun melaporkan sikap Ali kepada Rasullah Saw dengan
nada yang negatif (menjelek-jelekkan).
Sikap Ali saat di Yaman itu pun kemudian menjadi isu yang

Artikel Tamu
dibicarakan hangat di kalangan sahabat selama haji wada’. Maka
ketika dalam perjalanan kembali ke Madinah setelah berhaji,
Rasulullah Saw mengumpulkan para sahabat untuk memberi
peringatan dan mengingatkan para sahabatnya agar saling menga-
sihi, mencintai dan tolong-menolong, serta tidak boleh saling mem-
benci dan bermusuhan. Di situ Nabi Saw mengingatkan sahabatnya
tentang pribadi Ali bin Abi Thalib yang utama, tidak seperti yang
didesas-desuskan saat itu.44
Dengan demikian, kaum Sunni menilai hadits Ghadir Khum
merupakan sebuah pembelaan Rasulullah Saw terhadap keluargan-
ya, khususnya Ali bin Abi Thalib, yang saat itu menjadi bahan
omongan para sahabat, sekaligus perintah bagi setiap muslim untuk
saling tolong menolong dan mencintai, serta tidak saling membenci
dan bermusuhan. Penggunaan kata “mawla” menunjukkan kedekatan
Ali bin Abi Thalib dengan Nabi Muhammad Saw. Pun demikian, sala-

43 Lihat Noorhayati, Hadis, 112


44 Ibid., 105-108.

Ahmad Khoirul Fata


85
STAI PERSIS GARUT [ Jurnal Studi Islam ]

man dan ucapan selamat yang dilakukan Umar, Abu Bakar dan sa-
habat lainnya bukanlah sebentuk “baiat” atas kepemimpinan Ali, na-
mun menunjukkan sikap “rekonsiliasi” dan penegasan bahwa antara
Ali bin Abi Thalib dan para sahabat adalah teman dekat se-
bagaimana dengan Rasulullah Saw.45
Pendapat kalangan Sunni tersebut tampak lebih masuk akal
daripada penafsirannya kalangan Syiah. Setidaknya ada beberapa
alasan untuk menguatkan hal itu. Pertama, jika memang di Ghadir
Khum Rasulullah Saw mendeklarasikan kepemimpinan Ali setelah be-
liau, dan para sahabat telah berbaiat kepadanya, tentu pasca
kewafatan Nabi Muhammad Saw tidak akan terjadi gejolak terkait
dengan kepemimpinan karena secara mutawatir para sahabat telah
mengetahui siapa pemimpin pengganti Nabi Muhammad Saw.
Artikel Tamu

Faktanya, setelah Nabi Saw wafat, krisis kepemimpinan terjadi.


Perdebatan antara kelompok Anshor dan Muhajirin hampir saja me-
mecah belah umat Islam yang baru bersatu sebagai satu kekuatan
politik tersebut. Dan akhirnya, perdebatan itu bisa disudahi dengan
terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah al-rasul. Pun demikian, setelah
pemilihan tersebut, tidak terjadi gejolak besar sebagai protes atas
pengangkatan Abu Bakar. Padahal jika benar Nabi Saw telah me-
wasiatkan kepemimpinan kepada Ali di hadapan ratusan ribu orang,
tentu akan timbul penentangan dan perlawanan yang hebat dari sa-
habat-sahabat yang banyak itu terhadap Abu Bakar.
Pun demikian, ketika Ali bin Abi Thalib masuk dalam “tim pem-
ilihan khalifah” yang dibentuk Umar bin Khattab, justru ia menunjuk
Utsman bin Affan sebagai pengganti Umar, bukan dirinya sendiri.
Padahal ia punya otoritas yang diperolehnya pada peristiwa Ghadir
Khum (itu jika Ghadir Khum dipahami sebagaimana paham Syiah).
Kedua, dalam redaksi hadits-hadits Ghadir Khum yang populer
beredar di banyak kitab hadits (khususnya kitab hadits kalangan
45 Ibid., 115-116

86
[ Vol. II, No. 3, Januari - Juni 2017 ]

Sunni), tercantum pernyataan Nabi Saw ‫ِل َم ْو ََل ُه‬ ِ


ٌّ ‫ْت َم ْو ََل ُه َف َع‬
ُ ‫م ْن ُكن‬.
َ Di hadits-
hadits tersebut tidak disebutkan kalimat “min ba’di (setelahku)”. Sean-
dainya memang lafadz “mawla” dalam pernyataan Nabi Saw terse-
but bermakna “pemimpin” sangat mungkin Nabi Saw akan menam-
bahi kalimat “min ba’di (setelahku).” Hal itu karena ketiadaan kata
“setelahku” akan berimplikasi pada adanya dua kepemimpinan di
waktu yang bersamaan, mengingat peristiwa Ghadir Khum terjadi
saat Nabi Saw masih hidup.
Memang dalam redaksi hadits Ghadir Khum versi Syiah ter-
dapat lafadz “min ba’di”, bahkan terdapat ajakan untuk berbaiat
kepada Ali, Hasan, dan Husayn sebagai imam-imam kaum Muslimin.46
Namun redaksional itu tidak mendapatkan konfirmasi dari banyak
riwayat – terutama riwayat yang beredar di kitab-kitab hadits Sun-

Artikel Tamu
ni. Dan lebih jelas lagi, jika riwayat versi Syiah ini sahih, akan sangat
kecil kemungkinan Syiah Ismailiyyah tidak mengakui kepemimpinan
Husayn bin Ali.
Bagaimana dengan hadits tentang wasiat Nabi Saw yang ba-
tal karena para sahabat berselisih itu? Meski sahih namun menjadi-
kan hadits tersebut sebagai dasar untuk mengklaim kepemimpinan Ali
bin Abi Thalib pasca wafatnya Nabi Saw itu terlalu terjauh. Hal itu
karena belum jelasnya isi wasiat dari Nabi Saw itu. Pertanyaan yang
perlu dikemukakan adalah apakah memang saat itu Nabi Saw ingin
mewasiatkan kepemimpinan Ali atau untuk mewasiatkan hal yang
lain?
Jika dilihat dari beberapa hadits lain terkait dengan hal itu,
belum ditemukan adanya indikasi wasiat tersebut terkait dengan
kepemimpinan Ali pasca Nabi Saw. Hadits lain yang termuat dalam
Sahih Bukhari memberikan sebagian isi wasiat itu, yaitu:

khutbah lengkap Nabi Saw di Ghadir Khum versi syiah di Shadeqi, Pesan, terutama di bagian-
46 Lihat

bagian akhir.

Ahmad Khoirul Fata


87
STAI PERSIS GARUT [ Jurnal Studi Islam ]

Dalam hadits ini diceritakan, setelah Nabi Saw menyuruh para


sahabat keluar, beliau pun memberikan tiga pesan. Beliau bersabda,
‘Keluarkanlah orang-orang musyrik dari Jazirah Arab. Berikanlah
hadiah kepada para delegasi yang datang seperti yang saya
lakukan. ‘Lalu perawi tidak menyebutkan yang ketiga, atau dia ber-
kata, ‘Aku lupa (yang ketiga).”47
Apakah pesan ketiga tersebut terkait dengan kepemimpinan Ali
Artikel Tamu

bin Abi Thalib? Ini juga belum ada kepastian. Namun jika mengikuti
logika kelompok Syiah yang menganggap persoalan imamah meru-
pakan urusan ushuluddin dan seumpama Rasul pun melihat hal itu uru-
san yang sangat penting, tentu beliau akan mendahulukan pesan
tersebut di awal ketiga pesan beliau. Itu pun jika seandainya yang
dikehendaki Nabi Saw pada pesan ketiga adalah kepemimpinan
Ali.
Maka menyandarkan klaim kepemimpinan Ali pasca Nabi Saw
pada hadits wasiat Nabi Saw tersebut jelas tidak memiliki dasar
yang kuat. Terkesan masih sekedar asumsi belaka.
Penutup
Konflik Syiah-Sunni yang semula berakar pada aspirasi politik
kemudian melebar ke ranah agama ketika masing-masing mencoba
membangun aspirasinya dengan teks-teks keagamaan. Hasilnya
hingga kini keduanya menjadi aliran teologi (firqah) yang berbeda
hingga dan sulit untuk dipertemukan.

47 Lihat Al-Asqalani, Fath…Juz VIII, 132.

88
[ Vol. II, No. 3, Januari - Juni 2017 ]

Salah satu argumen keagamaan yang digunakan untuk melegit-


imasi aspirasi politiknya adalah hadits Ghadir Khum yang dianggap
memberikan otoritas kepemimpinan pasca Nabi Saw kepada Ali bin
Abi Thalib.
Namun dengan telaah yang sedikit mendalam ini dihasilkan
kesimpulan bahwa hadits tersebut sesungguhnya bukan bermaksud
memberikan tongkat estafet kepemimpinan umat Islam kepada Ali
dan keturunannya, namun merupakan bentuk pembelaan Nabi Saw
terhadap Ali bin Abi Thalib, dan sebuah upaya rekonsiliasi yang
diupayakan Nabi Saw di kalangan para sahabat-sahabatnya. Al-
lahu a’lam.

Artikel Tamu

Ahmad Khoirul Fata


89
STAI PERSIS GARUT [ Jurnal Studi Islam ]

Daftar Pustaka
Abidin, Zainal. Imamah dan Implikasinya dalam Kehidupan Sosial: Telaah atas Pemikiran
Teologi Syiah. Jakarta: Badan Litbang & Diklat Kemenag RI, 2012.
Asqalani, Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-. Fath al-Bari Juz VIII. Ttemp: Maktabah Salafiyah, tt
Hanbal, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Juz II.
Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001.
Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar al-Masyriq, 1967.
Mulyono, Slamet. “Pergolakan Teologi Syiah-Sunni: Membedah Potensi Integrasi dan Disinte-
grasi,” Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, Vol 16 No 2 tahun 2012.
Nasai, Abi Abd al-Rahman Ahmad ibn Syuaib al-. Kitab al-Sunan al-Ma’ruf bi al-Sunan al-
Kubra, Juz VIII. Qatar: Wazarah al-Awqaf wa al-Nutsur al-Islamiyyah, 2011.
Noorhidayati, Salamah. “Hadis Ghadir Khum Dalam Perspektif Sunni dan Syiah”, Laporan
Penelitian, IAIN Tulungagung, 2014.
Qazwaini, Muhammad bin Yazid Abu Abdillah al-. Sunan Ibn Majah. Saudi Arabia: Bayt al-
Afkar al-Dawlawiyyah, tth.
Artikel Tamu

Shadeqi, Ali Akbar. Pesan Terakhir Nabi Saw: Terjemahan Lengkap Khotbah Nabi Saw di Gha-
dir Khum (18 Dzulhijjah 10 H), terj. Husein Shahab. Bandung: Pustaka Pelita, 1998.
Syahrastani, Al-. Al-Milal wa al-Nihal Juz I. Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1993.
Tabatabai, Muhammad Husayn. Shi’a. translated by Sayyid Husayn Nasr. Manila: Al-Hidaya,
1995.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. New York: Spoken Languange Service,
1976.

90

Anda mungkin juga menyukai