Anda di halaman 1dari 36

BAB I

HADITS KAUM SYI’AH

A. PENDAHULUAN

Hadis adalah sumber pentasyri’an dalam Islam yang sangat penting.


Fungsinya sebagai al-bayan (penjelas) daripada Al-Qur’an membuat urgensinya
semakin nyata. Ada tiga fungsi hadis yang disebutkan para ahli hadis yaitu
mendukung hukum-hukum Al-Qur’an, menjadi penjelas hukum-hukum dalam Al-
Qur’an dan memberikan hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Karena hadis adalah rujukan utama dalam sumber hukum Islam pada tingkat
kedua setelah al-Qur’an, maka ahli tauhid, fikih, tasawuf dan khazanah keilmuan
Islam lainya wajib mempelajari dan memperhatikan hadis-hadis Nabi saw.

Di dalam manhaj Ahlussunah bahwa parameter dalam berinteraksi dengan


hadis ialah memahami tsubuutus sunnah yakni mampu menetapkan keshahihan
atau mengetahui keakurasian sebuah hadis apakah shahih, hasan, ataupun dhaif
dengan jalan mengetahui metode-metode menilai hadis dalam kajian ilmu hadis
serta hendaknya memahami makna hadis dengan benar melalui dhilalatul lughah
(maksud bahasa) maupun asbabul wurudnya.

Di samping Ahlussunah wa al-Jama’ah, terdapat satu kelompok besar


dalam Islam yang disebut dengan kelompok Syiah yang memiliki manhaj
tersendiri terhadap sunnah atau hadis Nabi saw. Mereka mempunyai jalur sanad
tersendiri yang berbeda dengan Ahlussunnah pada umumnya. Ini tentunya
menyebabkan terjadinya perbedaan yang sangat signifikan tentang perkara tauhid,
fikih, tasawuf dan khazanah keilmuan lainnya.

Membahas keterkaitan antara Syi’ah dengan hadis memiliki banyak sisi


yang menarik untuk dikemukakan dalam ranah publik, salah satunya ketika
dipotret dari sisi historisitas. Faktanya bahwa Syi’ah memiliki peran yang sangat
besar dalam menstimulus ijtihad para ulama’ hadis untuk menciptakan
epistimologi kritik hadis yang lebih struktural dan komprehesif, guna
menghindarkan hadis dari berbagai pemalsuan dan tendensi politik tertentu;

1
meskipun diakui bahwa praktik kegiatan kritik riwayah hadis secara sederhana
sudah terjadi hampir bersamaan dengan kemunculan hadis itu sendiri.

Syi’ah memiliki persepsi yang berbeda tentang hadis dengan konstruk


epistimologiSunni. Pertama,diawali dengan term hadis, bagi Syi’ah hadis adalah
segala ucapan, perbuatan atau ketetapan yang berasal dari para imam Syi’ah.
Dalam definisi yang lain, hadis bagi Syi’ah adalah setiap yang berasal dari Nabi
Muhammad atau dari salah satu para imam Syi’ah yang berjumlah dua belas
orang baik berupa ucapan, perbuatan dan ketetapan. Dalam hal ini Syi’ah tidak
mengakui perbedaan antara nubuwwah dan imamah, sebagaimana yang dikatakan
oleh imam besar Syi’ah al Majlisi; bahkan keshahihan hadis menurut Syi’ah tidak
mensyaratkan adanya ittisal as sanad kepada Nabi Muhammad sebagaimana yang
diakui oleh Sunni, yang penting harus bersambung dengan salah satu imam-imam
mereka.

Kedua,hadis dijadikan sebagai sarana untuk mencapai ambisi politik,


terutama untuk melegitimasi peran Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai
pengganti Rasulullah, baik dalam bidang pemerintahan maupun kenabian.
Disinyalir bahwa Nabi Muhammad pernah memberikan wasiat kepada Sayyidina
Ali bin Abi Thalib, dan salah satu yang familiar bagi Syi’ah adalah hadis Ghadir
Khum. Hal ini berkaitan dengan akidah pokok Syi’ah, Imamah.

Muhammad Jawwad Mughniyah mendefinisikan Imamah sebagai


berkumpulnya tanggung jawab kepemimpinan pemerintahan dan keagamaan pada
seseorang setelah era kepemimpinan Nabi Muhammad saw berakhir. Imamah
sudah terjadi pada masa Nabi dan terus berlanjut kepada keturunan Nabi
Muhammad; Ibrahim, kemudian kepada seseorang yang telah ditetapkan oleh
Allah melalui dalil nash. Dalam hal ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya yang berjumlah dua belas orang diklaim oleh Syi’ah sebagai para
imam yang mendapatkan mandat secara langsung dari Allah melalui dalil nash
untuk melanjutkan risalah Nabi Muhammad.

2
Ketiga, bahwa Syi’ah disebut-sebut terlibat dalam usaha aktif pemalsuan
hadis, bahkan Syi’ah menjadi golongan terbanyak yang melakukan pembuatan
dan penyebaran hadis palsu. Hadis-hadis palsu yang dibuat oleh Syi’ah lebih
kepada pengkultusan dan penetapan status sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai
pewaris Nabi atas khilafah setelahnya, dan mendiskreditkan sahabat- sahabat
tertentu yang dinilai melakukan oposisi terhadap pemerintahan Sayyidina Ali bin
Abi Thalib sebagaimana Sayyidina Abu Bakar as Shiddiq, Umar bin Khattab;
menolak secara tegas terhadap periwayatan Abu Hurairah, Samurah bin Jundab,
‘Urwah bin Zubair, ‘Amr bin al ‘As, al Mughirah bin Syu’bah, dan yang lainya.

Akibatnya Syi’ah inkar terhadap setiap hadis yang diriwayatkan oleh


sahabat- sahabat tersebut dan tidak menerimanya kecuali hadis-hadis yang berasal
dari jalur imam-imam mereka dari golongan ahli bait; dan sahabat-sahabat yang
mendukung terhadap pemerintahan Ali, seperti Salman al Farisi, ‘Ammar bin
Yasar, Abu Dzar, Miqdad bin al Aswad.

Terkait dengan hadis-hadis Nabi saw. Syiah hanya menggunakan hadis-


hadis yang diriwayatkan oleh Imam-imam mereka saja, seperti; Ali bin Abi
Thalib, Huesin bin Ali bin Abi Tahlib, Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan lain-lain
Imam sampai 12 orang Imam, itulah mengapa Syiah terpaksa membuang ribuan
hadis yang bukan diriwayatkan dari Ahlu Al-Bait, seperti Abu Hurairah, Anas bin
Malik, Ibnu Umar, dan sahabat lainnya.4

Oleh karenanya, menjadi hal yang sangat menarik untuk mengetahui lebih
jauh tentang bagaimana sikap kelompok Syiah terhadap sunnah atau hadis Nabi
saw. dan secara singkat akan dibahas dalam tulisan ini.

B. PEMBAHASAN
a. Pengertian dan Latar Belakang Syi’ah

Syiah secara bahasa berarti ‘’pengikut’’, ‘’pendukung’’, ‘’partai’’, atau


‘’kelompok’’, sedangkan secara terminologis istilah Syi’ah bermakna suatu
kelompok yang dalam bidang keagamaan dan spiritual semuanya harus merujuk
pada keturunan Nabi Muhammad Saw (Ahl Al-Bait). Sehingga kata kunci yang

3
menjadi identitas Syi’ah adalah segala urusan agama bersumber daripada Ahl-Al-
Bait (Keturuanan Nabi Saw) dan mereka menolak sumber petunjuk agama dari
para sahabat dan seterusnya yang bukan dari Ahl-Al-Bait.

Syi’ah adalah golongan yang secara proaktif mendukung Sayyidina Ali bin
Abi Thalib, bagi firqah ini Imamah dan Khilafah ditetapkan melalui dalil nash dan
wasiat, baik secara terang-terangan atau sembunyi- sembunyi; dan meyakini
bahwa Imamah tidak akan keluar dari jalur keturunan Ali, dan jikalau demikian
maka dianggap telah dzalim.

Selain itu, firqah ini juga meyakini bahwa Imamah adalah masalah pokok
yang menjadi bagian dari rukun agama. Syi’ah menjustifikasi bahwa Ali bin Abi
Thalib adalah paling utamanya manusia setelah Rasulullah, sehingga dia berhak
menjadi penerus menggantikan posisi Rasulullah baik dalam hal urusan duniawi
maupun ukhrawi.

Sebagian ahli sejarah mengemukakan bahwa benih-benih Syi’ah pertama


kalinya muncul pasca wafatnya Rasulullah tatkala para sahabat berkumpul di
Tsaqifah Bani Sa’idah dalam urusan pemerintahan pemilihan khalifah yang kala
itu tidak dihadiri oleh beberapa anggota Bani Hasyim seperti Ali bin Abi Thalib,
‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib dengan alasan menyegerakan pemakaman
Rasulullah. Terjadinya khilaf diantara umat Islam untuk pertama kalinya adalah
ketika munculnya pertentangan antara kaum Muhajirin dan Anshar dalam
menentukan calon khalifah, dan berakhir dengan terpilihnya sahabat Abu Bakar
bin Abi Quhafah sebagai khalifah pertama dengan mempertimbangkan Ijma’ para
sahabat.

Setelah peristiwa Tsaqifah inilah muncul kelompok-kelompok kecil dari


kalangan para sahabat yang merasa tidak puas dengan hasil pemilihan, seperti Abu
Dzar al Ghifari, ‘Amar bin Yasar, al Miqdad bin ‘Amr dan Zubair bin ‘Awwam
yang berkumpul di rumah Ali bin Abi Thalib guna menentang ijma’ para sahabat.
Mereka menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak atas khilafah, dari

4
sini gerakan separatis Syi’ah mulai muncul meskipun belum menjadi gerakan
yang besar hingga berakhirnya era Ali bin Abi Thalib.

Di masa Uthman bin ‘Affan sebagai khalifah ketiga, muncul laki-laki


penganut Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ dari Yaman, yang mengaku telah
memeluk agama Islam di era kepemimpinan Uthman bin Affan. Tujuan utama
Abdullah bin Saba’ adalah ingin merusak akidah keislaman umat dengan
melakukan berbagai upaya infiltrasi ajaran kepada umat Islam dengan mengadopsi
ajaran-ajaran Yahudi-Kristen.

Abdullah bin Saba’ mengatakan bahwa Nabi Muhammad akan kembali


(raj’ah) dengan menggunakan dalil Q.S. al Qhashah ayat 85 sebagai legitimasi;
Ibnu Saba’ juga mengatakan bahwa setiap Nabi memiliki pewasiat, dan Sayyidina
Ali bin Abi Thalib menjadi pewasiat Nabi (Imamah); dan pada saat yang sama
Ibnu Saba’ juga menanamkan kebencian yang begitu memuakkan kepada
Sayyidina ‘Uthman (berikut dua khalifah sebelumnya) sebagai perampas hak
kekhalifahan Sayyidina Ali. Karena itu, Abdullah bin Saba’ mengatakan bahwa
umat Islam wajib bergerak, berjihad, mengembalikan hak kekuasaan kepada
Sayyidina Ali.

Sejak awal kemunculannya hingga keberhasilannya memprovokasi massa


yang mengakibatkan terbunuhnya Sayyidina Uthman, Ibnu Saba’ dan
pengikutnya; Saba’iyah yang secara proaktif menngkampanyekan ideologi-
ideologi copy paste dari doktrin dan mitos agama Yahudi, seperti menuhankan
makhluk (ghulat), wasiat kepemimpinan (imamah), ajaran kembali (raj’ah), dsb.
Hal ini bisa dimaklumi sebab melihat genealogi dari Ibnu Saba’ sendiri adalah
penganut Yahudi berkulit hitam yang berasal dari kawasan Barat Laut Ethiopia
yang ajaran-ajaran Yahudinya banyak terpengaruh oleh unsur-unsur Kristen.14
Bahkan Ibnu Saba’ memiliki track record pernah dideportasi dari satu daerah ke
daerah lain, seperti Hijaz, Bashrah, Kufah, Syam, hingga Mesir.

Tahun 40 H merupakan tonggak permulaan terjadinya perpecahan dalam


Islam yang mengakibatkan umat Islam terkotak- kotakkan dalam berbagai sekte.

5
Berawal dari pertentangan yang terjadi antara Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan
Mu’awiyah bin Abi Sofyan sehingga meledak menjadi perang terbuka; perang
Shiffin. Upaya damai yang diusulkan Mu’awiyah dan diterima oleh Ali bin Abi
Thalib telah menyebabkan sekelompok orang Islam pendukung Ali bin Abi Thalib
menjadi marah. Mereka menyatakan diri keluar dari barisan Ali dan kemudian
dikenal dengan golongan Khawarij.

Di samping itu, perselisihan antara Mu’awiyah dengan Ali bin Abi Thalib
semakin menegaskan orang-orang yang ekstrim memberikan dukungan kepada
Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan sekte Syi’ah. Semenjak itu,
sekte Syi’ah semakin berkembang, terstruktur dan terorganisir. Bahkan Syi’ah
menjadi bagian penggulingan kekuasaan Dinasti Umayyah yang kemudian
digantikan oleh Dinasti Abbasiyah.

b. Pengertian Hadits Menurut Syi’ah

Hadits menurut Syiah adalah “Perkataan, perbuatan dan taqrir dari al-
Ma‟shum”, dan al-Ma‟shum dalam pandangan Syi’ah tidak hanya terbatas di
kalangan para nabi dan rasul, para imam mereka juga termasuk dalam kategori ini.
Bahkan pada sebagian kelompok ekstrem Syi’ah, ada yang memandang bahwa
kedudukan para imam jauh berada di atas para nabi dan rasul kecuali Rasulullah
saw.

Muhammad Ridha al-Muzhaffar –salah seorang ulama kontemporer Syiah-


menjelaskan, Al-Sunnah menurut kebanyakan fuqaha‟ adalah “perkataan,
perbuatan dan taqrir Nabi”…Akan tetapi menurut (Syiah) Imamiyah memperluas
batasan hadits menjadi sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir
setiap al-Ma‟shum (dari Ahl al-Bait). Sehingga al-Sunnah dalam terminologi
mereka adalah “perkataan, perbuatan dan taqrir al-Ma‟shum.”

Kedua-Belas-Imam yang diakui oleh Mazhab Syiah adalah sebagai berikut:

1. Ali ibn Abi Thalib “al-Murtadha” (w. 40 H/661 M)


2. Al-Hasan ibn „Ali “al-Zaky” (w. 49 H/669 M)
3. Al-Husain ibn „Ali “Sayyid al-Syuhada‟” (w. 61 H/680 M)

6
4. Ali ibn Al-Husain, Zain Al-Abidin “Zainal „Abidin” (w. 95 H/714 M)
5. Abu Ja‟far Muhammad Ali “Al-Baqir” (w. 115 H/733 M)
6. Abu Abdillah Ja‟far bin Muhammad “Al-Shadiq” (w. 148 H/765 M)
7. Abu Ibrahim Musa bin Ja‟far “Al-Kazhim” (w. 183 H/799 M)
8. Abu Hasan Ali bin Musa “Al-Ridha” (w. 203 H/818 M)
9. Abu Ja‟far Muhammad bin Ali “al-Jawad” Al-Taqi (w. 220 H/835 M)
10. Abu Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi”(w. 254H/868 M)
11. Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali “Al-Askari” (w. 260 H/874 M)
12. Abu al-Qasim Muhammad bin Hasan “Al-Mahdi”, Al-Qa‟im Al-Hujjah
(memasuki kegaiban besar pada 329H/940 M).

Ciri khusus kelompok Syiah adalah keyakinannya terhadap Imamah,


sebuah keyakinan bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah
meninggal adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Model keyakinan seperti
ini menjadi epistimologi yang penting dalam bangunan keyakinan Syiah. Menurut
mereka, sipapun yang beriman kepada Allah namun tidak beriman kepada
kepemimpinan Ali dan para Imam keturunannya, maka hukumnya sama dengan
musyrik. Karena menurut mereka, Allah yang menetapkan dan memilih para
Imam, sehingga iman kepada para Imam adalah sebuah keharusan.

Mereka percaya bahwa Imamah, seperti kenabian, tidak wujud kecuali


dengan nash dari Allah melalui lisan Rasul-Nya, atau lisan Imam yang diangkat
dengan nash, yaitu dia akan menyampaikan dengan nash Imam yang bertugas
sesudahnya. Berdasar pemahaman ini kemudian kalangan Syiah mengklaim
bahwa semua perkataan Imam Dua Belas yang ma‟shum pada dasarnya berasal
dari Rasulullah. Karenanya para Imam tersebut tidak ubahnya seperti Nabi yang
memiliki sifat maksum, sehingga perkataan, perbuatan dan sifat-sifatnya juga
sama dengan Nabi.

Konsekuensi dari hal ini mereka berpendapat bahwa perkataan para Imam
juga dikatakan sebagai hadits. Mengenai definisi ini, tidak ada pertentangan dan
perbedaan di kalangan ulama Syiah. Perbedaannya, hanya berkaitan dengan

7
subyek hadits yang menyangkut apakah hanya hadits Nabi yang mengikat atau
juga yang diriwayatkan oleh para Imam suci juga mengikat.

Kaum Syiah meyakini bahwa kedua-duanya mengikat. Sehingga atas dasar


pemahaman seperti ini kaum Syiah dengan tegas menyatakan bahwa berita atau
khabar yang datangnya dari para Imam berarti bisa dijadikan hujjah dalam
beragama, karena ia termasuk hadits. Sebaliknya, apa-apa yang tidak pernah
datang dari Para Imam berarti tidak bisa disebut hadits. Dengan alasan ini, hadits-
hadits yang bersumber dari para Imam adalah shahih tanpa perlu kesinambungan
riwayat (ittishal) dengan Rasulullah sebagaimana persyaratan keshahihan hadits
dalam Sunni.8

Definisi lain tentang hadits menyebutkan bahwa perkataan para imam


Syiah memiliki kedudukan yang sama dengan perkataan Nabi saw. Sebab para
imam itu juga menerima “ilmu” dari Allah melalui jalur ilham, sebagaimana Nabi
menerimanya dari jalur wahyu.

Berdasarkan ini, maka penjelasan para Imam terhadap hukum bukan


termasuk dalam kategori periwayatan al-Sunnah atau ijtihad dalam menggali
sumber-sumber tasyri‟, akan tetapi karena merekalah sumber hukum (tasyri’) itu
sendiri. Penjelasan ini menunjukkan bahwa perkataan para imam yang ma‟shum,
baik yang diperoleh melalui jalur ilham atau jalur lainnya (dikenal dengan istilah
ilmu hadits)10, maupun yang diriwayatkan dan diwariskan dari imam ma‟shum
sebelumnya dari Rasulullah (ilmu mustauda’), termasuk dalam bagian Sunnah
yang kedudukannya sederajat dengan hadits yang berasal dari Rasulullah saw.

Syiah meyakini, tidak ada perbedaan antara perkataan yang diucapkan


sang imam saat ia masih kanak-kanak maupun yang diucapkannya pada usia
kematangan akalnya. Sebab, menurut mereka para imam itu tidak mungkin
melakukan kesalahan, sengaja ataupun tidak, sepanjang hayat mereka.

Itulah sebabnya, salah seorang ulama kontemporer Syiah mengatakan,


“Sesungguhnya keyakinan akan kema‟shuman para imam telah membuat hadits-
hadits yang berasal dari mereka serta-merta menjadi shahih, tanpa harus

8
mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai Rasulullah saw,
sebagaimana yang dipersyaratkan di kalangan Ahl al-Sunnah.”11 Ini karena
“perkataan para imam itu adalah perkataan Allah, perintah mereka adalah perintah
Allah, ketaatan pada mereka adalah ketaatan pada Allah, kedurhakaan pada
mereka adalah kedurhakaan pada Allah. Mereka itu tidak mungkin berbicara
kecuali dari Allah dan wahyu-Nya.”

Maka Syiah telah mempersempit cakupan hadits dengan batasan yang


mereka yakini bahwa periwayatan hadits hanya dimungkinkan melalui jalur Ahl
al- Bait. Dan itupun tidak semua Ahl al-Bait, sebab hanya yang mempunyai
predikat ma‟shum saja yang dapat melakukannya. Dan itu berarti hanya terbatas
pada “para imam yang dua belas” saja.

c. Sikap Syi’ah Terhadap Teks-Teks Hadits Mereka

Sikap ulama Syiah dalam memandang dan menyikapi teks-teks hadits


mereka sendiri secara umum terwakili dalam 2 kelompok besar, yaitu Ikhbariyyun
dan Ushuliyyun.

Kelompok Ikhbariyyun adalah kelompok Syiah yang melarang ijtihad dan


mencukupkan diri dengan mengamalkan “khabar-khabar” yang terdapat dalam
empat kitab hadits mereka; Al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, Al-Tahdzib
dan Al-Istibshar. Mereka memandang bahwa apa yang terkandung dalam keempat
kitab itu qath‟i berasal dari para imam, karena itu tidak perlu melakukan
penelitian lebih lanjut tentang sanadnya.

Demikian pula tidak perlu membagi hadits-hadits dalam kitab-kitab itu


menjadi shahih, hasan, dha‟if, dan sebagainya karena semuanya shahih. Karena
itu mereka disebut juga al-Akhbariyah, sebuah penisbatan kepada al-akhbar
(khabar-khabar).

Tokoh-tokoh kelompok ini diantaranya adalah al- Kulainy (w. 329 H)


penulis al-Kafy, Ibnu Babawaih al-Qummy (w. 382 H), penulis Man La
Yahdhuruhu al-Faqih, dan al-Mufid (w. 413 H), penulis Awa‟il al-Maqalat.
Sedangkan kelompok Ushuliyyun adalah mereka yang memandang

9
perlunya ijtihad, dan bahwa landasan hukum itu terdiri dari al-Qur‟an, al-Sunnah,
ijma‟ dan dalil aqli.

Mereka juga meyakini bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam keempat


kitab pegangan itu, sanadnya ada yang shahih, hasan, dan dha‟if. Oleh karena itu,
diperlukan sebuah kajian terhadap sanadnya pada saat akan diamalkan atau
dijadikan landasan hukum. Tokoh-tokoh kelompok ini antara lain adalah: al-Thusy
(w. 460 H), penulis al-Istibshar, al-Murtadha yang dianggap menyusun Nahj al-
Balaghah, Muhsin al-Hakim, al-Khu‟iy dan al-Khumainy (Khomeni).

d. Kitab-kitab Hadits Syi’ah

Dikalangan syiah terdapat empat kitab hadits yang dianggap paling shahih,
yang dikenal dengan al-Kutubu al-Arb’ah yaitu: Al-Kafi, Man la Yahdurhu al-
faqih, Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar.

1. Al-Kafi

Ditulis oleh Abu Ja‟far Muhammad bin Ya‟qub al-Kulaini. Tidak hanya
memuat tentang hadits-hadits mengenai fiqih, akan tetapi juga mencakup
hadits- hadits tentang akidah ushul dan furu, sejarah para ma‟shumin (orang-
orang yang ma‟shum) menurut syi‟ah. dan empat belas orang-orang suci,
yakni Nabi saw, Sayyidah Fatimah ra. dan kedua belas Imam dan memuat
16.099.

Kitab ini dianggap istimewa oleh Syiah karena penyusunannya


dilakukan selama 30 tahun, melalui pengembaraan yang panjang dari satu
negeri ke negeri yang lain, disusun dengan cara yang teratur, sistematis dan
jeli, dan penyusunnya adalah seorang yang ahli dalam bidangnya dan
dihormati semua pihak, karena ketinngian ilmu dan takwanya.

2. Man la Yahdurhu al-faqih

Ditulis oleh Syekh Abu Ja‟far Muhammad Ibn Ali Babuwaih al-
Qummy yang lebih dikenal dengan julukan Syekh ash-shaduq atau maha guru
yang jujur‟. Kitab Man la Yahdhurhu al-Faqih adalah karya hadits mengenai

10
hukum. Di dalamnya tertampung 9044 hadist, dengan 2050 hadist mursal,
hadis yang terputus periwayatannya dan sisanya adalah hadist-hadist musnad
bersambung periwayatannya menurut persepsi Syiah.

3. Tahdzib al-Ahkam dan Al-Istibshar

Ditulis oleh syekh Abu Ja‟fa Muhammadibnu Hasan ath-Thusi atau


yang lebih dikenal dengan sebutan ath-Thusi.Jumlah hadits dalam Tahdzib
sebanyak 13590 hadits, sedangkan dalam al-Istibshar sebanyak 5511 hadits.
Hadits-hadits di dalam dua buku ini, selain periwayatan yang dilakukan oleh
syeikh al-Thusi sendiri, sebagian yang lain merupakan salinan atas hadits-
hadits yang terdapat dalam al-Ushul al-Arba‟ah dan kitab-kitab hadits kecil
lain.

e. Keshahihan Sanad Hadits Menurut Pandangan Syiah

Ulama mutaqaddimûn Syi’ah membagi kualitas hadis berkisar pada dua


jenis: hadis mu’tabar (muktabar); dan hadis ghair mu’tabar (tidak muktabar).
Pembagian seperti ini didasarkan pada: pertama, kriteria internal, seperti
keakuratan periwayat; dan kedua, kriteria eksternal seperti kemuktabaran hadis
yang dihubungkan dengan Zurârah, Muhammad ibn Muslim, dan Fudlail ibn
Yasâr. Maka hadis yang memenuhi kedua kriteria itu dianggap sahih, yakni
muktabar, sehingga boleh dijadikan sandaran. Namun sebaliknya, jika kedua
kriteria itu tidak terpenuhi, maka hadis bersangkutan dianggap tidak sahih, yakni
tidak muktabar, dan tidak mungkin dijadikan sandaran.

Jumhur Syiah membagi hadis menjadi mutawatir dan ahad. Pengaruh


akidah mereka tampak dalam maksud hadis mutawatir. Karena hadis mutawatir
menurut mereka adalah harus dengan syarat hati orang yang mendengar tidak
dicemari syubhat atau taklid yang mewajibkan menafikan hadis dan maksudnya.

Ulama muta’akhkhirûn Syiah kemudian membagi kualitas hadis Ahad


menjadi empat jenis: shahîh (sahih), muwatstsaq (andal), hasan (hasan), dan
dha‘îf (dhaif). Pembagian kualitas hadis itu mulai dikenal sejak akhir abad VII H,
tepatnya pada masa Ahmad ibn Thâwus ibn Mûsâ al-Hilliy (w. 673 H) dan

11
muridnya al- Hasan ibn Yûsuf ibn Aliy ibn Dâwud ibn Muthahhar al-Hilliy (w.726
H). Pembagian inilah yang kemudian berlaku sampai saat ini.

Berikut ini keterangan dari pembagian hadits Ahad di atas :

1. Shahih

Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seorang penganut Syi'ah Imamiah


yang telah diakui ke-adalah-annya dan dengan jalan yang shahih. Dari definisi
hadits Shahih ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun hadits shahih
kecuali jika rawinya berasal dari kalangan dua belas Imam yang ma’shum.

2. Hasan

Yaitu jika rawi yang meriwayatkannya adalah seorang Syi'ah Imamiah


yang terpuji, tidak ada seorangpun yang jelas mengecamnya atau secara jelas
mengakui ke-adalah-annya.

3. Muwats-tsaq

Yaitu hadits dari seorang yang ma‟shum dan diriwayatkan oleh rawi yang
bukan Syi'i, namun ia adalah orang yang tsiqat dan terpercaya dalam
periwayatan.

4. Dha'if

Yaitu hadist yang tidak mempunyai kriteria-kriteria tiga kelompok hadist


di atas, seperti misalnya sang rawi tidak menyebutkan seluruh rawi yang
meriwayatkan hadist kepadanya.

f. Kritik Sanad Dan Matan Menurut Syiah

Sebagaimana Ahlus Sunnah, Syiah Imamiyah juga memiliki metode kritik


sanad dan matan yang khas, meskipun dalam beberapa bagian nampak sama
dengan metode kritik sanad dan matan yang dianut oleh Ahlus Sunnah.

1. Metode Kritik Sanad Syiah

12
Dalam hal ini yang akan dipaparkan adalah klasifikasi perawi, awal
munculnya pembagian derajat hadits dalam Syiah, kajian seputar
persambungan dan perputusan sebuah sanad dalam sudut pandang Syiah dan
kajian al-rijal di kalangan Syiah.

a. Klasifikasi Perawi di Kalangan Syiah

Klasifikasi perawi sebuah hadits yang dapat diterima, dalam pandangan


Syiah hampir sama dengan klasifikasi yang selama ini dikenal dan dipegangi
oleh para ulama hadits Ahlus Sunnah. Diantara klasifikasi seorang perawi
yang bisa diterima menurut mereka adalah:

1) Islam
2) Baligh
3) Berakal
4) Adil
5) Dhabith

Sebagian besar ulama Imamiyah menambahkan syarat “iman”. Yang


dimaksud “iman” di sini adalah bahwa seorang perawi haruslah seorang penganut
madzhab Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah. Bahkan tidak hanya sekedar penganut
madzhab Imamiyah, sang perawi haruslah menerima riwayat itu dari para imam.
Al- Thusy mengatakan, “Setelah diteliti dengan cermat, jelaslah bahwa tidak
semua riwayat yang diriwayatkan oleh seorang „imamiyah‟ dapat diamalkan
secara mutlak. (Sebab yang boleh diamalkan) hanyalah riwayat-riwayat yang
diriwayatkan dari para imam –alaihissalam- dan dituliskan oleh murid-muridnya.”

Karena itu, jika seorang penganut Imamiyah meriwayatkan hadits dari


salah seorang Ahl al-Bait yang tidak termasuk dalam kategori imam, maka
haditsnya pun tidak dapat diamalkan. Dengan kata lain, tidak semua Ahl al-Bait
dapat dijadikan sebagai jalur periwayatan, sebab tidak semua dari mereka itu
berstatus sebagai imam. Itulah sebabnya, riwayat yang disampaikan oleh
keturunan Fathimah r.a melalui al-Hasan r.a –misalnya- tidak dapat diterima.
Bahkan yang melalui jalur al- Husain r.a sekalipun.

13
Adapun tautsiqat ‘ammah yang dijadikan sandaran penting dalam
madzhab Syiah terdiri dari beberapa kelompok berikut:

Pertama, Ashhab al-Ijma’. Mereka adalah kelompok yang disepakati


(ijma‟) keshahihan semua riwayat yang datang dari mereka. Rincian mereka
adalah 6 orang dari murid-murid al-Baqir, 6 orang dari murid-murid al-Shadiq,
dan 6 orang dari murid-murid Musa al-Kazhim.

Kedua, Masyayikh al-Tsiqat. Mereka adalah beberapa orang –yaitu


Muhammad ibn Abi „Umair, Shafwan ibn Yahya, dan Ahmad ibn Muhammad ibn
Abi Nashr al-Bizanty- yang tidak meriwayatkan dan memursalkan sebuah hadits
kecuali dari perawi yang tsiqah. Namun ada sebagian ulama Syiah yang kemudian
tidak mengakui ini sebagai sandaran, dengan alasan sebagian dari mereka telah
dituduh berdusta dan membuat hadits palsu, bahkan dianggap keluar dari akidah
Imamiyah.

Ketiga, disamping ketiga nama di atas, ada pula beberapa nama yang
dikenal tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang-orang yang tsiqah. Mereka
diantaranya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Isa, Ja‟far ibn Basyir al-Bajaly,
Muhammad ibn Ismail al-Za‟farany, dan Ahmad ibn Ali al-Najasyi. Namun
sebagaimana sebelumnya, ada juga ulama Syiah yang tidak menyepakati ini.

Sebab-sebab penetapan Jarh terhadap seorang perawi dalam pandangan


Syiah di antaranya adalah:

1) Akidah yang batil. Yaitu jika sang perawi bukanlah pengikut


Imamiyah.
2) Cacatnya ke‘adalahan perawi, seperti jika ia melakukan dosa besar dan
terus-menerus melakukan dosa kecil.
3) Hafalan yang buruk.
4) Jika seorang perawi banyak meriwayatkan dari perawi-perawi yang
dhu‟afa dan majhulun.
5) Jika perawi itu berasal dari kalangan Bani Umayyah, kecuali jika ia
seorang pengikut Imamiyah.

14
b. Bersambung dan Terputusnya Sanad Menurut Syiah

Sanad sebagai mata rantai jalur periwayat hadits yang dimulai dari Sahabat
sampai ulama hadits, terkadang ditulis lengkap dan terkadang membuang
sebagian sanad atau awalnya dengan alasan atas beberapa konteks tertentu.
Contohnya adalah yang dilakukan Al-Kulaini setelah menulis lengkap sanad pada
hadits yang dikutip di atas hadits yang diringkas atau meringkas sejumlah
periwayat terkenal yang terkenal dengan sebutan dari sejumlah sahabat kita
(ashabuna), dari fulan dan seterusnya, atau dengan kata-kata iddah (sejumlah) dan
jamaah (sekelompok) yang dapat menunjukkan upaya peringkasan sanad.

Peringkasan sanad ini dilandasi atas keinginan al-Kulaini untuk tidak


memperpanjang tulisan, dan dilakukan hanya pada para periwayat yang dianggap
baik dan dipercaya oleh beliau. Oleh karena itu, jika sanad telah ditulis lengkap
pada hadis sebelumnya, maka selanjutnya al-Kulaini tidak menulisnya secara
lengkap.

Syiah Imamiyah juga menekankan tentang keharusan adanya


persambungan sanad kepada imam yang ma‟shum. Meski sanad itu kemudian
tidak bersambung kepada Nabi saw, sebab perkataan imam itu sendiri adalah
hujjah dan sunnah sehingga tidak perlu dipertanyakan dari mana ia
mengambilnya. Tetapi jika sanad itu bersambung kepada Nabi saw tanpa
perantaraan seorang imam, maka hadits semacam ini tidak dapat diterima.

2. Metode Kritik Matan Syiah

Perbedaan Ahlus Sunnah dan Syiah dalam melakukan kritik matan, dijelaskan
sebagaimana berikut:

a) Pertama, Perbedaan dalam menimbang matan hadits dengan Al-Quran.

Para imam Syiah telah menyatakan kewajiban memaparkan hadits-hadits


yang diriwayatkan dari mereka kepada al-Qur’an. Maka yang sesuai dengan al-

15
Qur’an, itulah yang benar. Namun jika hadits itu menyelisihi al-Qur’an, maka ia
tidak bisa dijadikan pegangan. Imam al-Ridha mengatakan,

“…Maka janganlah kalian menerima (riwayat) dari kami yang menyelisihi


al-Qur’an. Sebab jika kami menyampaikan sesuatu pada kalian, kami tidak
menyampaikan kecuali yang sesuai dengan al-Qur’an dan al- Sunnah…Maka jika
datang kepada kalian orang yang menyampaikan hadits yang menyelisihi itu,
maka tolaklah! Sebab setiap perkataan dari kami itu akan disertai dengan hakikat
dan cahaya, dan sesuatu yang tidak ada hakikat dan cahayanya, maka itu adalah
perkataan syetan.”

Namun, Syiah meragukan keabsahan Al-Quran yang ada sekarang ini.


Masalah terjadinya tahrif dan pengurangan dalam al-Qur‟an hampir dapat
dikatakan telah menjadi ijma‟ Syiah terdahulu, kecuali 4 orang yang tidak
meyakininya. Mereka adalah Ibnu Babawaih al-Qummy (w. 382H), al-Syarif al-
Murtadha (w. 436H), al- Thusy (w. 460H), dan al-Fadhl ibn al-Hasan al-Thibrisy
(w. 548H).

Akibatnya, mereka terpaksa memilih pandangan yang menyatakan bahwa


para imam itu memerintahkan mereka untuk berpegang pada al-Qur’an yang ada
di hadapan kita saat ini, meskipun telah diselewengkan –menurut mereka- hingga
datangnya Al-Qa’im Al-Mahdy yang akan mengeluarkan al-Qur’an yang shahih
yang dikumpulkan oleh Imam Ali r.a. Syekh al-Mufid (w. 413H) menyatakan,

“Sesungguhnya hadits-hadits yang shahih dari para imam kami a.s (yang
menunjukkan) bahwa mereka memerintahkan untuk membaca apa yang ada
dalam mushhaf (al-Qur’an) dan tidak melampaui batas, baik dengan menambah
atau menguranginya, hingga datang al-Qa’im a.s yang akan membacakan al-
Qur’an (yang benar) sesuai dengan yang diturunkan Allah Ta’ala dan
dikumpulkan oleh Amirul mukminin.”

b) Kedua, Perbedaan dalam menimbang matan hadits dengan As-Sunnah

Syiah Imamiyah memandang bahwa al-Sunnah merupakan sumber tasyri’


kedua setelah Kitabullah, dan hal ini disepakati oleh semua kaum muslimin.

16
definisi al-Sunnah menurut Syiah adalah perkataan, perbuatan dan penetapan al-
ma’shum. Oleh sebab itu, sang imam mempunyai hak untuk mengkhususkan dalil
al-Qur’an yang umum, atau tindakan semacamnya. Atau dengan kata lain, sang
imam –karena ia ma‟shum-, maka posisinya sama dengan Nabi saw yang tidak
berbicara kecuali berdasarkan wahyu.

c) Ketiga, Perbedaan dalam menimbang matan hadits dengan Ijma’

Syiah, sebagaimana juga Ahl al-Sunnah- memandang ijma‟ sebagai salah


satu sumber tasyri‟ dalam Islam. Hanya saja, terminologi ijma‟ dalam pandangan
mereka berbeda dengan terminologi ijma’ menurut Ahl al-Sunnah. Ibn al-
Muthahhir al-Huliyy mendefinisikan ijma‟ menurut Syiah dengan mengatakan :

“Ijma’ itu hanya menjadi hujjah bagi kita jika ia mencakupi perkataan
sang (imam) yang ma‟shum. Maka jama‟ah apapun, sedikit atau banyak, jika
perkataan imam termasuk dalam perkataan mereka, maka ijma‟nya menjadi
hujjah karenanya (perkataan imam), bukan karena kesepakatan mereka.”

C. KESIMPULAN

Melihat uraian di atas, jika diperhatikan secara seksama bahwa keadaan


dis-harmonis yang terjadi antara Syi’ah dengan hadis bersifat kausal. Berangkat
dari akidah Syi’ah yang menjadikan Imamah sebagai bagian dari rukun agama,
sedangkan mereka tidak menemukan satu dalil pun yang shahih lagi sharih
menjelaskan demikian. Dalam keadaan terdesak Syi’ah secara brutal membuat
hadis palsu dengan maksud menguatkan eksistensi mereka dihadapan lawan
politik mereka tanpa mengindahkan ancaman Nabi Muhammad. Selain itu,
kandungan hadis dipaksa masuk ke dalam makna yang bukan seharusnya. Apapun
alasannya, mendustakan atas nama Nabi Muhammad dan membuat hadis palsu
jelas tidak dibenarkan dalam Islam.Ancamannya sangat nyata, yaitu siksa api
neraka.

17
BAB II
SEJARAH PENGAJARAN HADITS DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN

Sejak masa Rasulullah SAW perhatian para sahabat terhadap sunnah


sangat besar. Demikian juga perhatian generasi berikutnya seperti tabi’in, tabi’ at-
tabi’in, dan generasi setelahnya. Mereka memelihara hadis dengan cara
menghafal, mengingat, ber-mudzakarah, menulis, menghimpun, dan
mengkodifikasikannya ke dalam kitab-kitab hadis yang tidak terhitung jumlahnya.
Di samping itu, hadis diamalkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-
hari. Tak heran kalau dari generasi ke generasi kajian hadis terus mengalami
perkembangan.

Perkembangan pengajaran hadits tidak berbanding lurus dengan


percepatan bidang ilmu keislaman lainnya. Keterlambatan kajian Hadits di
Indonesia berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, mulai dari awal
masuknya Islam, yaitu abad ke-7 sampai sekitar akhir abad ke-20. Ketika Islam
memperkenalkan dirinya di Indonesia secara tidak langsung Islam juga
memperkenalkan dua komponen penting yang dibawanya, yaitu Al Quran dan
hadis. Artinya, perkembangan hadis yang terjadi di Indonesia tidak luput dari
penyebaran agama Islam yang bermula dari jalur perdagangan dari berbagai
negara, seperti Arab, hingga jalur pendidikan

Sekarang ini kajian Hadits menunjukkan adanya perkembangan dan


mengalami kemajuan yang pesat, baik dari aspek kuantitas, maupun kualitas.
Kemajuan tersebut dibuktikan dengan munculnya program studi Ilmu Hadits di
berbagai Perguruan tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) atau Perguruan
Tinggi Agama Islam di Indonesia yang berada di bawah pembinaan Kementerian
Agama.

B. PEMBAHASAN
a. Sejarah Kajian Hadits di Indonesia

18
Tidak bisa dielakkan bahwa Hadits adalah sumber kedua ajaran Islam
setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari Hadits karena
keterangan ayat-ayatnya bersifat mujmal (global) dan ‘amm (umum). Hadits
berfungsi memberi penjelasan kepada Al-Qur’an. Oleh karena itu, Hadits tidak
dapat dipisahkan dari Al-Qur’an. Hal ini berlaku sejak masa Nabi saw. Akan
tetapi, dalam perkembangan kajian keduanya tidak selamanya sejalan dan seiring,
terutama di daerah-daerah yang berbeda. Untuk beberapa waktu belakangan, para
ulama mengatakan bahwa pengkajian Hadits berkembang di India. Mereka tidak
menyebut perkembangan tafsir di sana.
Di Indonesia, banyak kalangan mengatakan bahwa pengkajian Hadits
terlambat perkembangannya dibanding bidang-bidang lain, seperti tafsir, fikih,
dan tasawuf. Keterlambatan kajian Hadits di Indonesia berlangsung dalam kurun
waktu yang panjang, mulai dari awal masuknya Islam ke Indonesia sampai sekitar
akhir abad ke-20.

Studi hadits dari sanad sampai metodologi penelitian ḥadis menunjukkan


bahwa ada perkembangan dalam penelitian hadits dengan pendekatan ilmiah,
logika deduktif, dan korelasi kontekstual sosiohistoris di Indonesia. Cendekiawan
Ijtihad di Indonesia tidak lepas dari faktor sosial budaya, politik, pembacaan latar
belakang, pendidikan, mazhab dan kecenderungan pemikiran yang dimilikinya.
Studi ini mendukung anggapan bahwa ada perkembangan studi ḥadis di
Indonesia. Pernyataan di atas memiliki kesamaan dengan komunitas akademis
lainnya, seperti Daniel Djuned (2002), R. Michael Feener (2002), dan Muhammad
Dede Rodliyana (2003). Di sisi lain, pernyataan tersebut bertentangan dengan
beberapa kelompok akademis lainnya, seperti Ramli Abdul Wahid (2006), Khairul
Rafiqi (2012), dan Martin van Bruinessen (1995) menjelaskan bahwa tradisi
penelitian hadits jarang terjadi di Indonesia.

Di kalangan para ulama hadits, ditemukan dua kecenderungan pemahaman


terhadap kandungan hadits. Kedua kecenderungan tersebut representasi dalam dua
kelompok yang cukup dominan di kalangan umat Islam, yakni restriction of
traditionalist dan modernist scripturalism.

19
Pemahaman kelompok pertama hanya membatasi diri pada tradisi yang
diperolehnya dari ulama klasik tanpa mempertimbangkan realitas sosial.
Sedangkan pemahaman kelompok modernist scripturalism tidak membatasi pada
tradisi tersebut, tetapi mempertimbangkan konteks dan realitas sosial yang berada
di luar teks. Produk pemahaman hadits yang dihasilkan dari kedua kelompok
tersebut mencerminkan dua tipologi pemahaman, yakni pemahaman
tekstual/literal, dan pemahaman konstekstual.

Teori yang digunakan oleh kelompok tekstual adalah teori


tekstuallegalistik-normatif. Teori ini menekankan pada aspek gramatika bahasa.
Argumen yang dijadikan dasar adalah merujuk kepada struktur kebahasaan Arab.
Karena hadits tertuang dalam bahasa Arab, maka cara yang paling tepat untuk
memahami hadits adalah dengan merujuk kepada struktur kebahasaan Arab itu
sendiri. Struktur kebahasan setidaknya melibatkan dua aspek, yaitu aspek logika
bahasa dan aspek tata bahasa (grammar). Dalam tradisi pemahaman hadits, teori
ini merupakan akibat dari pengaruh yang kuat dalam sejarah pemikiran ilmu
bahasa yang melahirkan dua mazhab, yaitu:
1. Mazhab Kufah, Mazhab ini lebih menekankan pada tata bahasa Arab yang
memiliki akar dan karakter yang khas sehingga kalau menemukan
beberapa kata dan kalimat yang sulit dalam hadits, maka pemahamannya
harus ditelurusi pada tradisi bahasa Arab klasik sebagaimana orang Arab
dahulu memahaminya.
2. Mazhab Basrah, Dalam mazhab ini yang ditekankan adalah logika
universal sebagaimana yang diajarkan filsafat Yunani (Aristoteles),
bukannya tata bahasa Arab yang bersifat lokal-partikular. Alasannya,
hadits sebagai sumber ajaran Islam ditujukan untuk semua umat manusia
tentunya memiliki logika universal yang melewati batas dan karakter local.

Perkembangan kajian Hadits di Indonesia dibagi kedalam beberapa


periode, yaitu:

1. Periode Abad 17 M. sampai 18 M.

20
Pada periode ini, cabang keilmuan Islam di Indonesia awal mulanya
diajarkan di pesantren. Pada abad ini yang pertama dikaji adalah Al Qur’an lalu
setelah itu ilmu bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), Ilmu Fiqh, Tauhid, Usuluddin,
dan Tafsir Al-Qur’an yang merupakan tiga pokok di masa itu. Selanjutnya
mempelajari seperti Taṣawuf, Ḥisāb atau Fālaq, dan Hadits. Ilmu hadits di
Indonesia baru mendapat perhatian setelah melewati beberapa cabang keilmuan
Islam yg lain, Al-Qur’an, nahwu Sharaf, dan tiga pokok ilmu (Fiqh, Tauhid dan
Tafsir Al-Qur’an), tasawuf, hisab atau falaq berkembang baru setelah ilmu Hadits.

Perkembangan hadits di Indonesia pada masa ini bisa dikatakan lambat dibanding
dengan bidang ilmu agama yg lainnya. Akan tetapi, pada masa itu ada beberapa
tokoh ulama yang menaruh perhatian pada bidang hadits, meskipun belum secara
signifikan. Seperti Nuruddin al-Raniri dan Abd al-Rauf al-Sinkili, dianggap
sebagai tokoh utama yang merintis dan mulai memperkenalkan studi hadits pada
masa ini, kususnya dalam syarḥ hadits di Indonesia.

2. Periode Abad ke 19 M. sampai 20 M.


Pada masa ini mulai ada perkembangan lagi di bidang syarh Hadits dengan
mulai banyaknya bermunculan karya-karya ilmu hadits khususnya dalam
syarh Hadits. Beberapa diantaranya;
a. Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani (1815 M/1230 H)
menulis kitab hadits Tanqihu al-Qaul al-Ḥaṡīṡ bi syarḥ al-Lūbab al-Ḥadīs
ini merupakah syarḥ sah kitab al-lūbab al-Ḥadīs Karya Imam Jalāludīn al-
Suyūṭī. Kitab ini memaparkan nama-nama perawi hadits dan sanadnya
serta menyertakan status hadits yang terdapat dalam kitab tersebut.
b. Muhammad Mahfudz al-Tarmasi beberapa karyanya dalam bidang hadits
adalah, Ṡulāṡiyyat al-Bukhari, Manhaj Żawi An-Naẓar bi Syarḥ
Manżumah‘ilm al-Aṡar, al-Minḥah al-Khairiyyah fi Arba‘ina Haditṡan, Al-
Khil‘ah al-Fikriyyah Syarḥ al-Minḥah al-Khairiyyah, Kifaayah al-
Mustafid ‘alaa min al-Asaanid.

21
3. Abad ke 21 – sekarang
Pada tahun 1980 dibuka jurusan tafsir hadits yg kemudian mulai tahun
2014 tafsir dan hadits dipisahkan. Yg berarti tafsir adalah ilmu Al Qur’an dan
untuk hadits nya adalah ilmu hadits.

Seiring dengan perkembangan manusia di era digital ini, kajian hadits di


Indonesia mulai didukung dengan kemajuan teknologi informasi yang
memunculkan berbagai produk baru hadits di era global, seperti buku dalam
bentuk PDF, dalam bentuk Software, CD, buku-buku atau artikel di internet dan
lain sebagainya.

b. Perkembangan Kajian Hadits dalam Dunia Pendidikan.


Sejarah perkembangan kajian hadits dalam dunia pendidikan di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Hadits Belum Masuk Kurikulum (Sebelum Tahun 1900)
Sejak Islam masuk ke Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara umumnya,
pada abad pertama Hijriah sampai pada tahun 1900 M, pengajaran Islam
berlangsung secara sederhana yang bertujuan agar umat Islam memahami rukun
Islam yang lima, rukun iman yang enam, pandai melaksanakan salat, puasa, dan
ajaran-ajaran dasar Islam lainnya. Kemudian, mulailah dilaksanakan pengajaran
ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu tasawuf, dan pelajaran bahasa Arab secara berangsur-
angsur.
Adapun penyebab kurangnya perhatian ulama Indonesia, khususnya dan
ulama Nusantara umumnya terhadap Hadits paling tidak disebabkan oleh tiga
faktor, yaitu (1) bermazhab, (2) kurangnya pakar, dan (3) kurangnya literatur dan
akses untuk mendapatkan informasi Hadits. Pada umumnya rakyat Indonesia
mengikuti mazhab, khususnya mazhab Syâfi‘i. Karena itu, mereka tidak perlu
mencari Hadits untuk menetapkan suatu hukum. Mereka cukup dengan kitab-kitab
muktabarah dan tidak menelusurinya sampai kepada nash Al-Qur’an dan Hadits,
kecuali dalam kasus-kasus tertentu untuk tujuan menguatkan pendapat mereka.
Untuk beberapa masa terjadi kelangkaan ulama atau pakar Hadits. Demikian juga

22
kurangnya literatur hadits di masa lalu dan belum tersedianya sarana untuk
mendapatkan informasi Hadits secara mudah.
2. Hadits Masuk Kurikulum di Pesantren (1900-1960)
Setelah tahun 1900 M, kajian Hadits meningkat karena lahirnya pondok
pesantren dan madrasah serta ormas-ormas yang tidak menganut mazhab. H.
Mahmud Yunus telah mencatat dalam bukunya, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia sejumlah nama pesantren dan madrasah yang lahir pada waktu itu serta
nama kitab-kitab yang diajarkan di sana. Hadits dan ilmu Hadits menjadi bagian
kurikulumnya. Di Jawa, Pesantren Tebuireng yang didirikan pada tahun 1899,
untuk tingkat Ibtidaiyahnya, Hadits tidak terlihat sebagai mata pelajaran. Untuk
tingkat Tsanawiyahnya diajarkan kitab Riyâdh al-Shâlihîn. Di Jombang berdiri
Pondok Pesantren Rajoso pada 1919 mengajarkan Matn al-Arba‘in al-
Nawawiyyah, Bulûgh al-Marâm, al-Tadjrid al-Shahîh, Hadîts al-Bukhârî, dan
Mushthalah al-Hadîts karya Mahmud Yunus. Pondok Pesantren Gontor Ponorogo
yang berdiri pada tahun 1926 mengajarkan Hadits dan Mushthalah Hadits. Di
Medan, Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) yang berdiri pada tahun 1918
mengajarkan Hadits dan Mushthalah Hadits yang kemudian oleh ormas Islam al-
Washliyah yang berdiri di Medan pada tahun 1930 mengadopsi kurikulum MIT.
Begitulah seterusnya pondok dan pesantren lahir pada periode ini
mengajarkan Hadits dan ilmu Hadits sebagai bagian dari kurikulum. Selain itu
lahir pula beberapa tokoh yang menulis kitab Hadits sebagaimana yang dituliskan
di atas. Di masa ini juga muncul beberapa tokoh Hadits, seperti Ahmad Hassan
(w. 1958 M) dan T.M. Hasbi Ash- Shiddieqiy (w. 1975 M). Pada periode ini lahir
sejumlah ormas Islam yang mengembangkan kajian Hadits seperti
Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta, Persis yang
dirikan pada tahun 1923 di Bandung, Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tahun
1926 di Surabaya, Al Washliyah yang didirikan pada tahun 1930 di Medan, dan
ormas-ormas lainnya. Ormas-ormas Islam ini semua meyakini Hadits sebagai
sumber kedua dari ajaran Islam dan mengajarkannya kepada murid-murid di
sekolah dan madrasahnya serta warganya. Hanya saja, dalam kaitan dengan
intensitas, kontribusi kepada pengkajian Hadits, tidak sama.

23
Pada dasarnya, ormasormas ini terbagi kepada dua kelompok, yaitu ormas
yang bermazhab dan ormas yang tidak bermazhab. Ormas yang bermazhab antara
lain adalah NU dan Al Washliyah. Ormas yang tidak bermazhab antara lain adalah
Muhammadiyah dan Persis. Dalam menetapkan hukum atau fatwa, ormas yang
bermazhab menerapkan pendekatan “Bawah-Atas”. Maksudnya, ormas
bermazhab menentukan hukum atau fatwa berdasarkan penjelasan di kitab-kitab
yang mu‘tabarah di lingkungannya.

Sementara itu, ormas-ormas yang bebas mazhab melakukan pendekatan


“Atas-Bawah”. Maksudnya, dalam menetapkan fatwa atau hukum sesuatu
berdasarkan nas Al-Qur’an dan Hadits, kemudian baru melihat pendapat para
ulama. Oleh karena pendekatan yang berbeda ini, hasil fatwanya pun berbeda pula
sehingga dalam beberapa waktu terjadi ketegangan antara kedua belah pihak
dalam masalah-masalah tertentu, seperti dalam hal qunut Subuh, doa bersama,
tahlilan, talqin di kubur, dan badal haji. NU dan Al Washliyah memandang hal-hal
tersebut disyariatkan, sementara Muhammadiyah dan Persis memandangnya tidak
berdasarkan dalil.
Dalam aspek pengkajian Hadits di Indonesia, ormas-ormas yang bebas
mazhab memberikan kontribusi dalam pengembangan kajian hadits lebih
langsung dan lebih kontributif daripada ormas-ormas yang bermazhab. Karena itu,
terlepas dari setuju atau tidak dengan keputusan fatwa atau tarjîh yang dilakukan
kedua ormas yang tidak bermazhab ini, bagaimanapun Muhammadiyah dan Persis
dapat dipandang sebagai pembuka peluang bagi perkembangan kajian Hadits
sesudahnya.

3. Kajian Hadits Masuk Kurikulum di Perguruan Tinggi (1960-1980)


Periode ini ditandai dengan lahirnya perguruan tinggi. Karena itu,
pengajaran Hadits di Indonesia mengalami lompatan yang signifikan dari
pengajaran Hadits yang sederhana di pesantren kepada pengkajian Hadits secara
akademis di berbagai fakultas.

Di perguruan tinggi, Hadits diajarkan secara sistematis dengan


memperkenalkan periodesasi sejarah perkembangan Hadits, asbâb al-wurûd, Jarh

24
wa ta‘dîl, tokoh-tokoh Hadits, ilmu riwayah, ilmu dirâyah, dan membaca kitab
syarah Hadits. Memang pengajaran Hadits di perguruan tinggi pada saat itu masih
sederhana, belum sampai kepada penerapan takhrîj Hadits, penelitian sanad,
penelitian matan, dan berbagai kitab rijal Hadits. Bahasan-bahasan tersebut akan
diajarkan di tingkat Pascasarjana. Akibat dari pengajaran di S1 masih alam tingkat
sederhana maka dosen-dosen yang kemudian melanjutkan ke Pascasarjana merasa
bahwa ilum takhrîj Hadits dan penelitian Hadits seperti ilmu yang baru. Demikian
juga akibatnya nanti ketika dibuka jurusan tafsir hadits di fakultas-fakultas mereka
akan terasa kekurangan dosen Hadits.

4. Hadits Masuk Kurikulum di Pascasarjana (1980-2000)


Periode ini ditandai dengan dibukanya pascasarjana di beberapa daerah.
Pengajaran Hadits di tingkat pasca terutama ditingkat S3-nya sudah jauh berbeda
dari pengajaran Hadits di tingkat S1. Kajian di sini sudah mendalam dan lebih
komplek. Misalnya tentang penelitian sanad dan matan yang memerlukan
keterampilan mencari Hadits yang diteliti di semua sumber. Demikian juga
diperlukan keterampilan mencari rijal hadits di berbagai kitabnya.
Keterampilan menyelesaikan penilaian kritikus selalu berbeda, seperti
seorang periwayat hadits dinilai berbeda oleh para kritikus. Satu kritikus
menilainya tsiqah, kritikus lain menilainya dha’if, dan kritikus yang ketiga
menilainya la ba‘sa bih. Bahkan kadang-kadang terdapat seorang periwayat yang
dinilai oleh para kritikus sebagai periwayat tsiqah mudallis. Ini merupakan
masalah-masalah yang dihadapi dalam meneliti Hadits. Hal lain adalah
terdapatnya hadits-hadits mu‘allaq dalam Shahîh al-Bukharî dan Shahîh Muslim.

Dalam seminar-seminar kelas Hadits muncul lagi pertanyaan inkar sunnah,


pandangan-pandangan aliran terhadap Hadits dan pandangan orientalis. Sesuai
dengan sikap orientalis yang tidak percaya kepada Al-Qur’an dan Hadits serta
kesukaan mereka melakukan penelitian dalam masalah-masalah yang rumit, maka
mereka menemukan kelemahan-kelemahan dalam Hadits sehingga menimbulkan
teori-teori yang melemahkan kedudukan Hadits.

25
Demikianlah seterusnya pengkajian Hadits berkembang, maju, luas, dan
kadang-kadang melampaui batas. Hasil penelitian orientalis yang berangkat dari
titik yang berbeda dengan ulama Islam akan menghasilkan perbedaan dalam
menilai hadits yang dalam banyak teori cenderung menafikan Hadits atau
menolak kebanyakannya.

5. Hadits Mengalami Kemajuan Pesat (2000-Sekarang)


Interaksi dan dinamika dalam pengkajian Hadits tersebut di atas membawa
kepada kemajuan yang sangat signifikan pada satu sisi dan memunculkan
kekhawatiran pada sisi yang lain. Dari penghujung abad 20 sampai sekarang
muncullah berbagai buku tentang hadits.
Telah lahir berbagai judul tentang Hadits baik dalam bentuk buku maupun
artikel. Antara lain adalah Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis (1997)
karya Muh. Zuhri; Problematika Hadits: Mengkaji Paradigma Periwayatan (1997)
karya H. Endang Soetarmadi AD; Al-Imam at-Tirmidzi Peranannya dalam
Pengembangan Hadits dan Fikih (1998) karya Ahmad Sutarmadi; Pergeseran
Pemikiran Ijtihad Hadits Hakim dalam Menentukan Status Hadits (2000) karya
Maman Abdurrahman; Memahami Hadits Nabi (Metode dan Pendekatan) (2003)
karya Nizar Ali; Menembus Lailatul Qadr: Perdebatan Interpretasi Hadits Tekstual
dan Kontekstual (2004) karya Muhammadiyah Amin; Teori Common Link G.H.A
Juynboll (2007) karya Ali Masrur; Metodologi Penelitian Living Qur‘an & Hadits
(2007) karya M. Mansyur, et al.; “Western Methods of Daiting vis-a-vis Ulumul
Hadits (Refleksi Metodologis Atas Diskurus Kesarjanaan Hadits Islam dan
Barat)” (2010) (Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar, Kamaruddin Amin UIN
Alauddin Ujung Pandang); Otoritas Sunnah Non-Tasyri‘iyyah Menurut Yusuf al-
Qaradhawi (2011) karya Tarmizi M. Jakfar; “Pemikiran Joseph Schacht”, Majalah
Kontemplasi, volume 1 no 2 (2013) karya Khoirul Hadi; dan Hadits & Orientalis
(2017) karya H. Idri.

Jurusan Tafsir Hadits (TH) dibuka pada akhir tahun 1980-an. Kemudian
dipisah antara Tafsir dan Hadits pada tahun 2014. Nama untuk Tafsir adalah Ilmu
Quran dan Tafsir (IQT) atau Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT). Untuk prodi Hadits

26
disebut Ilmu Hadits (IH atau ILHA). Tujuannya adalah untuk memperdalam ilmu-
ilmu Al-Qur’an dan tafsir dan juga Hadits dan ilmu-ilmu Hadits secara terpisah.
Karena itu, macam-macam nama mata kuliah baru bagi prodi Ilmu Hadits seperti
mata kuliah Inkar Sunnah dan Hadits di Barat.

Suatu hal perlu dicatat bahwa Asosiasi Ilmu Hadits (ASILHA) telah lahir
di Yogyakarta dan telah melakukan beberapa kali seminar dan konferensi.
Konferensinya yang terakhir berlangsung di UIN Jakarta pada tanggal 6 sampai 8
November 2017 dengan nama kegiatannya, International Confrence on Qur‘an
and Hadith Studies 2017. Dalam konferensi itu telah dibahas dua belas judul besar
yang masing-masing mempunyai minimal empat topik sampai Sembilan topik.
Setiap topik dipresentasikan minimal oleh satu orang, sehingga jumlah peserta
yang mempresentasikan makalah lebih lima puluh orang. Di antara judul besarnya
adalah Issues on Methodology of Quran and Hadith Studies, Living and
Hadits/Sunnah in Indonesia: Variation of Tafsir Nusantara and Future, Quran,
Hadith and Social Issues: Religious Inclussivnees and Freedom. Judul-judul ini
semuanya berusaha menawarkan metodologi dan pendekatan baru dalam
memahami Al-Qur’an dan Hadits. Sub-sub judulnya cenderung kepada
pendekatan Hermeneutika.

Organisasi ini melanjutkan lagi kajiannya dengan konferensi Al-Qur’an


dan Hadits pada tanggal 26-28 Oktober 2018 di UIN Sunan Ampel, Surabaya.
Sudah barang tentu, konferensi ini menghasilkan terobosan-terobosan baru dalam
kajian Al-Qur’an dan Hadits. Namun demikian, perlu dicermati bahwa jika
pendekatan hermeneutika murni diterapkan, berarti ilmu tafsir sebagaimana yang
termuat dalam ulumul Quran akan terabaikan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kajian Al-Qur’an dan Hadits umumnya, dan kajian Hadits khususnya telah
berkembang jauh dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Bahkan dalam
aspek-aspek tertentu perkembangannya dapat dikatakan telah melampaui batas,
seperti sikap-sikap mengadopsi pemikiran Barat secara murni dan tanpa seleksi
dan meninggalkan teori-teori kajian Hadits yang telah dibangun oleh para ulama
sejak berabad-abad.

27
Sehubungan dengan itu pengkajian Hadits ke depan akan maju pesat. Akan
tetapi, kemajuan seperti ini perlu dicermati dan dikontrol pada akhirnya agar
kemudian hari tidak menimbulkan ekses-ekses negatif. Sebab pemahaman
kontekstual, hermeneutika, living hadits, dan teori-teori tentang penelitian
autentisitas Hadits yang diadopsi dari metode dan pendekatan modern bisa
membawa kepada tereleminasinya Hadits. Pakar Hadits haruslah melakukan
usaha-usaha penyempurnaan dengan pembatasan

objek kajian dan penetapan persyaratan bagi para aktivisnya sehingga Islam tidak
kehilangan arah. Maksudnya, bukan menolak metode pemahaman kontekstual
hermeneutika, living Hadits secara total, tetapi menerimanya sebagai pengayaan
kepada metode-metode klasik dengan cara penyempurnaannya dan penetapan
syarat-syarat bagi penggunanya serta batas-batas objek kajiannya.

Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa institusi pengkajian Hadits


baik secara formal maupun non formal berkembang. Demikian juga kurikulum
dan silabus mata kuliah, judul-judul skripsi, tesis, disertasi dan buku-buku yang
diterbitkan mengalami lompatan yang sangat signifikan dibandingkan dengan
periode-periode sebelumnya. Pada periode sebelumnya, pengkajian Hadits
meliputi hal-hal yang berkaitan dengan sejarah, pemaknaan tekstual, dan penilaian
terhadap sanad dan matan Hadits sebagaimana yang termuat dalam kurikulum
nasional PTAIS Depag 1998.15 Sementara, kurikulum Program Ilmu Hadits 2018
yang diterapkan di berbagai UIN/IAIN sudah bervariasi, seperti Hadits Nusantara,
Inkar Sunnah, Hadits di Barat, Hermeneutika Hadits, Living Hadits, dan berbagai
metode modern.

Namun demikian, perlu diperhitungkan peran tokoh dan ormas yang


sampai pada batas-batas tertentu turut berkontribusi dalam perkembangan kajian
Hadits di Indonesia sebelum sampai kepada keadaannya yang sekarang. Di antara
tokoh yang dimaksud adalah Ahmad Surkati yang menggaungkan semboyan
kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah; A. Hassan yang berperan menerapkan
semboyan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah secara operasional; T.M. Hasbi
Ash Shiddieqy yang berperan menyediakan buku-buku Hadits dan ilmu Hadits

28
dalam Bahasa Indonesia; Ali Hasan Ahmad sebagai tokoh NU yang menulis
berbagai buku tentang Hadits dan ilmu Hadits; Fatchur Rahman yang
berkontribusi membuat ranji atau skema sanad sehingga menjadi lebih jelas;
Muhammad Syuhudi Ismail yang berkontribusi dalam penulisan, Metodologi
Penelitian Hadits Nabi, Kamus Praktis Mencari Hadits, dan Hadits Nabi yang
Tekstual dan yang Kontekstual; dan Ali Mustafa Yaqub yang berkontribusi
memperkenalkan teori-teori orientalis dan bantahannya serta mengritik hadits-
hadits populer yang banyak tersebar dalam masyarakat.

Demikian juga tidak dapat diabaikan peran ormas Islam dalam mengembangkan
kajian Hadits di Indonesia yang di antaranya adalah Persis dan Muhammadiyah.
Termasuk di dalamnya pengembangan Hadits di kalangan NU, Al-Washliyah, dan
Jama’ah Salafiyah.

Pada mulanya kajian Hadits menyatu dengan kajian Tafsir, dengan sebutan
program studi TH. Ketika program studi TH dibuka sekitar tahun 1987, prodi ini
merupakan prodi unggulan yang membangkitkan kehidupan Fakultas Ushuluddin
di berbagai perguruan tinggi. Relatif peminatnya besar dibanding prodi-prodi lain
yang dikelola di Fakultas Ushuluddin.

Prodi ini menarik minat para alumni pesantren. Akan tetapi, setelah
dipisah antara ilmu Tafsir dengan sebutan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) dan
ilmu Hadits dengan sebutan IH atau ILHA pada tahun 2014, minat calon
mahasiswa IH rendah dibanding dengan peminat IAT. Hal ini terindikasi dengan
lebih banyaknya lokal-lokal IAT daripada lokal-lokal IH di seluruh UIN/IAIN
yang membuka program studi Ilmu Hadits. Bahkan ada PTAI yang sebelumnya
membuka program studi TH, ketika dipisah antara tafsir dan hadits memilih
membuka IAT dan tidak membuka IH dengan pertimbangan bahwa peminat IH
kurang.

Ketika para calon mahasiswa dihadapkan kepada dua pilihan, ternyata


peminat IAT lebih besar dari peminat IH. Memang untuk UIN Syarif Hidayatullah
di Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta, peminat ilmu Hadits masih

29
tinggi. Akan tetapi, untuk beberapa daerah di luarnya dapat dikatakan kurang.
Bahkan, ada S2 dan S3 ilmu Hadits yang mahasiswanya di bawah 10 orang atau
bahkan 3 orang saja. Pada waktu rekrutmen, karena jumlah pendaftar yang sangat
terbatas, maka semua pendaftar harus diterima tanpa ada yang gugur.

Sebenarnya, program studi ilmu Hadits juga ada di UIN Sumatera Utara,
Medan, UIN Imam Bonjol, Padang, dan UIN Suska, Pekanbaru. Semua
UIN/IAIN/STAIN ini mengelola program studi ilmu Hadits untuk S1. Sementara
untuk S2 dikelola oleh UIN Sunan Kalijaga, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan
Ampel, UIN Imam Bonjol, dan UIN SU. Untuk tingkat S3 perlu program studi
ilmu Hadits hanya ada di UIN SU. Namun demikian, UIN/IAIN/STAIN yang
mempunyai jurusan atau prodi Studi Islam (Dirasah Islamiyah) dapat juga
menghasilkan alumni yang disertasinya di bidang Hadits.

c. Karya-karya Ulama Hadits Indonesia


Berikut ini adalah kumpulan kitab hadits karya ulama Indonesia baik
berupa terjemah dari kitab aslinya maupun hasil karyanya sendiri dalam kajian
hadits terhitung dari abad 17-21 M. antara lain:
1. Hidayat al-Habib fī al-Targīb wa al-Tarhīb, kitab karya Nuruddin ar-Raniri
ini berisi 831 hadits tentang petunjuk kekasih dalam hal yang
menggembirakan dan menakutkan.
2. Syarḥ latif ‘ala Arba‘in Ḥadiṣan lil Imami Nawawi, kitab ini penjelasan
dari kitab Arbain Nawawi, karya Syekh Abdul Rauf al-Singkili.
3. Al-Mawaij al-Badi’ah, mengandung kumpulan hadits-hadits qudsi (hadits
yang lafaznya dari Nabi Muhammad saw. namun maknanya langsung dari
Allah Swt), karya Syekh Abdul Rauf al-Singkili.
4. Tanqīhu al-Qaul, sebuah ulasan terhadap kitab Lubab al-ḥadīs Jalāludīn al-
Suyūṭī, karya Syekh Nawawi al-Bantani.
5. Risālah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah fi Ḥadīs al-Mawtā wa Asyrāth al-
Sa‘ah wa Bayāni Mafhum al-Sunnah wal al-Bid‘ah, kitab yang berisi
Risalah ahlus sunnah wal jama’ah mengenai hadits-hadits tentang

30
kematian dan tanda-tanda kiamat serta penjelasan mengenai sunnah dan
bidah, karya Syekh Hasyim Asyari dan terbit di Jakarta tahun 2011.
6. Arba‘ina Ḥadīṡān Tata‘allaqu bi Mabadi Jami‘iyyat Nahdatul ‘Ulama.
Kitab ini berisi tentang 40 hadits pesan ketakwaan dan kebersamaan dalam
hidup, karya Syekh Hasyim Asyari.
7. Jawāhir al-Ḥadīs, memuat 167 hadits yang secara keseluruhan berkaitan
dengan Ahlak. Disusun oleh Mawardi Muhammad dan diterbitkan di
Padang Panjang tahun 1950.
8. 2002 Mutiara hadits, buku himpunan ini memiliki 7 jilid dan memuat 2002
buah hadits: 171 hadits aqidah, 1649 hadits fiqh dan 182 hadits akhlak.
2002 mutiara hadits ini dihimpun dari dua sumber kitab: kitab Zad al-
Muslim susunan al-Syanqiethy dan kitab al-Lu‘lu wa al-Marjan susunan
Muhammad Fuad Abd al-Baqi. Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dan
diterbitkan pada tahun 1954.
9. Beberapa Rangkuman Hadits, Karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy diterbitkan
pada tahun 1952.
10. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dan
diterbitkan pada tahun 1958.
11. Syarh Ḥadīs Arba‘in, diterjemahkan oleh Zaini Dahlan dan diterbitkan di
Bandung 1955.
12. Al-Jāmi’ al-Ṣahih, susunan Imam al-Bukhari, diterjemahkan oleh H.
Zaenudin Hamidy dkk. dan diterbitkan di Jakarta pada tahun 1957.
13. Problematika Hadits Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, karya T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy diterbitkan pada tahun 1964.
14. Status Hadits Sebagai Dasar Tasyri, ditulis oleh Barmawi Umarie dan
diterbitkan pada tahun 1965.
15. Bulūgul al-Maram, susunan Ibn ḥajar al-Asqalanī, kitab ini diterjemahkan
oleh A. Hassan dan diterbitkan di Ponorogo tahun 1967.
16. ‘Ilmu Muṣṭālaḥal Ḥadīs, ditulis oleh Fatchurrahman dan diterbitkan di
Bandung tahun 1968.

31
17. Terjemah Kitab Shahih Bukhri, Diterjemahkan dalam bahasa daerah
sebanyak II jilid. Disusun oleh KH. HMD. Ramli dan diterbitkan di
Bandung tahun 1969.
18. Koleksi Hadits-Hadits Hukum, II jilid karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dan
terbitkan pada tahun 1970.
19. Rijalu al-Ḥadīs, karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dan terbitkan pada tahun
1970.
20. Sejarah Perkembangan hadits, T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dan diterbitkan
pada tahun 1973.
21. Hadits-Hadits Tentang Peradilan Agama, buku ini memuat 94 buah hadits
mengenai fiqh yang berkisar pada masalah hakim, gugatan, pembuktian,
saksi, sumpah dan hal-hal yang berhubungan dengan peradilan, disusun
oleh Fatchurohman dan diterbitkan di Jakarta tahun 1977.
22. Al-Hadits sebagai Sumber Hukum, buku ini berasal dari buku al-Sunah wa
Makanatuha fi Tasyri ‘al-Islam, yang ditulis oleh Musthafa al-Syiba’i dan
diterbitkan di Ponorogo tahun 1979.
23. ‘Ilmu Muṣṭālaḥal Ḥadīs, ditulis oleh A. Qadir Hasan dan diterbitkan di
Surabaya tahun 1979.
24. Himpunan Hadits Shahih Bukhari. Buku himpunan ini memuat 625 hadits;
57 hadits mengenai aqidah, 26 hadits mengenai akhlak dan 542 hadits
mengenai fiqh, buku ini khusus memuat hadits-hadits yang diriwayatkan
Imam Bukhari. Disusun oleh Hussein Bahreisy dan diterbitkan di
Surabaya tahun 1981.
25. Al-lu’lu wa al-Marjan, disusun Muhammad Fuad Abd al-Baqi, kitab ini
diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy dan diterbitkan di Surabaya tahun
1981.
26. Al-Ḥādīs al-Qudsiyyah, susunan al-Majlis al-A’la li Syuun al-Islamiyah
Kairo, kitab ini diterjemahkan oleh M. Zuhri dan diterbitkan di Semarang
tahun 1981.

32
27. Mutiara Quran dan Hadits, buku ini mengandung dua mata pelajaran yakni
Al-Quran dan Hadits, disusun oleh H. Abd al-Aziz Masyhuri dan
diterbitkan di Surabaya tahun 1982.
28. Hadits-Hadits pilihan, dalam satu jilid tebal berikut penjelasanya. Buku ini
diterjemahkan oleh Moch. Anwar dkk, dan Kitab hadits Mukhtār al-Ḥadīs,
karya Sayyid Ahmad al-Hasyimi diterbitkan di Bandung 1983.
29. Riyāḍul al-ṣaliḥīn, susunan Imam Abu Zakaria Ibn Syaraf al-Nawawi,
kitab ini diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy dan diterbitkan di Bandung
tahun 1983.
30. Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, ditinjau dari sejarah, ditulis oleh
M. Syuhudi Ismail dan diterbitkan di Jakarta tahun 1988.
31. Nasihat Nabi Kepada Pembaca dan Penghapal Quran, karya Kiyai Ali
Mustafa Yakub dan diterbitkan pada tahun 1990.
32. Cara Praktis Mencari Hadits, ditulis oleh M. Syuhudi Ismail dan
diterbitkan di Jakarta tahun 1991.
33. Metodologi Penelitian Hadits Nabi, ditulis oleh M. Syuhudi Ismail dan
diterbitkan di Medan tahun 1991.
34. Kitab Hadits Yang Enam, Terjemahan dari kitab al-Kutub al-Sīyah
diterjemahkan oleh Maulana Hasanudin dan diterbitkan di Jakarta tahun
1991.
35. Ilmu Hadits, ditulis oleh H. Endang Soetari dan diterbitkan di Jakarta
tahun 1991.
36. Imam al-Bukhari dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadits, karya Kiyai
Ali Mustafa Yakub dan diterbitkan pada tahun 1991.
37. Sunan Abū Dāud. Diterjemahkan oleh H. Bey Arifin dan A. Syanqity
Djamaludin dari kitab Mukhtaṣar Sunan Abu Dawud, susunan al-
Munzhiri, diterbitkan di Semararang tahun 1992.
38. Sunan al-Tirmiẓī. Diterjemahkan oleh Moh. Zuhri dkk. dalam lima jilid
tebal, masing-masing jilid mencapai 700 halaman, diterbitkan di Semarang
1992.

33
39. Mūwaṭā Imam Malik, diterjemahkan oleh Adib Bisri Mustafa dan
diterbitkan di Semarang tahun 1992.
40. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Terjemahan oleh tim Penerbit Pustaka
Firdaus diterbitkan di Jakarta tahun 1993.
41. Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dan
diterbitkan di Jakarta tahun 1993.
42. Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, ditulis oleh M. Syuhudi
Ismail dan diterbitkan di Jakarta tahun 1994.
43. Problematika Hadits Mengkaji Paradigma Periwayatan, ditulis oleh H.
Endang Soetari dan diterbitkan di Bandung tahun 1994
44. ‘Ulūmul al-Ḥadīs. Terjemahan Mujio, buku ini diterjemahkan dari Manzhy
al-Naqdfi Ulum al-Hadits yang ditulis oleh Nurudin Ithr, diterbitkan di
Bandung tahun 1994.
45. Metode Takhrij Hadits, terjemahan dari kitab Ṭuruq Takhrij Hadits Rasul
saw, diterjemahkan oleh HS. Agil Husin Munawwar, dkk. dan diterbitkan
di Semarang tahun 1994.
46. Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, karya Kiyai Ali Mustafa Yakub
dan diterbitkan pada tahun 1994.
47. Kritik Hadits, Karya Kiyai Ali Mustafa Yakub dan diterbitkan pada tahun
1995.
48. Al-Jāmi’ al-Ṣagīr. terjemahan dalam lima jilid tebal sesuai dengan aslinya,
diterjemahkan oleh H. Nadjih Ahjad dan diterbitkan di Surabaya 1996.
49. Pokok-pokok Ilmu Hadits, terjemahan dari kitab Uṣul al-Ḥadīskarya M.
Ajaj al-Khatib, diterjemahkan oleh HM. Qodirun Nur, dkk. dan diterbitkan
di Jakarta tahun 1998.
50. Peran Ilmu Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam, karya Kiyai Ali
Mustafa Yakub dan diterbitkan pada tahun 1999.
51. MM Azami Pembela Eksistensi Hadits, karya Kiyai Ali Mustafa Yakub
dan diterbitkan pada tahun 2003.
52. Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan, karya Kiyai Ali Mustafa Yakub
dan diterbitkan pada tahun 2003.

34
53. Al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Fahm al-Sunah al-Nabawīh, karya Kiyai Ali
Mustafa Yakub dan diterbitkan pada tahun 2016.
54. Cara Benar Memahami Hadits, karya Kiyai Ali Mustafa Yakub dan
diterbitkan pada tahun 2016.
55. Al-Jāmi‘ al-Ṣaḥih, Susunan Imam Muslim, diterjemahkan oleh H.A Razaq
dkk dan diterbitkan di Jakarta, tanpa tahun terbit.
56. Kumpulan Hadits Dhaif dan Palsu, dalam buku ini memuat 161 hadits: 58
hadits mengenai aqidah, 22 hadits mengenai akhlak dan 81 hadits
mengenai fiqh. Disusun oleh Ustadz A. Yazid Qasim dan diterbitkan di
Surabaya, tanpa tahun terbit.
57. Nail al-Auṭār, himpunan hadits-hadits hukum diterjemahkan dalam enam
jilid tebal. Disusun oleh karya A. Qadir Hassan, Muamal Hamidy, Imron
AM dan Umar Fanany, tanpa tahun terbit.
58. Mahkota pokok-pokok Hadits Rasullah shallallahu alaihi wa sallam,
terjemahan dari kitab al-Tāj al-Jāmi‘ li al-Usūl fī Aḥādīs ar-Rasūl, ditulis
oleh Syeikh Masnyur Ali Nashef, tanpa tahun terbit.
59. Subul al-Salām Syraḥ Bulūgul al-Maram, terjemahan dalam empat jilid
tebal sesuai dengan kitab aslinya, diterjemahkan oleh Abu Bakar
Muhmamad dan diterbitkan di Surabaya, tanpa tahun terbit.
60. ‘Ilmu Muṣṭālaḥal Ḥadīs. Ilmu tentang pokok-pokok dan kidah-kaidah yang
digunakan untuk mengetahui kondisi sanad dan matan hadits, karya
Mahmud Yunus

D. KESIMPULAN
1. Perkembangan hadits di Indonesia dari masa ke masa mengalami banyak
perkembangan. Pada abad ke-17 M sampai 18 M pembelajaran hadis masih
bercampur dengan ilmu-ilmu lain dan lebih bersifat aplikatif dibanding teori.
Hingga abad ke-20 M, kajian hadis masih sekedar pengantar. Hal itu terlihat
pada beberapa karya muhaddits yang masih banyak mengemukakan sejarah
dibanding kajian analitis. Namun, akhir abad ke-20 M hingga abad ke-21 M,

35
kajian hadis lebih dikembangkan lagi pada aspek kajian analitis untuk
memenuhi kebutuhan akademis.
2. Periode perkembangan kajian Hadits di dunia pendidikan Indonesia:
a. Sebelum tahun 1900 M Hadits belum masuk kurikulum.
b. Setelah tahun 1900 M, Hadits masuk kurikulum di pesantren. Tahun 1960
M – 1980 M,
c. Hadits masuk kurikulum perguruan tinggi. Tahun 1980 M – 2000 M,
d. Hadits masuk kurikulum Pascasarjana.Tahun 2000 M – Sekarang,
Pada periode ini Kajian Hadits mengalami perkembangan pesat, hal ini
dibuktikan dengan Program studi ilmu Hadis banyak dan tersebar di
berbagai UIN/IAIN/STAIN di Indonesia
3. Pemikiran ulama Nusantara tidak jauh berbeda dengan pemikiran yang ada di
Timur Tengah. Hal ini disebabkan banyaknya ulama yang menutut ilmu di
Mekah dan Madinah kemudian membawa dan menerapkan ilmunya di
Indonesia. Dari abad 17-21 M banyak sekali ulama Indonesia yang
menghasilkan karya-karyanya dibidang hadist.

36

Anda mungkin juga menyukai