A. PENDAHULUAN
1
meskipun diakui bahwa praktik kegiatan kritik riwayah hadis secara sederhana
sudah terjadi hampir bersamaan dengan kemunculan hadis itu sendiri.
2
Ketiga, bahwa Syi’ah disebut-sebut terlibat dalam usaha aktif pemalsuan
hadis, bahkan Syi’ah menjadi golongan terbanyak yang melakukan pembuatan
dan penyebaran hadis palsu. Hadis-hadis palsu yang dibuat oleh Syi’ah lebih
kepada pengkultusan dan penetapan status sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai
pewaris Nabi atas khilafah setelahnya, dan mendiskreditkan sahabat- sahabat
tertentu yang dinilai melakukan oposisi terhadap pemerintahan Sayyidina Ali bin
Abi Thalib sebagaimana Sayyidina Abu Bakar as Shiddiq, Umar bin Khattab;
menolak secara tegas terhadap periwayatan Abu Hurairah, Samurah bin Jundab,
‘Urwah bin Zubair, ‘Amr bin al ‘As, al Mughirah bin Syu’bah, dan yang lainya.
Oleh karenanya, menjadi hal yang sangat menarik untuk mengetahui lebih
jauh tentang bagaimana sikap kelompok Syiah terhadap sunnah atau hadis Nabi
saw. dan secara singkat akan dibahas dalam tulisan ini.
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian dan Latar Belakang Syi’ah
3
menjadi identitas Syi’ah adalah segala urusan agama bersumber daripada Ahl-Al-
Bait (Keturuanan Nabi Saw) dan mereka menolak sumber petunjuk agama dari
para sahabat dan seterusnya yang bukan dari Ahl-Al-Bait.
Syi’ah adalah golongan yang secara proaktif mendukung Sayyidina Ali bin
Abi Thalib, bagi firqah ini Imamah dan Khilafah ditetapkan melalui dalil nash dan
wasiat, baik secara terang-terangan atau sembunyi- sembunyi; dan meyakini
bahwa Imamah tidak akan keluar dari jalur keturunan Ali, dan jikalau demikian
maka dianggap telah dzalim.
Selain itu, firqah ini juga meyakini bahwa Imamah adalah masalah pokok
yang menjadi bagian dari rukun agama. Syi’ah menjustifikasi bahwa Ali bin Abi
Thalib adalah paling utamanya manusia setelah Rasulullah, sehingga dia berhak
menjadi penerus menggantikan posisi Rasulullah baik dalam hal urusan duniawi
maupun ukhrawi.
4
sini gerakan separatis Syi’ah mulai muncul meskipun belum menjadi gerakan
yang besar hingga berakhirnya era Ali bin Abi Thalib.
5
Berawal dari pertentangan yang terjadi antara Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan
Mu’awiyah bin Abi Sofyan sehingga meledak menjadi perang terbuka; perang
Shiffin. Upaya damai yang diusulkan Mu’awiyah dan diterima oleh Ali bin Abi
Thalib telah menyebabkan sekelompok orang Islam pendukung Ali bin Abi Thalib
menjadi marah. Mereka menyatakan diri keluar dari barisan Ali dan kemudian
dikenal dengan golongan Khawarij.
Di samping itu, perselisihan antara Mu’awiyah dengan Ali bin Abi Thalib
semakin menegaskan orang-orang yang ekstrim memberikan dukungan kepada
Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan sekte Syi’ah. Semenjak itu,
sekte Syi’ah semakin berkembang, terstruktur dan terorganisir. Bahkan Syi’ah
menjadi bagian penggulingan kekuasaan Dinasti Umayyah yang kemudian
digantikan oleh Dinasti Abbasiyah.
Hadits menurut Syiah adalah “Perkataan, perbuatan dan taqrir dari al-
Ma‟shum”, dan al-Ma‟shum dalam pandangan Syi’ah tidak hanya terbatas di
kalangan para nabi dan rasul, para imam mereka juga termasuk dalam kategori ini.
Bahkan pada sebagian kelompok ekstrem Syi’ah, ada yang memandang bahwa
kedudukan para imam jauh berada di atas para nabi dan rasul kecuali Rasulullah
saw.
6
4. Ali ibn Al-Husain, Zain Al-Abidin “Zainal „Abidin” (w. 95 H/714 M)
5. Abu Ja‟far Muhammad Ali “Al-Baqir” (w. 115 H/733 M)
6. Abu Abdillah Ja‟far bin Muhammad “Al-Shadiq” (w. 148 H/765 M)
7. Abu Ibrahim Musa bin Ja‟far “Al-Kazhim” (w. 183 H/799 M)
8. Abu Hasan Ali bin Musa “Al-Ridha” (w. 203 H/818 M)
9. Abu Ja‟far Muhammad bin Ali “al-Jawad” Al-Taqi (w. 220 H/835 M)
10. Abu Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi”(w. 254H/868 M)
11. Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali “Al-Askari” (w. 260 H/874 M)
12. Abu al-Qasim Muhammad bin Hasan “Al-Mahdi”, Al-Qa‟im Al-Hujjah
(memasuki kegaiban besar pada 329H/940 M).
Konsekuensi dari hal ini mereka berpendapat bahwa perkataan para Imam
juga dikatakan sebagai hadits. Mengenai definisi ini, tidak ada pertentangan dan
perbedaan di kalangan ulama Syiah. Perbedaannya, hanya berkaitan dengan
7
subyek hadits yang menyangkut apakah hanya hadits Nabi yang mengikat atau
juga yang diriwayatkan oleh para Imam suci juga mengikat.
8
mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai Rasulullah saw,
sebagaimana yang dipersyaratkan di kalangan Ahl al-Sunnah.”11 Ini karena
“perkataan para imam itu adalah perkataan Allah, perintah mereka adalah perintah
Allah, ketaatan pada mereka adalah ketaatan pada Allah, kedurhakaan pada
mereka adalah kedurhakaan pada Allah. Mereka itu tidak mungkin berbicara
kecuali dari Allah dan wahyu-Nya.”
9
perlunya ijtihad, dan bahwa landasan hukum itu terdiri dari al-Qur‟an, al-Sunnah,
ijma‟ dan dalil aqli.
Dikalangan syiah terdapat empat kitab hadits yang dianggap paling shahih,
yang dikenal dengan al-Kutubu al-Arb’ah yaitu: Al-Kafi, Man la Yahdurhu al-
faqih, Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar.
1. Al-Kafi
Ditulis oleh Abu Ja‟far Muhammad bin Ya‟qub al-Kulaini. Tidak hanya
memuat tentang hadits-hadits mengenai fiqih, akan tetapi juga mencakup
hadits- hadits tentang akidah ushul dan furu, sejarah para ma‟shumin (orang-
orang yang ma‟shum) menurut syi‟ah. dan empat belas orang-orang suci,
yakni Nabi saw, Sayyidah Fatimah ra. dan kedua belas Imam dan memuat
16.099.
Ditulis oleh Syekh Abu Ja‟far Muhammad Ibn Ali Babuwaih al-
Qummy yang lebih dikenal dengan julukan Syekh ash-shaduq atau maha guru
yang jujur‟. Kitab Man la Yahdhurhu al-Faqih adalah karya hadits mengenai
10
hukum. Di dalamnya tertampung 9044 hadist, dengan 2050 hadist mursal,
hadis yang terputus periwayatannya dan sisanya adalah hadist-hadist musnad
bersambung periwayatannya menurut persepsi Syiah.
11
muridnya al- Hasan ibn Yûsuf ibn Aliy ibn Dâwud ibn Muthahhar al-Hilliy (w.726
H). Pembagian inilah yang kemudian berlaku sampai saat ini.
1. Shahih
2. Hasan
3. Muwats-tsaq
Yaitu hadits dari seorang yang ma‟shum dan diriwayatkan oleh rawi yang
bukan Syi'i, namun ia adalah orang yang tsiqat dan terpercaya dalam
periwayatan.
4. Dha'if
12
Dalam hal ini yang akan dipaparkan adalah klasifikasi perawi, awal
munculnya pembagian derajat hadits dalam Syiah, kajian seputar
persambungan dan perputusan sebuah sanad dalam sudut pandang Syiah dan
kajian al-rijal di kalangan Syiah.
1) Islam
2) Baligh
3) Berakal
4) Adil
5) Dhabith
13
Adapun tautsiqat ‘ammah yang dijadikan sandaran penting dalam
madzhab Syiah terdiri dari beberapa kelompok berikut:
Ketiga, disamping ketiga nama di atas, ada pula beberapa nama yang
dikenal tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang-orang yang tsiqah. Mereka
diantaranya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Isa, Ja‟far ibn Basyir al-Bajaly,
Muhammad ibn Ismail al-Za‟farany, dan Ahmad ibn Ali al-Najasyi. Namun
sebagaimana sebelumnya, ada juga ulama Syiah yang tidak menyepakati ini.
14
b. Bersambung dan Terputusnya Sanad Menurut Syiah
Sanad sebagai mata rantai jalur periwayat hadits yang dimulai dari Sahabat
sampai ulama hadits, terkadang ditulis lengkap dan terkadang membuang
sebagian sanad atau awalnya dengan alasan atas beberapa konteks tertentu.
Contohnya adalah yang dilakukan Al-Kulaini setelah menulis lengkap sanad pada
hadits yang dikutip di atas hadits yang diringkas atau meringkas sejumlah
periwayat terkenal yang terkenal dengan sebutan dari sejumlah sahabat kita
(ashabuna), dari fulan dan seterusnya, atau dengan kata-kata iddah (sejumlah) dan
jamaah (sekelompok) yang dapat menunjukkan upaya peringkasan sanad.
Perbedaan Ahlus Sunnah dan Syiah dalam melakukan kritik matan, dijelaskan
sebagaimana berikut:
15
Qur’an, itulah yang benar. Namun jika hadits itu menyelisihi al-Qur’an, maka ia
tidak bisa dijadikan pegangan. Imam al-Ridha mengatakan,
“Sesungguhnya hadits-hadits yang shahih dari para imam kami a.s (yang
menunjukkan) bahwa mereka memerintahkan untuk membaca apa yang ada
dalam mushhaf (al-Qur’an) dan tidak melampaui batas, baik dengan menambah
atau menguranginya, hingga datang al-Qa’im a.s yang akan membacakan al-
Qur’an (yang benar) sesuai dengan yang diturunkan Allah Ta’ala dan
dikumpulkan oleh Amirul mukminin.”
16
definisi al-Sunnah menurut Syiah adalah perkataan, perbuatan dan penetapan al-
ma’shum. Oleh sebab itu, sang imam mempunyai hak untuk mengkhususkan dalil
al-Qur’an yang umum, atau tindakan semacamnya. Atau dengan kata lain, sang
imam –karena ia ma‟shum-, maka posisinya sama dengan Nabi saw yang tidak
berbicara kecuali berdasarkan wahyu.
“Ijma’ itu hanya menjadi hujjah bagi kita jika ia mencakupi perkataan
sang (imam) yang ma‟shum. Maka jama‟ah apapun, sedikit atau banyak, jika
perkataan imam termasuk dalam perkataan mereka, maka ijma‟nya menjadi
hujjah karenanya (perkataan imam), bukan karena kesepakatan mereka.”
C. KESIMPULAN
17
BAB II
SEJARAH PENGAJARAN HADITS DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
B. PEMBAHASAN
a. Sejarah Kajian Hadits di Indonesia
18
Tidak bisa dielakkan bahwa Hadits adalah sumber kedua ajaran Islam
setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari Hadits karena
keterangan ayat-ayatnya bersifat mujmal (global) dan ‘amm (umum). Hadits
berfungsi memberi penjelasan kepada Al-Qur’an. Oleh karena itu, Hadits tidak
dapat dipisahkan dari Al-Qur’an. Hal ini berlaku sejak masa Nabi saw. Akan
tetapi, dalam perkembangan kajian keduanya tidak selamanya sejalan dan seiring,
terutama di daerah-daerah yang berbeda. Untuk beberapa waktu belakangan, para
ulama mengatakan bahwa pengkajian Hadits berkembang di India. Mereka tidak
menyebut perkembangan tafsir di sana.
Di Indonesia, banyak kalangan mengatakan bahwa pengkajian Hadits
terlambat perkembangannya dibanding bidang-bidang lain, seperti tafsir, fikih,
dan tasawuf. Keterlambatan kajian Hadits di Indonesia berlangsung dalam kurun
waktu yang panjang, mulai dari awal masuknya Islam ke Indonesia sampai sekitar
akhir abad ke-20.
19
Pemahaman kelompok pertama hanya membatasi diri pada tradisi yang
diperolehnya dari ulama klasik tanpa mempertimbangkan realitas sosial.
Sedangkan pemahaman kelompok modernist scripturalism tidak membatasi pada
tradisi tersebut, tetapi mempertimbangkan konteks dan realitas sosial yang berada
di luar teks. Produk pemahaman hadits yang dihasilkan dari kedua kelompok
tersebut mencerminkan dua tipologi pemahaman, yakni pemahaman
tekstual/literal, dan pemahaman konstekstual.
20
Pada periode ini, cabang keilmuan Islam di Indonesia awal mulanya
diajarkan di pesantren. Pada abad ini yang pertama dikaji adalah Al Qur’an lalu
setelah itu ilmu bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), Ilmu Fiqh, Tauhid, Usuluddin,
dan Tafsir Al-Qur’an yang merupakan tiga pokok di masa itu. Selanjutnya
mempelajari seperti Taṣawuf, Ḥisāb atau Fālaq, dan Hadits. Ilmu hadits di
Indonesia baru mendapat perhatian setelah melewati beberapa cabang keilmuan
Islam yg lain, Al-Qur’an, nahwu Sharaf, dan tiga pokok ilmu (Fiqh, Tauhid dan
Tafsir Al-Qur’an), tasawuf, hisab atau falaq berkembang baru setelah ilmu Hadits.
Perkembangan hadits di Indonesia pada masa ini bisa dikatakan lambat dibanding
dengan bidang ilmu agama yg lainnya. Akan tetapi, pada masa itu ada beberapa
tokoh ulama yang menaruh perhatian pada bidang hadits, meskipun belum secara
signifikan. Seperti Nuruddin al-Raniri dan Abd al-Rauf al-Sinkili, dianggap
sebagai tokoh utama yang merintis dan mulai memperkenalkan studi hadits pada
masa ini, kususnya dalam syarḥ hadits di Indonesia.
21
3. Abad ke 21 – sekarang
Pada tahun 1980 dibuka jurusan tafsir hadits yg kemudian mulai tahun
2014 tafsir dan hadits dipisahkan. Yg berarti tafsir adalah ilmu Al Qur’an dan
untuk hadits nya adalah ilmu hadits.
22
kurangnya literatur hadits di masa lalu dan belum tersedianya sarana untuk
mendapatkan informasi Hadits secara mudah.
2. Hadits Masuk Kurikulum di Pesantren (1900-1960)
Setelah tahun 1900 M, kajian Hadits meningkat karena lahirnya pondok
pesantren dan madrasah serta ormas-ormas yang tidak menganut mazhab. H.
Mahmud Yunus telah mencatat dalam bukunya, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia sejumlah nama pesantren dan madrasah yang lahir pada waktu itu serta
nama kitab-kitab yang diajarkan di sana. Hadits dan ilmu Hadits menjadi bagian
kurikulumnya. Di Jawa, Pesantren Tebuireng yang didirikan pada tahun 1899,
untuk tingkat Ibtidaiyahnya, Hadits tidak terlihat sebagai mata pelajaran. Untuk
tingkat Tsanawiyahnya diajarkan kitab Riyâdh al-Shâlihîn. Di Jombang berdiri
Pondok Pesantren Rajoso pada 1919 mengajarkan Matn al-Arba‘in al-
Nawawiyyah, Bulûgh al-Marâm, al-Tadjrid al-Shahîh, Hadîts al-Bukhârî, dan
Mushthalah al-Hadîts karya Mahmud Yunus. Pondok Pesantren Gontor Ponorogo
yang berdiri pada tahun 1926 mengajarkan Hadits dan Mushthalah Hadits. Di
Medan, Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) yang berdiri pada tahun 1918
mengajarkan Hadits dan Mushthalah Hadits yang kemudian oleh ormas Islam al-
Washliyah yang berdiri di Medan pada tahun 1930 mengadopsi kurikulum MIT.
Begitulah seterusnya pondok dan pesantren lahir pada periode ini
mengajarkan Hadits dan ilmu Hadits sebagai bagian dari kurikulum. Selain itu
lahir pula beberapa tokoh yang menulis kitab Hadits sebagaimana yang dituliskan
di atas. Di masa ini juga muncul beberapa tokoh Hadits, seperti Ahmad Hassan
(w. 1958 M) dan T.M. Hasbi Ash- Shiddieqiy (w. 1975 M). Pada periode ini lahir
sejumlah ormas Islam yang mengembangkan kajian Hadits seperti
Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta, Persis yang
dirikan pada tahun 1923 di Bandung, Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tahun
1926 di Surabaya, Al Washliyah yang didirikan pada tahun 1930 di Medan, dan
ormas-ormas lainnya. Ormas-ormas Islam ini semua meyakini Hadits sebagai
sumber kedua dari ajaran Islam dan mengajarkannya kepada murid-murid di
sekolah dan madrasahnya serta warganya. Hanya saja, dalam kaitan dengan
intensitas, kontribusi kepada pengkajian Hadits, tidak sama.
23
Pada dasarnya, ormasormas ini terbagi kepada dua kelompok, yaitu ormas
yang bermazhab dan ormas yang tidak bermazhab. Ormas yang bermazhab antara
lain adalah NU dan Al Washliyah. Ormas yang tidak bermazhab antara lain adalah
Muhammadiyah dan Persis. Dalam menetapkan hukum atau fatwa, ormas yang
bermazhab menerapkan pendekatan “Bawah-Atas”. Maksudnya, ormas
bermazhab menentukan hukum atau fatwa berdasarkan penjelasan di kitab-kitab
yang mu‘tabarah di lingkungannya.
24
wa ta‘dîl, tokoh-tokoh Hadits, ilmu riwayah, ilmu dirâyah, dan membaca kitab
syarah Hadits. Memang pengajaran Hadits di perguruan tinggi pada saat itu masih
sederhana, belum sampai kepada penerapan takhrîj Hadits, penelitian sanad,
penelitian matan, dan berbagai kitab rijal Hadits. Bahasan-bahasan tersebut akan
diajarkan di tingkat Pascasarjana. Akibat dari pengajaran di S1 masih alam tingkat
sederhana maka dosen-dosen yang kemudian melanjutkan ke Pascasarjana merasa
bahwa ilum takhrîj Hadits dan penelitian Hadits seperti ilmu yang baru. Demikian
juga akibatnya nanti ketika dibuka jurusan tafsir hadits di fakultas-fakultas mereka
akan terasa kekurangan dosen Hadits.
25
Demikianlah seterusnya pengkajian Hadits berkembang, maju, luas, dan
kadang-kadang melampaui batas. Hasil penelitian orientalis yang berangkat dari
titik yang berbeda dengan ulama Islam akan menghasilkan perbedaan dalam
menilai hadits yang dalam banyak teori cenderung menafikan Hadits atau
menolak kebanyakannya.
Jurusan Tafsir Hadits (TH) dibuka pada akhir tahun 1980-an. Kemudian
dipisah antara Tafsir dan Hadits pada tahun 2014. Nama untuk Tafsir adalah Ilmu
Quran dan Tafsir (IQT) atau Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT). Untuk prodi Hadits
26
disebut Ilmu Hadits (IH atau ILHA). Tujuannya adalah untuk memperdalam ilmu-
ilmu Al-Qur’an dan tafsir dan juga Hadits dan ilmu-ilmu Hadits secara terpisah.
Karena itu, macam-macam nama mata kuliah baru bagi prodi Ilmu Hadits seperti
mata kuliah Inkar Sunnah dan Hadits di Barat.
Suatu hal perlu dicatat bahwa Asosiasi Ilmu Hadits (ASILHA) telah lahir
di Yogyakarta dan telah melakukan beberapa kali seminar dan konferensi.
Konferensinya yang terakhir berlangsung di UIN Jakarta pada tanggal 6 sampai 8
November 2017 dengan nama kegiatannya, International Confrence on Qur‘an
and Hadith Studies 2017. Dalam konferensi itu telah dibahas dua belas judul besar
yang masing-masing mempunyai minimal empat topik sampai Sembilan topik.
Setiap topik dipresentasikan minimal oleh satu orang, sehingga jumlah peserta
yang mempresentasikan makalah lebih lima puluh orang. Di antara judul besarnya
adalah Issues on Methodology of Quran and Hadith Studies, Living and
Hadits/Sunnah in Indonesia: Variation of Tafsir Nusantara and Future, Quran,
Hadith and Social Issues: Religious Inclussivnees and Freedom. Judul-judul ini
semuanya berusaha menawarkan metodologi dan pendekatan baru dalam
memahami Al-Qur’an dan Hadits. Sub-sub judulnya cenderung kepada
pendekatan Hermeneutika.
27
Sehubungan dengan itu pengkajian Hadits ke depan akan maju pesat. Akan
tetapi, kemajuan seperti ini perlu dicermati dan dikontrol pada akhirnya agar
kemudian hari tidak menimbulkan ekses-ekses negatif. Sebab pemahaman
kontekstual, hermeneutika, living hadits, dan teori-teori tentang penelitian
autentisitas Hadits yang diadopsi dari metode dan pendekatan modern bisa
membawa kepada tereleminasinya Hadits. Pakar Hadits haruslah melakukan
usaha-usaha penyempurnaan dengan pembatasan
objek kajian dan penetapan persyaratan bagi para aktivisnya sehingga Islam tidak
kehilangan arah. Maksudnya, bukan menolak metode pemahaman kontekstual
hermeneutika, living Hadits secara total, tetapi menerimanya sebagai pengayaan
kepada metode-metode klasik dengan cara penyempurnaannya dan penetapan
syarat-syarat bagi penggunanya serta batas-batas objek kajiannya.
28
dalam Bahasa Indonesia; Ali Hasan Ahmad sebagai tokoh NU yang menulis
berbagai buku tentang Hadits dan ilmu Hadits; Fatchur Rahman yang
berkontribusi membuat ranji atau skema sanad sehingga menjadi lebih jelas;
Muhammad Syuhudi Ismail yang berkontribusi dalam penulisan, Metodologi
Penelitian Hadits Nabi, Kamus Praktis Mencari Hadits, dan Hadits Nabi yang
Tekstual dan yang Kontekstual; dan Ali Mustafa Yaqub yang berkontribusi
memperkenalkan teori-teori orientalis dan bantahannya serta mengritik hadits-
hadits populer yang banyak tersebar dalam masyarakat.
Demikian juga tidak dapat diabaikan peran ormas Islam dalam mengembangkan
kajian Hadits di Indonesia yang di antaranya adalah Persis dan Muhammadiyah.
Termasuk di dalamnya pengembangan Hadits di kalangan NU, Al-Washliyah, dan
Jama’ah Salafiyah.
Pada mulanya kajian Hadits menyatu dengan kajian Tafsir, dengan sebutan
program studi TH. Ketika program studi TH dibuka sekitar tahun 1987, prodi ini
merupakan prodi unggulan yang membangkitkan kehidupan Fakultas Ushuluddin
di berbagai perguruan tinggi. Relatif peminatnya besar dibanding prodi-prodi lain
yang dikelola di Fakultas Ushuluddin.
Prodi ini menarik minat para alumni pesantren. Akan tetapi, setelah
dipisah antara ilmu Tafsir dengan sebutan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) dan
ilmu Hadits dengan sebutan IH atau ILHA pada tahun 2014, minat calon
mahasiswa IH rendah dibanding dengan peminat IAT. Hal ini terindikasi dengan
lebih banyaknya lokal-lokal IAT daripada lokal-lokal IH di seluruh UIN/IAIN
yang membuka program studi Ilmu Hadits. Bahkan ada PTAI yang sebelumnya
membuka program studi TH, ketika dipisah antara tafsir dan hadits memilih
membuka IAT dan tidak membuka IH dengan pertimbangan bahwa peminat IH
kurang.
29
tinggi. Akan tetapi, untuk beberapa daerah di luarnya dapat dikatakan kurang.
Bahkan, ada S2 dan S3 ilmu Hadits yang mahasiswanya di bawah 10 orang atau
bahkan 3 orang saja. Pada waktu rekrutmen, karena jumlah pendaftar yang sangat
terbatas, maka semua pendaftar harus diterima tanpa ada yang gugur.
Sebenarnya, program studi ilmu Hadits juga ada di UIN Sumatera Utara,
Medan, UIN Imam Bonjol, Padang, dan UIN Suska, Pekanbaru. Semua
UIN/IAIN/STAIN ini mengelola program studi ilmu Hadits untuk S1. Sementara
untuk S2 dikelola oleh UIN Sunan Kalijaga, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan
Ampel, UIN Imam Bonjol, dan UIN SU. Untuk tingkat S3 perlu program studi
ilmu Hadits hanya ada di UIN SU. Namun demikian, UIN/IAIN/STAIN yang
mempunyai jurusan atau prodi Studi Islam (Dirasah Islamiyah) dapat juga
menghasilkan alumni yang disertasinya di bidang Hadits.
30
kematian dan tanda-tanda kiamat serta penjelasan mengenai sunnah dan
bidah, karya Syekh Hasyim Asyari dan terbit di Jakarta tahun 2011.
6. Arba‘ina Ḥadīṡān Tata‘allaqu bi Mabadi Jami‘iyyat Nahdatul ‘Ulama.
Kitab ini berisi tentang 40 hadits pesan ketakwaan dan kebersamaan dalam
hidup, karya Syekh Hasyim Asyari.
7. Jawāhir al-Ḥadīs, memuat 167 hadits yang secara keseluruhan berkaitan
dengan Ahlak. Disusun oleh Mawardi Muhammad dan diterbitkan di
Padang Panjang tahun 1950.
8. 2002 Mutiara hadits, buku himpunan ini memiliki 7 jilid dan memuat 2002
buah hadits: 171 hadits aqidah, 1649 hadits fiqh dan 182 hadits akhlak.
2002 mutiara hadits ini dihimpun dari dua sumber kitab: kitab Zad al-
Muslim susunan al-Syanqiethy dan kitab al-Lu‘lu wa al-Marjan susunan
Muhammad Fuad Abd al-Baqi. Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dan
diterbitkan pada tahun 1954.
9. Beberapa Rangkuman Hadits, Karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy diterbitkan
pada tahun 1952.
10. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dan
diterbitkan pada tahun 1958.
11. Syarh Ḥadīs Arba‘in, diterjemahkan oleh Zaini Dahlan dan diterbitkan di
Bandung 1955.
12. Al-Jāmi’ al-Ṣahih, susunan Imam al-Bukhari, diterjemahkan oleh H.
Zaenudin Hamidy dkk. dan diterbitkan di Jakarta pada tahun 1957.
13. Problematika Hadits Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, karya T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy diterbitkan pada tahun 1964.
14. Status Hadits Sebagai Dasar Tasyri, ditulis oleh Barmawi Umarie dan
diterbitkan pada tahun 1965.
15. Bulūgul al-Maram, susunan Ibn ḥajar al-Asqalanī, kitab ini diterjemahkan
oleh A. Hassan dan diterbitkan di Ponorogo tahun 1967.
16. ‘Ilmu Muṣṭālaḥal Ḥadīs, ditulis oleh Fatchurrahman dan diterbitkan di
Bandung tahun 1968.
31
17. Terjemah Kitab Shahih Bukhri, Diterjemahkan dalam bahasa daerah
sebanyak II jilid. Disusun oleh KH. HMD. Ramli dan diterbitkan di
Bandung tahun 1969.
18. Koleksi Hadits-Hadits Hukum, II jilid karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dan
terbitkan pada tahun 1970.
19. Rijalu al-Ḥadīs, karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dan terbitkan pada tahun
1970.
20. Sejarah Perkembangan hadits, T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dan diterbitkan
pada tahun 1973.
21. Hadits-Hadits Tentang Peradilan Agama, buku ini memuat 94 buah hadits
mengenai fiqh yang berkisar pada masalah hakim, gugatan, pembuktian,
saksi, sumpah dan hal-hal yang berhubungan dengan peradilan, disusun
oleh Fatchurohman dan diterbitkan di Jakarta tahun 1977.
22. Al-Hadits sebagai Sumber Hukum, buku ini berasal dari buku al-Sunah wa
Makanatuha fi Tasyri ‘al-Islam, yang ditulis oleh Musthafa al-Syiba’i dan
diterbitkan di Ponorogo tahun 1979.
23. ‘Ilmu Muṣṭālaḥal Ḥadīs, ditulis oleh A. Qadir Hasan dan diterbitkan di
Surabaya tahun 1979.
24. Himpunan Hadits Shahih Bukhari. Buku himpunan ini memuat 625 hadits;
57 hadits mengenai aqidah, 26 hadits mengenai akhlak dan 542 hadits
mengenai fiqh, buku ini khusus memuat hadits-hadits yang diriwayatkan
Imam Bukhari. Disusun oleh Hussein Bahreisy dan diterbitkan di
Surabaya tahun 1981.
25. Al-lu’lu wa al-Marjan, disusun Muhammad Fuad Abd al-Baqi, kitab ini
diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy dan diterbitkan di Surabaya tahun
1981.
26. Al-Ḥādīs al-Qudsiyyah, susunan al-Majlis al-A’la li Syuun al-Islamiyah
Kairo, kitab ini diterjemahkan oleh M. Zuhri dan diterbitkan di Semarang
tahun 1981.
32
27. Mutiara Quran dan Hadits, buku ini mengandung dua mata pelajaran yakni
Al-Quran dan Hadits, disusun oleh H. Abd al-Aziz Masyhuri dan
diterbitkan di Surabaya tahun 1982.
28. Hadits-Hadits pilihan, dalam satu jilid tebal berikut penjelasanya. Buku ini
diterjemahkan oleh Moch. Anwar dkk, dan Kitab hadits Mukhtār al-Ḥadīs,
karya Sayyid Ahmad al-Hasyimi diterbitkan di Bandung 1983.
29. Riyāḍul al-ṣaliḥīn, susunan Imam Abu Zakaria Ibn Syaraf al-Nawawi,
kitab ini diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy dan diterbitkan di Bandung
tahun 1983.
30. Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, ditinjau dari sejarah, ditulis oleh
M. Syuhudi Ismail dan diterbitkan di Jakarta tahun 1988.
31. Nasihat Nabi Kepada Pembaca dan Penghapal Quran, karya Kiyai Ali
Mustafa Yakub dan diterbitkan pada tahun 1990.
32. Cara Praktis Mencari Hadits, ditulis oleh M. Syuhudi Ismail dan
diterbitkan di Jakarta tahun 1991.
33. Metodologi Penelitian Hadits Nabi, ditulis oleh M. Syuhudi Ismail dan
diterbitkan di Medan tahun 1991.
34. Kitab Hadits Yang Enam, Terjemahan dari kitab al-Kutub al-Sīyah
diterjemahkan oleh Maulana Hasanudin dan diterbitkan di Jakarta tahun
1991.
35. Ilmu Hadits, ditulis oleh H. Endang Soetari dan diterbitkan di Jakarta
tahun 1991.
36. Imam al-Bukhari dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadits, karya Kiyai
Ali Mustafa Yakub dan diterbitkan pada tahun 1991.
37. Sunan Abū Dāud. Diterjemahkan oleh H. Bey Arifin dan A. Syanqity
Djamaludin dari kitab Mukhtaṣar Sunan Abu Dawud, susunan al-
Munzhiri, diterbitkan di Semararang tahun 1992.
38. Sunan al-Tirmiẓī. Diterjemahkan oleh Moh. Zuhri dkk. dalam lima jilid
tebal, masing-masing jilid mencapai 700 halaman, diterbitkan di Semarang
1992.
33
39. Mūwaṭā Imam Malik, diterjemahkan oleh Adib Bisri Mustafa dan
diterbitkan di Semarang tahun 1992.
40. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Terjemahan oleh tim Penerbit Pustaka
Firdaus diterbitkan di Jakarta tahun 1993.
41. Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dan
diterbitkan di Jakarta tahun 1993.
42. Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, ditulis oleh M. Syuhudi
Ismail dan diterbitkan di Jakarta tahun 1994.
43. Problematika Hadits Mengkaji Paradigma Periwayatan, ditulis oleh H.
Endang Soetari dan diterbitkan di Bandung tahun 1994
44. ‘Ulūmul al-Ḥadīs. Terjemahan Mujio, buku ini diterjemahkan dari Manzhy
al-Naqdfi Ulum al-Hadits yang ditulis oleh Nurudin Ithr, diterbitkan di
Bandung tahun 1994.
45. Metode Takhrij Hadits, terjemahan dari kitab Ṭuruq Takhrij Hadits Rasul
saw, diterjemahkan oleh HS. Agil Husin Munawwar, dkk. dan diterbitkan
di Semarang tahun 1994.
46. Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, karya Kiyai Ali Mustafa Yakub
dan diterbitkan pada tahun 1994.
47. Kritik Hadits, Karya Kiyai Ali Mustafa Yakub dan diterbitkan pada tahun
1995.
48. Al-Jāmi’ al-Ṣagīr. terjemahan dalam lima jilid tebal sesuai dengan aslinya,
diterjemahkan oleh H. Nadjih Ahjad dan diterbitkan di Surabaya 1996.
49. Pokok-pokok Ilmu Hadits, terjemahan dari kitab Uṣul al-Ḥadīskarya M.
Ajaj al-Khatib, diterjemahkan oleh HM. Qodirun Nur, dkk. dan diterbitkan
di Jakarta tahun 1998.
50. Peran Ilmu Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam, karya Kiyai Ali
Mustafa Yakub dan diterbitkan pada tahun 1999.
51. MM Azami Pembela Eksistensi Hadits, karya Kiyai Ali Mustafa Yakub
dan diterbitkan pada tahun 2003.
52. Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan, karya Kiyai Ali Mustafa Yakub
dan diterbitkan pada tahun 2003.
34
53. Al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Fahm al-Sunah al-Nabawīh, karya Kiyai Ali
Mustafa Yakub dan diterbitkan pada tahun 2016.
54. Cara Benar Memahami Hadits, karya Kiyai Ali Mustafa Yakub dan
diterbitkan pada tahun 2016.
55. Al-Jāmi‘ al-Ṣaḥih, Susunan Imam Muslim, diterjemahkan oleh H.A Razaq
dkk dan diterbitkan di Jakarta, tanpa tahun terbit.
56. Kumpulan Hadits Dhaif dan Palsu, dalam buku ini memuat 161 hadits: 58
hadits mengenai aqidah, 22 hadits mengenai akhlak dan 81 hadits
mengenai fiqh. Disusun oleh Ustadz A. Yazid Qasim dan diterbitkan di
Surabaya, tanpa tahun terbit.
57. Nail al-Auṭār, himpunan hadits-hadits hukum diterjemahkan dalam enam
jilid tebal. Disusun oleh karya A. Qadir Hassan, Muamal Hamidy, Imron
AM dan Umar Fanany, tanpa tahun terbit.
58. Mahkota pokok-pokok Hadits Rasullah shallallahu alaihi wa sallam,
terjemahan dari kitab al-Tāj al-Jāmi‘ li al-Usūl fī Aḥādīs ar-Rasūl, ditulis
oleh Syeikh Masnyur Ali Nashef, tanpa tahun terbit.
59. Subul al-Salām Syraḥ Bulūgul al-Maram, terjemahan dalam empat jilid
tebal sesuai dengan kitab aslinya, diterjemahkan oleh Abu Bakar
Muhmamad dan diterbitkan di Surabaya, tanpa tahun terbit.
60. ‘Ilmu Muṣṭālaḥal Ḥadīs. Ilmu tentang pokok-pokok dan kidah-kaidah yang
digunakan untuk mengetahui kondisi sanad dan matan hadits, karya
Mahmud Yunus
D. KESIMPULAN
1. Perkembangan hadits di Indonesia dari masa ke masa mengalami banyak
perkembangan. Pada abad ke-17 M sampai 18 M pembelajaran hadis masih
bercampur dengan ilmu-ilmu lain dan lebih bersifat aplikatif dibanding teori.
Hingga abad ke-20 M, kajian hadis masih sekedar pengantar. Hal itu terlihat
pada beberapa karya muhaddits yang masih banyak mengemukakan sejarah
dibanding kajian analitis. Namun, akhir abad ke-20 M hingga abad ke-21 M,
35
kajian hadis lebih dikembangkan lagi pada aspek kajian analitis untuk
memenuhi kebutuhan akademis.
2. Periode perkembangan kajian Hadits di dunia pendidikan Indonesia:
a. Sebelum tahun 1900 M Hadits belum masuk kurikulum.
b. Setelah tahun 1900 M, Hadits masuk kurikulum di pesantren. Tahun 1960
M – 1980 M,
c. Hadits masuk kurikulum perguruan tinggi. Tahun 1980 M – 2000 M,
d. Hadits masuk kurikulum Pascasarjana.Tahun 2000 M – Sekarang,
Pada periode ini Kajian Hadits mengalami perkembangan pesat, hal ini
dibuktikan dengan Program studi ilmu Hadis banyak dan tersebar di
berbagai UIN/IAIN/STAIN di Indonesia
3. Pemikiran ulama Nusantara tidak jauh berbeda dengan pemikiran yang ada di
Timur Tengah. Hal ini disebabkan banyaknya ulama yang menutut ilmu di
Mekah dan Madinah kemudian membawa dan menerapkan ilmunya di
Indonesia. Dari abad 17-21 M banyak sekali ulama Indonesia yang
menghasilkan karya-karyanya dibidang hadist.
36