Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH RAGAM KALIMAT

DISUSUN OLEH :
Akbar Maulana (183202116)
Davinta Uzda L (183202117)
Dwi Asni Nurviani (183202055)
Fourin Oktavia N (183202058)

PROGRAM STUDI KOMPUTERISASI AKUNTANSI


JURUSAN KOMPUTER AKUNTASI
POLITEKNIK NEGERI MADIUN
MADIUN
2018
PEMBAHASAN
A. Kata Baku dan Tidak Baku

Kata baku adalah kata yang cara pengucapannya atau penulisannya sesuai dengan kaidah
yang dibakukan. Kaidah standar yang dibakukan terebut dapat berupa pedoman Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD), tata bahasa baku, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan kamus
umum.
Sedangkan kata tidak baku adalah ragam bahasa yang cara pengucapannya atau
penulisannya tidak memenuhi kaidah – kaidah standat kata baku.

1. Kata Baku Dalam Berbagai Sudut Pandang

Berdasarkan sudut pandang informasi, bahasa baku adalah ragam bahasa yang digunakan
dalam berkomunikasi tentang ilmu pengetahuan. Berdasarkan sudut pandang pengguna
bahasa, ragam bahasa baku dapat dibatasi dengan ragam bahasa yang lazim digunakan oleh
penutur yang paling berpengaruh, seperti ilmuan, pemerintah, tokoh masyarakat, dan kaum
jurnalis atau wartawan. Bahasa merekalah yang dianggap ragam bahasa baku.
Dari sudut pandang tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata baku adalah kata-kata
yang lazim digunakan dalam situasi formal atau resmi yang penulisannya sesuai dengan
kaidah-kaidah yang dibakukan. Kaidah standar yang diamaksud dapat berupa pedoman ejaan
(EYD). Kriteria kata baku atau Baku tidaknya sebuah kata dapat dilihat dari segi lafal, ejaan,
gramatika, dan “kenasionalan-nya.

2. Ciri-Ciri Kata Baku


a) Bukan merupakan ragam bahasa percakapan.
b) Sesuai dengan konteks kalimat yang dipakai.
c) Tidak terkontaminasi dan tidak rancu.
d) Pemakaian imbuhan secara eksplisit.
3. Syarat – syarat Kalimat Baku
a. Logis.
b. Tidak ada unsur sia-sia (kata tidak diulang-ulang).
c. Tidak terpengaruh bahasa daerah.
d. Subyek jelas.
4. Ciri-Ciri Bahasa Indonesia yang Baku
Menurut Buku “Teknik penulisan Karangan Ilmiah karya Drs. Islachuddin Yahya,
M.Pd. Ciri-ciri bahasa Indonesia yang baku antara lain:
a) Fonografi (bersistem eja bunyi).
b) Aglutinatif (Dalam pembentukan kata kejadian bersistem penempelan imbuhan
pada bentuk dasarnya).
c) Struktur kalimat bahasa Indonesia yang membayangkan pola : urutan kata, makna
kata, intonasi, dan situasi.
5. Penyebab Ketidakbakuan Kalimat
a. Pelesapan imbuhan
b. Pelesapan awalan
Awalan yang sering dilesapkan mengakibatkan kalimat yang terbentuk menjadi
tidak baku ialah me- , men-, ber-, dan di-. Contoh :
 Awalan Me-/Men-
1. Polisi terus mengusut kasus pembunuhan Sumanto. (Baku)
2. Polisi usut terus kasus pembunuhan sumanto. (Tidak Baku)
 Awalan Ber-
1. Andi ingin bertanya tentang sesuatu. (Baku)
2. Andi ingin tanya tenteng sesuatu. (Tidak Baku)
 Awalan di-
1. Seorang pencuri dihukum satu tahun. (Baku)
2. Seorang pencuri hukum satu tahun. (Tidak Baku)
c. Pelesapan Akhiran
Ada dua akhiran yang penggunaanya dilesapkan, yaitu akhiran -kan dan -i.
yang bisa mengakibatkan kalimat menjadi tidak baku.
Contoh:
 Akhiran –kan
1. Mereka memperlihatkan kebaikannya. (Baku)
2. Mereka memperlihat kebaikannya (Tidak baku)
 Akhiran –i
1. Kami saling mencintai. (Baku)
2. Kami saling mencinta. (Tidak Baku)

d. Pemborosan Penggunaan Kata


Pemborosan kata di mana, daripada, di dalam, dalam, kepada, dari, maka,
Contoh :
1. Tempat ditemukannya benda itu sudah dicatat. (Baku)
Tempat di mana ditemukannya benda itu telah dicatat. (Tidak Baku)
2. Peta itu merupakan bagian kabupaten Gresik. (Baku)
Peta itu merupakan bagian daripada kabupaten Gresik. (Tidak Baku)
3. Anak itu menulis karangan. (Baku)
Anak itu menulis dalam karangan. (Tidak Baku)
4. Hadirin dimohon berdiri. (Baku)
Kepada hadirin dimohon berdiri. (Tidak Baku)
5. Hasil selama lima tahun menunjukkan bahwa jumlah kendaraan dan Kota
Gresik melebihi fasilitas jalan. (Baku)
6. Dari hasil selama lima tahun menunjukkan bahwa jumlah kendaraan dan
Kota Gresik melebihi fasilitas jalan. (Tidak Baku)
7. Dengan ini kami sampaikan data seorang ibu dari kelurahan kota baru.
(Baku)
8. Maka dengan ini kami haturkan data seorang ibu dari kelurahan kota baru.
(Tidak Baku)
e. Ketidaktepatan pemilihan kata
 Penggunaan kata bahasa Jawa
 Penggunaan kata yang termasuk ragam tidak baku
Contoh :
Ia sedang membuat rak buku. (Baku)
Ia sedang membikin rak buku. (Tidak Baku)
f. Kesalahan Pembentukan Kata
g. Ketidaktepatan Penggunaan bentuk – nya
Contoh :
Atas bantuan saudara , kami ucapkan terima kasih. (Baku)
Atas bantuannya, kami ucapkan terima kasih. (Tidak Baku)

h. Penggunaan Konjungsi Ganda


Contoh :
1. Karena sakit ia tidak masuk kelas (Baku)
Karena sakit . Maka ia tidak masuk kelas (Tidak Baku)
2. Meskipun kita tidak berperang , kita harus waspada. (Baku)
Meskipun kita tidak berperang , tetapi kita harus waspada. (Tidak Baku)
3. Walaupun keringat membasahi seluruh badan , ia tetap bekerja. (Baku)
Walaupun keringat membasahi seluruh badan , namun ia tetap bekerja.
(Tidak Baku)
i. Kesalahan Ejaan

6. Kata Baku Dalam Berbagai Segi


1. Baku dari Segi Lafal
Lafal baku bahasa Indonesia adalah lafal yang tidak “menampakkan” lagi ciri-ciri
bahasa daerah atau bahasa asing. Lafal yang tidak baku dalam bahasa lisan pada
gilirannya akan muncul pula dalam bahasa tulis karena penulis terpengaruh oleh lafal
bahasa lisan itu.
Contoh: Enem = Enam
Gubug = Gubuk
Dudu = Duduk
2. Baku dari Segi Ejaan
Ejaan bahasa Indonesia yang baku telah diberlakukan sejak 1972. Nama Ejaan
Bahasa Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (disingkat EYD). Oleh karena itu, semua
kata yang tidak ditulis menurut kaidah yang diatur dalam EYD adalah kata yang tidak
baku. Yang ditulis sesuai dengan aturan EYD adalah kata yang baku. Contoh :

NO. KATA BAKU TIDAK BAKU


1 Aktif Aktip
2 Daftar Daptar
3 Fotokopi Photocopy
4 Jadwal Jadual
5 Azan Adzan
6 Kuitansi Kwitansi

3. Baku dari Segi Gramatikal


Secara gramatikal kata – kata baku ini harus dibentuk menurut kaidah –kaidah
gramatika.
Contoh :
 Beliau ngontrak rumah di Gresik.
 Gubernur tinjau daerah longsor.
 Tolong bikin bersih ruangan ini.
4. Baku dari Segi Nasional
Kata-kata yang masih bersifat kedaerahan, belum bersifat “nasional” hendaknya
jangan digunakan dalam karangan ilmiah. Kalau kata-kata dari bahasa daerah itu
sudah bersifat nasional, artinya, sudah menjadi bagian dari kekayaan kosakata bahasa
Indonesia boleh saja digunakan.
Contoh :
Lempeng = Lurus
Semrawut = Kacau
Mudun = Turun
Ngomong = Bicara, dll.

B. Hakikat Kalimat
Dalam pandangan gramatikal, yang menganggap tata bahasa sebagai subsistem yang
hierarkis, kalimat merupakan satuan yang tetap terikat pada satuan yang lebih besar atau dapat
berdiri sendiri. Secara relatif, ada kemungkinan satuan yang lebih besar kalimat dapat berdiri
sendiri dan mempunyai intonasi final, secara aktual dan potensial terdiri atas klausa. Dalam
kaitannya dengan satuan – satuan sintaksis (kata, frasa dan klausa), kalimat dapat dipandang
sebagai suatu konstruksi yang disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa disertai
intonasi final dan bila diperlukan dilengkapi dengan konjungsi (Dola, 2010:76). Sedangkan
menurut Cook (dalam Tarigan, 2009: 6), kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif dapat
berdiri sendiri, yang mempunyai pola intonasi akhir dan terdiri dari klausa.
Pendapat lain dikemukakan Kridalaksana (2008:103), kalimat adalah satuan bahasa yang
berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari
klausa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kalimat merupakan kesatuan ujar yang
mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua hal yang terpenting
dalam pembentukan sebuah kalimat yaitu konstituen dasar dan intonasi final. Konstituen dasar
dapat berupa kata, frasa maupun klausa yang diberi intonasi akhir. Berikut contoh kalimat yang
dibentuk oleh kata, frasa dan klausa.
Contoh :
Mangga! (dari kata)
Mangga manis! (dari frasa)
Emma membeli mangga manis. (dari klausa)
Jika kalimat – kalimat di atas dilafalkan maka akan jelaslah peranan intonasi final dalam
menentukan suatu kalimat. Karena peran intonasi finallah maka kalimat merupakan satuan
gramatikal bebas.

1. Konstituen Dasar Pembentuk Kalimat


Sebagai subsistem bahasa mencakup satuan – satuan pembentuk konstruksi kalimat serta
hubungan diantaranya. Konstituen dasar pembentuk kalimat meliputi kata, frasa, dan klausa.
a. Kata
Dalam tataran gramatikal, kata adalah satuan terkecil dalam kalimat. Kata memiliki
potensi untuk berdiri sendiri dan dapat berpindah – pindah tempat dalam kalimat.
Kemampuan kata menjadi kalimat dapat kita lihat, misalnya kata ambil dapat menjadi
kalimat Ambil! (kalimat perintah), kata sudah dapat menjadi kalimat Sudah! (kalimat berita).
Menurut Kridalaksana (2008:110), kata merupakan satuan terkecil bahasa yang dapat berdiri
sendiri, terjadi dari morfem tunggal, misalnya : pejuang, mengikuti, pancasila, mahakuasa.
Ciri lain dari kata ialah dapat berpindah tempat dalam kalimat. Misalnya, kata semalam dapat
berpindah ke awal kalimat, ke tengah kalimat, atau ke akhir kalimat. Kebebasan kata
semalam untuk berpindah tempat dapat dilihat pada contoh kalimat berikut ini :
 Semalam hujan turun.
 Hujan semalam turun.
 Hujan turun semalam.
b. Frasa
Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak berciri
klausa, atau tidak memiliki ciri predikat pada salah satu unsurnya dan pada umumnya
menjadi alat pembentuk klausa (Dola, 2010:7). Menurut Tarigan (2009:96), frasa adalah
satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak
mempunyai ciri – ciri klausa.
Pandangan lain dikemukakan oleh Kailani Hasan, frasa adalah satuan gramatikal yang
berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif atau satu konstruksi ketatabahasaan yang
berdiri atas dua kata atau lebih. Frasa terbentuk dari rangkaian kelas kata yang satu dengan
yang lain, baik pada posisi pertama maupun ke dua. Rangkaian kelas kata yang membentuk
frasa itu mempunyai hubungan atributif, predikatif, dan posesif. Sedangkan menurut
Kridalaksana (2008:66), frasa ialah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak
predikatif ; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang, misalnya gunung tinggi.
Dari beberapa pernyataan yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa frasa
merupakan gabungan atau rangkaian kata yang tidak berciri klausa atau tidak memiliki
predikat. Seperti halnya dengan kata, frasa memiliki potensi untuk berdiri sendiri menjadi
kalimat, seperti contoh berikut ini :
 Anak Rivaih. (jawaban dari pertanyaan Siapa yang terlambat?)
 Tadi pagi. (jawaban dari pertanyaan Kapan Anda tiba?)
c. Klausa
Klausa adalah kelompok kata yang hanya mengandung satu predikat (Cook dalam
Tarigan, 2009:76). Sedangkan Ramlan berpendapat bahwa klausa adalah suatu bentuk
linguistik yang terdiri atas subjek dan predikat. Pendapat lain dikemukakan oleh Dola
(2010:8), klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata atau frasa dan memiliki
satu predikat. Pada umumnya, klausa merupakan unsur pembentuk kalimat.
Dari beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa klausa adalah satuan
gramatikal yang berupa kelompok kata, sekurang – kurangnya terdiri atas subjek dan
predikat dan berpotensi menjadi kalimat.
1. Jenis – Jenis Kalimat
Untuk dapat mengklasifikasikan kalimat, kita dapat menggunakan berbagai kriteria atau
tinjauan. Kriteria – kriteria itu menggambarkan beberapa dikotomi pembagian.

a. Jenis Kalimat Berdasarkan Jumlah Klausa


Berdasarkan jumlah klausanya, kalimat dibedakan atas (a) kalimat tunggal, (b)
kalimat bersusun, (c) kalimat majemuk.
1. Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri dari satu klausa bebas. Kalimat
tunggal sering disebut kalimat sederhana, kalimat simpleks dan kalimat ekaklausa.
Contoh :
 (S) (P) (Ket)
Dia datang dari Jakarta.
 (S) (P) (O)
Dunia meratapi musibah ini.
 (S) (P) (O) (Ket)
Dia sedang menulis surat di kamar.
 (S) (P)
Kakekku masih gagah.
 (S) (P) (Ket)
Mereka bergembira sepanjang hari.

2. Kalimat Bersusun
Kalimat bersusun adalah kalimat yang terjadi dari satu klausa bebas dan sekurang
– kurangnya satu klausa terikat. Kalimat bersusun sering juga dinamakan kalimat
majemuk bertingkat atau kalimat majemuk subordinat. Disebut kalimat bersusun
karena dapat dianggap adanya lapisan atau tersusun, yaitu bagian utama dan bagian
bawah. Disebut bertingkat karena bagian – bagiannya memperlihatkan tingkatan yang
tidak sama, ada bagian induk dan bagian anak. Dipandang sebagai subordinasi karena
bagian yang satu bergantung dari bagian yang lain. Klausa – klausa yang membentuk
kalimat bersusun (bertingkat) ini tidak setara, ada klausa utama (Klut) dan klausa
subordinat (Klsub).
Untuk menggabungkan klausa – klausa yang tidak setara itu, digunakan konjungsi
subordinatif seperti : kalau, ketika, meskipun, atau karena.
Contoh :
 ( Klut ) ( Klsub )
Dia tidak mencuci motor, karena hari hujan.
 ( Klut ) ( Klsub )
Kalau Kiran pergi, Karan pun akan pergi.
 ( Klut ) ( Klsub )
Suhendro membaca komik, ketika ayah tidur.
 ( Klut ) ( Klsub )
Meskipun dilarang oleh Karan, Kiran akan pergi juga.
 ( Klut ) ( Klsub )
Karena banyak yang tidak datang, rapat dibatalkan.
3. Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang terbentuk dari beberapa klausa bebas.
Kalimat majemuk sering pula disebut kalimat setara. Karena klausa – klausa yang
membentuknya memiliki status yang sama, setara atau sederajat. Klausa – klausa yang
setara dalam kalimat majemuk dihubungkan dengan konjungsi koordinatif, seperti :
dan, atau, tetapi, lalu.
Contoh :
 ( Kl bebas) ( Kl bebas) ( Kl bebas)
Ayu melirik, Jojo tersenyum dan Nur tertawa.
 ( Kl bebas) ( Kl bebas)
Dia membuka pintu, lalu mempersilakan kami masuk.
 ( Kl bebas) ( Kl bebas)
Dia datang dan duduk di sebelah saya.

b. Jenis Kalimat Berdasarkan Struktur Klausa


Berdasarkan struktur klausanya, kalimat dibedakan atas kalimat lengkap dan kalimat
tak lengkap. Kedua jenis kalimat ini dijelaskan sebagai berikut :
1. Kalimat Lengkap
Kalimat lengkap adalah kalimat yang mengandung klausa lengkap. Terdiri atas
unsur subjek dan predikat. Kalimat yang lengkap memiliki klausa lengkap, yaitu
sekurang – kurangnya unsur subjek dan predikat, disebut juga kalimat mayor.
Contoh :
 ( S ) ( P )
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila.
 ( S ) ( Ket ) ( P )
Bapak menteri besok pagi akan ke Jepang.
 ( S ) ( P ) ( Ket )
Kakeknya petani kaya di kampung itu.
2. Kalimat Tidak Lengkap
Kalimat tidak lengkap adalah kalimat yang terdiri atas klausa yang tidak lengkap.
Terdiri dari hanya subjek, hanya predikat atau objek. Kalimat ini disebut juga kalimat
minor.
Contoh :
 Astaga!
 Dari toko!
 Yuki!
 Selamat malam!
 Silakan duduk!

c. Jenis Kalimat Berdasarkan Amanat yang Dikandungnya


Berdasarkan amanat yang dikandungnya, kalimat dibedakan atas, kalimat
deklaratif, kalimat introgatif, kalimat imperatif, kalimat aditif, kalimat responsif, dan
kalimat interjektif.
1. Kalimat Deklaratif
Kalimat deklaratif adalah kalimat yang mengandung intonasi deklaratif yang
dalam ragam tulisan diberi tanda titik pada akhir konstruksi. Amanat yang
dikandungnya berupa pemberitaan atau pernyataan.
Contoh :
 Gaji pegawai negeri tidak dinaikkan.
 Hampir setiap hari mahasiswa berdemonstrasi.
2. Kalimat Introgatif
Kalimat introgatif adalah kalimat yang mengandung intonasi introgatif yang
dalam ragam tulisan diberi tanda tanya (?) pada akhir konstruksi. Selain itu, ditandai
pula oleh partikel tanda tanya seperti –kah, atau kata tanya seperti : apa, mengapa,
bagaimana. Amanat yang dikandungnya berupa pertanyaan atau keingian memperoleh
jawaban.
Contoh :
 Apa yang Anda harapkan dari saya?
 Mengapa rakyat Indonesia semakin miskin?
 Bagaimana caranya menurunkan bobot badan?

3. Kalimat Imperatif
Kalimat imperatif adalah kalimat yang mengandung intonasi imperatif yang
dalam ragam tulisan diberi tanda seru (!) pada akhir konstruksi. Kalimat imperatif
ditandai pula oleh partikel –lah atau kata – kata seperti hendaklah, jangan. Amanat
yang dikandungnya berupa perintah atau keinginan agar orang melakukan apa yang
dikehendaki pembaca atau pembicara.
Contoh :
 Jangan perhatikan ucapannya!
 Bacalah buku itu!
 Berikan surat ini kepadanya!
 Lompat saja!
 Hendaknya Arly melayani permintaan dia!
4. Kalimat Aditif
Kalimat aditif adalah kalimat yang memberikan keterangan tambahan pada
kalimat pernyataan, dapat lengkap dapat pula tidak lengkap.
Contoh :
 Sudah bulan Agustus, pemasukan juga tidak ada.
 Hanya belum punya uang.
5. Kalimat Responsif
Kalimat responsif adalah kalimat terikat yang berhubungan dengan pernyataan
yang mendahuluinya, dapat lengkap, dapat tidak lengkap. Kalimat responsif biasanya
juga disebut kalimat jawaban atau kalimat tambahan.
Contoh :
 Ya!
 Tadi pagi!
 Bagus!
6. Kalimat Interjektif
Kalimat interjektif adalah kalimat seruan yang mengungkapkan perasaan, dapat
lengkap, dapat tidak lengkap. Seruan ada dua macam yaitu (1) yang terjadi dari klausa
lengkap ditandai oleh partikel seperti : mudah – mudahan, alangkah dan (2) yang
seperti : aduh, wah, amboi.
Contoh :
 Wah, ini baru kejutan!
 Amboi, cantiknya!
 Mudah – mudahan Tuhan selalu bersamamu!
 Aduh, andai saja dia belum menikah!

d. Jenis Kalimat Berdasarkan Pembentuknya dari Klausa Inti dan Perubahannya


Berdasarkan pembentukan kalimat dari klausa inti dan perubahannya, kalimat
dibedakan atas kalimat inti dan kalimat bukan inti.
1. Kalimat Inti (Kalimat Dasar)
Kalimat inti adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap, bersifat
deklaratif, aktif, netral. Dalam bahasa Indonesia dikenal kalimat inti atau kalimat dasar
dengan pola struktur sebagai berikut : (Kategori kata diseragamkan dalam bentuk
frasa).
Contoh :
 FN + FV
(S) + (P) : Ibu/ datang.//
 FN + FV + FN
(S) + (P) + (O) : Ayah/ merapikan/ rak buku.//
 FN + FN
(S) + (P) : Ibu/ pegawai negeri.//
 FN + Fnum
(S) + (P) : Uangnya/ tiga juta.//
 FN + Fprep
(S) + (P) : Kekasihnya/ di desa.//
2. Kalimat Bukan Inti
Kalimat bukan inti adalah kalimat yang terbentuk dengan pengubahan pola
kalimat inti melalui proses seperti pemasifan, pengingkaran, penanyaan, penambahan,
pemerintahan, penginversian dan pelesapan.
Contoh :
 Komik dibaca oleh Dini. (Transformasi pemasifan dari kalimat inti “Dini
membaca komik.”)
 Apakah Dini membaca komik? (Transformasi penanyaan dari kalimat inti
“Dini membaca komik.”

e. Jenis Kalimat Berdasarkan Jenis Klausa


Berdasarkan jenis klausa pembentuknya, kalimat dibedakan atas kalimat verbal dan
kalimat nonverbal.
1. Kalimat Verbal
Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal atau kalimat yang
konstituen dasarnya adalah klausa verbal. Dapat berupa kalimat verbl transitif,
intransitif, aktif, pasif.
Contoh :
 Ibu menulis surat. (Kalimat verbal transitif)
 Manda berdandan di kamar. ( Kalimat verbal intransitif)
 Surat ditulis Ibu (Kalimat verbal pasif).
2. Kalimat Nonverbal
Kalimat nonverbal adalah kalimat yang dibentuk oleh klausa nonverbal sebagai
konstituen dasarnya. Dapat berupa kalimat nonverbal nominal, adjectival, numeralia
dan sebagainya.
Contoh :
 Kakekku pelaut. (Kalimat nonverbal nominal)
 Adiknya cantik sekali. (Kalimat nonverbal adjektival)
 Tabungannya lima juta. (Kalimat nonverbal numeralia)

f. Jenis Kalimat Berdasarkan Fungsinya sebagai Pembentuk Paragraf


Berdasarkan fungsi kalimat sebagai pembentuk paragraf, kalimat dibedakan atas
kalimat bebas dan kalimat terikat.
1. Kalimat Bebas
Kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap atau kalimat
yang dapat memulai sebuah paragraf wacana tanpa konteks lain dari penjelasan.
2. Kalimat Terikat
Kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap. Biasanya kalimat
terikat ini menggunakan salah satu tanda ketergantungan (keterkaitan) seperti penanda
perangkaian, penunjukan, anaforis.
Contoh dari kalimat bebas dan kalimat terikat :
 Sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk (1).
 Jangankan ikannya, telurnyapun sangat sukar diperoleh (2).
 Kalaupun bisa diperoleh, harganya melambung (3).
Kalimat (1) adalah kalimat bebas.
Kalimat (2) dan (3) adalah kalimat terikat.

C. Kalimat Efektif
Kalimat yang baik adalah kalimat yang dapat memberikan kemudahan atau kejelasan pesan
kepada pembaca atau pendengar. Kalimat yang demikian disebut kalimat efektif. Dengan kata lain,
kalimat dikatakan efektif apabila kalimat tersebut mampu secara tepat mewakili gagasan atau perasaan
penyampai pesan dan sanggup memberikan gambaran yang sama tepatnya kepada pembaca atau
pendengar.
Untuk mewujudkan kalimat yang efektif, kalimat harus mengandung beberapa unsur, antara
lain: kesatuan gagasan dan kesepadanan struktur, kepaduan (koherensi) yang kompak, adanya penekanan,
kesejajaran (keparalelan) bentuk, kehematan kata, kelogisan, dan kevariasian. Hal itu juga sependapat
dengan Akhadiah (1991:116) yang mengatakan bahwa ciri kalimat efektif adalah (1) kesepadanan dan
kesatuan, (2) kesejajaran bentuk (paralelisme), (3) penekanan, (4) kehematan dalam mempergunakan
kata, dan (5) kevariasian dalam struktur kalimat.

1. Kesatuan Gagasan dan Kesepadanan Struktrur


Setiap kalimat yang baik harus secara jelas memperlihatkan kesatuan gagasan dan mengandung
satu pokok permasalahan. Apabila dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan disatukan, maka akan
hilang kesatuan pikiran tersebut. Sebuah kesatuan gagasan secara praktis diwakili oleh subjek, predikat,
dan bisa juga ditambah objek. Kesatuan tersebut dapat berbentuk kesatuan tunggal, kesatuan gabungan,
kesatuan pilihan, dan kesatuan yang mengandung pertentangan.

Kesepadanan adalah keseimbangan antara pikiran dan struktur bahasa yang dipakai. Kesepadanan
kalimat diperlihatkan oleh kesatuan gagasan yang kompak dan kepaduan pikiran yang baik. Untuk
mewujudkan kesepadanan struktur, maka kalimat harus memenuhi syarat sebagai berikut.

A. Kalimat harus memiliki subjek dan predikat yang jelas. Ketidakjelasan subjek atau predikat suatu
kalimat tentu saja membuat kalimat itu tidak efektif. Kejelasan subjek dan predikat suatu kalimat
dapat dilakukan dengan menghindarkan pemakaian kata depan di, dalam, bagi untuk, pada,
sebagai, tentang, mengenai, menurut, dan sebagainya di depan subjek.
Contoh:

 Bagi semua mahasiswa yang memakai kaos oblong dilarang mengikuti perkuliahan.
Kata bagi seharusnya dihilangkan, karena menimbulkan ketidakjelasan subjek.

Seharusnya

 Mahasiswa yang memakai kaos oblong dilarang mengikuti perkuliahan.

B. Kalimat tidak mengandung subjek ganda. Subjek yang ganda dalam kalimat menimbulkan penafsiran
yang salah bagi pembaca. Oleh karena itu, subjek yang ganda menyebabkan kalimat yang tidak efektif.

Contoh:
 Pertanyaan itu saya kurang jelas.
Kalimat tersebut mempunyai subjek ganda, yaitu pertanyaan itu dan saya. Kalimat tersebut dapat
diperbaiki dengan cara menambah bagi diantaranyapertanyaan itu dan saya.
Seharusnya
 Pertanyaan itu bagi saya kurang jelas.

C. Kalimat penghubung intrakalimat tidak dipakai pada kalimat tunggal

Contoh :
 Kami datang agak terlambat. Sehingga kami tidak dapat mengikuti acara itu.

Kalimat tersebut dapat diperbaiki dengan mengubahnya menjadi kalimat majemuk atau mengganti
ungkapan penghubung intrakalimat menjadi ungkapan penghubung antarkalimat.

Seharusnya

 Kami datang agak terlambat, sehingga kami tidak dapat mengikuti acara itu.
 Kami datang agak terlambat. Oleh karena itu, kami tidak dapat mengikuti acara itu.

2. Kepaduan (Koherensi) yang Baik dan Kompak

Yang dimaksud dengan koherensi atau kepaduan yang baik dan kompakadalah hubungan timbal
balik yang baik dan jelas antara unsur-unsur (kata atau kelompok kata) yang membentuk kalimat itu.
Akan tetapi, kalimat dapat dirusak oleh berbagai hal berikut.

A. Penempatan kata dalam kalimat yang tidak sesuai dengan pola kalimat.
Contoh
 menanak nasi di dapur tadi pagi.
Kalimat tersebut merupakan kalimat yang baik, namun akan menjadi buruk jika susunannya
tdiubah seperti pada contoh berikut!
 Pagi menanak dapur di nasi tadi ibu.
B. Kesalahan penggunaan kata depan, kata hubung, dan sebagainya.
Perhatikan contoh berikut!
 Sejak lahir manusia memiliki jiwa melawan kepada kekejaman alam.

Kata kepada seharusnya dihilangkan seperti pada kalimat berikut.

 Sejak lahir manusia memiliki jiwa melawan kekejaman alam.

C. Pemakaian kata yang kontradiksi


Pemakaian kata-kata yang mengandung kontradiksi dapat merusak keefektifan kalimat.
Contoh

Percaya tidak percaya data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa minat siswa terhadap
pembelajaran membaca adalah rendah.

Seharusnya

Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa minat siswa terhadap pembelajaran membaca
adalah rendah.

D. Kesalahan menempatkan keterangan aspek (sudah, telah, akan, belum) pada kata kerja tanggap.

Contoh

 Data itu saya sudah kerjakan sampai selesai.


Kalimat tersebut salah, karena saya kerjakan sebagai bentuk tanggap tidak bisa disisipi
keterangan apapun.
Jadi kalimat yang benar adalah :
 Data itu sudah saya kerjakan sampai selesai.

3. Penekanan
Setiap kalimat memiliki sebuah ide pokok. Penekanan dilakukan untuk memberikan penjelasan
berkaitan dengan hal yang dirasa penting. Penulis dapat melakukan berbagai cara untuk
memberikan penekanan pada kalimat efektif. Cara tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.

A. Mengubah posisi kalimat


Sebuah kalimat dapat diubah-ubah strukturnya untuk mencapai efek yang diinginkan atau
dipentingkan. Untuk mencapai efek yang diinginkan atau dipentingkan, maka penulis
menempatkan sebuah kata yang penting berada pada awal kalimat.

Contoh

 Mahasiswa menjawab pertanyaan dosen penguji.


Penekanan ini dapat diubah dengan menjadi kalimat pasif. Berikut adalah contoh kalimat tersebut:
Pertanyaan dosen penguji dijawab mahasiswa.

B. Menggunakan repetisi (pengulangan kata)


Pengulangan kata (repetisi) dalam kalimat kadang diperlukan untuk memberikan penegasan pada
bagian ujaran yang dianggap penting. Pengulangan kata yang demikian dianggap dapat membuat
maksud kalimat menjadi lebih jelas.
Perhatikan contoh kalimat di bawah ini!

 Pembangunan merupakan proses yang rumit dan mempunyai banyak dimensi, bukan
hanya dimensi ekonomi tetapi juga dimensi politik,dimensi sosial, dan dimensi budaya.

Berdasarkan kalimat di atas dapat dilihat bahwa kata dimensi merupakan kata yang diulang berturut-turut.
Oleh karena itu, kata dimensi merupakan kata yang akan ditekankan oleh penulis.

C. Menggunakan pertentangan
Pertentangan dapat pula dipergunakan untuk menekan suatu gagasan. Perhatikan contoh kalimat di
bawah ini!

Anak itu rajin.

Kalimat tersebut dapat lebih ditonjolkan bila ditempatkan dalam suatu posisi pertentangan,
misalnya:

Anak itu rajin, bukan malas.

D. Menggunakan partikel penekanan


Dalam bahasa Indonesia terdapat beberapa partikel yang berfungsi menonjolkan sebuah kata atau
ide dalam sebuah kalimat. Partike-partikel yang dimaksud adalah: lah, pun, kah, yang dalam tata
bahasa disebut imbuhan.
Perhatikan contoh kalimat di bawah ini!
(1) Kami pun ikut dalam kegiatan itu.
(2) Bapaklah yang memberikan sambutan itu.

4. Kesejajaran (Paralelisme)

Kalimat efektif juga harus mengandung kesejajaran (paralelisme) antara gagasan yang diungkapkan dan
bentuk bahasa sebagai sarana pengungkapnya. Jika dilihat dari segi bentuknya, kesejajaran itu dapat
menyebabkan keserasian. Jika dilihat dari segi makna atau gagasan yang diungkapkan, kesejajaran itu
dapat menyebabkan informasi yang diungkapkan menjadi sistematis sehingga mudah dipahami.

Jenis pembentukan paralelisme sebagai berikut.

A. Kesejajaran Bentuk
Bentuk kalimat yang tidak tersusun secara sejajar dapat mengakibatkan kalimat itu tidak serasi.
Contoh
 Buku itu telah lama dicari, tetapi Dodi belum menemukannya.
 Peneliti sudah mengambil data, mencatatnya, kemudian dianalisis, dan dibahas.

Kalimat di atas tidak sejajar karena menggunakan bentuk kata kerja pasif (dicari) yang dikontraskan
dengan bentuk aktif (menemukan). Agar sejajar, kedua bagian kalimat tersebut harus menggunakan
bentuk pasif semuanya atau bentuk aktif semuanya.

Kalimat yang tepat adalah sebagai berikut.

 Buku itu telah dicari, tetapi belum ditemukan oleh Dodi.


 Dodi telah lama mencari buku itu, tetapi belum menemukannya.
 Peneliti sudah mengambil data, kemudian mencatatnya, menganalisis, dan membahasnya.
B. Kesejajaran Makna

Unsur lain yang harus diperhatikan dalam pemakaian suatu bahasa adalah segi penalaran atau logika.
Kesejajaran makna ini berkaitan erat dengan penalaran. Penalaran dalam sebuah kalimat merupakan
masalah yang mendasari penataan gagasan. Penalaran sangat berhubungan dengan jalan pikiran. Jalan
pikiran penulis turut menentukan baik tidaknya kalimat yang dibuat, mudah tidaknya kalimat tersebut
dipahami sesuai pemikiran penulis.

Contoh

 Masyarakat mengecam keras atas terjadinya pembunuhan 21 warga Palestina yang tewas dan 200
lainnya yang luka-luka.

Kalimat tersebut bukan termasuk kalimat efektif, karena untuk memahaminya, pembaca dituntut berpikir
keras. Jika kita cermati akan terdapat kejanggalan karena tidak mungkin pembunuhan dilakukan terhadap
orang yang sudah tewas.

Seharusnya

 Masyarakat mengecam keras atas terjadinya peristiwa yang mengakibatkan 21 warga


Palestina tewas dan 200 lainnya luka-luka.

C. Kesejajaran Bentuk dan Maknanya


Beberapa gagasan yang bertumpuk dalam satu pernyataan dapat mengaburkan kejelasan informasi
yang diungkapkan.
Contoh
 Penanaman pohon akasia sebagai upaya penghijauan telah dilaksanakan warga, sebagai tindak
lanjut Perda tentang penghijauan.

Kalimat tersebut tidak efektif karena terlalu sarat dengan informasi.

Agar efektif, kalimat tersebut harus dikembalikan pada gagasan semula, yang terungkap dalam beberapa
kalimat berikut.

 Penanaman pohon akasia sebagai upaya penghijauan telah dilaksanakan warga.


 Penanaman ini melibatkan berbagai elemen masyarakat dari tingkat RT sampai tingkat
kalurahan.
 Hal ini merupakan tindak lanjut Perda tentang pernghijauan.

5. Kehematan
Kehematan dalam kalimat efektif merupakan kehematan dalam pemakaian kata, frase, atau
bentuk lainnya yang dianggap tidak diperlukan. Kehematan ini menyangkut soal gramatikal dan makna
kata. Kehematan tidak berarti menghilangkan kata, frase yang diperlukan atau yang menambah kejelasan
makna kalimat. Untuk mewujudkan kehematan dalam menyusun kalimat efektif ada beberapa kriteria
yang perlu diperhatikan.

A. Penghematan dapat dilakukan dengan cara menghilangkan pengulangan subjek.


Perhatikan contoh:
 Karena Ali terlambat, dia tidak dapat mengikuti perkuliahan.
Perbaikan kalimat itu adalah sebagai berikut.
 Karena terlambat, Ali tidak dapat mengikuti perkuliahan.

B. Penghematan dapat dilakukan dengan cara menghindarkan pemakaian superordinat


pada hiponimi kata.
 Kata merah sudah mencakupi kata warna.
 Kata pipit sudah mencakupi kata burung.

Perhatikan contoh berikut!

 Ia memakai baju warna merah.


 Di mana kamu menangkap burung pipit itu?
Kalimat itu dapat diubah menjadi
 Ia memakai baju merah.
 Di mana engkau menangkap pipit itu?

C. Penghematan dapat dilakukan dengan cara menghindarkan kesinoniman dalam satu kalimat.
 Kata naik bersinonim dengan ke atas.
 Kata turun bersinonim dengan ke bawah.

Perhatikan kalimat-kalimat di bawah ini.

 Silakan naik ke atas ruangan itu!


 Baru saja pejabat itu turun ke bawah melalui tangga ini.
Kalimat ini dapat diperbaiki menjadi
 Silakan naik ke ruangan itu!
 Baru saja pejabat itu turun melalui tangga ini.
D. Penghematan dapat dilakukan dengan cara tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk
jamak. Misalnya:

Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku

para tamu-tamu para tamu

beberapa orang-orang beberapa orang

6. Kelogisan
Yang dimaksud dengan kelogisan ialah bahwa ide kalimat itu dapat diterima oleh akal dan
penulisannya sesuai dengan ejaan yang berlaku.

Perhatikan kalimat di bawah ini.

 Kepada Bapak Camat waktu dan tempat kami persilakan.


 Untuk mempersingkat waktu, kami teruskan acara ini.

Kalimat itu tidak logis (tidak masuk akal). Yang logis adalah sebagai berikut.

 Kepada Bapak Camat kami persilakan.


 Untuk menghemat waktu, kami teruskan acara ini.

\
7. Kevariasian
Seorang penulis harus berusaha menghindarkan pembaca dari keletihan yang pada akhirnya akan
menimbulkan kebosanan. Penulis harus berusaha agar pembaca menjadi pekerjaan yang menyenangkan.
Sebuah bacaan atau tulisan yang baik merupakan suatu komposisi yang dapat memikat dan mengikat
pembacanya untuk terus membaca sampai selesai. Agar dapat membuat pembaca terpikat tidaklah dapat
dilakukan begitu saja. Hal ini memerlukan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya menulis. Menulis
memerlukan ketekunan, latihan, dan pengalaman.

Variasi bertentangan dengan repetisi. Variasi dilakukan guna memperoleh keanekaragaman


bentuk-bentuk bahasa agar minat dan perhatian orang tetap terpelihara.Variasi itu dapat dicapai dengan
menggunakan bentuk inversi, bentuk pasif persona, variasi aktif-pasif, dan variasi panjang pendek.

Macam-macam variasi yang menunjang keefektifan kalimat

A. Variasi sinonimi kata


 Variasi berupa sinonimi kata, atau penjelasan-penjelasan yang berbentuk kelompok kata pada
hakikatnya tidak merubah isi dari amanat yang akan disampaikan.
Perhatikan contoh kalimat berikut!
 Dari renungan itu penyair menemukan suatu makna, suatu realitas baru,
suatu kebenaran yang menjiwai seluruh puisi.
B. Variasi panjang pendek kalimat
Variasi dalam panjang pendeknya struktur kalimat mencerminkan kejelasan pikiran pengarang.
Pilihan yang tepat dari struktur panjangnya sebuah kalimat dapat memberi tekanan pada bagian-
bagian yang diinginkan. Variasi panjang pendek kalimat ini dapat langsung dilihat contohnya
dalam suatu paragraf. Paragraf yang variatif dalam mempergunakan panjang pendeknya kalimat
adalah paragraf yang tidak menjemukan apabila dibaca.
C. Variasi penggunaan bentuk me- dan di-
Pemakaian bentuk yang sama dalam beberapa kalimat berturut-turut juga dapat menimbulkan
kelesuan. Perlu dicari vaiasi pemakaian bentuk gramatikal terutama penggunaan prefiks me-
dan di-.
D. Variasi dengan mengubah posisi dalam kalimat
Variasi dengan mengubah posisi dalam kalimat sebenarnya mempunyai sangkut paut
dengan penekanan dalam kalimat.

Anda mungkin juga menyukai